Anda di halaman 1dari 14

4

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Pengukuran Kapasitas Fungsi Paru
Kapasitas fungsi paru adalah kombinasi atau penyatuan dua atau
lebih volume paru. Spirometri merupakan suatu metode sederhana yang
dapat mengukur sebagian terbesar volume dan kapasitas paru-paru.
Spirometri merekam secara grafis atau digital volume ekspirasi paksa dan
kapasitas vital paksa. Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Forced
Expiratory Volume (FEV) adalah volume dari udara yang dihembuskan
dari paru-paru setelah inspirasi maksimum dengan usaha paksa
minimum, diukur pada jangka waktu tertentu. Biasanya diukur dalam 1
detik (VEP1). Sedangkan Kapasitas Vital Paksa atau Forced Vital
Capacity (FVC) adalah volume total dari udara yg dihembuskan dari
paru-paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa
minimum. Pemeriksaan dengan spirometer ini penting untuk pengkajian
fungsi ventilasi paru secara lebih mendalam.
Ada beberapa indikasi dari pemeriksaan spirometri antara lain:
a. Diagnostik
1) Untuk mengevaluasi gejala dan tanda
2) Untuk mengukur efek penyakit pada fungsi paru
3) Untuk menilai resiko pra-operasi
4) Untuk menilai prognosis
5) Untuk menilai status kesehatan sebelum memulai aktivitas fisik
berat program
b. Monitoring
1) Untuk menilai intervensi terapeutik
2) Untuk menggambarkan perjalanan peyakit yang mempengaruhi
fungsi paru-paru
3) Untuk memantau efek samping obat dengan toksisitas paru
diketahui
4) Untuk memantau orang terkena agen merugikan
c. Penurunan Nilai Evaluasi
1) Untuk menilai pasien sebagai bagian dari program rehabilitasi
2) Untuk menilai resiko sebagai bagian dari evaluasi asuransi
d. Volume Statik dan Volume Dinamik
5

Dibawah ini adalah jenis-jenis volume statik dan volume


dinamik yang dapat diukur dengan menggunakan spirometri kecuali
Volume Residu, Kapasitas Total paru dan Kapasitas Residu
Fungsional:
1) Volume Statik
a) Volume Tidal (VT)
(1) Volume Cadangan Inspirasi (VCI)
(2) Volume Cadangan Ekspirasi (VCE)
(3) Volume Residu (VR)
(4) Kapasitas Vital (KV)
(5) Kapasitas Vital Paksa (KVP)
(6) Kapasitas Residu Fungsional (KRF)
(7) Kapasitas Paru Total (KPT)
b) Volume Dinamik
(1) Vital Capacity (VC) adalah jumlah udara (dalam liter)
yang keluar dari paru sewaktu pernapasan yang normal.
Responden diinstruksi untuk menginhalasi dan
mengekspirasi secara normal untuk mendapat ekspirasi
yang maksimal. Nilai normal biasanya 80% dari jumlah
total paru. Akibat dari elastisitas paru dan keadaan
toraks, jumlah udara yang kecil akan tersisa didalam
paru selepas ekspirasi maksimal. Volume ini disebut
residual volume (RV) (Guyton, 2006).
(2) Forced Vital Capacity (FVC). Setelah mengekspirasi
secara maksimal, responden disuruh menginspirasi
dengan usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat
dan cepat. FVC adalah volume udara yang diekspirasi
ke dalam spirometri dengan usaha inhalasi yang
maksimum (Ganong, 2005)
(3) Forced Expiratory Volume (FEV). Pada awalnya
maneuver FEV diukur dengan volume udara keluar ke
dalam spirometri dengan interval 0.5, 1.0, 2.0, dan 3.0
detik. Jumlah dari semua nilai itu memberikan ukuran
sebanyak 97% dari FEV. Secara umum, FEV 1
digunakkan lebih banyak yaitu volume udara yang
6

