Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH INDUSTRI PETROKIMIA

POLYETHYLENE

Disusun oleh :
Finda Dwi Lestari 117010
Natasya Devina A P 117022
Yefta Ezra Abednego 117031

POLITEKNIK KATOLIK MANGUNWIJAYA


PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya minyak bumi dan
gas alam. Dalam pemanfaatannya sebagai sumber energi nasional, Indonesia
mendirikan suatu industri terintregasi untuk menangani dan mengolah minyak
bumi serta gas alam menjadi banyak produk yang bermanfaat bagi kehidupan.
Industri yang menangani pengolahan bahan ini dikenal sebagai industri
petrokimia. Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014) menjabarkan
industri petrokimia sebagai suatu industri berbahan baku utama produk minyak
bumi dan gas (naptha, kondensat, gas alam), batu bara, serta biomassa; yang
mengandung senyawa-senyawa olefin , aromatik, gas sintesa dan organik lainnya
yang dapat diturunkan dari bahan-bahan tersebut, untuk menghasilkan produk-
produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dari pada bahan baku lainnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka diagram pohon industri petrokimia dapat
digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1 Pohon Industri Petrokimia


Menurut Sulaiman (2016), petrokimia adalah bahan-bahan atau produk yang
dihasilkan dari minyak dan gas bumi serta dapat digolongkan kedalam plastik,
serat sintetis, pestisida, detergen, pelarut, pupuk, berbagai jenis obat maupun
vitamin. Basis bahan baku dari industri petrokimia adalah kandungan senyawa
hidrokarbon yang didapat dari hasil pengolahan minyak dan gas bumi, maupun
pencairan batu bara, dengan kandungan utama unsur kimia atom C dan H beserta
turunannya, termasuk senyawa hidrokarbon dengan ikatan gugus fungsional
senyawa tersebut.
Sulaiman (2016) menyatakan bahwa terdapat tiga bahan dasar yang
digunakan dalam industri petrokimia, yaitu olefin, aromatika, dan gas sintetis
(syn-gas). Ethylene merupakan produk dasar yang dihasilkan oleh industri
petrokimia menggunakan jalur olefin yang berasal dari perengkahan/cracking
bahan baku nafta atau etana. Olefin merupakan suatu senyawa hidrokarbon tidak
jenuh, yang mempunyai ikatan rangkap terbuka (seperti etilena, propilena,
butilena/butadiene) yang sangat reaktif, sehingga dengan mudah dapat
berpolimerisasi antara satu dengan yang lainnya membentuk bahan/produk
polimer. Ethylene kemudian diolah dengan cara polimerisasi untuk menghasilkan
polyethylene, oleh sebab itu polyethylene dapat dikategorikan sebagai produk
turunan dari industri petrokimia.

2. Pokok Bahasan
Berdasarkan penjelasan yang dijabarkan dalam latar belakang, polyethylene
merupakan produk turunan dari petrokimia. Polimer jenis ini memiliki sifat
termoplastik dan digunakan secara luas sebagai kantong plastik. Menurut
Sulaiman (2016), sekitar 80 juta metrik ton plastik jenis polyethylene diproduksi
tiap tahunnya.
Polyethylene adalah polimer yang terdiri dari rantai panjang monomer
ethylene (IUPAC : etena). Molekul etena C2H4 adalah CH2=CH2, dua grup CH2
bersatu dengan ikatan ganda. Menurut Billmeyer (1994), polyethylene merupakan
bahan termoplastik yang transparan, berwarna putih, memiliki titik leleh
bervariasi antara 110oC – 137oC. Umumnya polyethylene bersifat resisten
terhadap zat kimia. Pada suhu kamar, polyethylene tidak larut dalam pelarut
organik dan anorganik. Polyethylene dibentuk melalui proses polimerisasi dari
etena dengan metode polimerisasi radikal, polimerisasi adisi anionik, polimerisasi
ion koordinasi atau polimerisasi adisi kationik dan menghasilkan tipe
polyethylene yang berbeda tiap metodenya (Sulaiman, 2016).
Terdapat beberapa jenis polyethylene yang dihasilkan oleh industri
petrokimia, yaitu : HDPE, LDPE, dan LLDPE. Sebagian besar penggunaan
polimer ini adalah sebagai bahan pelapis komersial, plastik, lapisan pelindung
sabun, dan beberapa botol yang fleksibel.
Berbeda dengan polimer lainnya, polietilena memiliki jenis/grade yang
banyak dan aplikasi pemakaian yang luas. Selain dapat diaplikasikan secara
murni, polietilena dapat pula diaplikasikan dengan mencampurnya dengan
bahan/polimer lain untuk aplikasi tertentu. Kebutuhan polietilena di Indonesia
sangat tinggi dan tumbuh dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi. Berdasarkan Lastri (2007), perkembangan kebutuhan
polietilena dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat dalam tabel 1
berikut :
Tabel 1. Kebutuhan Polietilena di Indonesia

Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan besar yang memproduksi


polyethylene, diantaranya adalah PT Chandra Asri dan PT PENI ( Petrokimia
Nusantara Interindo sekarang berganti menjadi PT Lotte Chemical Titan
Nusantara). Perusahaan ini merupakan produsen polyethylene terbesar di
Indonesia dengan kapasitas masing-masing 620.000 dan 450.000 ton per tahun.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Polietilena adalah polimer yang terdiri dari rantai panjang monomer etilena
(IUPAC: etena) dan termasuk golongan polyolefin. Di industri polimer,
polietilena ditulis dengan singkatan PE. Polietilena adalah bahan termoplastik
yang transparan, berwarna putih yang mempunyai titik leleh bervariasi antara
110-137oC. Umumnya polietilen bersifat resisten terhadap zat kimia. Pada suhu
kamar, polietilena tidak larut dalam pelarut organik dan anorganik (Billmeyer,
1994).
Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh polyethylene dapat dijabarkan melalui
penjelasan sebagai berikut :
1) Tidak larut dalam pelarut apa pun pada suhu kamar tetapi mengendap oleh
hidrokarbon dan karbon tetraklorida,
2) Tahan terhadap asam dan basa,
3) Dapat dirusak oleh asam sulfat pekat.
4) Tidak tahan terhadap cahaya dan oksigen.
5) Bila dipanasi secara kuat akan membentuk sambung silang yang dikuti dengan
pembelahan ikatan secara acak pada suhu lebih tinggi, tetapi dipolimerisasi
tidak terjadi.
6) Larutan dari suspensi polietilena dengari karbon tetraklorida pada suhu sekitar
60°C dapat direaksikan dengan Cl membentuk produk lunak dan kenyal.
Pemasukan atom C1 secara acak ke dalam rantai dapat menghancurkan
kekristalan polietilena.
7) Polietilena thermoplastic dapat diubah menjadi elastomer tervulkanisir yang
mengandung sekitar 30% Cl dan 1,5% belerang melalui pengklorosulfonan.
Vulkanisir pada umumnya dilakukan melalui pemanasan dengan oksida logam
tertentu. Hasil akhir yang berupa hipalon, tahan terhadap bahan kimia dan
cuaca.
Struktur polyethylene disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur Polyethylene

