Anda di halaman 1dari 29

HASIL SMALL GROUP DISCUSSION (SGD)

MULTI ASPEK KEPERAWATAN KRITIS


RABU, 11 OKTOBER 2017

OLEH:
KELOMPOK SGD 2

1. Petronella Nieltje Melly 1602522001


2. Asih Devi Rahmayanti 1602522004
3. I Kadek Astika 1602522008
4. Komang Anik Eviyanti 1602522009
5. Yuvensius Pili 1602522012
6. Ni Luh Putu Diah Laksmiari 1602522015
7. Ni Made Ayu Sukma Widyandari 1602522016
8. Ni Made Dwi Astiti Wulandari 1602522020
9. Winda Yasinta Armeila .S 1602522022
10. I Wayan Edi Sanjana 1602522024

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
LEARNING TASK
MULTI ASPEK KEPERAWATAN KRITIS
RABU, 11 OKTOBER 2017

1. Jelaskan perbedaan karakteristik klien di ICU dengan unit perawatan lain!


2. Carilah kasus mengenai gambaran pasien di ICU dan analisis aspek bio, psiko, sosial,
spiritual yang terkandung di dalam kasus tersebut! (kasus dapat diambil dari case report,
laporan profesi, dengan tambahan data seperlunya).
3. Jelaskan peran perawat ICU dalam mengatasi masalah multi aspek (bio-psiko-sosial-
spiritual) pada soal no. 2!
4. Sebutkan dan jelaskan komplikasi fisik yang sering terjadi pada klien di ICU!
5. Pilih salah satu tindakan keperawatan yang sering dilakukan di ICU, uraikan :
a. Definisi
b. Tujuan
c. Indikasi
d. Kontraindikasi
e. Teknis pelaksanaan
(Topik setiap kelompok wajib berbeda)
HASIL SMALL GROUP DISCUSSION (SGD)
MULTI ASPEK KEPERAWATAN KRITIS
RABU, 11 OKTOBER 2017

