Anda di halaman 1dari 26

CHAPTER REPORT

BAB 1. SEKOLAH

Bab ini berfokus pada pengembangan kurikulum di sekolah.


Pengembangan kurikulum yang dibahas adalah pengembangan kurikulum dalam
kerangka sekolah yang lebih luas, termasuk penetapan tujuan, pembuatan
kebijakan, perencanaan, penganggaran belanja, penerapan, dan evaluasi. Pada bab
ini juga dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum tergantung pada keputusan
yang dibuat oleh pengembang atau guru dan wilayah kerja atau operasional
institusi, dan bahwa wilayah kerja ini ditentukan oleh sistem, sekolah,
departemen, dan persepsi guru atau siswa itu sendiri. Pada akhirnya karakteristik
dan praktek SBCD di sekolah juga dipaparkan lebih lanjut pada bab ini.

A. Pengembangan Kurikulum dalam manajemen sekolah


Tugas lengkap suatu sekolah adalah sebagai sesuatu yang saling
berhubungan dengan seperangkat program, jika istilah program digunakan untuk
mengacu pada satu set aktivitas, prosedur, sumber daya, dan strategi manajemen.
Program ini meliputi suatu program pengembangan profesi untuk para guru,
seperti program pengalaman pekerjaan atau kurikulum pelajaran. Sekolah dituntut
untuk memiliki rencana manajemen sekolah untuk dimasukkan dalam
programnya. Pengembangan kurikulum diselenggarakan didalam kerangka kerja
ini.
(http://langitjingga2014) Menurut James Jr. manajemen sekolah adalah
proses pendayagunaan sumber-sumber manusiawi bagi penyelenggara sekolah
secara efektif. .
(http://studimanajemen2012) George.R. Terry mendefinisikan manajemen
dalam bukunya Principles of Management yaitu "Suatu proses yang membedakan
atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dengan
memanfaatkan baik ilmu maupun seni demi mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya".

1
Dari pengrtian manajemen sekolah menurut para ahli pengertian
manajemen sekolah dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen
sekolah, bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan yang
memanfaatkan berbagai sumber daya dan berupaya untuk mencapai tujuan
tertentu.
(http://studimanajemen2012) Dikemukakan bahwa manajemen sekolah
merupakan suatu kegiatan. Kegiatan yang dimaksud tak lain adalah tindakan-
tindakan yang mengacu kepada fungsi-fungsi manajamen sekolah. Dari George
R.Terry fungsi manajemen sekolah adalah:
1. Perencanaan (planning) yaitu sebagai dasar pemikiran dari tujuan dan
penyusunan langkah-langkah yang akan dipakai untuk mencapai tujuan.
Merencanakan berarti mempersiapkan segala kebutuhan,
memperhitungkan matang-matang apa saja yang menjadi kendala, dan
merumuskan bentuk pelaksanaan kegiatan yang bermaksuud untuk
mencapai tujuan.
2. Pengorganisasian (organization) yaitu sebagai cara untuk mengumpulkan
orang-orang dan menempatkan mereka menurut kemampuan dan
keahliannya dalam pekerjaan yang sudah direncanakan.
3. Penggerakan (actuating) yaitu untuk menggerakan organisasi agar berjalan
sesuai dengan pembagian kerja masing-masing serta menggerakan seluruh
sumber daya yang ada dalam organisasi agar pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan bisa berjalan sesuai rencana dan bisa memcapai tujuan.
4. Pengawasan (controlling) yaitu untuk mengawasi apakah gerakan dari
organisasi ini sudah sesuai dengan rencana atau belum. Serta mengawasi
penggunaan sumber daya dalam organisasi agar bisa terpakai secara efektif
dan efisien tanpa ada yang melenceng dari rencana.

Hakikat dari fungsi manajemen dari Terry adalah apa yang direncakan, itu
yang akan dicapai. Maka dari itu fungsi perencanaan harus dilakukan sebaik
mungkin agar dalam proses pelaksanaanya bisa berjalan dengan baik serta segala
kekurangan bisa diatasi.
21
Kata program yang digunakan dalam bab ini, lebih luas cakupannya
dibanding yang diadopsi di bab Translasi Kurikulum yang mengacu pada uraian
dokumen kurikulum menjadi pengajaran harian atau mingguan.
Satu model manajemen sekolah yang semakin banyak dianjurkan untuk
diterapkan pada manajemen sekolah mandiri adalah siklus manajemen sekolah
gabungan Cadwell dan Spinks (1988). Siklus tersebut mempunyai 6 tahap :
1. Menentukan sasaran atau tujuan dan identifikasi kebutuhan.
2. Membuat kebijakan, dengan kebijakan terdiri dari pernyataan tujuan dan
petunjuk yang lengkap.
3. Merencanakan program
4. Mempersiapkan dan menyetujui anggaran program
5. Menerapkan, dan
6. Mengevaluasi
Siklusnya seperti yang digambarkan pada gambar 2-1.
Cadwell dan Spinks menyatakan bahwa siklus tersebut mempunyai
karakteristik berikut :
1. Mengintegrasikan seperangkat tujuan, identifikasi kebutuhan, pembuatan
kebijakan, penganggaran, penerapan dan evaluasi.
2. Melibatkan staff, para siswa dan masyarakat.
3. Mengorgainisir manajemen sekolah berkaitan dengan program-program
(fungsi pokok sekolah).
4. Mempertimbangkan tumpang tindih didalam tanggungjawab atau tugas
rangkap (suatu anggota kelompok kebijakan mungkin juga anggota tim
program).
5. Menetapkan tanggung jawab untuk pembuatan kebijakan : kebijakan
kelompok mempunyai tanggung jawab yang besar dalam tahap penentuan
tujuan dan identifikasi kebutuhan, pengambilan kebijakan (menyetujui
aggaran dan mengevaluasi) : tim program (para guru) bekerja didalam
kerangka kebijakan yang dibentuk atau ditentukan oleh kelompok kebijakan
dan mempunyai tanggungjawab perencanaan, penerapan, dan evaluasi.

