Anda di halaman 1dari 33

SEMINAR

ILMU KEDOKTERAN JIWA

Pembimbing:

Soetjipto, dr., Sp.KJ

BAGIAN/SMF PSIKIATRI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOETOMO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2014
2

Disusun oleh :

1. Christopher Njotokusgito 010911157

2. Karin Dhia Fahmita 010911158

3. Arif Ismudianto 010911159

4. Stevani Meiliana Wijaya 010911161

5. Idia Mawadda 010911162

6. Dini Nur Aini 010911163

7. Ridwan Yasin 011011020

8. Erwin Kurniawan 011011052

9. Astry Ayunda 011011063

10. Mukhlis Aziz 011011080

11. Wahyu Nur Faizah 011011117

12. Olivia Listiowati P 011011148

13. Dia Inda Amalia 011011178

14. M Syamsul Qomar 011011180

15. M Deyu Wisnubrata 011011206

16. Aliy Akbar Hasan AB 011011207

17. Alvira Aisyah AA 011011220

18. Adelia Lavenialita 011011237

19. Annisa Karima 011011238


3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan-kemajuan yang dicapai pada era reformasi cukup memberikan
harapan yang lebih baik, namun di sisi lain masih ada masalah yang memprihatinkan
khususnya menyangkut perilaku sebagian generasi muda yang terperangkap pada
penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya), baik
mengkonsumsi maupun mengedarkannya (Sutiyoso, 2008). Penyalahgunaan dan
pengedar gelap narkoba merupakan masalah global dan menjadi ancaman serius bagi
bangsa dan Negara. Saat ini, di dunia sudah lebih dari 200 juta orang menggunakan
Narkotika dan obat-obatan terlarang. Masalah penyalahgunaan narkoba yang terjadi
di dunia didominasi oleh Amfetamin seperti ekstasi. Masalah penyalahgunaan
NAPZA di Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh opium, sekarang cenderung
bergeser pada Amfetamin seperti ekstasi dan shabu-shabu (Hidayati, 2009).
Metamfetamin merupakan golongan obat simpatomimetik yang menstimulasi sistem
saraf pusat dan menekan nafsu makan. Metamfetamin sebagai obat yang memiliki
efek stimulansia, memiliki cara kerja dengan meningkatkan kadar dopamine di dalam
otak. Dopamin adalah zat kimia (atau neurotransmiter) yang berhubungan dengan
kesenangan, pergerakkan, dan perhatian. metmfetamin banyak disalahgunakan untuk
meningkatkan performa dan untuk tujuan rekreasional. Pada tahun 2009, 2,8 juta
masyarakat Amerika yang berumur 12 tahun menyalahgunakan metmfetamin
sekurang -kurangnya sekali dalam setahun (Substance Abuse and Mental Health
Services Administration, 2012). Dari penelitian yang dilakukan oleh National
Institute of Drug Abuse (NIDA)-funded 2010 Monitoring the Future Study
menunjukkan bahwa 2,4 % siswa tingkat 8, 4,7% siswa tingkat 10, dan 4,5% siswa
tingkat 12 penyalahgunakan metmfetamin sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2005 adalah
1,55%, meningkat menjadi 1,99% pada tahun 2008, mencapai 2,4% pada tahun 2010,
dan diperkirakan akan mencapai 2,8% (5,6 juta) pada tahun 2015 apabila tidak
4

ditangani secara serius (Instruksi Presiden, 2011). Bentuk sediaan obat metamfetamin
adalah tablet dan injeksi. Efek metamfetamin akan lebih cepat muncul apabila tablet
digerus, kemudian dihirup maupun disuntikkan. Penggunaan metamfetamin akan
menimbulkan gangguan kesehatan dan gangguan mental. Gangguan terhadap
kesehatan, seperti kerusakan jantung, paru-paru, ginjal, otak, hati, susunan saraf,
organ reproduksi, risiko penularan HIV/AIDS, dan lain sebagainya. Gangguan
terhadap mental, seperti : perubahan sikap dan perilaku, gelisah, cemas, takut, curiga,
panik, bingung, mudah emosi, agresif, gangguan daya ingat, gangguan kesadaran, dan
malas (Handly, 2012). Keracunan metamfetamin akan menimbulkan gejala seperti
peningkatan atau penurunan kecepatan detak jantung, mual, muntah, dilatasi pupil,
hipertermia, penurunan berat badan yang signifikan, retardasi psikomotor, stress
respiratorik, kejang dan bahkan koma. Sedangkan gejala yang muncul akibat putus
obat adalah kelelahan, mimpi buruk, peningkatan nafsu makan, dan retardasi
psikomotor. Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis data pada tahun 2008 yang
membuat sebagian besar kalangan, masyarakat maupun instansi, merasa prihatin
dengan masih tingginya tingkat penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di
Indonesia. Dari sebanyak 3,2 juta penyalahgunaan zat psikotropika, 60 persennya
adalah remaja dengan tingkat kematian 40 jiwa per hari atau sekitar 15.000 jiwa
melayang setiap tahunnya. Update data dari BNN tentang penyalahgunaan narkotika
pada tahun 2009 menjadi 3,7 juta penyalahguna dengan 1,1 juta diantaranya adalah
pelajar dan mahasiswa dengan rinciannya adalah 12.848 penyalahguna narkoba
merupakan pelajar SD, 110.870 merupakan pelajar SMP/SMA/sederajat, dan sisanya
merupakan mahasiswa. Hal di atas mengisyaratkan kepada kita untuk peduli dan
memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya karena bahaya yang
ditimbulkan dapat mengancam keberadaan generasi muda yang kita harapkan kelak
akan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di masa mendatang. Maka
penulis ingin mengetahui tingkat pengetahuan pelajar SMA terhadap efek
penggunaan dan bahaya penyalahgunaan metamfetamin.
5

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan metamfetamin?
2. Apa yang dimaksud Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif
(GMP)?
3. Bagaimana melakukan anamnesa terhadap kecurigaan adanya GMP?
4. Bagaimana melakukan pemeriksaan fisik terhadap kecurigaan adanya GMP?
5. Bagaimana cara mendiagnosis GMP?
6. Bagaimana terapi kasus GMP?
7. Bagaimana upaya pencegahan penyalahgunaan metamfetamin?
8. Bagaimana prognosis kasus GMP terutama kasus penyalahgunaan
metamfetamin?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan metamfetamin
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Gangguan mental dan
perilaku akibat zat psikoaktif (GMP)
3. Untuk mengetahui cara anamnesa kecurigaan adanya GMP
4. Untuk mengetahui cara melakukan pemeriksaan fisik pada kasus GMP
5. Untuk mengetahui cara mendiagnosis GMP
6. Untuk mengetahui terapi kasus GMP
7. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyalahgunaan GMP
8. Untuk mengetahui prognosis pasien dengan GMP

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi penulis
- Menambah informasi dan pengetauan mengenai GMP terutama karena
penyalahgunaan metamfetamin
- Meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis makalah
- Meningkatkan kemauan penulis agar senantiasa belajar

1.4.2 Manfaat bagi pembaca


- Menambah informasi dan pengetahuan mengenai GMP terutama dalam
penyalahgunaan metamfetamin
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

