Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Metodologi Studi Islam

Islam Demokrasi dan Politik di Indonesia

Dosen pengampu :
Muslim, M.Ag

Disusun Oleh :
Adhe Novie Imandari ( 11554202617)
Wiwit Yuliya Sasmita (11554202558)

PRODI MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUSKA RIAU
2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-NYA penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul Islam Demokrasi dan Politik di Indonesia . Tugas makalah ini
merupakan salah satu tugas untuk memenuhi syarat mata kuliah Metodologi Studi Islam.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang terbatas. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan makalah ini.. Akhirnya
penulis berharap agar makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Pekanbaru, 18 November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gerakan politik Islam di Indonesia senantiasa menarik untuk dianalisis baik oleh ilmuwan
politik dalam negeri maupun Asing. Intelektual politik Indonesia antara lain Nazaruddin
Sjamsuddin, Syafii Maarif, Deliar Noor. Selain itu dari peneliti politik Asing antara lain yang
dilakukan Herbert Feith, Geertz, J. Benda, Karl Jacson, William liddle, dan Hiroko Horikosi.
Ketertarikan ilmuwan politik tersebut senantiasa berawal dari beberapa asumsi antara lain:
pertama, Islam politik Indonesia berbeda pola gerakannya dengan Islam di berbagai Negara Islam.
Islam politik Indonesia lebih menerima demokrasi tetapi kental dengan budaya lokal. Kedua, Islam
sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, sehingga memiliki power politik yang cukup
besar. Dan Ketiga, Islam politik memiliki serentetan sejarah perjuangan dan perlawanan.

Secara makro eksistensi Islam politik dalam pembangunan politik bangsa tidak dapat
dikesampingkan sebagaimana dikatakan peneliti senior LIPI, Taufik Abdullah bahwa peranan
Islam dalam sejarah masyarakat-masyarakat di Indonesia sejak abad ke-15-terutama sejak abad
ke-17 dan seterusnya sangat besar. Islam merupakan kekuatan historis yang cukup besar dalam
dinamika sejarah. Peneliti dan sejarawan lain Onghokhan menambahkan, Sejak penyebaran
agama Islamdi Indonesia, agama memainkan peranan penting. Bahkan pada abad ke-20, Islam
tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur dengan ideologi-ideologi lain seperti
nasionalisme sekuler, komunisme dan sosialisme.

Apabila dianalisis awal masuk Islam dan Islam yang berkembang di masyarakat Indonesia
lebih bernuansakan Islam Fiqih atau Tasawuf. Masyarakat lebih banyak membicarakan dan
mempertentangkan masalah Fiqih ketimbang politik. Sehingga organisasi-organisasi Islam pada
awalnya lebih mengedepankan pemurnian agama atau puritanisme. Seperti yang dilakukan
Muhammadiyah, Persis, NU dan kelompok tarekat atau tasawuf.Puritanisme inilah yang menjadi
khas satu organisasi Islam. Aliran Tasawuf kebanyakan dibawa oleh para wali terutama wali songo
sekitar abad 15-an dan Fiqih banyak dibawa oleh kaum pembaharu yang lebih mengemuka sekitar
awal abad 20-an.
Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia lebih mudah menerima Demokrasi, karena
demokrasi tidak berkaitan dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan Fiqih dan tasawuf.
Fenomena tersebut berbeda dengan kondisi Negara-negara Islam terutama di Timur Tengah.
Negara-negara tersebut agak sulit menerima Demokrasi, mungkin disebabkan beberapa faktor
antara lain: pertama, Demokrasi adalah faham Barat, dimana negara-negara Barat dianggap
sebagai biang keladi kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki sekitar tahun 1923, sehingga sampai
sekarang masih banyak gerakan politik Islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah
seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Kedua, ada gesekan peradaban dimana negara-
negara Islam semasa berdiri Khilafah Islamiyah pernah berjaya, sehingga ilmuwan politik
Amerika yakni Samuel Huntington mengeluarkan tesis perlu adanya dialog peradaban dan yang
dimaksud adalah peradaban Timur dan Barat (Islam vs Barat). Ketiga, belum selesainya masalah
Palestina dan Israel. Gerakan Palestina melahirkan solidaritas negara-negara Islam Timur Tengah,
sedangkan Israel melahirkan solidaritas negara-negara Barat.

