BUKLET Kewajiban Syariah Islam Plus Cover
BUKLET Kewajiban Syariah Islam Plus Cover
hizbut-tahrir.or.id
mediaumat.com
Tafsir Ibnu Katsir
0
(Terjemahan
Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir)
Kewajiban Syariah Islam
1
لمككلل هجهعنلهنمام ممنمككنم مشنرهعةج هوممننمنههامججام
”… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang…” (QS. Al Maidah (5): 48)
Ketiga ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah Swt. Ketiga ayat tersebut turun berkenaan
dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya untuk
mereka. Sebab ungkapannya bersifat umum. Kata man yang berkedudukan
sebagai syarat memberi makna umum, sehingga tidak dikhususkan kepada
kelompok tertentu. (al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6; al-
Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 428)
Dalam kaidah yang rajih disebutkan:
م م م م
ص الشسمبه م
ب الن نعبنهرةك بمعككموم اللشنفظ هل بك ك
صو م
“Berlakunya hukum dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”
3
Tidak semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah
secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara
cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfir (pengkafiran)
yang tidak pada tempatnya. Perbuatan ‘memutuskan perkara dengan hukum
Allah’ termasuk dalam wilayah Syariah. Secara Syar’i, perbuatan tersebut
termasuk dalam hukum wajib.
Sebagai persoalan yang termasuk dalam wilayah Syariah, meninggalkan
kewajiban ini dikatagorikan sebagai perbuatan dosa. Namun pelanggaran
3
tersebut tidak sampai mengeluarkan seseorang dari status keimanannya atau
keIslamannya.
Status kafir atau murtad baru dapat diberikan apabila seseorang mengingkari
hukum-hukum-Nya. Apabila seseorang mengingkari wajibnya berhukum
dengan Syariah, maka pengingkaran itu dapat menyebabkannya keluar dari
Islam alias kafir. Status kafir atau murtad itu bukan disebabkan karena
tindakannya yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah namun
karena pengingkarannya terhadap suatu perkara yang telah dipastikan oleh al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hal pengingkaran, masalahnya bukan sekadar
pelanggaran terhadap ketetapan hukum Syara’, namun sudah masuk dalam
wilayah Aqidah. Sementara Aqidah inilah yang menjadi pembeda antara orang
mukmin dengan orang kafir.
Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam Nidzâm al-
Hukm fî al-Islâm menuturkan:
4
وجعل من,وقد أمر ال السملطامن والامكم أن يكم بام أنزل ال على رسوله
أو اعتقد بعدم صلحية مام أنزل,يكم بام بغي مام أنزل ال كامفرا إن اعتقد به
وجعل عامصيام وفامسقام وظاملام إن حكم به ول يعتقده,ال على رسوله
“Dan sungguh Allah telah memerintahkan sulthon dan penguasa untuk
berhukum dengan apa yang Allah Swt. turunkan kepada Rasul-Nya; dan
menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau meyakini tidak layaknya apa
yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik,
dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak
meyakininya.” (Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzâm
al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 20)
Pandangan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili merupakan pandangan
jumhur Ahlussunnah. (al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 206)
Penguasa yang meyakini Islam tetapi tidak memerintah dengan Islam adalah
penguasa yang zalim dan FASIK.
Berkaitan dengan sosok yang sah memangku kepemimpinan negara maka
harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan
budak), adil (BUKAN FASIK) serta mampu memikul tugas-tugas dan
tanggung jawab kepala negara. Jika seseorang tidak memiliki salah satu syarat
ini, dalam pandangan hukum Syariah, ia tak boleh menjadi kepala negara.
Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena MENGINGKARI Islam
dan menganggap Islam itu TIDAK LAYAK untuk memutuskan perkara, maka
itu merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu. 5
صلليِنن
خيِير ُا لنفاَ ل إللن ُا لرحلكرم ُإلقل ُلللقله ُينيرق ص
ص ُا لنحقق ُنورهنو ُ ن ل ر
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. al-An’am [6]:
57)
5
إللن ُا لرحلكرم ُإلقل ُلللقله ُأننمنر ُأنقل ُتنيلعبرردوا ُإلقل ُإلقياَره ُنذلل ن
ك ُاليديرن ُا لنقيِيرم ُنولنلكقن ُأنلكثْنينر
القناَ ل
س ُنل ُينيلعلنرمونن
“Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan al hukmu itu berupa peradilan, syariat ,
hukum (al qodhou), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).
﴿هوأهمن انحككنم بهننيننمهنكهنم م هبام أهننهزهل اللشهك هوهل تهنتشبمنع أهنههواءهكهنم هوانحهذنركهنم أهنن يهننفتمكنموهك هعنن
َ﴾ك ض همام أهننهزهل اللشهك إملهني ه بهننع م
“Hendaklah kamu menghukumi mereka menurut wahyu yang telah Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah
kamu terhadap mereka yang hendak memalingkan kamu dari sebagian wahyu
yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 49)
6
Mengenai hukum apa yang wajib diterapkan oleh negara? Pendapat Ahlus
Sunnah jelas, yaitu hukum Syariah. Alasannya, karena Ahlus Sunnah
berpendapat bahwa baik dan buruk harus dikembalikan pada Syariah, bukan
akal. Qadhi al-Baqillani (w. 403) mengatakan:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan 7
seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya [313]
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul-pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. (4) An Nisaa': 64)
[313]
Dipahami dari ayat-ayat sebelumnya bahwa ‘menganiaya dirinya’ ialah:
berhakim kepada selain Nabi Muhammad Saw.
7
ك له ينكنؤممكنموهن هحشت كيهمككموهك مفيهمام هشهجهر بهننيننمهنكهنم كثش له هميكدوا مف )فهله هوهربم ه
(ت هويكهسملمكموا تهنسممليجمام م م
أهننكفسممهنم هحهرججام شمام قه ه
ضني ه
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap
perkara yang mereka perselisihkan. (sehingga) kemudian tidak ada rasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, pada saat menafsirkan QS. An Nisaa': 65,
menyatakan, Allah SWT bersumpah dengan mengatasnamakan diri-Nya sendiri
Yang Maha Mulia dan Maha Suci, sesungguhnya seseorang belumlah beriman
secara sempurna hingga ia berhakim kepada Rasulullah SAW. dalam seluruh
urusan.
Semua yang Rasulullah putuskan merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik
lahir maupun batin. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: tsumma laa
yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadlaita wa yusallimuu tasliimaa:
yakni, jika mereka telah berhakim kepadamu (Muhammad SAW), mereka
wajib mentaatimu (mentaati keputusan yang diambil Nabi SAW) di dalam
batin-batin mereka; dan mereka tidak mendapati perasaan ragu di dalam diri
mereka atas apa yang telah kamu putuskan; dan lalu mengikutinya (keputusan
Nabi SAW tersebut) baik dzahir maupun bathin. Kemudian, mereka berserah
diri kepada itu (keputusan Nabi SAW), dengan penyerahan diri yang bersifat
utuh, tanpa ada ganjalan sedikitpun, tanpa ada penolakan sedikitpun, dan tanpa
ada penyelisihan sedikitpun; sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,
Nabi SAW bersabda “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, 8
sesungguhnya seseorang di antara kalian belumlah beriman hingga hawa
nafsunya tunduk dengan apa yang aku bawa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Al-
Quran Al-‘Adziim, Juz 2/349)
و مام اختهنلهنفتكم فميمه ممن هشيءء فهحنكمه إهل ا م
ل ه ه ن ن ن ن ن ك كك
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada
Allah." (QS. [42] Asy-Syuura: 10)
Ibnu Katsir: “Yaitu, Dia-lah Hakim yang memutuskannya, melalui Kitab-Nya
dan Sunnah Nabi-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, juz 25, hal. 235)
8
هيامأه نيههام الشمذيهن هءاهمنمكوا أهمطيعكوا اله هوأهمطيعكوا الشركسوهل هوأكومل انلهنممر ممننمككنم فهمإنن تهنهنمامهزنعتكنم
م ل والشرسومل إمنن ككننمتم تنؤممنموهن مبام م م ء
خينثر
ك هن ل هوانليهننوم نالمخمر هذل ه ك ن كن ك م م
مف هشنيء فهنكريدوهك إهل ا ه ك
هوأهنحهسمكن تهأنمويلج
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An-nisa [4]: 59)
Menurut Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak
berhukum merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada selain
keduanya dalam perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada
Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346)
Dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ayat ini menjadi dalil orang-orang yang
tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah
dan hukum yang berasal dari Nabi Saw. bukanlah orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir. (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120)
Kaum Muslim diwajibkan untuk menaati Ulil Amri dalam perkara yang sesuai
dengan Syariah, dalam perkara yang tidak menyimpang dari Syariah. Jika
menyimpang dari Syariah maka tidak boleh ditaati. Rasulullah Saw. bersabda:
صيمة ا م
م م ء
شل9ل هعشز هوهج له هطامهعةه لهمنخكلوق مف همنع ه
”Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah
‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dari Ali ra.)
Rasul Saw. membatasi ketaatan itu hanya dalam kemakrufan. Rasul Saw.
bersabda:
إمشهنام الشطامعةك مف النمعرو م
ف ه ن ه ن كن
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf.” (HR. Ahmad,
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu Ja’far menyatakan, ”…
melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni memerintahkan manusia
untuk mengikuti Nabi Muhammad Saw., dan agamanya yang berasal dari sisi
Allah Swt.; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar
kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan
ajaran yang dibawanya dari sisi Allah….” (Imam al-Thabariy, Tafsir al-
Thabariy, surat Ali Imron (3): 104)
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berpidato di hadapan kaum Muslim yang
datang untuk berbai’at:
م
ت ال هوهركسوهله هفل هطامهعة مل هعلهنيككنم ت ال هوهركسوهله فهمإهذا هع ه
صني ك فهأهطيعكومن همام أهطهنع ك
“Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku.” (Ath-
Thabari, Târîkh ath-Thabari, II/238)
Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah Swt., surat An Nisa’ ayat 59
menjelaskan: 10
لقد خشيت أن يطول: عن ابن عبامس رضي ال عنمهمام قامل قامل عمر
باملنمامس زمامن حت يقول قامئل ل نإد الرجم ف كتامب ال فيضلوا بتك فريضة
أنزلام ال أل وإن الرجم حق على من زن وقد أحصن إذا قاممت البينمة أو كامن
11
أل وقد رجم رسول ال: قامل سفيامن كذا حفظت. البل أو العتاف
. صلى ال عليه وسلم ورجنمام بعده
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Umar bin Khoththob ra. pernah berkata: “Sungguh
aku sangat khawatir akan berlangsung masa yang begitu lama di tengah-tengah
umat Islam, hingga (suatu saat nanti) akan ada yang berkata: “Kami tidak
menemukan had rajam dalam Kitabullah (Al-Qur’an).” Maka (dengan
demikian) mereka menjadi sesat karena telah meninggalkan kewajiban yang
telah Alloh turunkan. Ketahuilah bahwa hukum rajam itu adalah benar adanya
bagi siapa-siapa yang berzina sedang ia telah muhshon (telah menikah dan
telah menggauli pasangannya), jika telah ada bayyinah (alat bukti berupa 4
orang saksi laki-laki atau yang setara dengannya), atau kehamilan (di pihak
wanita), atau pengakuan (si pelaku).” (Shahîh al-Bukhâri, hadits no. 6829)
Berkata Sufyan (perowi): “Begini yang aku hafal (dari perkataan Umar bin
Khaththab): “Ketahuilah bahwa Rosululloh Saw. benar-benar menerapkan
hukum rajam, dan kami juga menerapkannya sepeninggal Beliau.” (HR. Al-
Bukhori)
Bai’at umat kepada Khalifah mengharuskan umat mendengar dan taat kepada
Khalifah yang mereka baiat. Tentu, ini berlaku selama Khalifah itu masih
takwa kepada Allah SWT, menjalankan hukum-hukum-Nya atas rakyatnya,
serta menjalankan semua tanggung jawab dan kewajibannya sesuai Syariah.
Umat wajib menaati dan menolong Khalifah selama kondisinya belum
berubah, meski ia menjadi penguasa (Khalifah) sepanjang hidupnya.
(Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsiy fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah,
hlm. 67) 12
12
sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm
ar-Rahmân, vol. 1, 214)
م م
ك هوهمام أكنمزهل ممنن قهننبل ه
ك أههلن تهنهر إمهل الشذيهن يهننزعككموهن أهننشكهنم هءاهمنمكوا م هبام أكنمزهل إملهني ه
ت هوقهند أكممكروا أهنن يهنككفكروا بممه هويكمريكد الششنيهطامكن أهنن يمريكدوهن أهنن ينتهحامهكموا إمهل الشطامكغو م
ه ه ك ك
ضهلجل بهمعيجداضلشكهنم ه يم
ك
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut (undang-
undang dan pembuat hukum kufur), padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa': 60)
Dijelaskan oleh Ibnu Katsir dan az-Zuhaili, ini merupakan pengingkaran dari
Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengaku mengimani apa yang telah
diturunkan kepada Rasul-Nya dan kepada para nabi terdahulu, namun mereka
justru berhukum pada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997; az-
Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132)
Secara bahasa, kata thâghût berasal dari thaghâ (melampaui batas). Makna ini
terdapat dalam QS. al-Haqqah [69]: 11. Menurut al-Asfahani, kata tersebut
digunakan untuk menunjukkan tajâwaz al-hadd fî al-‘ishyân (tindakan
melampaui batas dalam kedurhakaan). (Al-Ashfahani. Mu’jam Mufradât
Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314, Dar al-Fikr, Beirut. t.t.)
Makna ini terdapat dalam banyak ayat al-Quran, seperti dalam firman Allah
Swt.: 13
Dalam ayat ini, perintah mengesakan dan menaati Allah Swt. dilawankan
dengan perintah menjauhi thâghût. Thâghût berarti segala yang ditaati yang
menyelisihi wahyu Allah Swt.
Dalam ayat ini (QS. An-Nisaa': 60), kata thaghût sering dikaitkan dengan
Ka’ab bin al-Asyraf. Banyak mufassir menyatakan, dialah yang dimaksud
dengan thaghût itu. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514, Dar al-Kutub 14
al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-
Ta’wîl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 2001; al-Baghawi, Ma’âlim at-
Tanzîl, 1/355, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Khazin, Lubâb at-
Ta’wîl, 1/393, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; al-Baidhawi, Anwâr at-
Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 1/221, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1998;
Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436; al-Wahidi an-
Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 2/73; as-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm,1/364; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 1/499, Nahr al-Khair, Madinah.
1993) 14
Az-Zamakshyari dan al-Nasafi menuturkan, hal itu disebabkan karena
kezaliman dan permusuhannya terhadap Rasulullah Saw. yang melampaui
batas; bisa juga karena dia menyerupai setan; atau karena dia dipilih untuk
dijadikan sebagai hakim selain Rasulullah Saw. dan berhakim kepada setan.
(Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514 dan an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa
Haqâiq at-Ta’wîl)
Jika dihubungkan dengan sabab nuzul ayat ini, penafsiran itu memang relevan.
Sebab, pemuka Yahudi itulah yang dijadikan sebagai hakim untuk memutuskan
perselisihan. Pengertian thâghût ini tidak terbatas untuk Ka’ab bin al-Asyraf.
Semua orang yang menduduki posisi dan peran yang sama dengannya tercakup
dalam lingkup makna thâghût.
Ibnu Katsir dan al-Zuhaili menegaskan, makna thâghût lebih umum dari Ka’ab
bin al-Asraf yaitu orang-orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah
serta berhukum kepada selain keduanya berupa kebatilan adalah thâghût yang
dimaksud ayat ini. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634; az-
Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132)
Abdurrahman al-Sa’di juga memaknai thâghût dalam ayat ini adalah setiap
orang yang berhukum dengan selain syariah Allah (kullu man hakama bi
ghayri syar’illâh). (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215, Jamiyyah
Ihya’ al-Turats al-Islami, tt. 2000)
Thâghût dalam ayat ini adalah semua hakim yang memutuskan perkara dengan
hukum selain al-Quran dan as-Sunnah. Keinginan mereka berhakim
kepada thâghût itu menunjukkan adanya kontradiksi pada sikap mereka.
Mereka mengaku mengimani al-Qur’an dan as-Sunnah yang diturunkan oleh 15
Allah, tetapi dalam praktiknya justru berhukum kepada yang lain.
Abdurrahman al-Sa’di menyatakan, siapa saja yang mengaku sebagai Mukmin
dan memilih untuk berhakim kepada thâghût, dia adalah pendusta dalam
perkara ini. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215)
15
“Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang
telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-
Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu
sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (TQS al-An’am [6]: 114)
ينيرقورلونن ُنهلل ُلننناَ ُلمنن ُاللنلملر ُلملن ُنشليءء ُقرلل ُإلقن ُاللنلمنر ُركلقره ُلللقله
“Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan)
dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di
tangan Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 154)
Dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain bahwa
kaum Yahudi dan Nasrani itu mengikuti pendeta dan rahib mereka dalam
perkara yang mereka halalkan dan mereka haramkan. (al-Suyuthi, al-Durr al-
Mantsûr, vol. 3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2
(Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432)
Pengertian itu didasarkan pada penjelasan Rasulullah Saw. terhadap ayat ini.
Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di
leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari
lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau
membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, 18
hingga selesai [QS. (9) at-Taubah: 31]. Saya berkata, “Sesungguhnya kami
tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan rahib
itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya;
menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya.” Aku
menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah ibadah
(penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR.
ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim; Bisa juga dilihat dalam al-Thabari, Jâmi’ al-
Bayân fî Ta’wîl al-Qur’aân, vol. 6, 354; al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 3
18
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 354; al-Wahidi al-Naisaburi, al-
Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1999), 489. Hadits serupa dengan sedikit perbedaan redaksional bahasa dapat
dijumpat dalam banyak kitab tafsir, seperti: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qur’ân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 77; al-
Zamakhsyari, al-Kasysyâf,vol. 2, 256; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 2, 432; al-Qasimi,Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 394)
Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menulis surat
19
kepada penduduk Najran, di antara isinya:
…ُ َأنلماَ ُبنيلعرد ُفنلإلني ُأنلدرعوركلم ُإنلىَ ُلعنباَندلة ُال لله ُلملن ُلعنباَندلة ُا للعنباَلد ُنوأنلدرعوركلم ُإنلى
… ُلولنينلة ُال لله ُلملن ُلولنينلة ُا للعنباَلد
“Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari
penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan
(wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) …” (Ibn Katsir, Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut)
Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga
terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah
yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu diulang
lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir (utusan
Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah
pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya
kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin ‘Amir
menjawab:
ل ُجاَء ُبلنناَ ُللنرلخلرج ُمن ُنشاَء ُلمن ُلعباَندلة ُا للعباَلد ُإلنلىَ ُلعباَندلة ُا ل
ل ل ان ل
ن ن ن نل ن ل ن ل ُابليتنينعثْلينناَ ُنوا ن ن
ر
ضليِلق ُالصدنلينيِاَ ُإلنلىَ ُنسنعتلنهاَ ُنولملن ُنجلولر ُاللنلدنياَلن ُإلنلىَ ُنعلدلل ُاللللسلنلم
… ُنولملن ُ ن
“Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar
kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba
(manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia
menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju
keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk,
20
ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut)
Orang-orang yang berpaling dari Syariat Allah dan hanya mengikuti akal dan
hawa nafsunya juga ditutup hati, pendengaran dan penglihatannya dari
petunjuk. Dengan demikian mereka hidup dalam kesesatan. Allah Swt.
berfirman:
20
ضلشهك اللشهك هعهلى معنلءم هوهختهنهم هعلهنى هسننعممه هوقهننلبمنمه هوهجهعنهل ت هممن اشتههذ إمهلههك هههواهك هوأه هأهفهنهرأهين ه
صمرمه مغهشامهوجة فههمنن يهننهمديمه ممنن بهننعمد اللشمه أهفههل تههذشككروهنهعهلى به ه
“Apakah engkau tidak melihat bagaimana orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhan dan Allah menyesatkan mereka atas dasar ilmu,
menutup pendengaran mereka dan menjadikan penutup pada penglihatan
mereka. Maka siapakah yang memberikan petunjuk kepada mereka selain
Allah?. Maka tidakkah engkau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah [45]:
23)
Allah SWT menyifati orang-orang musyrik dalam banyak ayat, bahwa mereka
mengikuti hawa nafsu (Lihat, misalnya: QS. al-Qashshash [28]: 50). Karena itu
Allah SWT melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu (QS. an-Nisa’ [4]: 135).
Untuk itu, Islam dan Syariahnya harus kita jadikan standar dan pedoman.
Semua keinginan, kecenderungan dan kesukaan dan tidaknya harus kita
tundukkan pada ketentuan Islam dan Syariahnya. Untuk mewujudkan itu kita
mengerahkan daya upaya menundukkan hawa nafsu. Allah SWT menyediakan
pahala yang besar dan Surga bagi siapa saja yang bisa merealisasikan ini (QS.
an-Nazi’at [79]: 40-41).
Allah SWT mensifati kaum yang melakukan hal itu dengan sifat yang sangat
jelek. Hal itu seperti ketika Allah SWT mensifati kaum Yahudi di dalam
firman-Nya:
[ ُنمثْنرل ُالقلذينن ُرحيمرلوا ُالتقيلونرانة ُثرقم ُلنلم ُينلحلمرلونهاَ ُنكنمثْنلل ُا للحنماَلر ُينلحلمرل ُأنلسنفاَذرا 24
بللئس ُمثْنل ُا لنقولم ُالقلذين ُنكقذبوا ُلبآِياَ ل
]ُ ت ُاللقله ن ر ن ن ن ر ل
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian
mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
24
mendustakan ayat-ayat Allah itu.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 5)
Dengan mengutip Ibn Mas’ud ra., Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhim juga menjelaskan, “Sesungguhnya al-Quran meliputi segala
pengetahuan yang bermanfaat berupa berita tentang apa saja yang telah lalu;
pengetahuan tentang apa saja yang akan datang; juga hukum tentang semua
yang halal dan yang haram serta apa yang diperlukan oleh manusia dalam
perkara dunia, agama, kehidupan dan akhirat mereka.”
Al-Quran tidak serta-merta secara riil berperan menjadi petunjuk kecuali jika
memang diperhatikan dan dijadikan sebagai panduan, pedoman dan petunjuk.
Itulah saat peringatan-peringatannya diindahkan, pelajaran-pelajarannya 26
diperhatikan, perintah-perintahnya dijalankan, larangan-larangannya dijauhi
dan ditinggalkan, ketentuan-ketentuannya diikuti, hukum-hukumnya serta halal
dan haramnya diterapkan dan dijadikan hukum untuk mengatur kehidupan.
َ« آهخمرينهن26
ضكع بممه »إشن ال ينرفهع مبهذا النمكهتام م
ب أهقننهوامامج هويه ه ه هن ك ه
“Sesungguhnya Allah meninggikan dengan al-Quran ini banyak kaum dan
merendahkan banyak kaum lainnya.” (HR. Muslim)
Allah SWT tegaskan bahwa al-Quran dengan segala isinya adalah datang dari
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
“Diturunkan Kitab ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. az-Zumar [39]: 1; al-Jatsiyah [45]: 2; al-Ahqaf [46]: 2)
Al-Hakîm (Maha Bijaksana) yakni dalam firman-firman, perbuatan, qadar
dan syariah-Nya. (Tafsîr Ibn Katsîr)
Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-
Anâm halaman 13 menyatakan, “Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan
akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan Syariah.”
Maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh Syariah; mafsadat
adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh Syariah. Dalam hal ini,
para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij
berkata, pamannya berkata—ketika Rasul Saw. melarang mereka
dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
ل هوهركسولممه أهننهفكع لههنمام
ل عن أهمءر هكامهن لههنمام هنامفمعام وطهوامعيةك ا م
ج ه ه ه
م
نهنههامهنام هركسوكل ا ه ن ن
“Rasulullah Saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi
kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi 29
29
kami. (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Rahmat[an] lil ‘alamin itu menjadi sifat dari Islam secara keseluruhan: akidah,
syariah/ hukum-hukumnya termasuk khilafah, jihad, hudud, dll. Rahmat[an] lil
‘alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan
diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan.
م
ك لهنمهنسمأهلهنمشنكهنم أهنجهع ه
[93 ،92 :ي * هعشمام هكامنكوا يهننعهمكلوهن ]الجر فهنهوهربم ه
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua (92), tentang
apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (93) (QS. Al-Hijr: 92-93)
Hadits Nabi menjelaskan:
سيلكترم ُبللهميياَ ُكلتنيياَب ُا ل ل «َقينياَنل ُتنيرلكي ر ل
لي ن ت ُفيِركيلم ُأنلمنريليلن ُلنيلن ُتنضيصلوا ُنميياَ ُتننم ق ل ن ن
»ُ نورسنقنة ُنبليِيله
“Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan
sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad)
30
Rasul Saw. memerintahkan agar hukum Islam ditegakkan terhadap siapa saja,
30
termasuk terhadap orang-orang dekat dan orang-orang yang kuat secara politik
ataupun ekonomi. Rasul Saw. bersabda:
َ« ب هوالنبهمعيمد هوله تهأنكخنذككنم مف اللشمه لهنوهمةك لهئمءم
» أهمقيموا كحكدوهد اللشمه مف النهقمري م
ك
“Tegakkanlah oleh kalian hudûd Allah atas orang dekat atau jauh dan janganlah
celaan para pencela menghalangi kalian.” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-
Baihaqi)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain oleh Abu Dawud di
dalam Al-Marâsîl dan dikutip oleh al-Baihaqi di dalam Ma’rifah as-Sunan wa
al-Atsar dari Makhul dari Ubadah bin ash-Shamit. Dinyatakan bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda:
هوله تكنهباملكنوا مف اللشمه،ب هوالنبهعمنيمد
هعهلى النهقمرين م،ضمر م م
أكقنيكمنوا كحكدنوهد اللشه م ن
ف الشسمهفمر هوانله ه
لهنوهمةه لهئمءم
“Tegakkanlah hudûd Allah baik di perjalanan atau sedang mukim, atas orang
yang dekat maupun jauh, dan jangan pedulikan di jalan Allah celaan orang
yang suka mencela.” (HR. Abu Dawud)
Hal itu ditegaskan dalam hadits dari Aisyah ra. bahwa kaum Quraisy pernah
terguncang dengan perkara seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri. 31
Seseorang berkata, “Siapa yang bisa berbicara kepada Rasulullah Saw.?”
Mereka berkata, “Tidak ada orang yang berani melakukan itu kecuali Usamah
bin Zaid, yang dikasihi Rasulullah Saw. Lalu Usamah berbicara kepada beliau.
Beliau lalu bersabda, “Apakah engkau memintakan pengampunan dalam salah
satu had di antara hudûd (hukuman-hukuman) Allah?” Kemudian beliau berdiri
dan berpidato:
هوإمهذا،ف تهنهرككوكه م » إمشهنام أههله م
ك الشذيهن قه ننبنلهككنم أهننشكهنم هكامنكوا إمهذا هسهرهق فيمهكم الششمري كن ه
لهنو أهشن هفاممطهمةه ابنننمهةه كمهشمءد، هوانيك اللشمه،ف أههقامكموا هعلهنيمه انلهشد سرهق مفيمهم ال ش م
ضعي ك ك هه
َ« ت يههدههامت لههقطهنع ك
هسهرقه ن
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum
kalian karena mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka
biarkan; jika orang lemah di antara mereka mencuri, mereka tegakkan had.
Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan
potong tangannya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-
Tirmidzi, Ibn Majah dan an-Nasa’i)
الشزانميهةك هوالشزامن هفامنجلمكدوا ككشل هوامحءد ممننمنكههمام ممامئهةه هجنلهدءة هول تهأنكخنذككنم مبمهمام هرأنفهةث مف
مديمن اللشمه إمنن ككننمتكنم تكننؤممكنموهن مبامللشمه هوانليهننومم المخمر هولنيهنشههند هعهذابهنكههمام هطامئمهفةث ممهن
ي مم
النكمنؤمنم ه
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing
dari keduanya seratus kali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada
32
keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian
mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka 32
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur [24]: 2)
Rasa tidak suka tidak boleh berpengaruh dalam penegakkan hukum Allah
SWT.
ي لملمه كشهههداء مباملنمقنسممط هوله هنيمره نممشككنم هشهنمآِكن قهننوءم م م
هيام أهينههام الشذيهن آهمنمكوان ككونكوان قهنشوام ه
ب مللتشننقهوىَ هواتشنكقوان اللهه إمشن اللهه هخبميث م هبام تهننعهمكلوهن م م
هعهلى أهلش تهننعدلكوان انعدلكوان كههو أهقننهر ك
٨﴿َ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah [5]: 8)
Ada berbagai riwayat pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin hukum Allah ditegakkan
atas para pelaku dosa, mereka dibawa ke hadapan khalifah atau wakilnya untuk
ditegakkan hukum Islam terhadapnya.
Abu Dawud ath-Thayalisi telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari
Hudhayn Abiy Sasan ar-Raqasyi, ia berkata:
لل ل ل
بت ُعرثْلنماَنن ُبلنن ُنعقفاَنن ُنرضني ُاللقره ُنعلنره ُنوأرتني ُلباَ لنوليِد ُبللن ُعرلقبننة ُقنلد ُنشلر ن ضلر رنح ن
ٍّ ُ»أنقللم:ا لنخلمنر ُنونشلهند ُنعلنليِله ُرحلمنرارن ُبلرن ُأننباَنن ُنونررجلل ُآنخرر ُفنينقاَنل ُعرثْلنماَرن ُللنعلليي
«…نعلنليِله ُا لنحقد
“Aku mendatangi Utsman bin Affan dan kepadanya didatangkan al-Walid bin
‘Uqbah dia telah minum khamar dan disaksikan oleh Humran bin Aban dan
seorang laki-laki lain, maka Utsman berkata kepada Ali: “Tegakkan
terhadapnya hadd …”
33
Khalifah Abu Bakar membunuh orang-orang yang murtad karena mengingkari
suatu kewajiban Syariah yaitu kewajiban zakat. Ibn Hibban telah mengeluarkan
di dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Ketika Rasulullah Saw.
wafat dan Abu Bakar diangkat menggantikan beliau (sebagai Khalifah) dan 33
orang dari kalangan Arab menjadi kafir, Abu Bakar memerangi mereka. Abu
Bakar berkata:
صهلمة هوالشزهكاممة فهمإشن الشزهكامهة هحيق النهماممل هواللشمه لهنو م م
هواللشه هلكهقامتلهشن همنن فهنشرهق بهن ن ه
ي ال ش
همنمهنعكومن معهقامجل هكامنكوا ينكهؤيدونههك إمهل هركسومل اللشمه صلى ال عليه وسلم لههقامتهننلتكنكهنم هعهلى
همننمعممه
“Demi Allah aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.
Zakat adalah hak harta. Demi Allah seandainya sekelompok orang
menghalangi dariku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah Saw.
pasti aku perangi mereka atas keengganan mereka itu.”
Syariah umat para rasul sebelum Rasulullah Saw. bukanlah syariah bagi kita.
Syariah sebelum kita telah dihapus dengan Islam. Allah SWT berfirman:
﴿ب هوكمههنيممجنمام هعلهنيمه
ي يهدينمه ممن النمكهتام م ن ب ماموأهننزلننمام إملهيك النمكتامب مبامنلمق مصمدجقام لم
ه ه هه ن ه ه ه ه ك ه ه ه ه
ه ن
هفامنحككنم بهننيننمهنكهنم م هبام أهننهزهل اللشهك هوهل تهنتشبمنع أهنههواءهكهنم هعشمام هجامءههك ممهن انلهمق لمككلل
34 ﴾َهجهعنلهنمام ممننمككنم مشنرهعةج هوممننمنههامججام
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
34
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maaidah: 48)
Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah
perbuatan dosa dan maksiat.
35
Al-Baghawi menafsirkannya sebagai: bi syu’ dzunûbihim (karena keburukan
dosa-dosa mereka). (Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417)
Ibnu Katsir memaknainya: bi sabab al-ma’âshî (karena kemaksiatan-
kemaksiatan). (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-
Fikr, 2000), 1438)
Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan: bi sabab ma’âshîhim wa
dzunûbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa mereka). (Az-Zamaksyari, Al- 35
Kasysyâf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360)
Dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin,
dan al-Shabuni. (Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-
Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubâb
at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol.