1. Jelaskan perbedaan karakteristik klien di ICU dengan unit perawatan lain!


Pada dasarnya pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang masih
diharapkan reversible (pulih kembali) mengingat ICU adalah tempat perawatan yang
memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga yang khusus (Kemenkes RI,
2010).
Berikut perbedaannya.
No. Klien di ICU Klien di Unit Perawatan Lain
1. Kunjungan Kunjungan
Kunjungan keluarga biasanya dibatasi Kunjungan diruangan lain juga dibatasi,
dalam hal waktu kunjungan (biasanya lama kunjungan (berbeda-beda pada
dua kali sehari), lama kunjungan setiap rumah sakit) dan jumlah
(berbeda-beda pada setiap rumah sakit) pengunjung (biasanya boleh lebih dari
dan jumlah pengunjung (biasanya dua dua orang secara bersamaan), di unit
orang secara bergantian), di ICU perawatan lain klien bisa ditemani
kunjungan dibatasi dan selama perawatan keluarga selama perawatan.
tidak boleh ditemani keluarga secara
terus menerus.
2. Keahlian staff Keahlian staff
Perawatan pasien yang ada di ICU Perawatan pasien yang ada di ruang
dilengkapi dengan berbagai tim medis perawatan biasa tidak dilengkapi dengan
termasuk perawat didalamnya yang sudah berbagai tim medis dengan keahlian
mendapatkan keahlian khusus dalam khusus. Tim medis di ruang perawatan
menangani pasien dengan kondisi kritis. biasa cukup memiliki pengetahuan dan
Tim medis di ruang ICU haruslah terdidik sertifikat perawat umum.
dan bersertifikat sebagai seorang spesialis
intensive care medicine (KIC, Konsultan
Intensive Care) melalui program
pelatihan dan pendidikan yang diakui
oleh perhimpunan profesi yang terkait.
Keahlian yang harus dimiliki tim medis
di ICU adalah mampu melakukan
prosedur critical care antara lain :
mempertahankan jala napas termasuk
intubasi tracheal dan ventilasi mekanis,
fungsi arteri untuk mengambil sampel
arteri, memasang kateter intravaskuler
dan peralatan monitoring, memasang
kabel pacu jantung transvenous temporer,
resusitasi kardiopulmoner dan memasang
pipa thoracostomy.
3. Fasilitas Fasilitas
Ruang intensif dilengkapi dengan Tidak dilengkapi dengan peralatan-
berbagai peralatan-peralatan khusus peralatan khusus seperti ventilator,
seperti ventilator, monitor, EKG, untuk monitor, EKG.
penatalaksanaan terapi dan bantuan hidup
pasien yang sebagian tidak ditemukan di
unit-unit ruang perawatan yang lain. Hal
ini sesuai dengan konsep definisi dari
University of California Davis Health
System (2009) bahwa ICU merupakan
unit yang merawat pasien dengan
penyakit kritis yang mengalami
kegagalan akut satu atau lebih organ vital
yang dapat mengancam jiwa yang
memerlukan monitoring ketat, sehingga
memerlukan staff khusus dan peralatan
khusus.
4. Kategori Pasien Kategori Pasien
Klien yang masuk ke ICU memiliki Pasien pada unit perawatan lainnya
prioritas. Prioritas klien ada 4, akan tetapi memiliki kriteria masuk berdasarkan
hanya prioritas 1 dan 2 yang biasanya masalah kesehatan atau penyakit klien.
memenuhi kriteria pasien masuk ICU. Misalnya, pasien pasca operasi, fraktur
- Prioritas 1 femur, dan benigna prostat hiperplasi,
Pasien kritikal, tidak stabil, perlu masuk ke bangsal bedah; pasien stroke
terapi intensif dan monitor yang non hemoragik dan tetanus masuk ke
tidak dapat dilakukan di luar ICU, bangsal neuorologi; dan pasien TBC,
termasuk ventilator, obat vasoaktif diabetes mellitus, dengue hemoragik
secara infus kontinyu, dll. Contoh: fever, pneumonia, gastroenteritis akut,
Pasien dengan gagal nafas akut yang dan heart failure masuk ke bangsal
perlu ventilator dan syok atau pasien penyakit interna. Pasien tidak dibagi
dengan hemodinamik tidak stabil berdasarkan prioritas, melainkan
yang perlu monitor invasif. berdasarkan jenis penyakit yang
- Prioritas 2 diderita. Selanjutnya, setelah sampai ke
Pasien yang memerlukan monitor bangsal, pasien kembali dikategorikan
invasif dan secara potensial berdasarkan infeksius atau non
memerlukan intervensi segera, tidak infeksius, perempuan atau laki-laki,
ada persyaratan umum utk serta kelas-kelas ruangan yang dipilih
membatasi terapi. Contoh: pasien pasien.
kondisi kronik menjadi berat secara
akut.
5. Jenis Penyakit Jenis Penyakit
ICU Facts Critical Illness menyebutkan Jenis penyakit yang dirawat di ruang
bahwa ada beberapa kondisi atau perawatan umum adalah penyakit-
penyakit yang dapat menjadi alasan penyakit yang tidak membutuhkan
bahwa seseorang harus dirawat di ICU, di bantuan untuk menjalankan fungsi
antaranya: syom (syok hipovolemik, syok organ, seperti ventilator untuk
kardiogenik, syok septik, dan systemic menjalankan fungsi ventilasi. Jenis
inflammatory reponse syndrome), acute penyakit di ruang perawatan umum
respiratory failure, chronic repiratory tergantung pada jenis ruangannya,
syndrome, infeksi, gagal ginjal, kondisi seperti yang telah kami sebutkan di
gangguan neurologi, pendarahan dan penjelasan nomor 1. Penyakit di ruang
pembekuan, serta multiple organ perawatan umum merupakan penyakit
dysfunction syndrome. yang tidak memerlukan pemantauan
ketat, misalnya setiap 30 menit atau 1
jam, serta tidak mengalami
ketidakstabilan tanda-tanda vital.
6. Glasgow Coma Scale Glasgow Coma Scale
Tingkat kesadaran pasien yang berada di Tingkat kesadaran pasien yang berada di
ICU sebagian besar merupakan unit perawatan umum hampir
somnolen, stupor, hingga koma, yang seluruhnya adalah komposmentis,
tidak sengaja ataupun sengaja dibuat oleh meskipun ada beberapa pasien yang
dokter, meskipun beberapa pasien ada memiliki tingkat kesadaran apatis.
yang memiliki tingkat kesadaran
komposmentis.
7. Asal Kiriman Pasien Asal Kiriman Pasien
Kelompok pasien di ICU dapat berasal Pasien di perawatan umum biasanya
dari instalasi gawat darurat, kamar berasal dari kiriman unit gawat darurat
operasi, ruang perawatan, ataupun yang sudah mengalami kestabilan dan
kiriman dari rumah sakit lain. Kelompok siap mendapatkan perawatan di bangsal.
pasien merupakan pasien dengan Namun, ada juga pasien yang
berbagai jenis seperti pasien dewasa, merupakan kiriman dari bangsal lain
anak, yang mengalami lebih dari satu sesuai kebutuhan, misalnya dari bangsal
disfungsi atau gagal organ. interna ke bangsal neuro.
8. Faktor Penyebab Kematian Faktor Penyebab Kematian
Penelitian menyebutkan bahwa penyebab Penyebab kematian di ruang perawatan
kematian di ICU di antaranya kegagalan umum tergantung dari prognosis
system organ (sitem saraf pusat, gagal penyakit pasien. Pada pasien dengan
jantung, jantung kronis, disfungsi organ stroke, kematian umumnya terjadi
multiple), infeksi (sepsis, pneumonia karena adanya stroke hemoragik yang
komunitti, dan pneumonia nosocomial), mendadak. Pasien di ruang perawatan
dan kraniotomi (dengan syok sepsi, umum jarang mengalami kematian
dengan gagal napas, dan dengan GCS < akibat kegagalan fungsi organ atau
8) infeksi.
9. Kondisi Psikologis Pasien Kondisi Psikologis Pasien
Kondisi psikologis pasien yang dirawat di Kondisi psikologis pasien di bangsal
ICU sebagian besar mengalami depresi cenderung terkontrol. Hal tersebut
dan ansietas. Sedangkan, 6 bulan pasca disebabkan karena pasien memiliki
perawatan, pasien dapat mengalami post support system yang dapat dilihat dan
traumatic syndrome disorder (PTSD) dirasakan secara langsung, seperti
yang diakibatkan oleh nyeri yang pendampingan dari suami, istri, atau
dirasakan pasien akibat perawatan di anaknya. Pasien juga tidak dilakukan
ICU, meskipun pasien sudah diberikan intubasi yang menyebabkan gangguan
sedasi. Selain itu, perberatan kondisi komunikasi verbal, sehingga
psikologis pasien juga diakibatkan karena komunikasi pasien dapat berlangsung
keterbatasan pasien dapat didampingi adekuat, tidak seperti pasien di ICU
oleh keluarganya karena risiko infeksi yang beberapa berkomunikasi melalui
yang tinggi, serta kemungkinan lama tulisan. Pasien di ruang perawatan juga
perawatan yang berdampak pada kondisi dapat mengalami stres dan ansietas,
finansial keluarga, terlebih jika pasien akan tetapi dapat ditangani dengan
merupakan kepala keluarga dan pencari pendampingan keluarga yang
nafkah. Terakhir, komunikasi pasien juga memberikan dukungan.
terganggu karena intubasi yang diberikan,
sehingga terjadi hambaran dalam
komunikasi yang dapat menjadi salah
satu cara mengurangi stres maupun
ansietas.
10. Activity Daily Living (ADL) Activity Daily Living (ADL)
Salah satu yang dapat digunakan untuk Pada pasien di unit perawatan umum,
mengukur tingkat kemandirian pasien kemandirian ditentukan oleh kondisi
adalah barthel indeksi (Sugiarto, 2005). fisik pasien. Kemampuan pasien dalam
Domain dalam instrumen ini meliputi melakukan aktivitas biasanya tidak
makan, berpindah tempat, kebersihan semua terganggu, tergantung pada
diri, aktivitas toileting seperti mengontrol kebutuhan pasien dan keadaan
defekasi dan berkemih,mandi, makan, penyakitnya. Misalnya, pasien yang
berjalan di jalan datar, naik turun tangga, mengalami fraktur humerus
dan berpakaian. Pasien di ICU yang kemungkinan dibantu sebagian pada
sebagian mengalami penurunan aktivitas makan, tetapi dapat melakukan
kesadaran dapat mengalami penurunan aktivitas toileting secara mandiri.
tingkat kemandirian, dari dibantu
sebagian hingga dibantu total.
11. Biaya Biaya
Biaya perawatan di ruang intensif lebih Biaya perawatan di ruangan biasa tidak
tinggi dibandingkan dengan ruangan akan semahan diruang intensif kecuali
biasa dikarenakan perawatan yang lama perawatan di ruang biasa lebih
dilakukan diruang intensif sangat berbeda lama dibandingkan dengan yang di
dari segi pasien yang dirawat, alat-alat ruang iintensif, secara otomatis akan
canggih yang mahal, dan juga obat- menaikkan angka pembayaran.
obatan yang lebih ekstra untuk
menunjang kehidupan pasien di ruang
intensif.

