Anda di halaman 1dari 11

GANGGUAN PSIKIATRIS YANG MEMODERASI HUBUNGAN ANTARA INSOMNIA DAN MASALAH-

MASALAH KOGNITIF PADA PERWIRA MILITER

ABSTRAK

Latar Belakang: Terdapat banyak hasil penelitian akan ko-morbiditas dari insomnia dan
gangguan-gangguan psikiatris, namun kebanyakan dari data yang tersedia didasarkan pada
jumlah sampel yang tergolong sedikit serta tidak mempertimbangkan kriteria diagnostik penuh
dari masing-masing gangguan yang tertera. Lebih lanjut, hubungan yang pasti akan kedua kondisi
ini dan dampaknya pada masalah kognitif tergolong kurang banyak diteliti pada lingkup sampel
yang ada di pihak kemiliteran.

Metode: Data berasal dari All Army Study dari Army Study to Assess Risk and Resilience in Service
Members. Partisipan dari studi ini telah terlebih dahulu menyelesaikan Kuisioner Insomnia
Singkat untuk menilai derajat gangguan insomnia serta Composite International Diagnostic
Interview Screening Scales to menilai gangguan kognitif serta psikiatris yang mungkin muncul.

Hasil: Perwira militer yang mengidap episode depresif mayor (MDE) memiliki prevalensi tertinggi
akan gangguan sindrom insomnia (INS; 85 persen) yang diikuti dengan tanda-tanda seperti
gangguan kegelisahan umum (GAD; 82,6 persen) dan gangguan stres pasca-traumatik (PTSD;
69,7 persen). Interaksi yang signifikan ditemukan pada insomnia dan gangguan psikiatris;
khususnya pada MDE, PTSD dan GAD yang mempengaruhi hubungan antara insomnia dan
masalah-masalah pada memori/konsentrasi. Keterbasan: Sifat cross-sectional dari penilaian dan
ketiadaan akan data neurokognitif yang komprehensif.

Kesimpulan: Gangguan psikiatris memiliki efek memoderasi hubungan antara insomnia dan
masalah terkait memori/konsenstrasi, hal ini menyiratkan bahwa gangguan psikiatris memiliki
kontribusi akan variansi yang unik terhadap masalah kognitif meskipun gangguan ini terkait
dengan insomnia. Hasil dari studi ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan baik
insomnia dan gangguan psikiatrik pada diagnosa dan pengobatan dari defisit kognitif pada
perwira militer.

1. PENDAHULUAN

Insomnia adalah gangguan tidur yang paling umum ditemukan, menjangkiti 10 hingga 20 persen
dari total populasi orang dewasa. Dalam studi Gangguan Tidur Veteran Nasional, 26 persen dari
Veteran terdiagnosa memiliki gangguan ini. Insomnia adalah gangguan kesehatan yang terus
berkembang di masyarakat yang memiliki hubungan siklis serta kompleks dengan gangguan
psikiatris. Insomnia dapat mempengaruhi perkembangan serta kelangsungan dari gangguan
psikiatris, dan sebaliknya, gangguan psikiatris dapat memperparah gejala-gejala insomnia. Satu
studi menemukan bahwa seorang individu memiliki kemungkinan mengalami setidaknya satu
jenis diagnosis gangguan psikiatris sebesar 5,04 kali lebih besar pada individu yang menderita
insomnia, 2,63 kali lebih besar pada individu yang mengalami insomnia sedang, dan 1,7 kali lipat
lebih besar pada individu yang memiliki insomnia sub-threshold (terhitung jarang) dibandingkan
dengan orang-orang yang tidak memiliki insomnia. Laju kemunculan kembali yang kuat ini
umumnya relevan pada individu yang merupakan veteran perang, dimana 55,7 persen dari
mereka mengalami gangguan psikiatris akibat pengalaman di medan perang; persentase dari
gangguan psikiatris ini seringkali berkorelasi dengan simtomatologi insomnia. Sebagai contoh,
McLay dan kolega pada tahun 2010 menemukan bahwa insomnia merupakan jenis gangguan
stres pasca-traumatik (PTSD) yang paling banyak dilaporkan pada perwira militer aktif setelah
menjalani tugas(33 persen), dan veteran yang awalnya melaporkan masalah akan insomnia
ditemukan memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk mengalami PTSD, depresi, dan
gangguan kegelisahan pasca-tugas, yang tergolong independen akan faktor-faktor resiko lain.