21
(http://surayanaaljoe2016) Dalam pengelolaan sekolah agar dapat
mencapai tujuan sekolah dengan baik, maka perlu mendasarkan prinsip-
prinsip manajemen sekolah sebagai berikut:
a. Efisiensi yakni dengan penggunaan modal yang sedikit dapat
menghasilkan hasil yang optimal.
b. Efektivitas yakni ketercapaian sasaran sesuai tujuan yang diharapkan.
c. Pengelolaan yakni seorang manajer di sekolah harus melakukan
pengelolaan sumber-sumber daya yang ada.
d. Pengutamaan tugas pengelolaan yakni seorang manajer sekolah harus
mengutamakan tugas-tugas pokoknya. Tugas-tugas yang bersifat
operatif hendaknya dilimpahkan pada orang lain secara proposional
manakala seorang manajer sekolah melimpahkan tugas kepada orang
lain, tanggung jawab tetap ada pada pimpinan.
e. Kerjasama yakni seorang manajer sekolah hendaknya dapat
membangun kerjasama yang baik secara horizontal
f. Kepemimpinan yang efektif yakni bagaimana seorang manjer sekolah
dapat memberi pengaruh, ajakan pada orang lain untuk tujuan
bersama.

Cadwell dan Spinks menunjukkan bahwa ketika menentukan tujuan dan


identifikasi kebutuhan adalah suatu titik awal yang diperlukan, suatu sekolah
boleh masuk siklus ini pada tahap manapun. Implementasi yang penuh terhadap
pendekatan ini memerlukan waktu tiga sampai lima tahun.

21
Bagan 2-1. Siklus Kolaborasi Manajemen Sekolah

Menentukan
tujuan dan
identifikasi
kebutuhan

Membuat Kelompok Evaluasi


kebijakan Kebijakan
a. Tujuan
b. Garis
pedoman yang
luas

Program
Tim
Program

Perencanaan Penerapan

Penganggaran

Persiapan
Persetujuan

From Caldwell, b. J. and Spinks, J.M. (1988), The Self-Managing School,


The Falmer Press, London, p. 22

21
Berikut adalah suatu penjelasan singkat dari tiap tahap siklus Cadwell dan Spinks:
1. Menentukan tujuan dan identifikasi kebutuhan.
Suatu tujuan adalah sebuah pernyataan yang luas tentang suatu maksud
yang tidak berhubungan dengan waktu tertentu. Tujuan bisa dihubungkan
dengan hasil siswa, atau sumber daya perbekalan dan keseluruhan manajemen
sekolah. Tujuan-tujuan tersebut pada umumnya dinyatakan dalam satu
kalimat. Kotak 2-2 memberikan contoh tujuan yang mungkin ditemukan di
dalam suatu rencana manajemen sekolah.
Kebutuhan identifikasi juga bagian dari tahap ini, dan mungkin suatu dasar
untuk menentukan tujuan. Caldwell dan Spinks (hal 39) mengakui bahwa
suatu kebutuhan itu jika apa yang tidak mencukupi dari apa yang seharusnya.

Bagan 2-2 Tujuan dalam suatu perencanaan manajemen sekolah.


Untuk mengembangkan ekspresi kreatif pada semua bidang seni.
Untuk menumbuhkan atau mengembangkan pemahaman bahwa kita adalah
bagian dari suatu masyarakat multi-etnik.
Untuk menyediakan kesempatan keterlibatan orang tua baik dalam membuat
kebijakan dan mendukung kelas.
Untuk menetapkan pengembangan profesional berkelanjutan bagi para guru.
Untuk menerapkan statemen kebijakan sistem didalam program sekolah.
Untuk memberi penghargaan terhadap prestasi kerja akademik, olahraga dan
pelayanan masyarakat.

2. Membuat kebijakan. Kebijakan suatu sekolah adalah suatu pernyataan


tujuan dan petunjuk untuk mencapai keberhasilan tujuan itu. Suatu sekolah
bisa memiliki berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum pelajaran
atau bidang lain yang mencakup disiplin, pekerjaan rumah, atau darmawisata.
Caldwell dan Spinks merekomendasikan bahwa suatu kebijakan, panjangnya
tidak melebihi satu halaman dan bahasa teknisnya bebas. Mereka juga
merekomendasikan suatu pendekatan kolaboratif, terutama sekali ketika
menulis suatu kebijakan yang bertentangan.

21
3. Perencanaan.
Tingkat yang berbeda dalam perencanaan dijelaskan sebagai berikut :
Perencanaan yang berhubungan dengan badan hukum : suatu
proses berkelanjutan yang menghubungkan penentuan tujuan, pembuatan
kebijakan, perencanaan jangka pendek dan jangka panjang, penganggaran
dan evaluasi pada seluruh sekolah.
Perencanaan strategis : suatu aspek perencanaan kerjasama yang
meliputi penilaian kebutuhan, identifikasi hasil, penentuan strategi untuk
mencapai keberhasilan dan penetapan kebijakan.
Perencanaan program : suatu ketentuan bagaimana suatu program
diharapkan untuk diterapkan (termasuk misalnya: keputusan tentang
pengelompokkan, susunan kepegawaian, ruang, sumber pendapatan).
Perencanaan kurikulum : suatu perincian menyangkut metoda dan
isi pelajaran
Perencanaan pengajaran : memerinci tentang rencana kurikulum
oleh para guru individu untuk pelajaran kelas spesifik.
Para guru dan staf eksekutif atau staf pelaksana membentuk suatu tim program
untuk menyiapkan rencana yang konsisten dengan kebijakan sekolah.
4. Penganggaran.
Caldwell dan Spinks (halaman 46) mendefenisikan anggaran sebagai suatu
translasi keuangan dari suatu rencana pendidikan untuk sekolah. Sebuah
anggaran program boleh berisi suatu daftar sumber dana yang dibutuhkan dan
perkiraan pendapatan dan pembelajaan yang diperlukan. Anggaran seperti itu
disiapkan untuk semua program sekolah dan mestinya panjangnya tidak
melebihi dua halaman. Draft anggaran kemudian dikirim atau diserahkan
kepada kelompok kebijakan dengan suatu rekomendasi untuk diadopsi.
5. Implementasi (Penerapan).
Jika suatu rencana telah diadopsi, tim program (para guru) menerapkan
rencana tersebut. Bagian utama dari implementasi meliputi pengajaran di

21
kelas. Pembelajaan dan pendapatan dimonitor oleh kelompok kebijakan dan
tim program.
6. Mengevaluasi.
Program belajar siswa dan hasil belajar dievaluasi. Evaluasi program meliputi
penilaian terhadap pencapaian tujuan , pemenuhan kebutuhan dan penerapan
kebijakan. Hal-hal tersebut menjadi tanggungjawab bersama tim program dan
kelompok kebijakan. Caldwell dan Spinks menyarankan bahwa semua
program ditempatkan pada suatu siklus untuk dievaluasi setiap tahun sekali ,
atau setiap tiga sampai lima tahun.