2.1 Metamfetamin
Sejarah methampetamine.

Amfetamin ditemukan sebelum metamfetamin, pertama kali disintesis pada


tahun 1887 di Jerman oleh ahli kimia Rumania Lazar Edeleanu yang menamakannya
phenylisopropylamine. Tak lama setelah itu, metamfetamin disintesis dari efedrin
pada tahun 1893 oleh kimiawan Jepang Nagai Nagayoshi. Tiga dekade kemudian,
pada tahun 1919, metamfetamin hydrochloride disintesis oleh farmakolog Akira
Ogata melalui pengurangan efedrin menggunakan fosfor merah dan yodium. Selama
Perang Dunia II, metamfetamin digunakan secara luas oleh semua cabang angkatan
bersenjata Jerman untuk efek stimulan, dan juga pada pilot dari beberapa negara lain
yang terlibat. Obetrol dipatenkan oleh perusahaan farmasi obetrol pada tahun 1950
dan diindikasikan untuk pengobatan obesitas, Obetrol adalah salah satu merek
pertama produk metamfetamin farmasi. Karena efek psikologis dan stimulan
metamfetamin, Obetrol menjadi pil diet populer di Amerika pada 1950-an dan 1960-
an. Akhirnya, setelah sifat adiktif obat diketahui, pemerintah mulai secara ketat
mengatur produksi dan distribusi metamfetamin. Sebagai contoh, pada awal 1970 di
Amerika Serikat, metamfetamin dimasukkan pada daftarschedule II zat yang
dikendalikan di bawah Controlled Substances Act. Saat ini, metamfetamin dijual
dengan nama dagang Desoxyn, merek dagang oleh perusahaan farmasi Denmark
Lundbeck. Pada Januari 2013, merek dagang desoxyn telah dijual kepada perusahaan
farmasi Italia Recordati.

Penggunaan
Penggunaan medis
Di Amerika Serikat, hidroklorida metamfetamin, di bawah nama dagang
Desoxyn, telah disetujui oleh USFDA untuk mengobati ADHD dan obesitas eksogen
(obesitas yang berasal dari faktor-faktor di luar kontrol pasien) pada orang dewasa
7

dan anak-anak; Namun, USFDA juga menunjukkan bahwa manfaat terapi terbatas
metamfetamin harus dipertimbangkan terhadap risiko yang melekat terkait dengan
penggunaannya. Di Amerika Serikat, bentuk levorotary metamfetamin ini tersedia
dalam beberapa produk dekongestan nasal over-the-counter, seperti Vicks
Vapoinhaler.
Karena metamfetamin dikaitkan dengan potensi tinggi untuk penyalahgunaan,
obat ini diatur di bawah Controlled Substances Act dan terdaftar di bawah Schedule II
di Amerika Serikat. Metamfetamin hidroklorida dibagikan di Amerika Serikat wajib
meliputi kotak hitam peringatan : Metamfetamin has a high potential for abuse and
should be tried only in weight reduction programs where alternative therapy has been
ineffective. Administration of Metamfetamin for prolonged periods may lead to drug
dependence. The drug should be prescribed or dispensed sparingly. Misuse may cause
sudden death and serious cardiovascular adverse events.
Penggunaan rekreasional
Metamfetamin sering digunakan untuk tujuan kesenangan karena mempunyai
efek euforian dan stimulan. Menurut dokumenter TV National Geographic, terdapat
sebuah subkultur di San Francisco, yang hampir seluruhnya terdiri dari laki-laki
homoseksual pengguna metamfetamin, biasanya akan bertemu melalui situs kencan
internet dan berhubungan seks. Karena stimulan yang kuat dan efek penghambatan
pada ejakulasi, dengan penggunaan berulang, ini hubungan seksual kadang-kadang
akan terjadi terus menerus selama beberapa hari. Efek samping setelah penggunaan
metamfetamin dengan cara ini sangat sering ditandai dengan hipersomnia

Efek Samping
Fisik
Efek fisik metamfetamin dapat mencakup anoreksia, hiperaktif, pupil melebar,
kulit memerah, keringat berlebihan, peningkatan gerakan, mulut kering, sakit kepala,
detak jantung tidak teratur, napas cepat, tekanan darah tinggi, tekanan darah rendah,
suhu tubuh meningkat, diare, sembelit, penglihatan kabur, pusing, berkedut, mati
rasa, tremor, kulit kering, jerawat, dan pucat. Metamfetamin yang terdapat dalam
8

aliran darah ibu dapat melewati plasenta ke janin dan atau dilepaskan ke dalam ASI.
Bayi yang lahir dari ibu yang menyalahgunakan metamfetamin ditemukan memiliki
sering ditemukan mempunyai umur kehamilan yang lebih kecil serta lingkar kepala
dan pengukuran berat badan lahir yang lebih kecil. Pada neonatus juga ditemukan
gejala putus obat seperti agitasi, muntah dan takipnea. Sindrom putus obat ini relatif
ringan dan hanya memerlukan intervensi medis pada sekitar 4% kasus.
Meth Mouth
Pengguna metamfetamin dan pecandu mungkin kehilangan gigi normal
mereka secara cepat, terlepas dari rute pemberian, kondisi ini dikenal sebagai Meth
Mouth. Kondisi ini umumnya paling parah ditemukan pada pengguna yang
menyuntikkan narkoba, daripada mereka yang merokok, menelan atau menghirup itu.
Menurut American Dental Association, Meth Mouth "mungkin disebabkan oleh
kombinasi dari perubahan psikologis dan fisiologis akibat obat mengakibatkan
xerostomia (mulut kering), kurangnya kebersihan mulut, konsumsi sering tinggi
kalori, dan minuman bersoda. Banyak peneliti menunjukkan bahwa kerusakan gigi
diinduksi adalah karena gaya hidup pengguna, mulut kering juga merupakan efek
samping stimulan metafetamin, yang yang tidak diketahui dapat menyebabkan
kerusakan gigi yang serius. Mereka berpendapat bahwa bahwa efek samping dibesar-
besarkan bertujuan untuk mencegah penggunaan zat ini.
Psikologis
Efek psikologis metamfetamin dapat termasuk euforia, disforia, perubahan
libido, kewaspadaan, ketakutan, konsentrasi, penurunan rasa lelah, sulit tidur,
kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, lekas marah, gelisah, dan perilaku yang
obsesif. Metamfetamin digunakan juga memiliki asosiasi tinggi dengan kecemasan,
depresi, psikosis metamfetamin, bunuh diri, dan perilaku kekerasan. Metamfetamin
juga memiliki risiko kecanduanyang sangat tinggi.
Neurotoksisitas
Tidak seperti amfetamin, metamfetamin mempunyai efek neurotoksik
langsung pada neuron dopamin. Selain itu, penyalahgunaan metamfetamin dikaitkan
dengan peningkatan risiko penyakit Parkinson akibat dopamin pra-sinapsis yang
9

berlebihan, mekanisme neurotoksisitas. Serupa dengan efek neurotoksik pada sistem


