SKRIPSI
Oleh :
LIA PUJITIANA
NIM 132110101037
UNIVERSITAS JEMBER
2017
i
HUBUNGAN PEMELIHARAAN TERNAK AYAM DENGAN KEJADIAN ISPA DI
DESA RINGINANYAR KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR
SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat menyelesaikan
Program Pendidikan S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat dan mencapai gelar sarjana
kesehatan masyarakat
Oleh :
LIA PUJITIANA
NIM 132110101037
UNIVERSITAS JEMBER
2017
ii
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga dapat terselesaikannya proposal skripsi dengan judul HUBUNGAN
PEMELIHARAAN TERNAK AYAM DENGAN KEJADIAN ISPA DI DESA RINGINANYAR
KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR sebagai salah satu persyaratan akademis
dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Telaah Kritis dan Seminar Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Ibu Anita Dewi Moelyaningrum, S.KM., M.Kes, selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan petunjuk, koreksi, serta saran hingga terwujudnya
proposal skripsi ini. Terimakasih dan penghargaan kami sampaikan pula kepada yang
terhormat :
1. Bapak Dr. Isa Marufi, S.KM., M. Kes., selaku Ketua Bagian Kesehatan Lingkungan serta
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember
2. Ibu Prehatin Trirahayu Ningrum, S.KM., M.Kes., Ibu Anita Dewi Moelyaningrum, S.KM.,
M.Kes., Ibu Ellyke, S.KM., M.KL., selaku dosen mata kuliah Telaah Kritis dan Seminar
Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember
3. Serta semua pihak yang terlibat dalam proses penyempurnaan makalah ini yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu.
Proposal skripsi ini telah peneliti susun dengan optimal, namun tidak menutup
kemungkinan adanya kekurangan, oleh karena itu peneliti dengan tangan terbuka menerima
masukan yang membangun. Semoga tulisan ini berguna bagi semua pihak yang
memanfaatkannya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 3
1.4 Manfaat............................................................................................................................. 3
iv
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ................................................................ 18
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1
Jenis bakteri dan jamur dari kotoran ayam yang bercampur dengan udara tidak hanya E-
coli dan salmonella, tetapi juga Absidia sp, Aspergillus sp, Clasdosporum sp, Curvularia sp,
Paelomyces sp, Penilcillium sp dan Rhizopus sp (Indrawati dkk, 1999 dalam Sulistyowati,
2001: 70). Penyakit yang dapat ditimbulkan bakteri dan jamur diudara antara lain
aspergillosis, mikotik keratitis, zigomikosis, legionella, pontiac fever dan penyakit saluran
pernapasan lainnya (Invovet, 1996 :8).
Salah satu penyakit saluran pernapasan yaitu ISPA. Merupakan salah satu masalah
kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia. ISPA adalah penyakit saluran pernapasan
yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala.Penyakit ini disebabkan oleh berbagai
sebab (multifactorial). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit akut saluran
pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan spektrum penyakit
yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan, tergantung pada patogen penyebab, faktor lingkungan dan faktor penjamu.Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit yang menyerang saluran napas
dan kebanyakan merupakan infeksi virus. Penderita akan mengalami demam, batuk, dan pilek
berulang serta anoreksia. Di bagian tonsilitis dan otitis media akan memperlihatkan adanya
inflamasi pada tonsil atau telinga tengah dengan jelas. Infeksi akut pada balita akan
mengakibatkan berhentinya pernapasan sementara atau apnea (Meadow, 2005: 153-154).
Berbagai hasil penelitian menyetakan bahwa lingkungan pada kelompok masyarakat
di suatu wilayah merupakan penyebab dari terjadinya penyakit ISPA. Keberadaan sumber-
sumber pencemaran udara seperti gas buang kendaraan bermontor, industri pemeliharaan
ternak di sekitar tempat tinggal (Herawati & Sukoco, 2011:1) dapat menciptakan kondisi
lingkungan udara yang buruk dan merupakan faktor utama penyebab penyakit ISPA
(Herawati & Sukoco, 2011: 1). Faktor lingkungan rumah merupakan faktor yang paling
utama karena sebagian besar keadaan rumah di Desa Ringinanyar belum memenuhi
syarat rumah sehat sesuai dengan Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999. Hal itu
ditunjukkan dengan letak rumah merekayang berdekatan dengan kandang ternak yang
dapat memudahkan seseorang terserang ISPA.
