Anda di halaman 1dari 91

ABSTRAK

ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH SEBAGAI


SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH
DI KOTA METRO

Oleh

Ferry Susanawati

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jenis pajak daerah mengenai

pertumbuhan dan kontribusinya terhadap total pajak daerah serta pendapatan asli

daerah. Mengidentifikasikan ke dalam klasifikasi prima, potensial, berkembang

dan terbelakang. Melakukan perhitungan potensi sebenarnya terhadap pajak

daerah yang berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan

pendapatan asli daerah. Dan memproyeksikan pajak daerah di masa yang akan

datang.

Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder di Kota Metro dengan

periode penelitian tahun 2004 2013. Alat analisis yang digunakan adalah

analisis pertumbuhan, analisis kontribusi, analisis overlay dengan matrik, analisis

potensi dan analisis proyeksi.

Analisis pertumbuhan dan kontribusi digunakan untuk mengetahui pertumbuhan

dan kontribusi jenis pajak daerah terhadap total pendapatan pajak daerah dan

terhadap pendapatan asli daerah. Analisis overlay dengan matrik digunakan untuk

mengidentifikasi jenis pajak daerah yang diklasifikasikan prima, potensial,

berkembang dan terbelakang. Analisis potensi digunakan untuk mengetahui


potensi sebenarnya dari jenis pajak daerah yang berpotensi untuk dikembangkan

dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan kontribusi jenis pajak

daerah mengalami fluktuasi. Identifikasi terhadap jenis pajak daerah dilakukan

dengan melihat pertumbuhan dan kontribusinya. Hasil perhitungan pertumbuhan

dan kontribusi tersebut dilakukan matrik berdasarkan analisis overlay sehingga

menghasilkan klasifikasi; prima, potensial, berkembang dan terbelakang. Dan

berdasarkan analisis overlay pajak restoran dan pajak bumi dan bangunan

merupakan jenis pajak daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam

rangka peningkatan pendapatan asli daerah.

Nilai potensi sebenarnya pajak restoran adalah sebesar Rp 2.554.800.000,-,

sedangkan realisasi terbesar pajak restoran pada tahun anggaran 2013 sebesar Rp.

553.700.312,-. Sehingga potensi yang belum terealisasi adalah sebesar 78,33%.

Untuk pajak PBB Perkotaan Nilai Pajak PBB Perkotaan di Kota Metro pada tahun

2013 dengan menggunakan data objek pajak yang sesuai dengan Pokok Ketetapan

PBB Perkotaan adalah sebesar Rp. 3.147.142.107,- ; Realisasi penerimaan Pajak

PBB Perkotaan tahun 2013 hanya sebesar Rp. 2.230.859.456,- atau sebesar 70,9

%, dengan demikian potensi yang belum terealisasi sebesar 29,1 % atau sebesar

Rp. 916.282.651,-

Proyeksi terhadap jenis pajak daerah dan pajak restoran dilakukan dengan

menggunakan Teknik Anuitas. Proyeksi pajak daerah Kota Metro didapat bahwa

tingkat pertumbuhan atau r = 0,175 . Proyeksi pajak restoran didapat bahwa

tingkat pertumbuhan atau r = 0,243, maka untuk tahun anggaran 2014 s.d 2018
proyeksi baik pajak daerah Kota Metro dan pajak restoran mengalami peningkatan

di bandingkan tahun sebelumnya atau dibandingkan tahun anggaran 2013.

Pemerintah diharapkan dapat menata penerimaan melalui pajak, dengan

mencermati pertumbuhan dan kontribusi pajak daerah yang mengalami fluktuasi

di Kota Metro, maka perlu dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan

dari setiap jenis pajak daerah agar mengalami peningkatan pertumbuhan dengan

mengurangi fluktuasinya.

Kata Kunci: pertumbuhan, kontribusi, potensi pajak daerah, pendapatan asli

daerah
ABSTRACT

ANALYSIS OF THE POTENTIAL TAX AS


LOCAL REVENUE SOURCES
IN THE CITY METRO
by

Ferry Susanawati

This study aims to analyze the types of local taxes on the growth and contribution

to total local taxes and local revenue. To identify the prime classification,

potential, developing and underdeveloped. Perform the actual calculation of the

potential of the local taxes that have the potential to be developed in order to

increase revenue. And projecting local taxes in the future.

The data used in the form of primary and secondary data in Metro City with the

study period of 2004 - 2013 is the analytical tool used growth analysis,

contribution analysis, overlay analysis matrix, analyzes the potential and

projection analysis.

Analysis of growth and contribution are used to determine the growth and

contribution of local taxes to total tax revenue to the area and local revenues.

Overlay with matrix analysis is used to identify the types of local taxes are

classified prime, potentially, developing and underdeveloped. Analysis of

potential use to assess the real potential of this type of tax potential areas to be

developed in order to increase revenue.


The results of this study showed that the growth and contribution of local taxes

has fluctuated. Identify the types of local taxes done by looking at the growth and

contribution. The results of the calculation of growth and the contribution made

by overlay analysis matrix resulting classification; prime, potentially, developing

and underdeveloped. And based on the analysis of overlay restaurant tax and

property tax is a local tax types that have the potential to be developed in order to

increase revenue.

The potential value of the actual restaurant tax is Rp 2,554,800,000, -, while the

biggest realization restaurant tax year 2013 budget of Rp. 553 700 312, -. So that

is the unrealized potential of 78.33%. For property tax Tax Value United Nations

Urban Urban Metro City in 2013, using data to tax in accordance with the Decree

of the UN Basic Urban is Rp. 3147142107, -; United Nations Urban Tax revenue

realization in 2013 only Rp. 2230859456, - or by 70.9%, thus the unrealized

potential of 29.1% or Rp. 916 282 651, -

Projections of the types of local taxes and restaurant taxes done using Technique

Annuity. Metro City local tax projections obtained that the growth rate or r =

0.175. Restaurant tax projections obtained that the growth rate or r = 0.243, then

the budget for the year 2014 till 2018 good projection City Metro area tax and

restaurant tax increase compared to the previous year or compared to fiscal year

2013.

The government is expected to organize receipts through taxes, to observe the

growth and contribution of local taxes fluctuated in Metro City, it is necessary to


intensification and extension of the income of any kind of local taxes in order to

increase growth by reducing fluctuations.

Keywords: growth, contribution, potential local tax, revenue


SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan

kekuatan dan izin-Nya kepada penulis baik fisik maupun mental sehingga penulis

dapat merampungkan tesis ini yang berjudul ANALISIS POTENSI PAJAK

DAERAH SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA

METRO.

Penyusunan tesis ini merupakan bagian dari persyaratan untuk menyelesaikan

pendidikan pada program Strata Dua (S2) dan untuk melengkapi syarat-syarat

guna memperoleh gelar Magister Ilmu Ekonomi (M.I.E.) dalam Ilmu Ekonomi

konsentrasi Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah Universitas

Lampung.

Dalam upaya penyelesaian tesis ini, penulis telah banyak menerima bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, dengan tidak mengurangi rasa terima kasih atas

bantuan semua pihak, maka secara khusus penulis ingin menyebutkannya,

diantaranya sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas

Lampung;
3. Prof. Dr. Satria Bangsawan S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Lampung;

4. Dr. Toto Gunarto, S.E., M.Si., selaku Pembahas/Penguji Utama Program

Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi Universitas Lampung, terima kasih

atas segala saran dan ilmunya untuk tesis ini;

5. Muhammad Husaini, S.E.,M.P., Selaku Pembimbing Kesatu, yang telah

banyak mencurahkan pemikiran serta waktunya dalam membimbing penulis

menyelesaikan tesis ini disela-sela kesibukan beliau sebagai Ketua Jurusan

Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Lampung;

6. Dr. I Wayan Suparta, S.E., M.Si., Selaku Pembimbing Kedua, yang telah

banyak mencurahkan pemikiran dan juga senantiasa mengarahkan dan

memotivasi penulis dalam proses belajar kearah yang lebih baik serta

meluangkan waktunya dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini

disela-sela kesibukan beliau sebagai Ketua Program Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Lampung ;

7. Bapak dan Ibu Dosen di Program Magister Ilmu Ekonomi yang telah

memberikan bimbingan dan nasehatnya selama penulis menimba ilmu

pengetahuan di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung serta para pegawai

dan karyawan yang senantiasa ikhlas dalam melayani administrasi dan segala

sesuatu keperluan akademik yang dibutuhkan penulis;

8. Bapak Sahidin, S.E dan Karyawan-karyawan di Program Studi Magister Ilmu

Ekonomi;
9. Pimpinan perpustakaan beserta karyawan, baik perpustakaan Ekonomi

maupun perpustakaan Universitas Lampung, yang telah memberikan pinjaman

buku-buku literatur yang dibutuhkan oleh penulis;

10. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Metro, yang telah memberikan

informasi, saran, dan kesediannnya untuk diwawancarai oleh penulis.

11. Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Metro, yang

telah memberikan informasi, saran, dan kesediannya untuk diwawancarai oleh

penulis.

12. Rekan-rekan kantor di Kantor Ketahanan Pangan Kota Metro yang senantiasa

kooperatif membantu penulis dan memberikan motivasi dalam penyelesaian

tesis ini;

13. Kedua orangtuaku yang selalu memberikan motivasi dan doa-doa sucinya,

sungguh begitu besar jasa-jasa kalian kepadaku dalam hidup ini. Hanya doa

dan bhaktiku yang bisa kupersembahkan pada kalian.

14. Adik-adikku tercinta yang selalu mendoakan penulis dalam mencapai cita-

cita dan menanti keberhasilanku.

15. Teman-teman seperjuangan dalam menimba ilmu dan silaturrahim, angkatan

kedua Bapak Imam Santoso, S.E., Mbak Ii, S.E., Bang Ery Muniadi, S.Fil., Mbak

Nindya Eka Sobita, S.P, Mas M. Iqbal Harori S.AB, Mbak Rini Anita Sari, S.E.,

Mas Dwi Marwanto, S. PdH., Bang Hendra Prasetya, S.E., Ayuna Tantina, S.E.,

Bang Hendra, S.E., Mas Sulistyo, S.E., Mbak Dini Maisyuri Sibron, S.E., Mbak

Maya Narang Ali, S.S.T., Rizqo Fitriani, S.S.T., Bapak Sigit, S.A.B., Indah Ayu

Novarizki, S.E., atas kebersamaan yang singkat namun bermakna selama

menyelesaikan studi di Universitas Lampung yang senantiasa membantu dan


menyumbangkan ide-idenya serta memberi motivasi dalam menyelesaikan

tesis ini.

16. Almamaterku Tercinta Universitas Lampung yang telah mendidik dan

mendewasakanku dalam berfikir dan bertindak.

17. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil

sehingga terselesaikannya tesis ini.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,

mengingat kemampuan pengetahuan dan pengalaman penulis yang terbatas.

Akhirnya kepada Allah swt penulis senantiasa memohon rahmat, hidayah dan

inayah-Nya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan Allah

meridhai amal baik atas jasa semua pihak yang telah membantu dalam penulisan

tesis ini.

Bandar Lampung, Juli 2014


Penulis,

FERRY SUSANAWATI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................. i


DAFTAR TABEL.......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. v

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ............................................... .......... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................11
D. Manfaat Penelitian ... ..........12
E. Kerangka Pikir ............................................................................. ..........12
F. Hipotesis ............................................................................. ...................15
G. Sistematika Penulisan .............................................................................15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................17


A. Konsep Desentralisasi ............................................................................17
B. Potensi Pendapatan Asli Daerah .............................................................20
C. Konsep Perpajakan .................................................................................24
D. Pengelompokkan Pajak ................................................................ .........28
E. Pajak Daerah . ..........29
F. Sistem Pemungutan Pajak Daerah ............................................... ..........44
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah ........................ ..........45
H. Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pajak Daerah .................. .........47
I. Pajak Restoran ............................................................................... .........50
J. Hubungan Pajak dengan Pertumbuhan Ekonomi .......................... .........51
K. Penelitian Terdahulu ................................................................................53
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................56
A. Objek Penelitian .....................................................................................56
B. Pengolahan Data .. ..........57
C. Definisi Operasional ..........58
D. Metode dan Alat Analisis ..........58

BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. ...........64


A. Pertumbuhan Penerimaan Pajak berdasarkan Jenisnya ..............64
B. Kontribusi Jenis Pajak Daerah .................................................... 67
1. Kontribusi Jenis Pajak Daerah terhadap Total Pajak Daerah.. 67
2. Kontribusi Jenis Pajak Daerah terhadap Total PAD .. ............ 69
C. Dasar Hukum Pajak Daerah ........................................................71
D. Identifikasi Jenis Pajak Daerah ...................................................71
E. Perhitungan Potensi Riil Pajak Restoran ......................................81
1. Laju Pertumbuhan Pajak Restoran ...........................................81
2. Laju Kontribusi Pajak Restoran terhadap Pajak Daerah
dan PAD ................................................................................. .... 83
F. Perhitungan Potensi Riil PBB Perkotaan .....................................89
G. Penaksiran atau Proyeksi Pajak Daerah ......................................92
1. Perhitungan Proyeksi Pajak Daerah dengan Teknik Anuitas . 92
2. Perhitungan Proyeksi Pajak Restoran dengan Teknik Anuita s92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ ...........96

A. Kesimpulan .......................................................................... ....... 96


B. Saran ............................................................................................ 98

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 PAD Kota Metro Berdasarkan Sumber-sumbernya Tahun


2004 2013........................................................................... 5

Tabel 1.2 Pendapatan Pajak Daerah dan Target Penerimaan PAD


Kota Metro, Tahun 2004 2013.......................................... 7

Tabel 1.3 Rata-rata Pertumbuhan Pajak dan Kontribusi Pajak


terhadap PAD Kota Metro, Tahun 2004 2013................... 9

Tabel 4.1 Rata-rata Pertumbuhan Penerimaan Pajak berdasarkan


Jenis Pajak Daerah Kota Metro, Tahun 2004 2013.......... 64

Tabel 4.2 Rata-rata Kontribusi Jenis Pajak Daerah terhadap Total


Pajak Daerah Kota Metro, Tahun 2004 2013..................... 67

Tabel 4.3 Rata-rata Kontribusi Jenis Pajak Daerah terhadap PAD


Kota Metro, Tahun 2004 2013........................................... 70

Tabel 4.4 Klasifikasi Jenis Pajak Daerah Kota Metro, Tahun 2004
2013....................................................................................... 72

Tabel 4.5 Laju Pertumbuhan Pajak Restoran Kota Metro, Tahun


2004 2013........................................................................... 82

Tabel 4.6 Perkembangan Kontribusi Pajak Restoran terhadap Total


Pajak Daerah Kota Metro, Tahun 2004 2013..................... 84

Tabel 4.7 Perkembangan Kontribusi Pajak Restoran terhadap PAD


Kota Metro, Tahun 2004 2013........................................... 85

Tabel 4.8 Proyeksi Pajak Daerah Kota Metro dengan Teknik Anuitas,
Tahun 2014 2018................................................................ 93

Tabel 4.9 Proyeksi Pajak Restoran Kota Metro dengan Teknik


Anuitas, Tahun 2014 2018................................................ 94
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Perkembangan PAD Kota Metro, Tahun 2004


2013............................................................................. 6

Gambar 1.2 Perkembangan Target dan Realisasi Pajak Daerah


Kota Metro Tahun 2004 - 2013 .................................. 8

Gambar 1.3 Pertumbuhan Pajak dan Kontribusi Pajak terhadap PAD


Kota Metro, Tahun 2004 2013.................................... 10

Gambar 1.4 Bagan Kerangka Pikir ................................................


