Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KONSUMER

MATERI

OKSIDASI APEL

Oleh :

Shara Indriati P. 141710101029

Aurora Urbahillah* 141710101068

Dian Pratiwi* 141710101086

Danar Ilma Firdaus 141710101116

THP-B

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apel (Malus domestica Borkh.) termasuk rajanya buah komersial karena
konsumennya luar biasa banyaknya. Di Indonesia, apel diperkenalkan oleh orang
Belanda dan dikembangkan oleh orang Indonesia. Disamping rasanya yang manis
ternyata banyak memiliki kandungan gizi, sehingga ada banyak manfaat ketika
kita makan buah apel. Bentuknya yang keras membuat penampilan apel ini
kelihatan kokoh.
Seringkali kita melihat proses perubahan warna pada apel setelah dikupas,
dipotong, ataupun digigit atau setelah mengalami luka. Hal demikian dinamakan
browning atau pencoklatan. Pencoklatan (Browning) adalah terbentuknya warna
coklat pada bahan pangan secara alami atau proses tertentu. Reaksi Browning ada
dua yaitu secara enzimatis dan non-enzimatis. Pada buah apel terdapat enzim
polifenol oksidase(PPO) yang dengan cepat mengoksidasi senyawa fenol yang
terdapat pada jaringan buah apel menjadi O-kuinon dari tidak berwarna menjadi
kecoklatan.
Pada buah reaksi pencoklatan (Browning) tidak diharapkan. Warna
kecoklatan yang muncul ini menjadikan buah apel tidak menarik lagi. Untuk
memperlambat reaksi Browning, buah apel dapat ditambahkan seperti asam,
garam, dan bawang merah. Oleh sebab itu, pada praktikum kali ini kami akan
mengamati pengaruh penambahan vitamin C pada reaksi oksidasi buah apel.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum oksidasi apel yaitu untuk mengetahui
pengaruh penambahan vitamin C dan perlakuan pengupasan terhadap laju
oksidasi apel.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apel

Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat
yang beriklim subtropis. Apel telah ditanam di Indonesia sejak tahun 1934 hingga
sekarang. Secara taksonomi, apel tergolong dalam divisi spermatophyta dari
famili rocaceae. Berikut taksonomi dari apel:

Divisio : spermatophyta

Subdivisio: angiospermae

Kelas: dycotiledonae

Ordo: rosales

Famili: rosaceae

Genus: malus

Spesies: malus sylvestris Mill (Untung, 1996).

Menurut Sufrida (2006) dalam 100 gr buah apel mengandung :

Zat Gizi Jumlah Terkandung


Energi 58 kal
Protein 0,3 gr
Lemak 0,4 gr
Karbohidrat 14,9 gr
Kalsium 6 mg
Fosfor 10 mg
Serat 0,07 gr
Besi 1,30 mg
Vit A 24 RE
Vit B1 0,04 mg
Vit B2 0,03 gr
Vit C 5 mg
Niacin 0,1 mg
Ada beberapa jenis apel, diantaranya yaitu :