diekspirasi ke dalam spirometri pada 1 saat. Nilai


normalnya adalah 70% dari FEV (Ganong, 2005).
(4) Maximal voluntary ventilation (MVV): Responden
akan bernapas sedalam dan secepat mungkin selama 15
detik. Rerata volume udara (dalam liter) menunjukkan
kekuatan otot respiratori. (Guyton, 2006)
Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20-25%
lebih kecil daripada pria dan lebih besar lagi pada atlet dan orang yang
bertubuh besar dari pada orang yang bertubuh kecil (Yusuf dan Giriputro,
1987). Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah
posisi orang tersebut selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot
pernafasan, distensibilitas paru-paru dan sangkar dada yang disebut
“Compliance paru-paru” (Guyton, 1991).
2. Gangguan Fungsi Paru
Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami
oleh paru-paru yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus,
bakteri, debu maupun partikel lainnya. Penyakit pernapasan yang
diklasifikasikan karena uji spirometri ada dua macam yaitu penyakit yang
menyebabkan gangguan ventilasi obstruksi dan penyakit yang
menyebabkan ventilasi restriksi (Guyton dan Hall, 1997). Adapun
gangguan fungsi paru ada tiga yaitu:
a. Gangguan Paru Obstruksi
Penurunan kapasitas paru yang diakibatkan oleh penimbunan
debu sehingga menyebabakan penurunan dan penyumbatan saluran
nafas. Menurut Yunus (1997) penyakit paru yang menyebabkan
terjadinya obstruksi:
1) Asma bronkiale
2) Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM)
3) Bronkiektasis
4) Kistik fibrosis
5) Bronkiolitis
b. Gangguan Paru Restriksi
Penyempitan saluran paru yang diakibatkan oleh bahan yang
bersifat alergi seperti debu, spora, jamur yang mengganggu saluran
pernafasan dan kerusakan jaringan paru-paru. Menurut Yunus (1997)
penyakit paru yang menyebabkan terjadinya restriksi:
7

1) Penyakit paru primer di parenkim paru


2) Operasi pengangkatan jaringan paru
3) Penyakit yang ada di pleura dan dinding dada
c. Gangguan Campuran
Kombinasi dari penyakit pernafasan obstruksi dan restriksi.
3. Definisi Penyakit Paru Akibat Kerja
Penyakit paru akibat kerja (PPAK) merupakan salah satu kelompok
penyakit akibat kerja yang organ sasarannya adalah paru-paru.
Sebagaimana halnya penyakit akibat kerja yang pengertiannya adalah
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, maka
penyakit paru akibat kerja atau penyakit paru yang timbul karena
hubungan kerja diartikan sebagai penyakit paru yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (Suma’mur, 2013).
4. Jenis Penyakit Paru Akibat Kerja
Beberapa penyakit yang tercantum dalam lampiran Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Per.01/Men/1981
tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja adalah sebagai
berikut:
a. Silicosis, anthrakosilicosis, asbestosis, silikotubericolosis
b. Penyakit paru-paru dan saluran pernafasan
c. Asma akibat kerja oleh karena:
1) Debu logam keras
2) Debu kapas, vias, hennep dan sisal (byssinosis)
Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran
napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh
inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari
inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan
atau secara tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja. Ciri
dari semua asma kronis adalah iritabilitas berlebihan terhadap
berbagai rangsangan atau faktor dalam lingkungan kerja.
Asma yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan dalam dua
kategori. Pertama adalah asma yang disebabkan bahan atau faktor
dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang sudah ada sebelum
bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan atau faktor dalam
lingkungan kerja. Pada karyawan yang sudah menderita asma
8

sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat pajanan terhadap


bahan atau faktor dalam lingkungan kerja.
d. Alveolimitis alergis oleh karena menghirup debu organik
Sistem pernafasan yang dilalui debu pada waktu dihirup adalah
meliputi bagian-bagian sebagai berikut :
1) Saluran udara pernafasan
2) Hidung, terdiri dari hidung luar dan cavum nasi
3) Pharink, terletak dibelakang mulut
4) Larink, berbentuk pipa yang berfungsi sebagai jalan udara
5) Pernafasan dan organ suara
6) Trakhea, merupakan lanjutan larink yang panjangnya + 115 cm
Pneumoconiosis merupakan salah satu penyakit akibat kerja.
Pneumoconiosis adalah segolongan penyakit yang disebabkan oleh
penimbunan debu dalam paru-paru. Debu yang menyebabkan terjadinya
pneumoconiosis adalah debu yang berukuran 1,1 - 3 mikron. Debu yang
lebih besar akan tertahan di saluran bagian atas dan lebih kecil akan
dikeluarkan lagi melalui sistem pernafasan. Macam pneumoconiosis
tergantung dari jenis debu yang tertimbun, antara lain:
a. Silicosis
Silicosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu
silica bebas (SiO2). Masa inkubasinya 2 - 4 tahun. Tingkatan dari
silicosis ada tiga, yaitu:
1) Silicosis sederhana (silikosis kronis simplek), ditandai dengan
sesak nafas (dyspnoea) terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil
debu silica dalam jangka panjang lebih dari 20 tahun
2) Silicosis sedang (silicosis akselerata), terjadi setelah terpapar
oleh sejumlah silica yang lebih banyak selama waktu yang lebih
pendek (4 - 8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut
dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat
3) Silicosis berat, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah
yang sangat besar, dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru
9

sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak


nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah
4) Silicosis dapat terjadi di perusahaan:
a) Penghasil batu bangunan
b) Granit
c) Keramik
d) Tambang timah putih
e) Tambang batu bara
f) Perusahaan tempat menggerinda besi
g) Pabrik besi dan baja
h) Proses menggunakan silica seperti sandblasting dan fettling
Tidak satupun obat khusus untuk penyakit silicosis. Mekanisme
silica bebas juga belum diketahui, terdapat empat teori tentang
mekanisme tersebut, yaitu:
1) Teori mekanis, yang menganggap permukaan runcing debu-debu
merangsang terjadinya penyakit
2) Teori elektromagnetis, bahwa gelombang gelombang
elektromagnetislah penyebab fibrosis dalam paru-paru
3) Teori silikat, menerangkan bahwa SiO2 bereaksi dengan air dari
jaringan paru-paru, sehingga terbentuk silikat yang
menyebabkan kelainan paru-paru
4) Teori imunologis, yaitu tubuh mengadakan zat anti yang
bereaksi di paru-paru dengan antigen yang berasal dari debu
Pencegahan silicosis dapat dilakukan dengan penurunan kadar
debu di udara pada tempat kerja dan perlindungan diri pada pekerja,
ventilasi secara umum dan lokal dan pemeriksaan secara berkala
pada setiap bekerja. Pemeriksaan secara berkala berfungsi untuk
menemukan penderita-penderita silikosis sedini mungkin, kemudian
dapat dipindahkan pekerjaannya agar cacat dapat dicegah.
b. Anthracosis
10

Anthracosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu-


debu arang batu. Masa inkubasinya 2 - 4 tahun. Terdapat tiga
gambaran klinis yaitu anthracosis murni, silicoanthracosis dan
tuberculosilicoanthracosis. Anthracosis murni biasanya lambbat
untuk menjadi berat dan tidak begitu bahaya, kecuali jika terjadi
emphysema yang mungkin menyebabkan kematian. Antara
anthracosis murni dengan anthracosilikosis hampir tidak dapat
dicari perbedaan. Pada tuberculosilicoanthracosis, selain terdapat
kelainan paru-paru oleh debu mengandung silica dan arang batu juga
basil-basil tubercolusa menyerang paru-paru.
Perbedaan klinis antara anthracosis dan silicosis, bahwa pekerja
tambang arang batu dengan emphysema lokal dan
anthracosilicotuberculosis adalah lebih sesak dari pada sakitnya,
sedangkan kematian terjadi pada seperti emphysema, bronchitis
chronca dan kegagalan jantung kanan. Karena itu anthracosis
dipakai istilah astma pekerja tambang, sedangkan pada
silicotuberculosis selain sesak sakitnya juga hebat dari itu dipakai
istilah phthisis pekerja tambang.
Pengelolaan pada anthracosis dengan menambah alat bantu
yang fungsinya untuk melengkapi cara penaggulangan pencemaran
lingkungan secara teknis dilakukan dengan menambahkan alat bantu
yang dapat mengurangi pencemaran. Alat bantu yang digunakan
tergantung pada keadaan dan macam kegiatan. Cara pencegahan
anthracosis dan komplikasi-komplikasinya adalah sebagai berikut:
1) Ventilasi penting untuk mengurangi kadar debu di udara
2) Pemotongan arang batu dilakukan dengan arang basah dengan
jalan menyemprotkan air kepada rantai alat pemotong pada
tempat-tempat rantai bersentuhan dengan permukaan
3) Pengeboran basah dengan aliran air bertekanan tinggi kepada
tempat-tempat mengebor, pengeboran kering harus dilarang
4) Membasahi arang batu dengan menggunakan air
11

