Anda di halaman 1dari 32

BIOETANOL SINGKONG SEBAGAI SUMBER BAHAN

BAKAR ALTERNATIF MASA DEPAN

MAKALAH
diajukan guna memenuhi salah satu tugas
Matakuliah Professional Issue

oleh
Galang Pratama P NIM 101910201066
Moh. Riski Ekocahya F NIM 121910201037
Agus Hariana Loka NIM 121910201061
Misbahul Munir NIM 121910201104

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO STRATA 1


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat-Nya,
Tuhan semesta alam Allah Swt. yang tak pernah berhenti melimpahkan rezeki
kepada setiap mahluk. Shalawat serta salam selalu tercurah limpah kepada
junjunan alam Nabi Muhammad Saw. yang membawa agama islam sehingga
menjadi rahmat bagi alam semesta, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan
kedalam cahaya yang terang benderang.
Dalam makalah yang berjudul “Bioetanol Singkong Sebagai Sumber
Bahan Bakar Alternatif Masa Depan” ini, akan dibahas mengenai salah satu
sumber energi terbaruka/renewable energy yaitu bioetanol. Kebutuhan bahan
bakar fosil yang setiap hari masih banyak dibutuhkan memang menjadi kendala
banyak negara di dunia. Kini, negara-negara ini banyak yang beralih
menggunakan bahan bakar ramah lingkungan yang dapat diperbaharui untuk
memenuhi sekian persen kebutuhan energi di negaranya. Bioetanol menjadi
banyak ilihan mengingat harga bahan bakar fosil sudah melangkahi harga etanol.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah. Terutama dosen matakuliah professional
issue yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama mengisi
perkuliahan sehingga membuka gerbang pengetahuan dan membuka pikiran
mahasiswanya untuk mulai membangun pemikiran yang lebih maju kedepan.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada pembaca yang telah
mempelajari makalah ini. Saran serta kritik selalu penulis harapkan guna
pembangunan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Semoga
apa yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat dan memberi barakah kepada
pembaca sekalian.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jember, 23 Agustus 2014


Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................ 2
BAB 2. PEMBAHASAN ............................................................................. 3
2.1 Mengenal Singkong Serta Budi Daya Singkong .................... 3
2.1.1 Varietas Unggul Singkong ........................................... 4
2.1.2 Pengolahan Tanah ........................................................ 4
2.1.3 Cara Tanam .................................................................. 5
2.1.4 Pola Tanam dan Pengendalian Erosi ............................5
2.1.5 Populasi Tanaman ........................................................ 6
2.1.6 Waktu Tanam, Sulam, dan Pengendalian Gulma ........ 6
2.1.7 Pemupukan dan Pengendalian Hama dan Penyakit ..... 7
2.1.8 Panen ............................................................................ 7
2.2 Bahan Bakar Fosil (bensin) ...................................................... 7
2.2.1 Bensin Pencemar Udara ............................................... 8
2.2.2 Upaya Mengatasi Polusi .............................................. 9
2.3 Bioetanol Singkong Sebagai Bahan Bakar Nabati .................10
2.4 Pembuatan Bioetanol Singkong ............................................... 13
2.4.1 Proses Produksi Bioetanol Singkong ........................... 15
2.4.2 Pembangkitan Listrik Berbahan Bioetanol .................. 22
2.5 Limbah Pabrik Bioetanol ......................................................... 24
2.5.1 Limbah Cair ................................................................. 24
2.5.2 Limbah Padat .............................................................. 25
BAB 3. SIMPULAN .................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 29

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Energi merupakan hal yang tak terelakan lagi amat dibutuhkan untuk
menunjang kehidupan manusia. Energi telah banyak menggerakan sendi-sendi
perekonomian dunia. Energi pulalah yang membantu para ilmuwan untuk
mengembangkan ilmunya dalam banyak bidang
Sudah sejak dulu, sekitar akhir tahun 1980-an para ahli lingkungan di
Indonesia menginginkan jenis bahan bakar yang berkarakteristik bersih/rendah
emisi, dapat dierbaharui/renewable, serta tidak tergantung pada energi fosil yang
kian menipis karena penggunaan secara besar-besaran. Semenjak udara perkotaan
tercemar emisi, keinginan penggantian bahan bakar fosil dengan bahan
berkarakteristik diatas menguat dengan kecenderungan pada pilihan gasoline dan
etanol sebagai langkah menuju penggunaan bahan bakar yang lebih bersih.
Bioetanol bisa dibilang lebih bermutu daripada premium. Bioetanol memiliki
keunggulan seperti nilai oktan lebih tinggi dan menghasilkan gas rumah kaca yang
rendah. Apalagi singkong dapat relatif dapat ditanam di lahan “kritis” dengan
sedikit air dan opsi budi daya secara tumpang sari. Sehingga para petani singkong
dapat menikmati harga singkong yang wajar dan stabil karena singkong mendapat
lahan pasar baru sebagai produk bioetanol.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu singkong dan bagaimana budi daya singkong?
2. Apa yang dimaksud dengan bahan bakar fosil (bensin) dan apa pengaruhnya
terhadap pencemaran udara?
3. Apa yang dimaksud dengan bioetanol singkong sebagai bahan bakar nabati
pengganti fosil?
4. Bagaimana cara membuat bioetanol dari singkong dan pemanfaatannya untuk
membangkitkan listrik?
5. Apa saja limbah pabrik bioetanol?