a. Apel Manalagi
Apel ini memiliki rasa yang manis walaupun masih muda dan aromanya
harum. Diameter buah ini berkisar antara 5-7 cm dengan berat 75-160 gram per
buahnya. Daging buahnya berawarna putih, kadar airnya hanya 84,05%.Bentuk
bijinya bulat dengan ujung tumpul dan berwarna cokelat tua (Sufrida, dkk.,
2004).
b. Apel Rome Beauty
Apel jenis ini merupakan apel yang paling banyak ditanam petani di daerah
Batu Malang yaitu sekitar 70%. Kulitnya tebal berwarna merah pudar, daging
buahnya berwarna putih kekuningan. Memiliki kandungan air hingga 86,65%.
Diameter buah ini berkisar antara 5 –12 cm denganberat 70 –300 gram per
buahnya (Sufrida, dkk., 2004).
c. Apel Gala (Royal Gala)
Apel ini merupakan hasil persilangan antara jenis apel kidds orange red dengan
apel golden delicious. Menurut penelitian buah ini berasal dari Selandia Baru,
yang ditemukan oleh J. H Kidd pada tahun 1934. Bentuknya bulat berukuran
sedang dengan warna semburat kuning dan jingga kemerahan. Tekstur daging
buah renyah dan warna putih kekuningan (Sufrida, dkk., 2004).
d. Apel Fuji
Apel fuji merupakan hasil seleksi antara red delicious dengan ralls janet yang
dilakukan di Jepang. Fuji diperkenalkan tahun 1962 dan kini populer di Jepang,
Cina, Koreadan Amerika. Di negara Jepang, apal fuji berwarna merah cerah
dan ukurannya sebanding dengan Mc. Intosh. Sedangkan di Malang,kulitnya
berubah warna menjadi merah hijau kecoklatan. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan yang cukup besar antara kondisi agroklimat di Jepang dan di
Indonesia (Sufrida, dkk., 2004)
e. Apel Anna
Apel ini mempunyai aroma yang kuat dengan rasa agak asam. Kadar air dan
kandungan vitamin C-nya cukup tinggi. Apel anna berbentuk lonjong seperti
trapesium terbalik. Kulit buahnya halus tetapi tipis dan berwarna merah tua.
Kadar airnya sekitar 84,12%(Sufrida, dkk., 2004).
f. Apel Mc. Intosch
Apel ini mempunyai aroma yang kuat dengan rasa yang sangat asam. Apel ini
berwarna merah tua dengan ukuran yang sangat bervariasi. Rasa apel ini sangat
renyah, lembut dan kandunagn airnya banyak ( Sufrida, dkk., 2004).
g. Apel Mutsu
Apel ini merupakan perpaduan antara apel jenis golden delicious dan indo di
Jepang yang dikawinsilangkan pada tahun 1930. Buahnya berwarna hijau
dengan garis kuning ditepinya (Sufrida, dkk., 2004).
h. Apel Princess Noble
Apel ini dikenal juga dengan sebutan apel australia, Karen aapel ini
didatangkan dari Australia pada tahun 1932. Warna kulitnya hijau kekuningan
dengan bintik-bintik putih. Memiliki pori-pori yang halus dan renggang.
Tangkai buahnya panjang dan kecil berwarna hijau, kadar airnya 86,35% dan
rasanya asam (Sufrida, dkk., 2004).
i. Apel Granny Smith
Apel ini berasal dari Australia. Apel jenis granny smith mulai dikonsumsi
sekitar tahun 1868. Di negara 4 musim, seperti Inggris, apel ini rasanya tawar
sehingga hanya dipakai sebagai buah olahan. Namun, granny smith yang
berbuah di Indonesia rasanya lebih manis dari princess noble. Buah ini
memiliki ukuran buah yang cukup besar yaitu 64 x61 mm. Kandungan airnya
banyak dan berwarna putih (Sufrida, dkk., 2004).
j. Apel Golden Delicious
Golden delicious merupakan jenis apel yang paling banyak ditanam di dunia.
Apel yang berasal dari Amerika ini ditemukan oleh A.H. Mullins pada tahun
1980. Ukuran buah ini termasuk ukuran sedang yaitu antara 67 x64 mm,kulit
buah berwarna hijau kekuningan. Buah ini memiliki aroma yang
harum,kandungan airnya tinggi dan rasanya manis agak asam (Sufrida, dkk.,
2004).
k. Apel Red Delicious
Apel jenis ini merupakan salah satu apel yang paling terkenal di dunia. Di
Indonesia, buah ini juga banyak dijumpai dipasar swalayan dan pasar
tradisional. Buah ini memiliki warna kulit yang merah tua sesuai dengan
namanya. Ukuran buah ini tergolong besar yaitu 70 x 70 mm. Daging buah ini
berwarna putih, bertekstur renyah dengan kandungan air yang banyak serta
rasanya yang manis (Sufrida, dkk., 2004).