15

Gambar 4.1 Rata-rata Pertumbuhan Penerimaan Pajak berdasarkan


Jenis Pajak Daerah Kota Metro, Tahun 2004 2013...... 65

Gambar 4.2 Rata-rata Kontribusi Jenis Pajak Daerah terhadap Total


Pajak Daerah Kota Metro, Tahun 2004 2013............... 68

Gambar 4.3 Rata-rata Kontribusi Jenis Pajak Daerah terhadap PAD


Kota Metro, Tahun 2004 2013...................................... 70

Gambar 4.5 Trend Pertumbuhan Pajak Restoran Kota Metro, Tahun


2004 2013..................................................................... 83

Gambar 4.6 Trend Kontribusi Pajak Restoran terhadap Total Pajak


Daerah Kota Metro, Tahun 2004 2013......................... 84

Gambar 4.7 Trend Kontribusi Pajak Restoran terhadap PAD Kota 85


Metro, Tahun 2004 2013..............................................
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah merupakan suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh

setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana

otonomi daerah. Agar lebih siap melaksanakan otonomi daerah, perlu proses

pembelajaran bagi masing-masing daerah agar dapat mengubah tantangan menjadi

peluang bagi kemajuan masing-masing daerah. Demikian pula dengan pemerintah

pusat, sebagai pihak yang mengatur pengembangan konsep otonomi daerah,

bertanggung jawab agar konsep otonomi daerah dapat dilaksanakan sebagaimana

yang diharapkan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dipandang sebagai suatu strategi yang

memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan suatu

strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan

utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem

manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk

memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian

nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas (Mardiasmo, 2001:1).


2

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan revisi dari

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan

Daerah, yang menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam

pelaksanaan desentralisasi pengelolaan daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti daerah melaksanakan tugas-

tugas pemerintahan secara mandiri, penyaluran aspirasi, perimbangan keuangan

yang lebih merata, dan kebebasan mengatur sumber-sumber keuangan.

Berlakunya produk hukum mengenai pemerintah daerah tersebut membawa angin

segar dalam pelaksanaan desentralisasi. Pelaksanaan tugas tersebut tidak semudah

membalikkan telapak tangan karena salah satunya perlu kemampuan ekonomi

yaitu; pertama adalah tentang bagaimana pemerintah daerah dapat menghasilkan

finansial untuk menjalankan organisasi termasuk memberdayakan masyarakat,

kedua bagaimana pemerintah daerah melihat fungsinya mengembangkan

kemampuan ekonomi daerah (Nugroho, 2000 : 109).

Ciri utama kemampuan suatu daerah adalah terletak pada kemampuan keuangan

daerah artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk

menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Menurut Kaho (1997 : 124) untuk

menjalankan fungsi pemerintahan faktor keuangan suatu hal yang sangat penting

karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya.

Pemerintah daerah tidak saja menggali sumber-sumber keuangan akan tetapi juga
3

sanggup mengelola dan menggunakan secara value for money dalam rangka

penyelenggaraan pemerintah daerah, sehingga ketergantungan kepada bantuan

pemerintah pusat harus seminimal mungkin dapat ditekan. Untuk mengurangi

ketergantungan kepada pemerintah pusat maka Pendapatan Asli Daerah (PAD)

menjadi sumber keuangan terbesar. Kegiatan ini hendaknya didukung juga oleh

kebijakan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sebagai prasyarat

dalam sistem pemerintahan negara (Koswara, 2000 : 50)

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

pemerintah pusat dan daerah, menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan

daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah adalah dari pendapatan asli

daerah, transfer pemerintah pusat, transfer pemerintah provinsi dan lain-lain

pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan

penerimaan yang berasal dari daerah sendiri yang terdiri dari ; (1) hasil pajak

daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) bagian laba pengelolaan aset daerah yang

dipisahkan; (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, diharapkan dapat

menjadi menyangga dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah. Dengan

semakin banyak kebutuhan daerah dapat dibiayai oleh Pendapatan Asli Daerah

(PAD) maka semakin tinggi pula tingkat kualitas otonomi daerah, juga semakin

mandiri dalam bidang keuangan daerahnya (Syamsi, 1987:213).

Dalam proses menuju kemandirian tersebut, terutama dari segi pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih dirasakan kurang. Hal ini

tercermin dari peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD yang
4

dirasakan masih rendah, khususnya untuk pendapatan asli daerah kabupaten/kota.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hirawan, bahwa selama ini Pendapatan

Asli Daerah secara keseluruhan masih merupakan bagian yang relatif kecil dan

bahkan hanya sekitar 4 persen dari keseluruhan penerimaan negara (Insukindro,

dkk,1994 :2)

Komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mempunyai peranan penting

terhadap kontribusi penerimaan adalah pajak daerah. Pemerintah daerah

hendaknya mempunyai pengetahuan dan dapat mengidentifikasikan tentang

sumber-sumber pendapatan asli daerah yang potensial terutama dari pajak daerah.

Dengan tidak memperhatikan dan mengelola pajak daerah yang potensial maka

pengelolaan tidak akan efektif, efisien dan ekonomis. Pada akhirnya akan

merugikan masyarakat dan pemerintah daerah sebagai pemungut karena pajak

tidak mengenai sasaran dan realisasi terhadap penerimaan daerah tidak optimal.

Dalam mengestimasi potensi PAD, diperlukan informasi dan tolak ukur yang riil.

Salah satu tolak ukur finansial yang dapat digunakan untuk melihat kesiapan

daerah dalam pelaksanaan otonomi adalah dengan mengukur seberapa jauh

kemampuan keuangan suatu daerah. Kemampuan keuangan daerah ini biasanya

diukur dari besarnya proporsi/kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap

anggaran pendapatan daerah, maka pihak pemerintah daerah Kota Metro

berupaya untuk meningkatkan PAD Kota Metro dengan jalan menggali sumber-

sumber pendapatan daerah yang dimiliki dengan berbagai cara seperti

mengoptimalkan peningkatan pajak daerah yang sudah ada, memperluas cakupan


5

pungutan pajak, efisiensi biaya pemungutan dan penyempurnaan mekanisme

pengelolaan keuangan daerah. Perkembangan realisasi Pajak Daerah Kota Metro

selama 10 tahun terakhir ini dapat dilihat dari Tabel 1.1 dan Gambar 1.1 berikut

ini:

Tabel 1.1 PAD Kota Metro Berdasarkan Sumber-sumbernya Tahun 2004


2013 (dalam rupiah)

Hasil pengolahan Lain-lain


Tahun Total
NO Pajak Daerah Retribusi Daerah kekayaan daerah pendapatan daerah
Anggaran PAD
yang dipisahkan yang sah

1 2004 136.457.352,03
2.252.021.140,00 5.746.274.978,00 2.376.743.679,53 10.511.497.149,56
2 2005 167.349.607,00
2.128.646.300,00 8.179.273.339,05 2.423.856.122,00 12.899.125.368,05

3 2006 254.386.641,00
2.447.578.390,00 10.560.120.556,00 4.281.269.090,91 17.543.354.677,91
4 2007 390.476.808,00
2.567.719.926,00 10.868.674.979,00 8.392.393.400,29 22.219.265.113,29
5 2008 520.452.000,00
2.552.490.505,00 12.842.733.009,00 4.064.957.438,26 19.980.632.952,26

6 2009 665.120.737,49
3.660.580.994,00 13.485.295.948,00 3.249.412.189,00 21.060.409.868,49
7 2010 937.823.489,86
3.499.101.891,00 19.730.395.511,00 3.422.178.694,25 27.589.499.586,11
8 2011 1.576.543.753,00
6.158.571.584,00 2.514.943.447,05 31.757.440.130,19 42.007.498.914,24

9 2012 2.056.949.123,00
6.807.598.744,00 4.217.549.646,05 35.299.227.342,79 48.381.324.855,84
10 2013* 2.884.797.831,09
11.291.481.099,78 4.980.519.054,00 40.067.730.027,54 59.224.528.012,41

Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah Kota Metro Laporan Realisasi Penerimaan
APBD, (data diolah)
*) Data Sementara
6

Gambar 1.1 Perkembangan PAD Kota Metro, Tahun 2004 2013

Dari Tabel 1.1 dan Gambar 1.1 di atas dapat dilihat bahwa selama periode 10

tahun anggaran Kota Metro realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

cenderung meningkat. Pada tahun 2011 pada pajak daerah mengalami kenaikan

yang cukup signifikan karena adanya penambahan pajak daerah yaitu pajak parkir

dan pajak BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) kemudian

retribusi daerah juga mengalami penurunan yang sangat tajam, penurunan ini

disebabkan karena terjadi perubahan pada retribusi jasa umum (pelayanan

kesehatan) dalam hal ini Rumah Sakit Ahmad Yani Metro menjadi BLUD (Badan

Layanan Umum Daerah) yang bergeser ke pos penerimaan lain-lain Pendapatan

Daerah Yang Sah. Akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi terhadap total

penerimaan pendapatan asli daerah pada tahun yang bersangkutan. Peningkatan

Pendapatan Asli Daerah Kota Metro ini merupakan akibat perkembangan pajak

daerah di Kota Metro. Namun untuk mengetahui sejauhmana peningkatan itu

terjadi perlu dibuat pengkajian mengenai penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari

jenis-jenis pajak daerah yang ada di Kota Metro.


7

Pendapatan Asli Daerah dari jenis pajak daerah perlu diukur dengan baik dan

akurat agar potensi yang sebenarnya dapat dikelola dan dikumpulkan secara

maksimal. Penentuan potensi selama ini di Kota Metro menurut informasi dari

Dinas Pendapatan Kota Metro dengan perkiraan yang berpedoman terhadap target

pencapaian tahun anggaran sebelumnya. Padahal potensi pajak daerah secara riil

tidak pernah dihitung dengan objektif, alasannya terlalu sulit menghitungnya

karena membutuhkan data pendukung yang banyak, sedangkan banyak data yang

tidak ada pada dinas-dinas terkait. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Tabel 1.2

dan Gambar 1.2 berikut ini :

Tabel 1.2 Pendapatan Pajak Daerah dan Target Penerimaan terhadap PAD
Kota Metro, Tahun 2004 2013 (dalam rupiah)

No Tahun Pajak Daerah


% Realisasi
Anggaran Target Realisasi terhadap Target
1 2004 1.586.600.000,00 2.252.021.140,00 141,94
2 2005 1.854.250.000,00 2.128.646.300,00 114,80
3 2006 2.227.634.033,00 2.447.578.390,00 109,87
4 2007 2.443.734.033,00 2.567.719.926,00 105,07
5 2008 2.533.405.668,00 2.552.490.505,00 100,75
6 2009 3.481.177.994,00 3.660.580.994,00 105,15
7 2010 3.269.048.159,00 3.499.101.891,00 107,04
8 2011 5.262.696.652,00 6.158.571.584,00 117,02
9 2012 6.839.053.387,00 6.807.598.744,00 99,54
10 2013* 10.946.000.000,00 11.291.481.099,78 103,16

Sumber : Lihat Tabel 1.1


8

Gambar 1.2 Perkembangan Target dan Realisasi Pajak Daerah Kota Metro,
Tahun 2004 2013

Berdasarkan Tabel 1.2 dan Gambar 1.2 di atas bahwa dalam menentukan target

penerimaan dari pajak daerah lebih didasarkan pada kaidah inkremental

(dinaikkan sekian % dari tahun lalu), atau dengan menggunakan perkiraan,

Perkiraan target tersebut sebenarnya tidak melihat potensi penerimaan sebenarnya

yang ada pada masyarakat. Potensi penerimaan daerah untuk masing-masing jenis

pajak daerah belum dihitung secara menyeluruh. Berdasarkan Tabel 1.2 dan

Gambar 1.2 di atas juga terlihat bahwa setiap tahunnya antara realisasi dan target

terjadi selisih perkiraan yang berbeda dimana terkadang realisasi melampaui

target dan terkadang sebaliknya. Belum adanya perubahan yang signifikan

terhadap peningkatan PAD sampai saat ini (khususnya pajak daerah) disebabkan

antara lain oleh ketidakmampuan daerah dalam membuat strategi koleksi dan

memetakan potensi pajak daerah. Teknik yang digunakan untuk mengukur potensi

seringkali tidak realistis yakni hanya didasarkan pada keinginan untuk senantiasa
9

menaikkan pajak daerah, itupun dengan estimasi yang seringkali tidak akurat

tanpa melihat aspek lain yang mempengaruhi keputusan tersebut.

