Anda di halaman 1dari 83

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2007

SIMPOSIUM SEHARI KESEHATAN JIWA


DALAM RANGKA MENYAMBUT HARI KESEHATAN JIWA SEDUNIA
Penyelenggara:
IKATAN DOKTER INDONESIA CABANG JAKARTA BARAT
Bekerjasama dengan:
FK UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
FK UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
FK UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
27 OKTOBER 2007
HOTEL RED TOP, JAKARTA
SUSUNAN PANITIA

Penasehat :
Dekan FK UKI Dr. Angkasa Sebayang MPH
Dekan FK UKRIDA DR. Dr. Mardi Santoso, DTM&H, SpPD-
KEMD
Dekan FK UPH Dr. Eka Julianta Wahjoepramono Sp.BS
Ketua IDI Jak – Bar Dr. Tony S. Natakarman
Panitia Pengarah :
Ketua Dr. W.M. Roan DPM, Sp.KJ (K)
Wakil Ketua Dr. Dan Hidayat Sp.KJ (K)
Sekretaris Dr. Evalina Hutagalung Sp.KJ
Anggota Semua Pembicara
Panitia Pelaksana :
Penanggung Jawab Dr. Saiful Jazan, MSc
Ketua Pelaksana Dr. Laymena Yusak
Wakil Ketua Dr. Eveline Margo
Sekretaris I Dr. Kevin Gunawan
Sekretaris II Dr. Joyce Tjakraatmadja, MSc
Bendahara I Dr. Retno Praptijani
Bendahara II Dr. Trifena Ekowati
Seksi Ilmiah Dr. Sutopo Widjaja, MS
Dr. Raditya Wratsangka Sp.OG
Dr. Oktavianus Ch. Salim, MS
Seksi Dana Dr. Dan Hidayat Sp.KJ (K)
Dr. Cecilia R. Padang, Ph.D, FACR
Seksi Konsumsi Dr. Magdalena Linaria Junitawati, MS
Dr. Evi Narulita
Dr. Zamni Abbas
Seksi Publikasi & Dokumentasi Dr. Chairudin
Dr. Enrico
Dr. Lianawati
Dr. Evi Untoro
Dr. Indriani Kurniadi
Seksi Perlengkapan Dr. Rusddy
Dr. Minamand Rapa, MM
Pembantu Umum Dr. Robert Imam Soetedja
Dr. Arry F. Ramba
Dr. Darwisyh Harahap
Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta Barat mengucapkan terima kasih kepada
perusahaan – perusahaan yang telah berpartisipasi sebagai sponsor pada acara
Simposium Sehari Kesehatan Jiwa dengan tema ―Deteksi Dini Dan Penatalaksanaan
Terapi Gangguan Jiwa Dalam Praktek Umum‖ di Hotel Redtop Jakarta pada tanggal
27 Oktober 2007.
PT. Boehringer Ingelheim Indonesia
PT. Otsuka Indonesia
PT. Ethica Industri Farmasi
PT. Servier Indonesia
PT. Mersi Farma
PT. Wyeth Indonesia
PT. Pfizer Indonesia
PT. Interbat
Lundbeck Indonesia
Novartis
PT. Pharos Indonesia
Laboratorium Klinik Prodia
PT. Indocore Perkasa
PT. Schering Plough Indonesia
PT. Dyasa Satria Mandiri
DELIRIUM DAN DEMENSIA
Makalah yang disajikan pada seminar sehari dalam rangka memperingati
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (10 Oktober 2007)
dilaksanakan di Jakarta, 27 Oktober 2007.
Oleh: Dr. Witjaksana Roan, DPM(Lond.), SpKJ(K)
Psikiater RS St. Carolus, RS Siloam West Jakarta dan Siloam Karawaci

DELIRIUM
Delirium juga disebut Kondisi bingung akut (Acute Confusional State) dan demensia merupakan
penyebab yang paling sering dan gangguan atau hendaya kognitif, walaupun gangguan afektif
(seperti depresi) juga bisa mengganggu kognisi. Delirium dan demensia merupakan dua
gangguan yang berbeda, namun sering sukar dibedakan. Pada keduanya, fungsi kognitif
terganggu, namun demensia biasanya memori yang terganggu, sedangkan delirium daya
perhatiannya yang terganggu.
Beberapa ciri khas membedakan kedua gangguan tersebut (lihat tabel I). Delirium biasanya
disebabkan oleh penyakit akut atau keracunan obat (kadang mengancam jiwa orang) dan sering
reversibel, sedangkan demensia secara khas disebabkan oleh perubahan anatomik dalam otak,
berawal lambat dan biasanya tidak reversibel. Delirium bisa timbul pada pasien dengan demensia
juga.
Tabel I. Perbedaan klinis delirium dan Demensia

Gambaran Delirium Demensia


Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak kronik
dehidrasi, guna/putus obat (spt Alzheimer, demensia
vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan Naik turun Kronik progresif
sakit
Taraf Naik turun Normal
kesadaran
Orientasi Terganggu, periodik Intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat
Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang
terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali
sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya
Atensi & Amat terganggu Sedikit terganggu
kesadaran
Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang bertumpang
tindih dengan demensia adalah umum
DELIRIUM
Sindrom klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf kesadaran, gangguan kognitif,
gangguan persepsi, termasuk halusinasi & ilusi, khas adalah visual juga di pancaindera lain, dan
gangguan perilaku, seperti agitasi. Gangguan ini berlangsung pendek dan ber-jam hingga berhari,
taraf hebatnya berfluktuasi, hebat di malam hari, kegelapan membuat halusinasi visual &
gangguan perilaku meningkat. Biasanya reversibel. Penyebabnya termasuk penyakit fisik,
intoxikasi obat (zat). Diagnosis biasanya klinis, dengan laboratorium dan pemeriksaan pencitraan
(imaging) untuk menemukan penyebabnya. Terapinya ialah memperbaiki penyebabnya dan
tindakan suportif.
Delirium bisa timbul pada segala umur, tetapi sering pada usia lanjut. Sedikitnya 10% dari pasien
lanjut usia yang dirawat inap menderita delirium; 15-50% mengalami delirium sesaat pada masa
perawatan rumah sakit. Delirium juga sering dijumpai pada panti asuhan. Bila delirium terjadi
pada orang muda biasanya karena penggunaan obat atau penyakit yang berbahaya mengancam
jiwanya.

Etiologi dan patofisiologi


Banyak kondisi sistemik dan obat bisa menyebabkan delirium, contoh antikolinergika,
psikotropika, dan opioida. Mekanisma tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan gangguan
reversibilitas dan metabolisma oxidatif otak, abnormalitas neurotransmiter multipel, dan
pembentukan sitokines (cytokines). Stress dari penyebab apapun bisa meningkatkan kerja saraf
simpatikus sehingga mengganggu fungsi kolinergik dan menyebabkan delirium. Usia lanjut
memang dasarnya rentan terhadap penurunan transmisi kolinergik sehingga lebih mudah terjadi
delirium. Apapun sebabnya, yang jelas hemisfer otak dan mekanisma siaga(arousal
mechanism)dari talamus dan sistem aktivasi retikular batang otak jadi terganggu.
Terdapat faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia, stroke. Penyakit
parkinson, umur lanjut, gangguan sensorik, dan gangguan multipel. Faktor presipitasi termasuk
penggunaan obat baru lebih dan 3 macam, infeksi, dehidrasi, imobilisasi, malagizi, dan
pemakaian kateter buli-buli. Penggunaan anestesia juga meningkatkan resiko delirium, terutama
pada pembedahan yang lama. Demikian pula pasien lanjut usia yang dirawatdi bagian ICU
beresiko lebih tinggi.
Tanda dan gejala:
 Delirium ditandai oleh kesulitan dalam:
 Konsentrasi dan memfokus
 Mempertahankan dan mengalihkan daya perhatian
 Kesadaran naik-turun
 Disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
 Halusinasi biasanya visual, kemudian yang lain
 Bingung menghadapi tugas se-hari-hari
 Perubahan kepribadian dan afek
 Pikiran menjadi kacau
 Bicara ngawur
 Disartria dan bicara cepat
 Neologisma
 Inkoheren
Gejala termasuk:
 Perilaku yang inadekuat
 Rasa takut
 Curiga
 Mudah tersinggung
 Agitatif
 Hiperaktif
 Siaga tinggi (Hyperalert)
Atau sebaliknya bisa menjadi:
 Pendiam
 Menarik diri
 Mengantuk
 Banyak pasien yang berfluktuasi antara diam dan gelisah
 Pola tidur dan makan terganggu
 Gangguan kognitif, jadi daya mempertimbangkan dan tilik-diri terganggu

Diagnosis
Biasanya klinis. Semua pasien dengan tanda dan gejala gangguan fungsi kognitif perlu dilakukan
pemeriksaan kondisi mental formal.
Kemampuan atensi bisa diperiksa dengan:
Pengulangan sebutan 3 benda
Pengulangan 7 angka ke depan dan 5 angka ke belakang (mundur)
Sebutkan nama hari dalam seminggu ke depan dan ke belakang (mundur)
Ikuti kriteria diagnostik dari lCD-10 atau DSM-IV-TR
Confusion Assessment Method (CAM)
Wawancarai anggota keluarga
Penggunaan obat atau zat psikoaktif overdosis atau penghentian mendadak.

Prognosis
Morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang masuk sudah dengan delirium
dibandingkan dengan pasien yang menjadi delirium setelah di Rumah Sakit.
Beberapa penyebab delirium seperti hipoglikemia, intoxikasi, infeksi, faktor iatrogenik, toxisitas
obat, gangguan keseimbangan elektrolit. Biasanya cepat membaik dengan pengobatan.
Beberapa pada lanjut usia susah untuk diobati dan bisa melanjutjadi kronik

Terapi
Terapi diawali dengan memperbaiki kondisi penyakitnya dan menghilangkan faktor yang
memberatkan seperti:
Menghentikan penggunaan obat
Obati infeksi
Suport pada pasien dan keluanga
Mengurangi dan menghentikan agitasi untuk pengamanan pasien
Cukupi cairan dan nutrisi
Vitamin yang dibutuhkan
Segala alat pengekang boleh digunakan tapi harus segera dilepas bila sudah membaik, alat infuse
sesederhana mungkin, lingkungan diatur agar nyaman.
Obat:
Haloperidoi dosis rendah dulu 0,5 1 mg per os, IV atau IV
Risperidone0,5 3mg perostiap l2jam
Olanzapine 2,5 15 mg per os 1 x sehari
Lorazepam 0,5 1mg per Os atau parenteral (tak tersedia di Indonesia), Perlu diingat obat
benzodiazepine mi bisa memperburuk delirium karena efek sedasinya.

DEMENSIA
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai
pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti
keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif
seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini
tidak reversibel, sebaliknya progresif. Diagnosis dilaksanakan dengan pemeriksaan klinis,
laboratorlum dan pemeriksaan pencitraan (imaging), dimaksudkan untuk mencari penyebab yang
bisa diobati. Pengobatan biasanya hanya suportif. Zat penghambat kolines terasa (Cholinesterase
inhibitors) bisa memperbaiki fungsi kognitif untuk sementara, dan membuat beberapa obat
antipsikotika lebih efektif daripada hanya dengan satu macam obat saja.
Demensia bisa terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lanjut usia (l.k 5% untuk
rentang umur 65-74 tahun dan 40% bagi yang berumur >85 tahun). Kebanyakan mereka dirawat
dalam panti dan menempati sejumlah 50% tempat tidur.

Etiologi dan klasifikasi


Menurut Umur:
 Demensia senilis (>65th)
 Demensia prasenilis (<65th)
Menurut perjalanan penyakit:
 Reversibel
 Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit B
Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb.
Menurut kerusakan struktur otak
 Tipe Alzheimer
 Tipe non-Alzheimer
 Demensia vaskular
 Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
 Demensia Lobus frontal-temporal
 Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)
 Morbus Parkinson
 Morbus Huntington
 Morbus Pick
 Morbus Jakob-Creutzfeldt
 Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
 Prion disease
 Palsi Supranuklear progresif
 Multiple sklerosis
 Neurosifilis
 Tipe campuran
 Menurut sifat klinis:
 Demensia proprius
 Pseudo-demensia
 Tanda dan gejala
 Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
 Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
 Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
 Defisit neurologik motor & fokal
 Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
 Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
 Agnosia, apraxia, afasia
 ADL (Activities of Daily Living)susah
 Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
 Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
 Lupa meletakkan barang penting
 Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
 Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
 Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
 Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
 Tak dapat makan dan menelan
 Koma dan kematian
Diagnosis
Diagnosis difokuskan pada 3 hal:
 Pembedaan antara delirium dan demensia
 Bagian otak yang terkena
 Penyebab yang potensial reversibel
Perlu pembedaan dan depresi (ini bisa diobati relatif mudah)
Pemeriksaan untuk mengingat 3 benda yg disebut
Mengelompokkan benda, hewan dan alat dengan susah payah
Pemeriksaan laboratonium, pemeriksaan EEC
Pencitraan otak amat penting CT atau MRI

Terapi
Pertama perlu diperhatikan keselamatan pasien, lingkungan dibuat senyaman mungkin, dan
bantuan pengasuh perlu.
Koridor tempat jalan, tangga, meja kursi tempat barang keperkuannya
Tidak diperbolehkan memindahkan mobil dsb.
Diberi keperluan yang mudah dilihat, penerangan lampu terang, jam dinding besar, tanggalan
yang angkanya besar
Obat:
Nootropika:
 Pyritinol (Encephabol) 1 x 100 – 3 x 200 mg
 Piracetam (Nootropil) 1 x 400 – 3 x 1200 mg
 Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
 Nimodipine(Nimotop 1- 3 x 30 mg)
 Citicholine (Nicholin) 1 – 2 x 100 – 300 mg i.v./i.m.
 Cinnanzine (Stugeron) 1 – 3 x 25 mg
 Pentoxifylline (Trental) 2 – 3 x 400 mg (oral), 200 – 300 mg infuse
 Pantoyl-GABA
 Acetylcholinesterase inhibitors
 Tacnne 10 mg dinaikkan lambatlaun hingga 80 mg. Hepatotoxik
 Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x /hari
 Galantamine (Riminil) 1 – 3 x 5 mg
 Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
 Memantine 2 x 5 mg 10 mg
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)
BPSD perlu dibahas di sini karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan
membuat payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu:
 Behavioural
 Gangguan perilaku
 agitasi
 hiperaktif
 Keluyuran
 Perilaku yang tak adekuat
 Abulia kognitif
 Agresi
 verbal, teriak
 fisik
 Gangguan nafsu makan
 Gangguan ritme diurnal
 Tidur/bangun
 Perilaku tak sopan (social)
 Perilaku sexual tak sopan
 Deviasi sexual
 Piromania
 Psychological
 Gangguan afektif
 Anxietas
 lritabilitas
 Gejala depresif.
 Depresi berat
 Labilitas emosional
 Apati
 Sindrom waham & salah-identifikasi
 Orang menyembunyikan dan mencuri barangnya
 paranoid, curiga
 Rumah lama dianggap bukan rumahnya
 Pasangan / pengasuh
 Palsu
 Tak setia
 Menelantarkan pasien
 Cemburu patologik
 Keluarga/kenalan yang mati masih hidup
 Halusinasi
 Visual
 Auditorik
 Olfaktoriik
 Raba (haptik)

Terapi farmakologik
Antipsikotika tipik: Haldol 0,25 – 0,5 atau 1 – 2 mg
Antipsikotika atipik:
 Clozaril 1 x 12.5 – 25 mg
 Risperidone 0,25 – 0,5 mg atau 0,75 – 1,75
 Olanzapine 2,5 – 5,0 mg atau 5 – 10 mg
 Quetiapine 100 – 200 mg atau 400 – 600 mg
 Abilify 1 x 10 – 15 mg
Anxiolitika
 Clobazam 1 x 10 mg
 Lorazepam 0,5 – 1.0 mg atau 1,5 – 2 mg
 Bromazepam 1,5 mg – 6 mg
 Buspirone HCI 10 – 30 mg
 Trazodone 25 – 10 mg atau 50 – 100 mg
 Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg – 2mg)
 Antidepresiva
 Amitriptyline 25 – 50 mg
 Tofranil 25 – 30 mg
 Asendin 1 x 25 – 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
 SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1×20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 –
20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
 Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg – 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
 Carbamazepine 100 – 200 mg atau 400 – 600 mg
 Divalproex 125 – 250 mg atau 500 – 750 mg
 Topamate 1 x 50 mg
 Tnileptal 1 x 300 mg – 3 x mg
 Neurontin 1 x 100 – 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
 Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
 Priadel 2 – 3 x 400 mg
Obat anti-demensia
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi,
namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD:
Nootropika:
 Pyritinol (Encephabol) 1 x100 – 3 x 200 mg
 Piracetam(Nootropil) 1 x 400 – 3 x 1200 mg
 Sabeluzole (Reminyl)
 Ca-antagonist:
 Nimodipine (Nimotop 1 – 3 x 30 mg)
 Citicholine (Nicholin) 1 – 2 x 100 – 300 mg i.v / i.m.
 Cinnarizine(Stugeron) 1 – 3 x 25 mg
 Pentoxifylline (Trental) 2 – 3 x 400 mg (oral), 200 – 300 mg infuse
 Pantoyl-GABA
 Acetylcholinesterase inhibitors
 Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
 Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
 Galantamine (Riminil) 1 – 3 x 5 mg
 Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
 Memantine 2 x 5 – 10 mg
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF
dr. Dharmady Agus, SpKJ
(021) 54373510 HP. 0816713026
Tamat Spesialis llmu Kedokteran Jiwa di FKUI tahun 2001
Ka.SMF Ilmu Kedokteran Jiwa dan Periilaku RS Atma Jaya tahun 2005- sekarang
Koordinator Academic Venture FKUAJ tahun 2006 – sekarang
Koordinator Tim PBL PSSK FKUAJ tahun 2007 – sekarang
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik Psikiatni FK-UPH di Sanatorium Dharmawangsa tahun
2006 – sekarang

1. Pendahuluan
Dalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III),
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif dikelompokkan dalam F1.
Kelompok ini berisi gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dan intoksikasi
tanpa atau dengan komplikasi, penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan
putus zat, sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia), dan semua itu diakibatkan oleh
karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter).
Zat psikoaktif yang digunakan dinyatakan oleh karakter ketiga (yaitu dua digit pertama setelah
huruf F), sedangkan karakter keempat dan kelima khusus untuk keadaan klinis. Untuk
praktisnya, semua zat psikoaktif disebutkan lebih dahulu, baru diikuti oleh karakter keempat dan
kelima, namun dengan catatan tidak semua kode pada karakter keempat dan kelima dapat
digunakan untuk semua jenis zat.
Adapun ikhtisar dari F1 ini adalah sebagai berikut:

F10,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol


F11,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan oploida
F12,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk
kafein
F16,- Gangguan mental dan perilaku akibatpenggunaan halusinogenika
F17,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap
F19,- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan
zat psikoaktif lainnya
Karakter keempat dan kelima dapat digunakan untuk menentukan kondisi klinis
sebagai berikut:
F1x.0 intoksikasi akut
00 Tanpa komplikasi
01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
02 Dengan komplikasi medis lainnya
03 Dengan delirium
04 Dengan distorsi persepsi
05 Dengan koma
06 Dengan konvulsi
07 Intoksikasi patologis
F1x.1 Penggunaan yang merugikan (harmful)
F1x.2 Sindrom Ketergantungan
20 Kini abstinen
21 Kini abstinen tetapi dalam lingkungan terlindung
22 Kini dalam pengawasan kiinis atau dengan pengobatan pengganti
(ketergantungan terkendali)
23 Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversi atau obat penyekat(“blocking
drugs”)
24 Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif)
25 Penggunaan berkelanjutan
26 Penggunaan episodik (dipsomania)
F1x.3 Keadaan putus zat
30 Tanpa komplikasi
31 Dengan konvulsi
F1x.4 Keadaan putus zat dengan delirium
40 Tanpa konvulsi
41 Dengan konvulsi
F1x.5 Gangguan psikotik
50 Lir-skizofrenia
51 Predominan waham
52 Predominan halusinasi
53 Predominan polimorfik
54 Predominan gejala depresif
55 Predominan gejala manik
56 Campuran
F1x.6 Sindrom amnesik
F1x.7 Gangguan psikotik residual dan onset lambat
70 Kilas balik (flashback)
71 Gangguan kepribadian atau perilaku
72 Gangguan afektif residual
73 Demensia
74 Hendaya kognitif menetap lainnya
75 Gangguan psikotik onset lambat
F1x.8 Gangguan mental dan perilaku lainnya
F1x.9 Gangguan mental dan perilaku YTT

Pada kesempatan kali ini, pembahasan hanya akan dititik beratkan pada F11 dan F15 karena
kedua zat psikoaktif ini yang paling banyak disalahgunakan. Pembahasan pun hanya terbatas
pada klasifikasi dan cara kerja opioida dan amfetamin, gambaran klinis penting perihal
intoksikasi, overdosis, dan putus zat, dan penatalaksanaannya secara umum.

2. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioida


2.1. Sekilas tentang Opioida
Opioida adalah nama segolongan zat, baik alamiah, semisintetik, maupun sintetik yang
mempunyai khasiat seperti morfin. Opioida dibagi dalam tiga golongan menurut asalnya:
Opioida alamiah, seperti opium, morfin, dan kodein.
Opioida semisintetik, yaitu opioida yang diperoleh dari opium yang diolah melalui proses /
perubahan kimiawi. Sebagai contoh, heroin (diasetil-morfin) dan hidromonfon (dilaudid)
Opioida sintetik, yang dibuat di pabrik,misalnya meperidin (petidin), metadon, propoksifen,
levorfanol, dan levalorfan.
Selain mempunyai khasiat analgesik (menghilangkan rasa sakit), opioida juga mempunyal
khasiat hipnotik (menidurkan) dan eufona (menimbuikan rasa gembira dan sejahtera).
Penggunaan opioida berulang kali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Biia sudah
terjadi ketergantungan terhadap oploida, lalu jumlah penggunaan dikurangi atau dihentikan,
maka akan timbul gejala putus zat(withdrawal). Pada umumnya, opioida dikonsumsi melalui
suntikan intravena, inhalasi, dicampur dalam rokok tembakau, atau secara oral.
2.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pemakaian oploida antara lain:
 Euforia awal diikuti oleh suatu periode sedasi, dikenal dengan istilah jalanan
sebagai “nodding off’
 Euforik yang tinggi (“rush”)
 Rasa berat pada anggota gerak
 Mulut kering
 Wajah gatal (khususnya hidung)
 Kemerahan pada wajah
 Untuk orang awam yang pertama kali memakai opioida: dapat menyebabkan disforia,
mual, dan muntah
Efek flsik: depresi pernafasan, konstriksi pupil, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan saluran
empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh

2.3. lntoksikasi dan Overdosis Oploida


lntoksikasi opioida ditandai dengan:
 Pamakaian opioida yang belum lama terjadi
 Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
 Perubahan mood
 Retardasi psikomotor
 Mengantuk
 Bicara cadel (slurred speech)
 Gangguan daya ingat dan perhatian
 Gejala overdosis opioida ditandai dengan:
 Hilangnya responsivitas yang nyata
 Koma
 Pin point pupil
 Depresi pernafasan
 Hipotermia
 Hipotensi
 Bradikardia

2.4 Putus Oploida


Gejala putus opioida ditandai dengan:
 Penghentian (atau penurunan) opioida yang telah lama atau berat
 Mood disforik
 Mual atau muntah
 Nyeri otot
 Lakrimasi atau rinorea
 Dilatasi pupil, piloreksi, atau berkeringat
 Diare
 Menguap
 Demam
 Insomnia

2.5 Penatalaksanaan lntoksikasi, Overdosis, dan Putus Opioida


 Penatalaksanaan intoksikasi opioida:
Beri nalokson HCI (Narcan) sebanyak 0,2-0,4 mg atau 0,01 mg/kg berat badan secara intravena,
intermuskular, atau subkutan.
Bila belum berhasil, dapat diulang sesudah 3-10 menit sampai 2-3 kali.
Oleh karena narcan mempunyai jangka waktu kerja hanya 2-3 jam, sebaiknya pasien tetap
dipantau selama sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien menggunakan heroin dan 72 jam bila
pasien menggunakan metadon.
 Waspada terhadap kemungkinan timbulnya gejala putus opioida akibat pemberian narcan.
Penatalaksanaan overdosis opmoida:
 Pastikan jalan nafas yang terbuka.
 Jaga tanda vital.
 Usahakan peredaran darah berjalan lancar: bila jantung berhenti berdenyut, lakukan
masase jantung ekstemal dan berikan adrenalin intrakardial; bila terjadi fibrilasi, gunakan
defifrilator; bila sirkulasi darah tidak memadai, beri infus 50 cc sodium bikarbonat (3,75
gr)guna mengatasi asidosis.
 Awasi kemungkinan terjadinya kejang.
 Bila tekanan darah tidak kunjung naik menjadi normal, pertimbangkan untuk memberi
plasma expander atau vasopresor.
 Beri antagonis opiat, nalokson: 0,4 mg intravena. Dosis tersebut dapat diulang empat
sampai lima kali dalam 30 sampai 45 menit pertama sampai menunjukkan respons yang
adekuat.
 Observasi ketat dan awasi kemungkinan relaps ke keadaan semikoma dalam empat
sampai lima jam.
Penatalaksanaan putus opioida dapat ditempuh melalui beberapa cara antara lain: Terapi putus
opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun. Pasien merasakan
semua gejala putus opiolda. Terapi ini diberikan dengan harapan pasien akan jera dan tidak akan
menggunakan opiolda lagi. Cara ini tidak disukai pasien, tidak efektif, dan hampir tidak pernah
dilakukan lagi di fasilitas kesehatan.
Terapi putus opioida dengan terapi simtomatik: untuk menghilangkan rasa nyeri berikan
analgetik yang kuat; untuk gelisah berikan tranquilizer, untuk mual dan muntah berikan
antiemetik; untuk kolik berikan spasmolitik; untuk rinore berikan dekongestan; untuk insomnia
berikan hipnotik; untuk memperbaiki kondisi badan dapat ditambahkan vitamin. ]
Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal): dengan memberikan opioida yang secara
hukum boleh digunakan untuk pengobatan,misalnya morfin, petidin, kodein, atau metadon.
Kebanyakan metadon digunakan secana oral. Biasanya diberikan dosis awal 10-40 mg,
bergantung pada berat ringannya ketergantungan pasien terhadap opioida, diberikan dalam dosis
terbagi (start low go slow). Pada hari kedua dan seterusnya, dosis dikurangi 10 mg setiap hari
sampai jumlah dosis sehari 10 mg. Sesudah itu, diturunkan menjadi 5 mg sehari selama 1-3 hari
Buprenorfin juga dapat dipakai untuk detoksiflkasi dengan cara yang sama dengan metadon,
dengan dosis awal 4-8 mg. Dapat pula dipakai kodein dengan dosis 3-4 kali sehari @ 60-100 mg.
Dosis diturunkan 5-10 mg tiap hari menjadi 3-4 kali sehari @ 55mg dan seterusnya.
Terapi putus opioida bertahap dengan substitut non-opioida, misalnya klonidin. Dosis yang
diberikan 0,01 – 0,3 mg tiga atau empat kali sehari atau 17 mikrogram per kg berat badan per
hari dibagi dalam tiga atau empat kali pemberian.
Terapi dengan memberikan antagonis opioida di bawah anestesi umum (rapid
detoxification). Gejala putus zat timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien tidak
merasakan karena pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung sekitar enam
jam dan perlu dirawat satu sampai dua hari.

2.6 Terapi Pasca-detoksifikasi


Setelah detoksifikasi selesai, terapis harus memberitahukan bahwa proses penyembuhan belum
selesai, pasien baru menyelesaikan tahap awal dan proses penyembuhan. Terapis harus
senantiasa menyadarkan pasien bahwa perilaku penggunaan zat psikoaktif oleh pasien adalah
perilaku yang merugikan kesehatan pasien, merugikan kehidupan sosial, dan merugikan
keluarganya.
Sama seperti penyakit kronis lainnya, setelah diobati pasien harus mengubah pola hidupnya.
Untuk mengubah perilaku, pasien masih harus mengikuti program pasca-detoksifikasi. Program
pasca-detoksifikasi banyak ragamnya, yang pada umumnya menggunakan pendekatan
farmakologi, non-farmakologi, konseling, dan psikoterapi. Bila pasien telah memutuskan akan
mengikuti terapi pascadetoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan
terapi pasca-detoksifikasi mana yang sesuai untuk pasien.
Keberhasilan terapi pasca-detoksifikasi sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien. Pasien yang
dapat menyelesaikan program terapi pasca-detoksiflkasi biasanya hasilnya lebih baik daripada
mereka yang tidak menyelesaikan program tersebut. Kemungkinan kambuh lebih kecil, dan bila
kambuh, terjadi setelah abstinensi yang lebih lama. Program terapi pasca-detoksiflkasi ada yang
non panti dan panti.
2.7 After Care
After care adalah perawatan lanjutan bagi seseorang yang telah mengikuti program terapi yang
terstruktur. Hal ini perlu dilakukan mengingat eks-pasien rentan terpapar pada lingkungan yang
mendorong mereka untuk kembali menggunakannya. Seringkaii pula eks-pasien berharap terlalu
cepat dan terlalu yakin diri bahwa ia mampu melepaskan dirinya dan kebiasaan menggunakan
zat psikoaktif saat ini. Dalam after care ini, eks-pasien selalu dikuatkan kembali dan didukung
terus-menerus agar tetap tidak menggunakan zat psikoaktif lagi.

3. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Amfetamin


3.1. Sekilas tentang Amfetamin
Amfetamin adalah suatu senyawa sintetik yang tergolong perangsang susunan saraf pusat.
Ada 3 jenis amfetamin, yaitu:
 Laevoamfetamin (benzedrin)
 Dekstroamfetamin (deksedrin)
 Metilamfetamin (metedrin)
Banyak macam derivat amfetamin dibuat dengan sengaja oleh laboratorium dengan tujuan
penggunaan rekreasional, misalnya yang banyak disalahgunakan di Indonesia saat ini adalah 3,4
metilen-di-oksi met-amfetamin (MDMA) atau lebih dikenal sebagai ekstasi, dan met-amfetamin
(sabu-sabu). Metilfenidat (Ritalin) jarang disalahgunakan. Dalam bidang Psikiatri, metilfenidat
digunakan untuk terapi anak dengan GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif).
Pada umumnya, amfetamin dikonsumsi melalui suntikan intravena atau subkutan, inhalasi uap,
snorting, supositoria, atau secara oral.

3.2 Gambaran Klinis


Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang
digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan
tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan,
menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa
lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat.
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor ringan,
gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu
makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur.
Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku
stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba
agresif, melakukan tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat.

3.3 lntoksikasi dan Putus Amfetamin


lntoksikasi amfetamin ditandai dengan:
 Pamakaian amfetamin yang belum lama terjadi
 Takikandia atau bradikardia
 Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
 Dilatasi pupil
 Peninggian atau penurunan tekanan darah
 Berkeringat atau menggigil
 Mual atau muntah
 Tanda-tanda penurunan berat badan
 Agitasi atau retardasi psikomotor
 Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
 Konvulsi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma
 Gejala putus amfetamin ditandai dengan:
 Penghentian (atau penurunan) amfetamin yang telah lama atau berat
 Depresi
 Keleiahan
 Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
 Insomnia atau hipersomnia
 Peningkatan nafsu makan
 Retardasi atau agitasi psikomotor

3.4 Penatalaksanaan lntoksikasi dan Putus Amfetamin


Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin:
Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut hipotermik.
Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid 10-25 mg
per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus juga untuk
menurunkan tekanan darah.
Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi amonium
klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
Bilatimbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg
Penatalaksanaan putus amfetamin:
a Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
Dapat diberikan anti depresi.

3.5 Terapi pada PsikosisAkibat Penggunaan Amfetamin


Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada psikosis
akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg per oral atau
25-50 mg intra muskular yang dapat diulang setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol
tiga kali 1-5 mg.
SKIZOFRENIA DAN GANGGUAN PSIKOTIK LAINNYA
dr. Luana Nantingkaseh A, SpKJ
Perumahan JatiAgung I BlokB III/no.18, RTOO3/0I0, Jati Bening Baru, PondokGede
021-8482030, HP: 0813 81348522
Asisten Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU FKUKI 1985- 1998
Kepata Unit Pelayanan Fungsional Psikiatri RSU FKUKI 2004 – sekarang
Staf Pengajar Psikiatri FKUKI 2004- sekarang
Anggota TIM POKJA HIV AIDS RSU FKUKI 2005 – sekarang

Pendahuluan.
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang kompleks dan banyak aspek tentang
skizofrenia sampai saat ini belum dapat dipahami sepenuhnya. Sebagai suatu
sindrom, pendekatan skizofrenia harus dilakukan secara holistik dengan melibatkan
aspek psikososiai, psikodinamik, genetik, farmakologi, dan lain-lain.
Mengingat kompleksnya gangguan skizofrenia, untuk mendapatkan hasil terapi
yang optimal, klinikus perlu memperhatikan beberapa fase simptom gangguan
skizofrenia, yaitu : fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Hasil akhir yang
ingin dicapai adalah penderita skizofrenia dapat kembali berfungsi dalam bidang
pekerjaan, sosial dan keluarga.

Skizofrenla
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi, biasanya
berat, berlangsung lama dan ditandai oleh penyimpangan dari pikiran, persepsi serta
emosi

Epidemioiogi
Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1
sampai 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya
terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Onset untuk laki laki 15 sampai 25
tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki
dibandingkan wanita.
Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita
penyakit fisik dan 50% nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab umum
kematian diantara penderita skizofrenia, 50% penderita skizofrenia pernah mencoba
bunuh diri 1 kali seumur hidupnya dan 10% berhasil melakukannya. Faktor risiko
bunuh diri adalah adanya gejala depresif, usia muda dan tingkat fungsi premorbid
yang tinggi.
Komorbiditas Skizofrenia dengan penyalahgunaan alkohol kira kina 30% sampai
50%, kanabis 15% sampal 25% dan kokain 5%-10%. Sebagian besar penelitian
menghubungkan hal ini sebagai suatu indikator prognosis yang buruk karena
penyalahgunaan zat menurunkan efektivitas dan kepatuhan pengobatan. Hal yang
biasa kita temukan pada penderita skizofrenia adalah adiksi nikotin, dikatakan 3 kali
populasi umum (75%-90% vs 25%-30%). Penderita skizofrenia yang merokok
membutuhkan anti psikotik dosis tinggi karena rokok meningkatkan kecepatan
metabolisme obat tetapi juga menurunkan parkinsonisme. Beberapa laporan
mengatakan skizofrenia lebih banyak dijumpai pada orang orang yang tidak
menikah tetapi penelitian tidak dapat membuktikan bahwa menikah memberikan
proteksi terhadap Skizofrenia.

Etiologi
Model diatesis -stress Menurut teori ini skizofrenia timbul akibat faktor psikososial
dan lingkungan. Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kerentanan
(diatesis) jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi skizofrenia.

Faktor Biologi
Komplikasi kelahiran
Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami
skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap
skizofrenia.

Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan
pada orang orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi
virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi
skizofrenia.
Hipotesis Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala
skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat
reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik
maka gejala psikotik diredakan.1° Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan
bahwa gejala gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem
dopaminergik.5‘7
Hipotesis Serotonin
Gaddum, wooley dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid
diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis
reseptor 5-HT. Temyata zatini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang
normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemuka
karena penetitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang temyata mempunyai
afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi dibandingkan
reseptordopamin D2.57
Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia
basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang
normal, ventrikel teilihat melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa area
terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolik. Pemenksaaninikroskopis
dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distnbusi sel otak yang timbul
pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma
otak setelah lahir.81°

Genetika
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari
populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat
pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia.
Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek /
nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar
identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar
dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu
orang tua 12%.

Gambaran klinis
Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal,
fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non
spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum
onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan,
fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan
perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman,
mereka akan mengatakan ―orang ini tidak seperti yang dulu‖. Semakin lama fase
prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala positif / psikotik
menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai
gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak
mendapat pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat
mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase
residualdimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif /
psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase
diatas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial)
Diagnosis:
Pedoman Diagnostik PPDGJ-lll

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1. – “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda ; atau
– “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
– “thought broadcasting”= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
2. – “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
– “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‖dirinya‖ = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus);
– “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau
mukjizat;

1. Halusinasi auditorik:
1. suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
2. mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
3. jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
2. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain)
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
0. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
1. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
2. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
3. gejala-gejala ―negative‖, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu
sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.

Prognosis
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25%
individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami
perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang
akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial
/ pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga
gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan
prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak
jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga
skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak
remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis
yang buruk.

Terapi / Tatalaksana
I. Psikofarmaka

 Pemilihan obat Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer
(efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder
( efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu
tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka
waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan
golongan yang tidak sama) dengan dosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat
penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat
antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan
gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang
beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik
generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua (APG ll). APG I
bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal
dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi
pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan
ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan
menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping
antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan
hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang
digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine,
fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi
sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham
dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah
Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala
dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai
serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui
interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang
menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif
mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine,
olanzapine, quetiapine dan rispendon.

 Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : 2-4ininggu
Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
o Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hr)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak
mengganggu kualitas hidup penderita.
o Obat antipsikosis long acting : fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien
yang tidak/sulitininum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.

 Cara / Lama pemberian Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
dinaikkan setiap 2-3 hr sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda),
dievaluasi setiap 2ininggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian
dipertahankan 8-12ininggu. (stabilisasi). Diturunkan setiap 2ininggu (dosis
maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun ( diselingi drug holiday
1-2/hari/minggu) setelah itu tapering off (dosis diturunkan 2-4ininggu) lalu stop.
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan
paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5
kali). Pada umumnya pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali.
Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan
lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi
dengan pemberian anticholmnergic agent seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg
IM, tablet trhexyphenidyl 3×2 mg/hari.

II. Terapi Psikososial


Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain :

 Psikoterapi individual
o Terapi suportif
o Sosial skill training
o Terapi okupasi
o Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
 Psikoterapi kelompok
 Psikoterapi keluarga
 Manajemen kasus
 Assertive Community Treatment (ACT)

Gangguan Psikosis lainnya


Gangguan Waham
Pedoman Diagnosis

 Waham-waham merupakan satu-satunya ciri khas klinik atau gejala yang paling
mencolok. Waham-waham tersebut (baik tunggal maupun sebagai suatu sistem
waham) harus sudah ada sedikitnya 3 bulan lamanya, dan harus bersifat
khas pribadi (personal) dan bukan budaya setempat
 Gejala-gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif yang lengkap I ―full-
blown‖, mungkin terjadi secara intermiten, dengan syarat bahwa waham-waham
tersebut menetap pada saat-saat tidak terdapat gangguan afektif itu.
 Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak
 Tidak boleh ada halusinasi auditonk atau hanya kadang-kadang saja ada dan
bersifat sementara
 Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar pikiran,
penumpulan afek, dsb)

Gangguan Psikotlk Akut dan Sementara


Pedoman Diagnostik

 Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminkan urutan prioritas yang


diberikan untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas yang
dipakai ialah:
1. Onset yang akut (dalam masa 2ininggu atau kurang = jangka waktu gejalagejala
psikotik menjadi nyata dan mengganggu sedikitnya beberapa aspek kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari, tidak termasuk periode prodromal yang gejalanya sering
tidak jelas) sebagai ciri khas yang menentukan seluruh kelompok;
2. Adanya sindrom yang khas (berupa ―polimorfik‖ = beraneka ragam dan berubah
cepat, atau ―schizophrenia-like‖ = gejala skizofrnik yang khas);
3. Adanya stress akut yang berkaitan (tidak selalu ada)
4. Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung
1. Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi kriteria episode
manik atau episode depresif, walaupun perubahan emosional dan gejalagejala
afektif individual dapat menonjol dan waktu ke waktu
2. Tidak ada penyebab organic, seperti trauma kapitis, delirium, atau
demensia. Tidak merupakan intoksikasi akibat penggunaan alcohol atau obat-
obatan.