2. Carilah kasus mengenai gambaran pasien di ICU dan analisis aspek bio, psiko, sosial,
spiritual yang terkandung di dalam kasus tersebut! (kasus dapat diambil dari case report,
laporan profesi, dengan tambahan data seperlunya).
Kasus diambil berdasarkan laporan asuhan keperawatan profesi mahasiswa PSIK UNUD :
Ibu D seorang wanita berusia 45 tahun dibawa ke IRD RSUD.X oleh keluarganya karena
mengalami sesak nafas dan dadanya berdebar. Suami Ibu D mengatakan bahwa Ibu D
memiliki penyakit gagal jantung. Selanjutnya Ibu D dirawat diruang interna, namun dua hari
kemudian Ibu D mengalami henti nafas lalu dilakukan tindakan resusitasi dan intubasi
setelah itu pasien dibawa ke ICU. Untuk bantuan pernapasan, perawat memasangkan
ventilator pada klien. Ronchi (+), terjadi produksi secret yang meningkat dan sudah
dilakukan suction. Karena klien dalam kondisi tidak sadar, maka perawat memasang siderail
pada bed klien. Suami dan keluarga klien sangat khawatir dan takut dengan kondisi klien
sehingga perawat memberi penjelasan yang lengkap mengenai kondisi klien agar keluarga
klien merasa lebih tenang. Selain itu, tim medis juga mengajak keluarga klien untuk ikut
membahas dan menentukan keputusan tindakan apa yang dibutuhkan klien. Selain itu,
perawat juga sering mengajak keluarga klien berdoa untuk klien dan keluarga klien untuk
mendoakan kesembuhan klien. Setiap peningkatan kesembuhan yang dialami klien, perawat
selalu memberi penghargaan pada klien agar tetap semangat menjalani pengobatan.
Analisis aspek bio, psiko, social dan spiritual yang terkandung didalam kasus :
a. Aspek Biologis/Fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang perlu dan penting untuk bertahan hidup. Pada
kasus diatas disebutkan antara lain:
1) Memenuhi kebutuhan oksigen
Perawat memberikan bantuan napas dengan melakukan pemasangan ventilator karena klien
mengalami gangguan dalam bernafas atau gagal nafas.
2) Membersihkan jalan napas
Perawat melakukan suction pada klien saat mengalami peningkatan produksi sekret pada
mulut klien.
b. Aspek Psikologis
1) Rasa Aman
Memenuhi kebutuhan keselamatan dan keamanan klien seperti perawat sudah memasang
siderail untuk menghindari kemungkinan klien terjatuh.
2) Rasa Tenang
Suami dan keluarga klien sangat khawatir dan takut dengan kondisi klien sehingga perawat
memberi penjelasan yang lengkap mengenai kondisi klien agar keluarga klien merasa lebih
tenang
3) Aktualisasi Diri
Setiap peningkatan kesembuhan yang dialami klien, perawat selalu memberi penghargaan
pada klien agar tetap semangat menjalani pengobatan.

c. Aspek Sosial
Lingkungan social merupakan tempat dimana setiap orang dapat berinteraksi dengan orang
lain sehingga saat klien tidak mampu berinteraksi karena dalam keadaan tidak sadar, saat
keluarga menemukan sesuatu terkait kondisi klien, keluarga secara langsung
menyampaikannya kepada perawat.
d. Aspek Spiritual
Keyakinan agama dan supranatural merupakan kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama sehingga perawat di ICU sering
mengajak keluarga berdoa bersama untuk kesembuhan klien.

3. Jelaskan peran perawat ICU dalam mengatasi masalah multi aspek (bio-psiko-sosial-
spiritual) pada soal no. 2!
Peran perawat dalam mengatasi masalah multi aspek berdasarkan kasus diatas :
a. Care giver/pemberi asuhan
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan
secara langsung dan tidak langsung kepada klien, menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan
informasi yang benar, menegakan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis data,
merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan
membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai
dengan rencana yang ada, dan melakukan evaluasi berdasarkan respons klien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Pelayanan yang diberikan oleh perawat, dengan
memperhatikan individu sebagai makhluk yang holistic dan unik.
Pelayanan oleh perawat yang diberikan pada Ibu D antara lain pemberian makanan lewat
NGT, pasang kateter urine, memonitor kondisi pasien, dan suction.
b. Pembuat Keputusan Klinis
Membuat keputusan klinis adalah inti pada praktik keperawatan. Untuk memberikan
perawatan yang efektif, perawat menggunakan keahliannya berfikir kritis melalui proses
keperawatan. Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi
klien, pemberian perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan
dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi klien. Perawat membuat keputusan sendiri atau
berkolaborasi dengan klien dan keluarga. Dalam setiap situasi seperti ini, perawat bekerja
sama, dan berkonsultasi dengan pemberi perawatan kesehatan professional lainnya.
c. Client advocate
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien dengan tim
kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan
membantu memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim
kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun profesional. Peran advokasi sekaligus
megharuskan perawat bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap
pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Disini
perawat menjelaskan tindakan apa saja yang dilakukan untuk Ibu D pada keluarganya dan
meminta persetujuan keluarga pasien untuk melakukan tindakan.
d. Educator
Sebagai pendidik klien, perawat membantu klien meningkatkan kesehatannya melalui
pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medic yang diterima
sehingga klien dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahui. Selain itu
perawat juga bisa memberikan edukasi kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang
diderita pasien. Perawat memberikan pengertian kepada keluarga Ibu D apa yang sedang
dialami Ibu D, penyakit ibu dan tindakan yang dilakukan agar keluarga Ibu D dapat
memahami penyakit Ibu D dan tidak khawatir lagi.
e. Collaborator
Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencana
maupun pelaksanaan asuhan keperawatan guna memnuhi kebutuhan kesehatan klien.
Perawat mentukan rencana yang akan di delegasikan untuk Ibu D bersama tim Medis
laiinya.
f. Coordinator
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi maupun
kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan
maupun tumpang tindih. Dalam menjalankan peran sebagai coordinator perawat dapa
melakukan hal-hal berikut :
1) Mengoordinasi seluruh pelayanan keperawatan
2) Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas
3) Mengembangkan system pelayanan keperawatan
4) Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan keperawatan pada
sarana kesehatan.
g. Konsultan (Kusnanto,2004)
Perawat memberikan konsultasi pada keluarga Ibu D atas tindakan keperawatan yang tepat
untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien tehadap informasi tentang tujuan
pelayanan keperawatan yang diberikan.