Untuk pengukuran prestasi kerja dalam penerimaan pajak daerah Kota Metro

masih didasarkan pada rasio pengumpulan (collection ratio), yaitu rasio yang

digunakan untuk mengukur presentase realisasi penerimaan pajak daerah dari

target penerimaan pajak daerah bukan ukuran ratio cakupan (coverage ratio), yang

meliputi rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya. Sedangkan rencana tindakan

(action plan) peningkatan pendapatan daerah lebih dianggap sebagai kegiatan

kegiatan rutin instansi pemungut. Tingkat pertumbuhan pajak daerah dan

kontribusi pajak terhadap PAD Kota Metro juga belum berimbang. Dimana antara

pertumbuhan dan kontribusi mempunyai nilai atau angka yang tidak seimbang,

seharusnya jika pertumbuhan mengalami peningkatan maka kontribusi juga

meningkat. Dapat dilihat pada Tabel 1.3 dan Gambar 1.3 berikut ini :

Tabel 1.3 Pertumbuhan Pajak dan Kontribusi Pajak terhadap PAD Kota
Metro, Tahun 2004 2013 (dalam rupiah)

Tahun Realisasi Pajak Pertumbuhan Kontribusi


NO PAD
Anggaran Daerah % %

1 2004 2.252.021.140,00 10.511.497.149,56 0,00 0,21


2 2005 2.128.646.300,00 12.899.125.368,05 -0,05 0,17
3 2006 2.447.578.390,00 17.543.354.677,91 0,15 0,14
4 2007 2.567.719.926,00 22.219.265.113,29 0,05 0,12
5 2008 2.552.490.505,00 19.980.632.952,26 -0,01 0,13
6 2009 3.660.580.994,00 21.060.409.868,49 0,43 0,17
7 2010 3.499.101.891,00 27.589.499.586,11 -0,04 0,13
8 2011 6.158.571.584,00 42.007.498.914,24 0,76 0,15
9 2012 6.807.598.744,00 48.381.324.855,84 0,11 0,14
10 2013 11.291.481.099,78 59.224.528.012,41 0,66 0,19
Sumber : Lihat Tabel 1.1
10

Gambar 1.3 Pertumbuhan Pajak dan Kontribusi Pajak terhadap PAD Kota
Metro, Tahun 2004 2013

Hal ini menunjukkan bahwa pajak daerah di Kota Metro belum dikelola dengan

baik potensi yang sebenarnya. Sesuai pendapat Mardiasmo dkk (2000 : I.3-4)

yang menyatakan bahwa di sisi penerimaan, kemampuan pemerintah daerah

dalam meningkatkan penerimaan daerahnya secara berkesinambungan masih

lemah. Bahkan masalah yang sering muncul adalah rendahnya kemampuan

pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi penerimaan daerah yang akurat,

sehingga belum dapat dipungut secara optimal.

Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa potensi pajak daerah bagi

Pemerintah Kota Metro belum diketahui, terutama jenis pajak daerah apa saja

yang menjadi pendapatan yang potensial bagi Pendapatan Asli Daerah. Jenis pajak

daerah yang potensial apabila diketahui dan ditingkatkan pengelolaan sesuai

dengan potensinya akan memberikan tambahan Pendapatan Asli Daerah, akan


11

tetapi sebaliknya apabila tidak diketahui potensinya akan membuat kerugian

karena potensinya tidak dimanfaatkan secara maksimal.

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan fenomena di atas perlu dibuat rumusan masalah dengan baik.

Oleh karena itu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pertumbuhan dan kontribusi pajak daerah terhadap Pendapatan

Asli Daerah ?

2. Jenis pajak daerah apa saja yang berpotensi untuk dikembangkan dalam

rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah ?

3. Bagaimana proyeksi pajak daerah dimasa yang akan datang ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, selanjutnya tujuan

penelitian ini untuk mengetahui:

1. pertumbuhan dan kontribusi setiap jenis pajak daerah terhadap total

penerimaan pajak daerah dan Pendapatan Asli Daerah;

2. jenis pajak daerah yang berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka

peningkatan PAD;

3. proyeksi pajak daerah dimasa yang akan datang.


12

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. sebagai bahan informasi awal tentang jenis pajak daerah yang berpotensi

untuk dikembangkan dan proyeksinya, selanjutnya dapat dijadikan bahan

acuan kebijakan Pemerintah Kota Metro;

2. sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota Metro dalam rangka

meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah;

3. sebagai landasan atau bahan informasi untuk penelitian selanjutnya.

E. Kerangka Pikir

Menurut Aldeefer (1964), dalam hal keuangan pemerintah mempunyai peranan

yang sangat penting di negara yang sedang berkembang dibandingkan dengan

negara maju (lihat Lains, 1995 : 39). Kondisi keuangan daerah di negara yang

sedang berkembang pada hakekatnya mempunyai karakteristik sebagai berikut:

(1) sangat minimnya bagian pendapatan daerah yang dimanfaatkan untuk

kepentingan daerah, (2) sebagian besar sumbangan berasal dari subsidi atau

bantuan pemerintah pusat, (3) kotribusi pajak daerah dan PAD terhadap total

penerimaan daerah sangat kecil karena hampir semua pajak di daerah telah

dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh pemerintah pusat, (4) terdapat campur

tangan yang besar dari pemerintah pusat terhadap keuangan daerah.

Menurut Devas, dkk (1989 : 59) bagi daerah tingkat II (kabupaten atau kota),

pajak daerah merupakan pos pendapatan kedua terbesar di dalam PAD setelah

retribusi daerah. Namun bagi Kota Metro penerimaan pajak menduduki peringkat
13

kedua setelah Pos Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah dari

penerimaannya PAD. Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan

otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh

daerah tersebut. Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi

modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini

kondisinya masih kurang memadai, terutama terhadap kontribusi penerimaan

yaitu pajak daerah yang belum teridentifikasi, dan belum teridentifikasi

pengelolaan pajak daerah yang potensial sehingga pada akhirnya akan merugikan

masyarakat dan pemerintah daerah sebagai pemungut pajak karena pajak tidak

mengenai sasaran dan realisasi terhadap penerimaan pajak tidak maksimal.

Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan masing-masing jenis pajak daerah

menggunakan Analisis Tingkat Pertumbuhan dan untuk mengetahui masing-

masing jenis pajak daerah digunakan Analisis Tingkat Kontribusi. Kemudian

untuk mengidentifikasi pajak daerah yang berpotensi untuk dikembangkan dalam

rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat digunakan alat analisis

Overlay. Dan untuk mengetahui tentang proyeksi pajak dimasa yang akan datang

digunakan Teknik Anuitas untuk menghasilkan proyeksi penerimaan pajak daerah

Kota Metro untuk Tahun 2014 s.d 2018.

Pertumbuhan akan penerimaan pajak daerah yang meningkat tersebut bukan

berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah Kota Metro telah sesuai dengan apa yang

diharapkan. Potensi yang dimiliki oleh pajak daerah Kota Metro belum tergali

sepenuhnya, sehubungan tersebut perlu kiranya dapat diklasifikasikan pajak

daerah yang potensial sehingga penerimaannya dapat dimaksimalkan. Pada


14

akhirnya pajak daerah yang potensial apabila ditangani dengan baik akan

memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Pendapatan Asli Daerah Kota

Metro.

Setelah semua alat analisis digunakan, maka akan didapatkan suatu hasil. Hasil

tersebut dijadikan kesimpulan dan pengambil kebijakan. Dengan kebijakan

tersebut akan ada implikasinya berupa jenis pajak daerah yang memiliki

kualifikasi potensial dan proyeksinya dalam rangka meningkatkan penerimaan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya di Kota Metro.

Dari uraian diatas maka dapatlah disusun skema sebagai berikut :

Gambar. 1
Bagan Kerangka Pikir

Analisis Potensi Pajak Daerah Kota Metro

Belum maksimalnya Belum diketahui/tergali pajak


pengelolaan pajak daerah yang daerah yang potensial sehingga
menjadi sumber penerimaan / penerimaan pajak dapat
PAD maksimal

Mengetahui Tingkat Mengetahui Jenis Pajak Mengetahui Proyeksi Jenis


Pertumbuhan dan Masing- Daerah yang Potensial Pajak Daerah di masa yang
masing Jenis Pajak Daerah akan datang

Analisis Tingkat Pertumbuhan Analisis Overlay Analisis Proyeksi


dan Tingkat Kontribusi

Kesimpulan dan Pengambilan Kebijakan

Implikasi Kebijakan berupa Jenis Pajak Daerah yang


memiliki Kualifikasi Potensial dan Proyeksinya dalam
rangka meningkatkan penerimaan PAD
15

F. Hipotesis

Diduga terjadi perbedaan pertumbuhan dan kontribusi masing-masing jenis pajak

daerah yang diukur dengan analisis pertumbuhan dan analisis kontribusi di Kota

Metro pada tahun 2004 2013.

Diduga terjadi perbedaan pada masing-masing jenis pajak daerah yang berpotensi

untuk dikembangkan di Kota Metro yang memberikan sumbangan dominan atau

besar berdasarkan Analisis Overlay pada tahun 2004 2013.

Diduga proyeksi pajak daerah dimasa yang terjadi peningkatan dengan

menggunakan proyeksi atau penaksiran dengan Teknik Anuitas untuk

menghasilkan proyeksi penerimaan pajak daerah Kota Metro untuk Tahun 2014

s.d 2018.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari empat bab, yaitu pengantar, tinjauan pustaka dan alat analisis,

hasil penelitian dan kesimpulan serta saran. Rincian lebih lanjut dari masing-

masing bab adalah sebagai berikut ini. BAB I PENDAHULUAN: Bab ini

berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

landasan teori, hipotesis, kerangka pemikiran, serta sistematika penulisan. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA: Berisikan tentang tinjauan pustaka dan landasan teori

serta penelitian terdahulu. BAB III ANALISIS DATA: Bab ini berisikan tentang

cara penelitian, pengumpulan data, alat analisis penelitian. BAB IV

PEMBAHASAN : Bab ini berisikan tentang analisis hasil penelitian dan


16

pembahasan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN: Berisikan uraian singkat

tentang kesimpulan dari hasil penelitian serta implikasi terhadap kebijakan yang

dapat diambil sebagai saran bagi Pemerintah Kota Metro dalam rangka

peningkatan pendapatan asli daerah dengan menggali sesuai potensi riil.


17

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Desentralisasi

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagian diatur dalam Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa

melalui otonomi daerah, pembangunan ekonomi daerah diharapkan terwujud

melalui pengelolaan sumber-sumber daerah. Otonomi Daerah merupakan

kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

sesuai aturan perundang-undangan.

Menurut Devas (1997:352353) ada dua konsep dasar desentralisasi yaitu

desentralisasi politis dan desentralisasi manajemen, desentralisasi politis yaitu

transfer wewenang dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah. Hal ini

dilakukan karena memandang bahwa pemerintah daerah lebih dekat kepada warga

negara, sehingga mampu membuat keputusan yang mencerminkan kebutuhan dan

prioritas, sedangkan yang dimaksud desentralisasi manajemen yaitu praktek

pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari pusat-pusat biaya kepada

manajer unit.

Hal serupa dikemukakan oleh Living Stone dan Charlton (1998 : 499), yaitu

bahwa desentralisasi pemerintah dan desentralisasi keuangan pemerintah


18

merupakan suatu tujuan yang penting di banyak negara sedang berkembang dan

bahwa kabupaten atau kota lebih memungkinkan untuk lebih dekat dengan

masyarakat, sehingga dapat mengetahui kebutuhan masyarakat dan pelayanan

yang perlu disediakan untuk masyarakat. Akibatnya masyarakat juga memiliki

kesadaran untuk membayar pajak sebagai kontribusinya, karena jumlah yang

mereka kontribusikan kepada pemerintah langsung terlihat hasilnya.

Saragih (1996:3738) mengatakan bahwa pembangunan daerah merupakan bagian

integral dan merupakan penjabaran pembangunan nasional. Dalam rangka

pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan potensi, aspirasi dan

permasalahan pembangunan di berbagai daerah sesuai program pembangunan

daerah yang dicanangkan. Keseluruhan program pembangunan daerah tersebut

dijabarkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai

dengan kemampuan keuangan negara. Di samping itu kunci sukses dalam

pencapaian sasaran pembangunan daerah secara efektif dan efisien. Konsentrasi

pemerintah dalam meningkatkan pembangunan daerah adalah sejalan dengan

semangat otonomi daerah dan pelaksanaan desentralisasi.

Penyelenggaraan otonomi daerah disamping merupakan amanat konstitusi juga

merupakan kebutuhan obyektif dalam penyelenggaraan Pemerintah saat ini. Pola

penyelenggaraan Pemerintah yang sentralistik dimasa lalu sudah tidak sesuai lagi

karena disamping tidak efisien biayanya mahal juga tidak sesuai dengan

perkembangan kehidupan masyarakat yang telah berubah baik karena faktor

internal, maupun eksternal. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah

diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan


19

kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

Penyelenggaraan Pemerintah.

Kemandirian suatu daerah merupakan kemandirian dalam perencanaan maupun

dalam pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah. Analisis pengelolaan

keuangan daerah, pada dasarnya menyangkut tiga bidang analisis yang saling

terkait satu sama lain. Ketiga bidang analisis tersebut meliputi (Mardiasmo,

2000);

1) Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai seberapa besar kemampuan

pemerintah daerah dalam mengggali sumber-sumber pendapatan yang

potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan

pendapatan tersebut;

2) Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya

dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-

biaya tersebut meningkat; dan

3) Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan

dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa

depan.