dopamin, metamfetamin juga dapat mengakibatkan neurotoksisitas untuk neuron
serotonin. Telah menunjukkan bahwa suhu tubuh yang tinggi berkorelasi dengan
peningkatan efek neurotoksik metamfetamin. Sebagai hasil dari neurotoksisitas yang
diakibatkan metamfetamin pada neuron dopamin, penggunaan kronis juga dapat
menyebabkan gejala penarikan post akut yang bertahan melampaui jangka waktu
berbulan-bulan, dan bahkan sampai satu tahun.
Infeksi menular seksual
Penggunaan metamfetamin ditemukan berhubungan dengan frekuensi yang
lebih tinggi dari hubungan seksual tanpa kondom pada kedua pasangan kasual HIV-
positif dan tidak dikenal. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan metamfetamin
dan keterlibatan dalam hubungan seks anal yang terjadi akibat perilaku berisiko yang
berpotensi meningkatkan risiko penularan HIV di kalangan pria homoseksual dan
biseksual. Penggunaan Metamfetamin memungkinkan pengguna dari kedua jenis
kelamin untuk terlibat dalam aktivitas seksual berkepanjangan, yang dapat
menyebabkan luka kelamin dan lecet serta priapismus pada laki-laki. Metamfetamin
juga dapat menyebabkan luka dan lecet di mulut melalui bruxism, meningkatkan
risiko infeksi menular seksual.
Selain penularan HIV secara seksual, hal itu juga dapat ditularkan antara
pengguna yang memakai penggunaan jarum secara bergantian. Tingkat berbagi jarum
di kalangan pengguna metamfetamin mirip dengan yang di kalangan pengguna
narkoba suntik lain.
Ketergantungan, Kecanduan, dan Gejala Putus Obat
Toleransi diduga dapat ditemukan dengan penggunaan metamfetamin yang
teratur, bila disalahgunakan, toleransi ini dapat berkembang pesat. Fluoxetin dan
Imipramin tampaknya memiliki beberapa manfaat yang terbatas dalam mengobati
penyalahgunaan dan kecanduan. Tidak ada pengobatan memiliki telah dibuktikan
efektif untuk pengobatan ketergantungan methamphetamine ketergantungan dan
penyalahgunaan.
10

Pada orang yang ketergantungan amfetamin dan metamfetamin, ketika


pengguna berat kronis tiba-tiba menghentikan penggunaan metamfetamin, banyak
dilaporkan sindrom putus zat dapat terjadi dalam waktu 24 jam dari dosis terakhir
mereka. Gejala putus zat kronis, terjadi sampai dengan 87,6% dari kasus, dan
bertahan selama tiga sampai empat minggu dengan ditandai "crash phase" yang
terjadi selama minggu pertama. Gejala putus zat methamphetamine dapat mencakup
kecemasan, keinginan obat, disforik suasana hati, kelelahan, nafsu makan meningkat,
peningkatan gerakan atau penurunan gerakan, kurangnya motivasi, sulit tidur atau
mengantuk, dan mimpi hidup atau jernih. Gejala Penarikan berhubungan dengan
tingkat ketergantungan. Depresi terkait dengan putus zat metamfetamin berlangsung
lebih lama dan lebih parah daripada gejala putus zat kokain.
Overdosis
Overdosis metamfetamin dapat mengakibatkan berbagai gejala. Overdosis
sedang dari metamfetamin dapat menyebabkan gejala seperti: irama jantung
abnormal, kebingungan, disuria, tekanan darah tinggi atau rendah, hipertermia,
hiperrefleksia, mialgia, agitasi, takipnea, tremor, keraguan berkemih, dan retensi urin.
Overdosis berat dapat menghasilkan gejala seperti badai adrenergik, psikosis
metamfetamin, anuria, syok kardiogenik, pendarahan otak, kolaps sirkulasi,
hiperpireksia, hipertensi pulmonal, gagal ginjal, rhabdomiolisis, sindrom serotonin,
dan stereotipik. Overdosis metamfetamin kemungkinan akan juga mengakibatkan
kerusakan otak ringan akibat neurotoksisitas dopaminergik dan serotonergik.
Kematian akibat keracunan metamfetamin yang fatal biasanya didahului oleh kejang
dan koma.
Farmakodinamik
Seperti amfetamin, metamfetamin telah diidentifikasi sebagai agonis kuat
yang menduduki reseptor amina 1 (TAAR1), reseptor G protein-coupled (GPCR)
yang mengatur siste katekolamin otak. Aktivasi TAAR1, melalui adenylyl cyclase,
meningkatkan produksi adenosin monofosfat siklik (cAMP) dan menghambat atau
mengembalikan arah transport dari transporter dopamin (DAT), transporter
norepinefrin (NET), dan transporter (SERT). Ketika metamfetamin mengikat TAAR1,
11

memicu transporter fosforilasi melalui protein kinase A (PKA) dan sinyal protein
kinase C (PKC), akhirnya mengakibatkan internalisasi atau membalikkan fungsi
transporter monoamin. Transpoter lain yang diduga dihambat oleh metamfetamin
adalah transporter vesikular monoamin 1 (VMAT1), transporter vesikular monoamin
2 (VMAT2), SLC22A3, dan SLC22A5. SLC22A3 adalah transporter monoamine
extraneuronal yang hadir dalam astrosit. SLC22A5 adalah transporter karnitin yang
mempunyai afinitas tinggi. Pelepasan monoamin dari vesikula sinaptik ke dalam
sitosol dari neuron presinaps terinduksi ketika metamfetamin berinteraksi dengan
VMAT2.
Metamfetamin juga merupakan agonis dari alpha-2 reseptor adrenergik dan
reseptor sigma, dan menghambat transporter vesikular monoamin 1 (VMAT1),
monoamin oksidase B (MAO-B), dan monoamin oksidase A (MAO-A).
Metamfetamine dikenal juga untuk menghambat enzim hati CYP2D6.
Dekstrometamfetamin adalah psikostimulan kuat, sedangkan levometamfetamin
memiliki waktu paruh yang dan pengaruh terhadap SSP yang lebih lemah (sekitar
sepersepuluh) pada striatal dopamin dan efek yang lebih sebentar pada pecandu. Pada
dosis tinggi, baik enantiomer metamfetamin dapat menginduksi stereotipi dan
psikosis metamfetamin, tetapi levometamfetamin kurang diinginkan oleh
penyalahgunaan narkoba karena profil farmakodinamik yang lemah.
Meskipun semua mekanisme tidak sepenuhnya dipahami, metamfetamin
adalah neurotoksin dikenal di kedua hewan laboratorium dan manusia. Selain
neurotoksisitas, studi resonansi magnetik imaging tentang pecandu metamfetamin
manusia dan pelaku menunjukkan merugikan perubahan jaringan saraf. Secara
khusus, metamfetamin tampaknya menyebabkan hipersensitifitas dan hipertrofi white
matter, penyusutan dimulai dari hipokampus, dan pengurangan gray matter di korteks
singuli, korteks limbik, dan korteks paralimbik. Selain itu, ada perubahan yang
merugikan dalam berbagai marker metabolik integritas metabolik atau sintesis
metamfetamin pada pengguna, seperti pengurangan N-asetylaspartat dan kreatin serta
peningkatan kolin dan myoinositol.
Farmakokinetik
12

