Pengembangan Kurikulum
Pengembangan Kurikulum
ANALISIS SITUASIONAL
(Dari Skilbeck, M. (1984), School Based Curriculum Development, Harper & Row,
London. Sockets, H. (1976), Designing the Curriculum, Open Books, London. Penerbitan
OECD, Paris, Pp. 80-1.)
C. Faktor Eksternal
1. Ekspetasi dan Perubahan Sosial Budaya
Jika sekolah berfungsi sebagai cermin masyarakat , maka mereka harus bisa
mengikuti perubahan sosial dan budaya ketika kurikulum direncanakan. Bab 4
mengemukakan identifikasi perubahan-perubahan oleh Dewan Pendidikan Guru
di Queensland (1987): perubahan demografis, perubahan keluarga, perubahan
peran wanita, multikulturalisme, perubahan ekonomi, perubahan teknologi,
masalah yang dikaitkan dengan perubahan, dan kepentingan publik dan
partisipasinya dalam pendidikan. Masing-masing daerah melibatkan perubahan
dengan implikasi untuk pengembangan kurikulum. Menetapkan kebutuhan untuk
menguji partisipasi di dalam pendidikan, dan isu gender (jenis kelamin) di
(dalam) pendidikan, Keeves Dan Saha ( 1990) menambahkan faktor ‘kemiskinan’
ke dalam permasalahan itu.
Salah satu perubahan sosial/budaya yang mempengaruhi hubungan antara
orang dewasa dan anak, harapan orang tua, dan bahkan beberapa kebutuhan
pemberi kerja ditandai dengan peningkatan maternal ketanaga-kerjaan. Bukti
penelitian menunjukkan bahwa maternal ketenaga-kerjaan dan penurunan
proporsi peran wanita sebagai seorang ibu rumah tangga cenderung memperkecil
perbedaan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hasil yang tak bisa
dikesampingkan adalah suatu penurunan tugas yang berkaitan dengan jenis
kelamin (sex-linked tasks), baik dalam rumah dan dalam dunia kerja.
Harapan orangtua, kebutuhan pemberi kerja, dan nilai-nilai masyarakat
bervariasi sesuai dengan daerahnya dan harus dipertimbangkan sebagai faktor
dalam perencanaan kurikulum. Tabel 4-8 dalam Bab 4 membuat daftar faktor
keluarga dan masyarakat dimana para ahli sosiologi dapat menyediakan datanya.
Daftar yang dimuat dalam Tabel 3-2 menjadi pertimbangan selanjutnya relevan
dengan analisis situasional.
Tabel 3-2 Faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi situasi sekolah
Harapan orang tua terhadap sekolah (contoh: orangtua memandang pada pendidikan
seks dan pengembangan pribadi, literacy, pekerjaan rumah, mendisiplinkan anak-
anak di sekolah).
Harapan pemberi kerja terhadap sekolah (contoh: standar literacy, pengalaman kerja
dan sikap).
Perubahan sosial dan budaya dikhususkan untuk suatu masyarakat ( contoh:
perubahan komposisi orang pindah, pengaruh gereja atau kelompok budaya lain).
Karakteristik industri masyarakat (terutama yang relevan di dalam komunitas
masyarakat non-urban dimana para siswa dapat tinggal di dalamnya).
5. Sumber Daya
Arus sumber daya ke sekolah mencakup sumber daya tersebut dibiayai oleh
Departemen Pendidikan dan sumber daya yang disediakan oleh masyarakat.
Dalam menilai situasi, pertama-tama guru terutama mencatat setiap dana
tambahan yang tersedia untuk sekolah dan, kedua, kontribusi potensial dari orang
tua dan masyarakat pada umumnya. Sumber daya masyarakat yang tersedia dapat
mencakup sumber daya manusia, orang tua membantu dalam mengajar atau
penyusunan bahan pembelajaran, faktor yang sangat mempengaruhi penetapan
kurikulum
D. Faktor Internal
1. Siswa
Dari semua faktor, baik eksternal atau internal, para perencana kurikulum
harus mempertimbangkan siswa terlebih dahulu. Sifat dari populasi siswa adalah
berbeda, baik antara sekolah maupun dalam satu sekolah, sehingga analisis
situasional melibatkan pertimbangan dalam perbedaan individu dan upaya untuk
menemukan kesamaan untuk membangun suatu pola. Banyak perbedaan individu
yang dapat dengan mudah diamati, seperti karakteristik fisik, tapi perbedaan
kepribadian memakan waktu lebih lama untuk dinilai. Untuk itu, para perencana
kurikulum perlu menkonsultasikan dengan guru sebelumnya. Bukti 3-4
menunjukkan lebih jauh tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan analisis
situasi ‘internal’ siswa.