Gangguan Skizoafektif
Pedoman Diagnostik :

1. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejal-gejala definitive


adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang
lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi
dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kritena baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda
3. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami
suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi Pasca-skizofrenia).
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis
manik maupun depresif atau campuran dari keduanya. Pasien lain mengalami satu
atau dua episode skizoafektif terselip di antara episode manik atau depresif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Agus D, Pendekatan holistik terhadap Skizofrenia, dalam majalah psikiatri,


Jakarta, 2005:1.
2. World Health Organization Collaborating Centre for Mental Health and Substance
Abuse, Schizophrenia : General lmformation, Australia, 1997.
3. Buchanan RW, Carpenter WT, Schizophrenia : introduction and overview,
in: Kaplan and Sadock comprehensive textbook of psychiatry, 7 th ed,
Philadelphia: lippincott Williams and wilkins :2000: 1096-1109.
4. Maslim R, skizofrenla, gangguan skizotipal dan gangguan waham, dalam PPDGJ
III, Jakarta, 1998 :46-57.
5. Kaplan, Hl, Sadock BJ, Grebb JA, Skizofrenia, dalam : Sinopsis psikiatri, ed 7,
vol 1, 1997 : 685-729.
6. American Psychiatric Association, Schizophrenia and other psychotic disorders, in
diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4 thed, Washington,
DC, 1994:273-286.
7. Sapiie TWA, Patobiologi skizofrenia dan peranan serotonin dalam gejala negatif
skizofrenia, dalam majalah psikiatri, Jakarta, 2007 : 77-89
8. National Institute of Mental Health, National Institutes of
Health,http://www.nimh.nih.gov, what is schizophrenia?
9. Norquist GS, Narrow WE, Schizophrenia : Epidemiology, in : Kaplan and Sadock
Comprehensive textbook of psychiatry, 7th ed, Philadelphia : Lippincott Williams
and wilkins, 2000:1110-1117.
10. Gur RE, Gur RC, Schizophrenia: Brain structure and function in: Kaplan and
Sadock Comprehensive textbook of psychiatry, 7 th ed, Philadelphia : Lippincott
Williams and wilkins, 2000:1117-1129
11. Kendler KS, Schizophrenia : Genetics, in : Kaplan and Sadock Comprehensive
textbook of psychiatry, 7th ed, Philadelphia: Lippincott Williams and wilkins,
2000: 1147-1169
12. Maramis WF, Skizofrenia, dalam : Catatan ilmu kedokteran jiwa, ed 7,
Surabaya, 1998 :215-235.
13. Agus D, Difungsi kognitif pada skizofrenia, dalam : majalah psikiatri, Jakarta
2005: 51-67
14. Sinaga BR, Skizofrenia dan Diagnosis banding, Jakarta 2007:12-137.
15. Maslim R, Penggunaan kllnis obat psikotropik, ed 2, Jakarta, 2001 : 14-22.
16. Surilena, lntervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia, dalam : majalah
psikiatri, Jakarta 2005 :69-83.
GANGGUAN AFEKTIF
Dr. R. Surya Widya, SpKJ
Jl. Raya Kelapa Kopyor Blok CE.2, No.10, Jakarta Utara
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Psikiatri FK UKI, FK Yarsi & FK Ukrida
Dosen Psikologi STAB Nalanda
Dosen Agama Buddha FK/FKG Usakti
Menulis buku 300 tanya jawab tentang kesehatan jiwa tahun 2006

EPISODE DEPRESI

Biasanya berlangsung paling sedikit 2 minggu lamanya, memperlihatkan paling


sedikit empat dari gejala-gejala berikut ini, yaitu:

 Sedih/murung hampir sepanjang waktu


 Kehilangan minat/gairah hidup
 kehilangan nafsu makan, (penurunan berat badan)
 perubahan pola tidur, (insomnia atau hipersomnia)
 perubahan pola tingkah laku, (serba lamban)
 kekurangan energi, (mudah lelah lesu)
 merasa bersalah/berdosa,
 kesulitan berpikir (susah konsentrasi)
 kesulitan membuat keputusan
 berulang-ulang memikirkan tentang kematian dan ingin bunuh diri.

ETIOLOGI
Faktor psikososial : ada teori yang menjelaskan bahwa situasi stres akan
menyebabkan perubahan pada beberapa jenis neurotransmitter dan pemindaian
intraneuronal di otak, yang selanjutnya menyebabkan kehilangan fungsi neuron
tertentu dan hambatan yang berlebihan pada hubungan dalam synaps.

Menurut catatan yang ada di USA, peristiwa kehidupan yang paling banyak
menyebabkan depresi adalah kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun,
kemudian kehilangan pasangan hidup, dan kehilangan pekerjaan.

GAMBARAN KLINIK
Episode depresi dapat terjadi pada gangguan depresi dan gangguan mania. Hanya
dengan memperhatikan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat keluarga, maka kita
baru dapat membedakannya dengan jelas.
Gejala pokok dan depresi adalah perasaan yang sedih dan kehilangan interes
terhadap segala sesuatu. Pasien dapat mengungkapkan bahwa mereka merasa
murung, tidak ada harapan, terbuang dan tidak berharga. Pasien sering mengaku
bahwa perasaannya sakit sekali, dan kadang-kadang sampai tidak bisa menangis.

Hampir 2/3 pasien depresi memikirkan untuk bunuh diri dan hanya 10-15 % yang
melakukan percobaan bunuh diri. Mereka yang dibawah ke rumah sakit karena
percobaan bunuh diri akan lebih berhasil bunuh diri daripada mereka yang belum
pernah dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien yang tidak menyadari bahwa
mereka menderita depresi, namun terlihat bahwa mereka menjauh dari keluarga,
temanteman dan aktivitas yang mereka sukai. Hampir semua pasien (97%)
mengeluh bahwa mereka kekurangan energi, sukar menyelesaikan tugas mereka,
prestasi belajar menurun, prestasi pekerjaan menurun, kurang motivasi untuk
menerima tugas atau proyek baru. Sekitar 80% pasien depresi mengeluh tentang
kesulitan tidur,

terutama suka terbangun diri hari atau sering terbangun di malam hari, ketika
mereka sedang merenungkan tentang masalah mereka. Banyak pasien depresi
kehilangan nafsu makan dan kehilangan berat badan, tetapi ada juga yang
mengalami penambahan nafsu makan dan kenaikan berat badan, juga tidur lebih
lama dari biasanya.

Cemas adalah gejala yang juga dialami oleh 90% pasien depresi. Perubahan dari
pola makan dan pola istirahat dapat menyebabkan timbulnya penyakti lain seperti
diabetes, hipertensi, gangguan sesak napas kronik dan gangguan jantung. Ada juga
yang mengalami gangguan haid dan penurunan gairah seksual. Masalah seksual
kadang-kadang pasien dirujuk secara keliru kepada penasehat perkawinan dan
terapi seksual, oleh karena dokter yang merujuk gagal mengenali gangguan depresi
yang menjadi landasan dari gangguan seksual tersebut. Dalam beberapa studi
ditemukan bahwa terdapat 84% pasien depresi mengalami gangguan untuk
berkonsentrasi dan 67% mengalami gangguan dalam berpikir.

Fobia sekolah, kemelekatan pada orang tua boleh jadi merupakan gejala depresi
pada anak. Prestasi akademis yang buruk, penyalahgunaan zat, tingkah laku
antisosial, seks bebas, bolos sekolah dan kabur dari rumah mungkin merupakan
gejala depresi pada remaja.

Depresi lebih sering dialami oleh orang tua, terutama yang berhubungan dengan
tingkat sosial ekonomi yang rendah, kehilangan pasangan hidup, penyakit fisik
yang tidak ada harapan untuk sembuh dan isolasi sosial. Pada umumnya gangguan
depresi pada orang tua tidak terdiagnosis dan tidak diterapi secara adekuat.
STATUS MENTAL

 Tampilan umum:
o Retardasi psikomotor
o Agitasi psikomotor
 Tangan seperti meremas-remas
 Mencabuti rambut
o Tubuh membungkuk
o Gerak gerik lamban
o Menghindari kontak mata
 Alam perasaan:
o Murung/sedih
o Menarik diri
o Segala aktivitas berkurang
 Gangguan persepsi:
o Waham
 Dosa, tidak benharga, kejar (serasi afek)
o Halusinasi
 Akustik (yang menyalahkan atau menuduh)
 Gangguan pikiran:
o Berpikir negatif tentang kehilangan, rasa bersalah, bunuh diri dan mati
o Bisa terhambat
o Miskin (tidak produktif)
 Gangguan orientasi:
o Pada umumnya tidak terganggu
 Gangguan daya ingat:
o 50-75% sulit konsentrasi dan pelupa
 Gangguan pengendalian diri:
o 10-15% melakukan percobaan bunuh diri (suicide)
o Ingin bunuh orang (homicide)
o Kurang motivasi dan kurang energi untuk melakukan tindakan impulsif
o Hati-hati dengan paradoxical suicide
 Tambahan:
o Melebih-lebihkan keburukan atau kegagalan diri sendiri Mengurangi kebaikan
atau keberhasilan diri sendiri (perlu cross check dari keluarga dekat/kerabat
dekat/pendamping.

PERJALANAN PENYAKIT
Penyakit gangguan depresi yang tidak diobati bisa benlangsung sampai 6-13 bulan
lamanya; apabila diobati bisa berlangsung sampai 3 bulan. Setelah obat antidepresi
dihentikan, tidak sampai 3 bulan biasanya bisa kumat lagi.

PROGNOSIS
Pada umumnya gangguan depresi cenderung menjadi gangguan yang menahun,
kumat-kumatan. Rata-rata 25 % pasien kumat dalam waktu 6 bulan setelah keluar
dan perawatan di rumah sakit jiwa. Yang tidak sembuh-sembuh biasanya berlanjut
menjadi pasien dengan gangguan disthymic.

TERAPI
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan

1. keselamatan pasien harus didahulukan


2. diagnosis harus ditegakkan dengan benar
3. rencana terapi tidak hanya menghilangkan gejala, juga memperhatikan aspek
pemulihan kedepan

Perawatan di rumah sakit : indikasi rawat adalah untuk penegakkan diagnosis,


menghindarkan resiko bunuh diri atau bunuh orang dan untuk mengatasi perawatan
diri yang terabaikan

 Terapi psikososial:
o Terapi kognitif
o Terapi interpersonal
o Terapi tingkah laku
o PsikoTerapi
o Terapi keluarga
 Terapi obat:
o Antidepresi (trisiklik, tetnasiklik, MAO-A inhibitor, SSRI dll)
o Lithium carbonate
o Boleh ditambahkan obat anticemas apabila diperlukan
o Boleh diberikan obat antipsikosis apabila ada gejala psikotik
 ECT:
Alasan:
o obat-obatan kurang efektif
o pasien tidak bisa menenima obat-obatan
o kesembuhan segena dengan alasan klinis

EPISODE MANIA

Biasanya paling sedikit belangsung selama satu minggu, afeknya meningkat, lebih
gembira, mudah tersinggung atau membumbung tinggi. Ditambah dengan :

 rasa percaya harga diri yang meningkat (merasa hebat/megalomania)


 kebutuhan akan tidur berkurang
 lebih banyak bicara
 flight of ideas (loncat gagasan)
 agitasi psikomotor, ingin segera memenuhi keinginannya
 boros, banyak belanja, banyak telepon
 perhatian mudah beralih
 banyak melakukan hal-hal yang menghibur (menari, menyanyi dll)
 banyak melakukan transaksi tanpa perhitungan masak yang merugikan

Pasien mania yang tidak dirawat seringkali minum alkohol secara berlebihan,
pasien sukar dicegah untuk menggunakan telepon secara berlebihan (interiokal di
pagi hari). Mereka juga suka berjudi secara patologik, buka baju di tempat umum,
mengenakan baju atau perhiasan yang warnanya sangat mencolok, juga suka
mengabaikan hal-hal kecil seperti tidak meletakkan gagang telepon secara benar
ditempatnya. Pasien suka terlibat secara berlebihan dengan masalah keagamaan,
politik, keuangan, seksual dan ide pengejaran yang berkembang dalam sistem
waham yang kompleks. Terkadang mereka juga bisa regresi seperti bermain
dengan urine dan feces sendiri.

GAMBARAN KLINIK
Tampilan umum :
bersemangat, banyak bicara, melawak, hiperaktif. Ada kalanya mereka
memperlihatkan gejala psikotik dan bingung sehingga perlu difiksasi dan diberikan
suntikan antipsikotik.
Alam perasaan, emosi :
perasaannya hiperthym, mudah tersinggung, tidak mudah frustrasi, mudah marah
dan menyerang. Emosinya tidak stabil, bisa cepat berubah dan gembira ke depresi
dalam beberapa menit saja.
Cara bicara:
bicaranya sukar dipotong, bombastis, volumenya keras, bermain dengan kata-kata,
bercanda, berpantun, dan tidak relevan. Selanjutnya bisa terjadi loncat gagasan,
asosiasi menjadi longgar, konsentrasi berkurang, bisa inkoheren dan neologisme
sehingga sukar dibedakan dengan pasien skizofrenia.
Gangguan persepsi:
75 % pasien mania mengalami waham, yang biasanya berhubungan dengan
kekayaan, kemampuan yang luar biasa, kekuatan atau kehebatan yang luar biasa.
Kadang-kadang ada waham dan halusinasi yang kacau dan tidak serasi.
Gangguan pikiran:
Pikiran pasien terisi dengan rasa percaya diri yang berlebihan, merasa hebat.
Mereka mudah teralihkan perhatiannya, sangat produktif dan tidak terkendalikan.
Gangguan sensorium dan fungsi kognitif:
Ada sedikit gangguan pada fungsi sensonum dan kognitif, terkadang jawaban tidak
sesuai dengan pertanyaan meskipun tidak ada gangguan orientasi dan daya ingat.
Gangguan pengendalian diri:
Sekitar 75 % pasien mania suka mengancam dan menyerang. Ada juga yang
melakukan homicide dan suicide. Mereka sukar menahan diri yang tidak
melakukan hal-hal yang merugikan kalau sedang tersinggung atau marah.
Tilikan:
Pada umumnya pasien mania mengalami gangguan tilikan. Mereka mudah
melanggar hukum, pelanggaran dibidang seksual dan keuangan, kadang-kadang
mereka menyebabkan kebangkrutan ekonomi keluarga.
Reliabilitas:
Pasien mania sering berbohong ketika memberikan informasi, karena berdusta dan
menipu adalah biasa untuk mereka.

DIAGNOSIS
Biasanya telah berlangsung menahun, afek yang hiperthym, banyak bicara
(logorhoe), gerak gerik motorik yang aktif, flight of ideas, kurang tidur, agresif dan
boros.

PERJALANAN PENYAKIT
Biasanya berlangsung menahun, kumat-kumatan. Pasien biasanya kumat oleh
karena hal-hal yang tidak berarti yang menyinggung hatinya. Sekitar 30 %
mengalami kemerosotan fungsinya sebagai manusia.
TERAPI

1. Dirawat (bila perlu)


2. Kejang listrik (ECT)
3. Psikofarmaka
1. Lithium
2. Divalproex
3. Olanzapine
4. Clonazepam
5. Lorazepam
6. Haloperidol
4. Psikososial
1.
1. terapi keluarga
2. terapi interpersonal
3. terapi tingkah laku
4. therapeutic community
5. kurangi jumlah dan berat stressor

Bahan bacaan:
Kaplan & Saddock: Concise textbook of Clinical Psychiatry, second edition,
Lippincott William & Wilkins, 2004.
TATALAKSANA DIAGNOSIS DAN TERAPI GANGGUAN ANXIETAS
Dr. Evalina Asnawi Hutagalung, Sp.KJ
(021) 7328321, HP.: 08128378757
Sensasi anxietas / cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai
oleh rasa ketakutan yang difius, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik,
seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Kumpulan gejala tertentu
yang ditemui selama kecemasan cenderung bervaniasi, pada setiap orang tidak sama.
Dalam praktek sehari-hani anxietas sering dikenal dengan istilah perasaan cemas, perasaan
bingung, was-was, bimbang dan sebagainya, dimana istilah tersebut lebih merujuk pada kondisi
normal. Sedangkan gangguan anxietas merujuk pada kondisi patologik.
Anxietas sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat misalnya
pertandingan sepak bola, ujian, wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat anxietas yang
berbeda.
Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada gangguan psikiatrik, dapat sebagai
sindroma pada neurosis cemas dan dapat juga sebagai kondisi normal.
Anxietas normal sebenarnya sesuatu hal yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang
keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat
bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka
ia akan belajar secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang.
Anxietas dapat bersifat akut atau kronik. Pada anxietas akut serangan datang mendadak dan
cepat menghilang. Anxietas kronik biasanya berlalu untuk jangka waktu lama walaupun tidak
seintensif anxietas akut, pengalaman penderitaan dari gejala cemas ini oleh pasien biasanya
dirasakan cukup gawat untuk mempenganuhi prestasi kerjanya.
Bila dilihat dan segi jumlah, maka orang yang menderita anxietas kronik jauh lebih banyak
daripada anxietas akut.
DIFINISI ANXIETAS
―Anxietas adalah perasaan yang difius, yang sangat tidak menyenangkan, agak tidak menentu
dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa
reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu. Perasaan ini
dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit
kepala atau rasa mau kencing atau buang air besan. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin
bergerak dan gelisah. ― ( Harold I. LIEF)

―Anenvous condition of unrest‖ ( Leland E. HINSIE dan Robert S CAMBELL)

―Anxietas adalah perasaan tidak senang yang khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya
atau frustrasi yang mengancam yang akan membahayakan rasa aman, keseimbangan, atau
kehidupan seseorang individu atau kelompok biososialnya.‖ ( J.J GROEN)
GEJALA UMUM ANXIETAS
Gejala psikologik:
Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati , takut ‖gila‖, takut
kehilangan kontrol dan sebagainya.

Gejala fisik:
Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing, ketegangan otot,
mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal, gangguan di lambung dan lain-lain.

Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti: rasa sesak nafas; rasa
sakit dada; kadang-kadang merasa harus menarik nafas dalam; ada sesuatu yang menekan
dada; jantung berdebar; mual; vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa kesemutan; kaki
dan tangan tidak dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus; kaki merasa
lemah, sehingga berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada gagap dan banyak lagi
keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Keluhan yang dikemukakan disini
tidak semua terdapat pada pasien dengan gangguan anxietas kronik, melainkan seseorang
dapat saja mengalami hanya beberapa gejala 1 keluhan saja. Tetapi pengalaman
penderitaan dan gejata ini oleh pasien yang bersangkutan biasanya dirasakan cukup
gawat.

