Anda di halaman 1dari 38

TUGAS

ETIKA DAN KODE ETIK KESEHATAN

EUTHANASIA

HARIATY BURHAN

1412090251

KELAS W.6

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR,

2009

Makalaheuthanasia Page 1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, karena atas
berkat, rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya lah sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah Agama dengan judul EUTHANASIA
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini disusun sebagai syarat melengkapi tugas Etika dan Kode Etik
Kesehatan Semester I tahun ajaran 2009/2010. Dalam penyusunan makalah ini,
penulis telah banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dr.H.A.M. Multazam Mustari,M.Kes. selaku dosen pengajar Etika dan


Kode Etik Kesehatan.

2. Pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu


dalam penyusunan tugas makalah ini.

Kami sebagai penulis mengaku bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh
karena itu, sumbang saran dan kritik yang sifatnya membangun senantiasa saya
harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan. semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Akhirul kalam ... wabilahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Makassar, 12 Desember 2009

Penulis

Makalaheuthanasia Page 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1


KATA PENGANTAR................................................................................... 2
DAFTAR ISI ............................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang... 4
1.2 Permasalahan 5
1.3 Tujuan. 6
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 7
2.1 Sejarah Euthanasia.. 7
2.2 Pengertian Euthanasia.... . 8
2.3 Bagian Euthanasia... . 9
2.4 Kriteria Mati. 10
2.5 Euthanasia dalam Beberapa Pandangan . 11
1.Pandangan Agama 11
2.Pandangan Beberapa Negara . 20
2.6 Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran .. 26
BAB III PENUTUP ................................................................................... 31
A. Kesimpulan ............................................................................ 31
B. Saran-saran ........................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA. 33
LAMPIRAN.. 34

Makalaheuthanasia Page 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai


euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.

Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan


bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya
dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu
alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk
sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera
diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia
beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya,
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat oleh manusia.

Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang
dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut
adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam
pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP). Di Negara-negara Eropa
(Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang
diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam
melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.

Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana
luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak
dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu

Makalaheuthanasia Page 4
mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan
medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi
untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.

Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan


pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah
penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan
dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh
biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus
diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan
proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.

Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang


diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke
Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami
koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan
euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan
dinyatakan sehat oleh dokter.

Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia


sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

1.2 Permasalahan

Menyangkut fenomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan


yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini
penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab
berikutnya antara lain ;

1. Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan


kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi
disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat tangan?

Makalaheuthanasia Page 5
2. Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut
persepektif hukum Pidana Indonesia?

1.3 Tujuan

Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk :

1. Mengetahui Euthanasia dalam perspektif Medis

2. Mengetahui Euthanasia perspektif Hukum

3. Mengetahui Euthanasia dalam perspektif Agama

4. Mengetahui Kode etik euthanasia di beberapa negara serta di Indonesia, dan

5. Mengetahui Konsep Euthanasia

Tujuan Khusus Dalam penyusunan Makalah ini Adalah Untuk:

- Menyelesaikan tugas Etika dan Kode Etik Kesehatan sebagai kelengkapan


tugas semester 1,tahun ajaran 2009/2010.

Makalaheuthanasia Page 6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Euthanasia

Dalam Lingkup budaya Yunani-Romawi Kuno Pemahaman eutanasia dalam


era ini dapat dilihat dalam beberapa pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos,
seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300an sebelum Masehi, menulis dalam
karyanya, Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang
lebih baik daripada kematian yang baik. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup
sekitar tahun 20 BC 50 AD, mengartikan euthanasia sebagai kematian tenang dan
baik (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli
sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi. Dalam tulisannya tentang Kaisar
Agustus, ia mengatakan demikian: Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang
selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi
dirinya dan bagi keluarganya eutanasia bila mendengar bahwa seseorang dapat
meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya (Divus
Augustus 99).

Zaman Renaissanse pandangan tentang eutanasia diwakili oleh pendapat


dari Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis,
mengajukan gagasan eutanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya
memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga
untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu
dimasuki gagasan eutanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau
meninggal dunia. Thomas More dalam The Best Form of Government and The
New Island of Utopia yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk
mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti
makan atau dengan racun yang membiuskan.

Pada abad XVII-XX David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi


tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of
the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya
mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan eutanasia.