Bagi kesehatan, buah apel mempunyai manfaat yang nyata dalam hal:

 Menurunkan kolesterol darah


 Menurunkan tekanan darah
 Meningkatkan HDL
 Memperlancarkan pencernaan
 Menjaga kesehatan jantung
 Mengurangi nafsu makan (Sufrida, 2006)

2.2 Macam-macam Senyawa Fenolik Buah Apel

Komponen fenolik pada apel berupa flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid
yang ada di dalam apel adalah flavonol, catechin, dan epicatechin. Contoh asam
fenolik yang ada di dalam apel adalah asam cafeic dan asam p-coumaric yang
membentuk ester dengan asam quinic di dalam apel. Senyawa fenolik lainnya
adalah floretin glikosida. Konsentrasi masing-masing senyawa fenolik pada apel
bervariasi, bergantung pada bagian-bagian di mana senyawa tersebut ada. Pada
kulit apel, senyawa fenolik yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan
flavonol. Bagian inti dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida.
Bagian korteks buah apel banyak mengandung asam fenolik. Sebagian besar
komponen fenolik yang dimiliki oleh apel berbentuk senyawa o-difenol
(Carmelita, 2011).

2.3 Reaksi Browning Buah Apel

Apel apabila dikupas, daging buah atau umbinya akan berwarna coklat.
Pencoklatan (browning) pada buah apel terjadi akibat proses enzimatik oleh
polifenol oksidase (Bastian, 2004). Pencoklatan (browning) pada apel harus
dihilangkan karena bersifat racun. Enzim polifenol tersebut akan mudah
teroksidasi dengan adanya oksigen akan membentuk senyawa radikal orto-kuinon
(Palupi, 2007). Gugus 0-kuinon inilah yang membentuk warna coklat. Senyawa
orto-kuinon tersebut sangat reaktif dan apabila bereaksi dengan protein dapat
membentuk senyawa komplek yang melibatkan asam amino lisin sehingga
ketersediaan akan menurun. Selain itu senyawa komplek protein-polifenol
tersebut sulit ditembus oleh enzim protease sehingga daya cerna proteinnya juga
rendah, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan nilai gizi protein tersebut
juga akan turun (Palupi, 2007). Pencoklatan (browning) pada apel melibatkan
hidroksilase dari monophenol ke O-diphenol dan oksidasi o-diphenol menjadi O-
quinon (Christiane et al. 2008) Terjadinya reaksi pencoklatan diperkirakan seperti
terlihat pada Gambar 1. berikut ini (Ruhiye, 2003).

Gambar 1. Reaksi pencoklatan (Ruhiye, 2003)

Reaksi umum gambar 1. menjelaskan dimana fenol dan oksigen adalah substrat
dan BH2, singkatan dari senyawa o-diphenol sebagai donor elektron (aktifitas
monophenolase). Sedangkan pada aktifitas diphenolase, BH2 tidak diperlukan
karena ada o-diphenol cukup untuk reaksi dan kedua atom dari molekul oksigen
direduksi menjadi air dan pada akhirnya O-quinon berpolimerisasi membentuk
pencoklatan. (Melanti,2013)

2.4 Cara Mencegah Reaksi Browning


Beberapa substansi yang dapat digunakan untuk mencegah pencoklatan
pada buah apel antara lain:

a) Asam
Penggunaan antioksidan, misalnya vitamin C ataupun senyawa sulfit dapat
mencegah oksidasi komponen-komponen fenolat menjadi kuinon yang
berwarna gelap. Sulfit dapat menghambat enzim fenolase secara langsung atau
mereduksi hasil oksidasi kuinon, sedangkan penggunaan vitamin C dapat
mereduksi kembali kuinon berwarna hasil oksidasi (o-kuinon) menjadi
senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Ketika vitamin C habis, komponen
berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi yang irreversibel.
Jadi produk berwarna hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis
dioksidasi dan quinon terpolimerisasi. Asam askorbat (vitamin C) dapat
berperan sebagai antioksidan. Oksigen akan bereaksi terlebih dahulu dengan
asam askorbat daripada bereaksi dengan enzim fenolase pada buah apel.Asam
askorbat dapat menurunkan pH dari jaringan buah-buahan untuk
meminimalisasi aktivitas dari fenolase. Jika pH dapat diturunkan hingga di
bawah 3.0 maka aktivitas fenolase sebagian besar akan dihambat (Sapers,
1993).
b) Garam
Perendaman dengan air garam dilakukan untuk mencegah apel agar tidak
kontak dengan oksigen sehingga tidak terbentuk senyawa polifenol oksidase
(fenolase). NaCl menghambat browning dengan cara menurunkan pH pada
apel sehingga mencegah terjadinya browning. Garam juga dapat digunakan
untuk meningkatkan cita rasa dari apel (Friedman, 1996).
c) Air
Pengurangan oksigen (O2) dengan cara menempatkan buah apel yang segar
dalam rendaman air akan mencegah reaksi pencoklatan, karena air dapat
membatasi jumlah oksigen yang kontak dengan jaringan buah apel. Dengan
kata lain semakin minimal jumlah oksigen yang mengalami kontak langsung
dengan buah apel maka semakin minimal proses pencoklatan yang akan terjadi
(Friedman, 1996).
d) Pemanasan
Pemanasan juga dapat menghambat pencoklatan dengan cara menginaktivasi
enzim fenolase. Enzim umumnya bereaksi optimum pada suhu 30-40 ºC. Pada
suhu 45 ºC enzim mulai terdenaturasi dan pada suhu 60 ºC mengalami
dekomposisi. Blanching merupakan suatu proses pemanasan pada bahan
pangan dengan menggunakan suhu dibawah 100°C. Blanching dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pemanasan secara langsung dengan air panas (Hot
Water Blanching) atau dengan menggunakan uap (Steam blanching).
Blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang memungkinkan
perubahan warna, tekstur, cita rasa bahan pangan (Aoyama et al., 2007).
e) Bawang Merah
Bawang merah dapat digunakan untuk mencegah pencoklatan pada buah apel.
Hal ini dikarenakan bawang merah mengandung senyawa sulfihidril (SH atau
thiol). Senyawa sulfihidril dalam bawang merah dapat menghambat aktivitas
enzim polifenol oksidase (fenolase). Hanya saja penggunaan bawang merah
pada buah apel akan mempengaruhi aroma dari buah apel tersebut (Kim, Kim
& Park, 2005).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

1. Gelas ukur
2. Blender
3. Saringan
4. Pisau
5. Spatula
6. Gelas bekas air mineral
7. Kertas alumunium

3.1.2 Bahan

1. Apel
2. Vitamin C
3. Air

3.2 Skema Kerja


Apel

Kupas Tanpa Kupas

+ air, apel:air 1:6 + air, apel:air 1:6

Pemblenderan Pemblenderan

Penyaringan Penyaringan

Filtrat Filtrat

Pemasukan pada 4 Pemasukan pada 4


gelas, masing-masing gelas, masing-masing
100 ml 100 ml

Penambahan Penambahan
vitamin C 4g; 7g; vitamin C 4g; 7g;
10g dan kontrol 10g dan kontrol

Pengamatan selama Pengamatan selama


7 hari 7 hari
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Warna

Penambahan Hari ke-


Perlakuan
Vitamin C 0 1 2 6 7
Kontrol +++ ++++ ++++ ++++ ++++
Tanpa
4 mg ++ +++ +++ +++ ++++
Kupas
7 mg ++ +++ +++ +++ +++
Kontrol ++++ +++++ +++++ +++++ ++++++
Kupas 4 mg +++ ++++ +++++ +++++ ++++++
7 mg ++ ++++ +++++ +++++ ++++++

4.1.2 Endapan

Penambahan Hari ke-


Perlakuan
Vitamin C 0 1 2 6 7
Kontrol - ++ ++ +++ +++
Tanpa
4 mg - ++ ++ +++ +++
Kupas
7 mg - + + ++ ++
Kontrol - ++ ++ +++ +++
Kupas 4 mg - ++ ++ +++ +++
7 mg - + ++ +++ +++

4.1.3 Buih

Penambahan Hari ke-


Perlakuan
Vitamin C 0 1 2 6 7
Kontrol - ++ + - -
Tanpa
4 mg - + + - -
Kupas
7 mg - + + + -
Kontrol - ++ ++ + -
Kupas 4 mg - +++ ++ + -
7 mg - ++++ +++ +++ +

4.2 Hasil Perhitungan

Pada praktikum ini tidak dilakukan perhitungan.


BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

Praktikum oksidasi apel bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan


vitamin C dan perlakuan pengupasan terhadap laju oksidasi apel. Sampel utama
yang digunakan yaitu buah apel dengan perbedaan perlakuan berupa pengupasan
dan tanpa kupas. Kemudian apel tersebut ditambah air dengan perbandingan
antara apel dan air yaitu 1:6. Kemudian dilakukan penghancuran menggunakan
blender sehingga dihasilkan jus apel. Jus apel tersebut disaring untuk memisahkan
antar filtrat dan residunya. Filtrat yang dihasilkan merupakan objek utama
penelitian pada praktikum ini. Filtrat tersebut diberi 4 perlakuan yang masing-
masing diletakkan pada gelas sebanyak 100 ml. Perlakuan tersebut yaitu tanpa
pemberian vitamin C sebagai kontrol, pemberian vitamin C sebanyak 4 mg, 7 mg
dan 10 mg. Pemberian vitamin C dapat menghambat terjadinya proses oksidasi
sehingga dapat juga menghambat perubahan kenampakan pada ekstrak apel.
Masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan ditutup rapat menggunakan
aluminium foil. Kemudian dilakukan pengamatan selama 7 hari dengan parameter
pengamatan yaitu perubahan warna, terbentuknya endapan dan buih. Pengamatan
dilakukan secara visual dengan memberikan nilai + untuk setiap parameter yang
diamati. Semakin tinggi nilai + maka warna ekstrak apel semakin gelap, semakin
banyak terbentuk endapan dan semakin banyak buih yang terbentuk.

5.2 Analisa Data

5.2.1 Warna

Oksidasi merupakan interaksi kontak langsung diantara molekul oksigen


dan semua zat yang berbeda dari benda mati hingga jaringan hidup seperti
tumbuhan. Oksidasi pada buah dapat ditandai dengan reaksi pencoklatan
(browning). Pencoklatan (Browning) adalah terbentuknya warna coklat pada
bahan pangan secara alami atau proses tertentu.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama 7 hari,


semakin lama waktu penyimpanan, warna yang terbentuk pada jus apel semakin
gelap. Warna gelap terbentuk karena adanya reaksi pencoklatan pada jus apel.
Reaksi pencoklatan tersebut terjadi akibat proses enzimatik oleh polifenol
oksidase (Bastian, 2004). Enzim polifenol tersebut akan mudah teroksidasi
dengan adanya oksigen akan membentuk senyawa radikal orto-kuinon (Palupi,
2007). Gugus O-kuinon inilah yang membentuk warna coklat.

Pada sampel kontrol dan pemberian vitamin C sebanyak 4 mg menghasilkan


warna yang lebih gelap dibanding dengan sampel dengan pemberian vitamin C
sebanyak 7 mg. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya penghambatan
reaksi oksidasi karena jika oksidasi terhambat maka stabilitas larutan tidak mudah
terganggu sehingga perubahan warna tidak terlalu besar terjadi. Vitamin C atau
asam askorbat mereduksi kembali O-quinon yang terbentuk menjadi senyawa
fenol dimana vitamin C melepaskan 2 molekul hidrogennya dengan membentuk
dihidro asam askorbat. Dengan terbentuknya senyawa fenol kembali maka reaksi
lanjutan pembentukan melanin dari quinon tidak berlangsung (Janovitz and
Richard, 1990). Akibatnya reaksi pencoklatan dapat ditekan.

Proses oksidasi pada jus apel ditandai dengan semakin gelapnya warna jus
selama penyimpanan. Pada proses oksidasi diperlukan oksigen untuk
berlangsungnya proses oksidasi tersebut. Namun proses oksidasi ini tidak
berlangsung secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena substrat yang diubah
atau yang teroksidasi telah habis atau bahkan oksigen sebagai katalis oksidasi
yang ada pada kemasan telah habis. Hasil pengamatan menunjukkan semakin
banyak penambahan Vitamin C maka reaksi pencoklatan semakin dapat dihambat.
Vitamin C dapat mereduksi kembali kuinon berwarna hasil oksidasi (o-kuinon)
menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Ketika vitamin C habis,
komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi yang
irreversibel. Jadi produk berwarna hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada
habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi.