GANGGUAN ANXIETAS
Beberapa teori tentang gangguan anxietas:

1. TEORI PSIKOLOGIS
1. Teori Psikoanalitik
2. Teori perilaku
3. Teori Eksistensial
2. TEORI BIOLOGIS
0. Susunan Saraf Otonom
1. Neurotransmiten
2. Penelitian genetika
3. Penelitian Pencitraan Otak

Teori psikoanalitik:
Freud menyatakan bahwa kecemasan sebagai sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk
mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam diri. misal dengan
menggunakan mekanisme represi, bila berhasil maka terjadi pemulihan keseimbangan
psikologis tanpa adanya gejala anxietas. Jika represi tidak berhasil sebagai suatu
pertahanan, maka dipakai mekanisme pertahanan yang lain misalnya konvensi, regresi,
ini menimbulkan gejala.
Teori perilaku:
teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiasakan
terhadap stimuli lingkungan spesifik. Contoh : seorang dapat belajar untuk memiliki
respon kecemasan internal dengan meniru respon kecemasan orang tuanya.

Teori eksistensial:
Konsep dan teori ini adalah, bahwa seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan
yang menonjol di dalam dirinya. Perasaan ini lebih mengganggu daripada penerimaan
tentang kenyataan kehilangan/ kematian seseorang yang tidak dapat dihindari.
Kecemasan adalah respon seseorang terhadap kehampaan eksistensi tersebut.

Sistem saraf otonom:


Stimuli sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu. Sistem kardiovaskular
takikardi, muskular nyeri kepala, gastrointestinal diare dan sebagainya.

Neurotransmiter:
Tiga neurotrasmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian
pada binatang dan respon terhadap terapi obat yaitu : norepinefrin, serotonin dan gamma-
aminobutyric acid.

Penelitian genetika:
Penelitian ini mendapatkan, hampir separuh dan semua pasien dengan gangguan panik
memiliki sekurangnya satu sanak saudara yang juga menderita gangguan.

Penelitian pencitraan otak:


Contoh: pada gangguan anxietas didapati kelainan di korteks frontalis, oksipital,
temporalis. Pada gangguan panik didapati kelainan pada girus para hipokampus.

BENTUK GANGGUAN ANXIETAS

 Gangguan Panik
 Gangguan Fobik
 Gangguan Obsesif-kompulsif
 Gangguan Stres Pasca Trauma
 Gangguan stres Akut
 Gangguan Anxietas Menyeluruh.

GANGGUAN PANIK

 Ada dua kriterla Gangguan panik : gangguan panik tanpa agorafobia dan gangguan
panik dengan agorofobia kedua gangguan panik ini harus ada serangan panik.
GAMBARAN KLINIS
Serangan panik pertama seringkali spontan, tanpa tanda mau serangan panik, walaupun
serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik,
aktivitas seksual atau trauma emosional. Klinisi harus berusaha untuk mengetahui tiap
kebiasaan atau situasi yang sering mendahului serangan panik. Serangan sering dimulai
dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10 menit. Gejala mental
utama adalah ketakutan yang kuat, suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat. Pasien
biasanya tidak mampu menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien mungkin merasa
kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Tanda fisik adalah
takikardia, palpitasi, sesak nafas dan berkeringat. Pasien seringkali mencoba untuk
mencari bantuan. Serangan biasanya berlangsung 20 sampai 30 menit.
Agorafobma : pasien dengan agorafobia akan menghindari situasi dimana ia akan sulit
mendapatkan bantuan. Pasien mungkin memaksa bahwa mereka harus ditemani setiap
kali mereka keluar rumah.

GEJALA PENYERTA
Gejala depresi seringkali ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, pada beberapa
pasien suatu gangguan depresi ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik.
Penelitian telah menemukan bahwa resiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan
gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan mental.

DIAGNOSA BANDING
Penyakit kardiovaskuler : anemia, hipertensi, infark iniokardium, dsb.
Penyakit pulmonum : asma, hiperventilasi, emboli paru-paru.
Penyakit neurologis : penyakit serebrovaskular, epilepsi, inigrain, tumor, dsb.
Penyakit endokrin : diabetes, hipertroidisme, hipoglikemi, sindroma pramestruasi,
gangguan menopause, dsb.
lntoksikasi obat, putus obat.
Kondisi lain : anafilaksis, gangguan elektrolit, keracunan logam berat, uremia dsb

PEDOMAN DIAGNOSTIK AGORAFOBIA

 Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi dimana kemungkinan sulit
meloloskan diri
 Situasi dihindari, misal jarang bepergian
 Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena gangguan mental lain, misal fobia
sosial

PEDOMAN DIAGNOSTIK GANGGUAN PANIK

 Serangan panik rekuren dan tidak diharapkan


 Sekurangnya satu serangan , diikuti satu atau lebih : kekawatiran menetap akan
mengalami serangan tambahan, ketakutan tentang arti serangan, perubahan perilaku
bermakna berhubungan dengan serangan
 Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung atau suatu kondisi medis umum
 Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain. misal
gangguan obsesif – kompulsif.
 Gangguan panik bisa dengan agorafobia atau tanpa agorafobia

TERAPI
Konseling dan medikasi.
Konseling: ajari pasien untuk diam ditempat sampai serangan panik berlalu,
konsentrasikan diri untuk mengatasi anxietas bukan pada gejala fisik, rileks, latihan
pernafasan. Identifikasikan rasa takut selama serangan. Diskusikan cara menghadapi rasa
takut saya tidak mengalami serangan jantung, hanya panik, akan berlalu.
Medikasi : banyak pasien tertolong melalui konseling dan tidak membutuhkan medikasi.
Bila serangan sering dan berat, atau secara bermakna dalam keadaan depresi beri
antidepresan (imipramin 25 mg malam hari, dosis bisa sampai 100 150 mg malam selama
2 minggu ). Bila serangan jarang dan terbatas beri anti anxietas, jangka pendek
(lorazepam 0,5 1 mg 3 dd 1 atau alprazolam 0,25 1 mg 3 dd 1) hindari pemberian jangka
panjang dan pemberian medikasi yang tidak perlu.

GANGGUAN FOBIK
Penelitian epidemiologis di Amerika Serikat menemukan 5 10 persen populasi menderita
gangguan ini. FOBIA adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan
penghindaran yang disadari terhadap obyek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.
Fobia spesifik: takut terhadap binatang, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dsb
Fobia sosial: takut terhadap rasa memalukan di dalam berbagai lingkungan sosial seperti
berbicara di depan umum, dsb

PEDOMAN DIAGNOSTIK

 Rasa takut yang jelas, menetap dan berlebihan atau tidak beralasan (obyek /situasi)
 Pemaparan dengan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan kecemasan
 Menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan
 Situasi fobik dihindari

TERAPI
Konseling dan medikasi: dorong pasien untuk dapat mengatur pernafasan, membuat
daftar situasi yang ditakuti atau dihindari, diskusikan cara-cara menghadapi rasa takut
tersebut. Dengan konseling banyak pasien tidak membutuhkan medikasi. Bila ada depresi
bisa diberi antidepresan lmipramin 50 150 mg/ hari. Bila ada anxietas beri antianxietas
dalam waktu singkat, karena bisa menimbulkan ketergantungan. Beta blokerdapat
mengurangi gejala fisik. Konsultasi spesialistik bila rasa takut menetap

GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum diperkirakan
adalah 2-3 persen.
OBSESIF adalah pikiran, perasaan, ide yang berulang, tidak bisa dihilangkan dan tidak
dikehendaki.
KOMPULSIF adalah tingkah-laku yang berulang, tidak bisa dihilangkan dan tidak
dikehendaki.

PEDOMAN DIAGNOSIS
= Pikiran, impuls, yang berulang
= Perilaku yang berulang
= Menyadari bahwa obsesif-kompulsif adalah berlebihan atau tidak beralasan
= Obsesif-kompulsif menyebabkan penderitaan
= Tidak disebabkan oleh suatu zat atau kondisi medis umum.

DIAGNISIS BANDING
Kondisi fisik
– Gangguan neurologis (epilepsi lobul temporalis, komplikasi trauma, dsb)
Kondisi psikiatrik
– Skizofrenia, gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, fobia, gangguan depresif.

TERAPI
Konseling dan medikasi : mengenali, menghadapi, menantang pikiran yang berulang
dapat mengurangi gejala obsesd, yang pada akhirnya mengurangi perilaku kompulsif.
Latihan pernafasan. Bicarakan apa yang akan dilakukan pasien untuk mengatasi situasi,
kenali dari perkuat hal yang berhasil mengatasi situasi. Bila diperlukan bisa diberi
Klomipramin 100 – 150 mg, atau golongan Selected Serotonin Reuptake Inhibitors.
Konsultasi spesialistik bila kondisi tidak berkurang atau menetap.

GANGGUAN STRES PASCA-TRAUMA


Pasien dapat diklasifikasikan mendenta gangguan stres pasca-trauma, bila mereka
mengalami suatu stres yang akan bersifat traumatik bagi hampir semua orang. Trauma
bisa berupa trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, kecelakaan.
Gangguan stres-pasca trauma terdiri dari: – pengalaman kembali trauma melalui mimpi
dan pikiran, penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan
penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan dan persisten.
Gejala penyerta yang sering dan gangguan stres pasca-trauma adalah depresi, kecemasan
dan kesulitan kognitif(contoh pemusatan perhatian yang buruk)
Prevalensi seumur hidup gangguan stres pasaca-trauma diperkirakan I sampai 3 persen
populasi umum, 5 sampai 15 persen mengalami bentuk gangguan yang subklinis.
Walaupun gangguan stres pasca-trauma dapat terjadi pada setiap usia, namun gangguan
paling menonjol pada usia dewasa muda.

PEDOMAN DIAGNOSTIK STRES PASCATRAUMA

1. Telah terpapar dengan peristiwa traumatik, didapati:


1. mengalami, menyaksikan, dihadapkan dengan peristiwa yang berupa ancaman
kematian, atau kematian yang sesungguhanya atau cedera yang serius,atau ancaman
integritas fisik diri sendiri atau orang lain
2. respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya
2. Keadan traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu atau lebih cara berikut:
0. rekoleksi yang menderitakan, rekuren dan mengganggu tentang kejadian
1. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian
2. berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
3. penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik
4. reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik
3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma
4. Gejala menetap, adanya peningkatan kesadaran , seperti dua atau lebih berikut:
kesulitan tidur, irritabilitas, sulit konsentrasi, kewaspadaan berlebihan, respon kejut
yang berlebihan.
5. Lama gangguan gejala B,C,D adalah lebih dari satu bulan.
6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

REAKSI STRES AKUT


Suatu gangguan sementara yang cukup parah yang terjadi pada seseorang tanpa adanya
gangguan jiwa lain yang nyata, sebagai respons terhadap stres fisik maupun mental yang
luar biasa dan biasanya menghilang dalam beberapa jam atau hari. Stresornya dapat
berupa pengalaman traumatik yang luar biasa . Kerentanan individu dan kemampuan
menyesuaikan diri memegang peranan dalam terjadinya dan keparahannya suatu reaksi
stres akut.

PEDOMAN DIAGNOSTIK
Harus ada kaitan waktu yang langsung dan jelas antara terjadinya pengalaman stresor luar
biasa dengan onset dan gejala. Onset biasanya setelah beberapa menit atau bahkan segera
setelah kejadian. Selain itu ditemukan (a) terdapat gambaran gejala campuran yang
biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan berupa keadaan ― terpaku‖ , semua
gejala berikut mungkin tampak: depresif, anxietas, kemarahan, kekecewaan, overaktif
dan penarikan diri, akan tetapi tidak satupun dan jenis gejala tersebut yang mendominasi
gambaran klinisnya untuk waktu lama. (b) pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dan
stresomya, gejala-gejalanya dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam
hal dimana stres tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mulai mereda setelah
24 – 48 jam dan biasanya menghilang setelah 3 hari.

GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH


Gambaran esensial dan gangguan ini adalah adanya anxietas yang menyeluruh dan
menetap (bertahan lama), Gejala yang dominant sangat bervariasi, tetapi keluhan tegang
yang berkepanjangan, gemetaran, ketegangan otot, berkeringat, kepala terasa ringan,
palpitasi, pusing kepala dan keluhan epigastnik adalah keluhankeluhan yang lazim
dijumpai. Ketakutan bahwa dirinya atau anggota keluarganya akan menderita sakit atau
akan mengalami kecelakaan dalam waktu dekat, merupakan keluhan yang seringkali
diungkapkan

PEDOMAN DIAGNOSTIK
Pasien harus menunjukan gejala primer anxietas yang berlangsung hampir setiap hari
selama beberapa minggu, bahkan biasanya sampai beberapa bulan. Gejala-gejala ini
biasanya mencakup hal-hal berikut : kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik,
overaktivitas otonomik

TERAPI
Konseling dan medikasi: informasikan bahwa stres dan rasa khawatir keduanya
mempunyai efek fisik dan mental. Mempelajari keterampilan untuk mengurangi dampak
stres merupakan pertolongan yang paling efektif. Mengenali, menghadapi dan menantang
kekhawatiran yang berlebihan dapat mengurangi gejala anxietas. Kenali kekhawatiran
yang berlebihan atau pikiran yang pesimistik. Latihan fisik yang teratur sering menolong.
Medikasi merupakan terapi sekunder, tapi dapat digunakan jika dengan konseling gejala
menetap. Medikasi anxietas : misal Diazepam 5 mg malam hari, tidak lebih dari 2
minggu, Beta bloker dapat membantu mengobati gejala fisik, antidepresan bila ada
depresi. Konsultasi spesialistik bila anxietas berat dan berlangsung lebih dan 3 bulan.

GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI


Kategori campuran ini harus digunakan bilamana terdapat gejala anxietas maupun
depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat
untuk menegakkan diaognosis tersendiri.
GANGGUAN SOMATOFORM
dr. Engelberta Pardamean, SpK
JI. Kikir 57/75, Kayu Putih, Jakarta Timur
1975-1976 : Dokter Umum di RS Metro, Lampung Tengah, 1976-1980 Puskesmas Mardi
Waluyo, Metro Lampung Tengah
1980-1984 : Palang Merah Indonesia Pusat
1984-1986: Direktorat RS Khusus dan Swasta Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI , Jakarta.
1986 -1989: Direktorat Kesehatan Jiwa, DirJen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta
1992-2000 : Psikiater di Direktorat Kesehatan Jiwa DirJen Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI , Jakarta.
1991 – sekarang Psikiater RS Omni Medical Center
2001 – sekarang Dosen tidak tetap Fakultas Kedokteran FK UKRIDA Jakarta.

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang
adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan
emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di
dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan,
dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari
atau gangguan buatan.
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:

 Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ.
 Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
 Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien
bahwa ia menderita penyakit tertentu.
 Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-lebihan
bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
 Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor
psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform:
 Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan salah
satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi

1. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
2. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang
waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau
fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum,
selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri
(misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri
(misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan
di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan
ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran
selain pingsan).
3. Salah satu (1)atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang
ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, atau temuan laboratorium.
4. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau
pura-pura).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi

1. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik
yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
2. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau
eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain.
3. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura).
4. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman
yang diterima secara kultural.
5. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
6. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-
mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:
Dengan gejata atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik
Dengan kejang atau konvulsi
Dengan gambaran campuran

Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis

1. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit
serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.
2. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman.
3. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional, tipe
somatik) dan tidakterbatas pada kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan
dismorfik tubuh).
4. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
5. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
6. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan
somatoform lain.

Sebutkan jika:
Dengan tilikan buruk: jika untuk sebagian besar waktu selama episode berakhir, orang tidak
menyadari bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan atau tidak
beralasan.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh

1. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali
tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyat.
2. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
3. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri

1. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup
parah untuk memerlukan perhatian klinis.
2. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
3. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau
bertahannnya nyeri.
4. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura).
5. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan
psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Tuliskan seperti berikut:


Gangguan nyeri berhubungan dengan faktor psikologis: faktor psikologis dianggap memiliki
peranan besar dalam onset, keparahan, eksaserbasi, dan bertahannya nyeri.
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih

Gangguan nyeri berhubungan baik dengan faktor psikologls maupun kondisi medis umum
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih
Catatan: yang berikut ini tidak dianggap merupakan gangguan mental dan dimasukkan untuk
mempermudah diagnosis banding.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan

1. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
2. Salah satu (1)atau (2)
1. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis
umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi,
obat, atau alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.
3. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
4. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
5. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan
somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau
gangguan psikotik).
6. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan
atau berpura-pura)

GANGGUAN PSIKOSOMATIK
Penggunaan kata ―psikosomatik ―baru digunakan pada awal tahun 1980-an. Istilah tersebut dapat
ditemukan pada abad ke-19 pada penulisan oleh seorang psikiater Jerman Johann Christian
Heinroth dan psikiater lnggns John Charles Bucknill.

Nosologi DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) Psikosomatis


Untuk membuat kategori secara klinis, DSM-IV mengandung format subkategorisasi yang
membuat dokter dapat menspesifikasikan jenis faktor psikologis atau tingkah laku yang
mempengaruhi kondisi medis pasien. Faktor-faktor tersebut dirancang sedemikian mencakup
jangkauan yang luas dari fenomena psikologis dan tingkah laku yang tampaknya mempenganuhi
kesehatan fisik.
Kriteria Diagnostik Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi Medis

1. Adanya suatu kondisi medis umum (dikodekan dalam Aksis III)


2. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis umum dengan salah satu cara berikut:
1. Faktor yang mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum ditunjukkan oleh hubungan erat
antara faktor psikologis dan perkembangan atau eksaserbasi dan, atau keterlambatan
penyembuhan dan, kondisi medis umum.
2. Faktor yang mengganggu pengobatan kondisi medis umum.
3. Faktor yang membuat risiko kesehatan tambahan bagi individu.
4. Respons fisiologis yang berhubungan dengan stres menyebabkan atau mengeksaserbasi
gejala-gejala kondisi medis umum.