4. Sebutkan dan jelaskan komplikasi fisik yang sering terjadi pada klien di ICU!
a. Dekubitus
Pada beberapa rumah sakit dapat dilihat bahwa mobilisasi pada pasien yang dirawat di ICU
jarang dilakukan. Kendala untuk melakukan mobilisasi pada pasien di ICU sangat beragam.
Faktor-faktor yang berperan meliputi keamanan dari selang dan pipa, ketidakstabilan
hemodinamik, sumber daya manusia dan peralatan, pemberian penenang, berat badan
pasien, nyeri dan ketidaknyamanan pasien, waktu, dan prioritas dari tindakan. Dimana
pasien yang dirawat di ruang ICU dapat mengalami kelembaban kulit yang berasal dari
drainase luka (jika terdapat luka), keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan
oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia, hal itu menyebabkan perlunakan pada
kulit (maserasi), sehingga lebih rentan terhadap kerusakan akibat tekanan dan mengalami
dekubitus. Lingkungan yang lembab meningkatkan risiko dekubitus lima kali lipat (NPUAP,
2007).
Tanda-tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang tidak berubah/ imobilisasi
dalam jangka waktu lebih dari 6 jam. Dekubitus terjadi mulai pada lapisan kulit paling atas
atau epidermis jika aliran darah, nutrisi dan oksigen terhambat lebih dari 2-3 jam. Iskemik
primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit sesuai dengan kenaikan besar dan
lamanya tekanan. Tekanan daerah kapiler berkisar antara 16 mmHg – 33 mmHg. Bila
tekanan masih berkisar pada batas – batas tersebut sirkulasi darah terjaga dan kulit akan
tetap utuh. Pasien yang tidak mampu melakukan mobilisasi maka tekanan daerah sakrum
akan mencapai 60 – 70 mmHg dan di daerah tumit mencapai 30 – 45mmHg. Keadaan ini
akan menimbulkan perubahan degeneratif secara mikrosopik pada semua lapisan jaringan
mulai dari kulit sampai tulang. Mula – mula kulit tampak kemerahan yang tidak hilang
setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, nekrosis sudah terjadi hanya batas kulit
pada waktu itu belum jelas. Baru setelah beberapa hari terlihat kulit kemerahan dan
mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit. Setelah 1 minggu atau 10 hari
terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan nekrosis yang mencapai
tulang atau fasia di dasarnya (Kaplan & Hentz, 1992).

Penanganan dan pencegahan dekubitus berdasarkan Nursing Intervention Classification


