Anda di halaman 1dari 176

ROSDA

،S k
Drs. Dharma Kesuma, M.Pd.
Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd.
Dr. H. Johar Permana, MA
٠ „,

Pendidikan
Kajian Te o ri dan Praktik di Sekolah

— ...

"٠٠٠٠٠٠٠,..
‫‪Drs. Dharma iküsuma. M.Pd.‬‬
‫آمﺀ ‪€‬‬ ‫؛‪J:،M،Pd‬‬
‫‪Triatrt‬‬
‫‪.‬؛‪B s te‬‬
‫‪.‬ه‪h ٢‬ﻫﻞ ‪٥٢. H.‬‬ ‫أ' ﻫﻳؤ‪'-‬روؤ‬

‫ﺳﻮأ ﺀ‬ ‫‪Pendidikan‬‬
‫أءﻫﻣﻣﻪ‪-‬ء‬ ‫ﻗﻘﻣﺢ' ﻫﺗﺄج‪#‬ﺋﺑم‬ ‫■^‬ ‫مءم‪ 1‬ه‬ ‫إأ ؟ ق|ﻣﺣﺊءام‬ ‫آل؟‬
‫ظﺈ؛‪:‬؛‪|:‬؛;‬ ‫||| و ؟'"‬ ‫ء؛؛| إم‬ ‫؛؛؛»‪i li ig‬‬

‫ﺀتﺀم'; ةﻫﺄزﻣﺢ>؛‬
‫آ;ﺟﻪ ؛•‬ ‫‪Pr<sh‬‬
‫؛؛‪K‬‬
‫‪SPkoteh‬اص‬

‫س‪،‬ءهءﻫﻣؤ‬ ‫آل‪.‬‬ ‫ﺻس‪>-‬‬ ‫؟ ء؛ا ‪*،‬‬

‫ﻣﻜﺎ‪.‬أو‪5‬ا‬
‫وك‬ ‫ص ‪ :.,‬ﺳم ‪ ,‬ة‪ ،‬م ‪ ،‬س‪/‬؛ء‬

‫ه‬

‫‪Penerbit PT REM AJA ROSDAKARYABandung‬‬


Kajian Teori dan Praktik di Sekolah

RR.PK0133-03-2012

Penulis Drs. Dharma Kesuma, M.Pd.


Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd.
Dr. H. Johar Permana, MA.
Editor Anang Solihin Wardan
Desainer sampul Guvun Slamet
Layout Kuswaya

Diterbitkan oleh PT REMAJA ROSDAKARYA


Jin. Ibu Inggit Gamasih No. 40
Bandung 40252
Tip. (022) 5200287
Fax. (022) 5202529
e-mail: ro.sdakaiyaCrosda.eo.id
www.rosda.eo.id

Anggota Ikapi
Cetakan pertama, Mei 2011
. • ٠ Cptakap kedua, Agustus 2011
Cetakan ketiga, Juni 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis

ISBN 978-979-692-044-0

Dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya Offset - Bandung


Kata
Pengantar

egala puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadirat Allah


SWT, dengan Hidayah, Inayah, dan Karunia-Nya, buku
tentang “Pendidikan Karakter” ini dapat terselesaikan. Jika
saja bukan karena kehendak-Nya, sesungguhnya tidak ada daya
dan kekuatan bagi kami untuk melakukan sesuatu.
Buku ini merupakan salah satu karya yang kami susun sebagai
bentuk kontribusi Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) FTP UPI dalam
mengembangkan teori dan praktik pendidikan yang lebih baik dari
waktu ke waktu. Selain didasarkan kepada pengalaman kami dalam
mengembangkan kurikulum pendidikan karakter di sekolah, buku
ini pun merupakan hasil refleksi dan diskusi-diskusi panjang yang
diawali sejak bulan September 2009.
Karenanya penyusunan buku ini pun tidak akan terwujud
manakala tidak ada kontribusi pemikiran dari sejawat kami (P3)
dalam berbagai diskusi. Dalam kesempatan ini kami haturkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berpikir bersama
dalam berbagai kajian bulanan kami, yaitu Prof. Dr. Ahman,
M.Pd., Prof. Dr. Mustofa Kamil, MA., Dr. H. Johar Permana, MA.
Dr. Hj. Emawulan, M.Pd & Drs. Dede Somarya, M.Pd. para dosen
Jurusan Pedagogik FIP UPI, para pimpinan Laboratorium yang
ada di lingkungan FIP, Dr. Dadang Rahman, M.Pd. Drs. Mastur
Burhanudin, M.Pd., MM.Pd., selaku Kasie $٧٨ Dinas Pendidikan
Provinsi Jabar, Drs. Eef $aehtl ^F., M.Pd. Drs. Eryanto, M.Pd.
tim pengembang kurikulum $٧٨ Provinsi Jabar, para pengelola,
kepala sekolah dan guru-guru di Medco Foundation, Perguruan ٨!
Azhar $}'‫؛؛‬a Budi Padalarang, Perguruan Daarul Hikam, dan semua
pihak yang telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan di
P3. Semoga Allah SWT memberikan kemulyaan dan keberkahan
kepada mereka semua.
Melalui buku ini kami berharap, semoga kajian mengenai teori
dan praktik pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik dari
waktu ke waktu. Ke depan, kami mengajak berbagai pihak yang
terkait dengan kajian pendidikan yang lebih baik untuk bergabung
dalam berbagai kegiatan di P3. $emoga Allah Yang Maha Kuasa
memberikan kemudahan dan keikhlasan kepada kami untuk terus
menjalani pengembangan teori dan praktik pendidikan untuk
membangun bangsa/umat yang lebih baik menyongsong Indonesia
emas.

Bandung, Mei 20i 1

Tim Penulis
Daftar Isi
Bab I
Memaknai Pendidikan Karakter 1
A. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Bangsa
Indonesia 1 .
B. Pengertian Pendidikan Karakter : 4
C. Tujuan pendidikan Karakter dalam Seling Sekolah
D. Karakter yang Perlu Bagi Bangsa‫؛‬، Indonesia 11
1. Jujur 16
2. Kerja keras 17
3. Ikhlas 20
E. Analisis Persamaan dan Perbedaan Karakter, Akhlak, dan
Moral 22

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah 31


A. Rambu-Rambu Pengembangan Pendidikan
Karakter 31
Elaborasi Pengetahuan Moral dari Lickona 71
Pengetahuan moral 71
Elaborasi Perasaan Moral dari Lickona 75
Perasaan moral 75
Tindakan moral 78

B. Rambu-Rambu Penyusunan dan Pengembangan Silabus dan


RPP untuk Pendidikan Karakter 85
Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 91
A. Memaknai Desain Pembelajaran untuk Pendidikan
Karakter 91
1. Makna Belajar dalam Pendidikan Karakter 91
2. Makna Pembelajaran dalam Pendidikan
Karakter 108
3. Dua Bentuk Pembelajaran dalam Pendidikan
Karakter 113

B. Model Reflektif 117


1. Asumsi Dasar 117
2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Reflektif 120
3. Proses Pembelajaran Model Reflektif 121
4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Reflektif 125