Makalaheuthanasia Page 7
Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan
masalah eutanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum
pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan eutanasia sebagai pembunuhan
atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya
yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig
1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman
Hittler. Propaganda agar negara mengahkiri hidup yang tidak berguna (orang cacat,
sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan
dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.
Hingga dewasa ini Di Belanda, pengadilan Lwuwarden 21 Februari 1973
menjatuhkan pengadilan simbolis seminggu penjara atas dokter Geertruide Postma
Van Boven yang pada tanggal 19 Oktober 1971 atas permintaan ibunya sendiri yang
berusia 78 tahun dan sakit tak tersembuhkan mengahkiri hidup ibunya dengan
memberikan 200 mg morfin.
Di Amerika, Br. Joseph Charles Fox, tanggal 2 Oktober 1983 sewaktu menjalani
operasi hernia, pernafasannya terhenti dan mengakibatkan anoxia celebral batang
otak. Ia dibantu dengan respirator. Para dokternya menyimpulkan, ia dalam kondisi
permanent Vegetative Stage (PVS). Superiornya, Philip K. Eichner, setelah
berkonsultasi dengan sanak saudara Br. Fox minta penghentian respirator. Rumah
sakit dan distrik Attorney menolak tetapi Supreme Court mengabulkannya.

2.2 Pengertian

Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya
adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa
muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan
pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah
tidak sadar). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut. Jadi, secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya. Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan

Makalaheuthanasia Page 8
tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul
Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita.

2.3 Bagian Euthanasia

Ditinjau dari cara pelaksanaannya Euthanasia dibagi menjadi :

Euthanasia aktif (euthanasia agresif) adalah tindakan dokter mempercepat


kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau
sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak
mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang
memang sudah parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas


dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal
ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang


menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien
yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan
dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai
dana pengobatan yang sangat tinggi.

Makalaheuthanasia Page 9
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru
yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian,
jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.

Eutanasia non agresif atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia


otomatis) yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien
menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan
sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu
praktek eutanasia pasif atas permintaan.

2.4 Kriteria Mati

Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena
jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata
digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak
kepala.

Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung


terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr.
Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak,
penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup
seseorang sudah terputus.

Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu
kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian
batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf
penggerak motor semua saraf tubuh. Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua
Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak
menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.

Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya
seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan
sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut,

Makalaheuthanasia Page 10
jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi
orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra
dan hati.

Kriteria yang dikemukakan fuqaha yaitu kriteria pertama dan kedua masih
belum menjamin, karena sering orang tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat
comma. Sedangkan kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu
vitalitas otak. Kerusakan organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria keempat,
sulit dideteksi dengan menggunakan alat canggih.

Keempat kriteria dapat diterapkan di tempat yang tidak ada alat ukur seperti
disebutkan Prof. Mahar.

2.5 Euthanasia dalam Beberapa Pandangan

1. Euthanasia dalam Pandangan Agama

Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk


memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja
mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran
iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia")
yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi
eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus
II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik
Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana
jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban
yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia

Makalaheuthanasia Page 11
merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas
kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung"
(Evangelium Vitae, nomor 66).

Dalam ajaran agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada


ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu
konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik
maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.
Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi
penghalang "moksa" yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi
suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip
"anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.

Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang
mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga
untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh


diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa
waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya
waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun
maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya
masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke
dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

Makalaheuthanasia Page 12
Dalam ajaran agama Buddha

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan


dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut
diatas maka nampak jelas bahwa Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat
menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara
tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran
Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang
terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang
tersebut.

Dalam ajaran Islam

Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup


banyak ayat Al-Quran maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati
dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi
manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.

Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau nafs itu
adalah :

a. Surat Al-Hijr ayat 23 :

Artinya :

Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan,


dan kami (pulalah) yang mewarisi.

b. Surat Al-Najm ayat 44 :

Artinya :

Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.

Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa
milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan
Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan
jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).

Makalaheuthanasia Page 13
1. Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati

Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :

a. Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman


terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syari).

b. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata


maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material (rukun
maddi).

c. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-


jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun
abadi).

Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek
tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk
mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan
pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).

Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan


berikut :

1. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi
menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama.
Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu
bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya
matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih nyaman yaitu melalui
euthanasia.

2. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.

3. Kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan


dokter untuk mempercepat kematian pasien.

Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang
bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam
surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-Anam : 151).

Artinya :

Makalaheuthanasia Page 14
Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar.

Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan


(mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu
dari 3 sebab :

1. Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.

2. Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.

3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah
Islam.

Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau
diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh
Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan
menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh
karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.

Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya


hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang,
bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan
pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai
suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Bahwa perintah
korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.

Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah


menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada
keluarga. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan
kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.

Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien


sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi
kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ
utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar,
bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien
yang berada di RS yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien berada di RS yang
sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang

Makalaheuthanasia Page 15
disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap.
Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya.
Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian
pasien.

Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan
terhenti pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi
jantung masih berdenyut. Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan.
Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan,
umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu
jantung, saluran infus dsb. Maksudnya hanya sebagai langkah menyempurnakan
kematian.

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam


mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri
diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun
Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat
yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS
2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu
sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang
Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi
pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak
ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Makalaheuthanasia Page 16
1. Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan


memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter
dengan mempergunakan instrumen (alat).

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak


diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan
suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk
pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan.

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan


meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan
kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah
ditetapkan-Nya.

2. Eutanasia negatif

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia


negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk
memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta)
dan hukum sebab-akibat.

Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa
mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha
dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang

Makalaheuthanasia Page 17
mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian
ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

Dalam ajaran gereja Ortodoks

Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang


beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan
alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih,
iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah
merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah
sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang
diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap
prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.

Dalam ajaran agama Yahudi

Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan


menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya
lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik
sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah
tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan
suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.

Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab
Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi : "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa
kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya,
dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang
buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada
larangan tindakan eutanasia.

Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki


pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan
orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Makalaheuthanasia Page 18
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :

Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya


menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan
penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan
hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".

Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi


sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia
dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya
bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke
kehidupan yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf
untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia
perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam


menanggapi masalah "bunuh diri" dan pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian
Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Makalaheuthanasia Page 19
2. Pandangan Euthanasia dalam Beberapa Negara

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang


mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal
1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang
melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan
tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu
ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam


majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,
sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang
belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus
tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia


dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi
ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang
disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-
undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh
keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

Makalaheuthanasia Page 20
Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September


2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia
setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia
dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan
eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan
"birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (
setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien
yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-
saat akhir hidupnya.

Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat


ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-
undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-
syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke
atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal
dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana
dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali
secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki
hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan
diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil
keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur
secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak

Makalaheuthanasia Page 21
boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa


depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama
tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia.

Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan


yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan
yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan
pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal
hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia
oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004. menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa
penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum,

Makalaheuthanasia Page 22
pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun
1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa
"membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan
melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri." Pasal
115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania


Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan
sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar
dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir
cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi
eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara
saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi
praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu
tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain
daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris
(British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam
bentuk apapun juga.

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi
di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai

"eutanasia pasif" (, shkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi

terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang

dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (, sekkyokuteki anrakushi).

Makalaheuthanasia Page 23
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu
kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan
pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan
selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana
dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas
kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding
ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan


berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospil bermaksud untuk memasukkan eutanasia
dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum
negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.

India

Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai


larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama
pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC)
tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia
hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan
bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304
IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana
sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah
membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus
eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di
luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.

Makalaheuthanasia Page 24
China

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia


diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan
permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme
People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang
Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam
kesakitan.

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur
tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia
untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.

Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia
di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea
dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang
didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang
menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan
bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini
tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata
eutanasia aktif.

Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia

Makalaheuthanasia Page 25
pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari
perawatan medis terhadap dirinya.

2.6 Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran

Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan
Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga
bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja.

Ini merupakan perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal


yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai
belahan dunia maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai
asing (di luar kebiasaan/norma-norma komunitasnya).

Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah


sebuah kemajuan berfikir, namun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami
oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga
terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri
bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah persoalan
euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif
memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat
membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah
kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan
atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana
secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan :

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.

Makalaheuthanasia Page 26
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia
tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks
hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup
seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap
dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan
pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus


permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini
(kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan
terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti
Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual
dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam
KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur
dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin)
untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan,
Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ketentuan
Pasal 340 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP
yang juga mengancam terhadap Penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum.Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP
khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP
dinyatakan : Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

Makalaheuthanasia Page 27
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika


mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam
konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang
terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.

Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian


mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk
menggagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang
yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan
bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk
perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong
pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"


dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu
terjadi di Indonesia?

Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan


tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum,
praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi
baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia

Makalaheuthanasia Page 28
mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan
kewajiban menghormati dan membela kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara
Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur
dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi :

Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan
sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat
pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara
berat dari lima sampai sepuluh tahun.
Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah
jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara
wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.

Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : Barang siapa menghilangkan jiwa


orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun.

Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,
apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga
yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum.

Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi
ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. Dokter bisa diberhentikan dari
jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup makhluk insani.

Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :

a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

Makalaheuthanasia Page 29
b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman
tidak akan mungkin sembuh lagi.

Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan


kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia
(pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Makalaheuthanasia Page 30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai


berikut :

1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu,
orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan
dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah
perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman
neraka selama-lamanya.

2. Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran,
Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya
dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang
melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan
dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang
sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.

3. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien


berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan
kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran
sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam
kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.

B. Saran-saran

Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya


euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :

Makalaheuthanasia Page 31
1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih
baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit
yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :

a. Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke


rumah.

b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud


melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.

2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang


memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan
yang datang dari Allah.

3. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah
jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses
kematian bisa dihindari.

Makalaheuthanasia Page 32
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2008.Euthanasia dalam Medis dan Pidana. http://www.lawskripsi.com/index.php?


option=com_content&view=article&id=97&Itemid=97, diakses 3 Agustus 2010

Anonim.2010.Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. http://www.scribd.com/doc/


26876842/Hukum-Euthanasia-Dan-Kode-Etik-Kedokteran, diakses 3 Agustus 2010

Anonim.2009.Euthanasia. http://mytaste.wordpress.com/euthanasia/, diakses 2 Agustus 2010

Iwan.2004.Seputar Euthanasia. http://www.mentaritimur.com/mentari/oct04/euthanasia.htm,


diakses 3 Agustus 2010

Lebaron.Garn.2010.The Etics of Euthanasia. http://www.quantonics.com/The_Ethics_of_


Euthanasia_ By_Garn_LeBaron.html, diakses 2 Agustus 2010

Rachmanto.Teguh.2008.Menggugat Etika Euthanasia. http://nasional.inilah.com/read/detail/


18807/menggugat-etika-euthanasia, diakses 2 Agustus 2010

Makalaheuthanasia Page 33
LAMPIRAN

GAMBAR 1

Alat yang digunakan dokter untuk mengakhiri hidup pasiennya.

Makalaheuthanasia Page 34
GAMBAR 2

Pertama kali di dunia, seorang yang menjalani euthanasia (bunuh diri dibantu
medis) disiarkan British TV. Swiss memang merupakan satu satunya negara di
dunia yang melegalkan euthanasia atau bunuh diri yang dilakukan atas permintaan
baik pasien atau kaluarga karena suatu sebab yg tak dapat dielakkan.

GAMBAR 3

Keterangan:Suatu pasien sedang


mengalami perawatan pereda
dan merasa sakit. Ramalan
adalah lemah(miskin, dan ia
mungkin hanya mempunyai
beberapa bulan-bulan
dininggalkan. Semua manajemen
berhub dg pembedahan dan
medis sudah dijelajahi. Sebagai
suatu dokter, aku bisa mengambil
bagian di PAS, mengatur dosis
tinggi IV morfin untuk bergegas
kematian dan mengurangi nyeri
.Dokter-dokter secara umum
dilindungi di dalam kasus-kasus

Makalaheuthanasia Page 35
ini di bawah prinsip yang dibentuk/mapan dari pengaruh yang ganda, dalam mana
tindakan nya menghasilkan dua barang kepunyaan yang tidak dapat dipisahkan:
satu yang baik (nyeri pembebasan) dan satu yang tidak baik (pemberian obat
penenang candu dengan tujuan untuk kematian) .

GAMBAR 4

GAMBAR 5

Makalaheuthanasia Page 36
GAMBAR 6

GAMBAR 7

Makalaheuthanasia Page 37
Ramesh tidak menginginkan untuk tinggal apalagi hidup karena menderita
AIDS sindrom defisiensi imun dapatan dan sudah menjual kebanyakan dari tanah
pertaniannya untuk perawatan nya. Tetapi ia harus tinggal. permintaannya kepada
President dari India untuk mengizinkan[membiarkan dia untuk mengakhiri hidupnya
sendiri).

Makalaheuthanasia Page 38

Anda mungkin juga menyukai