Polyethylene terdiri dari C2nH4n+2 dimana n merupakan derajat polimerisasi,


yaitu jumlah monomer ethylene yang terpolimerisasi membentuk polyethylene.
Polyethylene diklasifikasikan menjadi beberapa macam tipe berdasarkan
percabangan rantai yang dapat mempengaruhi sifat dari tipe polyethylene yang
dihasilkan. Rantai yang memiliki sedikit cabang mempunyai derajat kristalisasi
yang lebih tinggi.
Berikut adalah beberapa jenis dari polyethylene berdasarkan kepadatan dan
percabangan molekulnya :
a. LLDPE (Linear Low Density Polyethylene)
LLDPE merupakan polyethylene linier dengan percabangan rantai pendek
dengan jumlah yang cukup signifikan. Polimer ini terbuat dari kopolimerisasi
etilena dengan rantai pendek α-olefin. Cabang-cabang yang sering ditemukan
adalah gugus etil, butyl, atau heksil dan gugus yang lain. Polyethylene jenis ini
dapat disebut sebagai perpaduan antara polyethylene linier dengan low density
polyethylene. LLDPE memiliki kekuatan tensil relatif yang lebih tinggi dari
LDPE serta memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap tekanan.

b. LDPE (Low Density Polyethylene)


LDPE merupakan polyethylene dengan struktur rantai bercabang yang tinggi
dengan cabang-cabang yang panjang dan pendek. Polyethylene jenis ini memiliki
derajat tinggi terhadap percabangan rantai panjang dan pendek, sehingga proses
kristalisasi terhalang dan menyebabkan density relative kecil. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa LDPE memiliki kekuatan antar molekul yang rendah
sehingga kekuatan tensil yang dimiliki juga rendah. LDPE dibuat dengan metode
polimerisasi radikal bebas. Polyethylene jenis ini tersusun atas gugus etil dan
butyl sebagai rantai utama dengan beberapa cabang yang berantai panjang.

c. HDPE (High Density Polyethylene)


HDPE adalah polyethylene yang terdiri dari rantai utama dengan sedikit
percabangan. Dalam percabanganya, HDPE memiliki derajat yang rendah dengan
kekuatan antar molekul dan kekuatan tensil yang besar. Secara kimia, HDPE
mempunyai struktur yang paling mendekati struktur polyethylene murni dengan
densitas sebesar ≤ 0,941 g/cm3. HDPE dapat diproduksi menggunakan katalis
kromium/silica, katalis Ziegler-Natta, atau katalis metallocene. Polimer ini
diaplikasikan sebgai bahan pembuat botol, kemasan, pipa air dan produk lainnya.
Perbedaan struktur dan properties dari ketiga jenis polyethylene tersebut disajikan
pada gambar 2 dan tabel 1.

Gambar 2. Struktur molekul LDPE, LLDPE, dan HDPE


Tabel 1. Perbedaan properties LDPE, LLDPE, dan HDPE

2. Aplikasi
Polyethylene digunakan sebagai bahan dasar pembuatan plastik. Karena
jenis polyethylene sangat banyak, maka dapat dihasilkan berbagai macam produk
plastik, contohnya LDPE dapat dimanfaatkan menjadi botol kemasan air mineral
dan HDPE dapat dimanfatkan menjadi pipa-pipa pada pabrik. Selain itu
polyethylene berdensitas tinggi dapat dibuat menjadi tandon-tandon untuk
menyimpan bahan kimia. Tandon-tandon polyethylene memiliki beberapa
kelebihan misalnya, tahan sinar UV, tahan cuaca ekstrim, dan instalasi yang
mudah.
Dalam Kurniawan dan Luthfansyah (2016), PT Lotte Chemical Titan
Nusantara menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi.
Berdasarkan kualitas produk yang dihasilkan, kualitas polietilena dapat
digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu :
a) Prime
Merupakan produk yang mempunyai kualitas yang sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan pemesan.
b) Near Prime
Merupakan produk yang mempunyai kualitas yang sedikit menyimpang
dari spesifikasi yang diinginkan oleh pemesan.
c) Off Grade
Produk yang tidak sesuai dengan yang diinginkan ukurannya oleh
pemesan.

Sedangkan klasifikasi polietilen yang dihasilkan dari proses polimerisasi


secara keseluruhan di PT. Lotte Chemical Titan Nusantara, terdiri atas:
1. HDPE (High Density Polyethylene)
Produk yang dihasilkan oleh PT. Lotte Chemical Titan Nusantara adalah
polietilen HDPE dengan merk dagang Titanvene. HDPE digunakan sebagai bahan
baku pembuatan peralatan rumah tangga, ember, kerat plastik, mainan anak-anak,
dan lain-lain. Kapasitas produksi HDPE di PT. Lotte Chemical Titan Nusantara
sebesar 250.000 ton/tahun. Dengan masing-masing kapasitas produksi pada Train
1 menggunakan katalis Ziegler-Natta sebesar 125.000 ton/tahun dan Train 2
menggunakan katalis Chromium sebesar 125.000 ton/tahun. Adapun keterangan
lengkap mengenai produk HDPE di PT. Lotte Chemical Titan Nusantara disajikan
pada tabel 2.1 dan tabel 2.2.
Tabel 2.1. Produksi HDPE pada Unit Train 1 (Sumber : PT.Lotte Chemical
Titan Nusantara, 2016 dalam Kurniawan dan Luthfansyah (2016))

Tabel 2.2. Produksi HDPE pada Unit Train 2 (Sumber : PT Lotte Chemical
Titan Nusantara, 2016 dalam Kurniawan dan Luthfansyah (2016))

2. LLDPE (Linear Low Density Poly Ethylene)


Produk yang dihasilkan oleh PT. Lotte Chemical Titan Nusantara adalah
polietilen LLDPE dengan merk dagang Titanvene. LLDPE digunakan sebagai
bahan baku pembuatan berbagai macam kantong plastik, mulai dari kemasan tipis
produk makanan sampai kantong plastik tebal untuk beban berat. Kapasitas
produksi LLDPE pada Train 3 sebesar 200.000 ton/tahun dengan menggunakan
katalis sylopol. Adapun keterangan lengkap mengenai produk HDPE di PT. Lotte
Chemical Titan Nusantara disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 2.1. Produksi LLDPE pada Unit Train 3 (Sumber : PT.Lotte Chemical
Titan Nusantara, 2016 dalam Kurniawan dan Luthfansyah (2016))

3. Proses Produksi Skala Industri


Proses produksi PE dibedakan menjadi beberapa jenis metode yaitu : High
Pressure Process, Suspension (slurry) Process, Gas Phases Process, dan Solution
Process (Ullmanns, 1992). Adapun panduan untuk penerapan berbagai jenis
proses pembuatan PE disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Penerapan berbagai metode pembuatan PE (sumber : Ullmann’s
(1992))