Keterbatasan dana pusat bagi pembangunan daerah dan dalam rangka penggalian

potensi daerah memerlukan strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-

sumber keuangan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap

daerah. Strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan daerah

bagi peningkatan pendapatan asli daerah adalah; pertama, Strategi yang berkaitan
20

dengan manajemen pajak/retribusi daerah; kedua, strategi ekstensifikasi sumber

penerimaan daerah; ketiga, strategi dalam rangka peningkatan efisiensi institusi.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa

Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah

nilai kekayaan bersih dalam periode bersangkutan. Selain pengertian dasar

tersebut, dapat ditemukan penjelasan bahwa pendapatan daerah :

a. Merupakan penerimaan uang melalui kas umum daerah;

b. Tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah daerah.

B. Potensi Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah, atau yang lebih dikenal melalui singkatannya: PAD,

adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan

Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 18 Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pengertian sumber pendapatan daerah

dalam arti sempit. Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diperoleh

daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang

berlaku. Pendapatan Asli Daerah dapat berupa hasil pajak dan retribusi daerah,

bagian laba pengelolaan aset daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli

daerah daerah yang sah.


21

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk

menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk

membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-

Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, telah menetapkan sumber-sumber penerimaan daerah meliputi:

1. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:

a. Pajak Daerah;

b. Retribusi Daerah;

c. Bagian Laba Pengelolaan Aset Daerah yang Dipisahkan;

d. Lain-lain PAD yang Sah.

2. Transfer Pemerintah Pusat terdiri dari:

a. Bagi Hasil Pajak;

b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam;

c. Dana Alokasi Umum;

d. Dana Alokasi Khusus;

e. Dana Otonomi Khusus;

f. Dana Penyesuaian.

3. Transfer Pemerintah Provinsi, yang terdiri dari;

a. Bagi Hasil Pajak

b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam;

c. Bagi Hasil Lainnya


22

4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.

Selanjutnya Mardiasmo dan Makhfatih (2000:8) telah pula menguraikan bahwa:

Potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah


untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi
sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang
perkembangan beberapa variabel-variabel yang dapat dikendalikan (yaitu
variabel-variabel ekonomi), dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu
variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-
sumber penerimaan daerah.

Widayat (1994:32) menguraikan beberapa cara untuk meningkatkan Pendapatan

Asli Daerah melalui peningkatan penerimaan semua sumber Pendapatan Asli

Daerah agar mendekati atau bahkan sama dengan penerimaan potensialnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa secara umum ada dua cara untuk mengupayakan

peningkatan Pendapatan Asli Daerah sehingga maksimal yaitu dengan cara

intensifikasi dan ekstensifikasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa salah satu wujud

nyata dari kegiatan intensifikasi ini untuk retribusi yaitu menghitung potensi

seakurat mungkin, maka target penerimaan bisa mendekati potensinya. Cara

ekstensifikasi dilakukan dengan mengadakan penggalian sumber-sumber objek

pajak ataupun dengan menjaring wajib pajak baru.

Menurut Jaya (1996:5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama

rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap

pusat, adalah sebagai berikut :

1. Kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai Sumber Pendapatan

Daerah;
23

2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua

jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak

langsung ditarik oleh pusat;

3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa

diandalkan sebagai sumber penerimaan;

4. Alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai

sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan

separatisme;

5. Kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah yang memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada

Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.

Dibalik tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat dalam pelaksanaan

otonomi daerah, Widayat (1994;31) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :

1. Banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali

oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB),

dan pajak bumi dan bangunan (PBB);

2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan

keuntungan kepada Pemerintah Daerah;

3. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan

pungutan lainnya;

4. Adanya kebocoran-kebocoran;

5. Biaya pungut yang masih tinggi;

6. Banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan;


24

7. Kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.

C. Konsep Perpajakan

Pajak merupakan sumber pendapatan yang utama untuk membiayai kegiatan

pemerintah dalam menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dihasilkan oleh

swasta. Pajak disamping berperan sebagai sumber pendapatan (budgetary

function) yang utama juga berperan sebagai alat pengatur (regulatory function).

Para ahli perpajakan memberikan pengertian atau definisi berbeda-beda mengenai

pajak, namun demikian mempunyai arti dan tujuan yang sama. Munawir (1997: 5)

mengutip pendapat Jayadiningrat memberi definisi pajak sebagai suatu kewajiban

menyerahkan sebagian dari pada kekayaan kepada negara disebabkan suatu

keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi

bukan sebagai hukuman menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah

serta dapat dipaksakan akan tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung

untuk memelihara kesejahteraan umum. Selanjutnya Munawir (1997 : 3)

mengutip pendapat Rachmat Sumitro mendefinisikan pajak adalah peralihan

kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran

rutin. Mangkoesoebroto (1993:181) menyatakan pajak adalah suatu pungutan hak

prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang,

pungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak di mana tidak dapat balas

jasa secara langsung terhadap penggunanya.

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada

pengertian pajak, yaitu :


25

a. Pajak dipungut oleh Negara berdasarkan Undang-Undang dan aturan

pelaksanaannya;

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi

individu oleh Pemerintah;

c. Pajak dipungut oleh Pemerintah baik pusat maupun daerah;

d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah;

e. Dapat dipaksakan.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur

yang terkandung di dalam pengertian pajak yaitu:

1. pajak merupakan iuran masyarakat kepada negara dimana dapat diartikan yang

berhak untuk melakukan pungutan pajak yaitu negara dengan alasan apapun

swasta tidak boleh memungut pajak;

2. berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan);

3. pembayaran pajak tidak mempunyai kontraprestasi langsung secara individu

artinya kontraprestasi diberikan oleh negara kepada rakyat dan tidak dapat

dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak;

4. pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pemerintah yang bersifat umum dalam

arti bahwa pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi

masyarakat secara umum;

5. pajak dipungut disebabkan sesuatu keadaan, kejadian atau yang memberikan

kedudukan tertentu pada seseorang dengan demikian pajak hanya dapat

dipungut oleh pemerintah;

6. pemerintah dapat memungut pajak kalau suadah ada undang-undangnya dan

aturan pelaksanaanya;
26

7. pajak merupakan kewajiban masyarakat yang apabila diabaikan akan terkena

sanksi sesuai undang-undang yang berlaku.

Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian

kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi, yang juga

berarti memberikan suatu local taxing power. Untuk itu pemerintah daerah dalam

melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya.

Sesuai dengan Mardiasmo, (2003:1-2), yaitu:

1. Fungsi Budgeter, adalah fungsi anggaran, yaitu sebagai sumber

penerimaan untuk membiayai pengeluaran. Fungsi ini mempunyai sifat

tetap dan selalu meningkat. Kriteria tetap dalam arti selalu dapat

diharapkan sebagai sumber penerimaan, sedangkan kriteria selalu

meningkat, artinya akan selalu mengalami kenaikan penerimaan.

2. Fungsi Regulerent (Fungsi Pengaturan), yaitu sebagai alat ukur untuk

mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial

dan ekonomi, (mengatur redistribusi barang dan jasa) dalam hal ini

termasuk layanan.

Pajak daerah di samping sebagai sumber penerimaan negara yang utama

(budgetair) juga mempunyai fungsi lain seperti alat untuk mengatur dan

mengawasi kegiatan-kegiatan swasta dalam perekonomian (regulair). Pajak

sebagai alat anggaran juga dipergunakan sebagai alat mengumpulkan dana guna

membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah terutama kegiatan rutin (Suparmoko,

2000:96). Oleh sebab itu kedua fungsi pajak di atas harus dijalankan secara
27

seimbang karena apabila pengaturannya tidak dilaksanakan secara seimbang

sangat berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian.

Pengenaaan pajak dapat menimbulkan eksternalitas yang dapat merugikan

kepentingan umum, sehingga perlu adanya pengaturan untuk menjamin

kelangsungan sumber daya dalam jangka panjang. Sehubungan dengan itu maka

keputusan untuk mengenakan pajak terhadap suatu objek hendaknya dilakukan

secara hati-hati dan bijaksana untuk menghindari terjadinya disinsentif bagi

perekonomian.

Menurut Meier (1995:197-198) ada empat kriteria yang perlu dipertimbangkan

untuk memungut suatu jenis pajak di negara yang sedang berkembang:

1. sebagai suatu sumber penerimaan potensial; maksudnya suatu jenis pajak

harus dilihat sebagai suatu elastisitas pajak tersebut terhadap variabel-variabel

makro ekonomi seperti PDRB, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk;

2. dampak terhadap alokasi sumber ekonomi; untuk mengambarkan bahwa

memadai tidaknya suatu perolehan pajak jika dikaitkan dengan bentuk dan

besarnya dana yang diperlukan untuk memberikan layanan yang dibiayai

sehingga beban suatu pajak dapat bermanfaat untuk mendorong penggunaan

sumber daya ekonomi secara lebih efisien;

3. keadilan; yang dimaksud keadilan adalah menyangkut distribusi beban pajak,

apakah tarif yang progresif atau menggunakan tarif tetap. Pembebanan pajak

harus adil baik secara horizontal maupun vertikal;


28

4. administrasinya rendah; kriteria ini berkaitan dengan administrasi yang

meliputi sistem penetapan sumber daya manusia aparatur, biaya pemungutan

serta sarana dan prasarana pemungutan.

D. Pengelompokan Pajak

Pengelompokkan pajak didasarkan atas golongannya, lembaga pemungut dan

menurut sifatnya (Setu Setyawan dan Eny S: 2004), yaitu :

1. Berdasarkan Golongannya

a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat

dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung

wajib pajak. Misalnya Pajak Penghasilan.

b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat

dibebankan kepada pihak lain. Misalnya PPN dan PPN-BM, PBB.

2. Berdasarkan Lembaga Pemungutnya

a. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

berfungsi untuk mengisi anggaran Negara dan mengatur kebijakan

ekonomi dan sosial. Misalnya Pajak Penghasilan, PPN dan PPN-BM,

Bea Materai.

b. Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, dan

digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Misalnya Pajak

Reklame, Pajak Hiburan dan lain-lain.


29

3. Berdasarkan Sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan

subjeknya, yang selanjutnya dicari syarat objektifnya. Dalam arti

memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Misalnya Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang pemungutannya berpangkal pada

objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Misalnya

PPN, PPN-BM, PBB.

E. Pajak Daerah

Pajak adalah iuran yang dikumpulkan dari masyarakat kepada negara yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum

dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung

tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Soemitro, (2003), pajak adalah iuran rakyat yang dikumpulkan untuk menjadi Kas

Negara berdasarkan undang-undang dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra

prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi

sebagai berikut. Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas

Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk

public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai publik.

Dalam ketentuan umum PP No. 65 Tahun 2001 pasal 1, pajak daerah adalah iuran

wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan usaha pada daerah tanpa
30

imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Secara

administrasi daerah, pajak daerah dapat digolongkan menjadi pajak daerah tingkat

provinsi dan pajak daerah tingkat kabupaten/kota.

Adapun kriteria yang harus dipenuhi suatu potensi pendapatan agar dapat menjadi

objek pengenaan pajak daerah yaitu (Davey, 1988) :

1. Kecukupan dan elastisitas penerimaan dari suatu pajak harus

menghasilkan penerimaan yang mampu membiayai biaya pelayanan yang

akan dikeluarkan;

2. Pemerataan (keadilan) prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah

daerah harus ditanggung oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai

dengan kesanggupannya;

3. Kemampuan/kelayakan administrasi berbagai jenis pajak di daerah sangat

berbeda-beda dalam jumlah, integritas dan keputusan yang diperlukan

dalam administrasinya;

4. Kesepakatan politik keputusan pembebanan pajak sangat tergantung pada

kepekaan masyarakat tentang pajak dan nilai-nilai yang berlaku di suatu

daerah;

5. Distorsi terhadap perekonomian implikasi pajak yang secara minimal

berpengaruh terhadap perekonomian.

Menurut Davey (1988:40) secara umum perpajakan daerah dapat diartikan sebagai

berikut:
31

1. pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari

daerah sendiri;

2. pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional, tetapi penetapan

taripnya oleh pemerintah daerah;

3. pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah;

4. pajak yang dipungut dan diadminitrasikan oleh pemerintah pusat tetapi

hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani

pungutan tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah.

Pajak daerah mempunyai ciri-ciri :

1. Pajak daerah yang berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada

daerah;

2. Penyerahannya berdasarkan Undang-Undang;

3. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan dengan kekuatan Undang-

Undang dan Peraturan Hukum;

4. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Dari ciri-ciri di atas jelas terlihat bahwa peranan Pemerintah Daerah sangat

signifikan dalam penetapan dan pemungutan Pajak Daerah. Namun demikian pada

prakteknya, banyak pajak yang hanya satu atau dua karakteristik seperti tersebut

diatas, karena kepemilikan kewenangan memungut terkadang belum jelas.

Sebab, adakalanya, Pemerintah Daerah ini dipungut oleh Pemerintah Pusat,

tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi, namun hasilnya diberikan atau

dibagihasilkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan Potensi Pajak Daerah


32

yang dimiliki oleh daerah tersebut dengan diundangkan Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 ada dua jenis pajak Pajak Pusat yang dilimpahkan menjadi Pajak

Daerah yakni Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P-2) dan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pajak daerah merupakan sumber utama Pendapatan Asli Daerah dan merupakan

kewenangan dari Pemerintah Daerah Tingkat I dan II masing-masing untuk

melakukan pemungutan berdasarkan perarturan perundang-undangan yang

berlaku.

Peraturan perundangan mengenai pajak daerah mengalami beberapa kali

perubahan. Peraturan perundangan di bidang pajak daerah antara lain UU No. 11

Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UU No. 18 Tahun 1997

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 tentang

Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Kemudian pada tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 28 Tahun

2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menggantikan UU No. 34 Tahun 2000.