1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian singkong dan budi dayanya.
2. Mengetahui pengertian bensin dan pengaruhnya terhadap pencemaran udara.
3. Mengetahui bioetanol singkong sebagai bahan bakar nabati pengganti fosil.
4. Mengetahui cara pembuatan bioetanol dari singkong dan pemanfaatannya
untuk membangkitkan listrik.
5. Mengetahui limbah yang dihasilkan dari pabrik bioetanol.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Mengenal Singkong Serta Budi Daya Singkong


Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (cash crop).
Sebagai tanaman perdagangan, singkong menghasilkan starch, gaplek, tepung
singkong, etanol, gula cair, sorbitol, monosodium glutamat, tepung aromatik, dan
pellets. Sebagai tanaman pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi
500 juta manusia di dunia. Di Indonesia, tanaman ini menempati urutan ketiga
setelah padi dan jagung. Sebagai sumber karbohidrat, singkong merupakan
penghasil kalori terbesar dibanding dengan tanaman lain seperti pada Tabel 1
dibawah ini.
Tabel 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat
No. Jenis Tanaman Nilai Kalori (Kal/Ha/Hr/)
1. Singkong 250x103
2. Jagung 200 x103
3. Beras 176 x103
4. Gandum 110 x103
5. Sorgum 114 x103

Indonesia ialah penghasil singkong urutan keempat terbesar di dunia setelah


Nigeria, Brasil, dan Thailand. Namun pasar singkong dunia dikuasai oleh
Vietnam dan Thailand.
Dalam sistematika tanaman, singkong termasuk kelas Dicotyledoneae.
Singkong masuk dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai 7.200 spesies.
Klasifikasi tanaman singkong sebagai berikut.
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Arhichlamydae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Sub famili : Manihotae
Genus : Manihot

3
Spesies : Manihot esculenta Crantz
Produksi singkong tahun 2005 sebesar 19,5 juta ton dengan areal seluas
1,24 juta ha. Provinsi lampung adalah penghasil singkong terbesar (24%), diikuti
Jawa Timur (20%), Jawa Tengah (19%), Jawa Barat (19%), NTT (4,5%), dan DI
Yogyakarta (4,2%).

2.1.1 Varietas Unggul Singkong


Sejak tahun 1978, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melepas 10 varietas unggul
singkong. Produktivitasnya cukup tinggi, antara 22 – 102 ton/ha (Suhartina, 2005
dan Hartoyo, 2005 dalam Noerwijati dan Hartoyo, 2006). Namun, singkong untuk
bahan baku FGE disarankan memiliki delapan sifat berikut.
a. Berkadar pati tinggi.
b. Potensi hasil tinggi.
c. Tahan cekaman biotik dan abiotik.
d. Fleksibel dalam usaha tani dan umur panen.
e. Daun tidak mudah gugur.
f. Adaptih di tanah ber-pH tinggi dan rendah.
g. Adaptif pada kondisi populasi tinggi sehingga mampu menekan pertumbuhan
gulma.
h. Dapat dikembangkan dalam pola tumpang sari.

2.1.2 Pengolahan Tanah


Pengolahan tanah bertujuan sebagai berikut.
a. Memperbaiki struktur tanah. Tanah yang baik untuk budi daya singkong
seharusnya memiliki struktur remah atau gembur, sejak fase awal
pertumbuhan tanaman hingga panen.
b. Menekan pertumbuhan gulma. Hal ini dilakukan agar singkong tidak bersaing
dengan berbagai gulma dalam mengambil hara tanah, pupuk, dan air.
c. Menerapkan sistem konservasi tanah untuk memperkecil peluang erosi.

4
2.1.3 Cara Tanam
a. Pangkal setek dipotong rata atau runcing. Pangkal setek yang dipotong miring
akan berdampak pada pertumbuhan akar yang tidak merata.
b. Tanamlah setek dalam posisi vertikal. Setek yang ditanam dalam posisi lain
(miring 45o dan horisontal), berakibat akar tidak terdistribusi merata. Volume
akr di tanah dan penyebarannya berpengaruh pada jumlah hara yang dapat
diserap tanaman, selanjutnya berdampak pada produksi.
c. Kedalaman tanah 15 cm, baik pada musim hujan maupun musim kemarau.
Hal ini terkait dengan kelembapan tanah untuk menjaga kesegaran setek.
Disarankan menenam dalam keadaan tanah gembur dan lembab. Tanah
dengan kondisi ini akan menjamin kelancaran sirkulasi O2 dan CO2 serta
meningkatkan aktivitas mikroba tanah.

2.1.4 Pola Tanam dan Pengendalian Erosi


Singkong dapat ditanam secara monokultur dan tumpang sari. Kekurangan
dan kelebihan pola tumpang sari sebagai berikut.
a. Kekurangan
- Terjadi persaingan pengambilan hara, air, dan cahaya matahari antar
tanaman.
- Kebutuhan tenaga kerja lebih besar.
b. Kelebihan
+ Efektif untuk mengendalikan erosi.
+ Meningkatkan efisiensi penggunaan lahan.
+ Memperkecil resiko kegagalan.
+ Meningkatkan pendapatan bersih per tahun dan terdistribusi secara merata.
+ Memenuhi kebutuhan pangan.
+ Memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah karena dapat diperoleh serasah
atau limbah panen dari tanaman yang dapat dikembalikan ke tanah.
Di lahan peka erosi dianjurkan menerapkan pola tumpang sari singkong
dengan padi gogo dan aneka kacang. Di lahan yang tidak peka erosi, singkong
dapat ditumpangsarikan dengan jagung. Jarak tanaman yang efektif

5
mengendalikan erosi dan berproduksi optimal adalah 40 cm dan antara barisan
dan 10 – 15 cm dalam barisan. Anjuran populasi optimal singkong pada pola
tumpang sari ialah 10.000 tanaman/ha.
Sistem tumpang sari menurunkan jumlah tanah yang tererosi. tumpang sari
singkong dan kacang dan satu baris rumput gajah mempunyai efek menghambat
erosi paling efektif dibandingkan dengan sistem tumpang sari lainnya. Hasilnya
singkong meningkat dibandingkan sistem monokultur, kecuali tumpang sari
singkong dan jagung.

2.1.5 Populasi Tanaman


Populasi tanaman ditentuka oleh tingkat kesuburan tanah dan tipe kanopi
tanaman. Rekomendasi tersebut sebagai berikut.
a. Tanah subur, 10.000 batang per hektar (baik untuk varietas singkong
bercabang maupun tidak bercabang).
b. Tanah kurus, 15.000 per hektar.