5) Memercikkan air pada arang batu yang akan diangkat, dimuat


dan diangkut
6) Masker debu dipakai pada waktu memasuki tambang sesudah
peledakan
7) Pengukuran kadar debu arang batu di udara tempat kerja
8) Pemeriksaan paru-paru berkala untuk diagnosa sedini-dininya
c. Asbestosis
Asbestosis adalah salah satu jenis pneumoconiosis yang
penyebabnya adalah debu asbes. Asbes adalah campuran berbagai
silikat, tapi terpenting magnesium silikat. Pekerjaan-pekerjaan
dengan bahaya penyakit tersebut adalah:
1) Reparasi asbes
2) Penenunan dan pemintalan asbes
3) Pengolahan asbes
Gejala-gejala asbestosis adalah sesak nafas, batuk dan banyak
mengeluarkan riak. Tanda-tanda fisis adalah:
1) Cyanosis, pelebaran ujung-ujung jari dan krepitasi halus di dasar
paru-paru pada saat auskultasi
2) Ludah mengandung badan-badan asbes yng baru mempunyai
arti untuk diagnosa apabila terdapat dalam kelompok-kelompok
3) Kelainan radiologis lambat terlihat, sedangkan gejala-gejala
telah dahulu tampak
4) Gambaran rongent paru-paru pada tingkat sakit tersebut
menunjukkan titik-titik halus di basis paru-paru, sedangkan
batas-batas jantung dan diafragma tidak jelas
Cara pencegahan dari penyakit asbestosis antara lain:
1) Usaha-usaha menurunkan kadar debu di udara
2) Pengeboran harus basah
3) Diadakannya ventilasi di udara
4) Pekerja memakai alat pelindung diri
12

5) Penerangan atau penyuluhan tentang arti penting kesehatan pada


pekerja
d. Byssinosis
Byssinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan
oleh debu kapas. Masa inkubasi terpendek 5 tahun. Sering terjadi
pada para pekerja tekstil. Penyebab dari byssinosis adalah:
1) Efek mekanis debu kapas yang dihirup
2) Akibat pengaruh endotoksin bakteri-bakteri kepada alat
pernafasan
3) Reaksi alergi oleh para pekerja
4) Bekerjanya bahan kimia yang bereaksi terhadap paru-paru
5) Reaksi psikis oleh para pekerja
Tingkatan byssinosis:
1) Tingkat 0 : tidak ada gejala-gejala.
2) Tingkat ½ : kadang-kadang berat dada dan sesak nafas pada
hari senin atau rangsangan-rangsangan pada alat pernafasan
pada hari-hari senin.
3) Tingkat 1 : berat dada pada hari senin dan setiap hari tersebut.
4) Tingkat 2 : berat dada dan sesak nafas pada hari-hari senin dan
hari lainnya.
5) Tingkat 3 : byssinosis dengan cacat paru-paru.
Usaha-usaha pencegahan:
1) Pemeliharaan rumah tangga yang baik di perusahaan tekstil
2) Pembersihan mesin sebaiknya dengan pompa hampa udara
sehingga tidak secara mekanis
3) Membersihkan lantai dengan sapu tidak baik
4) Ventilasi umum secara meniupkan udara tidak baik, seharusnya
dengan cara hisap
5) Bila mungkin, kapas segera diperciki air sesudah dibuka dari
bal-balnya
13

6) Pemeriksaan kesehatan pekerja sebelum bekerja dan berkala


dengan cara wawancara dan uji faali untuk menemukan tanda
penyakit
7) Pekerja-pekerja yang telah dipengaruhi oleh debu kapas harus
segera dipindahkan pekerjaannya ke tempat yang kurang atau
tidak berbahaya
e. Berryliosis
Berryliosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan karena
menghirup debu yang mengandung berrilium berupa logam, oksida,
sulfat, chlorida, fluorida. Dapat menyebabkan bronchitis dan
pneumonitis. Masa inkubasi 5 tahun. Terdapat pada pekerja dalam
perusahaan pembuatan tabung radio dan tabung fluorescent. Gejala
dari penyakit berryliosis, antara lain:
1) Sakit demam
2) Batuk kering
3) Sesak nafas
4) Demam tinggi
5) Nadi sangat cepat
6) Banyak dahak
Cara pencegahan:
1) Para pekerja diberi alat palindung diri
2) Membiasakan para pekerja mencuci tangan sebelum makan
3) Pemeriksaan secara berkala
f. Stannosis
Stannosis adalah pneumoconiosis yang tidak begitu berbahaya
disebabkan menghirup debu timah putih. Terjadi pada pekerja
pengolahan biji timah.
g. Siderosis
Siderosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan debu yang
mengandung persenyawaan besi. Masa inkubasi 5 tahun. Terdapat
pada pekerja yang menghirup debu dari pengolahan bijih besi.
Biasanya pada siderosis murni tidak terjadi fibrosis atau emphysema,
14