Perbedaan yang sekaligus menjadi keunikan Islam Indonesia inilah yang senantiasa
merangsang untuk diteliti dan dianalisis oleh para ilmuwan politik. Bahkan dengan munculnya
gagasan Demokrasi bagi umat Islam Indonesia terjadi konsolidasi umat dengan terbentuknya
Masyumi di awal kemenerdekaan RI yang pernah berjaya dan berkuasa dengan tokoh militannya
Mohammad Natsir yang pada tahun 2008 dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden
SBY. Masyumi sampai sekarang menjadi impian bagi setiap Partai politik Islam. Bahkan pasca
jatuhnya rejim Orde Baru tidak sedikit Partai Islam mengatasnamakan penjelmaan Masyumi.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
a. Bagaimana Demokrasi Islam di Indonesia ?
b. Bagaimana Politik di Indonesia ?
c. Bagaimana Politik Islam di Indonesia ?
d. Adakah perbedaan dan persamaan Demokrasi Islam dan Politik di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapaun tujuan dari penulisan makalah Metodologi Studi Islam ini adalah :
1. Makalah ini di buat demi memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam.
2. Mempelajari pandangan Islam dalam urusan Demokrasi Islam dan Politik di Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah Metodologi Studi Islam ini adalah :
1. Agar penulis serta pembaca paham bagaimana Demokrasi Islam dan Politik di Indonesia.
2. Agar penulis serta pembaca bisa lebih baik dalam memahami beberapa pandangan islam
tentang politik di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Demkorasi Islam

Demokrasi bukan berasal dari Bahasa Arab. Tapi berasal dari Bahasa Yunani. Yaitu terdiri
dari dua kata; Pertama: Demos, artinya, khalayak manusia, atau rakyat. Kedua; Kratia, artinya
hukum. Maka maknanya menjadi hukum rakyat.

Demokrasi Islam adalah ideologi politik yang berusaha menerapkan prinsip-


prinsip Islam ke dalam kebijakan publik dalam kerangka demokrasi. Teori politik Islam
menyebutkan tiga ciri dasar demokrasi Islam: pemimpin harus dipilih oleh rakyat, tunduk
pada syariah, dan berkomitmen untuk mempraktekkan "syura", sebuah bentuk konsultasi khusus
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dapat ditemukan dalam berbagai hadits dengan
komunitas mereka. Negara-negara yang memenuhi tiga ciri dasar tersebut antara
lain Afghanistan, Iran, dan Malaysia. Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab adalah contoh
negara yang tidak menganut prinsip demokrasi Islam meski negara-negara Islam, karena negara-
negara ini tidak mengadakan pemilihan. Pelaksanaan demokrasi Islam berbeda di negara-negara
mayoritas muslim, karena interpretasi syariah berbeda-beda dari satu negara ke negara lain, dan
penggunaan syariah lebih komprehensif di negara-negara di mana syariah menjadi dasar bagi
undang-undang negara.

Konsep liberalisme dan partisipasi demokratis sudah ada di dunia Islam abad pertengahan.
Kekhalifahan Rasyidin dianggap oleh para pendukungnya sebagai contoh awal sebuah negara
demokratis dan diklaim bahwa perkembangan demokrasi di dunia Islam akhirnya terhenti
setelah perpecahan SunniSyiah.

Allah Taala telah mengabarkan dalam KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah Dia semata,
Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam menetapkan
hukum dan Dia mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik hukumnya dariNya.

Allah Taala berfirman, yang artinya :

Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. SQ. Ghofir:
12.
Allah Taala berfirman, yang artinya :

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." SQ. Yusuf:
40.