Pada skala industri khususnya pada PT Lotte Chemical Titan Nusantara,


produksi PE dibagi dalam beberapa unit dengan metode proses yang berbeda.
Dalam Kurniawan dan Luthfansyah (2016), produk polyethylene yang dihasilkan
oleh PT. Lotte Chemical Titan Nusantara terdiri atas High Density Polyethylene
(HDPE) dan Linier Low Density Polyethylene (LLDPE). Polimerisasi berlangsung
antara fasa gas (gas compose) dan fasa padat (katalis) dengan menggunakan
sebuah Fluidized Bed Reactor. Secara umum proses pembuatan polyethylene di
PT. Lotte Chemical Titan Nusantara dapat dilihat pada block flow diagram pada
gambar 3.
Gambar 3. Block Flow pembuatan polyethylene di PT. Lotte Chemical Titan
Nusantara (Kurniawan dan Luthfansyah (2016))

Keterangan :
RSU (Reagent Storage Unit) : Unit Penyiapan Reagen
Persiapan Katalis : CPU (Catalyst Preparation Unit) untuk
Train 1 dan CAU (Catalyst Activation
Unit) untuk Train 2
FPU (Feed Purification Unit) : Unit Pemurnian Bahan Baku
PPU (Prepolymerization Unit) : Unit Prepolimerisasi
SRU (Solvent Recovery Unit) : Unit Pemurnian Solven
PU (Polymerization Unit) : Unit Polimerisasi
APU (Additive and Pelletizing Unit) : Unit Penambahan Aditif dan
Pemotongan Pellet
PBU (Product Bagging Unit) : Unit Pengemasan Produk

Adapun proses produk PE pada PT Lotte Chemical Titan Nusantara dalam


Kurniawan dan Luthfansyah (2016) dapat dijabarkan sebagai berikut :

A. Proses Produksi HDPE di Train 1


Proses produksi HDPE pada train 1 di PT Lotte Chemical Titan Nusantara
menggunakan katalis Ziegler natta. Secara umum proses produksi pada train 1
terdiri dari beberapa tahapan proses, yaitu:
(1) Tahap Pembersihan Bahan Baku (FPU)
Di unit pemurnian bahan baku, bahan baku utama etilen dan butene
dibebaskan dan dikeringkan dari kandungan karbon monoksida, asetilen,
senyawa sulfur, dan air sebelum masuk reaktor polimerisasi. Karena
kemurnian bahan baku sangat berpengaruh terhadap reaksi polimerisasi dan
produk yang dihasilkan
Sebelum etilen ditransfer untuk proses, terlebih dahulu dihilangkan
impuritisnya (berupa sulfur) didalam sulfur adsorber dengan menggunakan
Zinc Oxide. Absorbsi sulfur ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
poisoning pada katalis. Tahapan selanjutnya adalah menghilangkan acetylene
(C2H2) yang terkandung didalam ethylene. Proses ini dilakukan di Acetylene
Hydrogenator dengan meraksikan Acetylene yang ada dalam etilen dengan H2
sehingga menghasilkan etilen. Kemudian untuk menghilangkan impurities
berupa CO, yaitu didalam CO treater menggunakan katalis Copper Oxide
(CuO). Proses purifikasi butene untuk menghilangkan kandungan H2O nya
dengan menggunakan katalis molecular sieve yang dilakukan di Buthene
Commonomer Dryer. Flowsheet proses FPU disajikan dalam gambar 4.

Gambar 4. Flowsheet tahap FPU


(2) Tahap persiapan katalis (CPU)
Catalyst Preparation Unit (CPU), adalah unit pembuatan katalis. Katalis
yang dibuat oleh PT. Lotte Chemical Titan Nusantara adalah Ziegler-Natta.
Katalis Ziegler-Natta M10 digunakan dalam pembuatan LLDPE (Linear Low
Density Polyethylene), sedangakan M11 digunakan dalam proses pembuatan
HDPE (High Density Polyethylene). Proses pembuatan katalis Ziegler-Natta
M10 sama dengan pembuatan katalis M11, perbedaan keduanya adalah jumlah
electron yang dimiliki. Katalis M11 mendapatkan donor electron dari DMF
(Dimetil Formamide). Namun saat ini di PT. Lotte Chemical Titan Nusantara
hanya membuat katalis Ziegler-Natta M11 pada Train 1.
Katalis Ziegler-natta (M10, M11) tebuat dari pereduksian TiCl4 dan
Ti(OR)4 oleh senyawa organomagnesium, yang dibentuk dari pereaksian Mg
sebagai metal dengan BuCl. Mg mempunyai pelapis yang kuat sehingga akan
susah bereaksi untuk memecahkan pelapis dari Mg yaitu MgO maka Mg
direaksikan terlebih dahulu dengan Iodine dan kemudian Mg dapat bereaksi
dangan BuCl membentuk senyawa organomagnesium. Bentuk dari campuran
organomagnesium dan reduksi dari garam-garam titanium adalah larutan yang
diproses dalam reaktor batch yang menggunakan normal heksana sebagai
pelarut.
Semua reaksi yang terjadi, dilakukan dalam reaktor dengan suhu 80 ºC.
setelah terjadi reaksi seperti diatas dalam reaktor maka dihasilkan katalis
Ziegler-natta dengan ukuran yang masih belum seragam. Setelah pereaksian
selesai, maka ditambahkan sedikit air kedalam reactor yang berfungsi untuk
menurunkan aktifitas dari katalis sehingga mudah untuk mengontrolnya.
Setelah itu, untuk menghasilkan katalis Ziegler-natta M11 maka ditambahkan
DMF kedalam reaktor.
Katalis yang terbentuk, dicuci dengan pelarut heksana. Proses ini
bertujuan untuk menghilangkan sisa BuCl yang dapat membentuk fines.
Keberadaan fines ini akan meningkatkan aktifitas katalis sehingga
mempersulit pengontrolan laju reaksi. Sebelum tahap hydrocyclone, juga
dimasukan TnOA yang berfungsi sebagai surfactan untuk mencegah
pemampatan jalur yang dilalui oleh slurry katalis. Kemudian slurry katalis ini
dihomogensikan atau diseragamkan ukurannya sesuai dengan ketentuan
didalam hydrocyclone. Datri hydrocyclone, katalis yang ukurannya sesuai
dimasukkan kedalam tangki penampung katalis dan siap dikirim ke unit
prepolimerisasi Train 1. Sedangkan katalis dengan ukuran partikel kecil
(fines), digunakan untuk membantu di proses penghilangan BuCl di solvent.
Tahapan reaksi yang terjadi dalam pembuatan katalis Ziegler-Natta adalah
sebagai berikut:
a) Pembentukan campuran organomagnesium
Pembentukan campuran organomagnesium ini adalah dengan
mereaksikan Magnesium dan Butyl Chloride.
Mg + BuCl  BuMgCl

b) Reduksi dari Tetravalent Titanium


Untuk mereduksi tetravalent ini adalah dengan menggunakan campuran
organomagnesium.
½Ti(OR)4 + ½Ti(OR)4 + BuMgCl  Ti(OR)Cl2 + Mg(OR)Cl + Buo
c) Chlorinasi campuran organomagnesium
Chlorinasi ini dilakukan dengan mereaksikan campuran
organomagnesium dan Butyl Chloride yang menghasilkan MgCl2.
BuMgCl + BuCl  MgCl2 + 2Buo
d) Kombinasi dari Butyl radikal (Buo) sebagai indikator terjadinya reaksi
(butena, butana, octane)
Buo  Butena, Butana, Octane