Tabel 3-4 Faktor yang berkaitan dengan siswa dalam analisis situasi
Karakteristik sekolah/tingkat/kelas: jumlah, usia, distribusi, latar belakang
etnik
Kemajuan sekolah: relatif terhadap kelas, tingkatan, guru atau kurikulum
Perkembangan fisik: keadaan jasmani, keterampilan motorik, kebutuhan fisik,
kesehatan
Perkembangan psikologi: konsep diri, motivasi, bukti kebutuhan yang tak
terpenuhi
Perkembangan emosi dan sosial: hubungan dengan siswa lain, guru dan orang
tua; pedoman diri, bukti kekerasan,kepatuhan
Perkembangan intelektual: kesiapan, kemampuan, tingkat perkembangan
kognitif, bakat, latar belakang pengalaman
Karakteristik pribadi: kepribadian, karakter, perkembangan moral, nilai dan
sikap, motivasi, aspirasi, kepercayaan diri, kecenderungan anti sosial dan pro
sosial, perilaku khusus.
2. Guru
Karena guru berperan sebagai perancang kurikulum dan juga yang
mengimplementasikan kurikulum, maka sangat penting untuk memperhatikan
karakteristik dari staff pengajar yang akan mempengaruhi pengembangan dan
implementasi kurikulum. Karakteristik ini banyak dan beragam, berikut ini adalah
beberapa karakteristik yang utama.
a) Kelebihan dan Kekurangan Guru
Guru di sekolah tingkat dasar dan tingkat kanak-kanak mungkin
mengakui adanya kekurangan dalam hal-hal tertentu. Pengetahuan tentang
distribusi kelebihan dan kekurangan pada seluruh staff pengajar akan sangat
membantu dalam merencanakan kurikulum. Di sekolah menengah, dimana
guru merupakan seorang ahli, perencana kurikulum harus memanfaatkan
bakat guru di luar bidang keahliannya.
b) Minat Guru
Kelebihan guru akan selalu menjadi miliknya atau menjadi minatnya,
dan ini dapat dimanfaatkan oleh perencana kurikulum. Minat atau hobi
mugkin meliputi keterampilan dalam memainkan alat musik, olahraga,
menulis, seni, kerajinan atau drama. Sementara ada bahaya terkait dengan
seorang guru yang memaksakan minatnya pada kelas, minat guru biasanya
merupakan sumber motivasi bagi guru dan juga bagi siswa.
c) Harapan Guru
Guru memiliki harapan yang berbeda terhadap siswa yang berbeda.
Harapan ini dapat dirangsang oleh adanya tanggung jawab guru di suatu kelas
tertentu. Hal yang wajar jika guru memiliki harapan lebih tinggi dari kelas
berkemampuan tinggi dan harapan yang rendah pada kelas dengan
kemampuan rendah. Studi yang paling sering dikutip berkaitan dengan
hubungan antara harapan guru dan kinerja siswa adalah studi klasik Rosenthal
dan Jacobson (1968). Para peneliti melakukan percobaan di mana mereka
mengatakan kepada guru bahwa tes menunjukkan bahwa siswa kelas tertentu
akan memperoleh intelektual tinggi dan kelas-kelas lain akan mencapai
intelektual rendah pada tahun berikutnya. Penelitian menunjukkan bahwa hasil
ini tepat terjadi, meskipun siswa sebenarnya sudah ditempatkan secara acak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja siswa adalah fungsi dari harapan
guru.