2.1.6 Waktu Tanam, Sulam, dan Pengendalian Gulma


Waktu tanam secara umum yaitu sebelum penghujan atau saat tanah tidak
berair agar struktur tanah tetap terpelihara. Di lahan kering beriklim basah waktu
terbaik untuk bertanam yaitu awal musim hujan atau akhir musim hujan. Di lahan
sawah, penanaman dilakukan setelah panen padi. Di daerah yang curah hujannya
cukup tinggi dan merata sepanjang tahun, singkong dapat ditanam setiap waktu.
Penyulaman dilakukan saat singkong mulai berumur 1 – 3 minggu. Bila
penyulaman dilakukan setelah umur lima minggu, tanaman sulam akan tumbuh
tidak sempurna karena ternaungi tanaman sekitarnya.
Gulma merupakan pesaing bagi singkong untuk mengambil air, pupuk,
dan hara. Penelitian menunjukkan kompetisi dengan gulma menurunkan
produktivitas singkong hingga 7,5%. Gulma harus dikendalikan saat tiga bulan
pertama dan disaat panen.

6
2.1.7 Pemupukan dan Pengendalian Hama dan Penyakit
Untuk pupuk, banyaknya penggunaan ialah sebagai berikut.
a. Pupuk organik: 5 – 10 ton/ha setiap musim tanam.
b. Urea: 150 – 200 kg/ha.
c. SP3G: 100 kg/ha.
d. KCI: 100 – 150 kg/ha.
Bakteri layu (Xhantomonas campetris pv. manihotis) dan hawar daun
(Cassava Bacterial Blight) adalah penyakit utama singkong. Kerugian hasil akibat
CBB diperkiraan sebesar 8% untuk varietas yang agak tahan, dan mencapai 50 –
90 % untuk varietas yang agak rentan dan rentan. Varietas Adira-4, Malang-6, UJ-
3, dan UJ-5 tahan terhadap kedua penyakit ini. Hama utama singkong ialah tungau
merah (Tetranichus urticae) yang menyerang hanya pada musim kemarau dan
menyebabkan rontoknya daun.

2.1.8 Panen
Kriteria utama panen singkong ialah kadar pati optimal, yakni pada saat
tanaman berumur 7 – 9 bulan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan daun mulai
berkurang, warna daun mulai agak menguning, dan banyak daun yang rontok.
Cara panen singkong yang benar adalah:
a. buanglah batang-batang singkong terlebih dahulu;
b. tinggalkan pangkal batang kurang lebih 10 cm untuk memudahkan
pencabutan;
c. cabutlah tanaman dengan tangan menggunakan tenaga dari seluruh tubuh,
sehingga umbinya dapat diangkat keluar dari tanah;
d. pada tanah berat, pakailah alat pengungkit berupa sepotong bambu atau kayu.

2.2 Bahan Bakar Fosil (bensin)


Bensin merupakan cairan yang sangat penting, terutama di zaman modern
dengan mobilitas manusia yang semakin tinggi. Vitalnya bensin bagi
perekonomian suatu negara sama halnya seperti fungsi darah bagi tubuh manusia.
Tanpa bensin (energi), dunia ini serasa berhenti berdenyut.

7
Seperti diketahui, bahan bakar minyak (BBM) mengambil porsi 52%
dalam kebutuhan energi nasional. Sebagian besar BBM bersubsidi, bahkan pada
tahun 2006 besar subsidi berjumlah Rp.60,6 triliun dan sekitar 43% kebutuhan
BBM dalam negeri masih diimpor (Timnas BBN, 2006). Pada tahun 2006 volume
BBM mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2005, sebagai dampak
Peraturan Presiden No. 5, tanggal 30 September 2005 yang menaikkan harga
premium 188%, solar 205%, dan minyak tanah 286%.
Secara sederhana, bensin tersusun dari hidrokarbon rantai lurus dengan
rumus kimia CnH2n+2, mulai dari C7 (heptana) sampai dengan C11. Dengan kata
lain, bensin terbuat dari molekul yang hanya terdiri dari hidrogen dan karbon yang
saling terikat satu sama lainnya sehingga membentuk rantai. Pada mesin yang
normal, proses pembakaran (oksidasi) dengan udara di dalam mesin atau motor
bakar akan mengubah yakni oksigen akan mengubah semua hidrogen dalam
bahan bakar menjadi air dan mengubah semua karbon menjadi karbon dioksida.
Bensin dibuat dari crude oil atau minyak mentah, yaitu cairan berwarna
hitam yang dipompa dari perut bumi. Cairan ini mengandung hidrokarbon. Atom-
atom karbon dalam minyak mentah saling berhubungan, membentuk rantai
dengan panjang yang berbeda-beda. Secara garis besar, proses yang berlangsung
di dalam kilang minyak dapat digolongkan menjadi lima bagian yaitu proses
distilasi, konversi, pengolahan (treatment), formulasi dan pencampuran
(blending), dan proses lainnya seperti pengolahan limbah, penghilangan air asin,
pemerolehan kembali sulfur, pemanasan, pendinginan, dan proses pembuatan
hidrogen serta proses lainnya yang mendukung. Gas didistilasi pada suhu 20oC,
gasolin/bensin pada suhu 150 oC, karosin/minyak tanah pada suhu 200 oC, diesel
pada suhu 300 oC, minyak bahan bakar industri pada suhu 370 oC dan minyak
pelumas, lilin parafin, dan aspal pada suhu 400 oC.

2.2.1 Bensin Pencemar Udara


Bensin adalah senyawa hidrokarbon yang berisi hidrogen dan atom
karbon. Proses pembakaran pada mesin tidak selamanya berlangsung sempurna.
Akibatnya mesin mobil mengeluarkan beberapa polutan berbahaya seperti