(NIC) yang ditulis oleh Dochterman & Bulecheck (2013):
1) Lakukan pengkajian resiko dekubitus guna memonitor factor resiko menggunakan skala
Braden
2) Lakukan pengukuran suhu kulit untuk menentukan tingkat resiko dekubitus
3) Lakukan pengecekan kondisi kulit pasien pada saat masuk ICU dan setiap hari.
4) Monitor kondisi kemerahan pada kulit secara cermat.
5) Hilangkan kelembaban yang berlebihan pada kulit yang disebabkan oleh keringat, drainase
luka dan inkontinensia urin atau fekal.
6) Gunakan pelindung seperti krim atau bantalan yang dapat menyerap kelembaban untuk
menghilangkan kelembaban yang berlebihan sesuai dengan kebutuhan serta gunakan juga
bantalan yntuk menaikkan area-area yang tertekan
7) Ubah posisi setiap 1 atau 2 jam sesuai kebutuhan.
8) Ubah posisi pasien secara hati-hati untuk mencegah robekan pada kulit yang rapuh.
9) Tempelkan jadwal perubahan posisi pasien disamping tempat tidur pasien, jika
memungkinkan.
10) Inspeksi daerah kulit yang berada pada daerah tonjolan tulang atau daerah yang tertekan
pada saat reposisi, paling tidak satu kali sehari.
11) Hindari melakukan pemijatan pada daerah diatas permukaan tonjolan tulang.
12) Pertahankan linen dalam keadaan bersih, kering dan bebas dari kerutan.
13) Tempatkan pasien pada tempat tidur dan kasur khusus (jika tersedia).
14) Monitor sumber tekanan dan gesekan
15) Gunakan pelindung bahu dan tumit, sesuai kebutuhan
16) Berikan trapeze untuk membantu pasien dalam mengangkat badan
17) Berikan asupan nutrisi yang adekuat, terutama protein, vitamin B dan C, zat besi dan kalori,
suplemen, sesuai kebutuhan.
18) Ajarkan anggota keluarga dan pemberi perawatan lain tentang tanda- tanda kerusakan kulit,
sesuai kebutuhan.
19) Lakukan perawatan luka secara rutin pada pasien yang sudah mengalami decubitus.
b. VAP
VAP didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien
dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakeal maupun pipa
trakeostomi. VAP dibagi menjadi onset dini yang terjadi pada 4 hari pertama perawatan di
ICU pada umumnya memiliki prognosis lebih baik karena disebabkan oleh kuman yang
masih sensitif terhadap antibiotika. VAP onset lambat yang terjadi setelah 5 hari atau lebih
perawatan memiliki prognosis yang lebih buruk karena disebabkan oleh kuman pathogen
yang multi drug resisten (MDR) (Ibrahim dkk, 2000 dalam wiryana 2007).
VAP melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi pada saluran pernafasan dan saluran
pencernaan serta aspirasi sekret dari jalan nafas atas dan bawah. Kolonisasi bakteri mengacu
pada keberadaan bakteri tanpa adanya gejala. Kolonisasi bakteri pada paru-paru dapat
disebabkan oleh penyebaran organisme dari berbagai sumber, termasuk orofaring, rongga
sinus, nares, plak gigi, saluran pencernaan, kontak pasien, dan sirkuit ventilator. Inhalasi
bakteri dari salah satu sumber ini dapat menyebabkan timbulnya gejala, dan akhirnya terjadi
VAP (Wiryana, 2007).
Kolonisasi mikroorganisme patogen dalam sekret akan membentuk biofilm dalam saluran
pernapasan. Mulai pada awal 12 jam setelah intubasi, biofilm mengandung sejumlah besar
bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam paru-paru melalui ventilator. Pada keadaan
seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk,
atau reposisi dari selang endotrakeal (Niederman dkk, 2005). Selang endotrakeal
menyebabkan gangguan abnormal antara saluran napas bagian atas dan trakea, melewati
struktur dalam saluran napas bagian atas dan memberikan bakteri jalan langsung ke saluran
napas bagian bawah. Karena saluran napas bagian atas kehilangan fungsi karena terpasang
selang endotrakeal, kemampuan tubuh untuk menyaring dan melembabkan udara mengalami
penurunan. Selain itu, refleks batuk sering mengalami penurunan bahkan hilang akibat
pemasangan selang endotrakeal dan kebersihan mukosasilier bisa terganggu karena cedera
mukosa selama intubasi. Selang endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri untuk melekat di
trakea, keadaan ini dapat meningkatkan produksi dan sekresi lendir lebih lanjut. Penurunan
mekanisme pertahanan diri alami tersebut meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri
dan aspirasi (Augustyn, 2007).
Pneumonia akibat pemasangan ventilator (VAP) adalah umum di unit perawatan intensif
(ICU). VAP dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan kematian, lama tinggal di rumah
sakit, dan biaya. Tingkat kematian yang timbul dari VAP adalah 27% dan mencapai 43%
saat agen penyebab adalah resisten antibiotik. Lama tinggal di unit perawatan intensif
meningkat sebesar 5 sampai 7 hari dan memperpanjang lama perawatan di rumah sakit 2
sampai 3 kali lipat pada pasien dengan VAP. Biaya perawatan VAP diperkirakan bertambah $
40000 per pasien dan sekitar $ 1,2 miliar per tahun (Augustyn, 2007).
Penanganan VAP dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara non farmakologis dan
farmakologis. Cara non farmakologis yaitu dengan membiasakan untuk selalu mencuci
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, melakukan intubasi peroral, posisi
kepala pasien lebih tinggi (300-400) dan mencegah volume lambung dalam keadaan besar.
Penanganan farmakologis yaitu dengan cara dekontaminasi selektif menggunakan
antibiotika pada saluran cerna (selective decontamination of the digestive tract/SDD) dan
dekontaminasi orofaring (oropharyngeal decontamination/OD) menggunakan antiseptik.
Secara empirik terbukti bahwa SDD cukup efektif dalam pencegahan VAP, namun karena
pemakaian antibiotika dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi kuman maka SDD
tidak dianjurkan secara rutin, sehingga penggunaan zat anti septik menjadi alternatif pilihan
(Niederman, et al., 2005). Beberapa jenis antiseptik telah dipakai namun angka VAP masih
tetap tinggi, kemudian Deriso, et al (1996) menyatakan dalam penelitiannya bahwa
chlorhexidine yang digunakan dalam dekontaminasi orofaring dapat menurunkan kejadian
infeksi nosokomial saluran napas di UPI sampai dengan 69%. Kemudian diikuti oleh
Fourrier, et al (2005) yang menyatakan bahwa chlorhexidine dapat menurunkan kolonisasi
kuman penyebab VAP sebesar 53%. Dengan menurunnya kolonisasi kuman di orofaring,
diharapkan bahwa insiden VAP juga menurun, hal ini dibuktikan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Tantipong dan Chan (2008).
c. Atrofi otot
Beberapa pasien yang dirawat di ICU biasanya diindikasikan untuk diimobilisasikan pada
beberapa kasus seperti cedera tulang belakang, cedera kepala dll. Kondisi paisen
diimobilisasikan menyebabkan otot-otot pasien tidak digunakan secara maksimal, bila otot
tidak digunakan/hanya melakukan aktivitas ringan (seperti: tidur atau duduk) maka terjadi
penurunan kekuatan otot sekitar 5% dalam tiap harinya, atau setelah 2 minggu dapat
menurun sekitar 50% dari penurunan kekuatan otor tersebut dapat terjadi terjadi atrofi otot
(disuse athrophy). Hal ini disebabkan karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam
waktu yang cukup lama, sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi), dimana terjadi
perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa (Guyton, 1995).
Menurunnya fungsi kapasitas otot ini ditandai dengan menurunnya stabilitas, penurunan
massa otot dan kemudian menurunnya kekuatan yang secara langsung sehubungan dengan
disuse dan gangguan nutrisi karena immobilisasi. Jika suatu otot tidak digunakan dalam
waktu yang lama, maka kandungan aktin dan miosinnya akan berkurang, serat-seratnya
menjadi lebih kecil.
Penanganan pada pasien yang mengalami atrofi aotot adalah menggerakkan sendi secara
ringan (baik pasif maupun yang aktif) kesegala arah bidang geraknya masing-masing
(latihan luas gerak sendi = range of motion exercise). ROM dapat dilakuakan 10-15 kali
gerakan, dikerjakan 1 kali sehari, untuk tiap bidang gerak, misalnya: fleksi-ekstensi.
d. Emfisema Subkutis
Emfisiema diartikan sebagai terkumpulnya udara secara patologik dalam jaringan atau
organ. Subkutis merupakan suatu lapisan kulit setelah dermis, sehingga definisi emfisiema
subkutis adalah emfisiema intertisial yang ditandai dengan adanya udara dalam jaringan
subkutan, biasanya disebabkan oleh cedera intratoraks, dan pada kebanyakan kasus disertai
dengan pneumothoraks dan pneumomediastinum, disebut juga pneumoderma. Emfisiema
subkutis merupakan suatu kondisi yang tidak membahayakan, namun menimbulkan masalah
kecantikan/keindahan pada pasien. Hal ini disebabkan karena terdapatnya sekumpulan udara
di dalam rongga subkutan pada dinding dada yang menjalar ke jaringan lunak di wajah,
leher, dada atas, dan bahu. Terkumpulnya udara di wajah menimbulkan pembengkakan pada
kelopak mata yang menyebabkan pasien tidak dapat membuka mata, selain itu juga disertai
terjadinya perubahan suara yang menjadi lebih tinggi akibat dari pengumpulan udara di
dalam laring. Udara pada jaringan subkutan yang terkumpul dapat menyebar secara
langsung ke daerah sekitar, sehingga bagian tubuh atas lebih sering terkena daripada bagian
tubuh bawah. Keadaan yang tampak pada emfisiema subkutis adalah pembengkakan pada
kulit yang jika dipalpasi teraba seperti renyah (crunchy). Penyebab emfisiema subkutis dapat
disebabkan oleh trauma pada sistem respirasi ataupun sistem gastrointestinal. Umumnya
trauma yang terjadi pada dada dan leher, dimana udara dapat terperangkap sebagai hasil dari
trauma tajam seperti luka tembak atau luka tikam, maupun luka tumpul. Emfisiema subkutis
juga dapat disebabkan oleh prosedur dan tindakan medis, yang menyebabkan tekanan pada
alveoli, sehingga alveoli menjadi ruptur. Selain itu emfisema subkutis juga dapat menjadi
salah satu komplikasi dari pasien yang dilakukan trakeostomi terutama pada pasien pasien di
ICU. Tanda dan gejala dari emfisiema subkutis bervariasi tergantung pada penyebab dan
lokasi terjadinya, tetapi sering berhubungan dengan pembengkakan pada leher dan nyeri
dada, dan terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri leher, wheezing (mengi) dan
kesulitan bernafas. Pada hasil inspeksi tampak jaringan di sekitar emfisiema subkutis