Pilihlah nama bendasarkan sifat faktor psikologis (bila terdapat lebih dan satu faktor, nyatakan
yang paling menonjol)
Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (seperti gangguan depresif berat
memperiambat pemulihan dan infark miokardium)
Gejala psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala depresif memperlambat
pemulihan dan pembedahan; kecemasan mengeksaserbasi asthma)
Sifat kepribadlan atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis(misalnya
penyangkaian psikologis terhadap pembedahan pada seorang pasien kanker, perilaku bermusuhan
dan tertekan menyebabkan penyakit kandiovaskular).
Perilaku kesehatan maladaptif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak olahraga, seks
yang tidak aman, makan benlebihan).
Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi medis
umum (misalnya eksaserbasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau tension headache yang berhubungan
dengan stres).
Faktor psikologis lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi medis (misalnya faktor
interpersonal, kultural, atau religius)

I. Gangguan Gastrointestinal

1. Ulkus Peptikum
Merupakan ulserasi pada membran mukosa lambung atau duodenum, berbatas jelas, menemus ke
mukosa muskularis dan terjadi di daerah yang terkena asam lambung dan pepsin.
Etiologi
Teori spesifik
Alexander menghipotesiskan bahwa frustasi kronis dari kebutuhan ketergantungan yang kuat
menyebabkan konflik bawah sadar yang spesifik.
Konflik bawah sadar tersebut menyinggung ketergantungan kuat akan keinginan reseptif-oral
untuk disayangi dan dicintai, menyebabkan rasa lapar dan kemarahan bawah sadar yang regresif
dan kronis.
Reaksi dimanifestasikan secara psikologis oleh hiperaktivitas vagal persisten yang menyebabkan
hipersekresi asam lambung, yang terutama jelas pada orang yang memiliki predisposisi genetik.
Pembentukan ulkus dapat terjadi.
Faktor genetik dan kerusakan atau penyakit organ yang telah ada sebelumnya (contohnya
gastritis)adalah penyebab yang penting.
Terapi
Psikoterapi diarahkan pada konflik ketergantungan pasien.
Biofeedback dan terapi relaksasi berguna.
Terapi medis dengan cimetidine (Tagamet), ranitidine (Zantac), sucralfate (Carafate), atau
famotidine (Pepcid), serta pengendalian diet diindikasikan dalam penatalaksanaan ulkus. Obat
antimikrobial pada ulkus akibat H. Pylon.
2. Kolitis Ulseratif
Penyakit ulseratif inflamatoris kronis pada kolon, biasanya disertai diare berdarah. Insidensi
familial dan faktor genetik penting.
Tipe kepribadian: sifat kepribadian kompulsif yang menonjol. Pasien adalah seorang yang
pembersih, tertib, rapi, tepat waktu, hiperintelektual, malumalu, dan terinhibisi dalam
mengungkapkan kemarahan.
Etiologi
Teori spesifik:
Alexander menggambarkan kumpulan konflik spesifik pada kolitis ulseratif yaitu
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban (biasanya tidak patuh) sampai kepada inti
ketergantungan. Ketergantungan yang mengalami frustasi menstimulasi perasaan agresif-oral,
menyebabkan rasa bersalah dan kecemasan. Menghasilkan pemulihan melalui diare.
Terapi
Psikoterapi yang tidak konfrontatif dan suportif diindikasikan pada kolitis ulseratif.
Terapi medis seperti obat antikolinergik dan antidiare.
3. Obesitas
Akumulasi lemak berlebihan; berat badan melebihi 20 % berat badan seharusnya.
Pertimbangan psikosomatik
Terdapat predisposisi genetik dan faktor perkembangan awal ditemukan pada obesitas masa anak-
anak.
Faktor psikologis penting pada obesitas hiperfagik (makan berlebihan), khususnya pada makan
pesta pora.
Faktor psikodinamika yang diajukan antara lain fiksasi oral, regresi oral, dan penilaian berlebihan
terhadap makanan.
Pasien memiliki riwayat penghindaran terhadap citra tubuh dan kebiasaan awal yang buruk dalam
asupan makanan.
Terapi
Dikendalikan melalui pembatasan diet dan penurunan asupan kalori.
Dukungan emosional dan modifikasi perilaku membantu mengatasi kecemasan dan depresi yang
berhubungan dengan makan berlebihan dan diet.
4. Anoreksia Nervosa
Perilaku yang diarahkan untuk:
 Menghilangkan berat badan.
 Pola aneh dalam menangani makanan.
 Penurunan berat badan.
 Rasa takut yang kuat terhadap kenaikan berat badan.
 Gangguan citra tubuh.
 Amenore pada wanita.
II. Gangguan Kardlovaskular

5. Penyakit Arteri Koroner


Penurunan aliran darah ke jantung. Ditandai oleh rasa nyeri, tidak nyaman, tekanan pada dada dan
jantung secara episodik.
Biasanya ditimbuikan oleh penggunaan tenaga dan stres.
Tipe kepribadian
 Flanders Dunbar: pasien penyakit koroner berkepribadian agresifkompulsif, cendenung
bekerja dengan waktu panjang, dan untuk meningkatkan kekuasaan.
 Meyer Fiedman dan Ray Rosenman: kepriibadian tipe A dan B.
 Kepribadian tipe A berhubungan kuat dengan penyakit jantung koroner.
Orang yang berorientasi tindakan berjuang keras untuk mencapai tujuan dengan cara
permusuhan yang kompetitif. Memiliki peningkatan jumlah lipoprotein densitas rendah,
kolesterol serum, trigliserida, dan 17- hidroksikolestenol.
 Kepribadian tipe B: santai, kurang agresif, kurang aktif berjuang mencapai tujuannya.
Terapi: Jika terjadi oklusi koroner, digunakan berbagai medikasi bagi status jantung pasien.
Untuk menghilangkan ketegangan psikis, digunakan psikotropika (contoh diazepam / valium).
Rasa sakit diobati dengan analgesik (contoh morfin). Terapi medis harus suportif dengan
penekanan psikologis untuk menghilangkan stres psikis, kompulsif, dan ketegangan.
6. Hipertensi Esensial
Tipe kepribadian
Orang hipertensif tampak dari luar menyeriangkan, patuh, dan kompulsif; walaupun kemarahan
mereka tidak diekspresikan secara terbuka, memiliki banyak kekerasan yang terhalangi.
Predisposisi genetik untuk hipertensi; yaitu bila terjadi stres kronis pada kepribadian kompulsif
yang telah merepresi dan menekan kekerasan.
Terapi: Psikoterapi suportif dan teknik perilaku (contoh: biofeedback, meditasi, terapi relaksasi).
Pasien harus patuh dengan regimen medikasi anti hipertensi.
7. Gagal Jantung Kongestif
Gangguan di mana jantung gagal memompa darah secara normal, menyebabkan kongesti paru
dan menurunkan aliran darah jaringan dengan penurunan curah Jantung.
Faktor psikologis, seperti stres dan konflik emosional nonspesifik, seringkali bermakna dalam
mulainya atau eksaserbasi gangguan.
Psikoterapi suportif penting dalam pengobatannya.
8. Sinkop Vasomotor (Vasodepresor)
Ditandai oleh kehilangan kesadaran (pingsan) secara tiba-tiba yang disebabkan oleh serangan
vasovagal.
Menurut Franz Alexander, rasa khawatir atau takut menghambat impuls untuk berkelahi atau
melarikan diri. Dengan demikian menampung darah di anggota gerak bawah, dari vasodilatasi
pembuluh darah di dalam tungkai. Reaksi tersebut menyebabkan penurunan pengisian ventrikel,
penurunan pasokan darah ke otak, dan akibatnya hipoksia otak dan kehilangan kesadaran.
Terapi: Psikoterapi harus digunakan untuk menentukan penyebab ketakutan atau trauma yang
berhubungan dengan sinkop
9. Aritmia Jantung
Aritmia yang potensial membahayakan hidup (seperti palpitasi, takikardi ventrikular, dan fibrilasi
ventrikular), kadang-kadang terjadi bersama dengan luapan emosional. Juga berhubungan dengan
trauma emosional adalah takikardi sinus, perubahan gelombang ST dan gelombang T,
peningkatan katekolamin plasma, dan konsentrasi asam lemak bebas.
Stres emosional tidak spesifik, dan penjelasan kepribadian yang berhubungan dengan gangguan.
Terapi: Psikoterapi dan obat penghambat beta (propanolol, dll)
10. Fenomena Raynaud
Sianosis bilateral paroksismal idiopatik pada jail karena kontraksi arteniolan.
Kontraksi arteniolar seringkali disebabkan oleh stres ekstemal.
Terapi: dapat diobati dengan psikoterapi suportif, relaksasi progresif, atau biofeedback dengan
melindungi tubuh dari dingin dan menggunakan sedatif ringan. Merokok harus dihentikan.
11. Jantung Psikogenik Bukan Penyakit
Pasien menunjukkan keprihatinan morbid tentang jantungnya dan rasa takut akan penyakit
jantung yang meningkat.
Rasa takut dapat timbul dan masalah kecemasan, yang dimanifestasikan oleh fobia atau
hipokondriasis parah, sampai keyakinan vaham bahwa mereka menderita penyakit jantung.
Banyak pasien menderita akibat sindroma yang kurang jelas ini seringkali dinamakan astenia
neurosirkulatorik.
Astenia neurosirkulatonik pertama kali digambarkan tahun 1871 oleh Jacob M. DaCosta, yang
menamakannya jantung iritabel (irritable hearth).
Dokter psikiatrik cenderung memandang sebagai varian klinik dari gangguan kecemasan,
walaupun tidak ditemukan dalam DSM-IV.
 >Kriteria diagnostik astenia neurosirkulatorik:
 Keluhan pemapasan seperti pemapasan yang resah, tidak dapat menarik napas dalam,
tercekik dan tersedak, dan sesak napas.
 Palpitasi, nyeri dada, atau rasa tidak enak.
 Kegugupan, pening, pingsan, atau rasa tidak enak di puncak kepala.
 Kelelahan yang tidak hilang-hilang atau pembatasan aktivitas.
 Keringat berlebihan, insomnia, dan iritabilitas.
 Gejala biasanya mulai pada mulai masa remaja atau pada awal usia 20-an.
 Gejala tertentu adalah dua kali lebih sering pada wanita dan cenderung kronis, dengan
eksaserbasi akut rekuren.
 Terapi:
 Penatalaksanaan astenia neurosirkulatorik mungkin sulit. Elemen fobik adalah menonjol.
 Psikoterapi ditujukan untuk mengungkapkan faktor psikodinamik-seringkali
menghubungkan dengan permusuhan, impuls seksual yang tidak dapat diterima,
ketergantungan, rasa bersalah, dan kecemasan akan mati. Tetapi mungkin efektif pada
beberapa kasus, karena beberapa pasien mungkin menghindari bantuan psikiatrik.
 Teknik perilaku lain mungkin berguna. Program latihan fisik ditujukan untuk mengkoreksi
kebiasaan pemapasan yang buruk dan secara bertahap meningkatkan toleransi kerja
pasien. Program ini dapat dikombinasikan dengan psikoterapi kelompok.

III. Gangguan Pemapasan

Asma Bronkialis
Penyakit obstruktif rekuren pada jalan napas bronkial, cenderung berespon terhadap berbagai
stimuli dengan konstriksi bronkial, edema, dan sekresi yang berlebihan.
Faktor genetika, alergik, infeksi, dan stres akut dan kronis berkombinasi untuk menimbulkan
penyakit.
Faktor psikologis: tidak ada tipe kepribadian spesifik yang telah diidentifikasi. Alexander
mengajukan faktor konfliktual psikodinamika, karena ia menemukan pada banyak pasien asma
adanya harapan yang tidak disadari akan perlindungan dan untuk diselubungi oleh ibu atau
pengganti ibu. Tokoh ibu cenderung bersikap melindungi adan cemas secara berlebihan,
perfeksionis, berkuaasa, dan menolong. Jika proteksi tersebut tidak didapatkan, serangan asthma
terjadi, karena ia menemukan pada banyak pasien asma adanya harapan yang tidak disadari akan
perlindungan dan untuk diselubungi oleh ibu atau pengganti ibu. Tokoh ibu cenderung bersikap
melindungi adan cemas secara berlebihan, perfeksionis, berkuaasa, dan menolong. Jika proteksi
tersebut tidak didapàtkan, serangan asma terjadi.
Terapi: beberapa pasien asma membaik dengan dipisahkan dan ibu (disebut parentektomi). Semua
psikoterapi standar digunakan: individual, kelompok, perilaku(desensitisasi sistematik), dan
hipnotik.6,8,9
Hay Fever
Faktor psikologis yang kuatberkombinasi dengan elemen alengi.
Terapi: faktor psikiatrik, medis, dan alergik harus dipertimbangkan.
1.
2.
3. Sindroma Hiperventilasi
Pasien hiperventilasi bennapas cepat dan dalam selama beberapa menit, merasa ningan, dan
selanjutnya pingsan karena vasokonstriksi serebral dan alkalosis respiratonik.
Differential diagnosis pada psikiatrik adalah serangan kecemasan, panik, skizofnenia, gangguan
kepribadian histnionik, dan keluhan fobik atau obsesif
Terapi: harus diberikan instruksi atau latihan ulang benhubungan dengan gejala tertentu dan
bagaimana gejala tersebut ditimbulkan oleh hiperventilasi, sehingga pasien secana sadar
menghindani pencetus gejala. Bemafas ke dalam sebuah kantong dapat menghentikan serangan.
Psikoterapi suportif juga diindikasikan.
Tuberkulosis
Onset dan perburukan tubenkulosis seringkali berhubungan dengan stres akutdan kronis.
Faktor psikologis mempenganuhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi dayatahan pasien
terhadap penyakit.
Penanan stres pada insidensi tuberkulosis belum dipelajari secara menyeluruh, tetapi sebagian
besan pasien AIDS memiliki komplikasi psikiatrik dan neunologis dan besar kemungkinannya
mengalami stres.
Psikoterapi suportif berguna karena adanya peranan stres dan situasi psikososial yang rumit.

IV. Gangguan Endokrin

1. Hipertiroidisme
Suatu sindroma yang ditandai oieh perubahan biokimiawi danpalkologis yang terjadi sebagai
akibat dan kelebihan hormon_tiroid~eñdogen atau eksogen yang kronis.
Pertimbangan psikosomatik
Pada orang yang terpredisposisi secara genetik, stres seringkali disentai dengan onset
hipertiroidisme.
Menurut teori psikoanalitik, selama masa anak-anak, pasien hipertiroid memiliki penlekatan yang
tidak lazim dan ketergantungan pada onangtua, biasanya kepada ibu. Mereka menjadi tidak tahan
terhadap ancaman penolakan dani ibu. Sebagai anak-anak, pasien tersebut seringkali memiliki
dukungan yang tidak adekuat karena stres ekonomi, perceraian, kematian, atau banyak saudara
kandung. Keadaan ml menyebabkan stres awal dan pemakaian benlebihan sistem endoknin dan
frustrasi lebih lanjut.
Dukungan yang tidak adekuat karena stres ekonomi, perceraian, kematian, atau banyak saudara
kandung. Keadaan ml menyebabkan stnes awal dan pemakaian benlebihan sistem endoknin dan
frustrasi lebih lanjut.
Terapi: medikasi antitiroid, tranquilizer, dan psikotenapi suportif.
2. Diabetes Melitus
Gangguan metabolisme dan sistem vaskular dimanifestasikan gangguan pengaturan giukosa,
lemak, dan protein tubuh
Onset yang mendadak seringkali berhubungan dengan stres emosional, yang mengganggu
keseimbangan homeostatik pada pasien yang terpredisposisi.
Faktor psikologis yang tampaknya penting adalah faktor yang mencetuskan perasaan fnustnasi,
kesepian, dan kesedihan.
Pasien diabetik biasanya mempertahankan kontnol diabetiknya. Jika mengalami depresi atau
merasa sedih, mereka seringkaii makan atau ininum benlebihan yang merusak diri sendini,
sehingga diabetes menjadi tidak terkendali.
Terapi: psikotenapi suportif dipenlukan untuk mencapai kerjasama dalam penatalaksanaan medis
dani penyakit kompleks. Terapi harus mendorong pasien diabetik untuk menjalani kehidupan
senonmal mungkin, dengan menyadari bahwa mereka memiliki penyakit kronis yang dapat
ditangani.
3. Gangguan Endokrin Wanita
Sindroma pramenstruasi (Premenstrual Syndrome! PMS)
Merupakan gangguan disforik pramenstruasi, ditandai oleh perubahan subjektmfsikiis dalam
mood dan rasa kesehatan fisik dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi.
Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secana bertahap, dan mencapai
intensitas maksimum kira-kira lima han sebelum menstruasi dimulai.
Faktor psikologis, sosial, dan biologis telah terlibat di dalam patogenesis gangguan.
Perubahan kadar estrogen, progesteron, androgen, dan proiaktin telah dihipotesiskan berperan
penting dalam penyebab.
Peningkatan prostaglandin tenlibat dalam rasa nyerii yang benhubungan dengan gangguan.
Gangguan disfonik paramenstruasi juga terjadi pada wanita setelah menopause dan setelah
histerektomi.
Penderltaan Menopause (Menopause Distress)
Peristiwa fisiologis alami, terjadi setelah tidak ada peniode menstnuasi selama satu tahun. Juga
teijadi segera setelah pengangkatan ovarium.
Gejala psikologis tenmasuk kelelahan, kecemasan, ketegangan, labilitas emosional, initabilitas
(mudah marah), depresi, dan insomnia.
Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka merah, rasa panas (hot flushes)
Faktor psikologis dan psikososial
Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri yang rendah dan
kepuasan hidup rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama menopause.
Respon seorang wanita terhadap menopause telah ditemukan sejalan dengan responnya dengan
peristiwa kehidupan panting di dalam hidupnya, seperti pubertas dan kehamilan.
Wanita yang tenikat pada banyak melahirkan anak dan aktivitas mengasuh anak paling rentan
untuk mendenita selama tahun-tahun menopause.
Permasalahan tentang ketuaan, kehilangan kemampuan metahinkan anak, dan perubahan
penampilan dipusatkan pada kepentingan sosial dan simbolik yang melekat pada perubahan fisik
menopause.
Penelitian epidemiologis tidak menunjukkan peningkatan gejala gangguan mental atau depresi
selama tahun-tahun menopause, dan penelitian tentang keluhan psikologis tidak menemukan
adanya frekuensi yang lebih besar pada wanita menopause.
Terapi: gangguan psikologis harus dipeniksa dan diobati tenutama oleh tindakan psikotenapetik
dan sosioterapettik yang sesuai. Psikoterapi harus tenmasuk penggalian stadium kehidupan dan
anti ketuaan dan reproduksi bagi pasien. Pasien harus didorong untuk menenima menopause
sebagai penistiwa kehidupan alami dan untuk mengembangkan aktivitas, ininat, dan kepuasaan
baru. Psikoterapi juga harus memperhatikan dinamika keluarga. Sistem pendukung keluarga dan
sosial Iainnya jika diperlukan.
Amenore Idiopatik
Hilangnya siklus menstruasi normal pada wanita yang tidak hamil dan pramenopause tanpa
adanya kelainan stuktural otak, hipofisis, atau ovarium.
Amenore dapat teijadi sebagai salah satu cmi sindroma psikiatrik klinis yang kompleks, seperti
anoneksia nervosa dan pseudokiesis.
Fungsi menstruasi yang terganggu (menstruasi yang lebih cepat atau lambat) adalah respons
seorang wanita sehat terhadap stres. Stres ringan seperti meninggalkan numah untuk masuk ke
perguruan tinggi atau stres berat dapat berpenganuh.
Sebagian besar wanita, siklus menstruasi kembali normal tanpa adanya intervensi medis,
walaupun kondisi stres terus berjalan.
Psikoterapi dilakukan untuk alasan psikologis, bukan hanya sebagai nespon terhadap gejala
amenone. Jika amenore sukar diobati, psikoterapi dapat membantu memulihkan menstruasi yang
teratur.

V. GANGGUAN KULIT

Pruritus menyeluruh
lstilah ―pruritus psikogenik menyeluruh‖ (generalized psychogenic pruritis) menyatakan bahwa
tidak ada penyebab organik.
Konflikemosional tampaknya menyebabkan terjadinya gangguan.
Emosi yang paling sering menyebabkan pruritus psikogenik menyeluruh adalah kemarahan dan
kecemasan yang terepresi. Kebutuhan akan perhatian merupakan karakteristik umum pada pasien.
Menggaruk kulit memberikan kepuasaan pengganti utnuk kebutuhan yang mengalami frustrasi,
dan menggaruk mencerminkan agresi yang dibalikkan kepada diri sendiri
Pruritus setempat
Pruritus ani. Penelitian menunjukkan riwayat iritasi lokal atau faktor sisemik umum. Keadaan ini
merupakan keluhan yang mengganggu pekerjaan dan aktivitas sosial. Penelitian terhadap
sejumlah besar pasien mengungkapkan bahwa penyimpangan kepribadian seringkali mendahului
kondisi dan gangguan emosional seringkali mencetuskan gejala ini.
Pruritus vulva. Pada beberap pasien, kesenangan yang didapat dani menggosok dan menggaruk
adalah disadani. Mereka menyadari bahwa ml adalah simbolik dan masturbasi. Tetapi elemen
kesenangan dinepresi. Sebagian besar pasien yang diteliti memberikan riwayat panjang frustrasi
seksual, seringkali diperkuat pada saat onset pruritus.
1. Hiperhidrosis
Keadaan takut, marah, dan tegang dapat menyebabkan meningkatnya sekresi keringat.
Benkeringat pada manusia memiliki dua bentuk berbeda: termal dan emosional.
Berkeringat emosional terutama pada telapak tangan, telapak kaki, dan aksiia.Berkeringat termal
paling jelas pada dahi, leher, batang tubuh, punggung tangan, dan lengan bawah.
Kepekaan nespon berkeringat emosional merupakan dasan untuk pengukunan keringat melalui
respon kulit galvanik (alat penting dalam penelitian psikosomatik), biofeedback, dan poligrafi
(tes detektor kebohongan.
Di bawah keadaan stres emosional, hipenhidnosis menyebabkan perubahan kulitsekunder, warn
kulit, lepuh, dan infeksi.
Hiperhidrosis dapat dipandang sebagal fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistern
sanafotonom.