Allah Taala berfirman, yang artinya :

Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?. SQ. At-Tin : 8.


( : 26)

Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-
lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan
Alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-
Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan".
SQ. Al-Kahfi: 26

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?. SQ. Al-Maidah: 50.

Allah Azza wa Jallah merupakan Sang Pencipta makhluk, Dia mengetahui apa yang terbaik bagi
mereka dan hukum apa yang layak untuk mereka. Sementara manusia beragam akal, akhlak dan
kebiasaannya. Mereka tidak mengetahui apa yang baik buat mereka apalagi mengetahui apa yang
terbaik untuk selain mereka. Karena itu, masyarakat yang menjadikan rakyat sebagai pedoman
hukum dan UUnya tidak ada yang dihasilkannya kecuali kerusakan, runtuhnya moral dan rusaknya
kehidupan sosial.

2.2 Politik di Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan
berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia
tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun 90%
penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
Cabang eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan yang dibantu oleh seorang wakil presiden yang kedudukannya sebagai
pembantu presiden di atas para menteri yang juga pengawas presiden. Kekuasaan legislatif dibagi
di antara dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat / DPR dan Dewan Perwakilan Daerah / DPD. Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah
Agung / MA yang dan sebuah Mahkamah Konstitusi / MK yang secara bersama-sama memegang
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang
memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pemilihan Umum diselenggarakan setiap 5 tahun untuk memilih anggota DPR, anggota
DPD, dan anggota DPRD yang disebut pemilihan umum legislatif (Pileg) dan untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut pemilihan umum presiden (Pilpres). Pemilihan
Umum di Indonesia menganut sistem multipartai.

Ada perbedaan yang besar antara sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya
di dunia. Di antaranya adalah adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan ciri khas
dari kearifan lokal Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang juga berwenang mengadili sengketa
hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme
seperti adanya Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem multipartai berbatas di mana setiap partai
yang mengikuti pemilihan umum harus memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan
anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD
Kabupaten/Kota.

2.3 Politik Islam di Indonesia

Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau dan
mungkin hingga menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang
digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik,
dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam merupakan
salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah
yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.
Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan peran
Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia. Persoalannya ialah mampukah
umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang
berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi
mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan
demikian, agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal.
Kemudian setelah itu, umat Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara
koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mencari bentuk teoretik kontemporer dari
konsepsi Islam politik. Kedua, menelusuri pertumbuhan, perkembangan, dan pasang surut Islam
politik di Indonesia. Ketiga, mencari rumusan format politik Islam atau Islam politik baru di
Indonesia.

Islam akan bisa menjadi salah satu dari kekuatan politik yang sangat berarti bagi dunia
menjelang tahun 2000. Kalimat itu merupakan pernyataan W Montgomery Watt, pengamat Islam
bangsa Amerika yang bernada optimistik. Salah satu alasannya, menurut Watt adalah tradisi Islam
yang tidak memisahkan antara politik dan agama.

Konseptualisasi Islam kontemporer, setidaknya dapat dikelompokkan pada dua bentuk


kenegaraan Islam. Pertama, konseptualisasi yang diwakili oleh Al-Maududi yang bercorak
ideologis dan formalistik. Kedua, kekuatan konseptualisasi Ali Abdul Raziq yang dengan
interpretasinya terhadap realitas historis mengubah corak formalistik Islam menjadi berwajah
kultural dan komplementer.

Pemikiran Maududi

Menurut konseptualisasi Maududi, kebutuhan dan pembenaran untuk suatu negara Islam
timbul dari pemahaman akan tatanan universal. Karena itu negara Islam adalah bagian dari teologi
terpadu, luas, yang prinsip pokoknya adalah kedaulatan Tuhan. Negara atau alat lain yang akan
melaksanakan kekuatan politik merupakan konsekuensi pada konsepsi universal yang diatur
Tuhan bagi kehidupan manusia di dunia.