2
Jawa Timur (28,3%). Menurut data Dinas kesehatan Blitar pada tahun 2016 Ispa merupakan
penyakit tertinggi dengan jumlah penderita mancapai 79.383 orang.
Menurut data yang diperoleh peneliti dari Puskesmas Kecamatan Ponggok ISPA
menempati posisi pertama dari 10 teratas jenis penyakit yang terjadi di Desa Ringinanyar
Kecamatan Ponggok. Namun kejadian ISPA tersebut tidak dijelaskan penyebabnya. Peneliti
menghubungkan kejadian ISPA ini dengan kondisi pemeliharaan ternak karena berdasarkan
hasil survei sebagian besar responden memelihara ternak ayam dirumah. Oleh karena itu
perlu dibuat penelitian untuk mengetahui hubungan antara pemeliharaan peternakan ayam
dengan kejadian penyakit ISPA di Desa Ringinanyar Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pemelirahaan peternakan ayam dalam memicu kejadian ISPA
di Desa Ringinanyar Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengidentifikasi hubungan faktor dan subfaktor lingkungan dalam memicu
kejadian ISPA di Desa Ringinanyar Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat dijadikan bahan referensi bagi kegiatan penelitian lanjutan dan
sebagai sarana aplikatif terhadap ilmu pengetahuan tentang kesehatan msyarakat di
bidang kesehatan lingkungan yang didapat di bangku kuliah khususnya yang berkaitan
dengan kebersihan lingkungan peternakan.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Instansi
3
Dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi perumusan pelayanan program
kesehatan khususnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
yang ditimbulkan oleh peternakan ayam diwilayah Kecamatan Ponggok Kabupaten
Blitar.
b. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dalam upaya menjaga
sanitasi lingkungan guna mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kejadian ISPA.
c. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai literatur di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember dan sebagai referensi bagi pihak yang membutuhkan
penelitian mengenai masalah terkait.
d. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengalaman dan juga untuk menambah
wawasan serta pengetahuan bagi peneliti.
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
5
a. Menurut Nelson (2002), virus penyebab ISPA meliputi Virus parainfluenza,
adenovirus, koronavirus, koksakavirus A dan B, streptokokus dan lain-lain.
b. Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya tersediaan air bersih
(Depkes RI, 2005).
6
2.3 Faktor resiko yang mempengaruhi penyakit ISPA
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau
kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis
simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan
penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus
Myxovirus, Coxsackie, dan Echo (WHO, 2007).
b. Manusia
1) Umur
Berdasarkan hasil penelitian Anom (2006), risiko untuk terkena ISPA pada
anak yang lebih muda umurnya lebih besar dibandingkan dengan anak yang
lebih tua umurnya. Dari hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh umur
terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Dengan demikian, umur merupakan
determinan dari kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas
Blahbatuh II, dengan risiko untuk mendapatkan ISPA pada anak Balita yang
berumur <3 tahun sebesar 2,56 kali lebih besar daripada anak balita yang
berumur 3 tahun.
2) Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009), menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa
penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, di bawah 6 tahun.
c. Lingkungan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian penyakit ISPA.
Faktor lingkungan tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar rumah. Untuk faktor
yang berasal dari dalam rumah sangat dipengaruhi oleh kualitas sanitasi dari rumah itu
sendiri, seperti :
1) Kelembaban ruangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah
menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 60%.
Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab ISPA (Kemenkes
RI, 2011).