Keberadaan akan gangguan psikiatris yang bersifat ko-morbid akan menyulitkan diagnosis dan
penilaian akan derajat insomnia yang dialami. Individu dengan insomnia, yang tidak memiliki
gangguan psikiatris, melaporkan gejala-gejala kewaspadaan yang parah di siang hari, mood yang
positif dan negatif, dan rasa kantuk/kelelahan dibandingkan dengan individu yang cukup tidur.
Sekitar 10 hingga 15 persen dari orang dewasa mengalami gejala insomnia yang dikaitkan
dengan berbagai konsekuensi yang terjadi pada siang hari seperti kesulitan dalam berperilaku
serta gangguan mood. Fungsi kognitif yang terganggu pada siang hari adalah kriteria yang
dibutuhkan akan diagnosa insomnia menurut Panduan Diagnostik dan Statistikal Gangguan
Kejiwaan (DSM-5; Asosiasi Psikiatrik Amerika, 2013). Baru-baru ini, analisis meta yang
mengumpulkan data estimasi/perkiraan dari efek insomnia terhadap fungsi kognitif melaporkan
bahwa individu dengan insomnia menunjukkan defisit ringan hingga sedang dari memori kerja,
memori episodik dan beberapa aspek dari fungsi eksekutif dibandingkan individu yang tidur
teratur. Terdapat pula sebuah studi terbaru yang menemukan perubahan yang signifikan secara
klinis pada memori episodik dan perhatian dari individu dengan insomnia.

Adapun, ko-morbiditas psikiatrik yang tinggi pada pasien dengan insomnia dapat berkontribusi
lebih jauh terhadap 'kerusakan-kerusakan' lain yang terjadi pada siang hari ini. Contohnya,
seperti halnya insomnia, sindrom depresi mayor dan PTSD masing-masing dikaitkan dengan
defisit terhadap fungsi eksekutif tubuh. Secara keseluruhan, meskipun gangguan psikiatris
umumnya dikaitkan dengan pola-pola gangguan kognitif yang spesifik terhadap penyakit
tertentu, terdapat efek tumpang tindih yang signifikan antara domain-domain dari fungsi kognitif
yang terdampak oleh insomnia dan gangguan psikiatris. Hal ini sangat penting karena disfungsi
kognitif dapat diperparah oleh kedua hal tersebut.

Dalam perwira militer, insomnia akan menjadi lebih parah pada penerjunan langsung ke medan
perang dimana terdapat ancaman konstan akan nyawa individu yang dimaksud. Sebagai
tambahan, insomnia umumnya merupakan jenis gangguan yang paling sering dikeluhkan oleh
perwira militer pasca-pertempuran dan secara negatif mempengaruhi kewaspadaan,
pertimbangan moral dan pengambilan keputusan, dimana seluruh aspek ini merupakan aspek
yang paling penting dalam mempertahankan performa personil selama operasi militer. Lebih
lanjut, sebuah data menunjukkan bahwa 14,6 persen dari seluruh perwira militer telah
melaporkan kecelakaan atau kesalahan di medan pertempuran yang mempengaruhi jalannya
misi, dan dari jumlah ini, 51 persen menambahkan bahwa kecelakaan atau kesalahan ini
dikaitkan dengan perasaan kantuk yang tak tertahankan.