Meskipun metode penelitian telah dikritik, penelitian menemukan di
daerah ini telah menunjukkan hasil signifikan secara statistik, meskipun kecil,
harapan guru memiliki efek terhadap kinerja siswa. Itu adalah perbedaan
antara harapan guru dari siswa yang sama yang mungkin paling menarik bagi
perencana kurikulum.
d) Sikap Guru pada pengembangan kurikulum dan inovasi
Jika guru memiliki sikap yang negatif untuk mengembangkan
kurikulum, ini akan menjadi penghambat yang kuat pada SBCD. Telah
ditemukan bahwa tidak semua bereaksi positif terhadap SBCD. Banyak
perubahan yang terjadi pada guru seiring dengan berjalannya waktu. Banyak
perubahan sepanjang tahun 1970an, misalnya open-plan (perencaaan bersama)
antara sekolah dan masyarakat, keterlibatan masyarakat dan orang tua, kelas
paralel, metode penemuan (discovery), pembelajaran individual dan
pembelajaran terpadu, menuntut guru untuk menjalani perubahan peran. Tapi
yang paling jauh jangkauannya dari semua perubahan telah SBCD itu sendiri.
Penulis telah berkomentar pada ketidakpastian yang sangat besar yang
menciptakan perubahan bagi guru. sehingga kemauan guru untuk terlibat
dalam pengembangan kurikulum merupakan faktor untuk dipertimbangkan.
e) Gaya Mengajar
Seorang guru yang menyukai gaya mengajar tertentu akan
mempengaruhi pemilihan pengalaman belajar dalam perencanaan kurikulum.
Banyak diskusi yang memusatkan pada gaya mengajar yang demokratis
daripada mendiskusikan gaya mengajar yang otoriter dan gaya mengajar tanpa
pengawasan (laissez faire). Studi yang dilakukan oleh Bennet
membandingkan metode yang umum (formal) dengan metode yang tidak
umum (informal) dan menemukan bahwa metode yang umum lebih unggul
secara keseluruhan. Tetapi perhatian guru tidaklah pada membandingkan gaya
mengajar, tetapi lebih pada bagaimana menentukan gaya mengajar guru yang
digunakan di sekolah dan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan
kurikulum. mungkin bahwa guru yang sangat formal tidak dapat mengajar
secara efektif ketika kurikulum menghendaki inquiri, pengajaran individual
dan pengalaman belajar siswa.
f) Penilaian diri guru (Teacher self-appraisal)
Sebagian guru menggunakan analisis dirinya sebagai bagian dari
pengembangan profesionalnya. Kecenderungan guru untuk menilai kualitas
mengajarnya, mengakui kekurangan dan pengembangan strategi untuk
mengatasi kekurangannya merupakan kualitas terbaik yang harus dihargai
oleh perencana kurikulum. Tipe guru seperti ini merupakan tipe yang efektif
baik dalam mengimplementasikan kurikulum dan dalam mengembangkan
kurikulum itu sendiri, sebuah tugas yang melibatkan penilaian berkelanjutan
pada kinerja guru.
g) Peran guru
SBCD menghendaki keterlibatan guru dalam pengambilan keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak keputusan menjadi wewenang kepala
sekolah atau kepala lembaga. Sekarang, sekarang semakin ditekankan dalam
Departemen Pendidikan bahwa setiap guru, tanpa memandang usia atau
pengalaman, menjadi contributor dalam pengambilan keputusan kurikulum.
Tetapi fakta dari kebijakan ini mungkin berbeda di masing-masing sekolah,
dan perencana kurikulum harus betul-betul mempertimbangkan kebebasan
para staff untuk berlatih dalam membuat keputusan.
3. Etos sekolah
Istilah ‘iklim organisasi’ atau ‘organizational climate’ sering digunakan
untuk menggambarkan istilah yang dikenal dengan ‘etos’, ‘suasana’, atau
‘atmosfer’ dari suatu sekolah. Kualitas sekolah dirasakan oleh orang-orang yang
ada di dalamnya. Hal ini juga dirasakan oleh orang-orang yang berkunjung ke
sekolah, yang berasal dari persepsi apakah lingkungan kerja bersahabat, biasa-
biasa saja, atau bermusuhan. Tye (1974) menyatakan bahwa ‘when an individual
visits a school for the first time, almost immediately, a feeling about that school’
atau ketika seseorang mengunjungi suatu sekolah untuk pertama kali, ia
mengembangkan, hampir dengan seketika, suatu perasaan tentang sekolah'itu.