7
2) Penerangan alami
Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup. Suatu rumah atau
ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman,
juga dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya suatu ruangan yang terlalu banyak
mendapatkan cahaya akan menimbulkan rasa silau, sehingga ruangan menjadi tidak
sehat. Agar rumah atau ruangan mempunyai sistem cahaya yang baik, dapat
dipergunakan dua cara (Kemenkes RI, 2011), yaitu :
a) Cahaya alamiah, yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di alam,
seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. 22 Pencahayaan alami dianggap baik
jika besarnya minimal 60 lux . Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat
jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam
ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di
samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan
jendelapun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama
menyinari lantai (bukan menyinari dinding).
b) Cahaya buatan adalah menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan alami
dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan.
3) Ventilasi
Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal, hal ini karena ventilasi
mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk dan keluar angin
sekaligus udara dari luar ke dalam dan sebaliknya. Dengan adanya jendela sebagai
lubang ventilasi, maka ruangan tidak akan terasa pengap asalkan jendela selalu dibuka.
Untuk lebih memberikan kesejukan, sebaiknya jendela dan lubang angin menghadap
ke arah datangnya angin, diusahakan juga aliran angin tidak terhalang sehingga terjadi
ventilasi silang (cross ventilation). Fungsi ke dua dari jendela adalah sebagai lubang
masuknya cahaya dari luar (cahaya alam/matahari). Suatu ruangan yang tidak
mempunyai sistem ventilasi yang baik akan menimbulkan beberapa keadaan seperti
berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar karbon dioksida, bau pengap, suhu
dan kelembaban udara meningkat. Keadaan yang demikian dapat merugikan kesehatan
dan atau kehidupan dari penghuninya, bukti yang nyata pada kesehatan menunjukkan
terjadinya penyakit pernapasan, alergi, iritasi membrane mucus dan kanker paru.
8
Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus
mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).
4) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai dalam rumah dengan
jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut. Kepadatan hunian ruang tidur
menurut Permenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah minimal 8 m2 , dan
tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali
anak di bawah umur lima tahun (Depkes RI, 1999).
5) Pencemaran udara dalam rumah
Menurut Kemenkes RI (2011a), partikel debu diameter 2,5 (PM2,5) dan Partikel
debu diameter 10 (PM10) dapat menyebabkan pneumonia, gangguan system
pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis kronis. PM2,5 dapat masuk ke dalam paru
yang berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paru-paru serta
gangguan kardiovaskular atau kardiovascular (KVS). Secara umum PM2,5 dan PM10
timbul dari pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktivitas
industri). Sumber dari dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku merokok,
penggunaan energi masak dari bahan bakar biomasa, dan penggunaan obat nyamuk
bakar.
6) Langit-langit rumah
Fungsi dari atap adalah penutup atas suatu bangunan yang meliputi bagian dalam
bangunan dari hujan, panas terik matahari, serta memberikan rasa aman bagi penghuni
rumah. Atap rumah berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi
masuknya debu, angin dan air hujan. Atap genteng merupakan hal yang umum
digunakan baik di daerah perkotaan, maupun di pedesaan. Disamping atap genteng
cocok untuk daerah tropis juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan dapat
membuat sendiri. Atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, disamping
mahal juga menimbulkan suhu panas di panas matahari minimum 2,4 m dari lantai,
bisa dari bahan papan, anyaman banmbu, triplek atau gypsum.
9
itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih
dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga
menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat
jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (terus dimurnikan). Inilah yang kemudian
dikenal dengan ayam petelur unggul (Prihatman, 2000).
Ayam petelur adalah ayam dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur
dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh disilangkan kembali (Sudaryani dan
Santosa, 2000).