Keberadaan insomnia, disfungsi kognitif dan gangguan psikiatrik secara bersamaan pada perwira
militer menyiratkan dugaan kuatbahwa kondisi-kondisi ini saling berhubungan satu sama lain.
Lebih lanjut, insomnia adalah ciri vital dan kriteria dari banyak gangguan psikiatris yang relatif
umum pada sampel populasi ini (seperti depresi mayor, PTSD, GAD). Pemahaman akan tumpang
tindihnya insomnia, depresi, kegelisahan dan masalah kognitif memiliki implikasi klinis yang
penting untuk mengobati pasien militer (perwira aktif) serta veteran, serta populasi yang lebih
luas dari individu yang mengidap insomnia. Membedakan efek unik dari insomnia dan gangguan
psikiatris dalam masalah kognitif akan membantu perancangan metode pengobatan yang efektif
serta memberikan informasi akan urutan pengobatan yang tepat. Baru-baru ini, beberapa studi
telah mulai menjelajahi masalah tumpang tindihnya gangguan psikiatris dan gangguan tidur
terhadap kemampuan kognitif, namun, temuan-temuan ini masih tidak konsisten. Contohnya, Yu
dan kolega pada 2016 menemukan interaksi yang signifikan antara tingginya kualitas tidur serta
performa kognitif pada individual dengan tingkatan gejala depresif yang ringan, sedangkan
hubungan yang sama tidak ditemukan pada individu dengan tingkatan gejala depresi yang tinggi.
Sebaliknya, Sutter dan kolega pada 2012 menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat
dikaitkan dengan performa kognitif yang lebih rendah pada individual dengan tingkatan depresi
subklinis yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berada pada tingkatan rendah. Studi
yang disebutkan tadi menyiratkan bahwa perbedaan individu pada tingkatan simtomatologi dari
depresi dapat berkontribusi pada temuan yang tidak konsisten dari hubungan antara kualitas
tidur dan fungsi kognitif. Hingga saat ini, belum ada studi yang menjelajahi apakah keberadaan
dari gangguan psikiatris yang umum ditemukan pada tentara/perwira militer aktif
memoderasi/menengahi hubungan antara gangguan tidur/insomnia dan disfungsi kognitif.
Terdapat beberapa alasan untuk memeriksa efek 'pelunakan' gangguan psikiatris ini. Pertama,
sebuah review oleh Waters dan Bucks pada 011 melaporkan bahwa hubungan antara kurangnya
tidur dan fungsi kognitif kemungkinan lebih kuat pada sebagian orang; penjelasan yang
memungkinkan dari perbedaan kerentana kognitif ini dapat berupa adanya gangguan psikiatris.
Kedua, interaksi antara insomnia dan gangguan psikiatrik dapat dikaitkan dengan
terpengaruhnya fungsi kognitif pada derajat yang lebih luas dibandingkan hanya salah satu dari
kedua gangguan ini yang dialami individu tersebut. Terakhir, kerentanan kognitif dari munculnya
gejala insomnia dapat dihubungkan dengan kerusakan yang spesifik dari gangguan psikiatris
pada perwira militer (aktif). Berdasarkan beberapa alasan ini, tujuan dari studi ini dapat
dijabarkan sebagai berikut: 1) untuk mengkarakterisasi prevalensi dari gangguan psikiatrik yang
ko-morbid dengan insomnia pada perwira militer aktif, dan 2) untuk menjelajahi kemungkinan
apakah gangguan psikiatrik benar memiliki efek menengahi hubungan antara gangguan seperti
insomnia dan gangguan-gangguan kognitif.
2. METODE

Sumber data dari studi ini adalah All Army Study (AAS) dari Army Study to Assess Risk and
Resilience in Service Members (STARRS). AAS adalah kuisioner cross-sectional yang dilakukan
sendiri, dimana dalam kasus ini AAS diambil dari periode 2011 hingga 2013. Untuk studi saat ini,
partisipan merupakan sampel representatif (N tidak berbobot = 21,449; N berbobot = 674,335;
13,5 persen merupakan wanita) dari tentara angkatan bersenjata Amerika Serikat yang direkrut
dari sampel kuartal dari personil total angkatan bersenjata yang aktif. Setiap replikat AAS kuartal
terdiri dari sampel bertingkat dari unit-unit angkatan bersenjata, dipilih tanpa pengganti dengan
ukuran sampel yang proporsional dengan kekuatan unit. Unit-unit ini dikecualikan dari studi
apabila mereka terdiri dari warga sipil atau memiliki kurang dari 30 tentara.

Partisipan kemudian menyetujui persetujuan tertulis untuk: (1) menyelesaikan kuisioner yang
mereka isi sendiri tersebut (SAQ; self-administered questionnaire), (2) memperbolehkan
pengaitan rekam jejak administratif Angkatan Bersenjata dan Departemen Pertahanan ke dalam
respon SAQ yang mereka terima, dan (3) untuk kemudian dikontak kembali mengenai
pengumpulan data lain di kemudian hari. Seluru prosedur studi disetujui oleh Komite Subjek
Manusia dari Uniformed Services University of Health Sciences dibawah Fondasi Henry M.
Jackson, Institut Penelitian Sosial dari University of Michigan, dan organisasi lain yang
berkolaborasi dalam studi ini.

2.1 Pengukuran

2.1.1 Insomnia

Status insomnia diukur berdasarkan Kuisioner Insomnia Singkat (BIQ); yang menilai frekuensi
dari gejala insomnia dalam 30 hari terakhir (jumlah malam perminggu). Pengukuran juga menilai
derajat fungsi kognitif yang terganggu oleh gangguan tidur ini pada siang hari (dalam 30 hari
terakhir), termasuk juga gejala-gejala seperti kelelahan di siang hari, masalah somatik,
perubahan mood, penurunan performa di sekolah maupun pekerjaan, dan kerentanan terhadap
kecelakaan berdasar skala Likert (1 = sangat mungkin hingga 5 = tidak sama sekali merasa
rentan). Kriteria DSM-5 diaplikasikan terhadap pengukuran ini untuk menentukan gangguan
insomnia (terhitung sejak 30 hari terakhir). Agar subjek dapat dikategorikan menderita insomnia,
mereka harus memenuhi kriteria berikut: 1) menunjukkan gejala-gejala insomnia selama 3
malam per minggu atau lebih, 2) masalah tidur yang mengganggu fungsi kognitif setidaknya
dalam frekuensi 'sangat mengganggu', dan 3) masalah gangguan tidur yang muncul setidaknya 3
bulan selama satu tahun terakhir.
2.1.2. Gangguan Psikiatrik