8
hidrokarbon, oksida nitrogen, karbon monoksida, oksida belerang, partikel debu
halus, dan yang paling berbahaya adalah timbel (Pb).
Pada tahun 1994, Bank Dunia melaporkan telah terjadi 1.200 kasus
kematian prematur dan 32 juta kasus penyakit pernapasan di Jakarta (Kompas, 30
April 2007). Data tim studi RETA, Multi-selector Plan Group on Vehicular
Emission Reduction for a Greater Jakarta (2002), menyatakan bahwa beban
sosial akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai Rp.1,8 triliun. Direktur
Wahana Lingkungan hidup Indonesia (WALHI), memperkirakan beban biaya
pengobatan warga sebagai dampak polusi akan naik menjadi Rp.4,3 triliun pada
tahun 2015 (Kompas, 4 Januari 2007).
Emisi timbel dapat mengakibatkan kerusakan fungsi otak atau penuruna
IQ dan bahkan kematian. Kesehatan janin juga terganggu, karena timbel
menghambat sintesis sel darah merah serta anemia meningkatkan risiko kematian
bayi. Pada remaja, timbel meningkatkan tindakan kriminalitas dan dilaporkan juga
timbel memacu penyakit autis. Pada perempuan dewasa, timbel mengganggu
sistem reproduksi, siklus menstruasi menjadi terganggu dan tidak teratur. Emisi
hidrokarbon mengakibatkan iritasi mata, gatal tenggorokan/batuk, dan kanker
(karsinogenik). Emisi partikel debu halus ialah pemicu ISPA, asma, dan kanker
paru-paru. Emisi karbon monoksida seperti pusing, gangguan jantung, dan
kematian. Emisi notrogen oksida menyebabkan iritasi mata, gangguan
tenggorokan, pemicu asma dan kanker paru-apru, dan gangguan jantung. Serta
pengaruh FE2+ dan magnesium ialah kerusakan fungsi syaraf, gangguan oksidasi
(penyerapan oksigen dlam darah), pusing, dan mual.

2.2.2 Upaya Mengatasi Polusi


Upaya penghapusan bensin bertimbel pemerintah telah melakukan hal-hal
melalui Program Langit biru sejak 1992, secara bertahap direalisasikan.
Pemerintah telah melakukan hal-hal berikut.
a. Kadar timbel diturunkan secara bertahap
o Sebelum tahun 1990 : 2,5 g/liter (bensin super 98).
o Tahun 1990 – 1996 : 1,5 g/liter.

9
o Tahun 1997 – 1998 : 1,0 gr/liter.
o Tahun 2000 : 0,5 gr/liter.
b. Penggunaan aditif methyl tertiery butyl eter (MTBE) untuk menggantikan TEL.
MTBE adalah senyawa organik beroksidasi (oksigenat). Jika bahan ini
ditambahkan dalam bensin akan meningkatkan pembakaran bensin karena
mengandung oksigen tambahan. Dampak lanjutannya akan mengurangi emisi
bahan bakar seperti karbon monoksida. Dulu di Indonesia dikenalkan bensin
premix ber-RON 88 yang ditambah 15% MTBE.
Penelitian lebih lanjut mendapatkan data bahwa MTBE merupakan zat
yang tidak mengalami perombakan dan bersifat sangat hidrofil/suka air sehingga
mencemari air tanah, danau dan badan air lainnya. MTBE memberi rasa bau yang
sangat tidak enak di air dan dicurigai sebagai zat karsinogenik. Negara bagian
California telah melarang penggunaan MTBE, dan banyak negara mengikuti
langkah negara ini.

2.3 Bioetanol Singkong Sebagai Bahan Bakar Nabati


Salah satu fungsi alkohol sebagai octane booster, artinya alkohol mampu
menaikkan nilai oktan dengan dampak positif terhadap efisiensi bahan bakar dan
menyelamatkan mesin. Fungsi lain ialah oxigenating agent, yakni mengandung
oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran bahan bakar dengan efek positif
menimimalkan pencemaran udara. Bahkan alkohol berfungsi sebagai fuel
extender, yaitu menghemat bahan bakar fosil.
Alkohol berasal dari bahasa arab al-kuhl (al kohl), artinya senyawa yang
mudah menguap. Bahan kimia organik ini adalah salah satu senyawa kimia tertua
yang telah dikenal manusia. Alkohol ini berupa larutan jernih tak berwarna,
beraroma khas yang dapat diterima, berfasa cair pada temperatur kamar, dan
mudah terbakar.
Terdapat dua jenis etanol yaitu etanol sintesis dan bioetanol. Etanol
sintesis sering disebut metanol atau metil alkohol atau alkohol kayu yang terbuat
dari etilen salah satu derivat minyak bumi atau batu bara. Bahan ini diperoleh dari
proses sintesa kimia yang disebut hidrasi, sedangkan bioetanol direkayasa dari

10
biomassa (tanaman) dari proses biologi (enzimetik dan fermentasi). Bahan baku
etanol sebagai berikut.
a. Bahan berpati, berupa singkong, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung, biji
sorgum, gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia, dan lain-lain.
b. Bahan bergula, berupa molasses (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira
batang sorgum manis, nira aren, nira nipah, gewang, nira lontar, dan lain-lain.
c. Bahan berselulosa berupa limbah logging, limbah pertanian seperti jerami
padi, ampas tebu, janggel (tongkol) jagung, onggok (limbah tapioka), batang
pisang, serbuk gergaji, dan lain-lain.

Tabel 2. Konversi biomassa menjadi bioetanol


Biomasa Berat (Kg) Kandungan Jumlah Hasil Biomassa :
Gula/Pati (Kg) Bioetanol (L) Bioetanol
Singkong 1.000 240 – 300 166,6 6,5:1
Ubi Jalar 1.000 150 – 200 125 8:1
Jagung 1.000 600 – 700 400 2,5:1
Sagu 1.000 120 – 160 90 12:1
Tetes 1.000 450 – 520 250 4:1
Tebu 1.000 110 67 15:1
Sumber: Wahono, 2006 (diolah kembali)
Tabel diatas menunjukkan bahan baku yang memiliki efisiensi tertinggi adalah
jagung, disusul tetes tebu, dan singkong, sedangkan tebu memiliki efisiensi paling
rendah.
Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mobil sebenarnya telah lama
dikenal. Pada tahun 1880-an Henry Ford membuat mobil quadricycle dan
menyusul pada tahun 1908 muncul mobil Ford dengan alkohol sebagai bahan
bakarnya. Saat tahun 2007 Indonesia baru memiliki satu pabrik etanol yang
mampu menhasilkan FGE (fuel grade etanol), yakni PT Molindo Raya Industrial
(MRI) di Lawang, Malang, Jawa Timur, berkapasitas 48.000 kl/tahun dengan
kebutuhan bahan baku tetes sebesar 190.000 ton/tahun. Sejak tahun 2003, pabrik
ini telah memproduksi FGE. Pada tahun 2006, MRI memproduksi FGE sekitar