biasanya membengkak. Jika kebocoran udara sangat banyak, wajah dapat menjadi bengkak
sehingga kelopak mata tidak dapat dibuka. Kasus emfisiema subkutis mudah dideteksi
dengan melakukan palpasi pada permukaan kulit. Hasil palpasi akan teraba seperti kertas
atau krispies. Jika disentuh maka teraba seperti balon yang berpindah dan kadang-kadang
timbul bunyi retakan “crack”.
Emfisiema subkutis biasanya tidak membutuhkan penanganan karena dalam waktu 3 atau 4
hari bahkan sampai seminggu pembengkakan akan berkurang secara menyeluruh karena
udara diserap secara spontan dan terjadi penyembuhan. Pada kasus emfisiema subkutis yang
berat, kateter dapat dipasangkan di jaringan subkutan untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil
atau lubang kecil dapat dibuat di permukaan kulit untuk mengeluarkan udara. Penanganan
emfisiema subkutis tidak hanya dengan istirahat total, tetapi juga dengan penggunaan obat-
obatan penghilang rasa nyeri, serta pemberian sejumlah oksigen. Dengan pemberian
sejumlah oksigen dapat membantu tubuh untuk mempercepat penyerapan udara di lapisan
subkutan. Monitor dan observasi ulang juga merupakan hal penting dalam tatalaksana
emfisiema subkutis.
e. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum atau disebut juga emfisema mediastinum, didefinisikan sebagai adanya
udara atau gas bebas yang diketemukan pada struktur mediastinum. Istilah
pneumomediastinum pertama kali dikemukakan oleh Laennec pada tahun 1819, yang
menurutnya akibat beberapa faktor predisposisi dari jejas traumatik. Etiologi
pneumomediastinum multifaktorial, para ahli umumnya menyebutkan bahwa
pneumomediastinum dapat disebabkan oleh pneumomediastinum spontan (terjadi sebagai
akibat penyakit sekunder atau proses lainnya) dan dapat juga disebabkan oleh akibat
sekunder dari trauma thorax, endobronkhial atau esophageal, ventilasi mekanis atau bedah
thorax atau berbagai macam prosedur invasif lainnya.
Ruptur alveolar, yang merupakan penyebab pneumomediastinum yang paling sering, dapat
terjadi oleh adanya tekanan intraalveolar yang tinggi atau kerusakan pada dinding alveolar.
Mekanisme migrasi udara dari alveoli yang ruptur ke mediastinum ini pertamakali
dikemukakan oleh Macklin dan Macklin (1939) berdasarkan percobaan pada binatang, dan
telah dikonfirmasi peneliti lain bahkan dengan menggunakan teknik imaging (CT-Scan).
Macklin menyatakan bahwa dengan perbedaan tekanan antara alveolus dan interstitium atau
penurunan tekanan interstitial perivaskular yang berlangsung cepat, atau karena overdistensi,
terjadi ruptur alveolus dan menyebabkan udara masuk ke selubung fascia perivaskular dan
peribronchial hingga ke hilus, kemudian bergerak menuju mediastinum dan terakumulasi di
dalamnya. Penyebab tekanan alveolar yang tinggi termasuk obstruksi jalan napas (misalnya
pada penderita asma atau kemasukan benda asing ), pada ventilasi mekanis (terutama
dengan volume ventilasi besar atau dengan tekanan akhir-ekspirasi yang tinggi), trauma
tumpul, emesis (Boerhaave’ syndrome), buang air besar, atau manuver Valsava (misalnya
selama partus), bahkan dikaitkan dengan kasus batuk dalam penggunaan narkoba.
Sedangkan penyebab kerusakan dinding alveolar termasuk pneumonitis , emfisema, fibrosis
paru , dan sindrom gangguan pernapasan (ARDS). Penyakit paru obstruktif (misalnya asma,
bronkiolitis, aspirasi benda asing, dan displasia bronkopulmonal) merupakan faktor risiko,
terutama pada pasien diintubasi dan diberikan ventilasi mekanik Riwayat asma bahkan
dilaporkan sebagai faktor pencetus pneumomediastinum yang mencapai hingga 50 % kasus
pada suatu penelitian.
Gejala klinis yang menyertai pneumomediastinum dapat bervariasi, mulai dari tidak ada
gejala sampai gejala yang berat. Beberapa gejala diantaranya adalah : Nyeri dada dinyatakan
bahwa 50-90% pasien dengan kasus pneumomediastinum mengeluhkan adanya nyeri dada.
Khasnya terdapat nyeri dada substernum yang berat dengan atau tanpa penyebaran ke leher
dan lengan, yang diperberat dengan inspirasi, menyerupai gejala awal dari infark miokard.
Okada et al (2014) yang dikutip Carolan (2012) melaporkan studi pada 20 pasien dengan
pneumomediastinum berdasarkan CT-Scan thorax, keluhan nyeri dada terjadi pada 75%
pasien. Dyspnea atau sesak nafas bisa mencerminkan penyakit terkait seperti asma,
pneumothorax, atau tension pneumomediastinum. Demam ringan dapat timbul oleh
pelepasan sitokin karena adanya kebocoran udara. Namun mediastinitis atau gangguan
infeksi mesti dimasukkan dalam diferensial diagnosis bila terdapat gejala demam. Nyeri
tenggorokan dalam beberapa kasus pneumomediastinum timbul setelah trauma orofaringeal
yang relatif tidak berbahaya, dan muncul sebagai mulut atau tenggorokan yang nyeri. Dalam
satu studi yang mengevaluasi manifestasi kepala dan leher pada pneumomediastinum
spontan, gejala awal utama adalah leher bengkak, nyeri leher, dan odynophagia. Disfonia,
Walsh-Kelly dan Kelly melaporkan seorang gadis 14-tahun dengan pneumomediastinum
yang hanya menunjukkan gejala disfonia.
Drainase perkutaneus merupakan tindakan pertolongan pertama bila terjadi tension
pneumomediastinum (keadaan dimana udara terperangkap didalam mediastinum dan tidak
dapat keluar lagi). Tindakan ini sangat penting dilakukan untuk mengatasi penurunan
tekanan balik vena. Prognosis pneumomediastinum diketahui cukup baik, pada pasien yang
stabil cukup diterapi dengan istirahat total dan pemberian analgetik. Morbiditas atau
mortalitas pasien dengan pneumomediastinum biasanya disebabkan bukan oleh karena
pneumediastinumnya, melainkan sebab lain yang mendasari terjadinya pneumomediastinum.
f. Pneumothoraks
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga
potensialdiantara pleura visceral dan pleura parietal. Mekanisme terjadinya pneumotoraks
trauma tumpul, akibat terjadinya peningkatan tekanan pada alveolar secara mendadak,
sehingga menyebabkan alveolar menjadi ruptur akibat kompresi yang ditimbulkan oleh
trauma tumpul tersebut, pecahnya alveolar akan menyebabkan udara menumpuk pada pleura
visceral, menumpuknya udara terus menerus akan menyebabkan pleura visceral rupture atau
robek sehingga menimbulkan pneumotorak.
Penatalaksaan pneumothorax yaitu dengan Primary Survey yang harus diperhatikan :
Airway, Breathing, Circulation. Tindakan bedah emergency meliputi : Krikotiroidotomi,
Trakheostomi, Tuetorakostomi, Torakostomi, dan Eksplorasi Vascular. Tindakan dekompresi
meliputi : Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura
dengan membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar dengan cara :
Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut, dan membuat hubungan dengan
udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infuse set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai kedalam rongga pleura,
kemudian infuse set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol
yang berisi air.
2) Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum
ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding thorax sampai menebus ke cavum pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastic
infuse set. Pipa infus ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
3) Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter) steril, dimasukkan ke rongga
pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjempit. Setelah troakar
masuk, maka thorax kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar
dicabut, sehingga hanya kateter thorax yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya
ujung kateter thorax yang ada di dada dan di pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa plastic lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus
apabila tekanan intrapleural tetap positif, Penghisapan ini dilakukan dengan memberi
tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O.
g. Gangguan Bicara
Penggunaan ventilasi mekanik selain membantu pernapasan pasien, juga menyebabkan
permasalahan pada segi fisik maupun psikologis pasien itu sendiri selama perawatan bahkan
masih memberi dampak setelah keluar dari ICU. Penelitian oleh Angus, Shorr, White, et al.
(2006) menemukan lebih dari 2,7 juta pasien di ICU Amerika Serikat, yang mendapat
bantuan ventilasi mekanik tidak dapat berbicara karena adanya tracheal tube dan 46%
pasien mengungkapkan rasa tidak nyaman dengan tracheal tube (Sammuelsson, Lundberg,
Fridlund, 2007). Penelitian lain oleh Hofhuis, Spronk, Stel, et al. (2008) yang meneliti
tentang pengalaman pasien saat dalam kondisi kritis di ICU negara Belanda, menemukan
informasi yang paling dominan dari pasien adalah ketidakmampuan berbicara sebanyak 30%
dari 11 pasien. Selain itu hasil penelitian Khalaila, Zbidat, Anwar, et. al. (2011) tentang
kesulitan komunikasi dan stress psikoemosional pasien yang menggunakan terapi ventilasi
mekanik di ICU Medikal Israel. Penekanan pada pita suara menjadi penyebab pasien
mengalami hambatan dalam berbicara.
Pasien dengan ventilasi mekanik lebih banyak membutuhkan saluran komunikasi melalui
gambar (96,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian Stoner, Beck, Bock, et.al (2006) tentang
the effectiveness of the picture exchange communication system with nonspeaking adults,
menemukan saluran komunikasi yang lebih efisien pada pasien yang tidak mampu berbicara
adalah melalui gambar. Gambar merupakan salah satu saluran komunikasi yang
menyampaikan pesan atau informasi melalui indera penglihatan. Gambar dapat digunakan
oleh seseorang sebagai media pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa pasien dengan
ventilasi mekanik lebih membutuhkan saluran komunikasi melalui gambar saat
berkomunikasi dengan perawat agar lebih mudah memahami, atau lebih mudah
menyampaikan pesan atau informasi. Kemudahan dalam berkomunikasi melalui gambar,
membuat aktivitas pasien menjadi ringan, sehingga meminimalisir metabolisme tubuh dan
berdampak pada penggunaan oksigen yang minimal, hal ini sangat bermanfaat untuk
mengurangi kerja pernapasan dari pasien dengan ventilasi mekanik.