sehingga tidak ada pula cacat paru-paru. Siderosis murni biasanya


tidak merupakan predisposisi untuk TBC (tuberculosis).
h. Talcosis
Talcosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan debu talk yang
masuk ke dalam paru-paru. Biasanya talk merupakan campuran
mineral misalnya Mg-Silicat, Ca-Silicat.
i. Bagasosis
Bagasosis disebabkan oleh debu ampas tebu. Terjadi pada
pekerja di perusahaan gula pasir, dan perusahaan pupuk
kompos.Nilai ambang batas untuk bahan-bahan kimia seperti debu,
NAB (Nilai Ambang Batas) dinyatakan dalam ”juta partikel per
meter kubik udara” atau disingkat ”jppmk”.
Gejala klinis pneumoconiosis adalah batuk-batuk, sesak nafas,
kelelahan umum, banyak dahak dan lain-lain, sehingga diagnosanya
sukar karena gejala tersebut juga ada pada penyakit lain. Namun untuk
mendiagnosa pneumoconiosis harus dilakukan secara menyeluruh dari
beberapa tahap, yaitu antara lain dapat dilakukan dengan sebagai berikut:
a. Mengetahui riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan
b. Pemeriksaan ruang kerja dengan pengujian kadar debu lingkungan
kerja
c. Pemeriksaan fisik tenaga kerja
d. Pemeriksaan paru-paru dengan rontgen
e. Pemeriksaan hubungan kerja dan tidak bekerja dengan gejala
penyakit
f. Pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri
Pada orang terkena pneumoconiosis pada dasarnya tidak dapat
disembuhkan, namun pneumoconiosis dapat dicegah dengan cara:
a. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yang meliputi pemeriksaan
awal, berkala, dan khusus
b. Penyuluhan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) pada tenaga
kerja
c. Sistem ventilasi yang baik
15

d. Kebersihan perusahaan
e. Pemakaian alat pelindung diri
Apabila ada pekerja dicurigai atau sudah terkena pneumoconiosis
dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Dipindahkan ke lain pekerjaan dengan tingkat bahaya yang lebih
rendah
b. Diberi istirahat sementara
c. Diberi obat-obatan untuk menghilangkan gejalanya
d. Diberhentikan/direhabilitasi
5. Penilaian Penyakit Paru Akibat Kerja
Uraian cacat dan penilaian tingkat cacat menurut Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat
Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja.
a. Uraian Cacat
1) Kelainan fungsi paru (restriktif dan obstruktif atau campuran)
Tabel 2.1 Kelainan Fungsi Paru Menurut Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.25/MEN/XII/2008
Obstruktif (VEP1/KVP)
Restriksi (KVP% atau
% atau VEP1%
KVP/Prediksi%)
(VEP1/Prediksi)
Normal >80% >75%
Ringan 60-79% 60-74%
Sedang 30-59% 30-59%
Normal >80% >75%

2) Kelainan anatomi seperti kehilangan sebagian jaringan paru,


misalnya lobektomi.
b. Penilaian Derajat Sesak
1) Derajat O : Tidak sesak kecuali exercise berat
16

2) Derajat I : Sesak ringan, rasa napas pendek bila berjalan cepat


mendatar atau mendaki
3) Derajat II : Sesak sedang, berjalan lebih lambat dibandingkan
orang lain sama umur karena sesak atau harus berhenti untuk
bernapas saat berjalan mendatar
4) Derajat III : Sesak berat, berhenti untuk bernapas setelah
berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar
5) Derajat IV: Sangat berat terlalu sesak untuk keluar rumah,
sesak saat mengenakan/melepaskan pakaian
c. Penilaian Cacat
Penilaian cacat pada penyakit paru akibat kerja didasarkan
kepada hasil penentuan pemeriksaan spirometri dan derajat sesak
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Penilaian Cacat Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.25/MEN/XII/2008
Persentase Cacat Fungsi
Derajat Sesak VEP1
(Fungsional Disability)
0 >2,5 L -
1 Ringan 1,6 – 2,5 L 25%
2 Sedang 1,1 – 1,5 L 50%
3 Berat 0,5 – 1 L 75%
4 Sangat Berat <0,1 L 100%
Penilaian dilakukan setelah penderita mendapat terapi maksimal
(bronkodilator) selama 3 bulan dengan hasil menetap. Cara
menetapkan penilaian kecacatan fungsi (functional disability)
ditentukan dengan menilai secara subyektif keluhan sesak napas dan
penilaian obyektif dengan pemeriksaan spirometri. Penentuan ganti
rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi 100% sama dengan
70%.
B. Perundang-Undangan
17

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal


3 ayat 1 (g), ”Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar
luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, uap, gas, hembusan angin,
cuaca, sinar/radiasi, suara dan getaran.”
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat
Kerja. Pasal 3 ayat 1, “Bila ada penyakit akibat kerja harus dilaporkan ke
Depnaker dalam waktu 2 x 24 jam dan segera dilakukan diagnosa.”
3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE‐01/MEN/1997 Tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja
4. Undang-Undang Nomor 14 tentang Pokok-Pokok Ketentuan
Keselamatan Tenaga Kerja, pasal 9 dan 10
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan
Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja

Anda mungkin juga menyukai