Untuk itu Maududi merumuskan negara Islam dengan menggunakan dua cara. Pertama,
melalui pembahasan prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kedua, melalui pertimbangan lembaga-
lembaga dan sifat-sifat khususnya.
Bagi Maududi, sasaran negara bukan semata-mata mencegah tirani, menghentikan
berbagai macam kejahatan, tapi juga mendorong setiap jenis kebajikan. Guna mencapai tujuan ini
diperlukan kekuatan politik, dan negara dibenarkan menggunakan seluruh sarana. Suatu negara
dengan tujuan seperti itu tidak dibolehkan mengabaikan kehidupan rakyatnya, walaupun misalnya
beralasan bahwa ini di luar wewenangnya. Pendekatannya, haruslah menyeluruh dan universal.
Pendeknya negara haruslah totaliter. Menolak ketentuan ini, dengan membiarkan adanya bidang
di luar kekuasaan negara, akan sama artinya dengan menyangkal kedaulatan Tuhan. Maududi
memang mengakui bahwa konsepsi negara Islam adalah totaliter. Hanya totalitarianisme yang
dikenalkan itu tidak menindas kebebasan individu dan kemerdekaan manusia tetapi justru
melindunginya.

Satu hal pokok dari negara Islam, menurut Maududi adalah wujudnya sebagai suatu negara
ideologi. Faktor pengikat di kalangan warga negara adalah ideologi yang dianut bersama. Ideologi
ini bertujuan memperbaiki masyarakat manusia dan negara adalah alat untuk mencapai tujuan
tersebut.

Dua akibat penting dari negara Islam sebagai negara Ideologi ialah, pertama, negara harus
diawasi dan dikendalikan hanya oleh seorang muslim. Kedua, soal konsep kewarganegaraan. Ada
dua jenis kewarganegaraan: satu jenis untuk kaum muslimin yang berdomisili di wilayah negara,
dan jenis lain untuk mereka yang bukan muslim yang menyetujui dan patuh kepada negara Islam
tempat mereka bermukim. Pada kaum muslimin terletak tanggung jawab sepenuhnya atas
berjalannya roda negara. Merekalah yang menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam,
termasuk kewajiban membela negara, dan sebaliknya mereka berhak menjadi anggota parlemen,
memberikan suara dalam pemilihan kepada negara, dan diangkat pada kedudukan-kedudukan
penting.

Warga negara bukan Muslim dijamin memperoleh perlindungan hidup, badan, milik, dan
keyakinan serta kehormatan. Yang tidak dijamin kepada mereka adalah hak penuh untuk
mengemukakan pernyataan politik atau persamaan dengan sesama warga negara muslim. Negara
akan memberlakukan pada mereka undang-undang negara secara umum, sementara membiarkan
mereka menggunakan hukum perorangan mereka guna mengatur urusan mereka sendiri. Ada
sejumlah jaminan dan perlindungan lain yang juga diberikan kepada mereka, yaitu terpenuhinya
kebutuhan pokok hidup kepada semua warga negara tanpa kecuali.
Konsep itu lahir di tengah suasana proses pembentukan negara-negara nasional pada awal abad
ke-20, ketika lembaga ''Khalifah'' yang berpusat di Turki telah merosot otoritasnya, setelah Perang
Dunia I. Dan semua gagasannya dipengaruhi oleh satu cita-cita kaum sekular dari kelompok muda
Turki yang pernah dididik Barat. Ide-ide politik Maududi itu sesungguhnya hendak menyadarkan
kaum intelektual muslim dan membangkitkan di dalam diri mereka tentang suatu fakta bahwa
Islam mempunyai aturan hidup sendiri, kebudayaan sendiri, sistem politik sendiri, ekonomi,
filsafat, dan sistem pendidikan yang lebih tinggi daripada segala sesuatu yang ditawarkan oleh
peradaban Barat.