Perasaan ini ditentukan oleh apa yang dilihat oleh pengunjung. Ekspresinya bisa
berupa serius, senyuman atau tertawa. Suara yang keras, mengancam, atau penuh
dengan kelembutan, mendukung dan bertanya. Factor-faktor seperti ini diberikan
pada sekolah yang menurut Tye disebut dengan kepribadian (personality),
semangat (spirit), atau budaya (culture). Literatur keefektifan sekolah pada 1990-
an menyatakan bahwa setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri.
Iklim organisasi yang mempengaruhi segala aspek dalam perencanaan
kurikulum. Brady (1981) melakuan studi menyelidiki hubungan antara iklim
organisasi dan pengembangan kurikulum di tingkat sekolah . Studi ini melakukan
pengujian hubungan antara iklim organisasi dan dua aspek pengembangan
kurikulum:
1. Dimensi administrative: siapa yang membuat keputusan berkaitan dengan
kurikulum, dan bagaimana pengorganisasian orang-orang yang terlibat dalam
penyusunannya.
2. Dimensi teoritik: bagaimana individu/grup menggunakan elemen-elemen
kurikulum (tujuan, isi, metode, dan evaluasi) dalam mengembangkan
kurikulum.
Studi yang dilakukan adalah survey deskriptif dengan bertanya pada 227
guru sekolah dasar dan tingkat pemula dari 20 sekolah yang terpilih dalam dua
daerah administrative di New South Wales. Masing-masing guru memberikan
tanggapan pada lima kuesioner . Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada
empat factor iklim organisasi. Factor-faktor yang memiliki kesamaan telah
ditentukan pada studi sebelumnya di sekolah dasar South Australian.
Ringkasan
1. Kehadiran SBCD telah menciptakan kebutuhan para guru untuk meninjau
kembali konteks antara sasaran hasil/tujuan, hasil dan pengalaman belajar
yang telah ditentukan.
2. Analisa situasional melibatkan analisis terhadap faktor-faktor yang terdiri dari
“situasi” atau yang berhubungan dengan pembelajaran. Walaupun pada
umumnya, suatu analisa situasional dilakukan sebelum proses
mengembangkan kurikulum, tetapi terdapat masalah jika memandangnya
hanya sebagai suatu langkah awal pengembangan kurikulum saja.
3. Faktor dalam analisis situasional digolongkan menjadi faktor eksternal (faktor
di luar lingkungan yang mempengaruhi situasi sekolah) dan faktor internal
(faktor di dalam sekolah).
4. Faktor eksternal dalam situasional analisa meliputi:
a) Harapan dan perubahan sosial dan budaya: perubahan sosial dan budaya
(termasuk didalamnya perubahan harapan para orang tua dan pemberi
kerja atas para siswanya);
b) kebutuhan sistem pendidikan: kebijakan dalam hubungannya dengan
implementasi SBCD dan pengaruh pengujian dan penelitian;
c) perubahan sifat materi pada mata pelajaran: perubahan isi dan metode
sebagai pengaruh dari perubahan sosial budaya atau perubahan
pendidikan;
d) kontribusi sistem dukungan guru (teacher-support system) yang potensial:
ketersediaan dukungan baik secara institusi ataupun secara induvidual;
e) sumber daya: aliran sumber daya yang masuk ke sekolah.
5. Faktor internal untuk analisis situasional meliputi:
a) Siswa: karakteristik siswa, kemampuan dan tahap perkembangan siswa;
b) Guru: kekuatan dan keterbatasan guru, minat, harapan, perilaku guru, gaya
mengajar, penilaian diri dan perannya di dalam pengembangan kurikulum;
c) Etos sekolah: suasana dan iklim sekolah, yang secara fungsional didukung
oleh kepala sekolah;
d) Sumberdaya material : sarana prasarana, peralatan dan fasilitas, kebijakan
yang berhubungan dengan hal itu;
e) Penerimaan dan pemecahan masalah : ketidakpuasan terhadap kurikulum
yang sudah ada.
6. Sekolah merupakan organisasi yang kompleks , bahkan mungkin saja pada
situasi yang sama, penilaian yang terjadi dapat berbeda-beda. Kenyataan ini
merupakan justifikasi bagi analisis situasi ketika pengembangan kurikulum
dilakukan.
Daftar Pustaka