Rhinitis Atrofi
Rhinitis Atrofi
PENDAHULUAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.
3
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang.1
4
melalui jalur prespitisasi turbulen. Artinya, udara yang
mengalir melalui saluran hidung membentur banyak
dinding penghalang : konka, septum, dan dinding faring.4
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi
oleh sel epitel torak berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel
basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lender atau bila menarik nafas dengan
kuat.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara
ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata.
Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara.1
5
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan
cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau
busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada
pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,5
2.2.2. Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi
lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas.
Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk
mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4
penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekuensi
penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari
segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda.
Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk
berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-
49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan
lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.5
2.2.3. Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai
sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis
atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis
menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan
yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu :5
Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak
disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini
menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa
hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman
spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus,
6
Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa,
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,
Cocobacillus foetidus ozaena.
Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon
estrogen.
Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk
penyakit autoimun.
Teori mekanik dari Zaufal.
Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan
neurovaskular seperti deteriorisasi
pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf
otonom.
Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome
(RSDS).
Herediter.
Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
Golongan darah.
2.2.4. Patofisiologi
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel
kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan
fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar
alveolar baik dalam jumlah dan ukuran.5
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi
konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Fungsi
surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi
mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik
7
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan
bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk
krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk
pertumbuhan kuman. Perubahan histopatologi dalam hidung
pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3
Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
Silia hidung. Silia akan menghilang.
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari
epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel
gepeng berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi
(bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang.
8
2.2.6. Diagnosis
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat
ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-
kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat
rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media
dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi),
sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan
kering. Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk
yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara
klinik dalam tiga tingkat :5
Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak
kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas,
mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta
banyak, keluhan anosmia belum jelas.
Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang
sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung
tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di
nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
9
Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis
jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan
disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk
kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya
kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung
dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring.
Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius,
berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan
perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis
termasuk keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena)
yang dapat dilakukan antara lain :
Transiluminasi.
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
Pemeriksaan mikroorganisme.
Uji resistensi kuman.
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan Fe serum.
Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan
histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis,
silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel
kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi
atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya
mengecil.
Pemeriksaan serologi darah.
10
2.2.7. Diagnosis Banding
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
Rinitis kronik TBC
Rinitis kronik lepra
Rinitis kronik sifilis
Rinitis sika
2.2.8. Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik
hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan
membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan
lokal dengan endokrin, steroid, dan antibiotik, vasodilator,
pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol dan
salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan,
yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa
hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor
etiologi / penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan
dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan operasi.3,5
11
o Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
o Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9
sendok makan air hangat
o Larutan garam dapur
o Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
12
submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan
pada periode waktu yang sama. Ini membantu
regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi
dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet
sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci
hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol
darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2
minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3
bulan kemudian dan didapatkan hasil yang
memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
13
BAB III
KESIMPULAN
1. Rhinitis ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya
atrofi progresif tulang dan mukosa konka.
2. Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab
seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering
klebsiela ozaena, kemudian staphylokokus, dan pseudomonas aeruginosa,
defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan
penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.
3. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada
pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia),
ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan
hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat
lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau,
dan krusta berwarna hijau.
4. Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan
gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.
14
DAFTAR PUSTAKA
15