C. Model Pembelajaran Pembangunan Rasional 125


1. Asumsi Dasar Model Pembangunan
Rasional (MPR) 125
2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Pembangunan
Rasional (MPR) 128
3. Proses Pembelajaran Model Pembangunan Rasional
(MPR) 129
4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Pembangunan
Rasional (MPR) 135

Bab 4
Evaluasi Pendidikan Karakter 137
A. Evaluasi Pendidikan Karakter 137
B. Evaluasi Diri Anak 142
C. Penilaian Portofolio 147

Daftar Pustaka 155


Biodata Penulis 159
RESUME

uku tentan g “Pendidikan K arak ter di Sekolah; K ajian


Teori dan Praktik Desain, Proses, dan Evaluasi Pendidikan
Karakter Latar Sekolah” merupakan buku vang mengajak
para dosen, peneliti, guru, kepala sekolah, pengawas, pem buat
kebijakan pendidikan di kab./kota, provinsi, dan nasional untuk
mencemiati mengenai permasalahan pendidikan kita saat ini. Hasil
kajian kami di Pusat Pengkajian Pedagogik UPI menunjukkan teori
dan praktik pendidikan masih belum bersinergi. Teori yang sering
dibahas di dunia perkuliahan belum teipadu dengan praktik yang
terjadi di dunia praktik pendidikan, khususnya pada pendidikan
iomial pada latar sekolah.
Dengan latar belakang kondisi bangsa Indonesia yang dicirikan
oleh krisis multidimensi dan keterpurukan dalam berbagai dimensi
sem entara sum ber daya potensial bangsa ini pun tidak terkira
melimpah ruah, tetapi kondisi yang dirasakan oleh banyak orang
(rakyat) adalah jauhnya kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan
dari kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Kompleksitas masalah
tidak dimaksudkan tuduhan kami terhadap kinerja pemerintah yang
rendah, tetapi lebih kepada ajakan kepada sem ua pihak untuk

v ii
,bersinergi dalam pemecahan masalah bangsa ini seeara simultan
berkelanjutan, dan menyeluruh menuju Indonesia emas
2020 .
Buku ini kami awali dengan kajian untuk memahami pendidikan
karakter yang mengkaji secara khusris mengapa pendidikan karakter
perlu untuk membangun dan mengeluarkan bangsa‫؛‬٨ dari krisis ‫؛‬
m ultidim
mengenai
ensi, lalu
m akna
kami
pendidikan
tegaskar ‫؛‬
karakter, tujuan pendidikan karakter, berbagai karakter yang perlu
bagi bangsa Indonesia saat ini, dan eksplorasi mengenai persamaan
dan perbedaan istilah yang sering ‘d igunakan dalam pendidikan
.karakter
Balam bab 2 kami m encoba m enyuguhkan desain pendidikan
karakter yang kami geluti dari Septembei 2009. Bab ini m encoba
m em berikan kom parasi m engenai desaitt pendidikan karakter dilihat
dari silabus dan RPP, Dalam bal ini kam i m enegaskan bahw a
pendidikan karakter y'airg kam i m aksud bukan m enam bah m ata
p elajaran b aru a ta u m e n a m b a h SK d an KD baitt. P endidikan
karakter dalam latar sekolah yang kam i bahas adalah pendidikan
yang m engem balikan desain dan proses pendidikan sebagaim ana
tertuang
peraturan
dalam pem
teori
ndang-undangan
pedagogik d a i ‫؛‬
yang ada. Dalam bahasa l'ektoi' DPI disebut “resureksi,1’ m enghidupkan
.kembali yang sridalr mati atau tertidur lam a
Bab 3 kam i isi d e n g a n m odel-m odel p em b e laja ra n dalam
perspektif pendidikan karakter. Kami m encoba m engungkap ‫ا؟اآاﻣﺤﻆ‬
pembelajaran, di sekolah1‫ وا‬.‫ آأ‬.‫ﻣﺤﻦ‬.selalu dikaitkan dengan nilai y ;;،«g
dirujuk sekolahn KTSPvang
dan tertuang
dikeml^uigkan‫؛؛‬
dalam visi d
oleli sekolah, ,^emalraml akan hal ini. maka ‫ﻳﺎ‬:‫أ؛‬،‫ ﺻﺊ‬nieiigeriai model
ai'atr dalam pendidikan.'‫؛‬
peiatbel،i ‫م؛ﻟﺒﺎوط‬.‫ ا‬،‫ أم‬,mengarah
' p ntuk
yaitu pembelaj،ann-‫؛‬
;‫؛ اا'ألأﻳﺨﺄأأالب‬.‫آ‬ l.aa ;"■embd ajaran rellektit I‫'؛‬
,.‫؛'؛‬
v'■ jauh
,nagian ini akan mengeksploras! mengenai hakikat, prinsip ' roses '
,km evaluasi rnasmgmiasma pembelajaran ،
Pada bab 4 , ١٢٨١٣،.' engenai
mencobabagaimana■»'‫؛‬
membahas
mendesain, melakukan, dan mengolah evaluasi terhadap kepemilikan
karakter yang dikembangkan daiam pembelajaran. Evaluasi juga
dilengkapi dengan instrum en yang' dapat dijadikan rttjukan oleh
.para pengkaji, peneliti, praktisi untuk m engev^tasi suatu Irarakter
e،mr'a keseluruhan, buku $‫؛‬٨ ,mengkaji
‫؛‬ bagaim ana desain
proses, dan evaluasi pendidikan karakter dalam latar sekolah ,
Buku ini merupakan salah satu program kami (P3) yang secara
keseluruhan terlihat pada desain pedagogik bangsa. Pedagogik
bangsa adalah suatu grand design aplikasi pedagogik dalam konteks
pem bangunan bangsa Indonesia saat ini pada berbagai wilayah
pendidikan. Sasaran pembangunan melalui pendidikan ini adalah
pendidikan di persekolahan, pendidikan di keluarga, dan pendidikan
di tempat kerja.
Pendidikan di persekolahan meliputi pedagogik di TK, SD, SMP,
SM A, SMK, dan perguruan tinggi. Pedagogik di keluarga meliputi
pedagogik pada keluarga di m asyarakat perkotaan, m asyarakat
pinggiran kota, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat. Pedagogik
di tempat kerja meliputi pedagogik pada organisasi pem erintah,
pedagogik pada organisasi bisnis, dan pedagogik pada organisasi
sosial nonpemerintahan. Gambaran keseluruhan pedagogik bangsa
ini dapat dilihat bagan berikut ini.