VI. GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

Artrltls Rematold
Ditandai oleh nyeri muskuloskeletal kronis yang disebabkan oleh penyakit peradangan pada
sendi.
Memiliki faktor penyebab herediter, alergik, mmunologi, dan psikologi yang penting.
Stres psikologis mempredisposisikan pasien pada artritis rematoid dan penyakitautoimun lain
melalui supresi kekebalan.
Pasien merasa tenkekang, terikat, dan terbatas. Mereka seringkali memiliki rasa marah yang
terepresi karena terbatasnya fungsi otot-otot mereka, sehingga memperberatkekakuan dan
imobilitas mereka.
Terapi: psikoterapi suportif selama serangan kronis. Istirahat dan latihan harus terstnuktur, dan
pasien harus didorong untuk tidak menjadi tenikat pada tempat tidur dan kembali ke aktivitas
mereka sebelumnya.
LowBackPain
Nyeri punggung bawah seringkali dilaponkan pasien bahwa nyerinya dimulai pada saat trauma
psikologis atau stres.
Reaksi pasien terhadap nyeri tidak sebandmng secara emosional, dengan kecemasan dan depresi
yang berlebihan.
Terapi berupa psikotenapi suportif tentang trauma emosional pencetus, terapi relaksasi, dan
biofeedback. Pasien harus didorong kembali ke aktivitas mereka segera mungkin.

VII .PSIKO-ONKOLOGI
Karena kemajuan pengobatan telah mengubah bahwa kanker dari tidak dapat disembuhkan
menjadi penyakit yang seringkali kronis dan sering dapat diobati, aspek psikiatrik dan kanker
(reaksi terhadap diagnosis dan terapi) semakin penting.

Masalah Paslen
Jika pasien mengetahui bahwa mereka menderita kanken, reaksi psikologis mereka adalah rasa
takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa takut ditelantarkan dan kehilangan
kemandirian, rasa takut diputuskan dan hubungan, fungsi peran, dan finansial; dan penyangkalan,
kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Kira-kira separuh pasien kanken menderita gangguan
mental. Di antaranya gangguan penyesuaian (68%). Dengan gangguan depresif berat (13%) dan
delirium (8%) merupakan diagnosis selanjutnya yang tersering. Walaupun pikiran dan keinginan
bunuh diri sering ditemukan pada pasien kanker, insidensi bunuh din sebenarnya hanya 1.4
sampai 1.9 kali dari yang ditemukan pada populasi umum

Faktor Kerentanan Bunuh Diri pada Paslen Kanker

 Depresi dan putus asa


 Nyeri yang tidakterkendali baik
 Delirium ringan (disinhibisi)
 Perasaan hilang kendali
 Kelelahan
 Kecemasan
 Psikopatologi yang telah ada sebelumnya (penyalahgunaan zat, patologi karakter, gangguan
psikiatrik utama)
 Masalah keluarga
 Ancaman dan riwayat usaha bunuh din sebelumnya
 Riwayat positif bunuh diri pada keluarga
 Faktor risiko lain yang biasanya digambarkan pada pasien psikiatrik
CONSULTATION – LIAISON PSYCHIATRY (PSIKIATRI KONSULTASI-
PENGHUBUNG)
Dalam psikiatri konsultasi-penghubung (consultation-liaison I C-L psychiatiy), yaitu suatu bidang
keahlian yang berkembang dengan cepat dan semakin diperhatikan. Dokter psikiatrik berperan
sebagai konsultan bagi sejawat kedokteran atau profesional kesehatan mental lainnya. Pada
umumnya, psikiatnl C-L adalah berhubungan dengan semua diagnosis, terapetik, riset, dan
pelayanan pendidikan yang dilakukan dokter psikiatrik di rumah sakit umum dan berperan
sebagaijembatan antara psikiatrik dan spesialisasi lainnnya.
Dokter psikiatrik C-L harus mengerti banyak penyakit medis yang dapattampak dengan gejala
psikiatrik. Alat yang dimiliki oleh dokter psikiatrik C-L adalah wawancara dan observasi klinis
serial. Tujuan diagnosis adalah untuk mengidentifikasi gangguan mental dan respon psikologis
tenhadap penyakit fisik, mengidentifikasi diri kepribadian pasien, dan mengidentifikasi teknik
mengatasi masalah yang karakteristik dari pasien..
Rentang masalah yang dihadapi dokter psikiatrik C-L adaiah luas. Penelitian menunjukkan bahwa
sampal 65 % pasien nawat map medis memiliki gangguan psikiatrik. Gejala paling sering adalah
kecemasan, depresi, dan diorientasi.

Masalah konsultasl-penghubuñg yang serlng:

 Usaha atau ancaman bunuh din


 Depresi
 Agitasi
 Halusinasi
 Gangguantidur
 Gejala tanpa dasar onganmk
 Disonientasi
 Ketidakpatuhan atau menolak menyetujui suatu prosedur

TERAPI GANGGUAN PSIKOSOMATIS


Konsep penggabungan psikoterapetik dan pengobatan medis, yaitu pendekatan yang menekankan
hubungan pikiran dan tubuh dalam penbentukan gejala dan gangguan, memerlukan tanggung
jawab bersama di antara berbagai profesi. Permusuhan, depresi, dan kecemasan dalam berbagai
proporsi adalah akar dan sebagian besar gangguan psikomatik. Kedokteran psikosomatik terutama
mempermasalahkan penyakit-penyakit tersebut yang menampakkan manifestasi somatik.
Terapi kombinasi merupakan pendekatan di mana dokter psikiatrik menangani aspek psikiatrik,
sedangkan dokter ahli penyakit dalam atau dokter spesialis lain menangani aspek somatik. Tujuan
terapi medis adalah membangun keadaan fisik pasien sehingga pasien dapat berperan dengan
berhasil, serta psikoterapi untuk kesembuhan totalnya. Tujuan akhirnya adalah kesembuhan, yang
berarti resolusi gangguan struktural dan reorganisasi kepribadian. Psikoterapi kelompok dan
terapi keluarga. Terapi keluarga menawarkan harapan suatu perubahan dalam hubungan keluarga
dan anak, mengingat kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan
gangguan psikosomatik. keluarga dan anak, mengingat kepentingan psikopatologis dari hubungan
ibu-anak dalam perkembangan gangguan psikosomatik.

KESIMPULAN

 Gangguan psikosomatis merupakan gangguan yang melibatkan antara pikiran dan tubuh. Hal ini
berarti bahwa adanya faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis.
 Komponen emosional memainkan penanan penting pada gangguan psikosomatis.
 Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepnibadian seseorang.
 Gangguan psikosomatis dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di dalam tubuh sehingga
memerlukan penanganan secara terintegrasi dari ahli medis dan ahli psikiatri.
 Pengobatan gangguan psikosomatik dani sudut pandang psikiatrik adalah tugas yang sulit.
 Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan fungsi dan untuk membantu
pasien mengerti sifat penyakitnya.
 Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan lebih sehat.
 Terapi kombinasi sangat bermanfaat untuk mencapai resolusi gangguan struktural dan
reorganisasi gangguan kepribadian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.l dan Saddock B.J. 1993. Comprehensive Textbook of Psychiatry vol.2 6th edition.
USA: Williams and Wilikins Baltimore.
2. Wiguna, Imade (editor). 1997. Sinopsis Psikiatri jilid 2. Jakrta: BinanupaAksara.
3. ―Psychosomatic Medicine: The Puzzling Leap‖. Diakses dan:
http://www.nlm.nih.gov/hmd/emotions/images/2b25b.jpg pada tanggal 20 Agustus 2007 pukul
17.00 WIB.
4. ―Physiology of Stress I Psychosomatic Medicine.‖ Diakses dan:
http://home.earthlink.netl—gniesinger/nillness.htm pada tanggal 20 Agustus 2007 pukul 17.10
WIB.
5. KoIb, Lawrence. 1968. Noyes‘ Modern Clinical Psychiatry 7th edition Asman edition.
Philadelpia : W.B Saunders Company.
6. ―Psychosomatic Disorders.‖ Diakses dan:
http://www.surgerydoor.co.uk/medical_conditions/lndiceslP/psychosomatic_disordens.htm pad
a tanggal 21 Agustus 2007 pukul 20.05 WIB.
7. ―Psychosomatic Disoders.‖ Diakses dan:
http:llwww.patient.co.uk/showdoc/27000225/ pada tanggal 21 Agustus 2007 pukul 19.50 WIB
8. ―Psychosomatic Disorders.‖ Diakses dani:
http://en.wikipedia.org/wiki/Medically_unexplained_physical_symptoms pada tanggal
2oAgustus 2007 pukul I 8.45 WIB.
9. Indonesia, Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Ill cetakan pertama. Jakarta:
Departemen Kesehatan.
10. Wittkower, Enic.D dan Hector Wannes (editor). 1977. Psychosomatic Medicine Its Clinical
Applications. USA: Hanperand Row Publishers, Inc.
GEJALA, LATAR BELAKANG PERMASALAHAN DAN KEBUTUHAN ANAK
DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN HIPERAKTVITAS
(GPPH) DAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTISTIK
Dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)
Psikiater Anak dan Remaja

Pendahuluan
GPPH dan gangguan spektrum autistik merupakan dua buah kasus yang cukup sering
ditemukan dalam praktik sehari-hari. Walaupun berbeda dalam gejala dan perjalanan
penyakitnya, namun ke dua gangguan ini termasuk dalam gangguan perkembangan.
Sejak bayi dilahirkan, ia sudah berhadapan dengan proses belajar yang sangat tergantung pada
tingkat perkembangan yang telah dicapainya, yang akan menentukan kemampuan yang ada
dalam dirinya. Hal ini akan berjalan terus sampai anak masuk sekolah dan mengikuti proses
pembelajaran formal yang ada. Saat inilah, anak akan dirangsang untuk mengembangkan rasa
cinta akan belajar, kebiasaankebiasaan belajar yang baik dan rasa percaya diri sebagai pelajar
yang sukses. Namun tidak semua hal di atas selalu berjalan dengan lancar dan mulus, apalagi
pada anak dengan GPPH dan gangguan spektrum autistik yang mengalami berbagai
permasalahan dalam mengontrol perilaku dan emosinya.

1. Tinjauan singkat dan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/Hiperaktivitas (GPPH)


Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah anak yang
menunjukkan perilaku hiperaktif, impulsif serta sulit memusatkan perhatian dengan tingkat
yang lebih beratjika dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Di samping itu, kondisi di
atas juga disertai dengan beberapa gejala lain seperti adanya ambang toleransi frustrasi yang
rendah, disorganisasi, dan perilaku agresif. Kondisi ini tentunya menimbulkan penderitaan dan
hambatan bagi anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari, seperti berinteraksi dengan
teman sebaya, keluarga dan yang terpenting adalah mengganggu kesiapan anak untuk belajar.
Semua kondisi ini tentunya akan mengganggu prestasi belajar anak dan secara keseluruhan
akan membuat penurunan kualitas hidup anak dengan GPPH di kemudian hari.
Dalam berbagai penelitian epidemiologi yang telah dilakukan, didapatkan angka rata-rata
prevalensi berkisar antara 3-11%. Angka prevalensi untuk GPPH di Jakarta Pusat adalah 4.2 %.
Berdasarkan penelitian Saputro D (2004) dengan menggunakan instrumen Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder IV (DSM-IV) didapati angka sebesar 2.2 % untuk tipe
hiperaktif & impulsif, 5.3% untuk tipe campuran hiperaktif-impulsif dan inatensi, serta 15.3 %
untuk GPPH tipe inatensi. Walaupun demikian jumlah kasus yang datang untuk mencari
pengobatan umumnya masih sangat rendah oleh karena pengetahuan dan kepedulian orang tua,
guru dan masyarakat sekitar masih sangat rendah

1.1. Kriteria Diagnostik


Untuk membuat diganosis maka dibutuhkan data perilaku dan respons emosi anak baik di
rumah maupun di sekolah. Untuk keperluan ini maka dilakukan wawancara psikiatrik dengan
berbagai sumber seperti orang tua, guru dan pengasuh serta kelompok teman sebayanya atau
saudara kandung. Disamping itu juga dilakukan observasi serta wawancara psikiatrik langsung
pada anak, sehingga didapatkan data yang akurat untuk membuat diagnosis. Sampai saat ini
diagnosis dibuat berdasarkan kriteria dan DSMIV.

Berdasarkan DSM IV maka kriteria diagnostik GPPH adalah sebagai berikut;

1. Salah satu dari (1) atau (2):


1. Terdapat minimal enam (atau lebih) gejala-gejala inatensi berikut yang menetap dan telah
berlangsung sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sampai ke tingkat yang maladatif dan tidak
sesuai dengan tingkat perkembangan anak;
1. Sering gagal untuk memberikan perhatian yang baik terhadap hal-hal yang rinci atau sering
melakukan kesalahan yang tidak seharusnya/ceroboh terhadap pekerjaan sekolah, pekerjaan
lain atau aktivitas-aktivitas lainnya
2. Seringkali mengalami kesulitan untuk mempertahankan perhatian dalam melakukan tugas
tanggung jawabnya atau dalam kegiatan bermain
3. Seringkali tampak tidak mendengarkan (acuh) pada waktu diajak berbicara
4. Seringkali tidak mampu mengikuti aturan atau instruksi dan gagal dalam menyelesaikan
tugas-tugas sekolah, kegiatan sehari-hari atau pekerjaan di tempat kerja (tidak disebabkan
oleh karena Gangguan Perilaku Menentang atau kesulitan untuk memahami instruksi)
5. Seringkali mengalami kesulitan dalam mengorganisasikan tugas tanggung jawabnya atau
aktivitas-aktivitasnya
6. Seringkali menghindar, tidak suka atau menolak dalam kegiatan-kegiatan yang
memerlukan konsentrasi yang lama seperti dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah
7. Seringkali kehilangan barang-barang yang perlu digunakan untuk kegiatan-kegiatan atau
aktivitas-aktivitasnya (seperti mainan, pekerjaan sekolah, pensil, buku-buku, atau
peralatan-peralatan lainnya)
8. Mudah teralih perhatiannya oleh stimulus yang datang dari luar
9. Mudah lupa akan kegiatan yang dilakukan sehari-hari
2. Terdapat minimal enam (atau lebih) gejala-gejala hiperaktivtasimpulsivitas beriikut yang
menetap dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sampai ke tingkat yang
maladatif dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak:
Hiperaktivitas
0. Seringkali tidak bisa duduk diam atau kaki-tangannya bergerak-gerak terus dengan
gelisah
1. Seringkali tidak mampu duduk diam di kursinya di dalam kelas atau pada situasi dimana
anak diharapkan duduk diam
2. Seringkali berlari-lari atau memanjat-manjat secara berlebihan pada situasi-situasi yang
tidak sesuai atau pada situasi-situasi yang tidak seharusnya (misalnya pada remaja atau
orang dewasa, mungkin dibatasi oleh perasaan kegelisahan yang subjektif)
3. Seringkati mengalami kesulitan dalam bermain atau dalam kegiatan menyenangkan
bersama yang memerlukan ketenangan
4. Seringkali ‗bergerak‘ atau sepertinya ‗digerakkan oleh mesin‘
5. Seringkali berbicara berlebihan

Impulsivitas

6. Seringkali memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai diajukan


7. Seringkali mengalami kesulitan dalam menunggu giliran
8. Seringkali menginterupsi atau mengintrusi orang lain (misalnya dalam bermain atau
berbicara dengan orang di sekitarnya)
2. Beberapa gejala-gejala hiperaktif-impulsif atau inatensi yang menyebabkan gangguan ini
sudah timbul sebelum anak berusia 7 tahun
3. Gejala-gejala yang menyebabkan gangguan ini terjadi minimal pada 2 (dua) situasi/ tempat
yang berbeda (misalnya di sekolah atau tempat kerja dan di rumah)
4. Ada bukti yang jelas bahwa gejala-gejala ini menimbulkan gangguan klinis yang signifikan
di bidang sosial, akademik dan fungsi pekerjaan lainnya
5. Gejala-gejala tidak timbul secara eksklusif selama perjalanan penyakit Gangguan
Perkembangan Pervasif, Skizofrenia, atau Gangguan Psikotik lainnya dan tidak dapat
dijelaskan oleh gangguan mental lainnya (seperti gangguam mood, gangguan cemas, gangguan
disosiatif, atau gangguan kepribadian)

1.2. Permasalahan

 Anak dengan GPPH seringkali mengalami kesulitan dalam memenuhi berbagai tugas dan
tanggung jawabnya oleh karena adanya disfungsi pada aspek monitoring, persepsi, memon
dan kontrol motonknya. Banyak teon yang berusaha untuk menjelaskan hal mi dengan
berbagai kelemahan dan kekuatannya, namun hampir semuanya setuju bahwa fokus kelainan
pada GPPH adalah bersumber pada kompleksitas dan dimensi fungsi kognitif anak, sehingga
dapat dikatakan sebagai gangguan dengan adanya defisit dalam fungsi metakognisi anak.
Dengan demikian, anak dengan GPPH seringkali menunjukkan adanya defisit dalam proses
perencanaan, monitor dan regulasi perilaku. Oleh karena itu, led Virginia Douglas
menyatakan bahwa GPPH merupakan gangguan negulasi din dengan dampak yang pervasif
pada fungsi anak sehari-hari.
 Dan sudut pandang lain dikatakan bahwa, anak dengan GPPH menunjukkan adanya defisit
dan responsterhadap kontrol motorik, defisit pada pemenuhan gerakan motorik halus, dan
defisit dalam proses inhibisi terhadap pola respons perilaku yang sedang dilakukan. Hal ini
dikaitkan dengan adanya inhibisi perilaku yang kurang aktif dan gangguan pada proses sistim
pengembalian perilaku (behavioraireward system) pada anak dengan GPPH. Dengan
demikian, anak dengan GPPH senngkali menunjukkan masalah dalam berbagai tugas yang
memerlukan konsentrasi yang optimal dan akurasi serta aturan-aturan tententu. Hal ini
tentunya juga akan berkaitan dengan sikap motivasi yang rendah serta masalah dalam sistim
regulasi diri.
 Akibat yang terjadi adalah anak dengan GPPH seringkali mengalami kesulitan dalam
berbagai aspek kehidupannya seperti kesulitan belajar, kesulitan berinteraksi dengan teman
sebaya serta lingkungannya. Semua ini tentunya akan menurunkan kualitas hidup anak baik
saat ini maupun di kemudian hari

1.3. Tatalaksana
National Intistute of Mental Heaflh, dan juga organisasi professional lainnya di dunia seperti
AACAP (American Academy of Child and Adolescent Psychiatry) sepakat bahwa
penatalaksanaan anak dengan GPPH membutuhkan pendekatan yang multimodal, yang
mencakup pemberian obat-obatan, terapi perilaku, serta pemberian edukasi pada orang tua dan
guru. Berdasarkan pengalaman, hal di atas tampaknya sesuai dengan kenyataan yang ditemui
dalam praktik sehari-hari. Walaupun sudah tersedia beberapa obat pilihan untuk anak dengan
GPPH yang cukup baik seperti metilfenidat dengan mekanisme kerja jangka panjang maupun
OROS (Osmotic Release Oral System) yang mempunyai efektivitas sekitar 12 jam. Namun
orang tua, guru maupun anak dengan GPPH ternyata juga memerlukan beberapa pendekatan
penatalaksanaan lainnya.