5. Pilih salah satu tindakan keperawatan yang sering dilakukan di ICU, uraikan :
Topik yang diambil kelompok adalah tindakan keperawatan Central Venous Pressure
(CVP)
a. Pengertian
CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya berada di
dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi vena sentralis
(KVS). Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan.
Secara tidak langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel
kanan pada akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral
adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP
adalah 4 – 10 mmHg. Perawat harus memperhatikan perihal : mengadakan persiapan alat –
alat, pemasangan manometer pada standard infus, menentukan titik nol, memasang cairan
infus, fiksasi, fisioterapi dan mobilisasi.
b. Tujuan
Tujuan dipasang CVP adalah untuk mengetahui tekanan vena sentralis (TVS), untuk
memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi secara intravena, untuk
mengambil darah vena, untuk memberikan obat – obatan secara intra vena, memberikan
cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat, dilakukan pada penderita gawat
yang membutuhkan erawatan yang cukup lama. CVP bukan merupakan suatu parameter
klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai dengan parameter yang lainnya seperti : denyut nadi,
tekanan darah, volume darah, dan CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar
dalam tubuh penderita, yang ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal : syock
hipovolemik –> CVP rendah.
c. Indikasi pemasangan CVP
Central Venous Pressure ( CVP ) diindikasikan untuk ;
1) Pasien yang mengalami gangguan keseimbangan cairan.
2) Digunakan sebagai pedoman penggantian cairan pada kasus hipovolemi.
3) Mengkaji efek pemberian obat diuretik pada kasus-kasus overload cairan.
4) Sebagai pilihan yang baik pada kasus penggantian cairan dalam volume yang banyak.
5) Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
6) Pengukuran oksigenasi vena sentral.
7) Nutrisi parenteral dan pemberian cairan hipertonik atau cairan yang mengiritasi yang perlu
pengenceran segera dalam sistem sirkulasi.
8) Sebagai jalan masuk vena bila semua tempat IV lainnya telah lemah.
9) Pasien dengan trauma berat disertai dengan perdarahan yang banyak yang dapat
menimbulkan syok.
10) Pasien dengan tindakan pembedahan yang besar seperti open heart, trepanasi.
11) Pasien dengan kelainan ginjal (ARF, oliguria).
12) Pasien dengan gagal jantung.
13) Pasien yang diberikan tranfusi darah dalam jumlah yang besar (transfusi masif).
14) Acuan untuk pemberian cairan, diuretic dan obat – obat vasoaktif jika alat monitor invasif
lain tidak ada.
15) Pemberian obat yang cenderung menyebabkan phlebitis dalam vena perifer (caustic),
seperti: calcium chloride, chemotherapy ,hypertonic saline, potassium chloride, amiodarone
(Thelan, 2004).
d. Kontraindikasi pemasangan CVP
1) Peningkatan CVP menunjukkan peningkatan cardiac output, infark / gagal vntrikel kanan,
meningkatnya volume vaskular, perikarditis, konstriktif dan hipertensi pulmonal. Hasil
pengukuran CVP, menunjukkan peningkatan false (salah) jika pada kondisi COPD, tension
pneumothoraks, ventilasi tekanan positif.
2) Dislokasi ujung kateter jalur vena cava superior mengakibatkan hasil tidak akurat.
3) Penurunan CVP dapat terjadi akibat hipovolemia, vasodilatasi akibat obat dan syok dari
berbagai penyebab.
e. Teknik pemasangan CVP
1) Persiapan pasien
Memberikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang tujuan pemasangan, daerah
pemasangan, dan prosedur yang akan dikerjakan.