11
3.450.000 liter. Sejak tanggal 22 Agustus 2006, MRI meyuplai dengan “ketentuan
khusus” sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Malang dengan
rata-rata penjualan 12.000 liter/hari.
Sejak Agustus 2006, kita dapat menggunakan E-5 di Indonesia. Bahan
bakar ini diproduksi pertamina dengan merek dagang biopremium, yakni
pencampuran 95% bensin dan 5% FGE. Demikian pula telah tersedia bio-
pertamax, sejak tanggal 11 Desember 2006 saat HUT Pertamina ke-49, meskipun
hanya tersedia di satu SPBU di Jakarta. Pada tahun 2007, Pertamina akan
membuka 23 SPBU untuk bio-pertamax, terinci 15 SPBU di Jakarta, 5 SPBU di
Surabaya, dan 3 SPBU di Malang dengan total volume 25 juta liter.
Denaturan adalah bahan kimia yang sengaja dicampurkan ke dalam etanol
agar tidak layak minum.Tujuan diberikan denaturan agar etanol masuk dalam
kategori “etanol yang dirusak” dalam UU Pajak, sehingga bebas dari cukai. Jenis
denaturan yang biasa dipakai, seperti bensin dan hidrokarbon-hidrokarbon fraksi
bensin.
Keuntungan penggunaan FGE sebagai BBN-gasohol sebagai berikut.
a. Menciptakan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan akan tersedia di
kebun-kebun tanaman penghasil BBN khusunya FGE, seperti kebun-kebun
tebu, singkong, sagu, dan aren.
b. Meningkatkan pendapatan petani. Sejak tahun 2006, pendapat petani tebu
cukup menggiurkan. Namun, hal ini disebabkan oleh harga gula yang relatif
tinggi. Seperti kita ketahui pendapatan petani singkong relatif rendah dan
sangat fluktuatif. Adanya kebutuhan etanol sebagai FGE diharapkan
berdampak positif terhadap komoditas singkong (termasuk aren dang sagu),
yakni komoditas tersebut bisa bernilai jual tinggi dan stabil.
c. Mengurangi kecenderungan pemanasan global dan pencemaran udara.
d. Menghasilkan BBM dengan nilai oktan lebih tinggi, tetapi harga memadai.
Etanol memiliki bilangan oktan 118. Misalnya kita menggunakan E-10 (10%
FGE dan 90% bensin), nilai oktan = (0,9x88)+(0,1x118)=91. Oktan ini
mendekati oktan pertamax yaitu 91,5.

12
e. Penggunaan FGE akan bersifat fuel extender, yakni menghemat bahan bakar
fosil khususnya mengurangi biaya pembelian high octane motorgas
component (HOMC).
f. Mengurangi subsidi bahan bakar. Pergantian 5% premium dengan
penggunaan E-10, Pemerintah RI bisa menghemat subsidi BBM sebesar 3
triliun (Kompas, 14 Februari 2007).
Penggunaan gasohol atau biopremium sebagai bahan bakar tentu saja
memiliki daya saing. Misalnya harga FGE tanpa cukai sebesar Rp.5.000/liter.
Harga gasohol E-10 per liter = (0,9 x Rp.4.500) + (0,1 x Rp.5000) = Rp.4.450.
Maka dapat disimpulkan lebih tinggi Rp.50 daripada harga premium bersubsidi.
Lebih murah Rp.1.500 – Rp.2.300 dari pertamax [harga Mei 2007, termurah di
wilayah pemasaran Pertamina III (Jakarta dan sekitarnya) seharga Rp.6.050/liter
dan termahal di wilayah I (Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat) senilai
Rp.6.850/liter].
Selisih harga tersebut diperhitungkan dapat diterima masyarakat, karena
gasohol E-10 berangka oktan hampir 91, lebih baik dari bensin premium yang
berangka oktan 88, bahkan mendekati oktan pertamax. Dampak positifnya juga
dapat mengurangi emisi gas karbon dioksida di udara.

2.4 Pembuatan Bioetanol Singkong


Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti singkong, jagung
dan sagu untuk menghasilkan bioetanol dilakukan dengan proses urutan. Pertama
adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai struktur
bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari berat total.
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer
pati menjadi unit-unit dekstrosa (C 6H 12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut
dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi

13
ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan
mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas
pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus
rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai
polimer secara spesifik pada percabangan tertentu.
Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi,
sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan
penelitian, penggunaan α-amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE
tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi α-amilase 1.75 U/g pati dan waktu
likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE
tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu
sakarifikasi 48 jam. Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi
glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2 . Fermentasi etanol adalah perubahan 1
mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2 . Pada proses fermentasi etanol,
khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam
piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan
asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang
kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987).
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah
Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran
terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang
tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan
etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya.
Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air adalah 100oC (Kondisi
standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100oC akan
mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan
bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu
continuous-feed distillation column system dan pot-type distillation system.
Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum yang menggunakan tekanan

14
rendah dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang
lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88
psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom
adalah 35oC dan 20oC di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses bioetanol dari bahan berpati

2.4.1 Proses Produksi Bioetanol Singkong

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan bioetanol singkong

Gambar 2 menunjukkan proses produksi FGE dari singkong. Produksi


etanol/bioetanol (atau alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung

15
pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula
(glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau
karbohydrat dan tetes menjadi bioetanol ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau
Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-Etanol
Bahan Baku Jumlah
Kandungan
Hasil Perbandingan
Gula Dalam
Konsumsi Konversi Bahan Baku dan
Jenis Bahan Baku
(Kg) Bioetanol Bioetanol
(Kg)
(Liter)
Ubi Kayu 1000 250-300 166,6 6,5 : 1
Ubi Jalar 1000 150-200 125 8:1
Jagung 1000 600-700 200 5:1
Sagu 1000 120-160 90 12 : 1
Tetes 1000 500 250 4:1

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat


dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam
dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini
hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam
(misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses
pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa
enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air
dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses
peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan yeast atau
ragi.
Selain etanol/bioetanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman
yang mengandung selulosa (mis: jerami padi), namun dengan adanya lignin
mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan

16
etanol/bioetanol dari selulosa sementara ini tidak kami rekomendasikan.
Meskipun teknik produksi etanol/bioetanol merupakan teknik yang sudah lama
diketahui, namun etanol/bioetanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan
etanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru
di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi
produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi
etanol masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi
etanol/bioetanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan
Baku, Liquefikasi dan Sakarifikasi, Fermentasi, Distilasi, dan Dehidrasi.
a. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi bietanol bisa didapatkan dari berbagai
tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu
(sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung
seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping
bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada jenis bahan
bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku Singkong (ubi kayu).
Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk memecahkan
susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.