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dimaksudkan agar pemerintah memberikan

kesempatan untuk mengalokasikan pada daerah sumber-sumber penerimaan yang

dapat dikontrol dalam rangka pembiayaan kewajiban dan tanggung jawab (pajak

dan retribusi, bagi hasil). Dengan pengalokasian ini, PAD diharapkan dapat

meningkat. Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan

perubahan terhadap masing-masing jenis pajak. Untuk itu daerah diberikan

kewenangan dalam hal ini provinsi memungut 5 jenis pajak dan kabupaten / kota

memungut 11 jenis pajak. Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa


33

pajak tersebut secara umum dapat dipungut hampir disemua daerah dan

merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan pungutan

yang baik.

Sesuai dengan pembagian administrasi daerah, maka pajak daerah dapat

digolongkan menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut :

1. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Provinsi, terdiri dari:

a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, yaitu pajak atas

kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor dan kendaraan di

atas air ;

b. Pajak bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, yaitu

pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor dan kendaraan di atas

air sebagai akibat dari perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau

keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau

pemasukan ke dalam badan usaha ;

c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, yaitu pajak atas bahan bakar yang

disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk

bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air ;

d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan,

yaitu pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan/atau

air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau badan, kecuali

untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat;

e. Pajak Rokok.
34

2. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten / Kota antara lain :

a. Pajak Hotel, yaitu pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah bangunan yang

khusus disediakan bagi orang-orang untuk dapat menginap atau istirahat,

memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lain dengan dipungut bayaran

termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki pihak

yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran;

b. Pajak Restoran, yaitu pajak atas pelayanan retoran. Restoran adalah tempat

menyantap makanan dan minuman yang disediakan dengan dipungut

bayaran, tidak termasuk jasa boga atau catering;

c. Pajak Hiburan, yaitu pajak atas terselenggaranya hiburan. Hiburan adalah

semua jenis pertunjukan, permainan, ketangkasan, dan atau keramaian

dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap

orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk

berolah raga;

d. Pajak Reklame, yaitu pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame

adalah benda, alat perbuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak

ragamnya untuk tujuan komersial, digunakan untuk memperkenalkan,

menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk

mencari perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang

ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan atau didengarkan dari suatu

tempat umum kecuali yang diperlukan oleh pemerintah.

Cara penghitungan Nilai Sewa Reklame ditetapkan sebagai berikut :

NSR = NS + NJOPR

NS = Nilai Kawasan + Nilai Sudut Pandang + Nilai Kelas


35

Jalan + Nilai Ketinggian

NJOPR = Ukuran Media Reklame x Harga Satuan Reklame x

Jangka Waktu

NSR = Nilai Sewa Reklame

NS = Nilai Strategis

NJOPR = Nilai Jual Objek Pajak Reklame

Tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari

nilai sewa reklame. Besaran pokok pajak reklame diketahui dengan cara

mengalikan tarif pajak reklame dengan dasar pengenaan pajak;

e. Pajak Penerangan Jalan, yaitu pajak atas penggunaan listrik, dengan

ketentuan bahwa diwilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan,

yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Perda

Nomor 7 Tahun 2011, pajak penerangan jalan adalah pajak atas

penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh

dari sumber lain. Objek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga

listrik baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber

lain

Tarif pajak yang ditentukan sebagai berikut :

1. Tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)

dari jumlah pembayaran.

2. Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan

minyak bumi dan gas alam, tarif pajak penerangan jalan ditetapkan

sebesar 3 % (tiga persen)


36

3. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif pajak

penerangan jalan ditetapkan sebesar 1,5 % (satu koma lima persen)

Besaran Pokok pajak penerangan jalan yang terutang ditentukan dengan

cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak;

f. Pajak Parkir, yaitu tempat parkir diluar badan jalan yang disediakan oleh

pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha

maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat

penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang

memungut bayaran;

g. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak yang dipungut atas

kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber

alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

h. Pajak Air Tanah; Pajak yang dipungut atas kegiatan pengambilan dan/atau

pengusahaan air tanah.

i. Pajak Sarang Burung Walet; Pajak yang dipungut atas kegiatan

pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.

j. PBB Perdesaan dan Perkotaan; Pajak yang dipungut atas kepemilikan,

penguasaan, dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau bangunan yang

dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang

digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan/atau

pertambangan.

k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ; Pajak yang

dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang

selanjutnya disebut BPHTB. Perolehan atas Tanah dan / atau Bangunan


37

adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya

hak atas tanah dan / atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Hak

atas Tanah dan / atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak

pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam

Undang Undang dibidang Pertanahan dan Bangunan.

Jenis pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti propinsi tidak dapat memungut

pajak lain selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak propinsi

tersebut terkait dengan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas

yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas

daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan

daerah kabupate/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Propinsi

dapat tidak memungut pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang

hasilnya kurang memadai.

Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi

peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang telah

ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 28 Tahun 2009, dengan menetapkan

sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang

telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut. Namun ada rambu-rambu atau

kriteria yang harus diikuti :

1. Bersifat pajak dan bukan retribusi;

Pajak tersebut harus sesuai definisi pajak yang ditetapkan dalam Undang-

Undang yaitu merupakan kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang

pribadi atau badan kepada daerah:


38

Tanpa imbalan langsung yang seimbang;

Dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan; dan

Digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah.

2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya

melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan;

3. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan

umum. Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara

pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan

kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan

keamanan.

4. Potensinya memadai, artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari

biaya pemungutan.

5. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak

pusat;

Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak

ganda (double tax), yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan

yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain

yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh daerah.

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

Pajak tidak mengganggu alokasi sumber ekonomi dan tidak merintangi

arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-impor.


39

7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.

Aspek keadilan, antara lain :

Objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi

Pemungutannya;

Jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak;

Tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib

pajak.

8. Aspek kemampuan masyarakat;

Pajak memperhatikan kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan

beban pajak, sehingga sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak

dipikul oleh masyarakat yang relatif kurang mampu.

9. Menjaga kelestarian lingkungan.

Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa

pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada daerah atau pusat atau

masyarakat luas untuk merusak lingkungan.

Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak memenuhi satu saja dari rambu

di atas, maka seyogyanya dipertimbangkan untuk dibatalkan pengesahannya. UU

No. 28 Tahun 2009 secara tegas telah menyatakan bahwa pemerintah pusat bisa

meminta daerah untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak memenuhi

syarat-syarat tersebut.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan

dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum

yang telah ditetapkan undang-undang. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang
40

dipungut oleh propinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak

adanya pengenaan pajak berganda.

Menurut Kristiadi1, pajak daerah secara teori hendaknya memenuhi beberapa

persyaratan, antara lain :

a. Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat


b. Sederhana dan tidak banyak jenisnya
c. Biaya administrasi rendah
d. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat
e. Kurang dipengaruhi oleh business cycle tapi dapat berkembang dengan
meningkatnya kemakmuran
f. Beban pajak relatif seimbang dan tax base yang sama diterapkan secara
nasional

Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian

kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu

pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan

sesuai dengan fungsinya.

Selanjutnya untuk menilai pajak daerah menurut Devas,dkk (1989 : 61-62), dapat

digunakan kriteria pengukuran sebagai berikut:

1. hasil (Yield) yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya

dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya

memperkirakan besar hasil pajak tersebut; perbandingan hasil pajak

dengan biaya pungut, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,

pertumbuhan penduduk dan sebagainya;

1
Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI,
Op. Cit, hal 25
41

2. keadilan (Equity) dasar pajak dan kewajiban membayarnya harus jelas dan

tidak sewenang-wenang; pajak harus adil secara horisontal (artinya, beban

pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan

kedudukan ekonomi yang sama); adil secara vertikal (artinya, beban pajak

harus lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang memiliki sumber daya

yang lebih besar), dan pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat

(dalam arti, hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan besar dan

sewenang-wenang dalam beban pajak dari satu daerah ke daerah lain,

kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara

menyediakan layanan masyarakat);

3. daya guna ekonomi (Economic Efficiency). Pajak hendaknya mendorong

(atau setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumberdaya secara

berdaya guna dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi

segan bekerja atau menabung; dan memperkecil beban lebih pajak;

4. kemampuan melaksanakan (Ability to Implement), suatu pajak haruslah

dapat dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha;

5. kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (Stability as a Local

Revenue Source), ini berarti haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak

harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama

dengan tempat akhir beban pajak; pajak tidak mudah dihindari, dengan

cara memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain; pajak

daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara

daerah, dari segi potensi ekonomi masing-masing, dan pajak hendaknya


42

tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha

pajak daerah.

Dalam perencanaan penerimaan pajak terdapat tiga pendekatan, yaitu (1) makro,

(2) mikro, dan (3) inkremental. Pendekatan inkremental lebih praktis dan

pragmatis untuk diterapkan pada perencanaan penerimaan pajak daerah. Metode

yang digunakan dalam pendekatan inkremental ini dilakukan melalui perhitungan

realisasi penerimaan tahun sebelumnya dengan penyesuaian terhadap

pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Penyesuaian dapat juga dilakukan

terhadap variabel lain seperti bunga, harga dan produksi migas, PDRB, kurs

rupiah terhadap dollar, dan faktor lain. Sementara pola variabel tax base dapat

dijadikan sebagai pilihan dalam melakukan proyeksi penerimaan pajak dengan

memperhatikan faktor yang mempengaruhi antara lain :

1. Kondisi ekonomi makro;

2. Daya beli masyarakat;

3. Penyediaan jasa;

4. Kebijakan publik;

5. Mobilisasi penduduk.

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tarif Pajak Daerah ditetapkan dalam

persentase tertentu dengan batasan maksimal atau interval yang harus ditetapkan

secara definitif di dalam Perda tentang Pajak Daerah. Batasan dalam penentuan

tarif ini, memberikan diskresi kepada Daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah

sesuai dengan potensi dan kemampuan masyarakatnya. Contoh tarif yang

ditetapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009 untuk Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
43

pribadi ditetapkan sebagai berikut : untuk kepemilikan kendaraan bermotor

pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua

persen). Penetapan di dalam Perdanya : Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi

untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama 1,2% (satu koma dua persen).

Contoh lain untuk Tarif Pajak Hotel ditetapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009 :

Tarif Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penetapan

didalam Perdanya: Tarif Pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pajak Daerah yang baik pada prinsipnya harus dapat memenuhi dua kriteria.

Pertama Pajak Dearah harus memberikan pendapatan yang cukup bagi daerah

sesuai dengan derajat otonomi fiskal yang dimilikinya. Kedua, Pajak Daerah harus

secara jelas berdampak pada tanggung jawab yang dimiliki oleh Pemerintah

Daerah yang bersangkutan. Cara yang mudah dan mungkin merupakan cara tebaik

untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membiarkan daerah menetapkan jenis

pajak daerahnya sendiri sekaligus tarifnya dengan tetap memperhatikan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Di banyak negara berkembang, pemerintah-

pemerintah daerah maupun unit-unit administratif memiliki kewenangan secara

legal untuk membebankan pajak, tetapi basis pengenaan pajak yang dimilikinya

terlalu lemah serta mereka masih sangat tergantung terhadap subsidi-subsidi yang

diberikan oleh pemerintah pusat, sehingga kewenangan yang dimilikinya untuk

membebankan pajak tersebut seringkali tidak dapat dilakukan.

Penyempurnaan system administrasi Pajak Daerah menyangkut melakukan

reformasi pengaturan pemungutan Pajak Daerah. Hal ini ditujukan agar para

Wajib Pajak Daerah dapat secara optimal memenuhi kewajibannya dengan


44

membayar Pajak Daerah sebagaimana mestinya. Serangkaian cara dapat dilakukan

untuk mewujudkan hal ini, seperti : melakukan perbaikan metode identifikasi,

mekanisme registrasi, dan pemungutan; mengembangkan system evaluasi;

merencanakan dengan lebih baik sistem pengawasan, pemungutan dan pelaporan

keuangannya.

F. Sistem Pemungutan Pajak Daerah

Sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh daerah saat ini dibagi atas 3, yaitu

sebagai berikut:

1. Sistem Official Assesment

Pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk

menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak atau dibayar

sendiri oleh Wajib Pajak. Sistem ini dilakukan dengan memberi

kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat

Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).

Ciri-cirinya sebagai berikut :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus

b. Wajib Pajak bersifat pasif

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

fiskus

2. Sistem Self Assessment

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak

untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang atau tetapkan oleh


45

Kepala Daerah. Dalam sistem ini pajak dibayar oleh wajib pajak setelah

terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Ciri-cirinya sebagai berikut :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib

Pajak sendiri

b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan

sendiri pajak yang terutang

c. Fiskus tidak campur dan hanya mengawasi

3. Sistem With Holding

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga

(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang berangkutan) untuk

menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya

adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada

pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak atau dipungut oleh

pemungut pajak. Dalam sistem ini pengenaan pajak dipungut oleh

pemungut pajak pada sumbernya.

G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah

Menurut Musgraves (1998) pendapatan telah diterima secara luas sebagai ukuran

untuk menetukan kemampuan membayar pajak. Demikian juga Mangkoesoebroto

(2001) menegaskan bahwa ukuran yang umum untuk mengukur kemampuan

seseorang membayar pajak adalah pendapatan. Adapun Sriyana (1999)

menekankan bahwa besar kecilnya penerimaan pajak akan sangat ditentukan oleh

pendapatan perkapita, jumlah penduduk dan kebijakan pemerintah, baik pusat


46

maupun daerah. Wantara (1997) juga mengemukakan bahwa besar kecilnya

penerimaan di sektor pajak juga dipengaruhi oleh laju wisatawan asing dan

domestik. Selanjutnya Prakoso (2005) menambahkan bahwa dalam pemungutan

pajak maka jumlah subjek dan objek pajak akan mempengaruhi penerimaan pajak

dari hasil pungutan tersebut.

Salah satu dasar pengenaan pajak hotel adalah pembayaran yang dilakukan oleh

tamu yang menginap. Tamu yang menginap pembayarannya didasarkan pada

kamar yang disewa. Dari pembayaran yang dilakukan, maka dasar pengenaan

pajaknya dapat didekati dengan besarnya tingkat hunian kamar. Sehingga secara

spesifik faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak hotel adalah hunian kamar

hotel.