Setelah pemberian oral, metamfetamin diserap baik ke dalam aliran darah,


konsentrasi puncak pada plasma methamphetamine dicapai dalam sekitar 3,13-6,3
jam pasca konsumsi. Metamfetamin juga diserap dengan baik melalui inhalasi dan
setelah pemberian intranasal. Karena sifat lipofilik metamfetamin yang tinggi,
metamfetamin dapat dengan mudah bergerak melalui sawar darah otak lebih cepat
dari stimulan lainnya, dan lebih tahan terhadap terhadap degradasi oleh monoamine
oksidase. Amfetamin mempunyai kadar metabolit puncak pada 10-24 jam, lalu
diekskresikan oleh ginjal, dengan laju ekskresi ke dalam urin yang sangat dipengaruhi
oleh pH urin. 30-54% dari dosis diekskresikan dalam urin sebagai methamphetamine
dan 10-23% sebagai amfetamin. Setelah dosis IV, sekitar 45% diekskresikan sebagai
methamphetamine dan 7% sebagai amfetamin. Waktu paruh metamfetamin rata-rata
antara 5-12 jam.
Perbandingan farmakodinamik metamphetamine dengan amphetamin
Baik amfetamin maupun metamfetamin merupakan SSP stimulan yang poten
dengan beberapa target biomolekuler dan transporter. Namun, ada perbedaan
farmakodinamik antara dua senyawa tersebut. Kedua senyawa ampuh dalam
menduduki reseptor amina 1 (TAAR1) agonis (menyebabkan inhibisi non-kompetitif
DAT, NET, dan SERT ) dan inhibitor VMAT2, SLC22A3, dan SLC22A5. Namun,
methamphetamine mengikat di lokasi yang berbeda pada VMAT2. Metamfetamin
juga menghambat VMAT1, yang memiliki agonis aktivitas sama dengan alfa-2
reseptor adrenergik dan reseptor sigma, dan beracun secara langsung pada neuron
dopamin pada manusia, sedangkan pada amfetamin tidak ada bukti toksisitas akut
pada manusia. Aktivitas reseptor sigma diketahui mempotensiasi stimulan dan efek
neurotoksik pada metamfetamin. Berkebalikan pada efek samping pada neuroplastik,
pecandu metamfetamine dan penggunaan jangka panjang dari amfetamin atau
metilfenidat pada dosis terapi dapat menghasilkan perubahan yang bermanfaat dalam
fungsi otak dan struktur, seperti normalisasi nukleus kaudatus.

2.2 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Zat


13

Definisi Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat


Gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa
komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas
dan demensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih
zat psikoaktif, dengan atau tanpa resep dokter) (Maslim, 2003).

a. Intoksikasi akut (tanpa atau dengan komplikasi)


Intoksikasi akut berkaitan dengan dosis zat yang digunakan (efek yang
berbeda pada dosis yang berbeda). Gejala intoksikasi tidak selalu
mencerminkan efek primer dari zat (dapat terjadi efek paradoksal) (Maslim,
2007).

Pedoman diagnostik dari intoksikasi akut berdasarkan PPDGJ III (F1x.0)


antara lain:
Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan: tingkat dosis zat yang
digunakan (dose-dependent), individu dengan kondisi organik tertentu
yang mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam
dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak
proporsional (Maslim, 2003).
Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial perlu
dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau
upacara keagamaan) (Maslim, 2003).
Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat
penggunaan alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan
kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan
respons psikofisiologis lainnya. Intensitas intoksikasi berkurang
dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya menghilang bila
tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut
akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak
atau terjadi komplikasi lainnya (Maslim, 2003).
14

Kode lima karakter berikut digunakan untuk menunjukkan apakah intoksikasi


akut itu disertai dengan suatu komplikasi:
F1x.00 Tanpa komplikasi
F1x.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
F1x.02 Dengan komplikasi medis lainnya
F1x.03 Dengan delirium
F1x.04 Dengan distorsi persepsi
F1x.05 Dengan koma
F1x.06 Dengan konvulsi
F1x.07 Intoksikasi patologis
o Hanya pada penggunaan alkohol
o Onset secara tiba-tiba dengan agresi dan sering berupa perilaku
tindak kekerasan yang tidak khas bagi individu tersebut saat ia
bebas alkohol
o Biasanya timbul segera setelah minum sejumlah alkohol yang
pada kebanyakan orang tidak akan menimbulkan intoksikasi
(Maslim, 2003).
b. Penggunaan yang merugikan (harmful use)
Penggunaan yang merugikan adalah pola penggunaan zat psikoaktif
yang merusak kesehatan (dapat berupa fisik dan atau mental). Gangguan ini
belum menunjukkan adanya sindrom ketergantungan, namun sudah ada
hendaya psikososial sebagai dampaknya (Maslim, 2007).
Pedoman diagnostik dari penggunaan yang merugikan berdasarkan
PPDGJ III (F1x.1) antara lain:
Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang
dapat berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan
obat melalui suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode
gangguan depresi sekunder karena konsumsi berat alkohol) (Maslim,
2003).
Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan
seringkali disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan
(Maslim, 2003).
Tidak ada sindrom ketergantungan (F1x.2), gangguan psikotik (F1x.5)
atau bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan
penggunaan obat atau alkohol (Maslim, 2003).
15

c. Sindrom ketergantungan (dependence syndrome)


Sindrom ketergantungan adalah adanya keinginan yang amat kuat
(dorongan kompulsif) untuk menggunakan zat psikoaktif secara terus menerus
dengan tujuan memperoleh efek psikoaktif dari zat tersebut, serta terdapat
kesulitan untuk menguasai perilaku menggunakan zat, baik mengenai
mulainya, menghentikannya, ataupun membatasi jumlahnya (loss of control)
(Maslim, 2007).
Penghentian atau pengurangan penggunaan zat menimbulkan keadaan
putus zat, dengan perubahan fisiologis tubuh yang sangat tidak
menyenangkan, sehingga memaksa orang tersebut menggunakan zat tersebut
lagi atau yang sejenis untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Selain
itu, peningkatan dosis zat psikoaktif diperlukan untuk memperoleh efek yang
sama (gejala toleransi). Pengguna zat juga terus menggunakan zat meskipun
individu tersebut menyadari adanya akibat yang merugikan kesehatannya
(Maslim, 2007).
Pedoman diagnostik dari sindrom ketergantungan berdasarkan PPDGJ
III (F1x.2) antara lain:
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan 3 atau
lebih gejala di bawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya:
a) Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa
(kompulsi) untuk menggunakan zat psikoaktif;
b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat,
termasuk sejak mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat
sedang menggunakan;
c) Keadaan putus zat secara fisiologis (F1x.3 atau F1x.4) atau
ketika penghentian penggunaan zat atau pengurangan, terbukti
dengan adanya gejala putus obat yang khas, atau orang tersebut
menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan
untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus
zat;
d) Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat
psikoaktif yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama
yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh
16

yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan


ketergantungan alkohol dan opiat yang dosis harian-nya dapat
mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya atau
mematikan bagi pengguna pemula);
e) Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau
minat lain disebabkan penggunaan zat psikoaktif,
meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari
akibatnya;
f) Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat
yang merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati
karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai
akibat dari suatu periode penggunaan zat yang berat, atau
hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat;
upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat
sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat
dan besarnya bahaya (Maslim, 2003).
Diagnosis sindrom ketergantungan dapat ditentukan lebih lanjut
dengan kode lima karakter berikut:
F1x.20 Kini abstinen
F1x.21 Kini abstinen, tetapi dalam suatu lingkungan yang terlindung
(seperti dalam rumah sakit, komuniti terapeutik, lembaga
pemasyarakatan, dll)
F1x.22 Kini dalam pengawasan klinis dengan terapi pemeliharaan atau
dengan pengobatan zat pengganti [ketergantungan terkendali]
(misalnya dengan methadone, penggunaan nicotine gum atau
nicotine patch)
F1x.23 Kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi obat aversif atau
penyekat (misalnya naltrexone atau disulfiram)
F1x.24 Kini sedang menggunakan zat [ketergantungan aktif]
F1x.25 Penggunaan berkelanjutan
F1x.26 Penggunaan episodik [dipsomania] (Maslim, 2003).
d. Keadaan putus zat (withdrawal state)
17