Gambar 3. Penghancuran singkong dan pemasakan bahan baku

b. Liquifikasi dan Sakarifikasi


Kandungan karbohidrat berupa tepung atau pati pada bahan baku
singkong dikonversi menjadi gula komplex menggunakan Enzym Alfa Amylase
melalui proses pemanasan (pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius (hidrolisis).

17
Pada kondisi ini tepung akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly).
Pada kondisi optimum Enzym Alfa Amylase bekerja memecahkan struktur
tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin). Proses Liquifikasi selesai
ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses berubah menjadi lebih
cair seperti sup. Sedangkan proses Sakarifikasi (pemecahan gula kompleks
menjadi gula sederhana) melibatkan tahapan sebagai berikut :
1. Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum Enzym Glukosa
Amylase bekerja.
2. Pengaturan pH optimum enzim.
3. Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan
pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses
Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula
sederhana yang dihasilkan).

Gambar 4. Liquifikasi dan Sakarifikasi

c. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana
(glukosa dan sebagian fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 5 hingga 12 %.
Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi (yeast) pada cairan bahan baku
tersebut dan mendiamkannya dalam wadah tertutup (fermentor) pada kisaran
suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius selama kurun waktu 5 hingga 7 hari
(fermentasi secara anaerob).

18
Keseluruhan proses membutuhkan ketelitian agar bahan baku tidak
terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Dengan kata lain, dari persiapan baku,
liquifikasi, sakarifikasi, hingga fermentasi harus pada kondisi bebas kontaminan.
Selama proses fermentasi akan menghasilkan cairan etanol/ alkohol dan CO2.
Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/etanol berkadar
rendah antara 7 hingga 10 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar etanol max
10 % ragi menjadi tidak aktif lagi, karena kelebihan alkohol akan beakibat racun
bagi ragi itu sendiri dan mematikan aktifitasnya.

Gambar 5. Fermentasi bahan baku bioetanol

d. Distilasi
Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan dilakukan
untuk memisahkan alkohol dalam cairan beer hasil fermentasi. Dalam proses
distilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan titik didih alkohol) etanol
akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik didih 95 derajat celcius. Uap
etanol didalam distillator akan dialirkan kebagian kondensor sehingga
terkondensasi menjadi cairan etanol. Kegiatan penyulingan etanol merupakan
bagian terpenting dari keseluruhan proses produksi bioetanol. Dalam
pelaksanaannya dibutuhkan tenaga operator yang sudah menguasai teknik
penyulingan etanol. Selain operator, untuk mendapatkan hasil penyulingan etanol

19
yang optimal dibutuhkan pemahaman tentang teknik fermentasi dan peralatan
distillator yang berkualitas.
Penyulingan etanol dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
1. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator tradisional
(konvensional). Dengan cara ini kadar etanol yang dihasilkan hanya
berkisar antara antara 20 s/d 30 %.
2. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator model kolom reflux
(bertingkat). Dengan cara dan distillator ini kadar etanol yang dihasilkan
mampu mencapai 90-95 % melalui 2 (dua) tahap penyulingan.

e. Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa etanol berkadar 95 % belum dapat larut dalam
bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan etanol berkadar 99,6-99,8
% atau disebut etanol kering. Untuk pemurnian etanol 95 % diperlukan proses
dehidrasi (distilasi absorbent) menggunakan beberapa cara, antara lain : 1. Cara
Kimia dengan menggunakan batu gamping 2. Cara Fisika ditempuh melalui
proses penyerapan menggunakan Zeolit Sintetis. Hasil dehidrasi berupa etanol
berkadar 99,6-99,8 % sehingga dapat dikatagorikan sebagai Full Grade Ethanol
(FGE), barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor sesuai standar
Pertamina. Alat yang digunakan pada proses pemurnian ini disebut Dehidrator.

Gambar 6. Proses penyulingan etanol dengan alat konvensional

20
Gambar 7. Penyulingan (distilasi) etanol menggunakan distillator model kolom
reflux

Gambar 8. Cairan etanol dari proses distilasi dan bioetanol kadar 95-96 %
(alkohol teknis)

f. Hasil samping penyulingan etanol.


Akhir proses penyulingan (distilasi) etanol menghasilkan limbah padat
(sludge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek terhadap pencemaran
lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah menjadi pupuk
kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk bakar dan
pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair. Dengan
demikian produsen bioetanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan dengan
dampak lingkungan.

21
Gambar 10. Limbah Padat (sludge) dan limbah cair (vinasse)

2.4.2 Pembangkitan Listrik Berbahan Bioetanol


Bioetanol banyak digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil bukan
berarti hanya dapat dimanfaatkan untuk sektor tersebut. Penggunaan bioetanol
sudah meluas hingga mencapai pembangkitan energi listrik. Muncul beberapa
perusahaan yang menjual produk alat pembangkitan listrik berbahan bakar
bioetanol. Karena tidak dipungkiri kehadirannya diakui dapat menjadi bahan
bakar alternatif yang ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Selain
didapat dengan bahan baku serta proses yang tidak terlalu rumit serta hasil yang
didapatkan terhitung lebih ekonomis daripada bahan bakar fosil. Konverter Kit
bioetanol terdiri dari tangki bioetanol dan sebuat reaktor bioetanol. Konverter Kit
Bioetanol ini dapat dipasang pada banyak mesin dengan bahan bakar bensin atau
pertamax. Misalnya pada genset (generator listrik), pompa air, mesin tempel
(perahu), mobil, sepeda motor, mesin parut kelapa, padi, jagung dan banyak lagi.
Di bawah ini adalah salah satu contoh pengaplikasian Konverter Kit Bioethanol
pada sebuat genset Honda GX 390 (generator listrik) dengan daya 5000 Watt.