Implementasi dan pengembangan pada kurikulum pelajaran secara jelas


digambarkan di dalam siklus itu. Misalnya, suatu sekolah sedang
mengembangkan kurikulum dalam suatu masyarakat dan lingkungannya,
kebutuhan yang lebih besar untuk mengembangkan keselarasan atau
keharmonisan diantara budaya yang berbeda di dalam komunitas sekolah bisa
dikenalkan dalam kurikulum tersebut. Tujuan dapat dinyatakan secara spesifik
untuk meningkatkan pemahaman budaya yang berbeda dan juga menandakan
sumber daya yang diperlukan untuk mencapai hasil ini (misalnya, darmawisata,
kunjungan sekolah dan hari-hai budaya).
Staff sekolah kemudian dapat mengembangkan suatu kebijakan
multikultural untuk sekolah dan perencanaan pengajaran dan atau kurikulum
boleh mengikuti tim program dan para guru yang merinci secara detil isi, metoda
dan prosedur penilaian yang tepat. Faktor anggaran dapat dirinci sebelum
kurikulum diterapkan dan dievaluasi.
Di New South Wales, sekolah negeri biasanya dituntut untuk
mengembangkan suatu rencana manajemen seperti yang didefenisikan oleh
Caldwell dan Spinks sebagai rencana badan hukum dan suatu rencana strategis.
Siklus manajemen sekolah kolaboratif Caldwell dan Spinks sangat membantu
dalam memahami implementasi dan perumusan rencana seperti itu.
Bagan 2-3 memaparkan isi kurikulum dalam perencanaan startegis
Sekolah Dasar Bonnyrigg Heights. Perencanaan strategi ini meliputi masukan-
21
masukan yang sama untuk staff, para siswa, dan masyarakat. Rencana manajemen
memusat pada tahun tertentu (1994) dan menguraikan tiap-tiap strategi
ditunjukkan dalam kotak yang digambarkan dalam rencana startegi, dalam bentuk
tindakan, kepegawaian, indikator pelaksana, sumber dana, waktu dan anggaran.

B. Kebebasan Guru dalam Pengembangan Kurikulum


Terlepas dari rencana manajemen sekolah yang secara langsung atau tidak
langsung menentukkan derajat atau tingkat pengambilan keputusan kurikulum
oleh para guru, beberapa faktor lain mempengaruhi keputusan yang dibuat guru
tentang kurikulum di sekolah. Salah satunya adalah cara pandang keputusan yang
dibuat tersebut. Jika beberapa keputusan telah dibuat sebelumnya, tinggal sedikit
keputusan yang dibuat oleh guru yang ditunjuk. Faktor yang lain adalah presepsi
guru terhadap sejumlah pilihan yang ada untuk membuat keputusan kurikulum.
Smith (1983) dan Lovat (1990) menyatakan bahwa banyaknya pilihan yang
tersedia menentukan pengambilan keputusan atau ruang operasional. Jika ada
sejumlah besar pilihan, lahan pengambilan keputusan semakin luas. Oleh karena
itu lahan pengambilan keputusan ditentukan oleh cara pandang para guru dan
dibandingkan dengan serangkaian kerangka film yang tumpang tindih.
Smith dan Lovat menyatakan bahwa ada lima kerangka yang
menggambarkan suatu lahan pengambilan keputusan kurikulum yang dibuat
guru. Kerangka ini ditunjukkan di dalam bagan 2-4.

21
Bagan 2-3 Masukan Kurikulum dalam Strategi Perencanaan

Bagian 1993 1994 1995 1996 1997 Hasil


Strategi
Pembelajaran Mengembangkan dan Siswa adalah pebelajar termotivasi yang
Mengimplementasikan Sebuah Peraturan membuat keputusan yang sesuai dan
Pengajaran/Pembelajaran dengan mengambil tanggungjawab untuk
mencakup semua bidang terkait kurikulum. pembelajarannya sendiri dan menilai
pendidikan sebagai proses kehidupan
yang panjang.

Dukungan Mengembangkan prosedur penilaian untuk Siswa berusaha untuk mencapai standar
KLAdan mengamati perkembangan siswa di KLAs. pembelajaran dan persetujuan diri yang
Kurikulum Mendesain dan mengimplementasikan dimiliki yang sempurna dan tinggi secara
dan Inisiatif kurikulum pada KLAs yang mendukung terus menerus.
kualitas hasil untuk semua siswa.
Mengenalkan pengembangan literasi dan
numerisasi siswa dengan semua tingkat
kemampuannya.
Mengembangkan aktivitas pengayaan dan
tambahan untuk siswa yang bertalenta.