Pajak restoran subjeknya dapat dilihat dari konsumen restoran. Sebagian besar

konsumen restoran adalah masyarakat berpendapatan menengah keatas yang

potensinya dapat dilihat dari pendapatan perkapita. Jadi spesifikasi faktor yang

mempengaruhi penerimaan pajak restoran adalah pendapatan perkapita.

Pajak hiburan subjeknya dapat dilihat dari jumlah penonton yang menonton

(menikmati) hiburan. Sementara itu salah satu motif wisatawan melakukan

perjalanan wisata adalah untuk menikmati hiburan yang ada dalam obyek wisata.

Adapun hiburan dalam obyek wisata sendiri dikenakan pungutan pajak.

Berdasarkan hal tersebut, subjek pajak hiburan dapat didekati oleh jumlah

pengunjung obyek wisata. Jadi secara spesifik faktor yang mempengaruhi

penerimaan pajak hiburan adalah jumlah pengunjung obyek wisata.


47

Mengacu pada PP No. 65 Tahun 2001 pajak reklame dikenakan atas

penyelenggaraan reklame. Minat untuk memasang reklame ditentukan oleh

seberapa besar kepentingan orang atau badan usaha untuk memperkenalkan

produk barang atau jasa, dalam hal ini adalah produsen (industri). Sehingga

produsen adalah merupakan subjek pajak. Ini berarti dasar pengenaan pajak

reklame dapat didekati dengan seberapa banyak produsen (industri) yang ada

walaupun tidak semua produsen tersebut memasang reklame. Jadi secara spesifik

faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak reklame adalah jumlah industri.

Mengacu pada PP No. 65 Tahun 2001 wajib pajak dari pajak penerangan jalan

adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan listrik dan atau

pengguna tenaga listrik. Dasar pengenaan pajaknya adalah nilai jual tenaga listrik

yang dipakai. Berdasarkan pada hal tersebut maka potensi pajaknya adalah

pelanggan listrik. Ini berarti secara spesifik faktor yang mempengaruhi

penerimaan pajak penerangan jalan aadalah jumlah pelanggan listrik.

H. Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pajak Daerah

Sejak pelaksanaan otonomi daerah, peningkatan PAD selalu menjadi pembahasan

penting termasuk bagaimana strategi peningkatannya. Hal ini mengingat bahwa

kemandirian daerah menjadi tuntutan utama sejak diberlakukannya otonomi

daerah tahun 2001. Belum adanya perubahan yang signifikan terhadap

peningkatan PAD sampai saat ini (khususnya pajak daerah) disebabkan antara lain

oleh ketidakmampuan daerah dalam membuat strategi koleksi dan memetakan

potensi pajak daerah. Teknik yang digunakan untuk mengukur potensi seringkali

tidak realistis yakni hanya didasarkan pada keinginan untuk senantiasa menaikkan
48

pajak daerah, itupun dengan estimasi yang seringkali tidak akurat tanpa melihat

aspek lain yang mempengaruhi keputusan tersebut.

Dalam pengelolaan PAD, ada banyak faktor yang menjadi penghambat, sehingga

potensi penerimaan yang ditemukan atau diperoleh sulit untuk direalisasikan.

Permasalahan dalam proses pengelolaan penerimaan PAD untuk setiap jenis

penerimaan terdapat perbedaan cara penanganan atau pengelolaannya. Secara

umum kendala dalam merealisasikan potensi antara lain adalah :

a. Perangkat hukum di daerah, terutama keberadaan perda yang ada masih

didasarkan pada UU yang lama, sehingga potensi penerimaan yang

ditemukan atau diperoleh sulit untuk direalisasikan.

b. Belum konsisten para penegak hukum administrasi kalangan birokrat

pemda dalam memberikan sanksi terhadap subjek hukum yang melalaikan

kewajiban wajib pajak dalam membayar pajak daerah. Petugas lebih

cenderung menggunakan pendekatan persuasif dan toleransi dalam

melakukan penegakan hukum.

c. Kelemahan di lingkungan aparatur pemerintah daerah, baik pejabat yang

mengambil keputusan penetapan pajak, maupun pelaksana lapangan dalam

melakukan identifikasi terhadap jenis kegiatan atau usaha yang wajib

dikenakan pajak serta minimnya ketersediaan data base potensi objek

pajak.

d. Kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap dinamika kebijakan pajak

daerah yang dapat menimbulkan kurang kepedulian dari warga masyarakat

untuk segera membayar pajak tatkala mendekati jatuh tempo.


49

e. Masih lemahnya pengawasan termasuk instrumennya, sehingga

menimbulkan tidak optimalnya pencapaian realisasi sesuai dengan target

yang telah ditetapkan.

Beberapa pola dan strategi yang bisa dilakukan dalam meningkatkan PAD

terutama terhadap pajak adalah :

a. Penyederhanaan sistem dan prosedur pajak

1) Harus ada pelayanan prima, dalam artian waktu dan tempat harus

jelas serta sikap yang ramah dari petugas pajak itu sendiri. Untuk

tahap awal bisa dibentuk seperti KP2T untuk pajak, dimana

masyarakat hanya pergi ke satu tempat untuk melakukan

pembayaran.

2) Karena sistem tersebut belum efektif maka pemerintah daerah

dapat melakukan sistem jemput bola dimana pajak tersebut

langsung dijemput oleh petugas pajak.

b. Peningkatan pengawasan terhadap penerimaan pajak baik terhadap wajib

pajak maupun petugas pajak. Untuk wajib pajak harus ada kontrol dari

pemerintah daerah terhadap nota penjualan. Sedangkan untuk petugas

harus ada peningkatan WASKAT (pengawasan melekat) dari atasan

kepada bawahan.

c. Membenahi peraturan-peraturan daerah terkait dengan berbagai jenis

pungutan pajak.

d. Perlu meminta masukan yang kepada masyarakat dalam pembuatan

peraturan daerah khususnya pajak daerah agar masyarakat tidak terbebani.


50

e. Peningkatan SDM, dalam hal ini bisa berupa pemberian pelatihan bagi

petugas pajak (pembinaan tersebut dilakukan oleh atasan).

I. Pajak Restoran

Sesuai dengan Perda Kota Metro Nomor 02 Tahun 2012, pasal 1 menyatakan

bahwa restoran adalah fasilitas penyediaan makanan dan/atau minuman dengan

dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung,

bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering. Pajak restoran adalah pajak atas

pelayanan yang disediakan oleh restoran atau pajak atas pelayanan restoran.

Pelayanan yang disediakan restoran meliputi penjualan dan/atau minuman yang

dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi ditempat pelayanan maupun di tempat

lain.

Objek pajak restoran adalah setiap pelayanan yang disediakan oleh restoran.

Pelayanan yang disediakan oleh restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

meliputi pelayanan penjualan makanan dan atau minuman yang dikonsumsi oleh

pembeli baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Tidak

termasuk objek pajak restoran sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2) adalah

pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi

Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan.

Dasar pengenaan Pajak Restoran atau tarif pajak yang dikenakan untuk pajak

restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau seharusnya diterima

restoran.
51

Selanjutnya tarif Pajak Restoran ditetapkan 10% dari jumlah pembayaran. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota

untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-

masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kota/kabupaten

diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda

dengan kabupaten/kota lainnya.

Besarnya pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung degan cara mengalikan

tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak

Restoran adalah sesuai dengan rumus berikut :

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

Potensi Pajak Restoran ini diperoleh dengan cara mengalikan jumlah pengunjung

yang datang ke restoran, tarif rata-rata makanan dan minuman yang dijual, rata-

rata jumlah hari kerja dalam 1 bulan (sesuai dengan aturan pemilik restoran), dan

tarif yang ditetapkan oleh pemerintah.

Potensi Pajak Restoran = Jumlah pengunjung x Tarif rata-rata x

Jumlah hari kerja rata-rata x 12 bln x 10%

J. Hubungan Pajak dengan Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu

perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.

Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi

peningkatan pendapatan nasional riil di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi

akan memberikan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi penduduk suatu
52

wilayah, apabila digunakan alat ukur yang tepat. Beberapa alat ukur diantaranya

Produk Domestik Bruto, pendapatan perkapita, pendapatan per jam kerja dan

angka harapan hidup.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yakni nilai total atas segenap output

akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam suatu wilayah, pada

umumnya dalam jangka waktu satu tahun (Todaro : 2003 : 38). PDRB digunakan

oleh banyak negara sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan, ekonomi penduduk,

sehingga kecenderungan pendapatan penduduk meningkat. Jika pendapatan

penduduk meningkat, maka akan mengubah pola konsumsinya, dimana kelebihan

dari seluruh pendapatannya setelah dikonsumsi merupakan kekayaan tambahan.

Mengaitkan PDRB sebagai indikator sosial ekonomi masyarakat dengan pajak

daerah terutama pajak yang berbasis pajak pendapatan, dilihat dari sisi

penghasilan masyarakat bahwa penghasilan adalah semua penerimaan yang dapat

menambah konsumsi dan meningkatkan kekayaan atau tabungan

(Mangkoesoebroto:2001:235).

Menurut pandangan Keynes (Dornbusch:2004:193), kegiatan ekonomi sangat

tergantung kepada pembelanjaan atau pengeluaran agregat untuk membeli barang

dan jasa yang dilakukan dalam perekonomian pada suatu waktu tertentu biasanya

di ukur untuk satu tahun. Komponen utama dari pembelanjaan agregat adalah

konsumsi rumah tangga (C), Investasi yang dilakukan oleh pihak swasta (I),

Pengeluaran Pemerintah dalam bentuk konsumsi dan Investasi Pemerintah (G),

dan Ekspor Netto (NX).


53

Secara (regional) untuk seluruh kabupaten atau kota, pengenaan pajak langsung

yang beban pajaknya tidak dapat digeserkan jelas akan mengurangi tingkat

pendapatan yang siap dibelanjakan (disposible income) dan tentu mengurangi

tingkat konsumsi dan tabungan masyarakat. Pengenaan pajak daerah akan

meningkatkan pendapatan yang dikonsumsikan. Apabila tingkat konsumsi

masyarakat menurun, maka akan berpengaruh terhadap pendapatan regional

dalam perekonomian daerah yang bersangkutan.

K. Penelitian Terdahulu

Lee dan Snow (1997) mengemukakan bahwa apabila pemerintah daerah akan

menaikkan penerimaan pajak daerah, maka sebaiknya pemerintah daerah

memperhitungkan kemampuan membayar dari masyarakat di daerah tersebut

dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan politik.

Miller dan Russek (1997) meneliti tentang struktur fiskal dan pertumbuhan

ekonomi pada tingkat negara bagian dan daerah di Amerika Serikat. Dari hasil

penelitian ditemukan bahwa di satu sisi pajak dapat berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan ekonomi bila hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan

publik dan di sisi lain dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi

bila hasilnya digunakan untuk pembayaran transfer. Implikasinya adalah bahwa

baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus dapat mendorong

penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk membiayai

pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.


54

Reksohadiprodjo (1999) berpendapat bahwa penerimaan pajak merupakan bagian

terpenting dari penerimaan pemerintah di samping penerimaan dari minyak bumi

dan gas alam serta penerimaan negara bukan pajak. Apabila Indonesia ingin

mandiri maka penerimaan dari pajak haruslah ditingkatkan agar supaya dapat

dijadikan substitut pinjaman luar negeri.

Waroy (1997) menganalisis potensi jenis pajak dan retribusi daerah berkaitan

dengan otonomisasi daerah tingkat II Sorong, hasil penelitian menunjukkan

bahwa kontribusi PAD Kabupaten Sorong terhadap total penerimaan (APBD)

sangat rendah yaitu rata-rata 4,59%. Apabila dikaitkan dengan tolok ukur

otonomisasi hasil penelitian Departemen Dalam Negeri dan Fisipol UGM, maka

klasifikasi kemampuan kabupaten ini untuk berotonomi sangat kurang karena

termasuk dalam daerah tingkat II yang mempunyai rasio kontribusi terhadap total

APBD-nya antara 0% - 10%. Bharantika (1999) meneliti klasifikasi sumber-

sumber PAD yang potensial untuk dikembangkan dan faktor-faktor yang

mempengaruhi upaya peningkatannya di Kabupaten Jayapura, hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Kabupaten Jayapura terhadap

sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat adalah tinggi yaitu rata-rata 0,0648

rasio rata-rata ini menunjukkan bahwa peran PAD hanya sebesar 6,48% dari

sebesar 93,52% merupakan ketergantungan daerah terhadap sumbangan dan

bantuan dari pemerintah pusat dan daerah tingkat I.

Insukindro, dkk (1994) berpendapat bahwa pajak dan retribusi daerah sebagai

sumber utama pendapatan asli daerah, dan pada umumnya retribusi daerah lebih

dominan. Sumbangan penerimaan asli daerah terhadap total penerimaan anggaran


55

pendapatan dan belanja daerah rendah, karena upaya merealisasikan peningkatan

pendapatan asli daerah tidak didasarkan potensi PAD tetapi ditargetkan

berdasarkan realisasi sebelumnya.

Penelitian ini dengan penelitian terdahulu terdapat beberapa kesamaan antara lain

permasalahan yang dibahas, metodologinya serta beberapa alat analisis yang

dipergunakan. Adapun yang membedakan dengan penelitian terdahulu, adalah

mengenai lokasi penelitian serta data yang digunakan yaitu Kota Metro.
III. METODE PENELITIAN

A. Obyek Penelitian

Untuk menganalisis dan menginterprestasikan data dengan baik, maka diperlukan

data yang baik dan reliabel supaya hasil yang diperoleh mengandung unsur

kebenaran. Kegiatan pengumpulan data merupakan kegiatan yang penting dalam

penelitian, karena dalam kegiatan ini akan diperoleh data yang disajikan sebagai

hasil dari penelitian. Sesuai yang telah dikemukakan oleh Moh. Nazir bahwa

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh

data yang diperlukan (1983:51).