22
Gambar 11. Pemasangan Konverter Kit Bioetanol pada mesin genset Honda GX
390 5000 Watt

Gambar 12. Menyiapkan beban 4000 W


Beban sebesar 4000 W yang digunakan pada pengujian diatas terdiri dari
tiga buah mesin gerinda, sebuah gergaji kayu, ditambah sebuah mesin kompresor
700 W.
Pimpinan lembaga “Agro Makmur” yakni bapak Soelaiman Budi Sunarto
telah menguji coba penemuannya (larutan bioetanol 80%) pada sepeda motor 2
tak dengan beban 2 orang yang berboncengan. Hasilnya, satu liter bioetanol
dengan kadar alkohol 80-85 persen mampu menempuk jarak 35 km. Sedangkan
pada sepeda motor 4 tak, dengan beban yang sama, jarak yang ditempuh lebih
jauh lagi, yaitu 40 km.

23
Uji coba lain digunakan pada genset yang digunakan untuk mengkonversi
bioetanol menjadi energi listrik. Berikut ini adalah contoh perhitungan energi
listrik yang disuplai genset yang berbahan bakar bioetanol singkong.
Misalkan : Bioetanol sebanyak 1 liter dengan kadar 85%,
a. dengan menggunakan genset dengan daya 1000 W, mampu menyalakan
lampu dengan daya 500 W selama 50 menit;
b. menggunakan genset 2500 W mampu menyala 30 menit dengan beban yang
sama besarnya dengan genset 1000 W.
Dari contoh diatas, lamanya daya listrik yang dapat disuplai tergantung
oleh besarnya daya genset, dan beban yang disambungkan. Bila dalam satu kali
produksi dengan bahan baku basah sebanyak 1 ton sehingga menghasilkan
bioetanol sebanyak 166,6 liter, maka jika digunakan pada genset 1000 W dengan
beban 500 W dapat dioperasikan selama 138 jam.
Pemerintah khususnya yang menangani masalah kebutuhan energi negara
harus lebih selektif dalam pemilihan sumber energi, apakah dapat dengan mudah
diperbaharui dan ramah lingkungan (tidak menimbulkan emisi gas yang
berbahaya). Bioetanol ini dapat dijadikan bahan bakar alternatif sebagai suplai
kebutuhan listrik negara disamping pembangkit lainnya. Kini, beberapa daerah di
Indonesia telah mulai menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar untuk
membangkitkan listrik.

2.5 Limbah Pabrik Bioetanol


Sudah diketahui sebelumnya bahwa pabrik bioetanol menghasilkan
limbah. Limbah tersebut haruslah dikelola dengan seksama , karena tujuan pabrik
bioetanol memproduksi FGE diantaranya untuk mengurangi pemanasan global
dan pencemaran udara.

2.5.1 Limbah Cair


Limbah cair industri bioetanol, disebut vinasse atau stillage, berasal dari
proses pencucuian dan ekstraksi pati khusunya di pabrik etanol dengan bahan
baku singkong. Dalam proses tersebut, penggunaan air mencapai 10 – 12 m3 per

24
ton umbi basah. Air tersebut dipisahkan lagi dan dibuang, tetapi disertai bahan-
bahan yang ikut didalamnya, seperti pati sisa, serat, minyak, protein, dan kotoran.
Dikhawatirkan terjadi beberapa dampak negatif kerusakan terhadap
lingkungan seperti dibawah ini.
a. Terjadi perubahan warna dan bau pada perairan umum.
b. Keasaman air akan menurun dan mengakibatkan biota perairan mati.
c. Kandungan oksigen dalam air menurun, sehingga menyebabkan biota
perairan mati.
Sebenarnya limbah pabrik bioetanol tidak mengandung bahan baku limbah
berbahaya serta beracun (B3). Bioetanol tidak dihasilkan dari proses kimia,
melainkan hanya proses biologi (enzimatik dan fermentasi). Namun permasalahan
utama terletak pada kandungan BOD (biological oxygen demand) dan COD yang
tinggi sebesar 35.000 ppm dan 50.000 ppm.
PT Molindo Raya, Lawang-Malang, Jawa Timur, melakukan pembakaran
pada limbah vinasse-nya. Limbah tersebut dikentalkan sampai viskositas tertentu
selanjutnya dipompa ke tanur-tanur pembakaran. Sisa pembakaran berupa abu
adalah bahan yang kaya akan unsur hara kalium (Kadar K2) minimum 35%, MgO
minimum 4%, S mimimum 5%, dan hara-hara mikro). PT MRI selanjutnya
menjual abu tersebut yang digranulasi menjadi pupuk kalium majemuk (ZK-Plus)
bermerk „Sinar Matahari‟.
Pengolahan limbah lain dapat pula dilakukan dengan melakukan daur
ulang (reuse) dengan menyiramkan vinasse ke kebun tebu seperti yang dilakukan
PT Indo Lampung Destilery dan oleh negara Brasil. Adapula tindakan daur ulang
dengan reuse vinasse menjadi biogas dilakukan oleh Pabrik Spiritus Alkohol
Pariman di Cirebon dan PT Acidatama di Solo.

2.5.2 Limbah Padat


Limbah padat diperoleh dari pembersihan singkong, disebut onggok, yaitu
berupa kotoran dan kulit. Setiap pengolahan satu ton singkong, dihasilkan limbah
padat berupa kulit sebanyak 300 kg. Singkong menghasilkan limbah kulit luar
sebesar 0,5 – 20% dan kulit dalam 8 – 15% dari berat umbinya.