Seluruh partisipan menyelesaikan dengan sendiri versi dari Composite International Diagnostic
Interview Screening Scales (CIDI-SC; 2013), serta versi screening dari PTSD Checklist. Secara
keseluruhan, kami memeriksa keberadaan saat ini serta sepanjang hidup dari delapan episode
depresif mayor (MDE), gangguan stres pasca-traumatik (PTSD), panic disorder (PD), agorafobia
(AGO), fobia spesifik (SP), fobia sosial (SO) dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD); serta satu
gangguan yang tereksternalisasi: yaitu penyalahgunaan atau ketergantungan zat/obat-obatan
(SUB/D). Diagnosa dihasilkan tanpa hirarki diagnostik DSM-IV atau aturan eksklusi/pengecualian
organik. Baru-baru ini, studi klinis penaksiran kembali STARRS oleh Angkatan Bersenjata
menemukan kecocokan antara CIDI-SC dan diagnosa PCI yang dimodifikasi serta diagnosa klinis
independen berdasarkan Structured Clinical Interview untuk DSM-IV, dan bahwa estimasi akan
prevalensi CIDI-SC dan PCI adalah relatif tak bias terhadap estimasi dari SCID.

2.1.3. Masalah Kognitif

CIDI juga dilengkapi oleh partisipan untuk menilai masalah konsentrasi serta memori secara
terpisah. Partisipan diberi pertanyaan "seberapa seringkah selama 30 hari terakhir kamu
mengalami masalah-masalah dibawah ini?" (Skala dimulai dari 5 = Selalu atau hampir sepanjang
waktu, hingga 1 = tidak pernah sama sekali)

2.2. Analisis Data

IBM SPSS versi 21 digunakan untuk analisis data. Sistem terbobot yang diambil dari data
administratif (Ursano dan kolega, 2015) digunakan untuk analisis statistikal. Seluruh analisa
didasarkan dari sampel yang diberi bobot. Sebelum dimulainya statistika inferensial, seluruh
variabel yang dependen dinilai terlebih dahulu untuk menentukan deviasi dari asumsi yang
dibutuhkan (normalitas). Statistik deskriptif dilakukan untuk menentukan laju prevalensi dari
gangguan psikiatrik dan insomnia. Pearson's Chi-square Test digunakan untuk menilai hubungan
antara insomnia dan gangguan psikiatrik, sementara koefisien phi digunakan untuk menghitung
kekuatan dari asosiasi antara tiap variabel. Analisis korelasi point biserial juga dilakukan untuk
memeriksa apakah insomnia dan gangguan psikiatrik terkait dengan masalah-masalah memori
dan konsentrasi.

Analisis regresi hirarki digunakan untuk menguji interasi yang ada untuk menentukan apakah
gangguan psikiatrik memoderasi/menengahi hubungan antara gangguan insomnia dan masalah
kognitif lain. Dikarenakan faktor-faktor potensial lain yang saling berbaur (seperti status cedera
otak traumatik sedang/mTBI, penggunaan medikasi pereda rasa sakit, dan kondisi psikiatrik lain
seperti MDE atau PTSD atau GAD yang tidak dimasukkan dalam model-model analisa), kovariat-
kovariat dimasukkan dalam seluruh model. Variabel dependen untuk analisis regresi adalah
masalah memori dan konsentrasi. Model regresi yang terpisah dijalankan pada tiap variabel
dependen. Model-model juga dihasilkan untuk setiap gangguan psikiatrik secara terpisah (MDE
atau PTSD atau GAD). Maka dari itu, kovariat dimasukkan pada langkah 1, insomnia dan
gangguan psikiatrik spesifik lain dimasukkan pada langkah 2, dan interaksi insomnia serta tiap
gangguan psikiatrik lain dimasukkan pada langkah terakhir. Metode Bonferroni digunakan untuk
membetulkan beberapa perbandingan sekaligus, seperti p < 0,01 yang dianggap signifikan secara
statistik. Efek interaksi diteliti dan diterjemahkan menggunakan uji efek sederhana (Page, 2003),
yang memperbolehkan pengujian terhadap efek dari satu variabel independen oleh tiap kategori
dari variabel kedua.