IX
Gambar ٦ Road map kegiatan penyusunan desain teori dan praktik pedagogik bangsa

—> Pedagogik di TK

f ١ Pedagogik di‫| ؛‬
: i M kcn
cr
٢٨
Pedagogik di SMP
=‫؛‬
٢٨

“0D
CL
0 , Pedagogik di SMA
٢٥
O
٢٥

\ / Pedagogik di SMK

Pedagogik di PT

Pedagogik masyarakat
perkotaan

0
o

H
CL Pedagogik masyarakat
o_
o pinggiran kota
٢٥

“00
Q
0l Pedagogik masyarakat
٢٥ pedesaan
O
٢٥
7T
V y
Pedagogik masyarakat
adat

١
Pedagogik masyarakat
m organisasi pemerintah
9L
0٢٨
Pedagogik masyarakat
organisasi bisnis
٥.
0
٢٥
O
٢٥
Pedagogik masyarakat
7T
organisasi sosial non
V y pemerintah
Memaknai
Pendidikan Karakter

A. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi


Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya
sejak 17 Agustus 1945 memiliki kondisi yang unik dilihat dari
perkembangannya sampai saat ini. Kurang lebih sudah 65 tahun
Rakyat Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara secara
merdeka yang diakui oleh negara-negara lain di dunia. Keunikan ini
tidak saja dilihat dari keberagaman komponen dan kekayaan yang
dimiliki bangsa ini, tetapi juga dilihat dari kondisi yang dialami
bangsa Indonesia saat ini. Komponen bangsa Indonesia terdiri
dari beragam konteks sosial dan budaya yang terus berkembang
dari waktu ke waktu. Dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia dapat dikategorikan sangat melimpah disertai dengan
letak kepulauan yang berada di lintasan khatulistiwa, tanah yang
subur, air yang melimpah, udara yang segar, kekayaan sumber enegi
dan mineral yang melimpah di dalam tanah dan laut, semuanya
memberikan keunikan terhadap bangsa ini.

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Namun demikian, keunikan juga dapat kita lihat dari kondisi yang
ada, dirasakan, dan telah menjadi ciri khas bangsa ini. Seharusnya
dengan kondisi sosial budaya dan kekayaan alam yang melimpah,
rakyat Indonesia dapat merasakan kehidupan yang makmur dan
sejahtera dari waktu ke waktu. Kenyataan yang dialami oleh bangsa
ini menunjukkan kondisi yang berbeda dengan logika kekayaan
sosial, budaya dan alam. Kondisi yang dialami menunjukkan bahwa
kekayaan alam tereksploitasi besar-besaran, pembangunan industri
terjadi terus-menerus (walaupun kondisinya turun naik dari waktu
ke waktu), dan pergantian pemerintahan terus berlangsung dari
waktu ke waktu secara damai, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia
belum mendapatkan dan mengalami kehidupan yang makmur dan
sejahtera.
Berbagai pengalaman ini menunjukkan bahwa bangsa ini
merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang
dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang dan pihak bertanya-
tanya, “apa yang salah dengan bangsa ini?” dalam berbagai perspektif?
sudut pandang orang banyak jawaban yang menjadi hipotesis
masing-masing orang dan pihak.
Sejenak, mari kita melihat beberapa indikasi tentang "apa yang
salah dengan bangsa ini?”
1. Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal
ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja
(generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja,
tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno pada
kalangan pelajar, dan sebagainya. Data hasil survey mengenai
seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukkan 63%
remaja Indonesia melakukan seks bebas, (www.wahdah.or.id/
wis/index2.php?option=com_content&do_pdf...). Menurut Direktur
Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M
Masri Muadz, data itu merupakan hasil survai oleh sebuah
lembaga survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di
Indonesia pada tahun 2008. Sedangkan remaja korban narkoba
di Indonesia ada 1,1 juta orang atau 3,9% dari total jumlah
korban (http://hizbut-ta.hrir.or. id/2009/12/01/jabar-masih-darurat-
hivaids-dan-seks-bebas/.). Berdasarkan data Pusat Pengendalian
Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA,
yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318

2 Memaknai Pendidikan Karakter


siswa dari total 1.64?.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26
siswa di antaranya meninggal dunia, (http://www.beritajaka.rta.
com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=32527&idwil=0).
Pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (Lulusan SMA,
SMK dan perguruan tinggi). Data Badan Pusat Statistik atau
BPS menyebutkan, lulusan SMK tertinggi yakni 17,26%,', disusul
^ a ^ S M A ( ^ o l ^ Menengah Atas) 14,31%, lulusan universitas
12,59%, serta Diploma LII/III 11,21%). Tamatan SD ke bawah
justru paling sedikit menganggur yakni 4,57 persen dan SMP
9,39%, SMA 9,43 jiwa (8,46%). (sumber: http://\Wi>w.tribunjabar.
co.id/read/artikeI/4317/tentangkami).
Rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila,
kejahatan, tindakan kriminal pada semua sektot' pembangunan,
dll). Korupsi semakin bertambah merajalela. Berdasarkan Indeks
Persepsi Korupsi (1PK) Indonesia tahun 2009 ini naik menjadi
2,8% dari 2,6% pada tahun 2008. Dengan skor ini, peringkat
Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni berada di urutan
111 dari 180 negara (naik 15 posisi dari tahun lalu) yang
disurvai IPK-nya oleh Transparancey International (Tl). (http://
www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=942).
Bencana yang sering/terus berulang dialami oleh bangsa
Indonesia (dapat diduga sebagai azab atau bodohnya bangsa ini
dalam memecahkan masalah lingkungan, seperti banjir, longsor,
kebakaran). Wilayah Indonesia dilanda 6.632 kali bencana
selama kurun waktu 13 tahun (1997-2009) yang menunjukan
negara ini sebagai daerah rawan bencana di dunia. Bencana
paling banyak terjadi pada tahun 2008 >ang mencapai 1.302
kali. (Ridwan Yunus: programme Asociate Crisis Prevention and
Rocovery Unit lembaga PBB, UNDP yang juga Koordinator
Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana), (http://
www.republika.co.id/berita/104656/indonesia-dilanda-6632-bencana-
selama-1997-2009).
Kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah, llal
ini sebagaimana dikemukakan oleh BPS (online: http://www.
targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id~734
&ltemid=5).

Memaknai Pendidikan Karakter


6. Daya kompetitif yang rendah, sehingga banyak produk dalam
negeri dan sumber daya manusia yang tergantikan oleh produk
dan sumber daya manusia dari negeri tetangga atau luar negeri.
7. Inefisiensi pembiayaan pendidikan. Inefisiensi biaya pendidikan
ini dapat diidentifikasi dari rendahnya dampak yang dihasilkan
dari biaya yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan baik
mikro, messo, maupun makro. Angka pengangguran yang terus
bertambah menunjukkan bahwa lulusan pendidikan persekolahan
kita sampai saat ini belum mampu menjawab perubahan
zaman dan kompetisi yang ketat dengan bangsa-banga lain.
(Dikembangkan dari naskah Pusat Pengkajian Pedagogik, 2010:
1- 2 )

Fenomena nyata yang dialami dan terjadi pada bangsa ini


sebagaimana tergambar dalam data-data tersebut menunjukkan
bahwa “sungguh unik bangsa ini.” Pandangan tentang keunikan ini
harus mengarahkan pandangan dan pikiran kita untuk menelaah
lebih jauh mengenai apa penyebabnya, bagaimana memecahkannya,
dan bagaimana bangsa ini dibangun untuk masa depan yang lebih
baik, serta sukses di dunia dan bahagia di akhirat.
Pembentukan Negara Indonesia bukan suatu yang kebetulan,
tetapi berdasarkan pada cita-cita luhur bangsa Indonesia yang dapat
kita lihat secara nyata dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan
yang dideklarasikan pada 65 tahun ke belakang oleh Soekarno
dan Mohamad Hatta dan juga dapat dilihat pada Undang-Undang
Dasar 1945.