Pada sampel yang diberi perlakuan penambahan vitamin C 7 mg terjadi


perbedaan warna pada sampel yang dikupas dan tidak dikupas. Warna jus apel
pada sampel yang diberi perlakuan pendahuluan pengupasan lebih terlihat gelap
dibanding perlakuan tanpa pengupasan. Hal tersebut diakibatkan kerena apel yang
diberi perlakuan pendahuluan berupa pengupasan telah mengalami oksidasi yang
lebih cepat, apel akan terkontak dengan udara dan menyebabkan apel mengalami
proses oksidasi.

5.2.2 Endapan

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama 7 hari,


semakin lama waktu penyimpanan, endapan yang terbentuk semakin banyak.
Pada hari ke-0 semua sampel tidak terbentuk endapan. Pada hari ke-1 dan 2
terbentuk sedikit endapan. Pada pengamatan hari ke-6 dan 7 jumlah endapannya
semakin banyak. Endapan tersebut terbentuk karena adanya reaksi kimia yang
terjadi pada ekstrak apel. Pembentukan endapan tersebut dijelaskan oleh
(Whitney, 1997; Persson and Gekas, 1994) yaitu partikel-partikel kecil terhidrasi
terbentuk selama proses ekstraksi jus apel dan ada di suspensi yang stabil karena
ukurannya kecil dan adanya gaya elektrostatik. Hal ini sesuai dengan teori
stabilitas partikel koloid yang bergantung pada keseimbangan gaya menarik dan
menolak antar partikel yang dipengaruhi oleh unsur pokok partikel, lingkungan
ion dan hidrasi partikel. Ketidakstabilan partikel yang secara enzimatis
dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas pektin metilesterase dan poligalakturonase.
Aktivitas ini menyerang lapisan pektin, mengeluarkan inti protein yang bersifat
positif dan terjadi agregasi elektrostatis pada partikel. Pengendapan meningkat
dengan pertumbuhan ukuran partikel hasil agregasi dan reduksi pada viskositas
yang terjadi karena adanya pektin terlarut dalam jus (Beveridge, 1997).

Pada sampel kontrol dan pemberian vitamin C sebanyak 4 mg menghasilkan


jumlah endapan yang lebih banyak dibanding dengan sampel dengan pemberian
vitamin C sebanyak 7 mg. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya
penghambatan reaksi oksidasi karena jika oksidasi terhambat maka stabilitas
larutan tidak mudah terganggu sehingga pembentukan endapan tidak terlalu besar.
Berdasarkan literatur endapan atau kabut timbul akibat adanya reaksi kimia,
penggabungan, atau pembentukan komplex yang biasanya disertai adanya
komponen makromolekul seperti pati, polifenol, protein, pektin, dan beberapa
komponen anorganik seperti Cu dan Fe (Heatherbell, 1976; Heatherbell, 1976,
Neubert and Veldhuis, 1994; Keiser, et al., 1957; Brunner and Tanner, 1986).

Meskipun pada sampel telah ditutup rapat dan dihambat dengan pemberian
vitamin C, tetap terjadi proses oksidasi yang ditandai dengan adanya
pembentukan endapan. Pada proses oksidasi diperlukan oksigen untuk
berlangsungnya proses oksidasi tersebut. Pada kondisi gelas yang tertutup, masih
terdapat sejumlah oksigen pada headspace karena tidak dilakukan perlakuan
vacum. Sehingga proses oksidasi masih mungkin terjadi. Namun proses oksidasi
ini tidak berlangsung secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena substrat
yang diubah atau yang teroksidasi telah habis atau bahkan oksigen sebagai katalis
oksidasi yang ada pada kemasan telah habis.

Pada sampel yang diberi perlakuan penambahan vitamin C 7 mg terlihat


jelas jumlah endapan yang berbeda pada sampel yang dikupas dan tidak dikupas.
Jumlah endapan pada sampel yang diberi perlakuan pendahuluan pengupasan
sedikit lebih banyak dibanding perlakuan tanpa pengupasan. Karena jumlah
pembentukan endapan dipengaruhi pula oleh adanya oksidasi apel, maka data
tersebut telah sesuai. Apel yang diberi perlakuan pendahuluan berupa pengupasan
telah mengalami oksidasi yang lebih cepat dan lebih banyak karena pada saat
proses pengupasan, apel akan terkontak dengan udara dan menyebabkan apel
mengalami proses oksidasi. Dengan demikian jumlah endapan yang dihasilkan
juga semakin banyak karena suspensinya semakin tidak stabil.