Tentu Maududi amat beruntung bahwa ide-idenya dapat direalisasikan, minimal di tingkat
konstitusi pada suatu negara baru hasil pemisahannya dari anak benua India. Pengakuan 1949
Majelis Konstituante Pakistan menyetujui ''Revolusi Objektif'' yang berisi tentang ide-ide
Maududi, tidak jauh dari apa yang dikemukakan di atas. Persoalannya memang tidak berhenti di
tingkat konstitusi saja, karena berbagai tantangan muncul. Komisi ''Munir'' yang terkenal itu,
misalnya, merupakan "protes" paling keras terhadap ide-ide Maududi. Bahkan Presiden Iskandar
Mirza, pada 7 Oktober 1958 memutuskan untuk membatalkan konstitusi "negara Islam" yang
banyak menolak ide-ide Maududi tersebut. Bahkan pada masa Ayub Khan, diberlakukan undang-
undang darurat perang dan melarang partai politik, termasuk partai Maududi Jamaat-i-Islami.
Pakistan hingga wafatnya Zia Ul Hak (1988) masih tetap mencari identitas diri yang tak kunjung
selesai dan kadang-kadang diwarnai oleh kekerasan-kekerasan yang memakan korban.

Maududi dan kemudian negara Islam Pakistan adalah sebuah model pemikiran dan institusi politik
yang diupayakan mempunyai watak keislaman yang "kaffah", holistik dan menyeluruh.

Pemikiran Raziq

Dalam definisi umum modernisasi politik terkandung tiga tema besar, yaitu, (1) Penekanan
pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik. (2) Penekanan atas
persamaan, kekuasaan, gagasan bahwa perkembangan politik melibatkan partisipasi massa dalam
masalah-masalah poliitk. (3) Penekanan pada perluasan kapasitas dari suatu sistem politik untuk
mengarahkan perubahan sosial dan ekonomi.
Ketiga tema itu bergaung keras di negeri-negeri Muslim yang sedang mencari identitasnya.
Dilema pun muncul di sekitar tema-tema itu. Jika diferensiasi membuat pemisahan lembaga politik
dari struktur agama, maka diktum bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari agama telah dipupus.
Jika agama dan lembaga-lembaganya (ulama, pemimpin agama) menjadi alat untuk membawa
massa pada proses politik maka keabsahan proses politik massal itu pun dipertanyakan. Tetapi satu
hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat
politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik
dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu
kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses
penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap
mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami, namun tidak muncul secara
formal: memahami pluralisme.

Penafsiran kembali konsepsi Islam tentang politik dan kenegaraan muncul misalnya di
Mesir dengan tokohnya Ali Abdul Raziq. Melalui buku al-Islam wa Ushul al-Hukm, konsepsi
Raziq kemudian menjadi model alternatif bagi pemikiran politik Islam kontemporer. Secara garis
besar pemikiran Raziq bertolak dari definisinya tentang ''Khalifah''. Bagi Raziq, khalifah tidak
wajib didirikan, baik menurut akal maupun menurut syara'. Yang wajib bagi umat adalah
menegakkan hukum syara'. Jika umat sudah berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Allah
telah dilaksanakan, maka tidak perlu ada imam atau khalifah. Baik Alquran maupun sunnah tidak
pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian kepemimpinan negara.

Kedua, bahwa risalah (kerasulan Muhammad SAW) itu bukanlah kerajaan. Risalah adalah
suatu status kultural dan kerajaan adalah status struktural. Banyak raja yang bukan rasul,
sebagaimana kebanyakan rasul adalah bukan raja. Penafsiran Raziq tentang risalah Nabi hanya
mengandung nilai yang menyerupai pemerintahan politik. Raziq yakin bahwa Nabi Muhammad
hanyalah seorang rasul dan menyampaikan seruan agama, tidak pernah mendirikan negara dalam
pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik.