3. Hasil

Gambar 1. Prevalensi dari gangguan psikiatrik saat ini dan seumur hidup pada perwira militer.
MDE = episode depresif mayor, PTSD = gangguan stres pasca-traumatik, GAD = gangguan
kecemasan umum, PD = gangguan panik, AGO = agorafobia, SP = fobia spesifik, SO = fobia
sosial, OCD = gangguan obsesif-kompulsif, SUB/D = penyalahgunaan atau ketergantungan obat-
obatan. Total dari N tidak berbobot = 21449, N berbobot = 674335.

Partisipan adalah perwira militer antara 18 dan 61 tahun (M = 29,5, SD = 7,9). Kira-kira, 66,3
persen dari total keseluruhan partisipan tergolong kulit putih, 16,3 persen berkulit hitam (Afro-
American), 3,6 persen berketurunan Asia, prajurit yang memiliki keturunan penduduk asli Pasifik
(Pacific Islander) sebesar 1 persen, 1,3 persen merupakan penduduk asli Alaska/memiliki
keturunan Indian Amerika, 4,1 persen mengidentifikasi dirinya sebagai multikultural (ras
campuran) dan 7,5 persen masuk ke dalam kategori lain-lain. Sekitar 34,5 persen diantaranya
menyelesaikan sekolah menengah/memiliki diploma GED, 32,5 persen telah menyelesaikan
program studi/sertifikasi teknik, 10,7 persen telah mendapatkan gelar diploma (associate
degree), 14,5 persen telah menyelesaikan program sarjana empat tahun, dan 7,8 persen telah
menempuh pendidikan graduate (bergelar magister) atau post-graduate (doktor). PTSD saat
ini/sementara (6,6 persen) dan yang tergolong seumur hidup merupakan gangguan psikiatrik
yang paling banyak ditemukan pada perwira militer, diikuti oleh MDE dan GAD. Kami
menemukan bahwa jumlah dari gangguan psikiatrik yang ko-morbid dengan gangguan lain
meningkat, prevalensi dari gangguan insomnia (INS) juga meningkat, seperti yang terjadi pada
individu dengan satu gangguan psikiatrik yang ko-morbid, sekitar 67,8 persennya mengalami
insomnia, dan diantara individu-individu yang memiliki dua gangguan psikiatrik yang ko-morbid
satu dengan lainnya, 83 persen mengalami gangguan insomnia. Untuk individu dengan 3
gangguan psikiatrik yang ko-morbid, 96,8 persen memiliki insomnia, dan bagi yang memiliki 4
gangguan psikiatrik yang saling ko-morbid, keseluruhannya mengaku mengalami insomnia.
Prajurit militer yang terdiagnosa MDE memiliki prevalensi tertinggi akan gangguan insomnia (85
persen), diikuti dengan GAD (82,6 persen) dan PTSD (69,7 persen). Analisa Chi-square
menunjukkan keterkaitan yang signifikan antara gangguan insomnia dan MDE (MDE ( 2 (1, N
berbobot = 29674) = 6766,95, p <.001, phi = 0,478), GAD (2 (1, N berbobot = 29674) = 5132,80,
p < 0,001, phi = 0,416), dan PTSD (2 (1, N berbobot = 29674) = 3929,70, p < 0,001, phi = 0,364).
Keterkaitan yang signifikan juga ditemukan antara insomnia dan defisit memori/konsentrasi,
MDE dan masalah memori/konsentrasi, GAD dan defisit memori/konsentrasi, serta PTSD dan
masalah memori/konsentrasi.

Gambar 2. Prevalensi dari gangguan psikiatrik saat ini yang ko-morbid dengan gangguan
insomnia pada prajurit militer, MDE = episode depresif mayor, PTSD = gangguan stres pasca-
traumatik, GAD = gangguan kegelisahan umum, PD = gangguan panik, SUB/D =
penyalahgunaan atau ketergantungan zat/obat-obatan.

Dikarenakan MDE, PTSD dan GAD saat ini memilikik prevalensi tertinggi akan munculnya
gangguan insomnia, kami menelisik hubungan antara insomnia dan masalah terhadap
memori/konsentrasi pada gangguan-gangguan yang telah disebutkan sembari mengatur
kovariat-kovariat (seperti status mTBI, penggunaan medikasi, dan gangguan psikiatrik lain). Pada
model yang menganalisa MDE, hasil mengindikasikan bahwa terdapat interaksi signifikan antara
insomnia dan MDE pada defisit memori dan konsentrasi. Analisis efek sederhana dari INS
(insomnia) pada tiap tingkatan dari MDE menunjukkan efek yang signifikan dari INS kepada
mereka yang memenuhi kriteria dari MDE dan pada mereka yang tidak memenuhi kriteria MDE,
hal ini menyiratkan bahwa dampak dari insomnia pada konsentrasi serta memori/ingatan
signifikan baik pada individu yang mengidap MDE maupun yang tidak.