5.2.3 Buih

Berdasarkan pengamatan oksidasi pada sari apel selama 7 hari diperoleh


hasil bahwa pada hari ke-0 tidak ditemukan buih. Sedangkan pada hari pertama
ditemukan buih pada masing-masing sampel. Proses pembentukan buih ini
diakibatkan karena terjadinya reaksi kimia selama proses penyimpanan berupa
reaksi oksidasi. Penjelasan reaksi oksidasi enurut Siegbahn (2004) yaitu
mekanisme reaksi PPO dalam pembentukan quinon dimulai dengan reduksi Cu
dengan adanya hidroksida. Hidroksida memisahkan proton dari substrat katekol
yang pertama. Satu atom oksigen akan terikat langsung pada logam membentuk
grup oxo, sementara atom oksigen lain menerima dua proton membentuk molekul
air. Pada keadaan ini, Katekol oksidase berubah dari oksigenase menjadi oksidase.
Hal ini dijelaskan bahwa proton hidroksil dipisahkan dari substrat oleh anion
radikal superoksida. Setelah pergantian produk quinon dengan substrat katekol
yang baru, ikatan O–O dari peroksida terputus. Ini menyebabkan adanya transfer
proton dari satu grup hidroksil katekol. Keadaan ini dinamakan keadaan transisi
yang diikuti oleh pemisahan atom H dari substrat, meninggalkan kompleks Cu
dengan quinon. Setelah penyerahan elektron pada atom logam, produk quinon
segera terbentuk. Dengan demikian selain terbentuknya warna, reaksi oksidasi
pada sari apel juga mengeluarkan atom H dalam bentuk gas. Gas tersebut yang
terperangkap oleh larutan dan terbentuk filem-filem yang menyelimuti gas
sehingga terbentuk buih.

Jumlah buih pada pengamatan hari ke-2 sampai ke-7 semakin kecil bahkan
tidak ada. Hal tersebut dapat disebabkan karena stabilitas suspensi. Fenomena ini
telah sesuai dengan penjelasan Cherry dan McWaters (1981) yang menyatakan
bahwa terjadinya oksidasi akan menyebabkan agregasi (pengumpulan) dan
melemahnya permukaan filem dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih.

Jumlah buih yang dihasilkan akibat penambahan vitamin C berbeda-beda,


jumlah buih yang ditambah dengan vitamin C pada sampel yang tidak dikupas
lebih sedikit dibanding kontrol tanpa pemberian vitamin C. Sedangkan pada
sampel yang diberi perlakuan pengupasan memiliki jumlah buih yang banyak
pada sampel yang ditambah dengan vitamin C. Hal ini tidak sesuai dengan
literatur pembentukan buih yang telah disebutkan sebelumnya. Seharusnya
dengan adanya penambahan vitamin C maka reaksi oksidasi akan terhambat dan
jumlah pembentukan buih akan lebih kecil.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari praktikum oksidasi apel yang telah dilakukan


sebagai yaitu pemberian vitamin C dapat menghambat terjadinya oksidasi pada
jus apel, sehingga mampu menekan pembentukan warna yang semakin gelap,
pembentukan endapan dan pembentukan buih. Semakin lama waktu penyimpanan
maka warna jus apel yang terbentuk semakin gelap, endapan yang terbentuk
semakin banyak, dan buih yang terbentuk semakin sedikit. Perlakuan pengupasan
menyebabkan laju oksidasi semakin besar, akibatnya warna jus apel yang dikupas
lebih gelap, endapan lebih banyak, dan juga jumlah buih lebih banyak
dibandingkan jus apel tanpa dikupas.