Keadaan putus zat adalah gejala-gejala fisik dan mental yang terjadi
pada penghentian pemberian zat sesudah suatu penggunaan zat yang terus
menerus dalam jangka waktu panjang dan/atau dosis tinggi. Bentuk dan
keparahan gejala tersebut tergantung pada jenis dan dosis zat yang digunakan
sebelumnya. Gejala putus zat tersebut mereda dengan meneruskan
penggunaan zat. Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari
sindrom ketergantungan (Maslim, 2007).
Pedoman diagnostik dari keadaan putus zat berdasarkan PPDGJ III
(F1x.3) antara lain:
Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom
ketergantungan (F1x.2) dan diagnosis sindrom ketergantungan zat
harus turut dipertimbangkan (Maslim, 2003).
Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal
ini merupakan alasan rujukan dan cukup parah sampai memerlukan
perhatian medis secara khusus (Maslim, 2003).
Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan
psikologis (misalnya anxietas, depresi, dan gangguan tidur)
merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat ini. Yang khas
ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda
dengan meneruskan penggunaan zat (Maslim, 2003).
Diagnosis keadaan putus zat dapat ditentukan lebih lanjut dengan
menggunakan kode lima karakter berikut:
F1x.30 Tanpa komplikasi
F1x.31 Dengan konvulsi (Maslim, 2003).
e. Gangguan psikotik (psychotic disorder)
Gangguan psikotik pada gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif adalah sekelompok gejala-gejala psikotik yang
terjadi selama atau segera sesudah penggunaan zat psikoaktif yang ditandai
oleh halusinasi, kekeliruan identifikasi, waham dan/atau ideas of reference
(gagasan yang menyangkut diri sendiri sebagai acuan) yang seringkali bersifat
kecurigaan atau kejaran, gangguan psikomotor (excitement atau stupor) dan
efek yang abnormal yang terentang antara ketakutan yang mencekam sampai
18

ke kegembiraan yang berlebihan, yang pada umumnya keadaan kesadaran


penderita jernih. Variasi pola gejala dipengaruhi oleh jenis zat yang digunakan
dan kepribadian pengguna zat (Maslim, 2007).
Pedoman diagnosis dari gangguan psikotik tersebut berdasarkan PPDGJ
III (F1x.5) antara lain:
Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah
penggunaan zat psikoaktif (biasanya dalam waktu 48 jam), bukan
merupakan manifestasi dari keadaan putus zat dengan delirium (F1x.4)
atau suatu onset lambat. Gangguan psikotik onset lambat (dengan
onset lebih dari 2 minggu setelah penggunaan zat) dimasukkan dalam
F1x.75 (Maslim, 2003).
Gangguan psikoaktif yang disebabkan oleh zat psikoaktif dapat tampil
dengan pola gejala bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh jenis
zat yang digunakan dan kepribadian pengguna zat. Pada penggunaan
obat stimulan, seperti kokain dan amfetamin, gangguan psikotik yang
diinduksi oleh obat umumnya berhubungan erat dengan tingginya
dosis dan/atau penggunaan zat yang berkepanjangan. Diagnosis
gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan berdasarkan distorsi
persepsi atau pengalaman halusinasi, bila zat yang digunakan ialah
halusinogenika primer (misalnya Lisergide [LSD], meskalin, kanabis
dosis tinggi). Perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis
intoksikasi akut (F1x.0) (Maslim, 2003).
f. Sindrom amnesik (amnesic syndrome)
Sindrom amnesik adalah terjadinya hendaya/gangguan daya ingat
jangka pendek (recent memory) yang menonjol, kadang-kadang terdapat
gangguan daya ingat panjang (remote memory), sedangkan daya ingat segera
(immediate recall) masih baik. Fungsi kognitif lainnya biasanya relatif masih
baik. Selain itu, juga ditandai adanya gangguan sensasi waktu (menyusun
kembali urutan kronologis, meninjau kejadian berulangkali menjadi satu
peristiwa, dll), keadaan kesadaran jernih, serta perubahan kepribadian, yang
19

sering disertai keadaan apatis dan hilangnya inisiatif, serta kecenderungan


mengabaikan keadaan (Maslim, 2007).
Pedoman diagnostik dari sindrom amnesik berdasarkan PPDGJ III
(F1x.6) antara lain:
Sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat psikoaktif harus memenuhi
kriteria umum untuk sindrom amnesik organik (F04) (Maslim, 2003).
Syarat utama untuk menentukan diagnosis adalah:
a) Gangguan daya ingat jangka pendek (recent memory, dalam
mempelajari hal baru); gangguan sensasi waktu (time sense,
menyusun kembali urutan kronologis, meninjau kejadian yang
berulangmenjadi satu peristiwa, dll);
b) Tidak ada gangguan daya ingat segera (immediate recall), tidak
ada gangguan kesadaran, dan tidak ada gangguan kognitif
secara umum;
c) Adanya riwayat atau bukti yang objektif dari penggunaan
alkohol atau zat yang kronis (terutama dengan dosis tinggi)
(Maslim, 2003).
Diagnosis banding: - Sindrom amnesik organik non-alkoholik (F04)
- Sindrom organik lain yang meliputi gangguan daya
ingat yang jelas (F00-F03; F05)
- Gangguan depresif (F31-F33) (Maslim, 2003).

2.3 Anamnesa
Anamnesa yang dilakukan pada pasien dengan gangguan mental dan perilaku
akibat pemakaian zat metamfetamin pada umumnya sama dengan anamnesa yang
dilakukan pada pasien pengguna zat psikoaktif lain. Anamnesa yang dilakukan
tidaklah harus langsung memenuhi seluruh informasi dalam satu waktu,
menyesuaikan juga dengan kondisi pasien, keluarga, dan kegawatdaruratan yang ada.