2. Tinjauan Singkat dan Gangguan Spektrum Autistik


Merupakan salah satu jenis gangguan perkembangan pada anak yang kompleks dan berat
(termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif). Biasanya gejala sudah tampak sebelum
anak berusia 3 tahun. Gejala utama meliputi beberapa gangguan perkembangan dalam bidang;
komunikasi, interaksi resiprokal dan adanya perilaku yang terbatas atau perilaku stereotipik
lainnya.

Angka kejadian;

 Victor Lotter (1966), prevalensi diperkirakan sekitar 0.2-0.4 per mil. Namun saat ini
prevalensi diperkirakan sekitar 1.5-2.0 per mil.
 Ratio antara anak alaki-laki dan perempuan sekitar 2.6-4: 1
 Tidak ada perbedaan yang jelas dan antara ras, etnik, tingkat sosial ekonomi dan pendidikan
dalam terjadinya Gangguan Spektrum Autistik.
Size of target Prevalence Rate
Study, Year Country Criteria
Population (Per 10.000)
Lotter, 1966 UK 78 ribu Kanner 4.5
Wing et al, 1976 UK 25 ribu Kanner 4.8
Hoshino et al, 1984 Japan 610 ribu Kanner 2.3
Gillberg et al, 1984 Sweden 128 ribu DSM II 4
Bryson et al, 1988 Canada 20 ribu DSM III R 10.1
Sugiyama, Abe, ‘89 Japan 12 ribu DSM III 13
Gillberg et al, 1991 Sweden 78 ribu DSM III R 9.5
Fombonne et al, ‘97 France 32 ribu ICD X 5.3
2.1. Kriteria Diagnostik
2.2. Permasalahan
Anak dengan gangguan spektrum autistik mempunyai gambaran yang unik mengenai diri dan
lingkunganya. Hal ini merupakan satu permasalahan yang serius dan memerlukan penanganan
yang serius oleh karena akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan anak
selanjutnya. Beberapa kecenderungan yang dapat diamati seperti;

1. Selektif berlebihan terhadap rangsang yang datang dan sekitarnya sehingga anak
mengalami kemampuan yang terbatas dalam menangkap stimulus tersebut.
2. Kurangnya motivasi, hal ini tidak hanya disebabkan oleh karena mereka mengisolasikan
dirinya serta asyik dengan dunianya sendiri, tetapi merekajuga cenderung tidak mempunyai
motivasi untuk mengenal dunia di luar dirinya sendiri. Kondisi ini membuat anak dengan
gangguan spektrum autistik tidak mapu atau kurang mau menjelajahi lingkungan baru.
3. Adanya perilaku stimulasi diri yang merupakan suatu perilaku yang tidak produktif dan akan
mengganggu interaksi sosial, juga mengganggu proses belajar
4. Respons terhadap imbalan yang unik dan bersifat individualistik dan seringkali sulit
diidentifikasi
5. Adanya perilaku yang berlebihan seperti tantrum dan perilaku stimulasi diri, agresivitas, serta
melukai diri sendiri,
6. Adanya perilaku berkekurangan seperti tidak mau berbicara, tidak mau berinteraksi
sosial dengan lingkungan sosialnya, defisit dan sistem indera, fungsi keterampilan motonk yang
buruk
2.3. Tatalaksana
Bersifat komprehensif dan harus dilakukan sediri mungkin segera setelah diagnosis ditegakkan.
Keberhasilan tatalaksana tergantung dari;

1. Berat ringannya gejala


2. Diagnosis dini dan tatalaksana dini akan memberikan keberhasilan yang lebih baik
3. Kecerdasan anak, makin cerdas anak maka kemampuan untuk menangkap pelajaran yang
diberikan akan bertambah baik dan cepat
4. Tingkat kemampuan berbicara dan berbahasa
5. Intensitas dan terapi

Berbagai jenis terapi yang umumnya dijalankan secara terpadu ialah;

 Terapi medikamentosa
 Terapi wicara (Speech-language Therapy)
 Terapi perilaku
 Terapi okupasi
 Terapi integrasi sensorik
 Terapi Orthopaedagogik
 Auditory integration training (AlT)
 Terapi kelompok
 Diet CFGF
 dll

Tujuan pemberian terapi adalah;

 Mengurangi, mengubah perilaku yg tak dikehendaki


 Meningkatkan kemampuan anak untuk: belajar
(berbahasa), berkomunikasi, kemampuan bantu dii dan fungsi sosial lainnya

Rujukan

1. Furman RA. Attention deficit/hyperactivity disorder: An alternative viewpoint. J Int Child


Adolesc Psychiatry 2002;2:1 25-144.
2. Tanjung IS. Prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada
murid sekolah dasar kelas I-III di wilayah Jakarta Pusat. Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.
2002 (tesis)
3. Saputro D. Gangguan Hiperkinetik Pada Anak Di DKI Jakarta, Penyusunan lnstrumen baru,
Penentuan Prevalensi, Penelitian Patifisologi dan Upaya Terapi. Desertasi Untuk
Memperoleh Derajat Doktor dalam Iimu Kedokteran pada Universitas Gajah Mada. 2004
4. Wiguna T. Parental perception and attitude toward their primary school age children‘s
hyperactivity problems. Mean Jour of Psychiatry 2006(7);1 :14-17
5. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,
Fourth Edition, Text Revision. Washington DC, American Psychiatric Association, 2000
6. Waslick B, Greehill LL. Attention-deficit/hyperactive disorder. In Jerry M Wiener and Mina
K. Dulcan, textbook of child and adolescent psychiatry, third addition. 2004. American
psychiatric publishing, Inc. p.485-509
7. Siegel B. The world of the autistic child. Oxford University Press, New York, 1996
8. Vokmar F, KIm A. Pervasive developmental disorders, in Comprehensive textbook of
psychiatry, 7‘ eds (eds BJ Sadock, VA Sadock) Philadelphia-SA, 2000, p2659-2678
KEDARURATAN PSIKIATRI DAN TATALAKSANA
Dr. Oely Mardi Santoso, SpKJ
JI. Kikir 57/75, Kayuputih, Jakarta Timur
1980 – 1984 : Palang Merah Indonesia Pusat
1984 – 1986 : Direktorat RS Khusus dan Swasta Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI , Jakarta.
1986 – 1989 : Direktorat Kesehatan Jiwa, DirJen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta
1992 – 2000 : Psikiater di Direktorat Kesehatan Jiwa DirJen Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI , Jakarta.
1991 – sekarang : Psikiater RS Omni Medical Center
2001 – sekarang : Dosen tidak tetap Fakultas Kedokteran FK UKRIDA Jakarta.

KEDARURATAN PSIKIATRI
Adalah tiap gangguan pada pikiran, perasaan dan tindakan seseorang yang memerlukan
intervensi terapeutik segera.
Diantara berbagai macam gangguan tersebut yang paling sering adalah SUICIDE (BUNUH
DIRI) dan VIOLENCE AND ASSAULTIVE BEHAWOR (PERILAKU KEKERASAN DAN
MENYERANG).

BUNUH DIRI
Di Amerika tiap tahun kasus bunuh diri yang berhasil mencapai 30.000 orang per tahun. Angka
ini menunujukkan jumlah orang yang mencoba bunuh diri jauh lebih besar lagi, diperkirakan 8
sampai 10 kali lebih besar dan jumlah tersebut. Di Indonesia belum ada data mengenai hal ini.

Dan data yang ada, 95% kasus bunuh diri berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa diantaranya
80% mengalami Depresi, 10% Skizofrenia dan 5% Dementia/Delirium. Sedangkan sekitar 25%
lainnya mempunyai diagnosa ganda yang berkaitan dengan Ketergantungan Alkohol.

Menurut Adam.K mereka yang mempunyai resikotinggi untuk terjadinya bunuh diri adalah
pria, usia diatas 45 tahun, tidak bekerja, bercerai atau ditinggal mati pasangan hidupnya,
mempunyai nwayat keluarga yang bermasalah, mempunyai penyakit fisik kronis, mempunyai
gangguan kesehatn jiwa, tidak mempunyai hubungan keluarga yang baik, miskin dalam
hubungan sosial atau cenderung mengisolasi diri
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menduga adanya resiko bunuh diri:

 adanya ide bunuh diri atau percobaan bunuh diri sebelumnya


 adanya kecemasan yang tinggi, depresi yang dalam dan kelelahan
 adanya ide bunuh diri yang diucapkan<
 ketersediaannya alat atau cara untuk bunuh diri
 memepersiapkan warisan terutama pada pasien depresi yang agitatif
 adanya krisis dalam kehidupan baik fisik maupun mental
 adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri
 adanya kecemasan terhadap keluarga jika terjadi bunuh diri
 adanya keputus-asaan yang mendalam

Didalam menangani pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri, pencegahan


merupakan hal utama yang perlu diperhatikan.
Jika percobaan bunuh diri telah dilakukan dan tidak berhasil , sebagai klinisi kita harus
melakukan pemeriksaan yang menyeluruh dan lengkap baik secara fisik dan mental. Pada saat
itu juga harus diputuskan apakah pasien perlu dirawatatau tidak.
Hospitalisasi tergantung:

 Diagnosis
 Beratnya Depresi
 Kuatnya ide bunuh diri
 Kemampuan pasien dan keluarga mengatasi masalahnya
 Keadaan kehidupan pasien
 Tersedianya support sosial bagi pasien
 Ada tidaknya faktor resiko bunuh diri pada saat kejadian

Yang bisa dilakukan DOKTER KELUARGA /UMUM jika menjumpai pasien dengan
percobaan bunuh diri sebaiknya lakukan pertolongan pertama jika diperlukan, rujuk pasien ke
rumah sakit terdekat sambil membenkan penjelasan ke keluarganya bahwa kondisi pasien perlu
evaluasi dan pertolongan lebih jauh baik fisik maupun mentalnya (tergantung kondisi pasien).

PERILAKU KEKERASAN DAN MENYERANG


Pada keadaan seperti ini yang paling utama kita harus bisa menentukan apakah karena
gangguan fisik ataukah karena masalah mental. Untuk masalah mentalnya bisa disebabkan
oleh:

 Gangguan proses pikir misal Skizofrenia


 Gangguan Manik/Episode Manik
 Depresi Agitatif/Episode Depresi
 Gangguan Cemas
 Reaksi Ekstra Piramidal

Gambaran diatas tidak selalu mudah untuk bisa langsung diidentifikasi karena bisa terjadi
overlaping gejala satu dengan yang lainnya.
Tanda-tanda adanya penilaku kekerasan yang mengancam:

 Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasa


 Adanya perilaku agitatif
 Membawa benda-benda tajam atau senjat
 Adanya pikiran dan perilaku paranoid
 Adanya penyalah gunaan zat/intoksikasi alkohol
 Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.
 Kegelisahan katatonik
 Episode Manik
 Episode DepresiAgitatif
 Gangguan Kepnibadian tertentu
 Adanya penyakit di Otak(terutama di lobus frontal)

Untuk menduga kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan pada seorang pasien tidak mudah.
Namun ada beberapa hal yang bisa menjadi petunjuk untuk diperhatikan, misalnya:

 Adanya ide-ide kekerasan disertai rencana dan sarana yang tersedia


 Adanya riwayat kekerasan sebelumnya
 Adanya riwayat gangguan impuls termasuk penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, Psikosis.
 Adanya masalah dalam kehidupan pribadi yang nyata.

Yang bisa dilakukan DOKTER KELUARGA UMUM dalam menghadapai kasus perilaku
kekerasan dan menyerang seperti ini adalah rujuk ke Rumah Sakit Jiwa terdekat jika sudah bisa
dipastikan bukan disebabkan masalah fisik. Seandainya masih meragukan antara masalah fisik
dan mental rujuk ke Rumah Sakit Umum terdekat yang lengkap fasilitasnya. Jika kondisi
pasien tidak terlalu berat, masih bisa dilakukan pemeriksaan dengan cukup terang dan cukup
kooperatif serta kondisi gangguan flsik bisa disingkirkan , bisa diberikan:

 Haloperidol oral 0.5 mg/3 x sehari


 Atau Chlorpromazine oral 25 mg/3x sehari
 Atau Bensodiasepin oral 5 mg /3 x sehari
 Tergantung diagnosis pasien.
Dengan saran secepatnya konsul ke Ahlinya ( Psikiater).

Hal lain yang sangat penting diingat adalah merupakan kontra indikasi memberikan obat
antipsikotik pada pasien dengan trauma kepala walaupun menunjukkan gejala gaduh gelisah.
Pada keadaan seperti ini secepatnya dinujuk ke Rumah Sakit Umum terdekat yang lengkap
fasilitasnya.

Dengan saran secepatnya konsul ke Ahlinya (Psikiater).


PELAYANAN KESEHATAN JIWA INTEGRATIF
Dr. Dan Hidayat SpKJ(K)
1969 : Dokter Umum FKUl
1970 – 1999 : Karyawan RS Jiwa Jakarta
1976 : Psikiater FKUl
1980 – 1995 : Psikiater Pembina Dokter Puskesmas DKI Jakarta
1981 – 1993 : Kepala Bidang Pelayanan Medis RS Jiwa Jakarta
1993 – 1994 : Kepala Bidang Perawatan RS Jiwa Pusat Jakarta
1994 – 1999 : Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan RSJPJ
1996 – 1999 : Anggota Tim Asistensi Pembangunan RS Jiwa Duren Sawit Dinas Kesehatan DKI
Jakarta
I Agustus 1999 : Pensiun PNS dg Pangkat Pembina Utama Muda, Gol lV/C
1999- 1 April 2002 : Kepala Diklat RSJ Pusat Jakarta

Pendahuluan
Prinsip pelayanan kesehatan jiwa dapat dibagi dalam tiga jenis pelayanan:

1. Pelayanan bersifat mediko-psiko-sosial, dimana digunakan pendekatan eklektikholistik


yaitu pendekatan secara terinci dan secara menyeluruh; juga mengetrapkan prinsip-prinsip ilmu
kedokteran, ilmu kedokteran jiwa (psikiatri), ilmu perilaku (psikologi) dan ilmu sosial
(sosiologi)
2. Pelayanan bersifat komprehensif, berupa pelayanan promosi kesehatan jiwa, pelayanan
prevensi, kurasi dan rehabilitasi gangguan kesehatan jiwa
3. Pelayanan paripurna yang terdiri dari
1. Pelayanan kesehatan jiwa spesialistik yang dilakukan oleh psikiater dan ada di RS Jiwa, RS
Ketergantungan Obat, RS Umum kelas A dan B, praktik swasta.
2. Pelayanan kesehatan jiwa terpadu atau pelayanan kesehatan jiwa integratif yang dilakukan
oleh dokter umum di Puskesmas dan RS Umum kelas C dan D, praktik umum swasta.
3. Pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat di Posyandu, PKK, LKMD,
PMR, Pramuka, dilaksanakan oleh guru, orangtua, tokoh masyarakat

Pada kali ini akan dibahas khusus pelayanan kesehatan jiwa integratif, yaitu pelayanan
kesehatan jiwa yang dilakukan oleh dokter umum dalam praktik sehariharinya.
Menurut The World Health Report 2001 dikatakan bahwa prevalensi gangguan mental dan
perilaku adalah:

 25 % dari seluruh penduduk pada suatu masa dari kehidupannya pernah mengalami gangguan
jiwa
 40 % diantaranya didiagnosis secara tidak tepat, sehingga menghabiskan biaya untuk
pemeriksaan laboratonium dan pengobatan yang tidak tepat
 10 % populasi dewasa pada suatu ketika dalam kehidupannya mengalami gangguan jiwa
 24% pasien pada pelayanan kesehatan dasar

Sedangkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) pada tahun 1995 oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Departemen Kesehatan RI dengan
menggunakan rancangan sampel dan Sensus Nasional (Susenas) Biro Pusat Statistik (BPS)
terhadap 65.664 rumah tangga, didapatkan prevalensi gangguan jiwa per 1000 anggota
keluarga yaitu pada usia 5-14 tahun 104 orang, pada usia diatas 15 th 140 /1000. Sedangkan
prevalensi diatas 100 /1000 anggota rumah tangga dianggap sebagai masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian (priority public health problem). Dengan demikian
gangguan jiwa sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat
perhatian.

Hasil penelitian th 2002 di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (daerah konflik) di 20


Puskesmas dan 10 kabupaten/kota terhadap pasien yang pertama kali datang berobat: 51,10%
mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Penelitian terakhir di Jawa Barat th 2002 (point prevalence – unpublished)ditemukan 36 %


pasien yang berobat ke Puskesmas mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Penyakit atau Gangguan


Penyakit atau gangguan secara dikotomis dapat dibagi dalam penyakit fisik atau penyakit
organik dan penyakit mental atau penyakit fungsional. Bila karena penyakit fisik timbul
gangguan mental maka dikatakan gangguan mental organik; sebaliknya bila karena adanya
gangguan/ masalah mental timbul gangguan fisik maka dikatakan gangguan
psikosomatik(istilah yang masih banyak digunakan di kalangan medik); bila karena ada
masalah flsik kemudian timbul masalah kejiwaan secara tidak langsung, disebut gangguan
somato psikis; bila gangguan fisik dan gangguan mental berada bersamaan tanpa hubungan
sebab akibat, dikatakan sebagai komorbiditas.

Sesungguhnya gangguan fisik dan gangguan mental tidak bisa dipisah-pisahkan, upaya
memisahkan fisik dan mental merupakan upaya dikotomis dan hal ini tidak tepat dalam
pendekatan eklektik-holistik; dan semua gangguan itu sesungguhnya dapat dilakukan dengan
pendekatan psikosomatik. Gangguan fungsional mempunyai komponen organik, misalnya
perasaan sedih dapat mengeluarkan air mata; gangguan fisik pun mempunyai komponen
psikologik, misalnya karena adanya virus HIV dalam darah sudah dapat menimbulkan depresi
(somatopsikis), walaupun virus HIV belum menyerang otaknya.Pembagian organik dan
fungsional dalam praktik umum, hanya untuk kemudahan pemeriksaan saja, sedangkan
pendekatannya tetap secara ekietik holistik.

Pengertian dasar
Untuk dapat melakukan deteksi dini gangguan mental, diperlukan beberapa pengertian dasar
seperti berikut : yang dimaksud dengan gangguan organik atau penyakit fisik adalah gangguan
mengenai organ tubuh, ada gejala dan tanda-tanda obyektif, ada gangguan faali atau kerusakan
jaringan atau struktural pada organ tubuh, dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik,
laboratonium, radiologi, EEG, CT scan, USG, MRI, PET-scan dan sebagainya.

Sedangkan gangguan psikologik atau gangguan mental adalah gangguan pada fungsi
mental(jiwa) yaitu fungsi yang berkaitan dengan emosi (perasaan), kognisi (pikiran), konasi
(perilaku); juga ada gejala dan tanda-tanda obyektif (psikopatologi yang nyata secara klinis),
bisa disertai dengan/tanpa kerusakan struktur/jaringan susunan saraf pusat; juga ada keluhan
atau penderitaan (distres) dan pasien dan/atau keluanganya; biasanya disertai disabilitas atau
disfungsi yaitu ganguan pada fungsi pekerjaan, fungsi sosial, dan fungsi sehari-hari.
Etiologinya multi faktorial yaitu secara organobiologik, psikologik, pendidikan, dan sosial-
budaya.

Etiologi Organobiologik
Penyakit Otak (Intraserebral) seperti gangguan degeneratif, infeksi pada otak, ganguan
cerebrovaskular, trauma kapitis, epilepsi, neoplasma, toksik (NAPZA), dan herediter.

Penyakit Sistemik (Ekstraserebral) seperti gangguan metabolisme, endokrin/hormonal, infeksi


sistemik, atau penyakit autoimum.