Isu Berkaitan Mengembangan K-12 link Kurikulum yang fleksibel, inovatif, dan
Kurikulum Mengembangkan dan merefleksikan dan memenuhi kebutuhan
mengimplementasikan program dengan siswa masing-masing.
dukungan pembelajaran literasi dan
numerisasi untuk siswa dengan individu
berbeda.
Menghasilkan pengembangan staf pada
tipe pengjaranan dan implementasi silabus.
Membuat berbagai program untuk guru,
orangtua, dan siswa untuk mengakses
informasi dan teknologi saat ini.
From strategic Plan, 1993-1997 , Bonnyrigg Heights Primary School, NSM, reproduce with permission
Deskripsi singkat dari tiap kerangka adalah sebagai berikut :
1. Kerangka Sistem
Kerangka ini meliputi keputusan-keputusan yang menurut guru telah
dibuat oleh statemen kebijakan, dokumen kurikulum atau petunjuk sistem lain.
Smith menyatakan bahwa faktor-faktor dalam kerangka ini membatasi
keputusan-keputusan tentang pemilihan isi, peruntunan isi, metode untuk
menjabarkan isi dan alokai waktu. Smith menyimpulkan bahwa keputusan
kurikulum yang dibatasi oleh kerangka sistem berhubungan erat dengan
pandangan guru terhadap pelajaran tertentu.
21
Bagan 2-4 Kerangka yang melukiskan pengambilan keputusan dalam
kurikulum (Smith dan Lovat, 1990)
Kerangka sistem
Kerangka institusi / sekolah
Kerangka departemen pengajaran atau fakultas
Kerangka peserta didik
Kerangka diri guru

Bab sebelumnya telah menunjukkan perubahan-perubahan historis terbaru


yang megurangi ruang pengambilan keputusan guru dalam kerangka sistem
ini. Suatu kecenderungan ke arah kendali sistem kurikulum yang lebih ketat
menunjukkan semakin sedikit kebebasan para guru untuk yang
mengembangkan kurikulum dibanding yang telah mereka jalani pada tahun
1970 1980-an.
2. Kerangka Sekolah / Institusi.
Kerangka ini meliputi batasan-batasan yang kira-kira guru telah
berlakukan di sekolah. Batasan-batasan ini secara khusus meliputi daftar jam
pelajaran, sumber dana, organisasi kelas dan evaluasi, telah sering
dikembangkan untuk memenuhi permintaan dari kerangka sistem.
Smith, menyatakan bahwa kerangka sekolah membatasi pilihan-pilihan
keputusan yang berkenaan dengan pemilihan isi, organisasi dan struktur isi,
batas pengetahuan dan penilaian siswa. Ia berpendapat bahwa sebagai
persyaratan kerangka sistem adalah sekolah menengah lebih ketat dibanding
sekolah dasar, interaksi kerangka sistem dengan kerangka sekolah kurang
penting dalam menentukan ruang pengambilan keputusan kurikulum dari guru
SD.
Konsep ruang operasional, khususnya dalam kerangka sekolah, menyoroti
pentingnya siklus Caldwell dan Spinks bagi manajemen sekolah
mempromosikan atau memajukan pengambilan keputusan kolaboratif dan

21
dengan demikian meningkatkan presepsi guru tentang opersional untuk
pengambilan keputusan kurikulum.

3. Kerangka Fakultas.
Kerangka ini meliputi keputusan yang diperkirakan guru telah dibuat oleh
fakutas, sering sebagai respon atau jawaban atas permintaan dari sistem dan
sekolah itu. Smith menyarankan lima faktor yang mempengaruhi keputusan
guru di dalam kerangka ini :
1. Alokasi guru di kelas.
2. Koordinasi topik yang diajarkan dari tahun ke tahun untuk menghindari
pengulangan dan memastikan pengembangan.
3. Penilaian siswa
4. Sumber dana, dan
5. Kebijakan kepala fakultas
4. Kerangka Siswa (Peserta Didik)
Kerangka ini meliputi harapan-harapan guru mengenai siswa. Harapan ini
merupakan hasil dan pengalaman belajar dalam pelajaran tertentu, dan
informasi dari guru-guru lain dan mungkin juga termasuk harapan-harapan
terhadap kemampuan siswa, hobi, seperti halnya perilaku dan hubungan guru-
siswa.
Jika misalnya, seorang guru diminta untuk mengenalkan bermain perana
pada suatu kelas untuk pertama kali, guru itu mungkin percaya, berdasarkan
pengalaman sebelumnya dengan kelas tersebut bahwa para siswa akan
khawatir. Oleh karena itu mungkin dia akan memilih untuk menyiapkan siswa
secara bertahap sebelum melaksanakan pelajaran bermain peran secara penuh.
Faktor-faktor pada kerangka ini terkait secara langsung dengan kerangka
diri guru. Tetapi seperti yang dinyatakan Smith-Lovat (halaman 114), adalah
siswa yang tampak paling utama di dalam penetapan pilihan keputusan guru
mengenai kegiatan-kegiatan khusus dan dalam mempengaruhi guru memilih
pilihan tersebut.
5. Kerangka Diri Guru
21
Kerangka ini meliputi keputusan-keputusan yang dibatasi presepsi diri
guru itu sendiri. Semua guru mempunyai konsep diri yang profesional yang
dibentuk melalui pengalaman mereka dalam mengajar. Jika seorang guru
merasa bahwa dia efektif dan siswa-siswanya telah berprestasi karena
usahanya selama ini, maka konsep dirinya menjadi semakin tinggi. Dengan
demikian konsep dirin guru menjadi suatu faktor yang sangat penting dalam
menetapkan pilihan keputusan. Jika misalnya, seorang guru sedang mengalami
kesulitan manajemen, ia tidak boleh membuat banyak keputusan untuk
memilih aktivitas belajar berdasarkan kerja kelompok atau diskusi.
Kerangka diri guru juga mencakup proses pengajaran ideal. Konsep diri
guru akan semakin kuat jika dia percaya bahwa praktek kelasnya adalah
konsisten dengan pendidikan ideal.
Jadi ruang pengambilan menentukan cara guru mengambil keputusan
kurikulum. Berbagai kerangka memberikan ruang yang menyediakan pilihan-
pilihan keputusan untuk setiap aspek desain dan manejemen kurikulum. Bab I
telah mengaitkan dengan pengembangan SBCD di Australia dan Selandia
Baru, dan berbagai status kebijakan yang berlaku. Berikut adalah suatu uraian
pelaksanaan nyata SBCD pada sekolah.