Autoanamnesa
Autoanamnesa bertujuan untuk membentuk rasa percaya pasien terhadap
terapis sehingga pasien merasa yakin bahwa data tentang dirinya akan terjamin
20

kerahasiaannya di tangan terapis. Bila pasen bersikap terbuka dan mengakui secara
terus terang tentang penggunaan zat psikoaktif, terapis dapat langsung menanyakan
seputar penggunaan zat psikoaktif tersebut. Sebaliknya, bila pasien merasa ragu dan
kurang terbuka, sebaiknya terapis tidak secara langsung menanyakan seputar
penggunaan zat psikoaktif, melainkan tanyakan apa masalah yang dihadapinya dan
apa yang terapis dapat lakukan untuk membantunya. (Joewana, 2005)
Data pribadi dan data demografi yang perlu diketahui: (Joewana, 2005)
1. Nama
2. Umur
3. Jemis kelamin
4. Alamat tempat tinggal
5. Tingkat pendidikan
6. Agama
7. Etnik
8. Status perkawinan
9. Anak nomor berapa dari orangtuanya
10. Pekerjaan (pengguna, Ayah, Ibu)
Pertanyaan yang perlu diajukan kepada pengguna zat psikoaktif agar dapat
menetapkan diagnosis multiaksial: (Joewana, 2005)

1. Zat psikoaktif apa saja yang pernah dikonsumsi?


2. Sejak umur berapa setiap zat psikoaktif tersebut dikonsumsi?
3. Zat psikoaktif apa saja yang dalam satu tahun terakhir masih dikonsumsi?
4. Zat psikoaktif apa saja yang dalam satu bulan terakhir masih dikonsumsi?
5. Bila dalam satu bulan terakhir masih dikonsumsi, kapan terakhir kali
dikonsumsi?
6. Berapa kali setiap hari mengonsumsi zat tersebut?
7. Berapa jumlah setiap kali mengonsumsi?
8. Bagaimana cara mengonsumsi tiap zat tersebut? (misalnya, diisap sebagai
rokok, dihirup melalui hidung, dimakan,/ disuntikkan)
9. Bila dengan cara menyuntik, bagaimana cara mensterilkan alat suntik
tersebut?
10. Apakah pernah saling pinjam alat suntik dengan orang lain?
11. Apa alas an pertama kali menggunakan zat psikoaktif? (misalnya, ingin
tahu, tidak dapat menolak tawaran teman, dipaksa, diancam, dan lain-lain)
21

12. Apa yang menyebabkan terus menggunakan zat psikoaktif tersebut?


(misalnya, untuk atasi rasa nyeri, untuk atasi perasaan tertekan, untuk
lupakan masalah, & sebagainya)
13. Khasiat apa yang disukai dari zat psikoaktif? (misalnya, perasaan santai,
& lain-lain)
14. Pengaruh apa yang tidak disukai dari tiap-tiap zat psikoaktif ? (misalnya,
rasa pahit, asap rokok yang membuat batuk, dan sebagainya)
15. Komplikasi medis apa yang pernah dialami akibat mengonsumsi zat
psikoaktif? (misalnya, pingsan, mabuk, keinginan kuat untuk gunakan zat
psikoaktif, kejang, sepsis, flebitis, endokarditis, infeksi HIV/AIDS,
hepatitis B/C, penyakit menular seksual, dan sebagainya)
16. Apakah mempunyai keluhan susah tidur, tidak selera makan, tidak dapat
memusatkan perhatian, mudah tersinggung, tidak sabar, dan sebagainya?
17. Apakah pernah mengalami halusinansi, ilusi, waham, panik, depresi, dan
sebagainya?
18. Bagaimana situasi waktu mengonsumsi zat psikoaktif? (misalnya, sendiri,
bersama kawan, bersama pengedar)
19. Bagaimana intensitas bepergian, baik dalam kota maupun luar kota?
20. Bagaimana hubungan interpersonal dengan kedua orangtua, saudara,
pasangan hidup, anak, teman sekolah, atau di tempat kerja, guru, atasan,
bawahan?
21. Apa motivasi untuk berhenti mengkonsumsi zat psikoaktif? Mengapa
justru sekarang saatnya mau berhenti?
22. Bagaimana prestasi di sekolah atau di tempat kerja sebelum /pun sesudah
menggunakan zat psikoaktif?
23. Bagaimana ia memanfaatkan waktu senggangnya?
24. Bagaimana kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungannya?
25. Apakah mempunyai stressor psikososial? (misalnya, maslah perkawinan,
sekolah, pekerjaan ,keuangan, hubungan dengan orangtua, dan lain-lain)
26. Bagaiaman riwayat pendidikan, pekerjaan, dan perkawinannya?
27. Apakah pernah berurusan dengan penegak hukum, dalam hal apa?
28. Apakah ia pernah dirawat di suatu rumah sakit/ di panti rehabilitasi? Di
mana? (tanyakan namanya)
Heteroanamnesa
22

Heteroanamnesa dilakukan kepada orangtua, guru, atau orang dekat lainnya


berkisar pada perubahan perilaku dan kebiasaan. Pertanyaan yang perlu diajukan
adalah: (Joewana, 2005)
1. Apakah terjadi perubahan pola tidur? (malam tidak tidur, siang banyak
tidur, sukar tidur, tampak mengantuk di kelas/tempat bekerja)
2. Apakah sering pergi pada malam hari, pergi tanpa memberi tahu ke mana?
3. Apakah sering tidak masuk sekolah/kerja? (berangkat tapi tidak sampai
tempatnya, sering meninggalkan tempat sebelum waktu selesai, sering
minta ijin keluar kelas pada waktu jam pelajaran dengan alasan ingin ke
toilet)
4. Apakah sifatnya berubah? (jadi tidak patuh, suka melawan, cepat marah,
dan bersikap kasar)
5. Apakah sering minta uang untuk keperluan tidak jelas?
6. Apakah sering berbohong?
7. Apakah lebih banyak mengurung diri di kamar, jarang mau makan/nonton
TV/ bercanda bersama keluarga)
8. Apakah sering masuk kamar mandi untuk waktu yang lebih lama dari
biasanya?
9. Apakah malas mandi/ takut air dingin/ ruang yang ber-AC dingin?
10. Apakah prestasi pelajaran di sekoalah/tempat kerja menurun secara
drastis?
11. Apakah orangtua akhir-akhir ini sering dipanggil kepala sekolah karena
perilaku anaknya? Dalam masalah apa?
12. Apakah menemukan barang-barang seperti jarum dan alat suntik, botol
plastik air minum yang berlubang dindingnya, kartu telepon yang sudah
tidak terpakai, gulungan uang kertas, kertas timah bungkus rokok/permen
karet?
13. Apakah di bawah saringan air buanga kamar mandi ditemukan jarum
suntik?
14. Apakah terdapat barang /serbuk yang dicurigai sebagi zat psikoaktif pada
barang miliknya/keluarganya?
15. Apakah anggota keluarga sering kehilangan uang/ barang milik pribadi?
Penggunaan zat psikoaktif sering terdapat pada mereka yang sebelumnya
menderita gangguan jiwa/ kepribadian. Oleh karena itu perlu ditanyakan pula kepada
23

orangtua perihal riwayat pertumbuhan, perkembangan, pendidikan, pekerjaan,


perkawinan, dan ciri-ciri masa kanak dan remaja. (Joewana, 2005)

2.4 Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan cermat dan menyeluruh, meliputi
kesadaran, tanda-tanda vital, dan kondisi fisik yang ada. Berikut akan diuraikan
beberapa gejala klinis yang sering ditemukan berkaitan dengan penggunaan zat
psikoaktif Amfetamin. (Joewana, 2005) (Kaplan, 1997)

Tabel 2.1. Pemeriksaan Fisik berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif Amfetamin