Dari interpretasinya terhadap dua hal tersebut, Raziq membuat kesimpulan akhir yang
sangat luwes. Khalifah tidak ada kaitannya dengan agama. Agama tidak mengenalnya, tidak
mengingkari, tidak memerintahkan, dan tidak melarangnya. Semua dikembalikan kepada akal
pengalaman manusia dan pendapat orang.
Dalam term mutakhir, solusi Raziq itu merupakan ''de-ideologi'' dan ''de-politisasi'' Islam
dan bersamaan dengan itu terjadi perluasan wawasan keislaman. Politik hanya merupakan salah
satu komponen, dan bukan determinan, di dalam proses sejarah kehidupan umat Islam.

Pada periode ini, proses de-ideologisasi Islam (meminjam Kuntowijoyo), justru


mengantarkan Islam pada periode ilmu. Politik bisa jatuh bangun, tetapi ide tidak terpengaruh
perkembangan politik. Pada periode ini, Islam lebih terbuka, dan diharapkan bisa lebih terasa
"rahmatan lil 'alamin", bukan hanya sekadar ideologi yang hanya dinikmati umat Islam.

Pada realitas empiris, perkembangan politik Islam di Indonesia dapat dibicarakan melalui
dua manifestasinya yang nyata: sebagai ideologi dan sebagai perilaku-perilaku kultural (yang
pengaruh dan kekuatannya tetap mempunyai muatan politik). Dua bentuk manifestasi politik Islam
ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai eksternal dan pemahaman terhadap sesuatu yang kadang-
kadang pragmatis (seperti ekonomi). Perubahan manifestasi politik dari satu bentuk ke bentuk
yang lain mungkin saja dapat dikonseptualisasikan sebagai, misalnya, proses sekularisasi politik
Indonesia atau merosotnya peran ideologis Islam. Tetapi dengan mencoba mencari pemahaman
baru terhadap realitas politik Islam di Indonesia, konseptualisasi sekularisasi politik sebagaimana
dikemukakan Donald E Smith ditinjau kembali.

Smith, mengambil Islam sebagai contoh kasus dan membuat suatu skema dengan
menunjukkan perkembangan Islam bermula dari corak tradisional ke Islam modern, Islam sosialis,
sosialisme, dan akhirnya ke pragmatisme humanisme sekular, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat modern.

Yang terjadi sesungguhnya di dalam negara-negara baru adalah bukan sekularisasi politik
hingga menjadi benar-benar pragmatis sekular, tetapi menciutnya pengaruh politik pemimpin
agama setelah beberapa waktu elite agama ini sangat berpengaruh dalam proses politik. Dengan
demikian, berkurangnya pengaruh itu berarti sistem politik di Indonesia tidak ada penguasa yang
terang-terangan anti-Islam atau terang-terangan sekular.

Dengan memahami perkembangan politik di Indonesia seperti itu, maka tidak akan terjadi
upaya memitologikan "partai politik Islam" atau bahkan "negara Islam", dan pemahaman arti
politik menjadi lebih luas, tidak sekadar partai politik misalnya. Dan romantisme seperti itu dapat
ditekan untuk kemudian mencoba mengembangkan aktivitas "politik baru" yang lebih bermakna.
2.4 Persamaan dan Perbedaan Islam Politik dan Demkorasi di Indonesia

Antara Sistem Politik Islam dan Demokrasi terdapat banyak persamaan. Namun pada
kenyataannya, keduanya juga memiliki perbedaan yang sama besarnya dengan sisi kesamaannya.
Bahkan sisi-sisi perbedaannya lebih penting dibandingkan dengan sisi persamaannya.

Adapun persamaan yang ada di antaranya :

1. Pemerintahan rakyat, melalui rakyat dan untuk kepentingan rakyat.

2. Konsep-konsep social

a. Persamaan di hadapan Undang-Undang

b. Kebebasan dalam kepercayaan dan akidah

c. Mewujudkan keadilan sosial

d. Jaminan atas hak-hak tertentu; hak hidup; kebebasan dan bekerja

3. Konsep pembagian kekuasaan

a. Kekuasaaan legislatif terletak dalam diri umat secara kolektif dan terpisah dari
kekuasaan pemimpin Negara.

b. Hukum indpenden dari Kepala Negara

c. Institusi pengadilan juga bersifat independen hukum tidak berdasarkan perintah


penguasa.