Menurut Primasetra (2010), pemeliharaan ayam petelur pada umumnya dibagi tiga
fase pemeliharaan berdasarkan umur, yaitu fase permulaan starter, kedua grower dan ketiga
laye. Fase permulaan berawal dari umur 0-8 minggu, dimana bentuk ukuran dan keseragaman
sebagai tujuan bagi peternakan ayam petelur. Fase kedua berawal dari umur 8-20 minggu,
ayam perlu dipelihara di bawah manajemen pakan yang terkontrol dengan sangat teliti, untuk
menghindari peternakan ayam dari berat badan yang tidak sesuai. Fase ketiga berawal setelah
ayam berumur 20 minggu, dalam fase ini ayam dituntut untuk mempercepat pertumbuhan
untuk persediaan bagi perkembangans eksual dan untuk mencapai keseragaman berat badan
yang optimal.
Pemeliharaan ayam petelur berdasarkan kebutuhan zat makanannya ada tiga, yaitu
fase starter mulai umur 0 6 minggu, fase grower mulai umur 6 18 minggu dan fase layer
di atas umur 18 minggu (National Research Council, 1994). Banong (2012) mengemukakan
bahwa ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari-6 minggu), fase
grower pertumbuhan (umur 6-18 minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu-afkir).
10
Tabel 1. Gambaran kualitas air buangan usaha peternakan ayam ras yang diambil dari daerah
Kecamatan Ciparay, Bandung (Jawa Barat) dan Kecamatan Kanirogo, Blitar (Jawa
Timur)
Pemeliharaan ayam petelur biasanya dilakukan dengan system baterai, yakni sejumlah
tortentu ayam dipelihara dalam kandangkandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari
permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubanglubang sehingga kotoran akan jatuh dan
bertumpuk di bawah kandang di atas tanah. Untuk pemeliharan ayam pedaging biasanya
dengan system litter, yakni ayamayam dipelihara dalam kandang dengan batas, disekatsekat
dan lantai kandang adalah tanah atau beton yang dilapisi dengan sekam.
Kotoran ayam biasanya sedildt bercampur dengan sekam tersebut yang secara
periodic diangkat. Jumlah kotoran ayam yang dikeluarkan setiap harinya banyak, ratarata per
ekor ayam 0, 15 kg (CHARLES dan HARIONO, 199 1). FONTENOT et al. (1983)
melaporkan bahwa rata-rata produksi buangan segar ternak ayam petelur adalah 0,06
kg/hari/ekor, dan kandungan bahan kering sebanyak 26%, sedangkan dari pemeliharaan ayan
pedaging kotoran yang dikeluarkan sebanyak 0, 1 kg/hari/ekor dan kandungan bahan
11
keringnya 2 5%. Kotoran ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak dicerna.
Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya. Protein
pada. kotoran ayam merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen inorganik
lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur,
keadaan individu ayarn, dan makanan (FOOT et al., 1976).
Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan
dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam kotoran tersebut, yang pada. saat
penumpukan kotoran atau penyimpanan te~adi proses dekomposisi oleh mikroorganisme
membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas-gas tersebutlah yang
menyebabkan bau (SVENSSON, 1990; PAUZENGA, 1991). Kandungan gas amonia yang
tinggi dalam kotoran juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses
pencernaan atau protein berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak setnua nitrogen
diabsorbsi sebagai amonia, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam kotoran (PAUZENGA,
199 1).
Kotoran ayam, sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai pupuk di bidang pertanian.
Sudah dibuktikan bahwa kotoran ternak merupakan pupuk yang cocok dan baik untuk
12
kesuburan tanah pestmian. Oleh sebab itu penanganan kotoran ternak secara baik perlu
dilakukan agar tidak menyebabkan bau yang menyengat, dan kotoran masih tetap dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk.
a) Konstruksi bangunan memenuhi daya tampung untuk menjamin sirkulasi udara terhadap
terpeliharanya kesehatan dan kesejahteraan hewan. Terbuat dari bahan yang kuat dan
dapat menjamin kemudahan pemeliharaan, pembersihan, dan disinfeksi kandang.
b) Memiliki sistem pembuangan dan pengolahan limbah dalam rangka pencegahan
penyebaran agen penyakit.
c) Berjarak minimal 10 meter dari Rumah.
d) Hal ini telah sesuai yang dikemukakan Sudaryani dan Santoso, 2003, syarat-syarat lokasi
kandang adalah tersedianya sumber air, bebas keluar masuknya udara kekandang, jaringan
listrik dan telpon.