Dalam model yang menyelidiki PTSD, temuan-temuan yang ada menunjukkan interaksi signifikan
antara INS dan PTSD terhadap masalah pada memori/ingatan dan konsentrasi. Analisis efek
sederhana dari INS pada tiap tingkatan dari PTSD mengindikasikan bahwa nilai mean dari INS
sangat berbeda dengan mereka yang memenuhi dan yang tidak memenuhi kriteria dari PTSD, hal
ini menandakan bahwa efek dari insomnia pada masalah memori/ingatan dan konsentrasi sangat
signifikan terlepas dari keadaan/derajat keparahan PTSD-nya.

Pada model yang menganalisa GAD, hasil menunjukkan interaksi yang signifikan antara insomnia
dan GAD pada masalah memori/ingatan dan konsentrasi. Menguji efek sederhana dari INS pada
tiap tingkatan GAD akan menghasilkan efek yang signifikan dari INS terhadap mereka yang
memenuhi kriteria dan yang tidak memenuhi kriteria GAD, hal ini merupakan pertanda bahwa
pengaruh insomnia pada defisit terhadap ingatan dan konsentrasi signifikan pada mereka yang
terdiagnosa GAD maupun yang tidak.

4. DISKUSI

Gambar 3. Hubungan antara insomnia dan masalah konsentrasi/ingatan yang dimoderasi oleh
episode depresif mayor (MDE).

Studi saat ini menganalisa prevalensi dari gangguan psikiatrik serta hubungannya dengan
gangguan insomnia pada perwira militer, dan menyelidiki peran dari gangguan psikiatris dalam
hubungan antara insomnia dan gangguan kognitif. Secara keseluruhan, temuan-temuan yang ada
mengindikasikan bahwa insomnia seringkali ditemukan pada perwira militer dengan gangguan
psikiatrik yang ko-morbid. Khususnya, kami menemukan bahwa perwira militer yang sedang
mengalami sindrom MDE memiliki angka prevalensi insomnia tertinggi (85%), diikuti gangguan
kegelisahan umum (generalized anxiety disorder, 82,6%) dan gangguan stres pasca-traumatik
(69,7%). Angka-angka yang tinggi ini konsisten dengan temuan sebelumnya yang menyatakan
bahwa hampir 90 persen dari pasien depresi mayor, sekitar 70% persen pasien PTSD dan lebih
dari 50 persen pasien GAD, memiliki kesulitan untuk tidur, mempertahankan tidurnya dalam
waktu yang lama atau merasa tidak cukup tidur. Kami juga menemukan bahwa jumlah dari
gangguan psikiatrik ko-morbid meningkatkan prevalensi dari gangguan insomnia. Temuan ini
khususnya relevan untuk perwira/prajurit militer yang memiliki beberapa ko-morbiditas
sekaligus. Dalam pandangan mengenai hubungan yang siklis antara insomnia dan penyakit
kejiwaan dan efek buruknya pada aspek fungsional tubuh, pengobatan insomnia, bersamaan
dengan penatalaksanaan dari penyakit psikiatris dapat meningkatkan kualitas hidup dan
memperbaiki fungsi (kognitif).

Gambar 4. Hubungan antara insomnia dan masalah terhadap memori/ingatan dan konsentrasi
yang dimoderasi oleh PTSD (gangguan stres pasca-traumatik).

Penyelidikan-penyelidikan independen telah menunjukkan bahwa baik insomnia dan gangguan