B. Pengertian Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari
semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini.
Terlebih dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan
dilihat dari perilaku lulusan pendidikan formal saat ini, semisal
korupsi, perkembangan seks bebas pada kalangan remaja, narkoba,
tawuran, pembunuhan, perampokan oleh pelajar, dan pengangguran
lulusan sekolah menengah dan atas. Semuanya terasa lebih kuat
ketika negara ini dilanda krisis dan tidak kunjung beranjak dari
krisis yang dialami.

4 Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Istilah pendidikan karakter masih jarang didefinisikan oleh
banyak kalangan. Kajian secara teoretis terhadap pendidikan karakter
bahkan salah-salah dapat menyebabkan salah tafsir tentang makna
pendidikan karakter. Beberapa masalah ketidaktepatan makna yang
beredar di masyarakat mengenai makna pendidikan karakter dapat
diidentifikasi di antaranya sebagai berikut.
1. Pendidikan karakter = mata pelajaran agama dan PKn, karena
itu menjadi tanggung jawab guru agama dan PKn.
2. Pendidikan karakter = mata pelajaran pendidikan budi pekerti.
3. Pendidikan karakter = pendidikan yang menjadi tanggung jawab
keluarga, bukan tanggung jawab sekolah.
4. Pendidikan karakter = adanya penambahan mata pelajaran baru
dalam KTSP.
5. Dan sebagainya.

Berbagai makna yang kurang tepat tentang pendidikan karakter


itu bermunculan dan menempati pemikiran banyak orang tua, guru,
dan masyarakat umum.
Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi (2004:95),
“sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif
kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry
Gaffar (2010:1): “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan
untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi
tersebut, ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi
nilai-nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan 3)
menjadi satu dalam perilaku.
Dalam konteks kajian P3, kami mendefinisikan pendidikan
karakter dalam seting sekolah sebagai “Pembelajaran yang mengarah
pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang
didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.”
Definisi ini mengandung makna:
1) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi
dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran;

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter I 5


2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak
seeara utuh. Asumsinya anak merupakan organisme manusia
yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan diambangkan;
3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang
dirujuk sekolah (lembaga).

C. Tujuan Pend‫؛‬dil<an Karakter dalam


$et‫؛‬n^ Sekolah
Sebelum mengkaji tentang tujuan pendidikan karakter dalam seting
sekolah, perlu kita renungkan sebuah pertanyaan berikut “Apakah
tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UUSPN
No. 20 tahun 2003 bersesuaian dengan pendidikan karakter?”
Analasis vang telah dilakukan oleh Pusat Pengkajian Pedagogik
(2010:2-3) dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan tentang tujuan
pendidikan nasional.
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan
landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan
mampu menyiapkan generasi masa depan untuk dapat bertahan hidup
(survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No.20
tahun 2003 Bab 2 Pasal 3:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Aattg Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, ‫دﻟ؛ﺊ>اﻳﺊ’ا‬, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa sehamsnya
memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus
berdampak pada watak manusia/bangsa Indonesia. Fungsi ini amat
berat untuk dipikul oleh pendidikan nasional, terutama apabila
،،‫؛‬kaitkan dengan siapa yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan
hrngsi ini.

M em adai Pendidikan Karakter


“Mengembangkan kemampuan” dapat dipahami bahwa pendidikan
nasional menganut aliran konstruktivisme, yang mempercayai
bahwa peserta didik adalah manusia yang potensial dan dapat
dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Artinya
setiap layanan pendidikan yang ada di Indonesia harus dipersepsi
secara sama bahwa peserta didik itu memiliki potensi yang luar
biasa dan perlu di fasilitasi melalui proses pendidikan untuk
mengembangkan potensinya. Namun demikian, kemampuan apa
yang harus dikembangkan oleh pendidikan itu masih belum tersirat
secara jelas, apakah kemampuan watak yang perlu dikembangkan
dalam pendidikan atau kemampuan akademik, kemampuan sosial,
kemampuan religi, ini pun belum secara jelas dapat dipahami dari
pernyataan UUSPN tersebut.
Dalam konteks pendidikan karakter, kami melihat bahwa
kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui
persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan
manusia sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada
konsep ketuhanan) dan mengemban amanah sebagai pemimpin
di dunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta
didik Indonesia adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan
yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri,
kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan
makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini
sebagai wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Fungsi kedua, “membentuk watak” mengandung makna bahwa
pendidikan nasional harus diarahkan pada pembentukan watak.
Pendidikan yang berorientasi pada watak peserta didik merupakan
suatu hal yang tepat, tetapi perlu diperjelas mengenai istilah
perlakuan terhadap "watak”. Apakah watak itu harus "dikembangkan”,
“dibentuk”, atau “difasilitasi”. Perspektif pedagogik, lebih memandang
bahwa pendidikan itu mengembangkan/menguatkan/memfasilitasi
watak, bukan membentuk watak. Jika watak dibentuk, maka tidak
ada proses pedagogik/pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran.
Perspektif pedagogik memandang dan mensyaratkan untuk terjadinya
proses pendidikan harus ada kebebasan peserta didik sebagai subjek
didik, bukan sebagai objek. Jika peserta didik diposisikan sebagai
objek, maka hal ini tentu bertolak belakang dengan fungsi yang
pertama, bahwa pendidikan itu berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan yang dilandasi oleh pandangan konstruktivisme.

Memaknai Pendidikan Karakter 7


Fungsi ketiga “peradaban bangsa”. Dalam spektrum pendidikan
nasional dapat dipahami bahwa pendidikan itu selalu dikaitkan
dengan pembangunan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa.
Apabila dikaitkan dengan indikator peradaban seperti apa yang
dapat merepresentasikan pendidikan nasional dan siapa yang
bertanggungjawab untuk fungsi ini maka kondisi ini menjadi samar
atau tidak. Dalam persfektif pedagogik, pendidikan itu berfungsi
untuk menjadikan manusia yang terdidik. Apakah manusia terdidik
akan menjadikan bangsanya terdidik? Menjawab hal itu, maka ada
sejumlah kondisi lain untuk dapat menjadikan bangsa yang beradab,
seperti sistem kenegaraan, situasi dan kondisi negara, dan situasi
serta kondisi global. Jadi tidak serta merta (otomatis) manusia yang
terdidik akan menjadikan bangsa yang beradab. Analisis ini merujuk
pada waktu terwujudnya sejak dimilikinya manusia terdidik sampai
terwujudnya bangsa yang terdidik itu akan memerlukan waktu yang
cukup panjang. Dengan kata lain, bangsa yang beradab merupakan
dampak dari pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik.
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas
mengandung filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman
sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau
dilengkapi. Sebab filosofi pendidikan educare lebih cenderung mau
mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan
dan keterampilan. Karena itu, filosofi pendidikan educare amat memberi
penekanan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian
yang baku dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses pendidikan
tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya
pemberian materi. Lalu bagaimana dengan karakter yang harus
muncul dan menjadi pribadi anak? Apakah hal ini juga dievaluasi
menjadi syarat kelulusan pada jenjang tertentu? Bukankah tujuan
pendidikan lebih menekankan pada karakter bukan simplikasinya
(penyederhaan) dalam bentuk skor yang tidak mencerminkan atau
bertolak belakang dengan perilaku nyata peserta didik/lulusan.
Singkat kata, bahwasanya tujuan pendidikan nasional mengarah
pada pengembangan berbagai karakter manusia Indonesia, walaupun
dalam penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksudkan
dalam UU. Secara singkat, pendidikan nasional seharusnya pendidikan
karakter bukan pendidikan akademik semata. Akan hal ini, Sunaryo
Kartadinata (2010:3) menegaskan:

Memaknai Pendidikan Karakter


Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka
ujian, seperti halnya ujian nasional, adalah sebuah kemunduran,
karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses
menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma
ini menempatkan peserta didik sebagai pelajar imitatif dan belajar
dari ekspose-ekspose didaktis yang akan berhenti pada penguasaan
fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan
esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas.
Lalu apa tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah?
Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai
berikut:
1. menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang
dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian?
kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai
yang dikembangkan;
2. mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan
nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah;
3. membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan
masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan
karakter secara bersama.

Tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan


dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam
perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses
sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan dan pengembangan
memiliki makna bahwa pendidikan dalam seting sekolah bukanlah
sekedar suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah
proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi
bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam
perilaku keseharian manusia, termasuk bagi anak. Penguatan juga
mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasan yang disertai
oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses
pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam seting kelas
maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan
antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan
pembiasaan di rumah.
Berdasakan kerangka hasil/output pendidikan karakter seting
sekolah pada setiap jenjang, maka lulusan sekolah akan memiliki

Memaknai Pendidikan Karakter


sejumlah perilaku khas sebagaimana nilai yang dijadikan rujukan
oleh sekolah tersebut. Lalu bagaimana dengan prestasi akademik
peserta didik? Apakah prestasi akademik mereka juga menjadi
tujuan yang harus dicapai oleh anak atau tidak?
Asumsi yang terkandung dalam tujuan pendidikan karakter
yang pertama ini adalah bahwa penguasaan akademik diposisikan
sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan
pengembangan karakter. Atau dengan kata lain sebagai tujuan
perantara untuk terwujudnya suatu karakter. Hal ini berimplikasi
bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara kontekstual.
Tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengkoreksi perilaku
peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa
pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai
perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang
dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses
yang pedagogis, bukan suatu pemaksaan atau pengkondisian yang
tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku
negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan
keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan
berdasarkan tingkat dan jenjang sekolahnya. Apabila digambarkan
sebagai berikut:

Perilaku negativ/ Perilaku positif/


Mengarah negatif (-) Mengarah positif (+)

٠
٢

\
Koreksi Pola pikir/mindset/
paradigma
٠ Penguatan Pola pikir/mindset/ T
paradigrrla /
\ ٠ Keteladanan dari lingkungan
٠
٠ Keteladanan dari lingkungan /
Pembiasaan di kelas, sekolah, ٠ Pembiasaan di kelas, sekolah
dan

Gambar 1.1. Proses koreksi pada perilaku negatif

Tujuan ketiga dalam pendidikan karakter seting sekolah adalah


membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat
dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara
bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan

Memaknai Pendidikan Karakter


karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di
keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu
pada interkasi antara peserta didik dengan guru di kelas dan
sekolah, maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan
sangat sulit diwujudkan. Mengapa demikian? Karena penguatan
perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan
suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak.
Dalam setiap menit dan detik interaksi anak dengan lingkungannya
dapat dipastikan akan terjadi proses mempengaruhi perilaku anak.
Pertanyaannya apakah proses yang dialami oleh anak ini menguatkan
atau bahkan melemahkan karakter yang dibangun oleh sekolah?

D. Karakter yang Diperlukan Bangsa


Indonesia
Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku anak itulah yang disebut
karakter. Jadi suatu karakter melekat dengan nilai dari perilaku
tersebut. Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari
nilai. Hanya barangkali sejauhmana kita memahami nilai-nilai yang
terkandung di dalam perilaku seorang anak atau sekelompok anak
memungldnkan berada dalam kondisi tidak jelas. Dalam arti bahwa
apa nilai dari suatu perilaku amat sulit dipahami oleh orang lain
daripada oleh dirinya sendiri. Dalam kehidupan manusia, begitu
banyak nilai yang ada di dunia ini, sejak dahulu sampai saat ini.
Beberapa nilai dapat kita identifikasi sebagai nilai yang penting bagi
kehidupan anak baik saat ini maupun di masa yang akan datang,
baik untuk dirinya maupun untuk kebaikan lingkungan hidup di
mana anak hidup saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat
yang mencerminkan akhlak/perilaku yang luar biasa tercermin pada
Nabi Muhamad Saw, yaitu: (1) sidik, (2) amanah, (3) fatonah, (4)
tablig. Tentu dipahami bahwa empat nilai ini merupakan esensi,
bukan seluruhnya. Karena Nabi Muhamad Saw. juga terkenal dengan
karakter kesabarannya, ketangguhannya, dan berbagai karakter lain.
Sidik yang berarti benar, mencerminkan bahwa Rasulullah
berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar,

Memaknai Pendidikan Karakter


dan berjuang untuk menengakkan kebenaran. Amanah yang berarti
jujur atau terpercaya, mencerminkan bahwa apa yang dikatakan
dan apa yang dilakukan Rasulullah dapat dipercaya oleh siapa
pun, baik oleh kaum muslimin maupun nonmuslim. Fatonah
yang berarti cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan
profesional. Artinya, perilaku Rasullah dapat dipertanggungjawabkan
kehandalannya dalam memecahkan masalah. Tablig yang bermakna
komunikatif mencerminkan bahwa siapa pun yang menjadi lawan
bicara Rasullullah, maka orang tersebut akan mudah memahami
apa yang dibicarakan/dimaksudkan oleh Rasulullah.
Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku/karakter dari berbagai
pihak. Di bawah ini berbagai nilai yang dapat kita identifikasi
sebagai nilai-nilai yang ada di kehidupan saat ini.

Tabel 1.1. Nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupan manusia

Nilai yang terkait Nilai yang terkait dengan Nilai yang terkait
dengan diri sendiri orang/makhluk lain dengan ketuhanan

Jujur Senang membantu Ikhlas


Kerja keras Toleransi Ikhsan
Tegas Murah senyum Iman
Sabar Pemurah Takwa
Ulet Kooperatif/mampu Dan sebagainya
bekerjasama
Ceria Komunikatif
Teguh Amar maruf (menyeru kebaikan)
Terbuka Nahi munkar
(mencegah kemunkaran)
Visioner Peduli (manusia, alam)
Mandiri Adil
Tegar Dan sebagainya
Pemberani
Reflektif
Tanggung jawab
Disiplin
Dan sebagainya

12 I Memaknai Pendidikan Karakter


Tabel 1.2. Nilai yang dikembangkan oleh Arry Ginanjar dalam 7 budi
utama

No Tujuh budi (nilai) yang diusung

1. Jujur
2. Tanggung jawab
3. Visioner
4. Disiplin
5. Kerja sama
6. Adil
7. Peduli

Apa yang dirumuskan oleh Ary Ginanjar Agustian di atas


merupakan hasil refleksi terhadap peijalanan bangsa ini dari waktu
ke waktu. Secara umum, kondisi bangsa yang dirasakan saat ini
berbeda dengan apa yang menjadi karakteristik bangsa. Ary Ginanjar
(2008: iv-v) mengemukakan:
Kini yang utama bukanlah "budi”. Karena itu bangsa Indonesia
mengalami krisis yang luar biasa karena yang utama pada bangsa
ini adalah “kekuasaan”, “harta”, dan "jabatan”. Sementara itu budi,
moral, etika, akhlak, tidak lagi dinomorsatukan.
Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman (2005 :xvii) dalam bukunya
yang berjudul Karakteristik Lelaki Shalih mengemukakan sejumlah
karakter lelaki salih yang secara garis besar digambarkan sebagai
lelaki yang bersih jiwanya, lurus akidahnya, dan benar amalnya.
Karakter lelaki saleh menurut beliau yaitu:

Tabel 1.3 Karakter lelaki salih menurut Abu Muhammad Jibriel Abdul
Rahman

No Sifat dan Karakter

1. Ikhlas dalam beramal


2. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
3. Program hidupnya Jihad fi Sabilillah
4. Sangat rindu syahid fi sabilillah
5. Sabar menghadapi ujian Allah
6. Negeri akhirat tujuan utamanya

Memaknai Pendidikan Karakter I I3


7. Sangat takut kepada Allah dan ancaman-Nya ‫؛‬
8. Bertobat dan mohon ampun atas dosa-dosanya
9. Shalat malam menjadi kebiasaannya
10. Zuhud dunia dan mengutamakan akhirat ‫؛‬
11. Tawakal kepada Allah
12. Senantiasa gemar berinfak
13. Kasih sayang sesama mukmin dan keras terhadap orang kafir
14. Senantiasa berdakwah dan amar ma'ruf nahi munkar
Kuat memegang amanah, janji, dan rahasia i
16. Bersikap santun menghadapi kebodohan manusia
17. ‫ ؛‬Cinta kasih dan penuh pengertian terhadap keluarga

Tabel 1.4 Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan menurut Indonesia


Heritage Foundation (IHF)

No Karakter

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence,


loyalty)
Kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self
2 reliance, discipline, orderliness)
3. Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience)
5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong (love, compassion,
caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras (confidence, assertiveness,
6 creativity, resourcarefulness, courage, determ ination and enthusiasm)
7. Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
Toleransi dan kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility,
9 peacefulness, unity)
Sumber: Ratna Megawangi, 2004:95

Untuk kepentingan pendidikan karakter dalam seting sekolah,


sekolah perlu mengembangkan sejumlah nilai yang dianggap
penting untuk dimiliki setiap lulusannya. Dalam perspektif Lickona
(1991:43), nilai yang dianggap penting untuk dikembangkan menjadi
karakter ada dua, yaitu respect (hormat) dan responsibility (tanggung

14 I Memaknai Pendidikan Karakter


jawab). Lickona menganggap penting 1<‫ ﻗﺎإا< ال اااأﺀ‬،‫ أ‬tersebut ‫ ) ا ال اآااا‬١>:)
pembangunan kesehatan pribadi seseurang, (2) menjaga hubungan
interpersonal, (3) sebuah masyarakat yang manusiawi dan demokratis,
dan (4) dunia yang lebih adil dan damai.
Nilai yang manakah yang perlu t‫؛‬ntuk kondisi bangsa ‫)اأآاا‬:«‫اﺗﺈﺑﻢ' اآ‬
saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini setiap orang dan setiap
pihak akan memiliki alasan I^sing-m asing untuk memilih nilai yang
dianggap penting untuk pembangunan Indonesia. Untuk memudahkan
kita memilih nilai yang mana yang perlu dikembangkan oleh bangsa
saat ini dan ke depan, maka perlu untuk dikaji mengenai kondisi
dan pem iasalahan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia dalam
mewujudkan nicisyarakat vang cerdas, adil dan m akm ur sebagaimana
dicita-citakan oleh pendiri negara Indonesia.
Kondisi bangsa Indonesia dikatego.'ikan dalam kondisi ‫ ة؛ةل[’ آأ‬,
bahkan bukan satu krisis, tetapi krisis multidimensi. Istilah krisis
semakin terkenal dalam benak bangsa ini sejak tahun 1997/1998,
dim ana pada saat itu terjadi resesi ekonomi yang cukup berat,
tidak saja di Indonesia, tetapi juga m elanda Asia. Sejak krisis
taliun 1997, krisis yang dirasakan oleh bangsa ini semakin terasa

penurunan nilai rupiah terhadap m ata uang dolar, penutupan


berbagai industri, korupsi, dan berbagai lenomena terasa begitu
menyakitkan liati rakyat.
Dalam petjalanannya, krisis ekonomi vang semakin terasa sejak
tahun 1997 tidak berhenti pada tahnn tersebut, tetapi masih terasa
sampai saat ini (tahun 201 ‫ أه‬. Bahkan pada sebagian sisi kehidupan,
krisis ini menjadi semakin parah, seperti praktik korupsi yang

.sampai tingkat paling rendah. Kenyataan lain adalah perilaku seks


bebas di bilangan generasi m uda semakin tidak terbendung oleh
nasihat dan didikan para orang tna di n‫؛‬nial'i masing-masing.
Peredaran narkoba vang semakin menggurita di kalangan generasi
muda terus rneroket dari tahun ke taliun. Bahkan yang lebih
mengkhawatirkan, peredarannya sudah menjalar di kalangan pelajar.
Banyak lagi kondisi vang semakin paral'1. Semuanya '
bahwa krisis '.,ang dialami bangsa Indonesia bukan krisis biasa
tetapi krisis ‫ ﺟﻠﻘﻮ'ا‬Simpleks. Krisis yang m elibatkan sem ua sisi
kehidupan ‫؛‬sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, pertahanan,
dan keamanan) bangsa.

Memaknai Pendidikan Karakter


Dalam kajian Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan
Indonesia (P3 UPI) nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan
bangsa saat ini adalah sebagai berikut.

I. Jujur
M akna jujur. Jujur m erupakan sebuah karakter yang kami
anggap dapat membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jujur dalam kamus Bahasa
Indonesia dimaknai dengan lurus hati; tidak curang. Dalam pandangan
umum, kata jujur sering dimaknai “adanya kesamaan antara realitas
(kenyataan) dengan ucapan”, dengan kata lain "apa adanya”.
Jujur sebagai sebuah nilai m erupakan keputusan seseorang
untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan/atau
perbuatan) bahw a realitas yang ada tidak dim anipulasi dengan
cara berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan dirinya.
Kata jujur identik dengan “b en ar” yang lawan katanya adalah
“bohong”. Makna jujur lebih jauh dikorelasikan dengan kebaikan
(kemaslahatan). Kemaslahatan memiliki makna kepentingan orang
banyak, bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi
semua orang yang terlibat.
Dalam konteks pem bangunan karakter di sekolah, kejujuran
menjadi amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia
saat ini. Karakter ini dapat dilihat secara langsung dalam kehidupan
di kelas, sem isal ketika anak m elaksanakan ujian. P erbuatan
meneontek merupakan perbuatan yang menceiminkan anak tidak
berbuat jujur kepada diri, teman, orang tua, dan gurunya. Dengan
meneontek. anak menipu diri, lemari, orang tua, dan gurunva. Apa
vang ditipu oleh anak. Anak memanipulasi nilai vang didapatkannya
seolah-olah merupakan kondisi vang sebenarnya dan kemampuan
anak, padahal nilai vang didapatnya bukan m erupakan kondisi
vang sebenarnya.
K ejujuran dalam penyelenggaraan sekolah saat ini d ap at
kita identifikasi ketika sekolah menghadapi Ujian Nasional (UN).
Banyak dugaan bahwa pelaksanaan UN banyak dimanipulasi oleh
penyelenggara sekolah itu sendiri, bahkan beberapa kepala sekolah
dan guru mengakui akan hal ini. Jika anak mempersepsi proses
ketidakjujuran dalam UN ini sebagai hal yang biasa, maka telah

Memaknai Pendidikan Karakter


terbentuk dalam diri anak karakter toleran terhadap kebohongan,
bahkan menganggap “harus berbohong”. Tentu saja hal ini sangat
berbahaya untuk penguatan karakter anak.

Ciri-ciri orang jujur.


Orang yang memiliki karakter jujur dicirikan oleh perilaku
berikut:
a. jika bertekad (inisiasi keputusan) untuk melakukan sesuatu,
tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan;
b. jika berkata tidak berbohong (benar apa adanya);
c. jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan
apa yang dilakukannya.
Seseorang yang memiliki karakter jujur akan diminati orang
lain, baik dalam konteks persahabatan, bisnis, rekan/mitra kerja,
dan sebagainya. Karakter ini merupakan salah satu karakter pokok
untuk menjadikan seseorang cinta kebenaran, apapun resiko yang
akan diterima dirinya dengan kebenaran yang ia lakukan.

2. Kerja keras
M akna kerja keras. Kerja keras adalah suatu istilah yang
melingkupi suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah
menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan/yang menjadi tugasnya
sampai tuntas. Kerja keras bukan berarti bekerja sampai tuntas
lalu berhenti, istilah yang kami maksud adalah mengarah pada
visi besar yang harus dicapai untuk kebaikan/kemaslahatan manusia
(umat) dan lingkungannya. Mengingat arah dari istilah kerja keras,
maka upaya untuk memaslahatkan manusia dan lingkungannya
merupakan upaya yang tidak ada hentinya sampai kiamat tiba.
Dalam skala mikro, kerja keras terjadi untuk kemaslahatan diri,
keluarga, RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan, kab./kota, provinsi,
bangsa/negara, atau dunia dan akhirat. Melihat skalanya, kerja keras
memiliki kondisi yang variatif. Pada sebagian orang kerja keras
dilakukan dengan menghabiskan waktu untuk membuat ide baru
dan menyisakan waktu hanya 2 jam untuk tidur. Pada sebagian
orang, kerja keras dilakukan dengan menghabiskan uang yang
dimiliki untuk membangun suatu sekolah (fisik, layanan maupun
manajerial). Pada sebagian orang kerja keras dilakukan dengan
cara pergi pagi pulang sore untuk mencari nafkah menghidupi

Memaknai Pendidikan Karakter I 17


keluarganya, dan sebagainya. Kondisi variatif ini memiliki satu esensi
yang sama, yaitu bagaimana memberikan kebaikan/kemaslahatan
kepada manusia dan lingkungannya. Artinya tidak dikategorikan
sebagai kerja keras orang yang menghabiskan waktunya untuk
mengedarkan narkoba atau membuat ide untuk merampok bank.
Karena keduanya dilakukan bukan untuk memberikan kebaikan
kepada manusia.
Barangkali perlu untuk menjadi catatan bagi kita semua
bahwa kerja keras amat penting bagi pembangunan bangsa ini
melalui pendidikan di sekolah karena kronisnya masalah yang
dihadapi bangsa. Bekerja yang seadanya atau sebatas jam kerja
akan menghasilkan perubahan yang seadanya. Padahal pembahan
dalam konteks pembahan bangsa ini akan sangat menuntut banyak
pengorbanan. Pengorbanan inilah yang kemudian perlu untuk dikelola
menjadi kerja keras. Tidak semua pengorbanan tepat mewakili
kerja keras. Seperti halnya seorang pekerja kesehatan di puskesmas
memberikan layanan kesehatan seharian, dengan mengorbankan/
mengabaikan kewajibannya untuk mendidik keluarganya. Karena
itu, kerja keras selalu dikaitkan dengan nilai kebaikan. Itulah yang
diperlukan oleh bangsa ini.
Saat ini begitu banyak pemuda yang mempakan penduduk
produktif lebih memilih bekerja ringan walaupun tidak halal dari
pada bekerja keras yang halal. Tengoklah berapa banyak pemuda
yang pekerjaannya meminta-minta di terminal atau di perempatan
jalan, padahal bersamaan dengan keberadaan mereka, para kakek dan
nenek masih terus bekerja keras, semisal dengan berjualan keliling.

Hanya mencari nafkah dengan mengamen Seorang kakek bekerja keras berjualan
Sumber; http://w ww .m ediaindonesia.com / Sumber: http://okefar‫؛‬d.wordpress.
read/2010/06/01 /146358/37/5/Polda*Metro- com/2009/09/02/penjual-pisang-dan-ironi-bank-
dan-Pemprov-DKI-Tertibkan-Gepeng-Pemalak century/

Gambar 1.2 Ilustrasi ketimpangan moral bangsa

Memaknai Pendidikan Karakter


Mafia pajak merugikan negara triliunan Seseorang bekerja keras menjual jasa sol
rupiah per tahun Sumber: http://hm inew s. sepatu
com/news/mafia
Sumber: http://aiim oet.net/category/iife/

Gambar 1.3 Ilustrasi rusaknya moral generasi bangsa

Gambar-gambar mengilustrasikan perilaku masyarakat kita saat


ini banyak yang tidak mau bekeija keras, dengan taat aturan dan
norma untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka banyak memilih
untuk melakukan hal yang mudah dan mendapat untung banyak
sehingga korupsi, pemalakan, perampokan menjadi hal-hal yang
lumrah terjadi dan semakin menggejala di semua lapisan. “Kondisi
ini sangat menghawatirkan...!” Bukan saja terlihat secara kasat
mata, tetapi lemahnya kerja keras juga banyak dilakukan oleh
banyak orang yang dikategorikan masyarakat berkedudukan mulia
seperti guru, dokter, polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya. Dosen
dan guru yang memberikan layanan tanpa desain pembelajaran
mencerminkan rendahnya kerja keras bagi yang bersangkutan.
Menghindarnya polisi dari keadaan jalanan yang macet di tengah
hari yang terik juga menunjukkan rendahnya kerja keras. Tidak
mempelajari kasus secara seksama yang dilakukan oleh hakim
dan jaksa pada kasus rakyat miskin juga menunjukkan mereka
tidak mau bekerja keras. Dan bahkan kondisi ini merasuk kepada
perilaku banyak orang. “Sungguh menghawatirkan masa depan
bangsa yang kita cintai ini....”
Karakteristik kerja keras yang dimaksud dalam buku ini adalah
perilaku seseorang yang dicirikan oleh kecenderungan berikut:
a. Merasa risau jika pekerjaannya belum terselesaikan sampai
tuntas;

Memaknai Pendidikan Karakter I 19


b. mengecek/memeriksa terhadap apa yang harus dilakukan/apa
yang menjadi tanggungjawabnya dalam suatu jabatan/posisi;
c. mampu mengelola waktu yang dimilikinya;
d. Mampu mengorganisasi sumber daya yang ada untuk menyelesaikan
tugas dan tanggung jawabnya.