(3) Tahap Prepolimerisasi (PPU)


Prepolimerisasi dengan katalis Ziegler digunakan untuk membentuk
powder prepolimer aktif jenis High Density Polyethylene (HDPE) dengan
katalis yang digunakan yaitu katalis M11. Tujuan dari prepolimerisasi ini
adalah mengatur aktivitas partikel katalis agar tidak terlalu tinggi, serta
mengatur ukuran partikel prepolimer agar dapat terdistribusi secara merata
saat masuk ke fluidized bed reactor karena dapat mengakibatkan local hot
spot, (sehingga memindahkan resiko dari pembangkitan panas), pembentukan
gel dan untuk mengatur distribusi penyebaran katalis dalam reaktor fluidized
bed menjadi lebih baik. Efek lain adalah untuk membatasi kecepatan akses
monomer ke katalis selama polimerisasi di reaktor. Partikel prepolimer rata-
rata berukuran 250-300 µm dari 100 µm untuk katalis dengan 800-1000 µm
untuk partikel polimer.
Reaksi prepolimerisasi ini dilakukan secara batch di dalam reaktor R-
200. Tahap pertama dalam proses prepolimerisasi menggunakan katalis
Ziegler-Natta adalah memasukkan semua raw material ke dalam reaktor
prepolimerisasi (R-200) yang dilengkapi pengaduk tipe angker berdiameter
1,2 m, tahap ini disebut dengan charging. Pada awal charging, agitator
bergerak dengan speed rendah dengan kecepatan sekitar 20 rpm. Solvent
terlebih dahulu dipanaskan di Heat Excharger (E-200) dari suhu 40 oC hingga
suhunya 60 oC kemudian diumpankan ke reaktor R-200. Heksane (solvent)
dimasukkan pertama kali pada reaktor prepolimerisasi (R-200) dengan volume
awal 3,8 m3 yang diukur dengan menggunakan Solvent Pipette Tank.
Kemudian dimasukkan katalis Ziegler-Natta dengan volume 3 m3 yang diukur
dengan menggunakan Catalyst Pipette Tank. Sesudah katalis Ziegler-Natta
dimasukkan, maka co-katalis berupa Tri n-Octyl Aluminium (TnOA)
dimasukkan dengan volume yang diukur dari semua bahan yang msuk dan
dikalkulasi berdasarkan banyaknya prepolimer yang akan dibuat dalam reaktor
prepolimerisasi (R-200) dan tinggi rendahnya aktifitas (Al/Ti). Volume diukur
dengan menggunakan TnOA 2nd Pipette Tank. Co-katalis ini berfungsi
mengaktifkan katalis, walaupun secara teori Titanium dari katalis telah aktif
tapi Titanium ini perlu diaktifkan oleh Co-katalis Organoaluminium. Selama
charging berlangsung, solvent tetap ditambahkan secara kontinyu ke dalam
reaktor prepolimerisasi (R-200) sampai volume 7 m3 yang diukur dengan
menggunakan Solvent Pipette Tank. Setelah volume solvent mencapai 10,8
m3, maka agitator akan bergerak dengan kecepatan tinggi sekitar 150 rpm.
Perubahan kecepatan agitator bertujuan untuk menghomogenisasikan larutan
dan mempercepat reaksi prepolimerisasi.
Reaktor R-200 ini merupakan reaktor berpengaduk yang dilengkapi
dengan jaket pendingin dan internal candle menggunakan air untuk
memindahkan panas dari reaksi polimerisasi. Tahap pereaksian dimulai
dengan pemanasan awal (heating up) reaktor dengan steam bertekanan sedang
(steam medium) dengan tekanan 7 barg menggunakan jet ejector (J 200).
Pemanasan awal berlangsung sampai temperatur reaktor 70 oC. Pemanasan
awal ini bertujuan agar pada saat reaksi, laju reaksi dapat optimum sehingga
hasil yang diperoleh maksimal. Kemudian ethylene diumpankan secara
kontinyu dengan megatur alat kontrol kecepatan yang dikalibrasi selama ± 7,5
jam. Selama ethylene dimasukkan, hidrogen (H2) juga dimasukkan dengan
tujuan untuk menghentikan reaksi polimerisasi dengan pemutusan rantai
polimer dengan mengatur alat kontrol kecepatan yang dikalibrasi 1,5 m3/jam
selama ± 6 jam dan diharapkan reaksi sudah sempurna. Ethylene dan hidrogen
masuk melalui submarge dip pipe. Tekanan awal reaksi 0,2 barg dan
temperatur inisiasi 50oC. Ketika ethylene mulai dimasukkan, temperatur
reaktor mulai naik. Untuk menjaga temperatur tetap stabil, disuplai cooling
water yang dipompa ke dalam jaket reaktor menggunakan pompa (P-200).
Reaksi berlangsung pada suhu 70oC dan tekanan kurang dari 5 barg untuk
menghindari pembentukan polimer berlebih.
Reaksi dalam reaktor ini berjalan selama 6-12 jam dan prepolimer yang
terbentuk mengandung 10gr prepoli/gram katalis. Karena reaksinya
eksotermis maka dibutuhkan aliran Cooling Water Supply berbentuk jaket
dengan suhu masuk 26oCdan suhu keluar 52oCuntuk menjaga temperatur
reaksi agar tetap 68oC. Suhu reaksi ini dijaga karena jika suhu > 68oC akan
menimbulkan flow ability yang buruk dan jika suhu < 68oC menyebabkan
kecepatan reaksi lambat. Tekanan reaksi sekitar 1-1,5 barg. Reaktor ini
dihasilkan prepolimer dalam bentuk slurry dan selanjutnya dikeringkan
Prepolymer Dryer (R-300).
Prepolimer slurry kemudian dialirkan ke Prepolymer Dryer (R-300)
dengan membuka blow down reaktor prepolimerisasi (R-200) sehingga
prepolimer slurry akan mengalir secara gravitasi dengan perbedaan tekanan.
Pengubahan prepolimer dari slurry menjadi powder akan membuat prepolimer
menjadi efisien dalam pemasukan ke dalam sistem dan mudah dalam
pengontrolan ratio prepolimer yang akan digunakan di reaktor utama untuk
mengatur aktivitas katalis.
Prepolymer Dryer (R-300) ini merupakan reaktor dengan tipe fluid bed
dryer yang berpengaduk tipe hellical dengan dilengkapi jaket. Prepolymer
Dryer (R-300) berfungsi untuk menguapkan kandungan solvent yang relatif
sedikit dengan cara dikontakkan langsung dengan gas panas (adiabatis). Jaket
pada dinding prepolymer dryer (R-300) ini berfungsi sebagai pendingin jika
proses pengeringan sedang berlangsung maupun ketika pengeringan sudah
selesai.Proses pengeringan prepolimer di Prepolymer Dryer (R-300) dimulai
dengan pemanasan prepolimer slurry, dengan cara memasukkan sirkulasi
nitrogen panas dalam suatu sistem rangkaian yang tertutup (closed loop),
sehingga solvent menguap dan terbawa keluar bersama nitrogen. Prepolimer
sangat sensitif dengan air dan O2 sehingga digunakan nitrogen dalam sistem
transportasinya.
Nitrogen panas masuk dari bagian bawah reaktor pada suhu 75 oC dan
tekanan 0,7 barg dengan flow rate 960 m3/jam. Lewatnya nitrogen panas pada
slurry prepolymer menyebabkan solvent menguap dan akan terbawa keluar
dengan nitrogen pada suhu 52oC dari bagian atas Prepolymer Dryer (R-300),
kemudian akan dikompresi oleh Drying Loop Compressor (C-300) dengan
tekanan 10 barg menuju Separator Drum (D-301) dimana sebagian nitrogen
panas akan menuju Solvent Condensor (E-304), yang akan didinginkan
dengan suhu air masuk 32oC dan suhu air keluar 49oC. Dimana vapor solvent
yang terbawa akan terkondensasi dan akan terpisah di Cyclone Separator (S-
304). Nitrogen akan digunakan kembali sebagai nitrogen panas dalam dryer
yang sebelumnya melewati Nitrogen Heater (E-307) sebelum masuk ke dalam
Prepolymer Dryer (R-300), sedangkan solvent akan tertampung dalam
Cyclone Separator (S-304) dan mengalir secara gravitasi ke Cyclone
Separator (S-210). Vapour solvent yang terpisah daari Separator Drum (D-
301) akan dipompa dengan pompa (P-301) tipe sentrifugal menuju Cyclone
Separator (S-201) bercampur dengan kondensat solvent, setelah itu dipompa
dengan pompa (P-201) tipe sentrifugal menuju Solvent Recovery Unit.
Proses pengeringan ini dijaga suhunya di 80oC dengan kandungan
solvent awal 10,5 m3 dan berakhir dengan kandungan solvent 0,00013 m3.
Proses pengeringan ini selesai ditandai dengan penurunan ampere dari
agitator. Powder yang dihasilkan memiliki bulk density 0,28 gr/cm3. Untuk
mengecek derajat kekeringannya maka dilakukan pengambilan sample yang
dianalisa di laboratorium.
Setelah ± 8 jam pengeringan selesai dan menghasilkan prepolimer
powder yang kemudian ditransfer oleh Blower (C-310) dengan tekanan 0,5 bar
menuju Prepolymer Silo Cyclone (S-310) untuk memisahkan nitrogen dari
prepolimer powder. Selanjutnya prepolimer powder masuk ke Prepolimer Silo
(D-310). Dari Prepolimer Silo (D-310) ditansfer oleh Blower (C-320) dengan
tekanan 0,37 barg menuju Vibrating Screen (S-320) yang mempunyai multi
screen dengan 3 buah screen dengan ukuran 32 mesh, 64 mesh, dan 100 mesh.
Yang berfungsi untuk memisahkan powder dengan fines dan agglom. Fines
dan aggloom akan dikirim ke waste hopper selanjutnya powder mengalami
pemisahan dengan gas pada Cyclone Separator (S-330). Dari Cyclone
Separator (S-330) powder ditransfer menuju Powder Receiver (D-330) dan
kemudian ditransfer menuju Intermediate Hopper (D-340) dan selanjutnya ke
Powder Feeder Hopper (D-345) kemudian meuju line injeksi Secondary Feed
Hopper (D-350) ke reaktor utama (R-400). Prepolimer diinjeksikan menuju
reaktor utama dengan bantuan Nitrogen High Pressure (NHP) dan Booster
Drum (D-360) dengan bertekanan 30 barg yang berfungsi sebagai gas carrier.
Flowsheet proses PPU disajikan pada gambar 5.
Gambar 5. Flowsheet proses PPU

(4) Tahap Polimerisasi (PU)


Proses polimerisasi terjadi dalam Fluidized Bed Reactor (R-400) pada
suhu 90oC dan tekanan 20 barg. Fluidized Bed Reactor ini dibuat dari carbon
steel dan mempunyai 3 bagian, yaitu :
 Bagian bawah digunakan sebagai distributor gas untuk memastikan
fluidisasi homogen.
 Bagian silinder terdiri dari Fluidized Bed yang dilengkapi dengan
fasilitas injeksi prepolimer dan withdrawal.
 Bagian atas (conical bulb top) dimana terjadi penurunan kecepatan gas
sehingga fines dapat kembali ke Fluidized Bed.

Kecepatan reaksi dan kualitas polimer yang dihasilkan dipengaruhi oleh


komposisi gas dan suhu di reaktor. Komposisi gas yang masuk ke dalam
reaktor adalah Etilen (monomer), Hidrogen, Nitrogen, dan Butene-1
(comonomer). Bahan-bahan tersebut diinjeksikan oleh kompresor utama (C-
400) dengan tekanan 20 barg dari bawah Fluidized Bed Reactor (R-400) untuk
mempermudah pengontrolan laju reaksi. Akan tetapi, sebelum masuk reaktor
bahan-bahan tersebut didinginkan di Heat Excharger (E-400) dari suhu 70oC
menjadi 62oC, untuk menjaga agar temperatur di dalam reaktor agar dapat
meminimalkan resiko dari pembangkitan panas (local hot spot). Prepolimer
powder diinjeksikan secara bertahap dari Secondary Feed Hopper (D-350)
dengan bantuan Nitrogen High Pressure (NHP) dengan tekanan 30 barg yang
berfungsi sebagai gas carrier. Prepolimer powder dengan yield 25-49
grPE/mmol Ti akan diinjeksi ke reaktor Fluidized Bed dimana campuran etilen
akan bercampur dengan prepolimer menghasilkan polimer dengan yield 3000
grPE/mmol Ti. Prepolimer diinjeksikan dari samping reaktor dengan jumlah
yang kecil untuk mendapatkan kontrol yang baik pada reaksi Fluidized Bed.
Proses injeksi bahan perlu dijaga flow rate dan tekanan parsial dari tiap
bahan reaksi yang masuk ke dalam reaktor sehingga dapat menghasilkan rate
produk yang baik dan kualitas produk sesuai dengan grade yang diinginkan.
Tekanan injeksi bahan ke dalam reaktor ini minimal lebih besar 5 barg dari
tekanan reaktor, untuk mencegah terjadinya feed back dari reaktor. Reaksi
yang terjadi melalui 3 tahap yaitu sebagai berikut :
(1) Proses Pemicuan (Inisiasi)
Sisi aktif ini dibangun melalui alkilasi Titanium oleh senyawa
Organoaluminium.

(2) Proses Perambatan (propagasi).


Polimerisasi ethylene pada sisi aktif: propagasi dengan absorbsi
etilen pada sisi aktif. Penggabungan 2 monomer yang mempunyai
radikal bebas dan sangat reaktif atau dapat cepat bereaksi dengan
monomer (ethylene) sehingga membentuk rantai yang lebih panjang dan
radikal baru setiap tahapnya. Kehadiran OR membuat katalis kehilangan
pengikat sehingga mereduksi aktivitas katalis.

(3) Proses Pengakhiran (Terminasi)


Penghentian dari reaksi polimerisasi pada tahap ini H2 sebagai
terminator karena radikal bebas lebih reaktif terhadap H.

Reaksi polimerisasi terjadi secara eksotermal, sehingga untuk menjaga


temperatur reaktor yang konstan diperlukan penghilangan panas dari reaksi,
yaitu dengan menggunakan 2 buah heat excharger pada gas loop yang
berfungsi menjaga suhu Fluidized Bed Reactor (R-400) supaya tidak lebih dari
90oC, yaitu Primary Gas Cooler (E-400) dan Final Gas Cooler (E-401).
Selain itu dapat juga memanfaatkan pendinginan gas etilen dan gas butene
yang meninggalkan reaktor dari bagian atas sebagai pendingin reaksi.
Campuran gas etilen, gas butene, dan fines yang keluar dari reaktor akan
dipisahkan dalam separator utama (S-400), fines yang terbawa oleh gas akan
dikembalikan ke dalam reaktor melalui Recycle Ejector (J-400) dari suhu
91oC. Gas sisa didinginkan di Primary Gas Cooler (E-400) dari suhu 92oC
menjadi 62oC. Gas yang telah dingin akan dikembalikan ke reaktor bersama
dengan feed gas (etilen, butene, hidrogen, dan gas inert) melalui compressor
utama (C-400) dengan tekanan 30 barg. Feed gas tersebut didinginkan lagi
dari suhu 70oC menjadi 57oC pada Final gas cooler (E-401) sebelum masuk
ke dalam reaktor fluidized bed.
Setelah ± 4-5 jam, reaksi polimerisasi diharapkan optimum. Polietilen
diambil melalui Lateral Withdrawal Lock Hopper (D-425) dari bagian
samping reaktor dengan memanfaatkan Rotating Full Bar Valve pada bagian
atas dan bawah hopper ini yang bekerja secara berlawanan. Dari Lock Hopper,
powder polimer mengalir ke Primary Degassing (S-425) berdasarkan
perbedaan tekanan yang diatur 0,2-0,5 barg. Pada Primary Degassing (S-425)
terjadi pemisahan powder polimer dengan gas etilen dan gas butene yang tidak
bereaksi. Gas tersebut di recycle ke reaktor oleh Recycle Gas Compressor (C-
470) setelah terjadi pemisahan fines pada Recycle Gas Filter (F-426) dan
oligomer (Octane dan Heptane) dalam sistem kompresor.
Polimer powder dari Primary Degasser (S-425) mengalir ke Secondary
Degasser (D-430) melalui Rotary Valve (V-425) yang berfungsi mengatur
level pada Degasser. Powder polimer dalam Secondary Degasser (D-430) di
flushing menggunakan Nitrogen low dengan tekanan 3 barg untuk
menghilangkan gas proses hidrokarbon yang masih tersisa. Gas tersebut
meninggalkan Secondary Degasser (D-430) melalui bagian-bagian atasnya
kemudian dibuang melewati Polymer Cyclone Filter (S-430) untuk
memisahkan fines.Powder polimer dari Secondary Degasser ditransfer oleh
Blower (C-430) yang bertekanan 0,7 barg dengan media Nitrogen sebagai
media transport ke Ricycle Filter (S-435). Gas dari Ricycle Filter (S-435)
mengalir kembali ke Blower (C-430) dan untuk menjaga tekanannya terdapat
make up nitrogen low dan venting ke flire. Powder polimer mengalir secara
gravitasi ke Polymer Screen (S-440) dengan ukuran 8 mesh, 12 mesh, dan 48
mesh untuk pemisahan agglom dan dibuang ke pembuangan. Powder polymer
dalam ukuran normal (800-1000 µm) ditransfer ke Final Degasser (D-440)
melalui Rotary Valve (V-441). Dalam Final Degasser (D-440) terjadi
penghilangan yang terakhir dari gas etilen maupun butene yang tidak bereaksi
yang terakhir dan deaktivasi sisa/residu katalis dengan menggunakan fluidisasi
powder polimer dengan aliran udara yang disupply Fluidisasi Air Fan (C-
440). Gas fluidisasi tersebut keluar dari bagian atas degasser dan masuk ke
Cyclone Separator (S-445) sebelum ke atmosfer. Polimer yang telah diolah
dari Final Degassing (D-440) mengalir ke Storage Bin (D-460) melalui
Rotary Valve (V-441). Level di Final Degasser diatur oleh weir di keluaran
final degasser drum. Tahap polimerisasi disjaikan pada gambar 6.
Gambar 6. Tahap polimerisasi

(5) Tahap Additive (APU)


Powder dengan kualitas on-grade dari Storange Bin (D-460) langsung
masuk ke Virgin Powder Bin (H-810) dengan bantuan Blower Air Booster (C-
460) bertekanan 0,5 barg yang menggunakan udara tekan sebagai media
conveying-nya, sedangkan powder kualitas off-grade terlebih dulu disimpan
dalam Powder Surge Silo (H-800) yang selanjutnya baru dialirkan ke Virgin
Powder Bin (H-810) dengan menggunakan Blower (C-800) bertekanan 0,5
barg. Pemindahan powder polimer ke Virgin Powder Bin (H-810) atau ke
Powder Surge Silo (H-800) terbagi mejadi 3, yaitu :
(1) Normal Feeding
Rute : Storage Bin (D-460)  Virgin Powder Bin (H-810)
Apabila powder polimer yang dihasilkan on-grade, maka powder
langsung masuk ke Virgin Powder Bin (H-810) dengan bantuan Blower
Air Booster (C-460) bertekanan 0,5 barg.
(2) Tween Feeding
Rute : Storage Bin (D-460)  Powder Surge Silo (H-800) ditambah
Powder Surge Silo (H-800)
Bila ada sebagian powder polimer yang off-grade, maka powder
ditampung terlebih dahulu di Powder Surge Silo (H-800). Powder
polimer kualitas off-grade secara Tween Feeding dicampur sedikit demi
sedikit dengan powder kualitas on-grade.