Etiologi Psikologik
Seperi krisis yaitu suatu kejadian yang mendadak; konflik, suatu pertentangan batin; tekanan
khususnya dan dalam dirinya, seperti kondisi fisik yang tidak ideal; frustrasi, suatu kegagalan
dalam mencapai tujuan; dan sudut pendidikan dan perkembangan seperti salah asih, salah asah,
salah asuh; dan takterpenuhinya kebutuhan psikologik seperti: rasa aman, nyaman, perhatian,
kasih-sayang.

Etiologl Sosio-kultural
Problem keluarga, problem dengan lingkungan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi,
akses ke pelayanan kesehatan, problem hukum / kriminal dan problem psikososial lainnya.

Tanda/gejala organik
Faktor organik spesifik yang diduga ada kaitannya dengan gangguan kejiwaan seperti
penyakit/gangguan sistemik atau otak yaitu yang berkaitan dengan etiologi organobiologik.
Tanda dan gejalanya adalah penurunan kesadaran patologik dan delinum, apathia, somnolen,
sopor, sampai koma; adanya gangguan fungsi intelektual atau fungsi kognitif, seperti gangguan
daya ingat, daya pikir, daya belajar, gangguan perhatian yaitu berkurangnya kemampuan
mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian; ada gangguan
orientasi tempat, waktu dan perorangan; bisa disertai gangguan persepsi seperti halusinasi
visual.
Tanda/Gejala Penggunaan NAPZA
Keparahannya dan intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yamg merugikan, sampai
gangguan psikotik dan demensia. Ada riwayat penggunaan zat psikoaktif secara patologik
artinya setiap hari harus menggunakan zat psikoaktif agar dapat berfungsi secara
adekuat/memadai minimal satu bulan.

Intoksikasi adalah suatu gangguan mental dimana terdapat tingkah laku maladaptive akibat
penggunaan zat psikoaktif.

Penyalahgunaan zat tanpa ketergantungan: pola penggunaan zat psikoaktif secara patologik
disertai hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan telah berlangsung paling kurang satu
bulan.

Ketergantungan bila ada ketergantungan fisiologik yang dibuktikan dengan adanya toleransi
dan sindrom putus zat dan hampir selalu disertai penggunaan patologik yang mengakibatkan
hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan.

Toleransi berarti untuk mendapatkan efek yang sama dan zat tersebut, diperlukan peningkatan
dosis.

Sindrom putus zat (withdrawal) terjadi bila ada pengurangan yang cukup banyak dan zat yang
rutin digunakan atau mendadak menghentikan penggunaan zat tersebut.

Gejala-gejala Psikotik

 Waham: keyakinan menetap yang tak sesuai dengan kenyataan dan selalu dipertahankan
 Halusinasi: persepsi pancaindera tanpa sumber rangsangan sensorik eksternal
 Inkoherensi: pembicaraan/tulisan yang tidak dapat dimengerti
 Katatonla: gangguan psikomotor seperti mematung, fleksibilitas lilin, stupor, furor
(kegelisahan yang muncul secara mendadak), gerakan stereotipik
 Perilaku kacau: telanjang, gelisah, mengamuk, menarik diri, perilaku aneh
 Gejala negatif (kehilangan kemampuan yang biasanya ada pada orang yang tidak sakit) pada
skizofrenia kronis seperti inatensi, afek mendatar, abulia, alogia, avoliition, asosialiitas, tak
merawat diri, apatis terhadap lingkungan.

Gejala Afektif
Afek/mood adalah suasana perasaan internal yang berkepanjangan dan meresap, yang sering
mempengaruhi perilaku dan persepsi individu akan dunia luar seperti anxietas (cemas
patologik), depresi dan mania

 Anxietas : rasa khawatir yang berlebihan, disertai dengan ketegangan motorik dan
hiperaktivitas otonom seperti berdebar-debar, keringat dingin, dan tensi naik.
 Fobia : ketakutan irasional yang menetap terhadap suatu obyek atau situasi
o fobia sosial : takut diperhatikan, salah tindak dan sebagainya
o agorafobia : fobia terhadap keramaian dan kesendirian
o klaustrofobia : fobia terhadap ruang tertutup, seperti dalam lift
o akrofobia : fobia terhadap ketinggian
 Panik : kecemasan yang memuncak dan sesaat saja, pada situasi yang tak berbahaya
 Obsesif-kompulsif : pikiran dan perbuatan berulang yang tak bisa dihindarkan
 Depresi: rasa sedih yang berlebihan dan berkepanjangan, kehilangan minat dan kegembiraan,
dan berkurangnya enersi, sehingga mudah lelah, aktivitas berkurang. Gejala-gejala depresif :
o rasa sedih, murung, putus asa, rendah diri
o kehilangan gairah kerja, gairah belajar, gairah seks, lesu, aktivitas berkurang
o gangguan makan dan gangguan tidur, keluhan fisik lainnya
o menyendiri, tak suka bergaul, kurang komunikasi
o ingin mati, rasa bersalah, tak ada semangat
 Mania: suasana perasaan yang meningkat, disertai peningkatan daham jumlah dan kecepatan
aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat keparahan, gejalanya:
o Rasa senang yang berlebih
o Enersi yang bertambah, timbul hiperaktif, kebutuhan tidur berkurang
o Psikomotilitas meningkat: banyak bicara, ide kebesaran, sangat optimistik

Pelayanan kesehatan jiwa integratif dalam praktik umum


Dalam praktik kedokteran, pasien yang datang berobat selalu mempunyai keluhan utama.
Keluhan utama itu dapat kita bagi dalam:

 Keluhan fisik yaitu keluhan fisik tanpa jelas ada faktor mental emosional. Seperti: kurus,
kurang gizi; penglihatan kabur, katarak; bisul, koreng, demam, muntaber; varices, wasir,
perdarahan; patah tulang, cedera kepala; kencing manis; benjolan di buah dada; keracunan
singkong beracun; kelainan bawaan, thalasemia. Pada keluhan fisik, bilajelas tak ada masalah
mental emosional dibalik keluhan fisiknya, langsung diterapi sesuai dengan diagnosis flsik.
 Keluhan psikosomatik yaitu keluhan fisik yang berlatar belakang faktor mental emosional.
Keluhan Psikosomatik berkaitan dengan sistem organ:
o Kardio-vaskuler: keluhan jantung berdebar-debar, cepat lelah
o Gastro-intestinal: keluhan ulu hati nyeri, mencret kronis
o Respiratorlus: keluhan sesak napas, asma
o Dermatologi: keluhan gatal, eksim
o Muskulo-skeletal: keluhan encok, pegal, kejang
o Endokrinologl: keluhan hipertiroidi, hipotiroidi, dismenorea
o Urogenital: kehuhan masih ngompoh, gangguan gairah seks
o Serebro vaskuler: keluhan pusing, sering lupa, sukar konsentrasi, kejang epilepsi

Pada keluhan psikosomatik, biasanya dibalik keuhan flsiknya ada masalah kejiwaannya;
masalah kejiwaan yang paling sering menyertai keluhan psikosomatik ini adalah gejala
anxietas, dan gejala depresi.

 Keluhan mental emosional yaitu keluhan yang berkaitan dengan fungsi mental seperti emosi,
kognisi dan konasi. Keluhan mental emosional dapat berupa:
o Gejala psikotik: halusinasi, waham, inkoherensi, katatonia, perilaku kacau, gejala negatif
o Gejala anxletas: cemas, khawatir, berdebar, keringat dingin
o Gejala depresif: murung, tak bergairah, putus asa, menyendiri, pasif, tak banyak bicara
o Gejala manik: gembira, banyak bicara, aktif sekali
o Retardasi mental: bodoh, tak bisa mengikuti pelajaran, sukar mengadakan adaptasi, sejak
usia dibawah 18 tahun
o Pemakaian NAPZA: teler, sakau, curiga (‗parno‘), takut
o Anak dan remaja: kesulitan belajar, gangguan perkembangan, gangguan makan, gangguan
perilaku, masih mengompol pada anak diatas 5 tahun, gangguan interaksi, komunikasi,
gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas

Pada pasien yang datang dengan keluhan psikosomatik dan keluhan mental emosional maka
yang perlu dilakukan oleh dokter adalah menetapkan:

 Stresor (etlologi) nya: organobiologik atau psikososial


 Ada atau. tidak adanya distres/penderitaan/keluhan pada pasien, dan/atau
lingkungan/keluarga
 Ada atau tidak adanya gangguan fungsi seperti fungsi pekerjaan/akademik, fungsi sosial,
fungsi sehari-hari

Hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan diagnosis:

 Gejala kejiwaan yang disertai dengan distres/penderitaan dan/atau gangguan fungsi disebut
Gangguan Mental
 Gangguan Mental yang disebabkan stresor organobiologik disebut Gangguan Mental
Organik(GMO)
 Gangguan Mental yang disebabkan stresor psikososial disebut Gangguan Mental Non
Organik (GMNO)

Pembuatan diagnosis (kode diagnosis lCD 10)secara cepat dan petunjuk terapi:

1. Kalau pasien hanjut usia (diatas 65 th) datang dengan keluhan utama: gangguan daya ingat,
tanpa penurunan kesadaran secara patologik => Demensia (F00#)
Pedoman praktis terapi demensia, prinsip umumnya adalah:
Identifikasi dan obati kondisi medik umum seperti tiroid, B12, HIV; pasien kontrol satu kali
setiap minggu, kemudian satu kahi setiap bulan; evaluasi potensi bunuh diro dan cedera diri;
dilarang mengemudikan kendaran bermotor; jangan biarkan pergi sendirian sertakan identitas
diri yang melekat pada tubuhnya seperti gelang dengan nomor telepon dan alamat; beritahu
keluarga tentang penyakitnya, keputusan keuangan, surat wasiat, kelompok pendukung,
organisasi masyarakat. Obat yang bisa diberikan adalah vitamin E, neurotropik, nootropik,
ginkobiloba, ergot mesylate (hidergine), tacrine, donepezil (Aricept), rivastigmine (Exelon),
galantamine (Reminyl)
2. Kalau pasien datang dengan kesadaran berkabut (penurungan kesadaran secara patologik, dan
kesadaran berkabut sampai koma), berkurangnya kemampuan mengarahkan, memusatkan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian, bisa disertai halusinasi, waham, berlangsung
kurang dari 6 bulan => Delirium (F05) Terapi delirium adalah terapi kausal. Perlu dukungan
fisik agar tidak timbul kecelakaan, dukungan sensor agar tidak terlalu dirangsang atau terialu
kurang dirangsang, dan dukungan lingkungan yaitu perlu pendamping atau pengasuh biasa.
Bila disertai gejala psikotik rujuk saja ke RS Jiwa. Gejala insomnia dapat diterapi dengan
benzodiazepin kerja singkat (lorazepam) atau hidroxyzine (lterax/bestalin). Pada delirium
karena putus alkohol dapat diberikan benzodiazepin kerja panjang (diazepam).
3. Kalau pasien datang dengan nwayat penggunaan zat psikoaktif sampai saat ini => Gangguan
Penggunaan Zat Psikoaktif (F10 alkohol, F11 opioida, F12 ganja, F13 hipnotika, F15
stimulansia); kemudian tentukan kondisi pada saat datang apakah dalam keadaan intoksikasi
akut, penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan putus zat dengan /
tanpa delirium, gangguan psikotik, atau sindrom amnesik.
Terapi intoksikasi alkohol: muntahkan bila belum lama, berikan kopi kental, aktivitas fisik
atau mandi air dingin-hangat. Bila berat seperti intoksikasi alkohol idiosinkratik dan stupor
alkoholik sebaiknya dirujuk ke RS Ketergantungan Obat atau RS Jiwa. lntoksikasi opioida
diterapi dengan Naloxone HCI di rumah sakit
Intoksikasi ganja, lntoksikasi kokain atau amfetamin atau stimulansia diterapi dengan
diazepam 10-30 mg im/ oral; clobazam 3 x 10 mg , bila palpitasi beri propanolol 3 dd 10-40
mg; bila disertai gejala psikotik berikan antipsikotik.
Terapi terhadap kondisi kelebihan dosis pada dasarya simtomatik; masalah yang
membahayakan kehidupan pasien rujuk ke unit gawat darurat dengan memperhatikan kondisi
A (irways) B(reathing) C (irculation)
Terapi terhadap gejala putus zat bisa dilakukan secara simtomatik, kalau tidak berhasil
dirujunk ke rumah sakit jiwa atau rumah sakit ketergantungan obat
4. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala psikotik yang berlangsung lebih
dan satu bulan => Skizofrenia (F20#)
Terapi: obat antipsikotik seperti haloperidol 3 dd 5 mg; bila dalam keadaan gaduh gelisah
diberikan suntikan haloperidol im 5 mg setiap jam bersama dengan diazepam 10 mg im (di
RS Jiwa). Bila psikosis kronik dapat diberikan antipsikosis long acting seperti fluphenasin
decanoas (Modecate) 25 mg im setiap 4 minggu atau Haldol decanoas 50 mg im setiap 4
minggu. Untuk gejala negatif dan skizofrenia dapat diberikan obat antipsikotik atipikal
seperti risperidon (Risperdal), quetiapine (Seroqueh), olanzepin (Zyprexa), aripiprazole
(Abilify), zotepine (Lodopin), clozapine (Clozani). Antipsikosis atipikal juga dapat untuk
gejala positif seperti waham, halusinasi, inhoherensi, perihaku kacau.
5. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala psikotik yang berlangsung kurang
dari satu bulan => Gangguan Psikotik Akut(F23)
Terapi: lihat terapi pada skizofrenia
6. Kahau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala manik yang berlangsung lebih dari
satu minggu => Mania (Gangguan Bipolar) (F31)
Terapi: berikan mood stabilizers seperti lithium karbonat, karbamazepin, vaiproat; bila
disertai gejala psikotik dapat berikan obat antipsikotik
7. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala depresi yang berlangsung lebih
dari dua minggu =>Gangguan Depresif (F32#), Terapi: obat antidepresan, bila berat disertai
dengan tentamen suicidum rujuk ke RS Jiwa untuk mendapat terapi kejang listrik.
Antidepressant Drugs menurut cara bekerjanya dapat digolongkan dalam:
1. NA & 5-HT re-uptake inhibitors (imipramine-Tofranil, amytriptyline-Laroxyl)
2. NA-RI (mianserine-Tolvon, maprotiline-Ludiomil)
3. NA-RI: Dibenzoxazepine (amoxapin-Asendin)
4. 5-HT RI/receptor blockers (trazodone-Trazone, clomipramine-Anafranil)
5. SSRI : Selective 5-HT RI (fluoxetine-Prozac, sertraline-Zoloft, paroxetineSeroxat,
fluvoxamine-Luvox, citalopram-Cipram, escitalopram-Cipralex)
6. SNRI: 5-HT-NARI (venlafaxine-Effexor, duloxetine-Cymbalta)
7. RIMA : Reversible inhibition of MAO-A (moclobemide -Aurorix)
8. NaSSA : NA and Specific Serotonergic Antidepressant (Mirtazapine – Remeron)
9. SRE: Serotonin re-uptake enhancer (tianeptine – Stablon)
10. SDRI: Selective DA RI (bupropion-Wellbutrin)
Keterangan: NA, N (Noradrenergik, Norepinephrine); 5-HT (Serotonin); RI
(ReuptakeInhibitor); DA(Dopamin)
8. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala fobik (takut terhadap sesuatu
obyek atau situasi tertentu) => Gangguan Fobik(F40)
Terapi: obat golongan benzodiazepin, antidepresan, SSRI, venlafaxine, dulocetine disertai
dengan terapi psikologik(terapi perilaku)
9. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala panik (gejala cemas yang
memuncak dan berlangsung sesaat saja) => Gangguan Panik (F41.0) Terapi: alprazolam 3 dd
0,5 mg atau antidepresan golongan SSRI, atau imipramine, dan terapi psikologik
10. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala anxietas (cemas disertai gejala
debar-debar, keringat dingin, tegang) => Gangguan Anxietas (F41.1)
Terapi: Benzodiazepin seperti chlordiazepoxide, diazepam, clobazam, bromazepam,
alprazolam, lorazepam; non-benzodiazepin seperti buspirone, hydroxyzine (Iterax)
11. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala obsesif kompulsif (pikiran dan/atau
perilaku yang berulang, disertai kecemasan, dan tak bisa dihindarkan) => Gangguan Obsesif
Kompulsif (F42)
Terapi: SSRI, clomipramin (Anafranil), clonazepam; kadang-kadang perlu obat antipsikotik
seperti haloperidol.
12. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala anxietas atau gejala depresi yang
timbul segera setelah suatu kejadian/stresor berat => Reaksi Stres Akut(F43.0)
Terapi: obat antianxietas dan/atau antidepresan dan terapi psikologik
13. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala anxietas atau gejala depresi yang
timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah suatu kejadian traumatik/stresor/berat =>
Gangguan Stres Pasca Trauma (F43.1) Terapi: obat antianxietas dan/atau antidepresan dan
terapi psikologik
14. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala anxietas ataugejala depresi yang
timbul karena perubahan situasi atau lingkungan => Gangguan Penyesuaian dengan gejala
anxietas/depresif(F43.2)
Terapi: obat antianxietas dan/atau antidepresan dan terapi psikologik
15. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala fisik tanpa kelainan
struktural/organ yang dilatarbelakangi oleh gejala anxietas atau depresi => Gangguan
Somatoform (F45)
Terapi: obatantianxietas dan/atau antidepresan danterapi psikologik
16. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala fisik dengan penyakit fisik yang
dihatarbelakangi oleh gejala anxietas atau depresi => Gangguan Psikosomatik, Gangguan
Makan, Gangguan Tidur, Disfungsi Seksual(F50#) Terapi: obat antianxietas dan/atau
antidepresan dan terapi psikologik; juga gangguan fisiknya
17. Kalau pasien datang dengan keluhan sesuai dengan gejala perilaku yang cenderung menetap
dan merupakan pola hidup yang khas dalam hubungan dengan diri sendiri maupun pada
orang lain, sehingga mengganggu norma sosial, penaturan, etika, kewajiban => Gangguan
kepribadian (F60#) Terapi: gejala periakunya dengan obat antipsikotik dan terapi perilaku
18. Kalau pasien datang dengan keluhan kecerdasan yang kurang, disertai kemampuan adaptasi
yang kurang, sejak sebelum usia 18 tahun => Retardasi Mental (F70#)
Terapi: sekolah Iuarbiasa. Bila ada gangguan perilaku diterapi simtomatik
19. Kalau pasien anak datang dengan keluhan gangguan perkembangan khas berbicara,
berbahasa, mengeja, membaca, berhitung, motorik => Gangguan Perkembangan Psikologis
(F80#)
Terapi: Pendidikan khusus (remedial teaching)
20. Kalau pasien anak datang dengan keluhan adanya gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan
perilaku yang terbatas dan berulang, sejak sebelum usia 3 tahun=> Autisme Masa
Kanak(F84.O)
Terapi: pendidikan keluarga, terapi perilaku, terapi pendidikan khusus untuk bahasa.
21. Kalau pasien anak datang dengan keluhan adanya gejala berkurangnya kemampuan
memusatkan perhatian, disertai dengan hiperaktivitas > Gangguan Hiperkinetik(F90) atau
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Terapi: Methylphenidate
22. Kalau pasien anak datang dengan keluhan adanya kenakalan pada anak dan remaja =>
Gangguan tingkah laku pada anak dan remaja(F91)
Terapi: pendidikan keluarga dan terapi perilaku
23. Kahau pasien anak datang dengan keluhan adanya gejaha mengompol pada anak diatas
5tahun => Enuresis Non-organik(F98.0)
Terapi: Imipramine I dd 25 mg sebelum tidur dan terapi perilaku
24. Kalau pasien datang dengan keluhan kejang / tanpa kejang, sadar/tak sadar, berulang =>
Epilepsi (G40#)
Terapi: Antiepileptikum

Anda mungkin juga menyukai