13
Faktor Lingkungan
Lingungan Kimia :
Partikel (debu)
Gas organik amonia
Saluran Pernapasan
ISPA Perilaku:
-Pengelolaan kotoran
ternak. - Masa Kerja
14
2.6 Kerangka Konsep
(Variabel Bebas)
Kondisi Lingkungan
Rumah :
a. Kandang ternak :
Jarak kandang
Letak kandang
(variabel Terikat)
KONDIS I FISIK RUMAH:
Kepadatan hunian
Ventilasi ISPA
Pencahayaan
Kelembapan
Keberadaan langit-
langit rumah
a. Jenis kelamin
PERILAKU b. usia
MASYARAKAT:
Pengelolaan kotoran
ternak
Masa kerja
15
BAB 3. METODE PENELITIAN
16
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010:115). Sampel dalam penelitian
ini adalah warga yang memelihara ternak yaitu 48 responden. sampel dalam penelitian ini
dilakukan secaraacak sederhana (simple randomsampling).
Sebagai sampel penelitian diambil dari sebagian populasi, jumlah sampel yang diuji
dihitung dengan menggunakan rumus dari Sevilla et al yaitu rumus slovin dan menggunakan
bantuan kalkulator. Penentuan besar sampel dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
n = 1+2
Keterangan :
n = besar sampel (sample size)
N = besar populasi
e = taraf kesalahan (error) sebesar 0,05
Adapun kriteria inklusi perlu ditetapkan oleh peneliti agar karakeristik responden tidak
menyimpang dari populasinya.
1) Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota
populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2014:130).
a) Warga Desa Ringinanyar Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar yang
memiliki Peternakan ayam di rumah
b) Responden menderita ISPA
c) Bersedia untuk dijadikan responden.
17
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
18
lainnya.
2. Umur usia wawancara Kuesione Ordinal 0. kurang
seseorang r dari 30
(responden) tahun.
sejak lahir 1. lebih dari
sampai 30 tahun.
dengan
penelitian
dilakukan,
yang didapat
dari
responden.
3. Masa Lama waktu Wawancara Kuesione Ordinal 0. Baru
Kerja yang r (<5 tahun)
dihitung 1. Lama
sejak awal (5 tahun)
sampel
mulai
bekerja di
kandang
sampai saat
dilakukan
4. Jenis Responden Wawancara Kuesione Ordinal 0. Laki-laki
Kelamin yang sesuai r 1. Perempuan
dengan
kriteria
inklusi
5. Langit- Adalah Observasi observasi Nomina 1. Tidak memenuhi
langit keberadaan secara l syarat:
seluruh langsung bila terdapat lubang
langitlangit di rumah atau celah.
rumah yang responden 2. Memenuhi syarat:
dinilai bila tidak ada
19
menurut lubang atau celah
kondisi
langit-langit
rumah.
6. Ventilasi/ Perbandinga Observasi kuisioner Ordinal 0. Tidak
jenndela n luas lantai dan memenuhi
rumah kamar wawancara Syarat (<10% luas
dengan luas secara lantai)
jendela dan langsung 1. Memenuhi
lubang angin di rumah syarat (>10%
kamar tidur responden dari luas
untuk lairan lantai)
udara dari
dalam kamar
keluar atau
sebaliknya.
Sesuai
dengan
Kepmenkes
(1999) yaitu
minimum
10% dari
luar lantai
kamar.
20
pelihara oleh apabila tidak
responden memenuhi kriteria
dan berada diatas atau berada
pada sekitar pada jarak 10
lingkungan meter dari rumah
rumah responden.
memberikan
peluang
timbulnya
limbah yang
menyebabka
n
pencemaran
udara
21
3.5.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang langsung diperoleh dari sumber data kedua atau
sekunder dari data yang kita butuhkan (Bungin, 2010). Data sekunder dari penelitian ini
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar.