Penelitian ini dilaksanakan dengan objek penelitian di Kota Metro. Pendekatan

penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. pendekatan kepustakaan, dilakukan untuk mendapatkan landasan teori yang

mendukung penelitian dan diambil dari literatur maupun buku-buku, artikel

ilmiah serta hasil penelitian sebelumnya yang dapat menjawab pertanyaan

penelitian;

2. penelitian lapangan, dilakukan dengan mendatangi langsung terhadap objek

penelitian. Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data primer dan data

sekunder.

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas maka penelitian menggunakan data :


57

a. data primer, yang diambil berdasarkan hasil wawancara langsung kepada para

responden diantaranya adalah Kepala Dinas Pendapatan Daerah beserta

stafnya, Kepala Bagian Keuangan beserta staf dan Kepala Bagian

Pemerintahan Sekretariat Kota Metro mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan pajak daerah;

b. data sekunder, yaitu sejumlah keterangan dan data yang digunakan seseorang

dan diperoleh secara tidak langsung terdiri dari data pendapatan asli daerah,

data jumlah jenis setiap pajak daerah tahun anggaran 2004 - 2013, sedangkan

untuk data proyeksi menggunakan data total pajak daerah tahun anggaran

2004 - 2013. Selain data-data tersebut data sekunder yang dipergunakan juga

adalah data pendukung untuk mencari potensi pajak setelah diklasifikasikan

dengan menggunakan alat analisis. Data-data tersebut diperoleh dari

Dinas/Instansi di lingkungan Pemerintah Kota Metro seperti Dinas

Pendapatan Daerah, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Bagian

Keuangan, dan Bagian Pemerintahan;

B. Pengolahan data

Setelah melakukan pengumpulan data, maka tahap berikutnya adalah tahap analisis.

Dalam menganalisis data digunakan analisis kuantitatif melalui berbagai alat analisis

yang terdapat pada penelitian ini. Hasil pengolahan data tersebut diharapkan dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh perumusan masalah sesuai

dengan tujuan penelitian.


58

C. Definisi Operasional

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah realisasi penerimaan asli daerah yang

berasal dari: pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba pengelolaan aset daerah

yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah Kota Metro dalam satuan rupiah.

2. Pajak Daerah adalah setiap jenis penerimaan pajak daerah yang ditetapkan

berdasarkan Peraturan Walikota Metro yang berlaku selama satu tahun anggaran.

3. Potensi pajak daerah adalah kekuatan yang ada pada pajak daerah yang dapat

dipungut untuk menghasilkan sejumlah penerimaan yang sesungguhnya terhadap

pendapatan asli daerah. Oleh karena jenis pajak daerah Kota Metro mencakup 11

jenis pajak daerah, maka dalam penelitian Potensi Pajak yang akan dihitung

adalah jenis pajak yang memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi selama periode

penelitian dalam nilai rupiah.

D. Metode dan Alat Analisis

Alat analisis yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

a. Analisis Tingkat Pertumbuhan

Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan masing-masing jenis pajak daerah

digunakan rumus :

gXi = Xit Xi (t-1) x 100%


Xi (t-1)
Dimana :

gXi adalah pertumbuhan pajak daerah jenis i

Xit adalah jumlah jenis pajak daerah tahun ke t

Xi (t-1) adalah jumlah jenis pajak daerah tahun ke t-1


59

b. Analisis Tingkat Kontribusi

Untuk mengetahui kontribusi masing-masing jenis pajak daerah digunakan

rumus :

wXi = Xi x 100%
X
Dimana:

wXi adalah kontribusi pajak daerah jenis i

Xi adalah jumlah pajak daerah jenis i

X adalah total pajak daerah

c. Analisis Klasifikasi Jenis Pajak Daerah (Overlay)

Analisis Overlay dimaksud adalah untuk melihat deskripsi kegiatan jenis

pajak daerah yang potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan dan kriteria

kontribusi. Terdapat 4 kemungkinan dalam analisis overlay:

1) pertumbuhan (+) dan kontribusi (+), menunjukkan suatu kegiatan yang

sangat dominan baik dari pertumbuhan maupun dari kontribusi;

2) pertumbuhan (+) dan kontribusi (-), menunjukkan suatu kegiatan yang

pertumbuhannya dominan tetapi kontribusinya kecil. Kegiatan ini dapat

ditingkatkan kontribusinya untuk dipacu menjadi kegiatan yang dominan;

3) pertumbuhan (-) dan kontribusi (+), menunjukkan suatu kegiatan yang

pertumbuhannya kecil tetapi kontribusinya besar, kegiatan ini sangat

mungkin merupakan kegiatan yang sedang mengalami penurunan;

4) pertumbuhan (-) dan kontribusi (-), menunjukkan suatu kegiatan yang

tidak potensial baik dari kriteria pertumbuhan maupun kriteria kontribusi.

Untuk mengetahui jenis pajak daerah diperlukan identifikasi atau klasifikasi

kondisi yang didasarkan pada jumlah serta perkembangan setiap jenis

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Identifikasi ini dilakukan dengan cara


60

mematrik antara komposisi penerimaan dan pertumbuhan penerimaan,

maksudnya adalah:

1) komposisi penerimaan yaitu total hasil setiap jenis pajak daerah terhadap

rata-rata hasil penerimaan seluruhnya;

2) pertumbuhan penerimaan yaitu kenaikan hasil (perubahan penerimaan)

setiap jenis penerimaan pajak daerah terhadap kenaikan atau

pertumbuhan penerimaan pajak daerah.

Secara tabel matrik komposisi penerimaan dan pertumbuhan penerimaan

jenis pajak daerah dapat dilihat sebagai berikut (Jaya: 1996, 29-30) :

Kontribusi
wXi 1 (tinggi) wXi < 1 (rendah)
Pertumbuhan

gXi 1 (tinggi) Prima Berkembang

Potensial Terbelakang
gXi < 1 (rendah)

Keterangan :

gXi adalah pertumbuhan setiap pajak daerah jenis i

wXi adalah kontribusi setiap pajak daerah jenis i

Berdasarkan analisis overlay dan klasifikasi pajak daerah di Kota Metro

tahun anggaran 2004 s/d 2013 secara garis besar dikelompokan menjadi 4

kondisi:

1) prima apabila pajak daerah diberikan kontribusi dan pertumbuhan sama

dengan atau lebih dari 1 persen;

2) potensial apabila pajak daerah diberikan kontribusi sama dengan atau

lebih dari 1 persen sedangkan pertumbuhan kurang dari 1 persen;


61

3) berkembang apabila pajak daerah diberikan kontribusi kurang dari 1

persen sedangkan pertumbuhan sama dengan atau lebih dari 1 persen;

4) terbelakang apabila pajak daerah diberikan kontribusi dan pertumbuhan

kurang dari 1 persen

d. Analisis Potensi Pajak Daerah

Untuk menghitung dan menganalisis potensi pajak daerah digunakan rumus

yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Metro melalui Peraturan Daerah.

Perhitungan ini akan menggunakan data yang berkaitan terhadap perhitungan

potensi sebenarnya. Perhitungan tersebut khusus bagi pajak daerah yang

memenuhi kualifikasi potensi berdasarkan analisis overlay. Dalam rangka

mendukung perhitungan tersebut dipergunakan data yang di dapat dari

Pemerintah Kota Metro sesuai dengan Perda Nomor 02 Tahun 2012 tentang

Pajak Daerah Pemerintah Kota Metro adalah sebagai berikut :

Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, dan Pajak Parkir :

menggunakan perhitungan :

Omzet Minimal x Tarif Pajak

Pajak Reklame menggunakan perhitungan:

Ukuran Reklame x Nilai Sewa x Tarif Pajak;

Pajak Penerangan Jalan menggunakan perhitungan :

Tagihan Listrik x 10% (Tarif Pajak) x Jumlah Rumah

Tangga/Pelanggan;

Pajak Air Tanah menggunakan perhitungan :

Penggunaan Air x Harga Air x Tarif ( per sumur bor);


62

Pajak BPHTB menggunakan perhitungan :

Jumlah Transaksi Hak x Nilai Transaksi Kena Pajak x Tarif ; dan

Pajak PBB menggunakan perhitungan :

Jumlah Ketetapan Pajak / Objek Pajak.

Dalam penelitian ini jenis pajak yang dianggap memiliki potensi untuk

dikembangkan adalah pajak yang memiliki laju pertumbuhan tinggi selama

periode penelitian.

e. Analisis Proyeksi

Dalam melakukan perkiraan dimasa yang akan datang diharapkan kesalahan

diperkecil seminimal mungkin agar proyeksi yang dilakukan menjadi akurat.

Penaksiran atau proyeksi ini juga diharapkan dapat menghasilkan data

proyeksi yang sesuai dengan kenyataan di lapangan yaitu dengan

menggunakan Teknik Anuitas. Asumsi dasar dalam penaksiran dengan Teknik

Anuitas adalah, bahwa tingkat pertumbuhan (r = rate of growth) selama

masa penaksiran bersifat tetap. Diharapkan dengan Teknik Anuitas ini dapat

melihat proyeksi pajak daerah dimasa yang akan datang dengan tingkat

akurasi yang tepat.

Perhitungan Penarsiran atau Proyeksi dengan Teknik Anuitas

Secara umum, persamaan penaksiran atau proyeksi dengan teknik anuitas

dapat ditulis sebagai berikut (Modul Pendapatan Daerah, 2013:121) :

Jika nilai P awal adalah P0 dan tingkat pertumbuhan = r, maka :

P1 = P0 + rP0 = P0 (1 + r) atau P1 = P0 (1 + r)1

P2 = P1 + rP1 = P1 (1 + r) atau P2 = P0 (1 + r)1 (1 + r) atau P2 = P0 (1 + r)2


63

P3 = P0 + (1 + r)2 (1 + r) = P0 (1 + r)3

Demikian seterusnya, sehingga berlaku rumus umum :

Pt = P0 (1 + r)t

Kemudian untuk penaksiran besarnya angka pertumbuhan rata-rata dengan

teknik anuitas, dapat dilakukan dengan reversasi rumus umum tersebut di

atas:

(1 + r)t = (Pt/P0)
(1 + r) = (Pt/P0)1/t
r = (Pt/P0)1/t - 1

Dimana : P0 adalah Penerimaan Pajak Tahun Awal

Pt adalah Penerimaan Pajak Tahun t

r adalah Tingkat Pertumbuhan

t adalah waktu/tahun
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berkenaan dengan tujuan penelitian ini dapat disampaikan beberapa

kesimpulan.

1. Tingkat pertumbuhan dan kontribusi setiap jenis pajak daerah terhadap total

penerimaan pajak daerah dan pendapatan asli daerah di Kota Metro selalu

mengalami fluktuasi selama periode sepuluh tahun pengamatan dari tahun

anggaran 2004 sampai dengan tahun anggaran 2013. Jenis-jenis pajak daerah

dimaksud adalah:

a. jenis pajak daerah yang mengalami pertumbuhan mulai yang terbesar sampai

yang terkecil adalah; pajak restoran (34,46%), pajak reklame (23,97%), pajak

parkir (19,55%), pajak hotel (13,66%), BPHTB (11,90%), pajak hiburan

(11,71%), pajak penerangan jalan (10,69%), pajak air tanah (8,04%), pajak

pengembalian bahan galian Gol C (2,10%), pajak PBB Perkotaan (belum

mengalami pertumbuhan), dan pajak sarang burung walet dan sriti (-3,60%)

mengalami penurunan;

b. jenis pajak daerah yang memberikan kontribusi terbesar sampai yang terkecil

terhadap total pendapatan pajak daerah dan total pendapatan asli daerah di

Kota Metro adalah; pajak penerangan jalan (78,24% dan 11,97%), pajak

BPHTB (6,43% dan 1,04%), pajak restoran (5,96% dan 0,90%), pajak
97

reklame (2,47% dan 0,38%), pajak galian golongan C (2,31% dan 0,34%),

pajak PBB Perkotaan (2,16% dan 0,41% ), pajak hotel (0,91% dan 0,14%),

pajak sarang burung walet dan sriti (0,62% dan 0,08%), pajak hiburan (0,45%

dan 0,07%), pajak parkir (0,40% dan 0,07%) dan pajak pemanfaatan air

bawah tanah (0,03% dan 0,01%).

2. Identifikasi terhadap jenis pajak daerah dilakukan dengan melihat pertumbuhan

dan kontribusinya. Hasil perhitungan pertumbuhan dan kontribusi tersebut

dilakukan matrik berdasarkan analisis overlay sehingga menghasilkan klasifikasi;

prima, potensial, berkembang dan terbelakang. Dan berdasarkan analisis overlay

pajak restoran pada tahun 2009 memiliki klasifikasi prima dengan tingkat

pertumbuhan dan kontribusi yang tinggi tetapi pada tahun 2013 menurun sampai

dengan klasifikasi terbelakang yang ditunjukkan tingkat pertumbuhan dan

kontribusi rendah. Seharusnya pajak restoran secara potensi yang dapat

mendukung program Kota Metro terus ditingkatkan dengan dukungan dari sistem

pengelolaan dan aturan yang yang baik sehingga target dan realisasi dapat

berkembang dengan baik.