Sedangkan perbedaannya.

Sisi-sisi perbedaan antara demokrasi dengan pemerintahan islam jauh lebih penting dari pada sisi
persamaannya.

Perbedaan terpenting antara system politik islam dengan system demokrasi ada 3 unsur :

1. Yang dimaksud dengan istilah rakyat atau bangsa dalam system demokrasi adalah rakyat
yang terbatas pada lingkup territorial geografis yang hidup dalam suatu daerah tertentu
disatukan oleh ikatan darah, ras, Bahasa dan tradisi yang sinonim dengan nasionalisme.
Umat dalam system islam adalah suatu kumpulan yang disatukan oleh kesatuan akidah.
Siapapun yang menganut Islam dari ras manapun dari Negara manapun dia adalah warga
Nergara Islam. Pandangan islam adalah humanism yang berorientasi universal.
2. Tujuan demokrasi ( Ala Barat ) adalah kepentingan dunia atau materi semata. Sedangkan
tujuan system islam disamping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga membidik tujuan
rohani dan inilah tujuan utama dan mendasar serta yang paling tinggi. ( Kepemimpinan
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan dunia ).

3. Kekuasaan rakyat dalam demokrasi (barat) bersifat mutlak. Rakyat atau umat memegang
kedaulatan mutlak. Dalam system islam, kekuasaan rakyat tidak mutlak, akan tetapi terikat
oleh syariat Agama Allah yang diwajibkan untuk setiap individu. Kedaulatan rakyat harus
berlandaskan apa yang dibawa oleh Al-Quran dan Al- Hadits.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Manusia diciptakan Allah dengan sifat bawaan ketergantungan kepada-Nya di samping


sifat-sifat keutamaan, kemampuan jasmani dan rohani yang memungkinkan ia melaksanakan
fungsinya sebagai khalifah untuk memakmuran bumi. Namun demikian, perlu dikemukakan
bahwa dalam keutamaan manusia itu terdapat pula keterbatasan atau kelemahannya. Karena
kelemahanya itu, manusia tidak mampu mempertahankan dirinya kecuali dengan bantuan Allah.
Bentuk bantuan Allah itu terutama berupa agama sebagai pedoman hidup di dunia dalam
rangka mencapai kebahagiaan di akhirat nanti. Dengan bantuan-Nya Allah menunjukkan jalan
yang harus di tempuh manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia hanya
dapat terwujud jika manusia mampu mengaktualisasikan hakikat keberadaannya sebagai makhluk
utama yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum Tuhan dalam pembangunan kemakmuran di
bumi untuk itu Al-Qur'an yang memuat wahyu Allah, menunjukkan jalan dan harapan yakni (1)
agar manusia mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah (sifat asal atau kesuciannya), (2)
mewujudkan kebajikan atau kebaikan dengan menegakkan hukum, (3) memelihara dan memenuhi
hak-hak masyarakat dan pribadi, dan pada saat yang sama memelihara diri atau membebaskan diri
dari kekejian, kemunkaran dan kesewenang-wenangan. Untuk itu di perlukan sebuah system
politik sebagain sarana dan wahana (alat untuk mencapai tujuan) yaitu Politik Islam.

3.2 Saran

Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran utama
dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat,
negara dan Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau
politisi dalam menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam
alam modern ini dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju
masyarakat yang adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan
masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek mulai ekonomi,
sosial, militer, budaya sampai dengan politik.
DAFTAR PUSTAKA

http://islamwiki.blogspot.co.id/2016/12/sistem-politik-islam-dan-demokrasi.html
http://www.academia.edu/6841626/ISLAM_DAN_DEMOKRASI_DALAM_PRAKTEK_POLI
TIK_INDONESIA
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Islam
http://www.gurusejarah.com/2013/03/politik-islam-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai