Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Morbus Hansen atau yang lebih dikenal dengan kusta atau lepra merupakan suatu
penyakit infeksi yang bersifat kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat.1 Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain. 1
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terbanyak di daerah tropik dan subtropik. Di
Indonesia diperkirakan kasus morbus hansen mencapai 1-3 per 10.000 penduduk atau menempati
urutan ke-4 terbanyak di dunia setelah India, Brazil, dan Bangladesh. Di Sulawesi Utara tahun
2006 jumlah kasus baru adalah 20,3 per 100.000 penduduk, angka prevalensi 2,2 per 10.000
penduduk, angka cacat tingkat II 4,7 % dan angka penderita anak usia < 15 Tahun 7,8%, angka
ini menunjukkan bahwa Sulawesi Utara termasuk daerah yang high endemic.2,3
Mycobacterium leprae atau kuman Hansen ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH
Armaeur Hansen pada tahun 1673. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan
ukuran 1-8, lebar 0,2 – 0,5, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam
sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Masa
belah diri kuman yaitu 2 – 21 hari. Oleh karena itu masa tunasnya itu menjadi lama, yaitu rata-
rata 3-5 tahun.4
Kusta memberikan gejala antara lain kelainan kulit yang berupa perubahan warna seperti
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan eritematosa. Gejala lainnya adalah hilangnya sensasi rasa.
Saraf tepi yang perlu diperhatikan ialah pembesarannya, kekenyalannya, dan nyeri atau tidak.
WHO Membagi kusta ke dalam tipe multibasilar dan pausibasilar, pada tipe multibasilar sering
terjadi pada orang dengan sistem imun yang rendah sehingga pada pemeriksaan bakteriologis
ditemukan adanya kuman penyebab kusta tersebut.5,6
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan cardinal sign ( gejala utama ), yaitu:
1.
Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar atau meninggi. Mati rasa bersifat total
atau sebagian saja terhadapa rasa sentuh, rasa suhu dan rasa nyeri.
2.
Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri, juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena yaitu :
 Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa
 Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralysis
 Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy, kulit atau saraf.7

Untuk mendiagnosis penyakit kusta pada seseorang, paling sedikit ditemukan satu
cardinal sign. Tanpa menemukan satu cardinal sign, kita hanya boleh mendiagnosis penyakit
penderita sebgai tersangka kusta. Penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3 – 6
bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan klinis, bakterioskopik, histopatologis dan
imunologis. Pemeriksaan histopatologik dapat membantu jika pemeriksaan klinis dan
bakterioskopik masih meragukan dan pemeriksaan imunologis alternative terakhir.4
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta yaitu pengobatan dengan multi obat
(MDT), Pengobatan multi obat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian
bulan pertama.5
Berikut ini dilaporkan suatu kasus Morbus Hansen tipe multibasilar pada seorang
penderita di Poliklinik Kulit dan Kelamin BLU RSUP. Prof. dr. R.D. Kandou Manado.
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F R
Umur : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Minahasa / Indonesia
Alamat : Kakaskasen III, Tomohon
Agama : Kristen protestan
Pekerjaan : Petani sayuran
Pendidikan : Tamat SLTA
Status Perkawinan : Sudah menikah
Tanggal Pemeriksaan : 28 April 2011

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Timbul bercak kemerahan di badan sejak ± 1 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Bercak kemerahan di badan dialami penderita sejak ± 1 tahun yang lalu. Awalnya
muncul bercak putih bulat seperti biji jagung di dada sejak ± 1 tahun lalu, kemudian
lama-kelamaan bercak putih mulai melebar dengan pinggiran kemerahan, penderita
berobat ke Puskesmas dan diberikan salep, penderita tidak mengetahui nama obatnya,
setelah menggunakan salep itu, penderita tidak merasa mengalami perubahan. Lama-
kelamaan bercak kemudian menyebar dan bertumbuh banyak di seluruh badan.
Bercak kemerahan disertai rasa tebal pada daerah bercak, tidak gatal, dan
penderita juga mengeluh tidak merasa nyeri bila mencubit daerah yang terkena. Kadang-
kadang penderita mengeluhkan kram didaerah yang terkena, kram biasanya hilang
timbul.
Sejak 2 bulan yang lalu penderita mengeluhkan adanya bercak merah pada wajah
yang semakin lama semakin banyak dan penderita lalu berobat ke puskesmas terdekat.
Dari puskesmas tersebut penderita diputuskan untuk dirujuk ke Poli kulit dan kelamin
RSUP. Prof. R.D. Kandou.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien baru kali ini mengalami penyakit dengan keluhan seperti ini dan tidak
pernah mengalami penyakit kulit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ibu penderita pernah sakit seperti ini.

Riwayat Alergi :
 Inhalan : Disangkal
 Makanan : Disangkal
 Obat : Disangkal
 Bahan Kimia : Disangkal

Riwayat Atopi :
 Asma disangkal
 Bersin di pagi hari disangkal
 Riwayat atopi dalam keluarga : disangkal

Riwayat Kebiasaan :
Penderita bekerja sebagai petani sayuran. Pasien mandi 2 x sehari, menggunakan
sabun batang, sumber air dari PAM, handuk dipakai sendiri, penderita mengganti pakaian
2x sehari.
Riwayat Sosial :
Pasien tinggal di rumah beton, dengan atap genteng, lantai nontegel, terdiri 2 buah
kamar, dihuni oleh 6 orang dewasa,WC dan kamar mandi terletak tidak terpisah dan
berada didalam rumah.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Genaral :
 Keadan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 TB : 170 Cm
 BB : 89 Kg
 Status Gizi : IMT : 30,79 Kg/m2(over weight)
 Tanda vital :
o Tekan Darah : 140/90 mmHg
o Nadi : 82 kali / menit
o Respirasi : 20 kali / menit
o Suhu Axilar : 36,50c
 Kepala :
o Mata : Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
o Hidung : Sekret (-)
o Telinga : Dalam batas normal
o Mulut : Dalam batas normal
 Leher :
o Pembesaran KGB (-)
o Trakea letak tengah
 Thoraks :
o Simetris, retraksi (-)
o Cor / Pulmo : Dalam batas normal
 Abdomen :
o Datar, lemas, bising usus (+) normal
o Hepar / Lien : Tidak teraba
 Ekstremitas superior et inferior : Akral hangat

Status Dermatologis :
 Regio fasialis : plak eritem, batas tidak jelas, tidak ada skuama.
 Regio thorako abdominal, regio skapularis, regio vertebralis, regio brachii-antebrachii
dextra et sinistra : plak eritem, batas jelas, ukuran numular – plakat , punch out (+),
tidak ada skuama.

DIAGNOSIS BANDING :
 Morbus Hansen Tipe Multibasilar
 Pitiriasis Rosea
 Tinea Korporis

PEMERIKSAAN KHUSUS :
 Pemeriksaan penebalan saraf tepi
o Nervus aurikularis magnus dekstra et sinistra : -/-
o Nervus ulnaris dekstra et sinistra : -/-
o Nervus peroneus communis dekstra et sinistra : -/-

 Tes Sensibiltas :
o Rasa raba : hipestesi pada daerah lesi
o Rasa nyeri : Hipestesia pada daerah lesi
o Rasa suhu : Hipestesi pada daerah lesi

 Pemeriksaan Bakteriologi :
o BTA (+), Solid (+), Globi (+), Fragmented (-)

DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen Tipe Multibasilar
TERAPI

1. Non Medikamentosa
 Beristirahat selama sakit mengingat perjalanan penyakit yang dialami pasien bisa
mengarah ke kondisi yang lebih buruk.
 Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan.
 Makan makanan dengan gizi seimbang secara teratur.
 Lindungi kaki dengan memakai sepatu/sandal yang wajar, karena telapak kaki adalah
tempat yang khas untuk penyakit leprosy.
 Perlunya ketaatan dalam pengobatan oleh pasien.
 Perlunya kontrol penyakit secara teratur di Puskesmas atau Poliklinik Penyakit Kulit
dan Kelamin.

2. Medikamentosa
MDT-MB : 12 strip dihabiskan dalam 12-18 bulan, dengan pemberian sebagai berikut :

 Hari Pertama di tiap awal bulan:


 Rifampisin 600 mg tablet
 Clofazimin 300 mg tablet
 Dapson 100 mg tablet

 Hari ke 2 – 28 bulan berjalan :


 Clofazimin 50 mg tablet per hari
 Dapson 100 mg tablet per hari

PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
DISKUSI

Diagnosis Morbus Hansen Tipe Multibasilar pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Kepustakaan menyebutkan bahwa untuk menetapkan diagnosis Morbus Hansen perlu
dicari tanda- tanda pokok, atau tanda cardinal diagnosis, yaitu:7
1. Bercak kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi
3. Ditemukan kuman tahan asam.
Dari anamnesis didapatkan adanya bercak- bercak kemerahan yang dialami penderita
sejak 1 tahun yang lalu di badan dan di wajah penderita sejak 2 bulan yang lalu, bercak tersebut
terasa menebal dan jika digaruk bercak tersebut kurang berasa. Bercak tidak disertai rasa gatal
dan nyeri. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa bila terdapat salah satu
dari tanda kardinal maka diagnosis kusta pada seorang penderita sudah dapat ditegakkan.
Pada pemeriksaan fisik terutama status dermatologis di regio fascialis ditemukan plak
eritem, batas tidak jelas, tidak ada skuama. Kemudian di regio thorako abdominal, regio
skapularis, regio vertebralis, regio brachii-antebrachii dextra et sinistra ditemukan adanya plak
eritematous, berbatas jelas, multiple, ukuran nummular sampai plakat, punch out (+), tidak ada
skuama.
Pada pemeriksaan sensibilitas yaitu rasa raba, rasa nyeri, dan rasa suhu didapatkan
hipoestesia. Pada penderita tidak ditemukan penebalan saraf. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan: BTA (+), solid (+), globi (+), fragmented (-).
Pada pasien ini didiagnosa dengan Morbus Hansen tipe multibasiler berdasarkan kriteria
WHO yaitu ditemukan jumlah lesi lebih dari 5, bercak eritematous, hilangnya sensasi dan
ditemukan kuman tahan asam (+).8
Diagnosis banding pada pasien ini adalah tinea korporis dan ptiriasis rosea karena
memberikan gambaran efloresensi yang sama yaitu makula eritematosa dengan pinggir
meninggi. Namun pada kasus ini ada beberapa faktor untuk menegakkan diagnosis ke arah
morbus hansen yaitu adanya gejala kehilangan sensibiltas pada kulit dan riwayat kontak
sedangkan pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya basil tahan asam pada pemeriksaan
bakteriologis. 10,11,12
Pengobatan pada Morbus Hansen yaitu dengan terapi non medikamentosa dan
medikamentosa. Terapi non medikamentosa berupa komunikasi informasi dan edukasi (KIE).
Beristirahat selama sakit mengingat perjalanan penyakit yang dialami pasien bisa mengarah ke
kondisi yang lebih buruk berupa kecatatan pada anggota tubuh, selain itu dari hasil pemeriksaan
bakteriologis ditemukan adanya kuman solid dan bentuk globi yang merupakan kuman yang
aktif dan dapat menyebarkan penyakit ke orang lain. Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan
yang merupakan salah satu faktor predisposisi untuk timbulnya manifestasi klinis dari infeksi
Mycobacterium leprae, ketika seseorang terinfeksi dengan Mycobacterium leprae gejala klinis
akan muncul jika dibarengi dengan faktor predisposisi. Makan makanan dengan gizi seimbang
yang dilakukan secara teratur agar pemenuhan gizi tercukupi walaupun pada pasien memiliki
status gizi yang baik dari perhitungan indeks massa tubuh. Perlunya ketaatan dalam pengobatan
oleh pasien, ketaatan dalam pengobatan merupakan kunci untuk mengeliminasi bakteri
Mycobacterium leprae yang ada dalam tubuh serta mencegah timbulnya resistensi dari obat yang
diberikan. Perlunya kontrol penyakit secara teratur di Puskesmas atau Poliklinik Penyakit Kulit
dan Kelamin untuk melakukan pemantauan terhadap efektifitas pengobatan dan perjalanan
penyakit untuk mencegah komplikasi dari penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae.1,9
Terapi medikamentosa dengan Multi Drug Treatment (MDT), yang diberikan berdasarkan
klasifikasi kusta menurut WHO yaitu, untuk kusta dengan tipe Multi-Basiler (MB). Diberikan
terapi Rifampicine 600mg/bulan (dosis supervisi) selama 12 bulan, Dapsone (Diamino Diphenyl
Sulfone/DDS) 100 mg/hari (di minum di rumah) selama 12 bulan, dan Clofazimine (Lamprene)
300 mg/bulan ( dosis supervisi) + 50 mg/hari ( diminum di rumah) selama 12 bulan, dengan
toleransi pengobatan MB sampai 18 bulan.2
Prognosis pada morbus hansen, dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan
menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik. Pada penderita ini prognosis baik,
karena diagnosis ditegakkan secara dini dan telah dilakukan pengobatan dengan tepat. Perjalanan
penyakit ke arah mortalitas pasien ini sangat jauh karena melihat keadaan umum dari pasien
tidak nampak sakit berat dan belum ditemukan adanya komplikasi yang bermakna dan telah
dilakukan diagnosa dengan tepat dan terapi yang tepat. Secara fungsional penderita dapat
kembali bekerja seperti hari-hari sebelumnya mengingat kondisi pasien saat ini belum
menunjukkan tanda-tanda kecacatan. Kemungkinan untuk terjadi reinfeksi kembali akan terjadi
jika pengobatan dilakukan tidak teratur dan menghentikan pengobatan sebelum terjadi eleminasi
dari kuman.1,6,9

Anda mungkin juga menyukai