Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN AKHIR KEGIATAN

T.A. 2011

PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAKARAN CO-FIRING


BATUBARA - BIOMASSA

Oleh :
Ikin Sodikin
Miftahul Huda
Suganal
Dkk.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
2011

ii
KATA PENGANTAR

Kegiatan Pengembangan Sistem Pembakaran Co - Firing Batubara – Biomassa merupakan


salah satu kegiatan Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan
Batubara pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Tahun
Anggaran 2011.

Penggunaan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak dan batubara) sangat dominan untuk
menghasilkan energi guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sampai dengan saat ini
penggunaan batubara sebagai bahan bakar pada pembangkit tenaga listrik dinilai sangat
ekonomis, sehingga pemanfaatannya semakin meningkat. Disisi lain minyak bumi dan
batubara adalah merupakan bahan baku energi yang tidak bisa diperbaharui, walaupun
cadangannya banyak suatu saat pasti akan habis. Sehingga perlu melakukan usaha
konservasi dan diversifikasi sumber daya energi alami, dimana telah sepatutnya batubara
dapat digantikan sebagiannya dengan biomassa melalui sistem pembakaran co-firing. Selain
itu penggunaan sebagian biomassa sebagai bahan bakar, dapat mengurangi dampak
lingkungan dari pembakaran batubara sebagai bahan bakar langsung pada industri.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui karakteristik sistem pembakaran co-firing
antara batubara dengan berbagai biomassa, melalui sifat abu. Dengan diketahui sifat abu dari
sistem pembakaran co - firing batubara dan biomassa tersebut, diharapkan dapat memberi
gambaran mengenai karakteristik pembakaran apabila sistem pembakaran co - firing ini
diterapkan dalam industri, terutama PLTU sehingga memudahkan untuk penanganannya.

Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat dalam pengembangan teknologi pembakaran


batubara dan biomassa untuk menunjang kebutuhan pasokan energi yang
berkesinambungan dan berwawasan lingkungan.

Bandung, Desember 2011


Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Ir. Hadi Nursarya, M.Sc.


NIP. 19540306 197803 1 001

i
SARI

Penggunaan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak dan batubara) sangat dominan untuk
menghasilkan energi guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sampai dengan saat ini
penggunaan batubara sebagai bahan bakar pada pembangkit tenaga listrik dinilai sangat
ekonomis, sehingga pemanfaatannya semakin meningkat walaupun menghaslkan emisi
karbon yang dapat mengganggu lingkungan. Disisi lain minyak bumi dan batubara adalah
merupakan bahan baku energi yang tidak bisa diperbaharui, walaupun cadangannya banyak
suatu saat pasti akan habis. Sehingga perlu melakukan usaha konservasi dan diversifikasi
sumber daya energi alternatif lain yang ramah lingkungan.

Potensi energi biomassa Indonesia, secara teori diperkirakan mencapai sekitar 49.810 MW.
Angka ini diasumsikan dengan dasar kadar energi dari produksi tahunan sekitar 200 juta ton
biomassa dari residu pertanian, kehutanan, perkebunan dan limbah padat perkotaan. Pada
tahun 2005, kapasitas pembangkit listrik tenaga biomassa di Indonesia hanya sebesar 445
MW atau sekitar 9% dari potensi yang ada.

Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang belum banyak dimanfaatkan.


Pembakaran biomassa mengikuti reaksi balik (reverse reaction) dari fotosintesis sehingga
dikenal sebagai CO2 neutral. Karena itu, substitusi sebagian batubara dengan biomassa
diharapkan akan menurunkan emisi GRK seperti CO2 & CH4 dan gas-gas asam seperti SOx,
NOx. Dibandingkan bahan bakar fosil, pembangkit listrik dengan energi dari biomassa dapat
mengurangi emisi karbon. Biomassa menyerap karbon saat tumbuh, sehingga siklus hidup
dari pembangkit biomassa dari mulai penanaman, konversi ke listrik dan penanaman kembali
dapat menghasilkan emisi karbon yang sangat kecil.

Dalam hal ini, teknologi/sistem pembakaran dua atau lebih tipe bahan bakar padat
konvensional yang berbeda secara bersamaan/simultan (co-firing) dapat menggantikan
sebagian bahan bakar fosil, terutama batubara, dalam rangka melaksanakan kebijakan
konservasi dan diversifikasi sumber daya energi.

Karakteristik abu batubara dan biomassa mempunyai karakteristik yang berbeda, yang secara
teoritis akan menyebabkan adanya perbedaan titik leleh abu. Campuran batubara dan
biomassa dapat menghasilkan abu dengan titik leleh yang berbeda karena campuran abu
tidak bersifat aditif. Dari hasil penelitian didapatkan beberapa karakteristik abu dari beberapa
campuran batubara – biomassa yang berpotensi untuk bisa digunakan sebagai bahan bakar
campuran untuk pembakaran co-firing adalah campuran batubara lignit dan biomassa dari
jenis sawit baik serat sawit, cangkang sawit ataupun tongkol sawit. Selain itu campuran

ii
batubara bituminus dan biomassa alang-alang dan sekam juga memberikan pengaruh
kenaikan temperatur titik leleh dari abu. Tetapi dari penelitian ini tidak ditemukan hubungan
antara slagging index ataupun fouling index dengan titik leleh abu.

Kata kunci : Co - firing, batubara, biomassa, sifat abu.

DAFTAR ISI
Halaman
KATAPENGANTAR ………………….......................……………………………….. i
SARI …............................................................…………………………………… ii
DAFTAR ISI …………….....................……………..……………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR …………………...........................………………………………. iv
DAFTAR TABEL …………………………………….............………………………….. v

I. PENDAHULUAN ……………......………………………..………………............. 1
1.1 Latar Belakang …………………….………………....……………………… 1
1.2 Ruang Lingkup ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................. 2
1.4 Sasaran ............................................................................................... 2
1.5 Lokasi Kegiatan ................................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................…………….………………………… 3


2.1 Batubara ...............................…….………….………….……………….. 3
2.2 Biomassa .....................................…………..….…..……………………. 4
2.3 Sistem Pembakaran Co - firing ..........................................………..……. 5
2.4 Sistem Pembakaran Bahan Bakar Padat .......….........……………….…… 7
2.5 Pembentukan Deposisi Abu Sisa Pembakaran ............……………….…… 8

III. PROGRAM KEGIATAN ................................................................………….. 9

IV. METODOLOGI ........................................................................................... 9


4.1 Pengambilan Contoh Bahan Baku ......……….........….……….………….. 10
4.2 Preparasi Bahan Baku .......…....................……………………………. 10
4.3 Karakterisasi Bahan Baku .....……...........................………………..…. 10
4.4 Pengabuan dan Blending Bahan Baku …............................................. 10
4.5 Karakterisasi Titik Leleh Abu …................................................................ 10

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ….....................................................……………. 10

iii
5.1 Karakteristik Bahan Baku ....................................................................... 10
5.2 Karakteristik Komposisi Abu ..................................................…………. 12
5.3 Karakteristik Abu Campuran Batubara - Biomassa ................................. 15

VI. KESIMPULAN DAN SARAN …………...............………………………………… 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20

LAMPIRAN .......................................................................................................... 21

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Proses Direct Co - Firing .............................................................................. 6


2.2 Proses Indirect Co - Firing ........................................................................... 7
2.3 Konfigurasi Parallel Co – Firing (K-Boiler) ...................................................... 7
2.4 Bubbling Fluidized Bed dan Circulating Fluidized Bed ..................................... 8
5.1 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Kayu Jati ..................................... 15
5.2 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Kayu Mahoni .............................. 15
5.3 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Kayu Albasia .............................. 16
5.4 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Serat Sawit .................................. 16
5.5 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Cangkang Sawit ........................... 16
5.6 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Tongkol Sawit ........................... 16
5.7 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Bagas ........................................ 16
5.8 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Alang - alang ............................. 16
5.9 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Sekam Padi ................................. 17
5.10 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Lignit – Jerami ....................................... 17

iv
5.11 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Kayu Jati ............................... 17
5.12 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Kayu Mahoni ........................ 17
5.13 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Kayu Albasia ........................ 17
5.14 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Serat Sawit ............................ 17
5.15 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Cangkang Sawit .................... 18
5.16 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Tongkol Sawit ....................... 18
5.17 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Bagas .................................. 18
5.18 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Sekam Padi .......................... 18
5.19 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Jerami ............................... 18
5.20 Titik Leleh Abu Campuran Batubara Bituminus – Alang-alang .......................... 18

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

5.1 Hasil Analisis Proksimat, Ultimat ………………………………….....…………… 11


5.2 Hasil Analisis Komposisi Abu Batubara dan Biomassa ...................................... 13
5.3 Hasil Hasil Perhitungan Slagging, Fouling dan Slag Viscosity Indeks ................. 15

v
vi
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak dan batubara) sangat dominan untuk
menghasilkan energi guna memenuhi kebutuhan hidup manusia di muka bumi ini. Sampai
dengan saat ini penggunaan batubara sebagai bahan bakar pada pembangkit tenaga listrik
dinilai sangat ekonomis, sehingga pemanfaatannya semakin meningkat. Untuk itu
peningkatan efisiensi utilisasi bahan bakar batubara harus terus dilakukan dengan
memperhatikan faktor lingkungan. Disisi lain minyak bumi dan batubara adalah merupakan
bahan baku energi yang tidak bisa diperbaharui (unrenewable), walaupun cadangannya
banyak suatu saat pasti akan habis. Sehingga perlu melakukan usaha konservasi dan
diversifikasi sumber daya energi dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable).

Dalam beberapa tahun terakhir, batubara telah memainkan peran yang cukup penting bagi
perekonomian Indonesia. Sektor ini memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
penerimaan negara yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Pertumbuhan konsumsi
batubara Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan yang cukup spektakuler dalam lima
tahun terakhir, yakni 28,6 juta ton pada 2003 menjadi 49,0 juta ton pada 2008, atau
meningkat 71,3%. Peningkatan tersebut disebabkan meningkatnya permintaan batubara
sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik (Fikri M., 2010). Namun demikian,
terdapat kelemahan dalam pemanfatan batubara sebagai bahan bakar yakni menghasilkan
emisi gas karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya.
Sehingga telah sepatutnya batubara dapat digantikan sebagiannya dengan sumber energi
alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Salah satu sumber energi alternatif yang dapat diandalkan adalah biomassa karena
biomassa tersedia dalam jumlah banyak dan memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai
sumber energi yang dapat diperbaharui. Saat ini energi alternatif yang dapat disediakan
dalam jangka pendek secara ekonomis dengan jumlah besar untuk menenuhi kebutuhan
energi di dalam negeri adalah biomassa. Pemerintah melaksanakan program diversifikasi
energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi lain termasuk batubara, panas bumi, gas
alam dan energi hidro. Bagaimanapun, biomassa yang jumlah cadangannya cukup besar
merupakan energi alternatif masa depan.

Potensi energi biomassa Indonesia, secara teori diperkirakan mencapai sekitar 49.810 MW.
Angka ini diasumsikan dengan dasar kadar energi dari produksi tahunan sekitar 200 juta ton
biomassa dari residu pertanian, kehutanan, perkebunan dan limbah padat perkotaan. Pada
tahun 2005, kapasitas pembangkit listrik tenaga biomassa di Indonesia hanya sebesar 445
MW atau sekitar 9% dari potensi yang ada (Pusdatin., 2008).

Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang belum banyak dimanfaatkan.


Pembakaran biomassa mengikuti reaksi balik (reverse reaction) dari fotosintesis sehingga
dikenal sebagai CO2 neutral. Karena itu, substitusi sebagian batubara dengan biomassa

-1-
diharapkan akan menurunkan emisi GRK seperti CO2 & CH4 dan gas-gas asam seperti SOx,
NOx. Dibandingkan bahan bakar fosil, pembangkit listrik dengan energi dari biomassa dapat
mengurangi emisi karbon. Biomassa menyerap karbon saat tumbuh, sehingga siklus hidup
dari pembangkit biomassa dari mulai penanaman, konversi ke listrik dan penanaman
kembali dapat menghasilkan emisi karbon yang sangat kecil.

Dalam hal ini, teknologi/sistem pembakaran dua atau lebih tipe bahan bakar padat
konvensional yang berbeda secara bersamaan/simultan (teknologi co-firing) dapat
menggantikan sebagian bahan bakar fosil, terutama batubara, dalam rangka melaksanakan
kebijakan konservasi dan diversifikasi sumber daya energi. Co – firing tidak hanya
meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan dan menurunkan emisi CO2, tetapi
berkontribusi juga terhadap rantai siklus tanah pertanian, bahkan secara ekonomi sangat
menguntungkan. Di dalam prakteknya secara teknis co-firing biomassa dapat langsung
diterapkan pada unit PLTU batubara tanpa perlu modifikasi terlebih dulu (Mcllveen-Wright.,
2007).

Dalam penelitian ini hanya melakukan karakterisasi abu dari campuran batubara dan
biomassa yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan bakar pada industri melalui
sistem pembakaran co-firing dengan resiko fouling dan slagging minimal.

1.2 Ruang Lingkup

Lingkup kegiatan meliputi :


a. Pengambilan 2 jenis contoh batubara dan 10 jenis contoh biomassa,
b. Melakukan karakterisasi awal batubara dan biomassa,
c. Melakukan analisis karakteristik sifat abu dari campuran batubara dan biomassa sebagai
bahan bakar campuran untuk kemungkinan digunakan pada pembakaran sistem co-
firing,
d. Evaluasi dan penyusunan laporan.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data karakteristik batubara, biomassa dan
campuran batubara – biomassa yang sesuai untuk proses co-firing dalam rangka
melaksanakan kebijaksanaan diversifikasi dan konservasi sumber energi, terutama sumber
energi terbarukan supaya pasokan bahan bakar padat alternatif dapat terjamin secara
berkelanjutan.

1.4 Sasaran

Diperoleh data karakteristik abu campuran batubara-biomassa yang berpotensi untuk


digunakan sebagai bahan bakar campuran pada pembakaran dengan sistem co-firing.

-2-
1.5 Lokasi Kegiatan

Pengambilan contoh batubara dilakukan pada unit PLTU Labuan, Banten. Contoh biomassa
residu pengolahan kelapa sawit di daerah perkebunan Kertajaya, Lebak, Banten. Contoh
biomassa bagas diambil dari pabrik gula Karang Suwung, Cirebon. Sedangkan biomassa
jerami, kayu jati, kayu albasia, alang – alang dan sekam diambil di daerah sekitar Cirebon.
Preparasi dan analisis laboratorium dilaksanakan di Puslitbang tekMIRA, Bandung dan
Sentra Teknologi Pemanfaatan Batubara, Palimanan, Cirebon.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara

Batubara adalah suatu senyawa hidrokarbon kompleks dari molekul raksasa dengan
berbagai gugus fungsional didalamnya. Batubara merupakan padatan heterogen yang
berasal dari timbunan fosil tumbuhan yang mengalami proses metamorfosis selama jutaan
tahun. Variasi kondisi yang dialami batubara menyebabkan kompleksitas pada komponen
penyusun maupun sifat batubara.

Senyawa utama pembentuk batubara adalah matriks organik yang sebagian besar terdiri
atas karbon, hidrogen, oksigen serta sedikit nitrogen dan belerang. Matrik organik tersebut
memiliki suatu struktur yang menyerupai struktur sebuah polimer poliaromatik dengan
ikatan-ikatan metilen, oksigen dan sulfur. Diantara sela-sela matrik organik terdapat
senyawa-senyawa an-organik yang dapat berada dalam keadaan bebas. Material an-organik
di dalam batubara berada sebagai kation-kation dan mineral-mineral. Bahan an-organik
yang sebagian berupa mineral tersebut berubah menjadi abu selama pembakaran. Mineral
ini terutama yang mengandung unsur-unsur silika (Si), alumunium (Al), besi (Fe), kalsium
(Ca), magnesium (Mg), nikel (Ni), kalium (K), natrium (Na), titanium (Ti) dan stronsium (Sr).
Perbandingan senyawa organik dan an-organik akan menentukan sifat maupun karakteristik
dari batubara.

Batubara dapat digunakan sebagai bahan bakar atau sebagai bahan baku industri kimia.
Pemanfaatan batubara dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Secara
umum teknologi pemanfaatan batubara terbagi menjadi pembakaran (combustion), pirolisis
(pyrolysis), pencairan (liquefaction) dan gasifikasi (gasification).

Pembakaran merupakan pemanfaatan batubara secara langsung untuk memperoleh energi


panas, menghasilkan produk sampingan berupa gas buang (flue gas) dan abu. Pembangkit

-3-
Listrik Tenaga Uap merupakan salah satu contoh pemanfaatan batubara secara langsung,
dimana batubara dibakar untuk memanaskan boiler yang digunakan untuk mengubah air
menjadi uap (steam), yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan memutar
generator untuk menghasilkan energi listrik.

Pirolisis adalah suatu metode untuk menghasilkan bahan cair dari batubara. Tidak seperti
gasifikasi dan pencairan yang prosesnya pada temperatur terbatas, pirolisis merupakan
merupakan tahap pertama dari semua proses konversi. Pirolisis merupakan metode yang
sangat efektif untuk menghasilkan material kimia yang bermanfaat seperti etana, metilen,
benzena dan toluen, karena di dalam prosesnya, cincin aromatik yang membentuk batubara
langsung berubah dari rantai sisi menjadi material-material tersebut.

Material organik dalam batubara terbentuk dari makromolekul yang memiliki berat molekul
ratusan sampai ribuan atau lebih, yang tersusun dari unit dasar berupa cincin benzena
(benzena ring) dan cincin aromatik polinukleus (polynucleus aromatic ring) yang gugus
fungsionalnya (misalnya gugus metil atau gugus hidroksil) saling berikatan. Unit-unit dasar
tersebut terhubung dengan ikatan metilen, ikatan ether dan ikatan lain. Makromolekul itu
sendiri terhubung dengan ikatan nonkovalen seperti ikatan hidrogen, ikatan ion dan ikatan
lainnya, membentuk struktur jaringan 3 dimensi yang kuat. Dari hasil penelitian (JCOAL,
2005) interaksi diantara molekul-molekul tersebut ternyata diketahui sebagai faktor yang
mempengaruhi perubahan sifat material dan karakteristik reaksi termokimia pada batubara
saat mendapat perlakuan panas.

2.2 Biomassa

Biomassa adalah bahan biologis yang hidup atau baru mati yang dapat digunakan sebagai
sumber bahan bakar. Biomassa dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung.
Artinya bahan biologis yang terdapat di alam ini dapat dimanfaatkan secara praktis untuk
bahan bakar atau bisa juga diolah dulu agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang belum banyak dimanfaatkan.


Pembakaran biomassa mengikuti reaksi balik (reverse reaction) dari fotosintesis sehingga
dikenal sebagai CO2 neutral. Karena itu, substitusi sebagian batubara dengan biomassa
diharapkan akan menurunkan emisi GRK seperti CO2 & CH4 dan gas-gas asam seperti SOx,
NOx. Dibandingkan bahan bakar fosil, pembangkit listrik dengan energi dari biomassa dapat
mengurangi emisi karbon. Biomassa menyerap karbon saat tumbuh, sehingga siklus hidup
dari pembangkit biomassa dari mulai penanaman, konversi ke listrik dan penanaman
kembali dapat menghasilkan emisi karbon yang sangat kecil.

Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar alternatif memiliki banyak keuntungan, seperti
faktor kesinambungan suplai karena bersifat terbarukan, faktor proteksi lingkungan, faktor
harga yang relatif lebih terjangkau bila dibandingkan bahan bakar fosil dan sebagainya.
Namun ada pula beberapa kelemahannya, antara lain rendahnya kandungan energi dan
relatif tingginya investasi peralatan pretreatment biomassa. Kemudian adanya jenis

-4-
tumbuhan dengan masa tumbuh yang pendek atau cepat tumbuh (short rotating crops, SRC),
temperatur pembakaran tanaman ini dibatasi hingga 25 – 450°C karena akan mengandung
klorin pada pembakaran dengan temperatur tinggi, sehingga disimpulkan secara teknis
pembakaran biomassa hanya bisa diaplikasikan bagi pembangkit – pembangkit dengan
daya berkapasitas kecil – menengah karena adanya batasan tersebut (Gan Thay Kong., 2010).

Keterbatasan itu seyogyanya harus ditanggapi dengan usaha-usaha terobosan bidang


teknologi, guna mendongkrak efisiensi atau terobosan lain dengan tujuan mengoptimalkan
faktor – faktor penunjang diluar ranah biologis biomassa, seperti teknologi ruang bakar
dengan desain lebih canggih sehingga mendapatkan output energi yang lebih maksimal.

Pada umumnya terdapat 4 macam kemungkinan untuk memanfaatkan biomassa pada


proses pembakaran langsung sebagai campuran dengan batubara, yang tetap mengacu
pada karakteristik biomassa dan faktor-faktor khusus pembangkit daya yang bersangkutan.
Keempat macam kemungkinan tersebut adalah:

1. Pertama, biomassa dicampur dulu dengan batubara pada tahapan sebelum unit
asupan batubara (coal feeder). Bahan bakar campuran itu kemudian dikirim ke semua
unit penggilingan batubara dan di distribusikan melalui semua jalur suplai pembakar
batubara(coal burner’s supplies) sesuai dengan rasio co – firing yang ditentukan.
Kemungkinan termasuk pendayagunaan unit penggiling batubara atau biomassa
serta unit – unit pembakarnya (burners). Jadi opsi ini adalah yang paling mudah dan
biaya yang paling rendah, walaupun pada sisi lain dapat mempengaruhi
kapasitas/kemampuan pembakaran batubara (coal firing capability) dari ketel uap
yang bersangkutan. Selanjutnya bahan bakar biomassa mempunyai perilaku yang
berbeda dengan batubara dalam hal penanganannya, missal kandungan serat – serat
biomassa. Cara penanganan bahan bakar dan fasilitas penggilingan dirancang untuk
bahan bakar batubara dan tidak sesuai untuk biomassa, sehingga dimengerti kalau
sistem ini hanya dapat dipakai untuk persen campuran dengan persen biomassa
yang terkecil (rasio co-firing yang rendah).

2. Kedua, menggunakan unit penanganan dan penghancuran/penghalusan (grinding)


biomassa secara terpisah dari unit-unit sejenis yang khusus diperuntukkan bagi
batubara dan kemudian diinjeksikan pada sistem jalur pipa-pipa bahan bakar dalam
bentuk bubuk atau pulver sebelum unit pembakar atau langsung diunit
pembakarnya. Cara ini berarti menggunakan unit penggiling khusus biomassa, tetapi
dengan pembakar yang biasa dipakai untuk batubara maupun biomassa.

3. Ketiga, menggunakan unit penanganan dan penggilingan biomassa yang terpisah


dari proses pembakaran, dengan memanfaatkan unit-unit penggiling khusus untuk
biomassa.

4. Keempat, melibatkan penggunaan biomassa sebagai bahan bakar ulang (reburn fuel)
dengan tujuan mengontrol emisi NOx (lebih bertujuan untuk proteksi lingkungan)

-5-
2.3 Sistem Pembakaran Co - Firing

Sistem Pembakaran Co – firing didefinisikan sebagai proses pembakaran simultan dari


beberapa bahan bakar biomassa dengan mensubstitusi sebagian batubara di dalam unit
pembangkit uap yang sama dengan menggunakan ruang bakar (combustion chamber) yang
biasa digunakan untuk pembakaran batubara, atau menggunakan ruang bakar baru (pada
proses retrofitting) yang khusus di desain untuk digunakan baik bagi batubara maupun
biomassa atau bagi campuran keduanya. Penerapan teknologi ini merupakan kombinasi dari
penyelamatan lingkungan di satu sisi dan keuntungan finansial di sisi lainnya.

Sebuah pendekatan yang memungkinkan untuk dapat meningkatkan penggunaan energi


biomassa dalam waktu singkat adalah dengan mencampurkan biomassa dengan batubara
dan membakarnya pada pembangkit listrik yang di disain untuk bahan bakar batubara.

Pada beberapa literatur maupun hasil penelitian yang membahas tofik energi terbarukan
maupun teknologi co – firing mengindikasikan bahwa pilihan pencampuran biomassa
dengan bahan bakar fosil padat (dalam hal ini batubara berbagai kualitas) merupakan
bentuk pemanfaatan paling sempurna/ideal bagi kontribusi biomassa sebagai bahan bakar,
dengan pencampuran pada umumnya 5 – 15% dari basis berat, bahkan ada yang sampai
20% (Gan Thay Kong., 2010).

Pemanfaatan biomassa sebagai media co –firing juga mampu menurunkan kandungan NOx
dan Sox pada emisi gas buang karena biomassa mengandung komponen nitrogen dan
sulfur jauh lebih rendah dibandingkan kandungan pada batubara, sekalipun secara
kuantitatif sumbangsih penurunan level NOx dan Sox pada sistem co – firing tidak terlalu
besar mengingat porsi campuran biomassa yang minor. Dari segi produksi energi yang
dihasilkan, PLTU dengan system co -firing mampu menghasilkan energilistrik hingga kisaran
50 – Mwel. Teknologi ini sudah banyak dipraktekan di beberapa negara Eropa dan Amerika
Serikat.

Sistem pembakaran co – firing pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi:

 Pembakaran campuran langsung (direct co – firing); biomassa yang telah mengalami


proses pretreatment dan batubara dibakar dalam satu ruang bakar yang sama.

-6-
Gambar 2.1 Proses Direct Co-firing (K-boiler)

 Pembakaran campuran tidak langsung (indirect co-firing); biomassa diproses secara


themis terlebih dahulu untuk/dikonversi menjadi bahan berbentuk das atau cair dan
kemudian dibakar bersama dengan batubara dalam ruang yang sama.

Gambar 2.2 Proses Indirect Co-firing dengan Menggunakan


(a) Pre-furnace PP, atau (b) Gasifier RG untuk Biomassa (K-boiler)

 Proses pembakaran paralel (parallel combustion); biomassa dibakar seluruhnya di


ketel uap yang lain dan hasil uapnya dimanfaatkan di dalam sirkuit system
pembangkitnya, jadi semacam buster atau penambah jumlah uap pada sirkuit
tersebut.

-7-
Gambar 2.3 Konfigurasi parallel co-firing (K-boiler)

2.4 Sistem Pembakaran Bahan Bakar Padat

Pada dasarnya sistem pembakaran bahan bakar padat (termasuk Batubara dan biomassa)
terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara
serbuk (pulverized coal combustion/PCC), dan pembakarn lapisan mengambang (fluidized
bed combustion/ FCB).

A. Pembakaran Lapisan tetap (Fixed Bed Combustion)

Metode pembakaran lapisan tetap menggunakan tungku boiler model stoker untuk proses
pembakarannya, untuk bahan bakarnya adalah batubara yang kandungan abunya tidak
terlalu rendah dengan besar butir maksimum 30 mm. Metoda ini meliputi jenis kisi –kisi
tetap (fix grate), travelling grate, moving grate dan vibrating grate yang semuanya
mempunyai kelebihan dan kekurangan tergantung jenis bahan bakar yang digunakan.

B. Pembakaran Batubara Serbuk ((pulverized coal combustion/PCC)

Teknik pembakaran ini menggunakan bahan bakar yang sudah menjadi bubuk halus, yang
diinjeksikan ke dalam ruang bakar secara pneumatik. Pada sistim pembakaran ini, factor
kestabilan kualitas dari bahan bakar yang akan digunakan memainkan peranan yang sangat
penting seperti harus memperhatikan besar ukuran partikel dan faktor kandungan
kelembapannya. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah pengumpanan bahan bakar
kedalam ruang bakar dan ruang bakar yang banyak digunakan adalah ruang bakar model
muffle dan model siklon.

C. Pembakaran Unggun Terfluidisasi (Fluidized Bed Combustion)

Jenis pembakaran ini dapat dibagi lagi menjadi 2 tipe, seperti dapat dilihat pada Gambar
2.4., yaitu Bubling Fluidized Bed, BFB dan Circulating Fluidized Bed, CFB. Secara singkat
diterangkan prinsip kerja pembakaran unggun terfluidisasi FBC adalah tiupan udara dari
bawah akan mengambang/tersuspensi material – material campuran diatasnya sehingga se
olah – olah mempunyai perilaku fluida, temperatur ruang bakar diatur agar rendah, yaitu

-8-
800 - 900°C sehingga tidak terjadi gejala pembentukan kerak (fouling) dan lelehan (slagging)
maupun emisi gas NOx termal yang biasanya terbentuk pada temperatur kerja di atas
1200°C.

Abu dan
sisa bahan
bakar
yang tidak
terbakar

Material
dasar, abu
dan bahan
bakar

Gambar.2.4. Bubbling Fluidized Bed (kiri) dan Circulating Fluidized Bed (kanan)
Sumber: (Loo van S. and Koppejan J. , 2004)

Sistem unggun terfluidisasi memang memungkinkan pemanfaatan bermacam – macam


bahan bakar campuran (biomassa maupun batubara) sehingga sangat fleksible bila ditinjau
dari segi asupan bahan bakarnya, Namun sistim ini sensitive terhadap ukuran dimensi
partikel dan kotoran yang tercampur dalam bahan bakar tersebut sehingga pekerjaan
pretreatment terutama biomassa mutlak disyaratkan, seperti pencacahan menjadi potongan
kecil dan mendeteksi sisa – sisa logam di dalamnya. Ukuran dimensi biomassa yang cocok
digunakan bagi kedua system tersebut masing – masing < 40 mm untuk jenis pembangkit
uap system CFB dan < 80 mm untuk jenis BFB. Sistem terfluidisasi lebih mahal dari system
fix bed untuk output daya yang setara, sehingga hanya ekonomis bila dimanfaatkan untuk
memenuhi kapasitas output <30 MWth atau kira – kira 10 Mwel.

Keunggulan system BFB terletak pada faktor fleksibilitas ukuran umpan maupun jenis
biomassa yang akan dibakar, termasuk biomassa dengan kandungan kelembaban tinggi,
disamping itu campuran biomassa dengan batubarapun mudah dimanfaatkan. Sedangkan
kelemahan BFB adalah kesulitan pengoperasian pada beban rendah (parsial load).

2.5 Pembentukan Deposisi Abu Sisa Pembakaran

Pembentukan deposisi abu merupakan parameter penting pada pembakaran batubara atau
biomassa, karena berhubungan erat dengan biaya operasional. Dua tipe deposisi abu
dikenal dengan istilah slagging dan fouling. Karakteristik slagging dan fouling dari campuran
batubara dan biomassa ini dapat mempengaruhi perpindahan panas yang terjadi dan
menyebabkan kerugian panas.

-9-
Bagian dari teknik penelitian, potensi deposisi abu telah dapat diprediksi dengan
menghitung faktor slagging dan fouling berdasrkan data komposisi abu. Faktor tersebut
dihitung berdasarkan persamaan berikut (Gupta et al.1993)

% (𝐹𝑒2𝑂3+𝐶𝑎𝑂+𝑀𝑔𝑂+𝑁𝑎2𝑂+𝐾2𝑂)
Slagging Factor = 𝑥 %(𝑆 𝑑𝑟𝑦) Persamaan 2.1
% (𝑆𝑖𝑂2+𝐴𝑙2𝑂3+𝑇𝑖𝑂2)

% (𝐹𝑒2𝑂3+𝐶𝑎𝑂+𝑀𝑔𝑂+𝑁𝑎2𝑂+𝐾2𝑂)
Fouling Factor = % (𝑆𝑖𝑂2+𝐴𝑙2𝑂3+𝑇𝑖𝑂2)
× % (𝑁𝑎2𝑂 + 0,659 𝐾2𝑂) Persamaan 2.2

Jika harga Faktor Slagging :

 Kurang dari 0,6 ► kemungkinan untuk terbentuk Slagging kecil


 Antara 0,6 – 2,0 ► kemungkinan untuk terbentuk Slagging sedang
 Antara 2,0 – 2,6 ► kemungkinan untuk terbentuk Slagging tinggi
 Lebih dari 2,6 ► kemungkinan untuk terbentuk Slagging sangat tinggi

Sedangkan Faktor Fouling ( Carpenter;1998):

 Kurang dari 0,2 ► kemungkinan untuk terbentuk fouling kecil


 Antara 0,2 – 0,5 ► kemungkinan untuk terbentuk fouling sedang
 Antara 0,5 – 1,0 ► kemungkinan untuk terbentuk fouling tinggi
 Lebih dari 1,0 ► kemungkinan untuk terbentuk fouling sangat tinggi

Indikasi ini digunakan sebagai prediksi secara kualitatif dan metoda komparasi pada
pembakaran batubara.

III. PROGRAM KEGIATAN


Untuk melaksanakan kegiatan Pengembangan Sistem Pembakaran Co-Firing Batubara -
Biomassa, dilakukan tahapan-tahapan kegiatan yang meliputi :

3.1 Pengambilan dua buah contoh batubara yang mempunyai kalori tinggi dan kalori
rendah, serta 10 contoh biomassa, yaitu jenis kayu keras, kayu sedang dan kayu lunak,
tiga macam limbah pengolahan kelapa sawit, bagas, jerami dan sekam padi

3.2 Melaksanakan karakterisasi bahan baku awal baik batubara maupun biomassa melalui
analisis proksimat, ultimat, komposisi abu, serta anlisis XRD.

3.3 Melakukan pencampuran batubara dengan berbagai biomassa secara sistematis


sehingga didapat beberapa komposisi campuran batubara–biomassa yang merupakan
bahan bakar (fuel blend).

- 10 -
3.4 Melaksanakan karakterisasi titik leleh abu bahan bakar hasil pencampuran batubara-
biomassa.

IV. METODOLOGI
Penelitian Sistem Pembakaran Co-Firing Batubara - Biomassa, dilakukan melalui tahapan-
tahapan kegiatan sebagai berikut :
4.1 Pengambilan Contoh Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk penelitian co-firing adalah batubara dan biomassa.
Contoh batubara diambil dari batubara umpan yang digunakan pada PLTU Labuan dengan
kalori 5.067 dan satu lagi menggunakan batubara yang mempunyai kalori 6109. Sedangkan
contoh biomassa diambil dari beberapa tempat yang berbeda, yaitu untuk biomassa kayu
jati dan albasia diambil dari sentra industri kayu di daerah Cirebon, dan kayu mahoni
diambil dari daerah Banten. Kemudian dilakukan juga pengambilan contoh biomassa lain
yaitu tongkol buah kelapa sawit, serat buah kelapa sawit dan kulit kelapa sawit yang diambil
dari perkebunan kelapa sawit di daerah Banten. Biomassa bagas diambil dari pabrik gula
Sindang Laut Cirebon, juga dilakukan pengambilan biomassa gabah, jerami dan alang –
alang dari daerah sekitar Cirebon.

4.2 Preparasi Bahan Baku

Preparasi bahan baku meliputi kegiatan pengecilan ukuran dan pengabuan. Untuk
keperluan analisis awal, bahan baku yang kebanyakan biomassa mempunyai bentuk dan
ukuran besar dan tidak beraturan sehingga perlu dilakukan pengecilan ukuran mendekati
ukuran yang cocok untuk keperluan analisis. Pekerjaan pengecilan ukuran awal dilakukan di
Palimanan, sedangkan preparasi untuk ukuran yang sesuai untuk analisis di lakukan di
Laboratorium di Bandung. Selain pengecilan ukuran bahan baku, kegiatan preparasi juga
mencakup kegiatan pengabuan bahan baku untuk keperluan analisis titik leleh abu dan
analisis XRD.

4.3 Karakterisasi Bahan Baku

Untuk mengetahui karakteristik awal dari bahan baku dilakukan analisis proksimat, ultimat,
komposisi abu, titik leleh abu dan analisis XRD.

4.4 Blending Bahan Baku

Untuk mengetahui pengaruh pencampuran batubara dan biomassa dilihat dari sifat titik
leleh abunya dilakukan pengabuan bahan baku, baik batubara maupun biomassa. Kemudian
dilakukan blending bahan percobaan antara batubara dan biomassa dengan perbandingan
tertentu, yaitu 95% dan5%, 90% dan 10%, 85% dan 15%, 80% dan 20%.

- 11 -
4.5 Karakterisasi Titik Leleh Abu
Untuk mengetahui pengaruh pencampuran batubara dan biomassa dengan perbandingan
tertentu yang akan digunakan sebagai bahan bakar campuran pada pembakaran co-firing
dilihat dari sifat titik leleh abunya maka dilakukan analisis Ash Fusibility Test (AFT)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Bahan Baku

Dalam penelitian ini digunakan bahan baku penelitian berupa dua jenis batubara dan
sepuluh jenis biomassa. Dari hasil karakterisasi awal dapat diketahui sifat-sifat dasar dari
bahan baku penelitian yang digunakan seperti diperlihatkan pada Tabel 5.1.

- 12 -
Tabel 5. 1. Hasil Analisis Proksimat dan Ultimat

Parameter Satuan Batubara Batubara Kayu Kayu Kayu Cangkang Serat Tongkol Bagas Sekam Jerami Alang-
HR LR Jati Mahoni Albasia Sawit Sawit Sawit Padi alang

Nilai Kalor cal/gr,adb 6.109 5.067 4.347 4.244 4.040 4.447 4.187 4.098 4.144 3.301 3.545 4.057
Moisture %, adb 17,49 17,69 12,60 11,01 13,76 11,77 11,19 10,86 7,17 7,77 6,62 8,69

Analisis
Proksimat
Zat terbang %, adb 32,95 40,90 73,73 71,37 71,19 68,14 65,26 72,86 73,86 57,72 61,81 74,22
Karbon padat %, adb 46,13 35,64 13,73 16,64 14,36 18,54 17,44 10,87 13,56 13,34 16,07 12,31
Abu %, adb 3,43 5,77 0,94 0,98 0,71 1,51 6,11 5,41 5,41 21,17 15,50 4,78

Analisis Ultimat
Karbon (C) %, adb 65,39 55,40 46,25 46,45 43,83 48,24 45,89 45,67 44,79 35,21 37,72 43,77
Hidrogen (H) %, adb 5,93 5,77 6,49 6,28 6,35 6,32 6,04 6,27 5,96 5,00 5,34 6,00
Nitrogen (N) %, adb 1,79 0,59 0,05 0,31 0,12 0,38 1,12 0,95 0,36 0,43 0,87 0,46
Oksigen (O) %, adb 22,84 32,34 46,21 45,92 48,95 43,51 40,71 41,61 43,38 38,14 40,49 44,89
Sulfur (S) %, adb 1,01 0,13 0,06 0,06 0,04 0,04 0,13 0,09 0,10 0,05 0,08 0,10

- 11 -
- 12 -
Hasil analisis Proksimat dan Ultimat seperti terlihat pada Tabel 5.1, nilai kalori salah satu
batubara sebesar 5.067kal/gr,adb dan batubara lainnya sebesar 6.109kal/gr,adb, sehingga
jika dilihat dari komponen yang membentuk batubara yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai batubara jenis lignit dan satunya lagi termasuk jenis bituminus.
Nilai kalori biomassa kayu, sisa pengolahan sawit dan bagas tebu berkisar dengan besaran
4000kal/gr,adb, begitu juga dengan jenis rumput alang-alang, kecuali jerami sebesar
3.545kal/gr,adb dan sekam 3.301kal/gr,adb.

Batubara bituminus mengandung 32,95% zat terbang sedangkan batubara lignit


mengandung 40,90% zat terbang, sedangkan secara umum biomassa mempunyai
kandungan zat terbang antara 57% sampai dengan 74%. Kandungan karbon padat sebesar
46,13% pada batubara bituminus dan sebesar 35,64% pada batubara lignit. Pada biomassa
jenis kayu kandungan karbon padat berkisar antara 13,73% sampai dengan 16,64%. Pada
biomasa sisa pengolahan sawit berkisar 10,87% untuk tongkol dan 17,44% untuk serat dan
18,44% untuk cangkang sawit, sedangkan untuk bagas,sekam padi, jerami dan alang-alang
masing-masing sebesar 13,56%, 13,34%,16,07% dan 12,31%. Jika dilihat dari hasil analisis
proksimat, ada dua parameter analisis proksimat yaitu % zat terbang dan % karbon padat
yang dipakai untuk membangun sistem klasifikasi bahan bakar konvensional dengan kriteria
praktis sebagai hipotesis bahwa menaiknya % karbon padat akan menaikan nilai kalori dan
sebaliknya, menaiknya % zat terbang akan menurunkan nilai kalori.

Kandungan abu sebesar 3,43% pada batubara bituminus dan sebesar 5,77% pada batubara
lignit. Pada biomassa jenis kayu kandungan abu berkisar antara 0,71% sampai dengan
0,98%. Pada biomasa sisa pengolahan sawit kandungan abu masing-masing 1,51%, 6,11%
dan 5,41% untuk cangkang sawit, serat sawit dan tongkol sawit, begitu juga sebesar 5,41%
untuk bagas dan 4,78% untuk alang-alang. Sedangkan untuk jerami sebesar 15,50% dan
sekam padi 21,17%. Jika dilihat dari jumlah kandungan abu pada biomassa, kecuali jerami
dan sekam padi, kecilnya kandungan abu merupakan suatu kelebihan dari biomassa untuk
digunakan sebagai bahan bakar campuran dengan bahan bakar batubara pada pembakaran
co-firing (Tillman, 2000).

Jika dipandang dari analisis ultimat dengan parameter-parameternya yaitu C, H, O, N, dan S,


yang dianggap sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi nilai kalori adalah C, H, O karena
unsur C dan H akan membentuk senyawa hydrocarbon sedangkan unsur H dan O akan
membentuk air. Sedangkan unsur-unsur S dan N yang akan menbentuk emisi gas-gas asam.
Dari berbagai biomassa yang ada, material kayu cenderung mengandung nitrogen lebih
rendah dibandingkan dengan material biomassa limbah pertanian. Secara keseluruhan
kecilnya kandungan unsur nitrogen (N) dan sulfur (S) pada semua material biomassa bila
dibandingkan dengan kandungan unsur nitrogen (N) dan sulfur (S) pada batubara menjadi
suatu kelebihan dari material biomassa, pada saat digunakan sebagai bahan bakar
campuran batubara pada pembakaran co-firing tidak memberikan andil dalam
pembentukan gas NOx dan SOx yang dapat memberikan dampak terhadap lingkungan
(Baxter L., 2004).

- 12 -
5.2 Karakteristik Komposisi Abu

Dari hasil analisis komposisi abu dari dua jenis batubara dan sepuluh jenis biomassa dapat
dilihat seperti terlihat pada Tabel 5.2

- 13 -
Tabel 5. 2. Hasil Analisis Komposisi Abu

Parameter Satuan Batubara Batubara Kayu Kayu Kayu Cangkang Serat Tongkol Bagas Sekam Jerami Alang-
HR LR Jati Mahoni Albasia Sawit Sawit Sawit Padi alang
Komposisi
Abu
SiO2 % 37,10 53,90 37,30 15,50 11,72 72,20 61,00 27,40 71,30 94,10 81,30 61,70
Al2O3 % 28,3 15,55 5,21 3,39 1,62 2,61 7,04 2,49 7,21 0,49 0,43 1,58
Fe2O3 % 23,2 12,97 2,30 1,75 1,16 1,06 3,83 1,55 3,29 0,25 0,38 0,89
K2O % 0,81 0,56 4,38 15,81 7,13 1,69 9,80 35,50 7,43 1,73 7,86 12,19
Na2O % 0,69 0,38 0,96 2,66 1,15 0,37 1,46 2,15 0,58 0,29 1,37 1,31
CaO % 3,46 5,76 23,30 29,70 52,4 2,46 6,60 9,38 2,98 0,58 2,24 11,43
MgO % 1,32 5,59 8,87 7,97 2,42 3,65 5,43 7,15 2,30 0,45 1,36 3,13
TiO2 % 0,92 0,62 0,11 0,007 0,11 0,007 0,17 0,018 0,16 - - 0,11
MnO % 0,33 0,21 0,078 1,67 0,25 0,15 0,18 0,17 0,20 0,10 0,20 0,063
P2O5 % 0,44 0,031 1,51 7,56 0,41 3,22 1,84 4,04 0,62 0,87 0,80 2,39
SO3 % 2,05 3,32 2,24 6,27 2,67 1,93 1,68 2,64 1,38 0,23 0,48 3,31
LOI % 0,91 0,63 13,01 7,23 18,15 0,39 0,58 7,26 1,85 0,47 2,81 1,23

- 13 -
Dari Tabel 5.2 menunjukkan komposisi abu dari batubara dan biomassa yang digunakan
sebagai bahan baku penelitian. Kedua jenis batubara mempunyai kandungan komposisi abu
dengan karakteristik yang didominasi oleh kandungan SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 dengan besaran
± 80%. Sedangkan Jika dilihat komposisi abu pada biomassa , kandungan SiO2 cederung
lebih tinggi dibandingkan batubara, kecuali pada kayu mahoni dan kayu albasia. Komposisi
SiO2 pada abu biomassa tergantung dari jenis biomassanya , misalnya kayu mahoni sebesar
60%, tongkol sawit sebesar 72%, dan alang-alang sebesar 85% adalah sebagian besar terdiri
dari SiO2, K2O dan CaO. Begitu juga kandungan K2O dan CaO pada semua biomassa hampir
semuanya lebih tinggi dari yang terkandung dalam batubara. Komposisi abu pada batubara
sebagian besar ±80% adalah SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 yang berasal dari mineral lempung dan
kwarsa, sedangkan komposisi abu pada biomassa tergantung dari jenis biomassanya ,
misalnya kayu mahoni sebesar 60%, tongkol sawit sebesar 72%, dan alang-alang sebesar
85% adalah sebagian besar terdiri dari SiO2, K2O dan CaO.

Untuk mengetahui karakteristik kecenderungan fouling dari abu dihitung dengan


persamaan rasio basa/asam menurut (Winegartner, 1974., Marek Ponobis.,2005) pada
persamaan 5.1 sehingga sifat abu batubara tersebut dapat diketahui apakah bersifat asam
atau basa.

Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+K2O+ P2O5
Rasio basa/asam = ……….. persamaan 5.1
SiO2+Al2O3+TiO2

Nilai rasio basa/asam abu batubara antara 0,40 – 0,60 % dikategorikan bersifat basa.
Adapun hasil perhitungan menunjukkan nilai rasio basa/asam abu batubara kalori tinggi
sebesar 0,66 dan dari batubara kalori rendah sebesar 0,95. Sehingga abu dari kedua jenis
batubara yang digunakan sebagai bahan baku penelitian adalah bersifat asam.

Untuk memperkirakan sifat Fouling dan Slagging pada saat pembakaran co – firing antara
batubara dan biomassa dijelaskan dengan rumus (Marek Ponobis., 2005), yaitu:

Slagging Indeks x (Rs) = (B/A) Sd ………. Dimana B/A adalah rasio basa ke asam dalam abu:

Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+K2O+ P2O5
Rasio basa/asam = ……….. persamaan 5.2
SiO2+Al2O3+TiO2

Sd = presentase S dalam campuran bahan bakar

Fouling Indeks (Fu) = (B/A) (Na2O+K2O)

Slag Viscosity Indeks (SR) =

- 14 -
SiO2
RS = ….......................................…….. persamaan 5.3
SiO2 + Fe2O3+CaO+MgO

Tabel 5. 3. Hasil Hasil Perhitungan Slagging, Fouling dan Slag Viscosity Indeks

No MATERIAL SLAGGING INDEKS FOULING INDEKS SLAG VISCOSITY INDEKS


1 Batubara Lignit 0,12 0,89 0,45
2 Batubara Bituminus 0,67 0,99 0,47
3 Kayu Jati 0,11 9,56 0,35
4 Kayu Mahoni 0,25 77,39 0,23
5 Kayu Albasia 0,22 46,29 0,15
6 Cangkang Sawit 0,04 2,31 0,48
7 Serat Sawit 0,16 14,19 0,46
8 Tongkol Sawit 0,26 107,68 0,38
9 Bagas Tebu 0,11 8,65 0,48
10 Jerami Padi 0,09 10,71 0,49
11 Sekam Padi 0,05 2,10 0,50
12 Alang-alang 0,15 19,58 0,45

Dari Tabel 5.3 hasil perhitungan dapat dilihat slagging Indeks semua material termasuk
kategori kecil sampai sedang, sedangkan untuk fouling Indeks untuk batubara termasuk
kecil, tetapi untuk semua biomassa termasuk sangat tinggi.

5.3 Karakteristik Abu Campuran Batubara dan Biomassa

Karakterisasi campuran batubara dan biomassa didapat melalui analisis titik leleh abu dari
campuran batubara dengan berbagai biomassa dengan perbandingan campuran tertentu
dapat dilihat perubahan seperti yang ada pada Gambar 5.1sampai dengan Gambar 5.20
berikut :

- 15 -
TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNITDAN KAYU JATI TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNITDAN KAYU MAHONI
1600 1600
1400 1400
1200 Batubara Lignit 1200 Batubara Lignit
TEMPERATUR, ᴼ c

TEMPERATUR, °C
1000 Kayu Jati 1000 Kayu Mahoni
800 BLR-95 - KJ-05 800 BLR-95 –KM-05
600 BLR-90 - KJ-10 600 BLR-90 –KM-10
400 BLR-85 - KJ- 15 400 BLR-85 –KM-15
200 BLR-80 - KJ- 20 200 BLR-80 –KM-20
0 0
REDUKSI ← → OKSIDASI REDUKSI ←→ OKSIDASI

Gambar 5.1 Titik Leleh Abu Campuran BL-Kayu Jati Gambar 5.2 Titik Leleh Abu Campuran BL-Mahoni

TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNITDAN KAYU ALBASIA


TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN SERAT
1600
SAWIT
1400
1500
1200 Batubara Lignit Batubara LR
TEMPERATUR, ᴼ C
TEMPERATUR, ᴼ C

1000 Kayu Albasia Serat Sawit


1000
800 BLR-95 – KA-05
BLR-95 - SS-05
600 BLR-90 – KA-10
BLR-85 – KA-15 500 BLR-90 - SS-10
400
BLR-80 – KA-20
200 BLR-85 - SS- 15
0
0
REDUKSI ← → OKSIDASI
REDUKSI ← → OKSIDASI BLR-80 - SS- 20

Gambar 5.3 Titik Leleh Abu Campuran BL-Albasia Gambar 5.4 Titik Leleh Abu Campuran BL-Serat Sawit

- 16 -
TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN CANGKANG TITITK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN TONGKOL
SAWIT SAWIT
1500 1500
Batubara LR Batubara LR

TEMPERATUR, ᴼ C
TEMPERATUR, ᴼ C

Cangkang Sawit 1000 Tongkol Sawit


1000
BLR-95 – CS-05 BLR-95 – TKS-05
500 BLR-90 – CS-10 500 BLR-90 – TKS-10
BLR-85 – CS-15 BLR-85 – TKS-15
0 0
REDUKSI ← → OKSIDASI BLR-80 – CS-20 REDUKSI ← → REDUKSI BLR-80 – TKS-20

Gambar 5.6 Titik Leleh Abu Campuran BL-Tongkol Sawit


Gambar 5.5 Titik Leleh Abu Campuran BL-Cangkang Sawit

TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN BAGAS TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN ALANG -
ALANG
1600
1400 1600
1200 Batubara Lignit
TEMPERATUR, ᴼ C

Batubara Lignit
TEMPERATUE, ᴼ C

1000 Bagas 1100


Alang-Alang
800 BLR-95 – BGS-05
600 BLR-95 – AA - 05
600 BLR-90 – BGS-10
BLR-90 – AA -10
400 BLR-85 – BGS -15
100 BLR-85 – AA -15
200 BLR-80 – BGS -20
BLR-80 – AA -20
0 -400
REDUKSI ← → OKSIDASI REDUKSI ← → OKSIDASI

Gambar 5.7 Titik Leleh Abu Campuran BL-Bagas Gambar 5.8 Titik Leleh Abu Campuran BL-Alang-alang

TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN SEKAM PADI TITIK LELEH ABU BATUBARA LIGNIT DAN JERAMI
1600 1600
1400 1400
1200 Batubara Lignit 1200 Batubara Lignit
TEMPERATUR, ᴼ c
TEMPERATUR, ᴼ c

1000 Sekam Padi 1000 Jerami

800 BLR-95–SKM-05 800 BLR-95– JRM-05


600 BLR-90–SKM-10 600 BLR-90– JRM-10
400 BLR-85–SKM-15 400 BLR-85– JRM-15
200 BLR-80–SKM-20 200 BLR-80– JRM-20
0 0
REDUKSI ← → OKSIDASI REDUKSI ← → OKSIDASI

Gambar 5.9 Titik Leleh Abu Campuran BL-Sekam Padi Gambar 5.10 Titik Leleh Abu Campuran BL-Jerami

- 17 -
TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA
BITUMINUS DAN KAYU JATI BITUMINUS DAN KAYU MAHONI
2000 2000

C
C

Batubara Bituminus Batubara Bituminus


1500 1500
TEMPERA TUR,

TEMPERA TUR,
Kayu Jati Kayu Mahoni
1000 1000
BHR-95 - KJ-05 BHR-95 – KM-05
500 500
BHR -90 - KJ-10 BHR-90 – KM-10
0 0
REDUKSI ← → OKSIDASI BHR -85 - KJ- 15 REDUKSI ← → OKSIDASI BHR-85 – KM-15

Gambar 5.11 Titik Leleh Abu Campuran BB-Kayu Jati Gambar 5.12 Titik Leleh Abu Campuran BB-Kayu Mahoni

TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA
BITUMINUS DAN KAYU ALBASIA BITUMINUS DAN SERAT SAWIT
2000 2000
TEMPERATUR, ᴼC

TEMPERATUR, ᴼ C

Batubara Bituminus Batubara Bituminus


1500 1500
Kayu Albasia Serat Sawit
1000 1000
BHR-95 – KA-05 BHR-95 – KA-05
500 500
BHR-90 – KA-10 BHR-90 - SS-10
0 BHR-85 – KA-15 0 BHR-85 - SS- 15
REDUKSI ← → OKSIDASI REDUKSI ← → OKSIDASI

Gambar 5.13 Titik Leleh Abu Campuran BB-Kayu Albasia Gambar 5.14 Titik Leleh Abu Campuran BB-Serat Sawit

TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA
BITUMINUS DAN CANGKANG SAWIT BITUMINUS DAN TONGKOL SAWIT
2000 2000
TEMPERATUR, ᴼC
TEMPERATUR, ᴼC

Batubara Bituminus Batubara Bituminus

1000 Cangkang Sawit 1000 Tongkol Sawit


BHR-95 – CS-05 BHR-95 – TKS-05
0 0 BHR-90 – TKS-10
REDUKSI ← → OKSIDASI BHR-90 – CS-10 REDUKSI ← → OKSIDASI

Gambar 5.15 Titik Leleh Abu Campuran BB-Cangkang Gambar 5.16 Titik Leleh Abu Campuran BB-Tongkol
Sawit Sawit

- 18 -
TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA
BITUMINUS DAN BAGAS BITUMINUS DAN SEKAM PADI
2000 2000
TEMPERATUR, ᴼC

TEMPERATUR, ᴼ C
Batubara Bituminus Batubara Bituminus
1000 Bagas 1000 Sekam Padi
BHR-95 – BGS-05 BHR-95 – SKM-05
0 BHR-90 – BGS-10 0
REDUKSI ← → OKSIDASI REDUKSI ← → OKSIDASI BHR-90 – SKM-10

Gambar 5.17 Titik Leleh Abu Campuran BB-Bagas Gambar 5.18 Titik Leleh Abu Campuran BB-Sekam Padi

TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA TITIK LELEH ABU CAMPURAN BATUBARA
BITUMINUS DAN JERAMI BITUMINUS DAN ALANG-ALANG

2000 2000
TEMPERATUR, ᴼC

Batubara Bituminus TEMPERATUR, ᴼC Batubara Bituminus

1000 Jerami 1000 Alang-Alang


BHR-95 – JRM-05 BHR-95 – AA - 05
0 BHR-90 – JRM-10 0 BHR-90 – AA -10
REDUKSI ← → OKSIDASI REDUKSI ← → OKSIDASI

Gambar 5.19 Titik Leleh Abu Campuran BB-Jerami Gambar 5.20 Titik Leleh Abu Campuran BB-Alang-
alang

Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.10, yang memperlihatkan pengaruh blending
biomassa terhadap batubara lignit dengan perbandingan tertentu. Pada Gambar 5.1 pada
kondisi reduksi perbandingan 80% lignit dan 20% kayu jati memberikan pengaruh
meningkatnya temperatur titik leleh abu, sedangkan pada kondisi oksidasi perbandingan
95% lignit dan 5% kayu jati memberikan pengaruh meningkatnya temperatur titik leleh abu.
Pada Gambar 5.2 pada kondisi reduksi perbandingan 80% lignit-20% dan 85% lignit-15%
kayu mahoni memberikan pengaruh meningkatnya temperatur titik leleh abu, sedangkan
pada kondisi oksidasi perbandingan 95% lignit-5% kayu mahoni, 90% lignit-10% kayu
mahoni,80% lignit-20% kayu mahoni memberikan pengaruh meningkatnya temperatur titik
leleh abu. Sedangkan pada Gambar 5.3 pada kondisi reduksi ataupun pada kondisi oksidasi
penambahan sejumlah biomassa kayu albasia terhadap batubara lignit tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan temperatur titik leleh abu. Gambar 5.4 pada
kondisi reduksi semua penambahan biomassa serat sawit memberikan pengaruh
meningkatnya temperatur titik leleh abu, begitu juga pada kondisi oksidasi semua
perbandingan batubara dengan serat sawit memberikan pengaruh meningkatnya
temperatur titik leleh abu kecuali 80% lignit-20% serat sawit.

- 19 -
Dari Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.20, secara umum penambahan berbagai macam
biomassa terhadap batubara baik jenis lignit ataupun jenis bituminus dengan penambahan
sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan titik leleh
abu, baik dalam kondisi reduksi maupun kondisi oksidasi. Tetapi besarnya kenaikan tidak
terlalu signifikan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

a. Karakteristik titik leleh abu tiap individu biomassa dan batubara tidak dapat dipakai
sebagai acuan untuk menentukan titik leleh abu campuran batubara dan biomassa.
b. Banyak tipe biomassa dapat dijadikan bahan bakar dengan dicampur batubara melalui
teknologi co-firing, tetapi setiap individu biomassa memberikan pengaruh berbeda pada
performance pembakaran baik dilihat dari jenis biomassa maupun dari sisi jumlah
biomassa yang dicampurkan.
c. Titik leleh abu batubara lignit berkisar antara 1.055 ᴼC sampai 1.295 ᴼC untuk lignit dan

1.185 ᴼC sampai 1.410 ᴼC untk bituminus, sedangkan biomassa berkisar antara 990ᴼC
sampai dengan 1.500 ᴼC, hal yang sangat penting dan mempengaruhi titik leleh abu

campuran biomassa dengan batubara, adalah komposisi abu dari tiap jenis bahan baik itu
batubara maupun biomassa.
e. Komposisi abu pada batubara sebagian besar ±80% adalah SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 yang
berasal dari mineral lempung dan kwarsa, sedangkan komposisi abu pada biomassa
tergantung dari jenis biomassanya , misalnya kayu mahoni sebesar 60%, tongkol sawit
sebesar 72%, dan alang-alang sebesar 85% adalah sebagian besar terdiri dari SiO2, K2O
dan CaO.

6.2. Saran

- 20 -
Untuk lebih mengetahui pengaruh pencampuran batubara dengan biomassa dalam rangka
untuk mengembangkan teknologi co-firing batubara dengan biomassa, masih diperlukan
penelitian lanjutan untuk memperoleh data yang lebih akurat dari campuran biomassa dan
batubara secara lebih spesifik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Baxter L.,2004., Biomass-Coal Co-Combustion : Opportunity for Affordable Renewable
Energy, Elsevier Ltd.
2. D.R McIIveen-Wright, dkk, 2007., A technical and environmental analysis of co-
combustion of coal and biomass in fluidized bed technologies, Elsevier.
3. Fikri, M., 2010, Outlook Investasi 2010 dan Sektor Batubara Indonesia,
http;//mohammedfikri.wordpress.com/.
4. Gan Thay Kong, 2010; Peran Biomassa Bagi Energi Terbarukan; Gramedia, Jakarta.
5. JCOAL, 2005., Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center.
6. Loo van S., Koppejan J. (eds.), Handbook of Biomass Combustion and Co-Firing, Prepared
by Task 32 of the Implementing Agreement on Bioenergy under the auspices of the
International Energy Agency, Twente University Press, 2004, ISBN 9036517737
7. Lowry, 1963., Chemistry of Coal Utilization., John Wiley & Sons, Inc, New York – London
8. Maciejewska. A, H. Veringa, J. Sanders, S.D. Peteves.,2006; Co-firing of Biomass with
Coal: Constraints and Role of Biomass Pre-Ttreatment., DG JRC., Institute for Energy., EUR
22461.
9. Ponobis M, 2005., The Influence of Bio-combustion on Boiler Fouling and Effuciency,
Publication, London.
10. Ponobis M, 2005., Evaluation of the influence of biomass co-combustion on boiler furnace
slagging by mean of fusibility correlation biomassa-biochemia 28-375-82.
11. Pusdatin, 2008., Statistik Ekonomi Energi Indonesia., ESDM.
12. Tomasz Kupka., dkk, 2008., Ivestigation of Ash Deposit Formation During Co-firing of
Coal with Sewage Sludge, Saw-dust and Refuse Derived Fuel; Elsevier.
13. Tillman. D.A.,. 2000., Co-firing benefit for coal and biomass., Elseivier Science Ltd.
14. Winegartner, E.C. (ed).,1974. Coal Fouling and Slagging Parameters. ASME research
Committee on Corrosion and Deposits from Combustion Gases, ASME pub.
15. Yusgiantoro, P., 2007. Sustainabilitas Energi di Indonesia Dalam 30 Tahun Mendatang,
Seminar Nasional Sustainable Alternatif Energi. Semarang.
16. Gupta et al, 1993.,

- 21 -
- 22 -

Anda mungkin juga menyukai