2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 442)
Kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
ت أهينمديككنم هويهننعكفو هعنن هكثْمءي م م ء
صامبهككنم منن كمصيبهة فهبمهمام هكهسمبه ن
هوهمام أه ه
“Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian
sendiri.” (QS. asy-Syura [42]: 30)
Ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di
muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan
Syariah-Nya.
36
Pemaparan Abu al-Aliyah dikutip oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
“Siapa saja yang bermaksiat di muka bumi, sungguh dia telah berbuat
kerusakan, sebab kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu
dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dinyatakan:
م م م
صهبامجحام ب إمهل أهنهلههام منن أهنن كينطهكرنوا أهنربهع ن ه
ي ه ض أههح ش هلهيد ينكهقامكم م ن
ف انلهنر م
“Sungguh satu hukuman had yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai
penduduknya daripada mereka diguyur hujan 40 hari.”
Hudud yang ditegakkan itu menghalangi manusia—atau kebanyakan mereka— 36
dari melakukan keharaman. Jika kemaksiatan dilakukan maka hal demikian
menjadi sebab terpupusnya berkah dari langit dan bumi.” (Ibn Katsir, Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Azhîm).
37
bentuk. Pertama: hudud yang Allah tetapkan untuk manusia dalam masalah
makanan, minuman, pernikahan dan lainnya; di antara apa yang dihalalkan dan
diharamkan, yang diperintahkan untuk dijauhi dan dilarang untuk
dilanggar. Kedua: uqûbât (sanksi) yang ditetapkan terhadap orang yang
melakukan apa yang dilarang seperti hadd pencuri, yaitu potong tangan dalam
pencurian seperempat dinar atau lebih; hadd orang berzina yang belum
menikah yaitu cambukan seratus kali dan diasingkan setahun; hadd orang yang
sudah menikah jika berzina yaitu dirajam; hadd orang yang menuduh orang
lain berzina yaitu cambukan 80 kali. Disebut hudûd karena menghalangi
perbuatan yang di situ ada sanksi jika dilakukan. Yang pertama disebut hudûd
karena merupakan akhir yang Allah larang untuk dilanggar (dilampaui).” 37
َ«همثْهكل النهقامئممم هعهلى كحكدومد اللشمه هوالنهواقممع مفيههام هكهمثْهمل قهننوءم انستهنههكموا هعهلى هسمفينمهءة
ضكهنم أهنسهفلهههام فههكامهن الشمذيهن مف أهنسهفلمههام إمهذا انستهنهقنوا ضكهنم أهنعلهههام هوبهننع ك
ب بهننع ك فهأه ه
صام ه
ممن النماممء ميروا عهلى من فهنوقهنهم فهنهقاملكوا لهو أهشنام خرقننهنمام مف نه م
صيبمهنمام هخنرجقام هوهلن ننكنؤمذ همنن ن هه ه ه ه ه هن ن كن
جيجعام هوإمنن أههخكذوا هعهلى أهينمديمهنم هنإهنوا هوهنإهنوا
فهنوقهنهنمام فهمإنن ي ننتنرككوهم ومام أهرادوا هلهككوا هم
ه ك ك ن هه ه ك ه ن
جيجعام» هم
“Perumpamaan orang yang menegakkan hudud Allah dan para pelanggarnya
adalah ibarat satu kaum yang sama-sama naik perahu. Sebagian di bagian atas
dan sebagian di bagian bawah. Mereka yang di bawah, jika ingin mengambil
air, melewati orang yang di atas. Lalu mereka berkata, “Andai saja kita
melubangi tempat kita dan kita tidak menyusahkan orang di atas kita.” Jika
para penumpang perahu itu membiarkan mereka dan apa yang mereka inginkan
itu, niscaya mereka binasa seluruhnya. Namun, jika para penumpang perahu itu
menindak mereka, niscaya mereka selamat dan selamat pula seluruhnya.” (HR.
al-Bukhari)
م م
ك همهع الشذيهن أهننهعهم الك هعلهنيمهنم مهن نمالشبميم ه
ي هوهمنن يكمطمع اله هوالشركسوهل فهكأولهئم ه
ك هرمفيجقام
ي هوهحكسمهن كأولهئم ه صمديمقي واليشههدامء وال ش مم
صامل ه هوال م ه ه ه ه
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
38
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa [4]: 69)
Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud frasa ‘an amrihi adalah
jalan, manhaj, thariqah, sunnah dan syariah Nabi Saw. Seluruh perkataan dan
perbuatan ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. Yang
sejalan diterima, sedangkan yang menyelisihi ditolak. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir)
39
Imam Ibnu Katsir rahimahuLlah mengetengahkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Ahmad dari shahabat Ibnu ’Umar ra., bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
هوهمنن تههشبشهه بمهقنوءم فهنكههو ممننمنكهنم
“Siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum
tersebut.” (HR. Ahmad)
Hadits ini mengandung larangan yang sangat keras serta ancaman bagi siapa
saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal 39
perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara
yang tidak disyariatkan bagi kaum Muslim. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir, 1/149-150)
Menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) mencakup perkara aqidah,
ibadah, hari raya, pakaian khas kekafiran mereka, adat istiadat, atau gaya hidup
yang memang merupakan bagian dari ciri-ciri khas kekafiran mereka (fi
khasha`ishihim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/175; Ali Ibrahim Mas’ud
‘Ajiin, Mukhalafah Al Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 14)
Dalam semua hal yang menyalahi Akidah dan Syariah, seorang Muslim
dilarang berbuat atas idenya sendiri maupun menirunya dari kaum kafir.
Seorang muslim diharamkan berpartisipasi dalam kekufuran maupun
kemaksiatan. Allah SWT berfirman:
هوالشمذيهن ل يهنشههكدوهن اليزوهر
”Dan [ciri-ciri hamba Allah adalah] tidak menghadiri /mempersaksikan
kedustaan/kepalsuan.” (QS. Al Furqaan [25]: 72)
Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan
lain-lain, bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan) dalam ayat tersebut
artinya adalah hari raya orang-orang musyrik (‘iedul musyrikiin). Berdalil
dengan ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya
muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi
bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul Qayyim, Ahkam
Ahlidz Dzimmah, 2/156)
ل كحنكجمام لمهقنوءم كيوقمكنموهن
أهفهحنكم انلاممهلميشمة ينبنكغوهن * و من أهحسمن ممن ا م
ه هن ن هك ه ك ه ه هن
40
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS. Al-
Maaidah: 50)
Keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu sendiri dan tak
terpisahkan dari Islam. Allah SWT berfirman:
ك مصندجقام هوهعندل وهتش م
ت هكلهمةك هربم ه
ه ن
“Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil.” (QS. al-An’am [6]: 115)
Ibnu Katsir: “Artinya, benar dalam beritanya dan adil dalam perintah serta
larangannya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni
Katsiir, juz 27, hal. 65)
41
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58)
Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh
al-Kitab dan as-Sunnah (Kullu ma dalla ‘alayhi al-kitab wa as-sunnah), baik
dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya. (Ibnu
Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyah, hlm. 15)
Menurut Imam al-Qurthubi, keadilan adalah setiap apa saja yang diwajibkan
baik berupa akidah Islam maupun hukum-hukum Islam (Kullu syayyin
mafrudhin min ‘aqa’id wa ahkam). (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-
Qur’an, X/165)
Keadilan dapat didefinisikan secara ringkas, yaitu berpegang teguh dengan 41
Islam (al-iltizam bil-Islam). (M. Ahmad Abdul Ghani, Mafhum al-‘Adalah al-
Ijtima’iyah fi Dhaw` al-Fikr al-Islami Al-Mu’ashir, I/75)
Penjelasan asy-Syaukani mengenai maksud adil dalam ayat ini: “Adil adalah
memutuskan perkara berdasarkan ketentuan dalam Kitabullah dan Sunnah-
Nya, tidak dengan pendapat pikiran semata, karena itu sama sekali tidak
terkategori sebagai kebenaran; kecuali jika tidak ditemukan dalilnya dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka bisa dengan hasil ijtihad pikiran dari
seorang hakim yang mengetahui hukum Allah Swt.; dan mengetahui yang
paling dekat dengan kebenaran ketika tidak ada nash. Adapun hakim yang tidak
memahami hukum Allah dan Rasul-Nya, juga tidak memahami yang paling
dekat dengan keduanya, maka dia tidak memahami keadilan. Sebab, dia tidak
memahami hujjah yang datang kepadanya, apalagi memutuskan antara hamba
Allah dengan hujjah itu. (Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 607)
Kemuliaan Para Sahabat ra. tidak lain dikarenakan keimanan kepada Alloh
Swt. dan Rosul-Nya, dan ketaatan mereka terhadap Syari’at.