Pemeriksaan Hasil Keterangan

Keasadaran Somnolen Putus zat Amfetamin

Berkabut Intoksikasi Amfetamin

Denyut nadi Bertambah cepat Intoksikasi Amfetamin

Suhu badan Naik Penggunaan Amfetamin

Pernafasan

Tekanan darah Naik Pemakaian Amfetamin

Mata Palpebra

Konjungtiva - Pucat Penggunaan lama Amfetamin

Sklera

Pupil Dilatasi & reaktif Intoksikasi Amfetamin

Gerak bola mata

Hidung

Mulut Kering Intoksikasi Amfetamin

Paru Tuberkulosis Pengguna Amfetamin berat

Fibrosis Pengguna Amfetamin Intravena

Jantung Takikardia Intoksikasi Amfetamin


24

Aritmia Intoksikasi inhalan

Lambung

Hepar

Dinding perut

Kulit Semu merah di muka Penggunaan Amfetamin

Sianosis Intoksikasi Amfetamin

Banyak berkeringat Intoksikasi Amfetamin

Needle track Penggunaan Amfetamin

Paronikia, tinea, scabies, Pada pengguna zat psikoaktif


pedikulosis yang tidak perhatikan kebersihan
kulit

Nervus cranialis

Saraf motorik Tremor halus Intoksikasi Amfetamin

Refleks Hiperrefleksi Penggunaan Amfetamin

Berat badan Menurun Ketergantungan Amfetamin

PEMERIKSAAN PSIKIATRIK
Pemeriksaan psikiatrik bertujuan menegetahui ada tidaknya gangguan
psikiatrik yang sering kali terdapat bersamaan dengan penggunaan zat psikoaktif.
Ansietas, depresi, gangguan kepribadian disosial, gangguan pemusatan perhatian, dan
hiperaktifitas, merupakan gangguan jiwa yang sering menjadi salah satu penyebab
terjadinya penggunaan zat psikoaktif. Sebaliknya, penggunaan zat psikoaktif sering
dapat menimbulkan gangguan jiwa, seperti psikosis pada penggunaan Amfetamin
atau depresi pada putus zat Amfetamin. (Joewana, 2005)
Beberapa kelaianan pada pemeriksaan psikiatrik yang sering terdapat pada
penderita gangguan mental dan perilaku akibat zat Amfetamin adalah: (Joewana,
2005)
Gangguan Emosi
25

Agitatif : pada intiksokasi Amfetamin


Agresif : pada intoksikasi Amfetamin
Depresi : pada putus zat Amfetamin
Euforia : pada intoksikasi semua jenis zat psikoaktif
Gelisah : pada penggunaan Amfetamin
Gangguan Bicara
Banyak bicara : pada intoksikasi Amfetamin
Gangguan Psikomotor
Apatis : pada putus zat Amfetamin
Gangguan Isi Pikiran
Waham : pada intoksikasi Amfetamin
Gangguan Persepsi
Halusinasi : pada intoksikasi Amfetamin

GEJALA KLINIS LAIN


Beberapa gejala klinis lain yang dapat ditemukan pada penderita gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikotik Amfetamin adalah: (Kaplan,
1997)
1. Sindroma Putus Zat Amfetamin
- Gemetar
- Letargi
- Fatigue
- Mimpi menakutkan
- Nyeri kepala
- Kram otot dan lambung
- Rasa lapar yang tidak pernah kenyang.
Gejala putus zat biasanya memuncak dalam dua sampai empat hari
dalam menghilang dalam satu minggu. Gejala putus zat Amfetamin yang
paling serius adalah depresi.
2. Gangguan Psikotik
Tanda utama dari gangguan psikotik akibat Amfetamin adalah adanya
paranoia. Skizofrenia paranoid dan gangguan psikotik akibat zat dapat
dibedakan dari menonjolnya halusinasi visual, afek yang biasanya sesuai,
hiperaktivitas, hiperseksualitas, konfusi, inkoherensi, dan sedikit bukti
26

gangguan berpikir pada gangguan psikotik akbiat zat Amfetamin. Namun,


resolusi gejala dalam beberapa hari atau temuan positif pada uji saring
urin yang akhirnya mengungkapkan diagnosis yang tepat.
3. Disfungsi Seksual
Walaupun Amfetamin seringkali digunakan untuk meningkatkan
pengalaman seksual, dosis tinggi dan pemakaian jangka panjang adalah
disertai dengan impotensi dan disfungsi seksual lainnya.
4. Gangguan Tidur
- Insomnia/ tidur yang buruk : pada intoksikasi Amfetamin
- Hipersomnolensi & mimpi menakutkan : pada putus zat Amfetamin

PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS
Pemeriksaan psikologis diperlukan untuk menentukan axis II pada diagnosis
multiaksial, yaitu adanya gangguan kepribadian dan retardasi mental. Yang dievaluasi
pada pemeriksaan psikologis adalah: (Joewana, 2005)
1. Gambaran kepribadian
2. Taraf intelegensi
3. Bakat dan minat
4. Kelainan organik pada otak

EVALUASI SOSIAL
Evaluasi sosial diperlukan untuk membantu menetapkan axis IV dan aksis V
pada diagnosis multiaksial. Evaluasi ini bertujuan mengetahui latar belakang sosial,
termasuk adatidaknya stressor psikososial, seberapa berat stressor yang ada, dan
seberapa jauh akibat sosial dari penggunaan zat psikoaktif tersebut. (Joewana, 2005)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Analisis air seni diperlukan untuk mengetahui zat psikoaktif apa saja yang
dikonsumsi pasien. Air seni sebaiknya diambil kurang dari 48 jam sejak penggunaan
zat psikoaktif terakhir, karena setelah 48 jam Amfetamin tidak akan terdeteksi lagi
dalam air seni. (Joewana, 2005)
27

Harus diperhatikan saat proses pengambilan, sampel agar yang diperiksa


benar berasal dari pasien, bukan orang laindan dijaga pengiriman serta pemeriksaan
sampel agar tidak ditukar dengan yang lain. (Joewana, 2005)
Pemeriksaan air seni lengkap, darah rutin, kimia darah, tes fungsi hati, tes
fungsi ginjal dilaksanakan apabila ada indikasi untuk diperiksa. Pada pasien yang
menggunakan zat psikoaktif dengan cara menyuntik sebaiknya diperiksa
kemungkinan terjangkit hepatitis B atau hepatitis C. Untuk pemeriksaan darah
terhadap infeksi HIV/AIDS dilakukan konseling lebih dulu dan juga sesudahnya,
yaitu pada waktu memberi tahu hasilnya (VCT = Voluntary Counselling and Testing).
(Joewana, 2005)

PEMERIKSAAN FLUOROSKOPI DAN ELEKTROFISIOLOGIS


Pemeriksaan fluoroskopi seperti foto paru, foto tengkorak, USG
(Ultrasonografi), CT-Scanning, MRI, dan pemeriksaan elektrofisiologis seperti EEG,
EKG, dan EMG dilakukan bila terdapat indikasi. (Joewana, 2005)
Pemeriksaan EEG yang dilaksanakan pada saat tidur sering menunjukkan
adanya kelainan pada saat putus zat Amfetamin. Kelaianan ini dapat menetap sampai
beberapa minggu atau bulan. (Joewana, 2005)