6.2 Saran

Adapun saran untuk praktikum oksidasi buah selanjutnya yaitu sebaiknya


wadah yang digunakan untuk penyimpanan jus buah diseragamkan, karena
dimungkinkan dengan wadah yang berbeda akan menyebabkan reaksi oksidasi
pada setiap wadah berbeda pula, artinya luas permukaan wadah dapat berpengaruh
terhadap oksidasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Aoyama, S., & Yamamoto, Y. 2007. Antioxidant activity and flavonoid content of
Welsh onion (Allium fistulosum) and the effect of thermal treatment. Food
Science and Technology Research, 13, 67–72
Bastian. 2004. Mempelajari Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah
Apel Varietas Red Delicious (Malus Sylvetris). Seminar Hasil Penelitian.
Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanudin.
Beveridge, T. 1997. Haze and Cloud in Apple Juices. Critical Reviews in Food
Science and Nutrition. 37(1): 75-91
Brunner, H. R. And H. Tanner. 1986. Analysis of Beverages-enzymatic
procedures, beverage turbidities. Confructa Stud. 30, 183.
Carmelita, Gabriella. 2011. “Proses Pencokelatan pada Buah Apel.” Kompasiana.
Hal 7
Cherry, J. P. And K. H. Mc. Watters. 1981. Whippability and Aeration. American
Chemical Society Washington, D. C.
Christiane Queiros., Lopes, Maria L.M., Fialho, Eliane., and Mesquita, Vera L.V.,
2008. Polyphenol Oxidase : Characteristics And Mechanisms Of Browning
control. Food Reviews International, 24 :361-375
Friedman, M.(1996).Food browning and its prevention: an overview. Journal of
Agricultural and Food Chemistry, 44, 631–653.
Heatherbell, D. A. 1976. Haze Formation from Strach Degeration Products in
Apple Wine and Clarified Apple Juice. Confructa, 21, 36.
_______________. 1976. Haze and Sediment Formation in Clarified Apple Juice
and Apple Wine. II. The Role of Polyvalent Cations, Polyphenolics and
Protein. Food Technol. 11, 17.
Keiser, M. E, A. Pollard, and C. F. Timberlake. 1957. Metallic Components of
Fruit Juices. I. Copper as a Factor Affecting Sedimentation in Bottled Apple
Juices. J. Sci. Food Agric. 8, 151.
Kim, M., Kim, C. Y., & Park, I. 2005. Prevention of enzymatic browning of pear
by onion extract. Food Chemistry, 89, 181–184.
Melanti, Riska. 2013. Preparasi Porous Carbon dari Molase dan Aplikasinya
dalam Penurunan Efek Browning Sari Buah Apel. [Skripsi]. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang
Neubert, A. M. and M. K. Veldhuis. 1994. Clouding and Sedimentation in
Clarified Apple Juice. J. Fruit Prod. 23, 324.
Palupi, NS., FR Zakaria., dan E prangdimurti., 2007. Pengaruh Pengolahan
Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP. Departemen Ilmu &
Teknologi Pangan. IPB.
Persson, K. M and V. Gekas. 1994. Factors in Influencing Aggregation of
Macromolecules in Solution. Process Biochem. 29, 89.
Ruhiye Yoruk dan Marshal, Maurice R., 2003. Physicochemical Properties And
Function Of Plant Polyphenol Oxidase : A review 1, institute of food and
agriculture science, Food science and human nutrition department,
University of Florida.
Sapers, G.M. 1993. Browning of foods: control by sulfites, antioxidants and other
means. Food Technology, 47(10), 75–84
Siegbahn, P. E. M. 2004. The Catalytic Cycle of Catechol Oxidase. Journal of
Biological Inorganic Chemistry. 12. 1251-1264
Sufrida dan Maloedyn S. 2006. 30 Ramuan Penakluk Hipertensi. Edisi 1. Jakarta:
Agromedia Pustaka
Sufrida, Y., Irlansyah, Edi J, dan Mofatis W. 2004. Khasiat dan Manfaat Apel.
Jakarta: Agromedia. Hal 11, 26-28.
Untung. 1996. Apel: Jenis dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Whitney, R. 1997. Chemistry of Colloidal Substances: General Principles, Food
Colloids. Westport: AVI Publishing.

Anda mungkin juga menyukai