C. Karakteristik SBCD di Australia


Pada tahun 1977, Kemp memandang pendekatan-pendekatan pada
pengembangan kurikulum sebagai satu kesatuan. Secara singkatnya adalah
pengembangan kurikulum centred-based atau top-down dimana
kurikulum ditentukan oleh pusat dan sedikit otonomi bagi sekolah. Istilah
ekstrim lainnya adalah kurikulum bottom-upatau school-based yang
seluruhnya dikembangkan dari sekolah sendiri. Beberapa guru memakai
istilah ekstrim yang terakhir sebagai defenisi dari SBCD. Karena itu, istilah
tersebut dipandang sebagai kebalikan mutlak dari kurikulum yang dibuat
secara terpusat.
Defenisi dari SBCD terbatas, karena ada trend nasional terhadap
kurikulum yang ditentukan secara terpusat yang secara ironis berdampingan
21
dengan trend terhadap pendidikan sekolah terpusat. Duignan (1988)
menyatakan bahwa kontrol kurikulum berbasis sekolah adalah hampir
semuanya ilusi dan bahwa pergerakan menuju indikator keefektifan sekolah
dan kurikulum initi berstandar nasional akan lebih cepat mengurangi kontrol
kurikulum dalam sekolah-sekolah.
Interpretasi yang lebih tentang SBCD di Australia seperti yang tercantum
dalam CDC (1977) sebagai berikut:
1. Meliputi peran serta guru dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan pengembangan dan penerapan kurikulum. Bezzina (1989, hal 1)
menjelaskan pandangan yang membantah bahwa SBCD adalah usaha
kolaboratif yang tak seharusnya dipusingkan dengan usaha guru atau
administrator sendiri yang bekerja di luar wilayah kerangka kerja. Studi
kasusnya membantah lebih lanjut usaha (kecenderungan) guru mengabaikan
penerapan sebagai aspek SBCD dan untuk menganggap SBCD selengkap
ketika kurikulum duduk di atas bangku kepala sekolah.
2. Bisa sedikit berkaitan dengan bagian dari sekolah daripada melibatkan seluruh
bagian sekolah.
3. Mungkin lebih selektif dan adaptif daripada kreatif. Hal ini menunjukkan
barisan pernyataan SBCD yang menunjukkan bahwa staf dari beberapa
sekolah mungkin terlibat dalam pengembangan kurikulum baru, sedangkan
staf dari sekolah-sekolah lain mungkin puas dengan mengambil kurikulum
yang ada atau untuk konsentrasi pada bidang kurikulum tertentu seperti
persediaan sumber dana. Adaptasi dan seleksi mungkin lebih mendekati
praktek SBCD di tahun 1990-an.
4. Meliputi perubahan dalam tanggung jawab untuk pengambilan keputusan
kurikulum daripada pemutusan hubungan sekolah dengan pusat.
5. Merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan yang seharusnya
melibatkan guru, murid dan masyarakat. Tapi, Bezzina & Chesterton (1989)
menemukan bahwa guru-guru sekolah dasar dan menengah SBCD menilai
keikutsertaan masyarakat di SBCD lebih rendah dalam hal hubungan timbal
balik daripada 13 faktor lainnya dalam survei mereka.
21
6. Meliputi kebutuhan berbagai struktur pendukung.
7. Meliputi perubahan dalam aturan lama guru.

Poin-poin tersebut di atas menunjukkan perlunya untuk memandang SBCD


sebagai satu kesatuan. SBCD mengambil beberapa bentuk. Ini bukan sekedar
tentang memiliki atau tidak memiliki SBCD; namun bagi beberapa sekolah,
menerima keberadaan SBCD adalah sebuah bualan umum. Bagan 2-5
menunjukkan beberapa kemungkinan perubahan untuk SBCD. Istilah kreasi,
adaptasi, dan seleksi diambil dari Skilbeck (1976).
Contoh pada bagan 2-5 hanya menggambarkan 12 kombinasi. Tentu saja
masih ada banyak variasi tergantung bagaiman kompleks model yang diinginkan
seseorang. Pada diagram kreasi berarti desain kurikulum baru, adaptasi berarti
modifikasi kurikulum yang ada, dan seleksi berarti pilihan yang dibuat dari
daftar yang disajikan. Karena itu, tingkat komitmen tertinggi pada SBCD terjadi
pada segmen kanan atas, dimana semua staf sekolah terlibat dalam kreasi
kurikulum baru. Tingkat komitmen terendah terjadi pada segmen kiri bawah,
dimana anggota staf hanya terlibat dalam pemilihan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, beberapa penulis menyatakan bahwa
seleksi, adaptasi, atau kreasi oleh guru secara individu tidak akan berhasil
menyamai apa yang dimaksudkan dalam SBCD. Jika ketiganya setiap saat
dilaksanakan oleh individual di sekolah, sudah pasti akan terjadi kurangnya
kontinuitas dan tujuan dalam pengajaran. Hampir semua pernyataan tentang
SBCD memang menekankan pengambilan keputusan bersamaataukelompok.
Telah disarankan sebelumnya bahwa school-based bukan berarti
kurikulum sekolah terbatas. Sekolah yang menerapkan SBCD tidak dibatasi
umtuk hanya menerapkan kurikulum yang telah didesain SBCD. Sering,
kurikulum yang dikembangkan di luar sekolah diakui oleh staf lebih unggul
daripada yang diberikan sekolah sendiri.
Jadi SBCD di Australia memuat tingkat peran serta kurikulum yang
berbeda, tergantung pada sekolah itu sendiri.

21
D. Praktek SBCD
Sementara model-model seperti yang digambarkan pada bagan 2-5
menunjukkan kemungkinan variasi dalam SBCD, ada kesulitan-kesulitan dalam
menginterpretasikan praktek SBCD.

