Anda di halaman 1dari 4

Polyurethane dihasilkan dari reaksi kimia antara polyol dan isocyanate.

Secara konvensional
polyol yang digunakan berasal dari bahan petroleum.

Polyurethane memiliki banyak kegunaan, diantaranya sekitar 70% digunakan sebagai busa
(foam), selebihnya sebagai bahan elastomer, lem dan pelapis. Polyurethane merupakan bahan
polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi urethane (-NHCOO-) dalam rantai
utama polimer. Gugus fungsi urethane dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang
mengandung gugus hidroksil (-OH) yang biasa disebut polyol dengan senyawa yang
mengandung gugus isocyanate (-NCO-). Pemilihan pemakaian polyol akan mempengaruhi
perluasan rantai polimer, crosslinking, dan kekakuan polyurethane foam. Polyol yang
mengandung dua gugus hidroksil disebut diol dan yang mengandung tiga gugus hidroksil
disebut triol, dll. Secara umum, polyol yang digunakan dalam pembuatan polyurethane dibuat
secara sintetis yang berupa produk turunan dari petroleum. Polyol sintetis dibagi menjadi dua
jenis yaitu polyester polyol dan polyether polyol. Tidak menutup kemungkinan penggunaan
bahan alami yang sifatnya mirip dengan polyol dan lebih murah serta ramah lingkungan.
Salah satu bahan alami yang berpotensi digunakan sebagai polyol adalah castor oil dimana
pada struktur molekulnya mengandung tiga gugus hidroksil.

Foam didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di
dalam cairan atau padatan. Polyurethane foam diklasifikasikan ke dalam 3 tipe, yaitu flexible
foam, rigid foam dan semi rigid foam. Perbedaan sifat fisik dari 3 tipe polyurethane foam
tersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul, fungsionalitas polyol dan fungsionalitas
isocyanate. Berdasarkan struktur selnya, foam dibedakan menjadi dua, yaitu closed cell (sel
tertutup) dan opened cell (sel terbuka). Foam dengan struktur closed cell merupakan jenis
rigid foam sedangkan foam dengan struktur opened cell adalah flexible foam.
(Cheremisinoff,1989) Polyurethane foam biasanya dibuat dengan menambahkan sedikit
bahan volatile yang dinamakan sebagai bahan pengembang (blowing agent) untuk
mereaksikan campuran. Acetone, methylene chloride dan beberapa chlorofluorocarbon
(CFCl3) yang sering digunakan sebagai bahan pengembang (blowing agent) pada pembuatan
polyurethane.

BAHAN ADDITIVE

Beberapa bahan tambahan yang dapat digunakan untuk membentuk foam polyurethane,
diantaranya adalah A. Bahan pengembang (blowing agent) bahan pengembang (blowing
agent) terbagi menjadi dua yaitu:

1. Blowing agent fisika : gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan
larut dalam polimernya

2. Blowing agent kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas, contoh : cairan
bertitik didih rendah seperti methylene chloride, acetone, dan CFCl3. (Steven ,2001) B.
Katalis Katalis polyurethane diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu : 1. Senyawa amina
fungsinya untuk mempercepat reaksi isocyanate – air dan reaksi isocyanate – polyol. Contoh :
triethylamine, triethylene diamine, dll 2. Kompleks organo logam sebagai katalis yang kuat
untuk reaksi isocyanate – polyol. Contoh : stannous oleate, dan stannous octoate. C.
Surfaktan Surfaktan adalah senyawa yang molekul-molekulnya mempunyai dua ujung yang
berbeda interaksinya. Surfaktan yang dapat digunakan merupakan surfaktan berbasis silicone
oil. Surfaktan, berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara liquid – liquid atau
liquid – solid, mencampur komponen – komponen yang tidak saling larut, memperbaiki
penampilan struktur sel, untuk stabilisasi ekspansi foam saat mengembang, pengontrol
ukuran sel, menghasilkan tipe struktur sel yang diinginkan seperti sel terbuka (opened cell)
atau sel tertutup (closed cell) D. Chain extender Penambahan chain extender dapat
meningkatkan panjang hard segment agar diperoleh pemisahan mikrofase yang lebih
sempurna. Tanpa penambahan chain extender, polyurethane yang dihasilkan biasanya
memiliki properti mekanis yang kurang baik dan menunjukkan adanya pemisahan mikrofase
yang tidak sempurna. (Wang,1998) Chain extender dapat dikategorikan menjadi dua kelas,
yaitu diol dan diamine. Secara umum, chain extender yang berupa diol atau diamine alifatik
akan menghasilkan material yang lebih lembut daripada chain extender aromatik.

PEMBENTUKAN POLYURETHANE FOAM

Terdapat dua sistem yang dapat digunakan untuk membentuk polyurethane yaitu sistem one-
step (one-shot process) dan sistem two-step (prepolymer process). Sistem one-step umumnya
digunakan dalam pembentukan polyurethane foam, sedangkan sistem two-step diaplikasikan
pada produksi elastomer. Sistem one-step (one-shot process) adalah semua bahan baku untuk
menghasilkan polimer dicampur bersama-sama. Ada dua reaksi kimia penting pada
pembentukan polyurethane foam, reaksi pertama adalah antara isocyanate dengan polyol
membentuk polyurethane (reaksi 2.1). Reaksi kedua adalah reaksi antara air dan isocyanate
menghasilkan polyurea dan gas CO2 sebagai chemical blowing agent.