2.5 Diagnosa
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Amfetamin Intoxication
Hal-Hal yang Ditanyakan Pada Anamnesa
a. Baru menggunakan amfetamin atau zat sejenis (mis. methylphenidate).
b. Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan
psikologis (mis. euforia atau afek tumpul, perubahan kemampuan sosial,
sensitifitas interpersonal, hiperwaspada, anxietas, ketegangan atau gusar
,perilaku sterotipik, psikomotor,gangguan penilaian atau fungsi sosial atau
pekerjaan) yang terjadi selama atau segera setelah pemakaian amfetamin dan
sejenisnya.
28

c. Adanya dua atau lebih tanda-tanda berikut yang terjadi selama atau segera
setelah pemakaian amfetamin dan sejenisnya:
1. Takikardi atau bradikardi.
2. Midriasis.
3. Tekanan darah meningkat atau turun.
4. Persipirasi atau menggigil.
5. Nausea atau vomitus.
6. Penurunan berat badan.
7. Agitasi atau retardasi psikomotor.
8. Kelemahan otot,depresi respirasi,nyeri dada atau aritmia.
9. Kebingungan,kejang, diskinesia, atau koma.
d. Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan
mental lainnya.
Pemeriksaan Khusus dan Tambahan
Pemeriksaan Psikiatrik Khusus
1. Penampilan umum :
a. Kesadaran
b. Perilaku dan aktivitas psikomotor
c. Pembicaraan
d. Sikap
2. Keadaan afektif :
a. Perasaan dasar
b. Ekspresi afektif
c. Empati
3. Fungsi kognitif :
a. Daya ingat
b. Daya konsentrasi
c. Orientasi
d. Kemampuan menolong diri sendiri
Pemeriksaan Penunjang
29

1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan rontgen
3. Pemeriksaan psikologik, laporan social worker

Satu-satunya cara untuk mendiagnosis pasti keracunan obat ini adalah


melalui analisis laboratorium. Bahan untuk analisis berasal dari darah, cairan
lambung, atau urin. Obat golongan amfetamin akan tertahan dalam urin
selama 2 hari. Pemeriksaan dan penyaringan yang cepat dan sederhana
menggunakan kromatografi lapisan tipis dapat digunakan untuk mendeteksi
90% keracunan umum. Sekarang terdapat cara-cara pemeriksaan baru dengan
teknik yang lebih maju dan cepat misalnya enzyme multiple immunoassay.
Pada kasus keracunan yang sedang dan berat diperlukan pemeriksaan
penunjang darah lengkap, elektrolit, glukosa darah, uji faal ginjal, CPK,
analisis gas darah, urinalisis, EKG, dan foto toraks.(APA,2000)

2.6 Penatalaksanaan dan Terapi


Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari amfetamine bertujuan untuk
menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi obat yang lebih lanjut,
mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi, mengatasi gejala toksik spesifik yang
ditimbulkan dan disposisi. Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan
kadar dalam serum, penatalaksanaan hanya berupa perawatan tidak spesifik
berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan :
a. Pemeriksaan tanda vital
b. Perhatikan tanda-tanda intoksikasi
c. Simtomatik bergantung dari kondisi klinis, untuk penggunaan oral,
merangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras lambung adalah
penting.
d. Antipsikotika; haloperidol 2-5 mg per kali pemberian atau klorpromazin 1
mg/kg BB, oral, setiap 4-6 jam.
e. Antihipertensi bila perlu(TD diatas 140/100 mmHg).
30

f. Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan benzodiazepin; diazepam


3x5 mg atau klordiazepoksid 3x25 mg.
g. Bila ada kejang, berikan diazepam 10-30 mg parenteral.
h. Aritmia kordis, lakukan Cardiac monitoring, misalnya untuk palpitasi
diberikan propanolol 20-80 mg/hari (perhatikan kontraindikasinya).
i. Kontrol temperatur dengan selimut dingin atau klorpromazin untuk mencegah
temperatur tubuh meningkat.
j. Observasi di IGD 1 x 24 jam; bila kondisi tenang dapat diteruskan rawat jalan.
(PPPDSKJI,2012)
k. Terapi spesifik dan antidotum, pada amfetamine tidak ada antidotum khusus.
l. Terapi putus amfetamine.
m. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
n. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri
dapat diberikan antidepresi.(Japardi,2002)

2.7 Prognosis
Komplikasi paling umum adalah rhabdomyolysis dengan gagal ginjal akut,
Kegagalan banyak organ menyebabkan heatstroke merupakan sebab utama kematian
intoksikasi amfetamina. Indikator prognosis buruk pasien intoksikasi amfetamina
adalah koma,shock, kejang, oliguria, dan hiperpireksia. Asidosis,hipovolemik,
kerusakan ginjal, dan iskemia adalah faktor-faktor risiko potensial untuk
berkembangnya gagal ginjal akut.(PPPDSKJI,2012)
Penggunaan jangka waktu lama dan dosis besar dapat menyebabkan depresi
mental, kelelahan fisik dan pada kasus penyalahgunaan obat dapat menimbulkan
kematian.
31

BAB 3
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

3.2 Saran

Dari permasalahan, kami menyarankan:.


32

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association.2000.Diagnostik and Statistical Manual of Mental


Disorders, Fourth Edition, Text Revision, DSM-IV-TR. Washington, DC : American
Psychiatric Association. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/289973-
clinical [Accessed 20 Juni 2014]

Handly, N., et al., 2012. Amfetamin Toxicity. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/812518-clinical [Accessed 20 Juni 2014]

Hidayati, 2009. Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia. Available from:


http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2009/edisi-11-2009/122-kegiatan/142
penyalahgunaan-narkotika-di-indonesia [Accessed 20 Juni 2014]

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan
dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkoba Tahun 2011-2015 available from: https://docs.google.com/viewer?
a=v&q=cache:BfhHbxe68WwJ:www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2012/01/26/201201
26120801-
10108.PDF+instruksi+presiden+republik+indonesia+nomor+12+tahun+2011+tentang&
hl=en&gl=uk&pid=bl&srcid=ADGEEShNk1sNGcr3PwgyXluv2dEpLxnxLnPq0YQxN
WFaV8hdK99MzGt-
5vUzI7qGDL5FS9ij8ou36_JnDWWrATNG7yVjd8kkdQjyx75Ag9k48oQqIcSR9m461h
EH6ijlaVgZmUgr-Ytl&sig=AHIEtbRBSgWMblTs-nZWJj5eb18ImSMlMg [Accessed
20 Juni 2014]

Japardi, Iskandar. 2002.Efek Neurologis dari Ectasay dan Shabu-Shabu.Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1980/3/bedah-iskandar
%20japardi8.pdf.txt [Accessed 20 Juni 2014]

Joewana, Satya. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba Ed.2. Jakarta: EGC.

Kaplan and Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis Ed.7 Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.

Maslim, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic


Medication). Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-UNIKA Atma Jaya

Maslim, 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-UNIKA Atma Jaya

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa.2012.Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri.PP PDSKJI: Jakarta. Available from:
33

http://www.pdskji.org/wp-content/uploads/2012/10/final-PNPK-versi-revisi-10.doc-1-
44.pdf [Accessed 20 Juni 2014]

Substance Abuse and Mental Health Services Administration, 2012. National Survey on Drug
Use and Health. Available from: http://www.samhsa.gov/data/NSDUH.aspx [Accessed
20 Juni 2014]

Sutiyoso, B., 2008. Penyalahgunaan Narkoba. Available from:


http://bambang.staff.uii.ac.id/2008/08/26/penyalahgunaan-narkoba/ [Accessed 20 Juni
2014]

Anda mungkin juga menyukai