Bagan 2-5 Variasi yang mungkin pada pengembangan kurikulum berbasis


sekolah.
Pendekatan SBCD

Kreasi

Adaptasi
CC
Pemilihan
Kreasi

Individu Individu Kelompok Staf


Dalam Pengukuran

Siswa yang terlibat dalam SBCD

Pertama, telah dijelaskan sebelumnya bahwa SBCD merupakan bagian


dari praktek sekolah. Brewer (1978, hal 51) menyatakan bahwa pengawasan dan
yang paling hebat pun tidak bisa menyisihkan awalan langkah dan proses yang
merupakan bagian utuh dari belajar. Dalam sebuah pengertian, guru selalu
menjadi pembuat kurikulum yang sesungguhnya, disadari atau pun tidak. Mereka
selalu terikat dlam perubahan kurikulum yang disiapkan oleh pusat untuk
membuat kurikilum operasional yang cocok atau sesuai dengan kelas-kelas
tertentu. Brady (1981) menemukan bahwa pada awal tahun 1980-an, hampir
semua keputusan kurikulum dalam sekolah dibuat oleh guru masing-masing. Jadi
satu kesulitan yang menentukan tingkat kolaboratif yang paing penting bagi
SBCD untuk tetap eksis.
Kedua, mungkin ada perbedaan antara kurikulum dalam praktek dan
kurikulum sebagai hiasan saja. Pada awal 1978, Brewer menemukan perbedaan
21
ini, dengan menyatakan bahwa jebakan-jebakan pengembangan kurikulum
sering nyata dalam bentuk dokumentasi dan materi, tetapi ada perbedaan antara
kurikulum hiasan dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam prakteknya. Dengan
kata lain, tujuan atau pernyataan kebijakan sekklah kadang-kadang merupakan
pernyataan harapan-harapan yang jarang diterpkan secara utuh dalam prakteknya.
Ada sedikit penelitian oleh bangsa Australia. Pada tahun 1989, Bezzina,
yang mengadakan studi kasus pada sekolah di daerah pinggiran bagianselatan
Sydney, menemukan bahwa guru-guru mengetahui sedikit tentang tindakan-
tindakan yang termasuk dalam SBCD. Beberapa staf hanya mengetahui satu
kegiatan yang termasuk dalam SBCD, dan tak ada anggota staf mengetahui lebih
dari tiga. Bagi Bezzina, temuan yang paling penting adalah tidak adanya
implementasi kurikulum sebagai aspek partisipasi dalam SBCD.
Hasil penelitian yang dilakukan Bezzina & Chesterton ditampilkan dalam
bagan 2-6. Meskipun fokus merupakan bagian tersier pada SBCD, temuan-temuan
tersebut benar-benar menunjukkan pelaksanaan yang nyata dari SBCD di sekolah.
Guru-guru praktek yang mengambil mata kuliah SBCD dan evaluasi di
Universitas New South Wales disurvei tentang cara pandang mereka terhadap
pentingnya mata kuliah ini bagi praktek sekolah nyata. Tentu saja, ada dampak
yang jelas dalam menyimpulkan temuan-temuan ini adalah waktu dan sepanjang
negara-negara bagian.

E. Tanggapan Terhadap Pengembangan SBCD


Ada banyak faktor yang bisa menghambat SBCD di Australia. Untuk
mengatasinya, tiap-tiap hambatan harus dipertimbangkan oleh guru saat mereka
melakukan analisa situasi di sekolahnya. Faktor-faktor tersebut dibahas dalam bab
ini.
Bagan 2-6 Hasil survey terhadap persepsi SBCD
(Bezzina dan Chesterton, 1989)

Mayoritas responden (85 %) menunjukkan beberapa tingkat keterlibatan dalam


SBCD (meskipun 54,4 % menunjukkan untuk beberapa tingkat).
Ada variasi yang dapat dipertimbangkan dalam persepsi keterkaitan dari
bidang-bidang pengetahuan tertentu. Kedua bidang yang mendapat skor
21
tertinggi adalah konsep-konsep dasar kurikulum dan pengambilan
keputusan dalam kelompok-kelompok kecil.
Keterkaitan yang dirasakan dari bidang-bidang keterampilan nampak menjadi
lebih rendah dari bidang-bidang pengetahuannya.
Semakin banyak keterlibatan para guru dalam SBCD, mereka dinilai lebih
tinggi dalam keterkaitannya dengan kursus.
Struktur Pendukung. Pada awal tahun 1978, Komisi-komisi Sekolah
menyatakan bahwa di Australia ada penyimpangan kekuasaan pengambilan
keputusan pendidikan terhadap sekolah yang berlangsung tanpa perencanaan
matang pada pra kondisi yang penting bagi latihan tanggung jawabnya di sana.
Pada awal tahun 1990-1n pergerakan pendidikan berpusat sekolah lebih tegas
ditegakkan dan karena pengawasan kurikulum lebih terpusat, masih ada
kekurangan struktur pendukung penting untuk mengimplementasikan SBCD.
Pada studi kasus yang terpisah tentang SBCD di Australia pada tahun 1986, Kirk
dan McDonnel memberikan ulasan pada kurangnya struktur pendukung.
Kegagaslan tersebut dihubungkan dengan,
kurangnya informasi yang tepat yang disebabkan pada guru-guru.
kurangnya dorongan yang diberikan pada guru-guru untuk terlibat dalam
pengembangan kurikulum.
Kecaman yang paling keras oleh guru berkaitan dengan permintaan tambahan
yang SBCD lakukan terhadap waktunya guru, yang sangat terbatas saat ini.
Contohnya, pad studi kasus inovasi kurikulum berbasis komputer, Irving (1986)
menemukan konflik antara keinginan guru untuk menerapkan SBCD dan
kurangnya kesempatan yang bisa dilakukan.
Dalam studi kasusnya Bezzina, waktu dirasakan oleh guru sebagai
penghalang terbesar untuk berpartisipasi. Faktor hubungan waktu pelaksanaan
studi paruh waktu dan penonaktifkan staf juga tergambar dengan jelas. Untuk bisa
efektif dalam perannya sebagai pengembang kurikulum, guru seharusnya terlibat
dalam analisa situasi, penyusunan tujuan, berpartisipasi dalam kelompok
pengambil keputusan, melatih ketrampilan observasi, analisa dan analisa diri,
tanggap terhadap minat masyarakat dan latihan ketrampilan dalam prosedur
pengambilan keputusan sebagaimana mengajar tiap hari tanpa disadari dari dalam
kelas.

21
Apapun keterbatasan pendukung dari luar, sekolah bisa menyediakan
strukturnya sendiri pada tingkat-tingkat tertentu.

Struktur Pengambilan Keputusan. Banyaknya penelitian dari berbagai negara


menunjukkan bahwa kepala sekolah bertanggung jawab besar terhadap
pengambilan keputusan kurikulum. Di Australia, hampir seluruh studi terbaru
tentang pengambilan keputusan kurikulum (Cohen dan Harrison, 1978; Simpkins,
1972) mendukung pandangan bahwa guru-guru merasakan keputusan-keputusan
kurikulum yang sedang di buat oleh administrator sekolah. Contohnya, Beswick
(1994) menemukan bahwa saat guru ingin kepala sekolah tetap menguasai
pemilihan pilihan-pilihan pengambilan keputusan kurikulum, merreka dengan
tegas menyetujui pendekatan kolaboratif.