25
Untuk penanganan limbah padat ini saat ini direkomendasikan dua cara
sebagai berikut.
a. Perlakuan limbah tanpa mengambil manfaatnya secara langsung, seperti
untuk penimbun atau pengisi tanah dan dibakar secara terkendali.
b. Diolah agar limbah dapat dimanfaatkan kembali semisal untuk biogas,
dikomposkan untuk diolah menjadi pupuk organik, dan pakan ternak.
c. Pemanfaatan lain yaitu onggok sebagai bahan baku industri asam sitrat,
komponen saus, dan industri obat nyamuk bakar. Sejak 2007 BPPT telah
melakukan penelitian untuk mengolah onggok menjadi bioetanol.
Kulit singkong kini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol.
Kulit singkong diambil dari industri pengolahan singkong dan daerah berbahan
pangan singkong. Dibersihkan dan dicacah menjadi berukuran kecil-kecil.
Singkong yang telah dicacah dikeringkan hingga kadar air maksimal 16%,
menyerupai singkong yang dikeringkan menjadi gaplek, tujuannya agar lebih awet
sehingga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku. Kemudian
dimasukkan 25 kg gaplek ke dalam tangki stainless steel berkapasitas 120 liter,
lalu tambahkan air hingga mencapai volume 100 liter. Selanjutnya dipanaskan
gaplek hingga 1000C selama 0,5 jam, kemudian diaduk rebusan gaplek sampai
menjadi bubur dan mengental. Dinginkan bubur gaplek, lalu dimasukkan ke
dalam tangki sakarifikasi. Sakarifikasi adalah proses penguraian pati menjadi
glukosa.
Setelah dingin, dimasukkan cendawan Aspergillus yang akan memecah
pati menjadi glukosa. Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong, perlu 10
liter larutan cendawan Aspergillus atau 10% dari total bubur. Konsentrasi
cendawan mencapai 100-juta sel/ml. Sebelum digunakan, Aspergillus dikulturkan
pada bubur gaplek yang telah dimasak tadi agar adaptif dengan sifat kimia bubur
gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati. Dua jam
kemudian, bubur gaplek berubah menjadi 2 lapisan: air dan endapan gula. Aduk
kembali pati yang sudah menjadi gula itu, lalu masukkan ke dalam tangki
fermentasi. Namun, sebelum difermentasi pastikan kadar gula larutan pati
maksimal 17-18%. Itu adalah kadar gula maksimum yang disukai bakteri

26
(Saccharomyces) untuk hidup dan bekerja mengurai gula menjadi alkohol. Jika
kadar gula lebih tinggi, tambahkan air hingga mencapai kadar yang diinginkan.
Bila sebaliknya, tambahkan larutan gula pasir agar mencapai kadar gula
maksimum. Tutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan
Saccharomyces bekerja mengurai glukosa lebih optimal.
Fermentasi berlangsung anaerob (tidak membutuhkan oksigen). Agar
fermentasi optimal, jaga suhu pada 28-32oC dan pH 4,5-5,5. Setelah 2 – 3 hari,
larutan pati berubah menjadi 3 lapisan. Lapisan terbawah berupa endapan protein.
Di atasnya air, dan etanol. Hasil fermentasi itu disebut bir yang mengandung 6-12
% etanol. Sedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring
berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein. Meski telah disaring,
etanol masih bercampur air. Untuk memisahkannya, lakukan destilasi atau
penyulingan. Panaskan campuran air dan etanol pada suhu 78oC atau setara titik
didih etanol. Pada suhu itu etanol lebih dulu menguap daripada air yang bertitik
didih 100oC. Uap etanol dialirkan melalui pipa yang terendam air sehingga
terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair. Hasil penyulingan berupa 95%
etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut, diperlukan etanol berkadar
99% atau disebut etanol kering. Oleh sebab itu, perlu destilasi absorbent etanol
95% kemudian dipanaskan 100oC. Pada suhu tersebut, etanol dan air menguap.
Uap keduanya kemudian dilewatkan ke dalam pipa yang dindingnya berlapis
zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga diperoleh etanol
99% yang siap dicampur dengan bensin. Sepuluh liter etanol 99%, membutuhkan
120-130 liter bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek.
Proses fermentasi menghasilkan dua tipe bioetanol: alkohol dan ester.
Bahan-bahan ini secara teori dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar
fosil tetapi karena terkadang diperlukan perubahan besar pada mesin, bioetanol
biasanya dicampur dengan bahan bakar fosil. Uni Eropa merencanakan 5,75
persen etanol yang dihasilkan dari gandum, bit, kentang atau jagung ditambahkan
pada bahan bakar fosil pada tahun 2010 dan 20 persen pada 2020. Sekitar
seperempat bahan bakar transportasi di Brazil tahun 2002 adalah etanol.

27
BAB 3. SIMPULAN

Dari pembahasan makalah ini, dapat ditarik lima kesimpulan sebagai


berikut.
1. Singkong adalah tanaman pangan dan perdagangan yang memiliki nama latin
Manihot esculenta Crantz. Budi daya dapat dilakukan secara monokultur dan
tumpang sari.
2. Bensin adalah molekul terbuat dari minyak mentah yang hanya terdiri dari
hidrogen dan karbon yang saling terikat satu sama lainnya sehingga
membentuk rantai. Pembakaran tidak sempurna pada kendaraan berbahan
bakar bensin dapat menghasilkan berbagai polutan berbahaya seperti timbel.
3. Bioetanol singkong dikatakan sebagai BBN karena berasal dari unsur nabati
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan
bakar fosil.
4. Pembuatan bioetanol singkong terdiri dari proses hidrolisis, sakarifasi lanjut
dan fermentasi, pemisahan serat dan destilasi, dan dehidrasi. Bioetanol dapat
digunakan sebagai bahan bakar genset yang selanjutnya dapat menghasilkan
listrik.
5. Limbah pabrik bioetanol adalah limbah cair (vinasse) dan limbah padat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, Arbi. Mesin Genset Dengan Bahan Bakar Bioetanol. http://motor-


lpg.blogspot.com/2013/01/mesin-genset-dengan-bahan-bakar.html
[Diakses 6 September 2014]

Prihandana, Rama dkk. 2007. Bioetanol Ubi Kayu:Bahan Bakar Masa Depan.
Jakarta:AgroMedia Pustaka.

Kristanto, Purnawan. Bioetanol dari Limbah Tebu. http://www.gki-


magz.com/2013/01/bioetanol-dari-limbah-tebu.html [Diakses 6 September
2014]

Udea,S., T. Zenin., Dominggos, A.M., Young. K.P. 1981. Production of Etanol


from Row Cassava Strach by A Convensional Fermentation Method, J.
Biotech and Bionergy Vol.28.,1981;291-299.

Wargiono, J. 2007. Ubi Kayu dan Cara Bercocok Tanamnya. Bogor:Lembaga


Penelitian Pertanian Bogor.

29

Anda mungkin juga menyukai