psikiatrik berkaitan erat dengan masalah pada fungsi kognitif pasien. Dalam studi ini, bahkan
apabila terdapat variabel potensial lain yang saling berbaur (contohnya status status mTBI,
penggunaan obat pereda rasa sakit, dll), diagnosa MDE, PTSD dan GAD cenderung menengahi
hubungan antara insomnia dan gangguan kognitif. Meskipun keterkaitan antara insomnia dan
masalah pada ingatan/memori dan konsentrasi cenderung signifikan pada individu yang
terdiagnosa serta yang tidak terdiagnosa MDE, PTSD dan GAD, keterkaitan ini sangatlah kuat
terhadap individu yang tidak menderita gangguan psikiatris apapun dibandingkan mereka yang
mengidapnya. Hingga saat ini, hanya terdapat dua studi yang telah melaporkan peran gejala-
gejala depresif yang menengahi hubungan antara gangguan tidur dan gangguan kognitif, namun
dengan temuan yang tidak konsisten. Dalam studi pertama, kualitas tidur yang buruk dikaitkan
dengan performa kognitif yang lebih rendah, khususnya fungsi eksekutif otak pada individu yang
memiliki tingkatan depresi subklinis yang tinggi dibandingkan dengan tingkatan yang rendah.
Pada penelitian kedua, kualitas tidur yang buruk dikaitkan dengan fungsi kognitif yang buruk
khususnya pada ingatan yang terlambat, pemburukan kemampuan berbahasa, serta keadaan
kognitif khusus pada individu dengan gejala depresif yang rendah tingkatannya dibandingkan
dengan individu yang memiliki gejala depresif dalam tingkat yang tinggi. Temuan-temuan kami
sebagian mendukung studi yang telah terlebih dahulu diadakan Yu dan kolega serta Sutter dan
kolega. Khususnya, kami menemukan bahwa insomnia dapat dikaitkan dengan performa kognitif
yang lebih buruk baik dalam keberadaan dan ketiadaan episode depresif mayor. Perbedaan dari
temuan-temuan kemungkinan dapat dikarenakan heterogenitas dari domain kognitif yang kami
periksa (sebagai contoh, bukan masalah ingatan dan konsentrasi yang diteliti melainkan fungsi
eksekutif dan akuisisi bahasa) serta manifestasi dari insomnia (contohnya, bahasan akan kualitas
tidur dibandingkan pembahasan akan kriteria diagnosis dari gangguan insomnia itu sendiri).

Gambar 5. Hubungan antara insomnia dan masalah memori/konsentrasi yang


dimoderasi/ditengahi oleh gangguan kecemasan umum (GAD).

Sementara banyak studi dari pengaruh insomnia pada fungsi kognitif dalam gangguan psikiatris
umumnya berfokus pada depresi mayor, studi ini mencakup pula literatur sebelumnya dengan
menganalisa hubungan ini dalam konteks PTSD dan GAD. Insomnia umumnya dikaitkan dengan
masalah pada bagian ingatan/memori dan konsentrasi pada individu yang memiliki dan yang
tidak memiliki PTSD serta GAD. Apabila digabungkan, terlihat bahwa selama episode depresif
berlangsung, atau dalam keberadaan antara GAD ataupun PTSD, efek dari gangguan psikiatrik
pada fungsi kognitif dapat melebihi efek serupa yang dihasilkan oleh insomnia. Namun,
dikarenakan kompleksitas dari kondisi-kondisi psikiatris yang seringkali muncul sekaligus pada
perwira militer, model mediasi/moderasi alternatif kemungkinan akan lebih relevan terhadap
situasi ini. Sebagai contoh, gangguan tidur yang dilaporkan oleh pasien menjembatani hubungan
antara gangguan stres pasca-traumatis dan output kognitif pada veteran yang terekspos
pemboman di medan pertempuran. Studi lain menunjukkan bahwa tingkatan yang lebih tinggi
dari durasi tidur (yang didapat lewat metode polisomnografik) dapat mengurangi munculnya
momen-momen kehilangan konsentrasi sesaat yang dikaitkan dengan gejala stres pasca-
traumatik. Karena sifat cross-sectional dan kurangnya hubungan temporal dalam studi ini, kami
tidak dapat mengevaluasi apakah insomnia memoderasi hubungan antara diagnosa psikiatrik
dan masalah kognitif. Dikarenakan luasnya derajat heterogenitas yang inheren dalam
kebanyakan profil dari fungsi kognitif serta presentasi gangguan psikiatris dan insomnia, terdapat
kemungkinan bahwa defisit dari fungsi kognitif (yang terlihat jelas dalam gangguan psikiatris)
merupakan kombinasi dari disfungsi endogen serta yang dimediasi oleh tidur, hal ini merupakan
area yang harus diteliti dalam penelitian berikutnya.