Pergerakan Keadaan. Akhir-akhir ini, perdebatan telah berkecamuk terhadap


kemunduran standar pendidikan dan terhadap kebutuhan sekolah untuk lebih
bertanggung jawab demi kualitas pendidikan. Pergerakan keadaan dipandang oleh
beberpa guru menunjukkan kontrol terpusat yang lebih besar terhadap kurikulum,
dan karena itu hal ini bisa menjadi faktor penghambat dalam pertimbangan
SBCD.

Masalah Keahlian. Banyak guru belum mempunyai pengalaman sama sekali


dalam manajemen dan pengembangan kurikulum. Kenyataannya, beberapa guru
dilatih ketika kursus-kursus pengembangan kurikulum di institut pelatihan
gurubelum sempurna atau belum ada. Mungkin tidak hanya ada kekurangan
pengalaman, tetapi mungkin ada juga kekurangan pengetahuan teoritis dan
beberapa kebingungan terhadap prosedur yang tepat untuk mengembangkan
kurikulum.

Dorongan Untuk Terlibat. Faktor tambahan yang sesuai dengan implementasi


SBCD diberbagai tempat, adalah dorongan untuk terlibat bagi para guru. Hal ini
mungkin berbeda dari tiap sekolah, karena itu dorongan tersebut hendaknya terdiri
21
dari analisa situasi sekolah oleh guru. Pada tahun 1978, Solimon mendaftarkan
beberapa dorongan untuk terlibat dalam SBCD yang sampai sekarang masih
dipakai. Bentuk singkatnya sebagai berikut:
Dorongan dari dalam: adanya prestasi yang diperoleh dengan berpartisipasi
dalam pengembangan kurikulum. Hal ini tergantung pada tanggapan kepala
sekolah atau ketua mata pelajaran dan perubahan-perubahan yang dibuat
dalam organisasi untuk memfasilitasi peran sertanya. Kepuasan daridalam
untuk pengembangan kurikulum mungkin tidak cukup mendorong bagio
beberapa guru.
Dorongan dari luar: kemungkinan peningkatan profesional atau status yang
karena berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum.
Kepemimpinan: kepribadian dan gaya kepemimpinan kepala sekolah bisa
menjadi faktor utama dalam mendorong untuk berpartisipasi dalam SBCD.
Kualitas kepemimpinan yang penting mencakup kepekaan terhadap moral staf,
kemampuan menghadapi masalah, kemampuan untuk menciptakan
keharmonisan tim, dan kemampuan untuk menciptakan jaringan komunikasi
yang efektif.
Waktu: pembebasan guru dari tugas-tugas lain untuk meluangkan waktu pada
pengembangan klurikulum adalah sebuah dorongan yang penting.
Kelancaran: staf yang stabil selama periode pengembangan kurikulum sangat
penting untuk menyokong minat dan usaha.
Batasan dan pengekangan: ada banyak halangan bagi SBCD, tapi
keberhasilannya tergantung bagaimana kepala sekolah atau staf pelaksana
menganggap halangan tersebut sebagai batasan sementara yang bisa diatasi,
atau sebagai pengekangan yang tidak dapat diatasi.
Evaluasi: karena SBCD biasanya dimulai dengan menilai keberhasilan
kurikulum yang berlaku, kepala sekolah dan guru harus memiliki perilaku
positif untuk evaluasi (contoh: kesediaan untuk kritik diri, daripada takut
dengan kritik sekolah atau kritik dari orang lain).

21
Satu dari faktor paling kuat yang mempengaruhi SBCD adalah nada, keadaan,
atau suasana organisasi sekolah dalam pertanyaan. Faktor-faktor ini dijelaskan
lebih lanjut pada Bab III.

F. SBC DI Indonesia
(http://yundwip2014)
1. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta munculnya isu-isu nasional maupun internasional
merupakan dimensi-dimensi yang harus diperhatikan dalam system pendidikan
nasional khususnya pada Kurikulum Berbasis Kompetensi. Perkembangan
tersebut akhirnya menuntut perubahan dalam paradigma pendidikan di Indonesia,
yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, yang semula pemerintah yang
berperan (governmental role) menjadi masyarakat yang berperan (community
role), dan semula berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada
anak (child centered).
Untuk mencapai visi dan tujuan pendidikan nasional serta standar
kompetensi lulusan sesuai dengan mutu/standar nasional pendidikan, guru perlu
menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi terlaksananya kurikulum
yang sesuai dengan potensi sekolah. Kurikulum tersebut adalah kurikulum
berbasis kompetensi yaitu suatu konsep kurikulum yang menekankan pada
pengembangan dan penguasaan kompetensi bagi peserta didik melalui berbagai
kegiatan dan pengalaman sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga
hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, orang tua, dan masyarakat, baik untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, memasuki dunia kerja maupun
sosialisasi dengan masyarakat
Implementasi KBK dapat menumbuhkan sikap mandiri, tanggung jawab,
dan partisipasi aktif peserta didik untuk belajar menilai dan mempengaruhi
kebijakan umum, serta memberanikan diri tampil dalam berbagai kegiatan. KBK
memberikan keleluasaan pada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan
21
silabus mata pelajaran sesuai dengan potensi sekolah, kebutuhan, dan kemampuan
peserta didik. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti yang
memiliki empat komponen utama. Komponen-komponen itu meliputi: (1)
kurikulum dan hasil belajar, (2) penilaian berbasis kelas, (3) kegiatan belajar
mengajar, dan (4) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah
2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Secara umum, tujuan KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan
satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepala lembaga
pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan
secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus, tujuan
penerapan KTSP adalah (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, menggelola dan
memberdayakan sumberdaya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melaalui pengambilan
keputusan bersama; dan (3) meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan
pendidikan tentang kualitas pndidikan yang akan dicapai.
KTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam
konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah., yang akan memberikan
wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Karakteristik
KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan
dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar,
profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian.