(3) Consecutive Feeding


Rute : Storage Bin (D-460)  Powder Surge Silo (H-800)  Virgin
Powder Bin (H-810)
Consecutive Feeding dilakukan apabila terjadi penggantian grade
powder polimer. Powder polimer ditampung terlebih dahulu di Powder
Surge Silo (H-800), kemudian baru dimasukkan ke Virgin Powder Bin
(H-810).
Powder dari Virgin Powder Bin (H-810) sebagian akan
dimasukkan ke Master Batch Blander (M-825 A/B) untuk dicampur
dengan additive yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu di
Secondary Virgin Powder Weight Feeder (W-821) dan sebagian lagi ke
Primary Virgin Powder Weight Feeder (W-810). Jika powder yang
masuk ke Master Batch Blander (M-825 A/B) telah sesuai target maka
pengisian berhenti secara otomatis. Tahap berikutnya, blender
dioperasikan agar percampuran homogen antara powder polimer dengan
additive. Penambahan additive ini bertujuan untuk menjaga kualitas
pellet yang dihasilkan dari kerusakan yang disebabkan oleh pengaruh
temperatur, anti slip, anti oksidan dan oksidasi. Zat additive ini dapat
berupa:
 Yasorbs yang digunakan sebagai light screen, ultra violet absorber,
dan quenching agent.
 Silo Block-ASA yang digunakan sebagai anti static agent yang
sering ditambahkan untuk mencegah pengumpulan debu-debu ke
permukaan plastic film-film dan pada pembuatan proses pembuatan
kantong, mencegah penempelan satu sama lain. Penempelan dapat
dilakukan dengan cara dioleskan, disemprot, atau dicelup.
 Azodicarbonamide yang digunakan untuk aplikasi blowing agent
yang ditambahkan untuk membuat plastic berbentuk cellular
sehingga menurunkan sifat konstanta dielektrik.
 Calcium stearat dan zinc stearat yang digunakan untuk aplikasi
lubricating yang sering ditambahkan untuk mengurangi gesekan
antar polimer dengan peralatan dan polimer dengan polimer selama
diproses.

Dalam Master Batch Blender (M-825 A/B) powder polimer dan additive
akan dicampur dengan menggunakan agitator dengan kecepatan 50 rpm
selama 2 jam. Master Batch Blender dijaga temperaturnya agar tidak melebihi
60oC, maka dialirkan Cooling Water di dinding jaketnya dengan suhu masuk
32oC dan suhu keluar 51 oC. Tujuan pendinginan tersebut agar powder tidak
melebihi melt point additive sehingga saat percampuran tidak meleleh.
Selanjutnya powder dan additive yang sudah tercampur akan dialirkan ke
Master Batch Silo (H-830 A/B) kemudian menuju ke Primary Master Batch
Weight Feeder (W-830 A/B) dan langsung menuju ke Secondary Master
Batch Feeder (W-835).
Powder polietilen dari Virgin Powder Weight Feeder (W-810), powder
dari Master Batch Silo (H-830 A/B) dan pellet dari Rerun Pellet Feeder (W-
855) secara bersama-sama masuk ke Feed Hopper Extruder (H-840) dengan
menggunakan screw conveying untuk menjaga kontinyuitas feed yang masuk
ke extruder. Powder dari Feed Hopper Exstruder (H-840) akan masuk ke
Extruder (X-840) dengan tipe twin screw yang berputar secara co-current
dengan kecepatan 224 rpm. Pada extruder terdapat 4 barel. Di dalam extruder
sendiri akan terjadi proses homogenisasi dan pembentukan adonan selama
bergerak sepanjang extruder dengan dilelehkan pada suhu 150-220 oC.
Kemudian powder yang sudah meleleh dialirkan ke gear pump yang menekan
molten ke die plate yang berlubang sehingga molten yang keluar berbentuk
seperti spagheti, lalu dipotong oleh cutter yang mempunyai 12 atau 14 mata
pisau yang diputar motor dengan kecepatan 1050 rpm sehingga memotong
molten menjadi bentuk pellet. Pisau tersebut berada dalam air (under water
cutter) yang bersuhu 60 oC dengan flow rate 220 m3/jam. Air tersebut berasal
dari Pellet Cooling Water Cooler (E-847). Air selain sebagai pendingin pellet
air tersebut juga sebagai media transport pellet yang sudah dipotong masuk ke
Pellet Filter (S-846) untuk dipisahkan airnya, lalu air tersebut kembalikan lagi
ke Pelletizing Water Tank (T-848). Dengan bantuan Pelletizing Water Pump
(P-848), air tersebut didinginkan lagi di Pellet Cooling Water Cooler (E-847).
Selanjutnya pellet masuk ke Spin Dryer (R-847) untuk menghilangkan air
yang masih terkandung dalam pellet.
Pellet yang sudah kering masuk ke Vibrating Classifier (S-847) yang
mempunyai ukuran 12 mesh dan 32 mesh. Pada Classifier ini terjadi
pemisahan pellet menurut ukurannya, yaitu over size (4 – 4,75 mm) dan
normal size (2,5 – 4 mm). Pellet dengan ukuran normal akan masuk ke Silo
(H-850), sedangkan pellet over size akan ditampung di surge bag sebagai
pellet berkualitas rendah. Tahap APU disajikan pada gambar 7.

Gambar 7. Tahapan proses APU

(6) Tahap Pembentukan Produk (PBU)