22
3.7 Teknik Penyajian Dan Analisis Data
Penuajian data merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam pembuatan
laporan hasil penelitian yang telah dilakukan agar dapat dipahami, dianalisis sesuai dengan
tujuan yang diinginkan dan kemudian ditarik kesimpulan sehingga menggambarkan hasil
penelitian (Notoatmodjo, 2010). Adapaun teknin penyajian data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Data (editing) Pemeriksaan data dilakukan sebelum data diolah. Data
yang telah dikumpulkan dari kuisioner perlu dibaca dan diperbaiki apabila terdapat
hal hal yang salah atau masih meragukan. Misalnya, memeriksa lengkap tidaknya
kuisioner yang telah diisi, kejelasan makna jawaban, dan kesesuaian antar pertanyaan.
Jal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas data serta menghilangkan keraguan data.
b. Pemberian Skor (scoring)
Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan skor atau nilai jawaban dengan nilai
tertinggi sampai nilai terendah dari kuisioner yang diajukan.
c. Tabulasi (tabulating)
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan data yang diperoleh ke dalam tabel
sesuai dengan variabel yang diteliti.
23
3.8 Alur Penelitian
24
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar 2015 katalog BPS : 11001002.3505. [Serial Online].
https://blitarkab.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kabupaten-Blitar-
2015--.pdf. Diakses pada 29 oktober 2017.
Balivet. 1993. Laporan Hasil Dampak Lingkungan Usaha Peternakan Tahun Anggaran
1992/1993. Agriculture Research Management Project. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertaman, Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Diakses pada 29 oktober 2017.
Departemen Kesehatan RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat
2010. Jakarta. [Serial Online].
http://www.depkes.go.id/resources/download/rakerkesnas-2015/reg-
timur/kemenkes.pdf. Diakses pada 29 oktober 2017.
Departemen Kesehatan RI. 2011. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Bakti Husada. [Serial
Online]. http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/2046. Diakses 3
november 2017.
25
Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, Layanan Bidang Kesehatan. [Serial Online].
http://dinkes.blitarkab.go.id/?p=19387 . diakses 3 november 2017.
Hafsari,D. 2012. Analisis Faktor-Faktor Resiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada
Pekerja Lapang PT. Bukit Asam (PERSERO) Tbk Unit Pelabuhan Tarahan
Lampung. Skripsi. [Serial Online].
http://digilib.unila.ac.id/23914/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASA
N.pdf. Diakses pada 29 oktober 2017.
Herawati, M., Sukoco. 2011. Pengaruh Memelihara Ternak Dalam Rumah Terhadap
Kecenderungan Meningkatnya Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan (Bulletin of Health System Research, ISSN 1410-2935.
e-ISSN 2354-8738) published by Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [Serial Online].
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2981 diakses 3
november 2017.
Mukono, H.J. 2008. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Edisi Kedua. Airlangga
University Press. Surabaya.
PAUZENGA. 1991. Animal production in the 90s in harmony with nature, A case study in
the Nederlands. In: Biotechnology in the Feed Industry. Proc. Alltechs Seventh
Annual Symp. Nicholasville. Kentucky.
26
Pangkalan Karawang Tahun 2013. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. [Serial Online].
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25904/1/Rudianto-
fkik.pdf. Diakses pada 29 oktober 2017.
Sulistyowati, H. 2001. Respon Pertumbuhan dan Produksi Rumput Chloris gayana terhadap
Penggunaan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Asam Humat pada Tanah Podsolik
Merah Kuning Jasinga. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi Temak dan Makanan Temak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 70.
SVENSSON, L. 1190. Puffing the lid on the dung heaps. Acid. Enviro. Magazine.9:13 15.
WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang
cenderung menjadi epidemik dan pandemik di fasilitas pelayanan kesehatan. Trust
Indonesia. Jakarta
27