2) Persiapan alat

a) Kateter CVP
b) Set CVP
c) Spuit 2,5 cc
d) Antiseptik
e) Obat anaestesi local
f) Sarung tangan steril
g) Bengkok
h) Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
i) Plester

3) Cara Kerja
Daerah yang Dipasang :
- Vena femoralis
- Vena cephalika
- Vena basalika
- Vena subclavia
- Vena jugularis eksterna
- Vena jugularis interna
Cara Pemasangan :
a) Pasien diberikan posisi tidur terlentang (trendelenberg)
b) Bahu kiri diberi bantal
c) Pakai sarung tangan
d) Desinfeksi daearah CVP
e) Pasang doek lobang
f) Tentukan tempat tusukan
g) Beri anestesi lokal
h) Ukur berapa jauh kateter dimasukkan
i) Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5 cc
j) Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke arah telinga sisi yang berlawanan
k) Darah dihisap dengan spuit tadi
l) Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong sampai dengan vena cava
superior atau atrium kanan
m) Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three way stopcock
n) Kateter fiksasi pada kulit
o) Beri betadhin 10%
p) Tutup kasa steril dan diplester.

Keuntungan Pemasangan di Daerah Vena Sublavia yaitu mudah dilaksanakan (diameter 1,5
cm – 2,5 cm), fiksasi mudah, tidak mengganggu perawatan rutin dapat dipertahankan sampai
1 minggu.

4) Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer


Cara Menentukan Titik Nol

CVP Manometer
 Pasien diberikan posisi tidur terlentang mendatar
 Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya -> membentuk lingkaran
dengan batas air yang terpisah
 Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu. Sisi yang lain
ditempatkan pada manometer.
 Titik nol manometer dapat ditentukan
 Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran V.cava superior,
atrium kanan dan V.cava inferior bertemu menjadi satu.
Posisi pasien saat pengukuran CVP
5) Penilaian CVP
a) Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock kemudian amati aliran infus
lancar atau tidak
b) Pasien diberikan posisi tidur terlentang
c) Cairan infus dinaikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi kemudian
jaga jangan sampai cairan keluar
d) Cairan infus ditutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan masuk ke
tubuh penderita
e) Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas, turun
(inspirasi), naik (ekspirasi)
f) Undulasi berhenti perhatiakn batas disitu batas terakhir dan nilai CVP
g) Nilai pada angka 7 mengindikasikan nilai CVP 7 cmH2O
h) Infus dialirkan kembali setelah nilai CVP diketahui.

Nilai CVP
 Nilai rendah : < 4 cmH2O
 Nilai normal : 4 – 10 cmH2O
 Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O
 Nilai tinggi : > 15 cmH2O

Penilaian CVP dan Arti Klinisnya


CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya adalah sebagai
berikut :
CVP rendah (< 4 cmH2O)
 Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat.
 Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik
 Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septik
CVP normal (4 – 14 cmH2O)
 Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam sirkulasi.
 Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik
 Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik shock
CVP tinggi (> 15 cmH2O)
 Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)
 Terapi : obat kardiotonika (dopamin).

Faktor -faktor yang Mempengaruhi CVP


- Volume darah
- Kegagalan jantung dan insufisiensi jantung
- Konstriksi pembuluh darah vena yang disebabkan oleh faktor neurologi
- Penggunaan obat – obatan vasopressor
- Peningkatan tekanan intraperitoneal dan tekanan intrathoracal, misal : post operasi ileus,
hematothoraks, pneumothoraks, penggunaan ventilator mekanik, dan emphysema
mediastinum
- Emboli paru – paru
- Hipertensi arteri pulmona
- Vena cava superior sindrom
- Penyakit paru – paru obstruksi menahun
- Pericarditis constrictive
- Artevac : tersumbatnya kateter, ujung kateter berada di dalam v.jugularis inferior.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland WAN. Alih bahasa: Setiawan A dkk. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, ed.29.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 723 – 724 7.

Hudak & Gallo. ( 1997 ). Keperawatan Kritis : Suatu Pendekatan Holistic. Jakarta: EGC.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010 tentang pedoman


Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (Icu) Dirumah Sakit.
Kozier, erb; Oliveri ( 1991 ), Fundamentals of Nursing, Concepts, Process and Practice,
Addison-Wesley Co. California.

Long, C. B. (1996). Keperawatan Kritis. Edisi. VI: Jakarta : EGC.

Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4 volume 1.EGC. Jakarta.

Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC. 2001.

Anda mungkin juga menyukai