ب بنن هكنع ء صاممر ش م
َ«ب هشهراجبام هدهة بنهن انلهشرامح هوأكهش ه43
ي هوأههبام كعبهنني ت أهنسقي أههبام طهنلهحةه انلهن هككننم ك
ء م م
ت فهنهقامهل أهكبو طهنلهحةه منن فهضيءخ هوكههو هتنثر فههجامءهكهنم آت فهنهقامهل إمشن انلهنمهر قهند كحمرهم ن
م يام أهنهس قكم إمهل همذمه انلمرامر هفامنك م
ت إمهل منههراءس لههنمام فه ه
ضهربننتكنههام س فهنكقنم كث هنهأ له قام
ه هام
هرن سم ه ه ك ن ه
مم
ت»بمأهنسهفله هحشت انهكهسمهر ن
Dari Anas bin Malik ra., beliau berkata: “Suatu ketika aku menjamu Abu
Thalhah Al-Anshari, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab dari
fadhij, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang datang kepada mereka
lalu berkata: Sesungguhnya khamr telah diharamkan. Maka berkata Abu
Thalhah: “Wahai Anas, berdiri dan pecahkanlah kendi itu!”, Anas berkata:
“Maka aku berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian (al mihras) milik
kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya (al mihras) hingga kendi 43
tersebut pecah.” (HR. Al-Bukhori)
44
"Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan mereka
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS.
An Nisaa': 115)
Jalan orang-orang yang beriman adalah jalan yang merupakan konsekuensi dari
keimanan, yaitu ideologi (aqidah dan syariah) Islam sebagaimana jalannya
Rasul Saw.
Umar bin Abdul Aziz dalam khuthbahnya berkata:
“Wahai manusia. Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang nabi lagi setelah
nabi kalian, dan tidak menurunkan al-Kitab lagi setelah al-Kitab yang
diturunkan kepada (Muhammad) ini. Apa yang dihalalkan Allah melalui lisan
Nabi-Nya, maka ia tetap halal hingga Hari Kiamat. Apa yang diharamkan Allah
melalui lisan Nabi-Nya, ia tetap haram hingga Hari Kiamat. Ketahuilah bahwa
saya bukan pembuat keputusan, melainkan pelaksana; saya bukanlah pembuat
bid’ah, melainkan pengikut (Syariah); dan saya bukanlah yang terbaik di antara
45
kalian, namun saya memikul tanggung jawab lebih berat daripada kalian.
Ketahuilah tidak ada seorangpun di antara makhluk Allah yang berhak ditaati
dalam hal maksiat kepada Allah. Ketahuilah dan jadilah saksi, bahwa saya telah
menyampaikan hal ini.” (Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, 1/115).
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha
terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-
mayl (cenderung). Demikian keterangan al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân. Sedangkan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyâf,
menegaskan bahwa al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-
yasîr (kecenderungan ringan).
Menurut Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, perbuatan zhalim yang tidak boleh diridhai itu adalah syirik.
Al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr menegaskan bahwa perbuatan itu tidak
hanya berlaku untuk kaum Musyrik, namun berlaku umum.
Ini berarti setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan
hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak
diperbolehkan.
Berkaitan dengan makna al-rukûn ilâ al-ladzîna âmânû, al-Zamakhsyari
memaparkan beberapa perbuatan yang dapat dikatagorikan di dalamnya. Di
antaranya adalah tunduk kepada hawa nafsu mereka, bersahabat dengan
mereka, bermajelis dengan mereka, mengunjungi mereka, bermuka manis
46
dengan mereka, ridha terhadap perbuatan mereka, menyerupai mereka, dan
menyebut keagungan mereka.
فههمنن ه،سمشمت
صشدقهنكهنم هوله يهنسمتهنينموهن بم ك نم، له يهننقتهكدوهن مبهندميي،يهككوكنوهن بهننعمدي
م
هوله يهمركدوا،ت ممننمنكهنم م
هولهنسم ك،ك لهنيكسموا ممن فهكأولهئم ه، هوأههعامنهنكهنم هعهلى ظكنلمممهنم،بمهكذمبمنم
مم
ك فهكأولهئم ه، هوهلن يكعمننمنكهنم هعهلى ظكنلمممهنم،صمدقننكهنم بمهكذبمنم م
هوهمنن هلن يك ه،هعلهشي هحنوضي
َ« هوهس هميكدوا هعلهشي هحنومضي،مممن هوأههنام ممننمنكهنم
“Aku meminta perlindungan kepada Allah untuk kamu dari kepemimpinan
(pemimpin) yang bodoh (sufaha’).” Kaab bertanya, “Apa kepemimpinan yang
bodoh itu?” Beliau bersabda, “Para pemimpin yang ada setelah aku. Mereka
tidak mengikuti petunjukku dan tidak mencontoh sunnahku. Siapa yang
membenarkan kebohongan mereka dan menolong mereka atas kezaliman
mereka, maka mereka bukan golonganku dan aku bukan golongan mereka, dan
mereka tidak ikut aku di Telaga (di Surga). Sebaliknya, siapa yang tidak
membenarkan kebohongan mereka dan tidak menolong mereka atas kezaliman
47
mereka maka mereka termasuk golonganku dan aku bagian dari golongan
mereka dan mereka akan ikut aku di Telaga.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban dan al-
Hakim)
Anas bin Malik menuturkan, bahwa Muadz pernah berkata, “Ya Rasulullah
bagaimana pendapat Anda jika atas kami memerintah para pemimpin yang
tidak berjalan di atas sunnahmu dan tidak mengambil perintah-perintahmu, apa
yang engkau perintahkan di dalam perkara mereka?” Rasulullah Saw. bersabda:
له هطامهعةه لمهمنن هلن يكمطمع اللشهه هعشز هوهجشل
“Tidak ada ketaatan terhadap orang yang tidak menaati Allah ‘Azza wa
Jalla.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)
Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian
ajaran Islam:
س
ث الشنمام ك
ت عكنرهوةث تههشبش ه
ضنضشن عكهرىَ انملنسهلمم عكنرهوجة عكنرهوجة فهككلشهمام ا ننتهنهق ه هليكنننمنهق ه
ضام انلكنككم هوآمخكركهشن ال ش م
صهلةك مباملشمت تهليههام هوأهشوكلكشن نهننق ج
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu
simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya
(yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah kekuasaan
(pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah shalat.” (Lihat Musnad
Ahmad, 1/251; Shahih Ibnu Majah no 257; Al Hakim dalam Al
Mustadrak, 4/92)
48
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm.
164:
وعلى ألن اللمة يب عليهام النقيامد، أجعت اللمة على وجوب عقد الماممة
ويسموسهم بأحكامم اللشريعة اللت أتى، يقيم فيهم أحكامم اللله، لمامءم عامدءل
بام رسول اللله صلى ال عليه وسلم ول يرج عن هذا الجامع من يعتلد بلفه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga
telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil
yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur
urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang
teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubra, Juz 6 hal. 164)
مم م م
صيدوهني يه ك ت النكمهنمامفق ههوإمهذا قيهل هلكنم تهنهعاملهنوا إمهل همام أهننهزهل اللشهك هوإمهل الشركسول هرأهين ه
ت أهينمديمهنم كثش هجامكءوهك م م
صامبهننتنكهنم كمصيبهةث بهام قهشدهم ن ف إمهذا أه ه
فههكني ه،صكدوجدا ك ك هعننم ه 48
ك الشمذيهن يهننعلهكم اللشهك همام مف م م
كأولهئم ه،هنيلكفوهن مبامللشمه إمنن أههرندهنام مإل إمنحهسمامجنام هوتهننوفيجقام
ض هعننمنكهنم هومعظنكهنم هوقكنل هلكنم مف أهننكفمسممهنم قهننول بهمليجغام مم
قكنكلوبنم فهأهنعمر ن
“Jika dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang
telah Allah turunkan dan pada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu. Lalu bagaimanakah jika mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah akibat perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak
49
menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.”