Penyelidikan di masa depan menggunakan data longitudinal juga dapat membantu membuat
kerangka implikasi klinis dari hasil penelitian ini. Temuan kami menyarankan bahwa memperbaiki
tidur (kualitas, dll) terhadap prajurit militer dengan atau tanpa adanya diagnosa MDE, GAD atau
PTSD dapat memperbaiki konsentrasi dan memori pasien tersebut, adapun masih belum jelas
apakah perbaikan terhadap kualitas tidur dapat memberikan hasil yang sama kepada
prajurit/perwira militer dengan diagnosa-diagnosa psikiatrik yang ko-morbid. Terdapat bukti
bahwa pengobatan dengan metode CBT-I (Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia) dapat
dihubungkan dengan perbaikan fungsi kognitif. Penelitian berikutnya di masa depan pada area
ini dapat memberikan kejelasan akan program rehabilitasi kognitif serta intervensi terapeutik
yang tepat akan kondisi tersebut. Dikarenakan terdapatnya angka yang tinggi dari insomnia pada
sampel yang kami kumpulkan, serta keterkaitannya denga masalah pada memori/ingatan dan
konsentrasi, pengobatan terhadap gangguan tidur di militer sangat dibutuhkan, khususnya
dikarenakan gangguan terhadap ingatan dan konsentrasi dapat dikaitkan dengan konsekuensi
hidup atau mati dalam prajurit/perwira militer yang aktif. Sejalan dengan hal ini, identifikasi dini
serta pengobatan terhadap MDE, GAD dan PTSD pada prajurit/perwira yang aktif di medan
perang dibutuhkan tak hanya untuk memperbaiki kualitas hidup subjek, namun untuk mencegah
kesalahan performa di medan tempur yang dapat berujung fatal. Mengatasi insomnia dapat
meningkatkan ketahanan dan kemampuan untuk melakukan dan bertahan dari kompleksitas
yang ada di medan perang.

Studi ini memiliki beberapa kekuatan yang penting, termasuk sampel representatif yang besar,
dan cukup untuk menangani analisis moderasi, serta analisis dari dampak GAD serta PTSD dalam
hubungan antara insomnia dan gangguan kognitif. Adapun terdapat beberapa batasn. Pertama,
status insomnia didasarkan akan pengisian kuisioner oleh partisipan itu sendiri, dan meskipun
penentuan gangguan insomnia didasarkan dari perkiraan terhadap kriteria-kriteria DSM, hal ini
bukan merupakan substitusi yang tepat untuk menggantikan diagnosa klinis yang dihasilkan oleh
dokter secara langsung. Kedua, diagnosa psikiatrik uga didasarkan oleh skala yang dilaporkan
sendiri oleh responden/partisipan, bukan dari interview/tinjauan klinis. Ketiga, studi ini tidak
menyertakan pengujian neurokognitif, dan poin-poin yang ditanyakan lewat kuisioner terhadap
partisipan studi ini kemungkinan tidak benar-benar dapat merefleksikan keadaan dari domain
fungsi kognitif yang dimaksud. Terakhir, sifat cross-sectional dari studi ini membatasi
kemampuan kami untuk menentukan hubungan kausal antara insomnia, diagnosa psikiatrik dan
defisit kognitif. Penelitian longitudinal di masa depan yang menganalisa hubungan kompleks
antara insomnia dan gangguan psikiatris dengan mempertimbangkan aspek neurokognitif
objektif serta pengujian terhadap performanya sangatlah dibutuhkan.

5. KESIMPULAN

Gangguan psikiatrik memoderasi hubungan antara insomnia dan gangguan terhadap


ingatan/memori dan konsentrasi. Hasil yang kami temukan menggarisbawahi pentingnya
mempertimbangkan diagnosa akan gangguan psikiatris dalam pengobatan defisit kognitif pada
prajurit militer yang mengalami insomnia, hal ini dikarenakan pengobatan terhadap insomnia
saja belum cukup untuk memperbaiki fungsi kognitif pada prajurit dengan diagnosa-diagnosa
psikiatrik ko-morbid ini. Studi ini juga menyoroti lebih lanjut kebutuhan akan penanganan
gangguan tidur serta penyakit psikiatrik pada perwira militer untuk lebih memperbaiki fungsi
kognitif lagi.

Peran dari Sumber Pendanaan

Proyek ini didanai oleh Departemen Angkatan Bersenjata dibawah perjanjian kooperatif
D01MH087981 dengan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat,
Institut Kesehatan Nasional dan Institut Nasional Kesehatan Mental.

Pengakuan

Publikasi ini didasarkan akan penggunaan publik dari data yang diambil dari Army Study to
Assess Risk and Resilience in Service-members (Army STARRS). Data ini tersedia dari lembaha
Konsorsium Antar-Universitas untuk Penelitian Politik dan Sosial (ICSPR) di University of
Michigan. Army STARRS didanai oleh U.S National Institute of Mental Health. Konteks dari
publikasi ini merupakan tanggung jawab langsung dari penulis dan tidak mewakili pandangan
dari penyidik Army STARRS, pihak pemberi dana, Departemen Angkatan Bersenjata atau
Departemen Pertahanan.

Anda mungkin juga menyukai