3. Berdasarkan hasil survey potensi terhadap pajak restoran maka perhitungan yang

dilakukan terhadap potensi sebenarnya pajak restoran adalah sebesar Rp

2.554.800.000,-, sedangkan realisasi terbesar pajak restoran pada tahun anggaran

2013 sebesar Rp. 553.700.312,-. Dengan demikian potensi yang belum terealisasi

adalah sebesar 78,33%. Kemudian untuk pajak PBB Perkotaan Nilai Pajak PBB

Perkotaan di Kota Metro pada tahun 2013 dengan menggunakan data objek pajak

yang sesuai dengan Pokok Ketetapan PBB Perkotaan adalah sebesar Rp.
98

3.147.142.107,- ; Realisasi penerimaan Pajak PBB Perkotaan tahun 2013 hanya

sebesar Rp. 2.230.859.456,- atau sebesar 70,9 %, dengan demikian potensi yang

belum terealisasi sebesar 29,1 % atau sebesar Rp. 916.282.651,-

4. Proyeksi terhadap jenis pajak daerah dan pajak restoran dilakukan dengan

menggunakan Teknik Anuitas. Asumsi dasar dalam penaksiran dengan Teknik

Anuitas adalah, bahwa tingkat pertumbuhan (r = rate of growth) selama masa

penaksiran bersifat tetap. Penaksiran atau proyeksi ini diharapkan dapat

menemukan hasil perhitungan yang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dan

diharapkan juga hasil perhitungan dapat melihat proyeksi pajak daerah dimasa

yang akan datang dengan tingkat akurasi yang tepat. Hasil perhitungan untuk

proyeksi pajak daerah Kota Metro didapat bahwa tingkat pertumbuhan atau r =

0,175 . Dan dari perhitungan untuk proyeksi pajak restoran didapat bahwa tingkat

pertumbuhan atau r = 0,243, maka untuk tahun anggaran 2014 s.d 2018 proyeksi

baik pajak daerah Kota Metro dan pajak restoran mengalami peningkatan di

bandingkan tahun sebelumnya atau dibandingkan tahun anggaran 2013.

B. Saran

Hasil temuan empiris dalam studi ini memunculkan saran-saran yang dianggap perlu

sebagai berikut.

1. Mencermati pertumbuhan dan kontribusi pajak daerah mengalami fluktuasi di

Kota Metro, maka perlu dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan

dari setiap jenis pajak daerah dan retribusi daerah agar mengalami peningkatan

pertumbuhan dengan mengurangi fluktuasinya. Adapun cara-cara yang dapat

dilakukan dengan memperhatikan kondisi yang ada adalah; (a) melakukan

perhitungan potensi setiap jenis pajak daerah, karena berdasarkan pengamatan di


99

lapangan penetapan target pendapatan setiap jenis pajak daerah masih dilakukan

secara incremental sehingga belum mengambarkan potensi yang sebenarnya. (b)

melakukan sinergi antara Pemerintah Kota Metro dan DPRD Kota Metro melalui

koordinasi dan komunikasi dalam meningkatkan pendapatan jenis pajak daerah.

Mekanismenya dapat dilakukan dalam bentuk penyatuan fungsi yang wujudnya

antara lain membentuk sistem pelayanan satu atap (samsat) sehingga

perencanaan, operasional dan pengontrolannya menjadi mudah dilaksanakan.

2. Dari hasil perhitungan analisis overlay dapat diketahui pertumbuhan dan

kontribusi jenis pajak daerah di Kota Metro sebagian besar teridentifikasi

berkembang dan terbelakang. Hal ini perlu dilakukan peningkatan menjadi pajak

daerah yang prima atau potensial. Peningkatan untuk yang berkembang

dilakukan peningkatan kontribusi terhadap total pendapatannya seiring dengan

tingkat pertumbuhan total pendapatan masing-masing jenis pajak daerah.

Peningkatan untuk yang terbelakang melalui peningkatan pertumbuhan dan

kontribusi seiring dengan peningkatan total pendapatan masing-masing jenis

pajak daerah.

3. Pengelolaan sumber pendapatan daerah seperti Pajak Daerah perlu diidentifikasi

karena banyak sumber-sumber pendapatan yang belum dikelola secara tepat,

serta pengawasan yang belum efektif oleh pemerintah sehingga dalam

pemungutan pajak belum maksimal, Badan Layanan Umum Daerah perlu

ditingkatkan pengelolaan manajemen dan pengelolaan keuangan secara terbuka,

sehingga dapat memberikan kontribusi bagi Pendapatan Daerah. Pajak Restoran

yang merupakan salah satu pajak daerah yang memiliki laju pertumbuhan tinggi

dan juga merupakan pajak yang paling berpotensi untuk dikembangkan di Kota
100

Metro. Untuk itu perlu diadakan pendataan kembali subjek dan objek subjek dan

objek pajak restoran yang sudah ada sehingga dapat diketahui potensi yang

sebenarnya melalui pemutakhiran data subjek dan objek pajak restoran. Selain itu

proses penetapan target seharusnya memperhatikan potensi yang sebenarnya

sehingga pemerintah akan terpacu untuk mencapai target tersebut dan dapat

meningkatkan penerimaan pajak restoran.

4. Hendaknya lebih ditingkatkan lagi koordinasi dan pengawasan oleh Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini tim penyelenggara terhadap pelaksanaan

pemungutan pajak restoran agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemungutan

dan pelaporan penerimaan pajak restoran. Pemberian sanksi yang tegas sesuai

dengan Perda Nomor : 02 Tahun 2012 terhadap pelanggaran pajak restoran akan

lebih meningkatkan kedisiplinan terhadap wajib pajak restoran.

5. Hasil proyeksi terhadap pajak daerah mengalami peningkatan. Hal ini akan

berpengaruh terhadap total pendapatan asli daerah yang juga akan meningkat.

Hendaknya Pemerintah Kota Metro lebih intensif memperhatikan perkembangan

pendapatan pajak daerah. Pemerintah Kota Metro dan DPRD Kota Metro

melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan-kebijakan terhadap pajak

daerah. Untuk pajak daerah dilakukan pendataan ulang dan memberikan sanksi

kepada para pengguna pajak daerah yang tidak melunasi pajaknya.

6. Usaha intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan dengan cara aktif dimana

petugas pemungut harus lebih giat dalam usaha melakukan penagihan baik

pembayaran atau tunggakan.


101

7. Meningkatkan kualitas aparat pemungut antara lain dengan diadakan

pembenahan dalam hal yang berkenaan dengan manajemen perpajakan:

pelatihan, dan studi banding maupun diskusi-diskusi sehingga petugas dapat

mengetahui dan lancar dalam menjalankan tugasnya

8. Peningkatan disiplin dan loyalitas para petugas pemungut lapangan dalam

memungut pajak serta perlu mempertimbangkan insentif kerja.

9. Mengadakan penyuluhan dan meningkatkan motivasi masyarakat guna

menumbuhkan kesadaran dalam diri masyarakat atas kewajibannya membayar

pajak yang merupakan langkah penting dalam usaha meningkatkan laju

pemasukan pendapatan asli daerah.

10. Perlunya sanksi tegas terhadap penyimpangan dan penyelewengan bagi wajib

pajak ataupun pemungut pajak dan sanksi dengan pelaksanaan hukum bagi

pelanggar pengumpul atau pemungut pajak

11. Penyempurnaan sistem kerja sehingga tidak terjadi kebocoran-kebocoran dari

penerimaan yang tidak diinginkan.


DAFTAR PUSTAKA

Aldeefer,K.,F., 1964, Local Financing in Developing Countries, Mc Grow-Hill Book


Company, New York

Bharantika, B, Elita,1999, Klasifikasi Sumber-Sumber PAD yang Potensial untuk


Dikembangkan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Upaya
Peningkatannya di Kabupaten Dati II Jayapura, Tesis S-2, Pascasarjana-
UGM, Yogyakarta.

Davey, K.J, 1998 Pembiayaan Pemerintah DaerahPraktek-Praktek Internasional


dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, Penerjemah Amanulah dkk, UI
Press, Jakarta.

Devas, Nick. Brian Binder. Anne Booth. Kenneth Davey.Roy Kelly, 1989. Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia. Penerjemah Masri Maris. Jakarta: UI Press.

Devas, N., 1997. Indonesian What do we mean by Decentralization Public


Administration and Development. Vol. 17, 351 367.

Devas, N., Binder, B., Both, A., Davey, K., Kelly, R., 1998, Keuangan Pemerintah
Daerah di Indonesia, Edisi terjemahan, UI Press, Jakarta.
Dorrnbusch,R.,Fischer,S., dan Startz Richard, 2004. Makro Ekonomi. Edisi 8.
Jakarta: Erlangga

Gitosudarmo, Indriyo, 1997, Pengantar Bisnis, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta.

Hirawan, Susiati B, 1987. Analisis tentang Keuangan Daerah di Indonesia, EKI,


Vol. XXXIV No. 1, 94 95.

Insukindro, Mardiasmo, Widayat, W., Jaya, W.K., Purwanto, B.M., Halim, A.,
Suprianto, J., Purnomo, A.B., 1994, Peranan dan Pengelolaan
Keuangan Daerah Dalam Usaha Peningkatan PAD, Buku I, KKD FE
UGM, Yogyakarta.

Irawan Soehartono, 1995, Metode Penelitian Sosial, PT. Remaja Rosdakarya,


Bandung.
Jaya, W.K., 1996, Analisis Keuangan Daerah; Pendekatan Makro, Model Program
PMSES, Kerjasama Ditjrn PUOD Depdagri dengan Pusat Penelitian dan
Pengkajian Ekonomi dan Bisnis, UGM, Yogyakarta.

Juliansyah Noor, 2010, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Kaho, J.R, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, PT. Raja
Gratondo, Cetakan Keempat, Jakarta.

Kristiadi, JB, 1992. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, JHS, S Jakarta.

Koswara,E, 2000, Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999: Suatu Telaahan dan
Menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan Kompleksitasnya, CSIS
XXIX Nomor 1, Jakarta.

Lains, Alfian, 1995. Pendapatan Daerah Dalam Ekonomi Orde Baru , Prisma No.
4, 40 57.

Lee, D.R, and Snow, A, 1997, Political Incentives and Optimal Taxation, Public
Finance Review, Vol 25, 491-508.

Living Stone, Ian and Chartlon, Roger, 1998, Raising Local Authority District
Renenues Through Direct Taxation in A Law-Income Developing
Country: Evaluation Ugandas GPT, Public Administration and
Development, Vol 18, No.5, December, 499-517

Mahmudi, 2009, Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mangkoesoebroto, Guritno, 1993, Ekonomi Publik, EdisiIII, BPFE, Yogyakarta.

Mangkoesoebroto, Guritno, 2001, Ekonomi Publik, EdisiIII, BPFE, Yogyakarta.

Mardiasmo, 2003. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Offset

Mardiasmo dan Makhfatih, Ahmad.,2000, Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi


Daerah di Kabupaten Magelang, Laporan Akhir, Kerjasama
Pemerintah Daerah Magelang dengan PAU-SE UGM, Yogyakarta.

Mardiasmo, Makhfatih, A., Supomo, B., Purwanto, H., 2000, Pengembangan Model
Standar Analisa Belanja (SAB) Anggaran Daerah (APBD), Laporan
Akhir, PAU-SE UGM, Yogyakarta.

Meier, M.G, 1995, Leading Issues in Economics Development, Sixth Edition, Mc.
Graw Hill, International Edition Finance Series, Singapore.
Miller, Stephen M. And Frank S.Russek, 1997, Fiscal Structure and Economics
Growth at The State and Local Level, Public Finance Review, Vol 25
No.2, 213-237.

Moh. Nazir. 1983, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta

Mudrajat Kuncoro, 2004, Otonomi dan Pembangunan Dearah (Reformasi,


Perencanaan, Strategi dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta

Mudrajat Kuncoro, 2011, Perencanaan Daerah, Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Munawir,S. 1997, Pokok-Pokok Perpajakan, Liberty, Yogyakarta.

Musgrave,R.A., dan Peggy B.M., 1998, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta:Erlangga, PT. Gelora Aksara Pratama.

Nugroho, Riant D., 2000, Otonomi ; Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan
Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, PT.Elex Media
Komputindo, Jakarta

Prakoso, Kesit Bambang, 2005. Pajak dan Retribusi Daerah. Yogyakarta: UII Press.

Reksohadiprodjo, Sukanto, 1999, Government of Indonesia Tax Revenues, JEBI,


Vol. 14 Nomor 4, 1-3.

__________, 2004, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004, Tentang


Pemerintahan Daerah

__________, 2004, Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004, Tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah

__________, 2004, Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah

__________, 2001, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, Tentang Pajak


Daerah

__________, 2012, Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 02 Tahun 2012, Tentang
Pajak Daerah

Saragih, J. Panglima, 1996, Peningkatan Penerimaan Daerah Sebagai Sumber


Pembiayaan Pembangunan, Majalah Perencanaan Pembangunan,
No.6, 36-40

Setyawan, Setu. Dan Suprapti, Eny, 2004, Perpajakan, Edisi Revisi. Malang:Banyu-
Media Publishing
Sriyana, Jaka, 1999. Hubungan Keuangan Pusat Daerah, Reformasi Perpajakan
dan Kemandirian Pembiayaan Pembangunan Daerah. JEP. Vol 4 No.1

Soemitro, H.Rachmat, 2003. Azas dan Dasar Perpajakan. Erosco.Bandung.

Suparmoko, 2000, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi 5, BPFE,
Yogyakarta.

Syamsi, Ibnu, 1987, Dasar-dasar Kebijakan Keuangan Negara, PT. Bina Aksara,
Jakarta.

Todaro, 2003. Perkembangan Perekonomian. Edisi 8. Perason Education Limited


United Kingdom.

Waluyo, Wirawan B Ilyas. 2003. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat

Wantara, Agus, 1997. Analisis Pendapatan Asli Daerah dan Bantuan Pemerintah
Pusat di DIY (1970 1992), Kinerja Jurnal Bisnis dan Ekonomi No.
2/Januari, 1997. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas
Atmajaya.

Waroy, Nicholas, 1997, Analisis Potensi Jenis Pajak dan Retribusi Daerah Berkaitan
dengan Otonomisasi Daerah Tingkat II Sorong, Tesis S-2, Pascasarjana
UGM, Yogyakarta.

Widayat, Wahyu, 1994, Maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah sebagai Kekuatan


Ekonomi Daerah, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, STIE YKPN,
XXI/No.3, 28-34.

Anda mungkin juga menyukai