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka pelajaran,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka.” (QS. an-Nisa [4]: 61-63)
50
hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 85)
س مبكلكءق نمام
الش ت وأهتنبممع الشسميمئهةه انلهسمنمهةه هتنكحههام وهخاملم م
ق نمكك مام ْث ي ح ه ش
ل ال م
ق ش
تام
ه ه ه ه ه ن ك
ه ه ن ه
هحهسمءن
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana dan kapan saja kamu berada,
ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus
keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. at-
Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Bazar dan Abu Nu’aim
dari Abu Dzar al-Ghiffari)
Dalam kitabnya, As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah (1/174), Imam Ibnu Taimiyah
menyatakan, “Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharf
as-sulthân] dan harta benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda
dimaksudkan untuk taqarrub ilâ Allâh dan infak fi sabilillah, maka itu akan
menimbulkan kebaikan agama dan dunia. Namun, jika kekuasaan terpisah dari
agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan
rusak.”
50
51
“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-
orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:
"Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu
menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?" (QS. [40] Al-Mu'min:
47)
Perintah tersebut tidak hanya berlaku bagi Rasulullah Saw., tetapi juga berlaku
bagi seluruh umatnya jika tidak ada dalil yang membatasi
bahwa khithâb/seruan tersebut berlaku khusus hanya untuk Nabi Saw.
Sesuai dengan kaidah:
َ«ب ملشمتممه »مخهطام م م م
ب للشركسنول خهطام ث
ث
“Seruan untuk Rasul Saw. merupakan seruan yang juga berlaku bagi umatnya.”
(Lihat: al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah al-
Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, III/247)
هوإمهذا مقيهل هلككم اتشبمعكوا همام هأنهزهل اللشهك هقاملكوا بهنل نهنتشبمكع همام أهلن ه نفينهنمام هعلهنيمه آهبامءههنام أههولهنو هكامهن
آهبامكؤِاكهنم هل يهننعمقكلوهن هشنيجئام هوهل يهننهتهكدوهن
”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)
52
ثرقم ُنجنعلنناَنك ُنعنلىَ ُنشلرينعءة ُلمنن ُاللملر ُنفاَتقبللعنهاَ ُنول ُتنيتقبللع ُأنلهنوانء ُالقلذينن ُل ُينيلعلنرمونن
”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. [45] Al-Jatsiyah: 18)
Ibnu Katsir: “Maksudnya, ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu oleh
Rabb-mu, yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia.” (Tafsir Ibnu
Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 25, hal. 341)
هوهمام آهتامكككم الشركسوكل فهكخكذوهك هوهمام نهنههامككنم هعننمهك هفامننتهنكهوا هواتشنكقوا اله إمشن اله هشمديكد
النعمهقام م
ب
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS. [59] Al Hasyr: 7)
Abu Nu'aim al-Ashbahaniy menyatakan: "Di antara keistimewaan Rasulullah
SAW adalah perintah Allah SWT kepada seluruh umat manusia untuk menaati
beliau, dengan ketaatan yang mutlak tanpa syarat." (Lihat: Jalaludin as-Suyutii,
al-Khashoish al-Kubro, 2/298)
Sabda Rasulullah Saw.:
َ«»إمهذا أههمنرتكككنم بمأهنمءر فهنأتكننوا ممننمهك همامانستهطهنعتكنم هوهمام نهنههنيتكككنم هعننمهك هفامنجتهمنمبكننوكه
“Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu
kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah.” (HR. al-
Bukhari).
52
Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat
yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du.
Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh
orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita,
ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di
hadapan hukum-hukum Al-Qur’an.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170;
Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177)
53
ومام هكامهن لممنؤممءن وهل منؤممنمهءة إمهذا قهضى اللشه ورسولكه أهمرا أهنن يككوهن هلم ا نم
ليهنهرةك ممنن كك ه ك هه ك ك ن ج ه ك ه ك هه
[36 :ضهلجل كممبيجنمام ]الحزاب ضشل ه أهنممرمهنم هوهمنن يهننع م
ص اللشهه هوهركسولههك فهنهقند ه
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. [33] Al-Ahzab: 36)
Al-Syaukani menjelaskan, kata mâ kâna, mâ yanbaghî, dan semacamnya
bermakna al-man'u wa al-hazhr min al-syay' (larangan terhadap sesuatu).
Ibnu Katsir menegaskan, ayat ini berlaku untuk seluruh perkara. Apabila Allah
SWT dan Rasul-Nya SAW telah memutuskan tentang sesuatu, maka tidak ada
seorangpun yang boleh menyalahinya.
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al
Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah
yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. [43] Az-Zukhruf: 36)
54
َ أنن يأخذوا بميع عكهرى: يقول تعامل آمجرا عبامده الؤمنمي به الصلدقي برسوله
وترك جيع زواجره مام استطامعوا من، والعمل بميع أوامره، السلم وشرائعه
. ذلك
“Alloh Swt. berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman
terhadap-Nya dan yang membenarkan Rosul-Nya, untuk mengambil seluruh
simpul-simpul Islam dan Syari’at-Syari’atnya, melaksanakan seluruh perintah-
perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya sebisa
mungkin.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Azhiim, juz 1 hlm. 565)
As-Sa’di menjelaskan, “Ini adalah perintah dari Allah SWT untuk kaum
Mukmin agar mereka masuk Islam secara kaffah, yakni ke dalam
seluruh syariah agama tanpa meninggalkan sedikitpun Syariahnya; juga agar
mereka tidak menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan, yakni jika perkara
yang disyariatkan (Syariah) itu sesuai hawa nafsunya maka diamalkan dan jika
menyalahi hawa nafsunya maka ditinggalkan.”
Imam Ali ash-Shabuni menegaskan, bahwa ayat tersebut memerintahkan
kaum muslim untuk melaksanakan seluruh hukum Islam; tidak boleh
melaksanakan hanya sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. 54
55
م م م
ص اللشهه هوهركسولههك هويهنتهنهعشد كحكدوهدهك يكندخنلهك هنامجرا هخاملجدا فيههام هولههك هعهذا ث
ب هوهمن يهننع م
َ﴾١٤﴿ ي يممه ث
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Api Neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. [4]
An Nisa': 14)
Ibnu Katsir: “Artinya, karena keadaannya tidak menggunakan hukum Allah
dan menentang Allah dalam hukum-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan
Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 4, hal. 251)
59
pada hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya). (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân
fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 9 [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992], 341)
an yaqûlû sami’nâ wa atha’nâ (Mereka mengucapkan, “Kami mendengar dan
kami patuh”) menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa tersebut bermakna,
“Kami mendengar ucapan Nabi Saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun
dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka. (Al-
Wahidi, an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 [Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994], 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46)
62
melanggarnya; dan telah melarang sejumlah perkara maka janganlah
melakukannya.” (HR. ad-Dâruquthniy)
Allah Swt. melarang kaum Muslim berkompromi dalam masalah aqidah dan
hukum. Allah Swt. berfirman:
(9) ( هويدوا لهنو تكندمهكن فهنيكندمهكنموهن8) ي م
فههل تكطمع النكمهكمذبم ه
“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap
lunak (pula kepadamu).” (QS. al-Qalam [68]: 8-9)
«ِ ُلنلو ُنكاَنن ُرمونسىَ ُنحييِاَ ُنماَ ُنولسنعره ُإلقل ُأنلن ُينيتقبلنعلني،»…نوالقلذي ُنيلفلسي ُبليِنلدله
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup
ia tidak merasa lapang kecuali mengikutiku.” (HR. Ibn Abiy Syaibah dalam
Mushannaf)
همام هحشل لههك إملش أهنن يهنتشبمهع م نن,ي أهظنكهمرككنم
فهمإنشهك لهنوهكامهن كمنوهسى هحييام بهن ن ه
Nabi Saw. bersabda, “Seandainya Nabi Musa as. hidup di tengah-tengah kalian,
maka tidak halal bagi dirinya, kecuali mengikuti aku.” (HR. Imam Ahmad)
ِ،كضاَلء ُنلليِيلرنهاَ ُنكننينهاَلرنهاَ ُنل ُينلزيرغ ُنع لنينهاَ ُبنيلعلدي ُإلقل ُنهاَلل ل
»قنلد ُتنينرلكترركلم ُنعنلىَ ُاللبنيليِ ن
ِ ُفنينعلنليِركلم ُبلنماَ ُنعنرفليترلم ُلملن ُرسنقلتي،سيِنينرىَ ُالختلنلذفاَ ُنكلثْيِذرا ومن ُيلع ل
ِ ُفن ن،ش ُملنركلم نن ل ن ل
َِ ُنوإللن ُنعلبذدا ُنحبنلشييِا،ِ ُنونعلنليِركلم ُلباَلقطاَنعلة،نورسنقلة ُا لرخلننفاَلء ُالقرالشلدينن ُا لنملهلديييِنن 63
66 65
“Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan
hati mereka mengingat Allah dan (tunduk) kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang
telah diturunkan Al Kitab, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka
lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. [57] al-Hadid: 16)
67
akad yang wajib dipenuhi adalah yang sesuai dengan kitabullah atau agama
Allah. Apabila di dalamnya jelas bertentangan dengannya, maka tertolak,
sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Barangsiapa yang
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam perintah kami, maka
tertolak” (HR. Muslim dari Aisyah).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari berkata:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf [7]: 3)
Kalimat “maa unzila ilaykum min rabbikum” (apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu), artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi,
Beirut: Dar Shaadir, Juz III/2)
68
“Dan sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka
setelah datangnya ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 145)
Menurut Imam Suyuthi, larangan pada ayat di atas tidak hanya khusus kepada
Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam secara umum. Larangan tersebut
adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang- 67
orang bodoh atau orang kafir [seperti turut merayakan hari raya mereka].
Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah perbuatan yang diridhai oleh Allah
dan Rasul-Nya. (Lihat Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An
Al-Ibtida` (terj.), hal. 92)
صةج هوانعلهكموا أهشن اللشهه هشمديكد
ب الشمذيهن ظهلهكموا ممننمككنم هخام ش واتشنكقوا منفتننمهةج هل تك م
صي ه ش ه
بالنعمهقام م
“Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang
”zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
)(QS. al-Anfal [8]: 25
Suatu ketika Zainab binti Jahsy bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi, apakah
kami akan dihancurkan (oleh Allah), padahal di tengah-tengah kami ada orang-
orang shalih?” Nabi menjawab, “Iya, jika keburukan (khabats) telah
)merajalela.” (HR. Bukhari-Muslim
ط«َ ل أهنن تكندمرككوكهشن هلن تهظنههنر النهفاممحهشةك مف قهننوءم قه ي هخنس إمهذا ابنتكمليتكم مبمشن وأهعوذك مبام م
ث ن ن هك
م م م
ت مف ضن هحشت ينكنعلنمكوا هبام إملش فههشام فيمهنم الشطامكعوكن هوانلهنوهجامعك الشمت هلن تهككنن هم ه
ي هومششدمة م م م م م م
صوا النمنكهيامهل هوالنميهزاهن إملش أكخكذوا مباملمسمنم ه أهنسلهفمهنم الشذيهن هم ه
ضنوا هوهلن يهنننمنكق ك
68
النهمكئونهمة هوهجنومر اليسمنلهطاممن هعلهنيمهنم هوهلن هيننمهنعكوا هزهكامهة أهنمهواملمنم إملش كمنممعكوا النهقطنهر ممنن
ل هوهعنههد هركسولممه إملش هسلش ه الشسمماممء ولهوله انلبنهامئمم هل كينطهروا وهل ينننمنكقضوا عههد ا م
ط الك ه ه ن هه ك ن ك ه ن ه ك هن
ض همام مف أهينمديمهنم هوهمام هلن هنتككنم أهئمشمتكنكهنم م م
هعلهنيمهنم هعكديوا منن هغ نميهنم فهأههخكذوا بهننع ه
ل هويهنتههخيشنكروا م شمام أهننهزهل الك إملش هجهعهل الك بهأنهسكهنم بهننيننمهنكهنم با م »بممكهتام م
“Ada lima perkara (yang harus kalian waspadai)—aku berlindung kepada
Allah, jangan sampai hal itu menimpa kalian: 1. Tidaklah kekejian (perzinaan)
muncul pada suatu kaum dan mereka melakukannya secara terang-terangan,
kecuali akan muncul berbagai wabah dan berbagai penyakit yang belum pernah
terjadi pada orang-orang sebelum mereka. 2. Tidaklah suatu kaum berbuat
curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli), melainkan mereka akan
diazab dengan paceklik, kesusahan hidup dan kezaliman penguasa. 3. Tidaklah
suatu kaum enggan membayar zakat, melainkan mereka akan dicegah dari
turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak, niscaya hujan itu
tidak akan diturunkan. 4. Tidaklah para pemimpin mereka melanggar perjanjian
Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh menguasai
mereka, lalu merampas sebagian yang ada dari apa yang ada di tangan mereka.
5. Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, melainkan
Allah menjadikan perselisihan di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah)
70
“Sesungguhnya otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka
bumi, di mana setiap orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi
berlindung kepadanya.” (HR. Imam Baihaqi)
وقامل أمي الؤمنمي عثْمامن بن عفامن إن ال ليزع باملسملطامن مام ل يزع باملقرآن
Amirul Mukminin Utsman bin Affan ra. berkata, “Sesungguhnya Allah SWT
memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang
tidak bisa dihilangkan oleh al-Quran.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-
Nihayah, Dar Ihya At Turats, 2/12)
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. yang berkata: 70
Setelah Abu Bakar dibai’at di Saqifah, besoknya Abu Bakar duduk di atas
mimbar. Lalu Umar berdiri dan berbicara sebelum Abu Bakar berbicara. Umar
memuji dan menyanjung Allah SWT, sebab hanya Allah semata yang berhak
untuk dipuji dan disanjung. Kemudian Umar berkata, “Sesungguhnya Allah
telah menjaga Kitab-Nya di tengah kalian, yang dengan itu Rasulullah
membimbing kalian. Karena itu, jika kalian berpegang teguh dengan Kitab-
Nya, maka Allah pasti memberi petunjuk kepada kalian. Sesungguhnya Allah
telah mengumpulkan urusan kalian pada orang yang terbaik di antara kalian.
Dia adalah sahabat setia Rasulullah dan orang kedua ketika keduanya tengah
berada di gua. Dengan demikian dia merupakan orang yang paling layak untuk
mengurusi urusan kalian. Untuk itu, bangkitlah, lalu berbaiatlah.” Lalu orang-
orangpun membaiat Abu Bakar sebagai baiat umum (taat) setelah baiat yang
berlangsung di Saqifah (Mahmud, Bai’ah fi al-Islam Târîkhuhâ wa Aqsâmuhâ
bayna an-Nadzariyah wa at-Tathbîq, hlm. 177)
ب هوإمنشهك هل نهم ش
ب ب هخلههفهك نهم ي ك نهم يت بهنكنمو إمنسهرامئيهل تهكسموكسكهنم انلهنبمهيامءك ككلشهمام ههله ه »هكامنه ن
َ«بهننعمدي هوهسيهككوكن كخلههفامءك فهنيهنكثْكنكروهن هقاملكوا فههمام تهأنكمكرهنام هقامهل فكوا مببه ننينهعمة انلهشومل هفامنلهشومل
“Dahulu Bani Israel, (urusan) mereka dipelihara dan diurusi oleh para nabi,
setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak ada nabi lagi sesudahku. Sementara yang akan ada adalah
72
para khalifah, yang jumlah mereka banyak. Mereka (para sahabat) berkata:
‘Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Rasulullah Saw. bersabda:
“Penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama.” (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah ra.)
71
GAMBAR SAMPUL DI ATAS BISA DIPERBESAR UNTUK DICETAK
73
72