Produk dari Silo (H-850) menuju ke Rotary Valve (V-101) kemudian
produk yang masuk dalam rentang prime atau blending limit akan dipindahkan
ke Homogenisasi Silo (H-101 A/B) atau ke Transition Silo (H-102) dengan
bantuan udara yang disuplai dari Blower (C-101), sedangkan pellet yang tidak
masuk rentang akan dipindahkan ke Rerun Pellet (H-855) untuk dimasukkan
kembali ke dalam Extruder (X-840) bersama dengan powder yang baru.
Proses pencampuran pellet dilakukan di homogenisasi silo (H-101 A/B),
tujuannya untuk menyeragamkan dan memperbaiki kualitas pellet.
Pencampuran dilakukan dengan cara mensirkulasi pellet dari dan ke
homogenisasi dengan menggunakan udara sebagai media pembawa yang
disuplai dari Blower (C-102). Pellet dari Unit Additive dan Pelletisasi (APU)
ditransfer ke Homogenisasi Silo (H-101) dengan menggunakan Blower (C-
101) bertekanan 0,5 bar. Dalam Homogenisasi Silo (H-101 A/B) pellet
diblending selama 3 jam dengan menggunakan Blower (C-102) dengan
tekanan 1 barg yang bertujuan untuk mencampur grade dari pellet. Pellet yang
telah dihomogenisasi kemudian akan ditampung di Transition Silo (H-102).
Pada transition Silo (H-102) pellet yang tidak masuk rentang akan
dikembalikan ke Rerun Pellet (H-855) baru kemudian ditransfer ke Bagging
Silo (H-103 A/B) dengan menggunakan Blower (C-104) dengan tekanan 0,5
barg, selanjutnya pellet ditransfer ke Bagging machine package. Bagging
machine akan mengepak pellet dalam kantong-kantong plastik yang setiap
kantongnya berisi 25 kg polietilen sesuai dengan jenisnya masing-masing.
Polietilen yang over grade juga akan di bag off tiap 25 kg dan dijual dalam
harga di bawah polietilen yang on-grade.
Flowsheet proses produksi HDPE pada PT Lotte Chemical Titan Nusantara
Train 1 disajikan pada gambar 8.
Gambar 8. Proses produksi HDPE Train 1
B. Proses Produksi HDPE di Train 2
Proses produksi HDPE pada train 2 di PT Lotte Chemical Titan Nusantara
menggunakan katalis Chromium (Cr+3). Proses pada train 2 pada dasarnya sama
dengan train 1, namun yang membedakan hanya pada tahap persiapan katalis
(CAU) tahap selanjutnya ialah sama pada di train 1. Sehingga secara umum
proses produksi pada train 1 terdiri dari beberapa tahapan proses, yaitu:
(1) Tahap Pembersihan Bahan Baku (FPU)
(2) Tahap pengaktivasian katalis (CAU)
Tahap aktivasi katalis dilakukan untuk mengoksidasi Chromium (Cr3+)
menjadi Chromium (Cr6+) di Catalyst Activator (R-082). Pertama katalis
dimasukkan ke Catalyst Activator (R-082). Katalis dikeringkan dengan
nitrogen yang telah dipanaskan oleh Gas Loop Heater (E-082) sampai
sampai suhu 150oC, nitrogen yang sudah panas masuk ke bagian bawah
Catalyst Activator (R-082). Titanat yang disimpan di Ti Drum (D-070)
melewati Ti Pump (P-070) masuk ke bagian atas Catalyst Activator (R-082).
Katalis untuk blow molding ditambahkan Titanat sedangkan untuk film
tidak ditambah titanat. Setelah itu penggantian nitrogen menjadi udara.
Katalis Chromium diaktivasi dengan udara kering pada suhu 450 oC untuk
pembuatan film, sedangkan untuk pembuatan blow molding dipanaskan
sampai 550oC. Chromium (Cr3+) dioksidasi oleh udara menjadi Chromium
(Cr6+). Kemudian katalis didinginkan sampai suhu 30oC untuk digunakan
reaksi pada train 2. Tahap pengaktivasian katalis pada proses CAU disajikan
pada gambar 9.
Gambar 9. Tahap pengaktivasian katalis pada train 2

(3) Tahap Prepolimerisasi (PPU)


(4) Tahap Polimerisasi (PU)
(5) Tahap Additive (APU)
(6) Tahap Pembentukan Produk (PBU)

Flowsheet produksi HDPE pada train 2 disajikan dalam gambar 10.


Gambar 10. Flowsheet proses produksi HDPE pada Train 2
3.2.3. Proses Produksi LLDPE di Train 3
Proses produksi LLDPE pada train 3 di PT Lotte Chemical Titan Nusantara
menggunakan katalis sylopol (berbasis titanium). Proses produksi di train sedikit
berbeda dengan train 2 maupun train 1, dimana pada train 3 ini tidak
dimasukkanya tahap persiapan katalis. Hal ini dikarenakan pada train 3, katalis
yang digunakan oleh PT.Lotte Chemical Titan Nusantara sudah dalam keadaan
siap pakai. Kemudian apabila pada train 1 dan 2 penyuplai ethylene berasal dari 7-
E-350, pada train 3 penyuplai ethylene ialah berasal dari ethylene vaporizer (3-E-
350). Sehingga secara umum tahapan proses pada train 3 ialah :
(1) Tahap Pembersihan Bahan Baku (FPU)
(2) Tahap Prepolimerisasi (PPU)
(3) Tahap Polimerisasi (PU)
(4) Tahap Additive (APU)
(5) Tahap Pembentukan Produk (PBU)
Proses produksi LLDPE pada PT Lotte Chemical Titan Nusantara disajikan
pada gambar 11.
Gambar 11. Proses produksi LLDPE pada train 3
4. Prospek
Industri petrokimia menghasilkan berbagai jenis produk turunan, salah
satunya polyethylene yang kemudian diolah menjadi produk akhir dan digunakan
oleh sebagian besar masyarakat. Namun, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri,
Indonesia masih bergantung pada impor. Menurut kemenperin, Indonesia harus
mengimpor nafta 1,6 juta ton dan kondensat 33 juta barel pada tahun 2010.
Berdasarkan data kemenperin, terbatasnya kapasitas produksi bahan baku
mengakibatkan Indonesia masih harus mengimpor 694.000 ton.
Polyethylene merupakan produk turunan dari minyak bumi yang diketahui
termasuk kedalam sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Selain
merupakan produk sintetis dari SDA yang tidak bisa diperbarui, polyethylene (dan
jenis polimer penghasil plastik lainnya) adalah permasalahan utama yang dihadapi
oleh dunia karena sifatnya yang non-degradable. Oleh sebab itu Negara-negara
penghasil sampah plastik terbesar didunia dituntut untuk mengolah limbah
tersebut sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Saat ini
para peneliti sedang mengembangkan beberapa penelitian untuk mengurangi
limbah plastik yang dihasilkan oleh dunia, salah satunya adalah dengan
mengembangkan plastik biodegradable dengan campuran PE ataupun polimer
yang lain dalam jumlah sedikit atau pun tanpa campuran polimer sintetis.
Untuk beberapa tahun kedepan, kemungkinan industri petrokimia khususnya
industri polimer penghasil plastik tetap akan menjadi primadona karena
penggunaan plastik yang semakin meningkat tanpa dibarengi dengan pengolahan
limbah yang tepat, namun jika SDA (minyak bumi) yang digunakan semakin
terbatas maka tidak menutup kemungkinan jika sebagian besar manusia memilih
untuk meninggalkan plastik sintetis turunan minyak bumi dan beralih kepada
plastik biodegradable.
DAFTAR PUSTAKA

Billmeyer F. W. 1984. Text Book of polymer Science 3 rd edition. New York :


John. Wiley and Sons.

K. S. Whiteley, T. G. Heggs, H. Koch, R. L. Mawer, and W. Immel, Polyolefin,


Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry, 5th ed., VCH Publihsers,
Weinheim, 1992, vol. A21, pp 487-513.

Kurniawan, A. dan Luthfansyah, M. 2016. Laporan Praktek Kerja : Menghitung


Evaluasi Kinerja Ethylene Vaporizer 3-E-350 PT. Lotte Chemical Titan
Nusantara Cilegon. Universitas Indonesia : Departemen Kimia Fakultas
Teknik.

Sulaiman, Fatah. 2016. Mengenal Industri Petrokimia. Serang : Untirta Press.

Anda mungkin juga menyukai