Reaksi kimia secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:

Reaksi pembentukan polyurethane :

R–NCO + HO–R1→ R–NHCOO–R1 + 24 kcal/mol (1)

Isocyanate alkohol Urethane

Reaksi pembentukan gas dan urea : ·

Tahap I: R-NCO + H2O → R–NH2 + CO2↑ + 22 kcal/mol (2)

Isocyanate Air Amine Karbondioksida ·

Tahap II : R-NH2 + R-NCO → R-NH-CO-NH-R’ + 22 kcal/mol (3)

Amine Isocyanate Urea

Adanya senyawa hidrogen aktif dalam air akan mempercepat reaksi antara air dan isocyanate,
dimana reaksi tersebut diawali dengan memproduksi asam karbamat yang tidak stabil
sehingga cepat terdekomposisi menjadi amine dan melepaskan gas CO2 sebagai blowing
agent. Selanjutnya amine akan bereaksi dengan isocyanate yang belum terkonversi untuk
menghasilkan urea sebagai hard segment. Berdasarkan sifat – sifat yang dimiliki oleh masing
– masing bahan yang digunakan, dalam pembuatan polyurethane foam memberikan
pengaruh interaksi antar bahan. Oleh karena itu urutan pemasukan bahan dapat menjelaskan
mekanisme reaksi yang terjadi diantaranya adalah :

1. Pembentukan emulsi air – polyol (Polypropylene Glycol/Castor Oil) oleh surfaktan


Surfaktan berperan dalam proses pembentukan emulsi. Gugus hidrofil surfaktan akan
mendorong molekul – molekul air sedangkan gugus hidrofob memecah tegangan permukaan
polyol sehingga terbentuk miscelle. Dengan terbentuknya miscelle, air akan mudah tersebar
didalam campuran. Gugus hidrofilik akan memberikan efek proteksi terhadap air karena akan
mengurangi difusifitas antar muka.

2. Blending Emulsi Polyol dengan Ethylene Glycol dan Triethylene Diamine Pada sistem
miscelle air - polyolethylene glycol akan kalah berkompetisi dalam hal pengaktifan atom
hidrogen. Hal ini dikarenakan ethylene glycol berjumlah sedikit dan tidak dapat tercampur
sempurna karena ethylene glycol lebih bersifat polar dibandingkan polyol yang sudah
membentuk sistem emulsi terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena rantai alkana ethylene
glycol lebih pendek dan memiliki gugus hidroksil.

3. Pengaktifan hidroksil pada parsial Castor Oil (C.O) oleh Stannous Octoate (S.O) Pada
tahap ini castor oil tidak mendapatkan competitor untuk berikatan dengan stannous octoate
sehingga stannous octoate pada campuran ini seluruhnya mengaktifkan hidrogen castor oil.

4. Tahap reaksi dengan Toluene diisocyanate (TDI) Gugus isocyanate yang paling reaktif
pada TDI adalah gugus nomor 2 atau yang dekat dengan gugus fungsi toluene yaitu gugus
metil. Pada awal TDI dimasukkan ke dalam reaktor, castor oil cenderung hanya bereaksi
dengan gugus isocyanate yang lebih reaktif. Sedangkan PPG berkompetisi bereaksi dengan
TDI menutup gugus isocyanate yang ada sehingga akan terbentuk dua jenis dimer urethane.
Setelah konsentrasi polyol berkurang karena telah bereaksi dengan TDI, ethylene glycol
molekul kecil yang dapat bergerak karena adanya tolak menolak dan tarik – menarik dari
polaritas campuran akan mudah menumbuk TDI untuk bereaksi. Kemudian proteksi miscelle
pada air akan mulai renggang dan menaikkan difusifitas antar muka sehingga air akan
bereaksi dengan TDI membentuk urea. Kedua reaksi tersebut akan membentuk hard segment
pada rantai polimer. Dimer castor oil akan cenderung mencari urea dan bereaksi membentuk
prepolimer. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik yang dihasilkan oleh urea lebih besar karena
keelektronegatifan atom – atomnya yang tinggi. Sedangkan dimer PPG akan bereaksi dengan
ethylene glycol – TDI. Kedua jenis prepolimer ini dapat terhubung dengan satu sama lain
dengan dijembatani oleh hard segment urethane linkage dan urea linkage sehingga dapat
terbentuk polyurethane.

PROSES FOAMING

Pada proses foaming gas yang terbentuk terlarut di dalam polimer hingga mencapai batas
saturasi. Saat proses foaming terjadi proses nukleasi yaitu terbentuknya nuklei – nuklei yang
akan tumbuh menjadi bubble. Proses nukleasi ini terjadi pada kondisi supersaturasi yang
tinggi karena kenaikan suhu yang disebabkan oleh kalor yang tergenerasi sehingga
menyebabkan gas berada di luar batas kelarutan. Hal ini mengakibatkan konsentrasi gas di
dalam polimer berkurang karena gas berdifusi ke dalam nuklei sehingga tumbuh dan
berkembang menjadi bubble. Oleh karena itu terjadi ekspansi volume polyurethane foam.
Menurut Luis D. Artavia dan Christopher W. Macosko, perubahan material struktur sel
selama foaming terbagi menjadi 4 tahap : 1. Nukleasi gelembung gas (Bubble nucleation) 2.
Foam liquid 3. Pemisahan fase 4. Foam Elastomer

Anda mungkin juga menyukai