3. Kurikulum 2013
(http://jayharianto2013) Dalam KTSP, kegiatan pengembangan silabus
merupakan kewenangan satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013
kegiatan pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali
untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus dikembangkan di satuan
pendidikan yang bersangkutan.
Meskipun silabus sudah di kembangkan oleh pemerintah pusat ,
namun guru tetap dituntut untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang
21
terkandung dalam silabus, terutama untuk kepentingan operasionalisasi
pembelajaran. Oleh karena itu, kajian silabus tampak menjadi penting, baik
dilakukan secara mandiri maupun kelompok sehingga diharapkan para guru dapat
memperoleh perspektif yang lebih tajam, utuh dan komprehensif dalam
memahami seluruh isi silabus yang telah disiapkan tersebut.
Adapun penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) masih
merupakan kewenangan guru yang bersangkutan, yaitu dengan berusaha
mengembangkan dari Buku Babon (termasuk silabus) yang telah disiapkan
pemerintah.
Nama kurikulum 2013 saat ini menjadi Kurikulum 2013 Edisi Revisi yang
berlaku secara Nasional. beberapa yang berubah dalam K-13, menurut Totok
kepala balitbang, tidak diberlakukan lagi penilaian ganda, dan penerapan tiga
kemampuan untuk di semua jenjang. SD yang hanya diajari sebatas kemampuan
memahami, SMP menganalisis dan siswa SMP mencipta Sekarang ketiga
kemampuan itu di semua jenjang Jadi anak SD pun boleh menciptakan.

G. Ringkasan
1. Sekolah sangat dituntut untuk memiliki rencana-rencana manajemen sekolah
yang berhubungan dengan program-programnya (serangkaian kegiatan,
prosedur, sumber dana dan strategi manajemen). Pengembangan kurikulum
dilaksanakan di dalam kerangka kerja ini.
2. Satu model untuk manajeman sekolah (mencakup pengembangan kurikulum
dan managemen) adalah siklus manajemen sekolah kolaboratif Cadwell dan
Spinks (1988). Model ini mempunyai karakteritstik sebagai berikut:
a. Menggabungkan penentuan tujuan, identifikasi kebutuhan, pengambilan
keputusan, penganggaran, penerapan dan evaluasi.
b. Melibatkan staf, siswa dan masyarakat.
c. Mengatur manajemen sekolah diantara program-program.
d. Membolehkan perangkapan tugas.
e. Tanggung jawab yang spesifik bagi penentu kebijakan.

21
3. Pengambilan keputusan kurikulum terbatas pada cara pandang guru terhadap
keputusan yang dibuat, dan oleh sejumlah pilihan yang tersedia. Pilihan ini
menentukan pengambilan keputusan guru yang dapat dibandingkan dengan
serangkaian kerangka gambar yang tumpang tindih. Lima kerangka itu
menentukan dalam pengambilan keputusan guru, terdiri dari kerangka sistem,
kerangka sekolah/institusi, kerangka departemen pengajaran atau fakultas,
kerangka peserta didik dan kerangka diri guru.
4. Di Australia, SBCD meliputi:
a. partisipasi guru dlam pengembangan kurikulum dan penerapannya.
b. partisipasioleh seluruh staf atau hanya sebagaian dari staf sekolah.
c. susunan kegiatan termasuk seleksi (pilihan dari sederetan kurikulum
pilihan), adaptasi (modifikasi dari kurikulum yang ada) dan kreasi
(mendesain kurikulum baru).
d. perubahan daripada pemutusan tanggung jawab dari kekuasaan pusat.
e. proses berkelanjutan yang melibatkan masyarakat.
f. kebutuhan berbagai faktor pendukung.
5. SBCD bukan sebuah fenomena sama atau tidak sama sekali. SBCD bisa
ada dalam beberapa tingkat dari tiap sekolah.
6. Sulit untuk menentukan apakah ciri SBCD dalam prakteknya. SBCD meliputi,
deretan kesatuan dan seleksi sampai kreasi individu oleh seluruh staf.
7. Analisis tentang tanggapan sekolah terhadap pengembangan SBCD
melibatkan faktor-faktor berikut:
a. Struktur-struktur pendukung: ketentuan administratif untuk
pelaksanaannya, baik di dalam maupun di luar sekolah.
b. Struktur Pengambilan Keputusan; ketentuan administratif dalam
sekolah untuk mengoptimalkan partisipasi staf.
c. Pergerakan akuntabilitas; efek pada inisiatif kurikulum akuntabilitas
yang lebih besar dirasakan dari sekolah.
d. Masalah kepakaran; pengalaman dan pengetahuan tentang
pengembangan kurikulum yang tersedia di sekolah.

21
e. Insentif utk keterlibatan; cara di mana guru dapat termotivasi untuk
berpartisipasi dalam SBCD.
8. SBC Di Indonesia
Implementasi kurikulum berbasis sekolah di Indonesia antara lain adalah
pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dan kurikulum 2013
a. KBK memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan
mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan sekolah.
b. KTSP memberikan kepercayaan kepada setiap satuan pendidikan untuk
menyusun dan melaksanakan kurikulum operasional.
c. Kurikulum 2013 pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan
pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus
dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan penyusunan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) masih merupakan kewenangan
guru yang bersangkutan.

21
Daftar Pustaka

Brady, Laurie. 1995. Curriculum Development Fifth Edition. Australia: Prentice


Hall of Australia Pty Ltd.

Internet. (di akses pada 28 Maret 2017)

http://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-
manajemen-sekolah_3.html
http://studimanajemen.blogspot.co.id/2012/08/fungsi-manajemen-sekolah-
menurut-george-terry.html
http://surayanaaljoe.blogspot.co.id/2016/06/manajemen-sekolah.html
http://yundwip.blogspot.co.id/2014/10/kurikulum-berbasis-sekolah.html
http://jayharianto83.blogspot.co.id/2013/12/kurikulum-kbk-ktsp-dan-kurikulum-
2013.html
http://www.guru-id.com/2016/06/perubahan-kurikulum-2013-tahun-
2016.html#ixzz4ccCb7kqE

21

Anda mungkin juga menyukai