3. Ikhlas
Ikhlas dalam bahasa Arab memiliki arti “mumi”, “suci”, “tidak
bercampur”, “bebas” atau “pengabdian yang tulus”. Dalam kamus
bahasa Indonesia, ikhlas memiliki arti tulus hati; (dengan) hati yg
bersih dan jujur). Sedangkan ikhlas menurut Islam adalah setiap
kegiatan yang kita kerjakan semata-mata hanya karena mengharapkan
ridha Allah SWT.
Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat
dari definisi-definisi mereka adalah sama. Ada yang mendefenisikan
ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan
wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada
yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari
komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan
tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan
manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka
tentang perbuatanmu itu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas
adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang
nampak dengan yang ada di batin”. Ada juga yang mengatakan
bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan
selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya
orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang
kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah, (sumber:
http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-ikhlas-dan-
bahaya-riya-.html).
Ciri-ciri orang ikhlas: (1). Terjaga dari segala sesuatu yang
diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang bersama dengan manusia
atau sendiri. (2) Senantiasa beramal di jalan Allah SWT baik
dalam keadaan sendiri atau bersama orang lain, baik ada pujian
ataupun celaan. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan

20 Memaknai Pendidikan Karakter


semakin berkurang jika dicela. (3) Selalu menerima apa adanya yang
diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT. (4) Mudah memaalkan kesalahan orang
lain, (sumber: http://sites.google.com/site/otoehkasela/ikhlas-menumt-isla).
Nilai ikhlas perlu untuk dikuatkan pada lulusan-lulusan sekolah
(SD-SMA/K) supaya anak dapat berkontribusi untuk kemaslahatan
kehidupan anak dan dunia dimana anak berada, serta akhirat yang
akan ditempuhnya/dijalaninya. Ketika anak melakukan sesuatu dengan
ikhlas, maka perilaku yang dilakukan akan memiliki karakteristik
mutu. Mengapa demikian? Dengan “ikhlas” anak akan melakukan
segala sesuatu secara bermutu. Orientasi kerja atau apa yang
dilakukan bukan untuk mendapatkan penghargaan dari teman-
teman atau lingkungannya, tetapi untuk mendapatkan keridaan
dari Tuhannya. Tuhan menjadi orientasi hidupnya. Karena orientasi
inilah maka sikap dan tindakan yang dilakukan oleh anak akan
memiliki karakteristik kesugguhan/kebermutuan.
Perilaku yang mencerminkan ikhlas memiliki sejumlah karakter,
vaitu:
a. Konsistensi yang kuat dari w aktu ke waktu dan daii satu
kondisi ke kondisi lainnya. Konsistensi sebagai ciri ikhlasnya
seseorang bukan dari cara pemecahan masalah yang dihadapi,
tetapi perilaku seseorang yang m em ihak kepada yang benar
tidak berubah dan terus m elakukan apapun yang dihadapi
yang bersangkutan sebagai konsekuensi dari tindakan yang
dilakukannya.
b. Pengharapan dan kepuasan bagi pelaku adalah keridaan dari
Tuhannya, bukan dari siapa pun. Hal ini sangat berguna untuk
evaluasi diri kita dalam mengidentifikasi perilaku yang kita
lakukan, apakah karena Allah atau karena makhluknya.
c. ،Memiliki karakteristik keb erm u tu an yang lebih baik dari
waktu ke waktu. Artinya, perilaku yang diperbuat oleh yang
bersangkutan selalu diperbaiki dari waktu ke waktu. Dengan
demikian jika perilaku seseorang tidak ada perbaikan seiring
dengan bertambahnya waktu, maka perilaku tersebut kemungkinan
besar bukan didasari oleh keikhlasan atau mengharap Rihda
Allah Swt.

Memaknai Pendidikan Karakter 21


E. Persamaan dan Perbedaan
A n a lis is
Karakter, Akhlak; dan Morai
Analisis bahasa ‫ ﺳﺎﺳﺎ‬. Judul bagian ini melibatkan sejumlah istilah
yang dapat membuat pembaca bingung: Karakter, Budi Pekerti,
Akhlak, Afeksi, dan Moral. Apakah istilah-istilah ini memiliki
penamaan atar] perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya
sekaligus juga ada perbedaannya? Istilah-istilah ini akan kita kaji
dari segi bahasa harian dengan merujuk pada kamus umum. Setelah
pengkajian bahasa harian ini, kita akan coba meyelami substansi
dari masing-masing istilah tereebut.
“Budi pekerti” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:
1.50) diletakkan dalam masukan "budi”, artinya: (!) alat batin yang
merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan
buruk; (2) tabiat, akhlak, watak; (3) perbuatan baik, kebaikan; (4)
daya upaya, ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau
tipu daya). Dan budi pekerti diartikannya sebagai tingkah laku,
perangai, akhlak, watak. Dalam kamus umum ‫ ﻟﻂ‬kita menemukan
bahwa budi pekerti sama dengan akhlak, watak, tabiat, perbuatan
baik, kebaikan. Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata “susila”.
Perlu dicatat di sini bahwa arti pada nomor (5) jarang digunakan
orang dewasa: tidak pernah orang yang berbudi pekerti dikaitkan
dengan kelak]،an cerdik menipu.
“Moral”, masih dari kamus yang sama (1996: 665), didefinisikan
sebagai: (I) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi
mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,
berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik
dari suatu cerita. Definisi moral ini menyatakan bah^'a moral
adalah ajaran tentang moral. Definisinya pada nomor (2) menurut
penulis menyatakan sebuah kondisi mental yang sudah menyerap
suatu ajaran moral.
Ringkasnya, berbagai pengertian di atas dapat kita petakan
dalam formulasi berikut ‫ﻟﻂ‬.

22 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


Orang yang
berakhlak,
bermoral,
bersusila, bertabiat,
berwatak,
berkarakter,
berafeksi, atau
berbudi pekertii

Gambar 1.4. Peta istilah moral

Kata “karakter” belum muncul dalam paparan di atas. Karakter


adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character. Encarta
Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2008.) menyatakan (terjemahan
penulis) bahwa "karakter” adalah kata benda yang memiliki arti: (1)
kualitas-kualitas pembeda; (2) kualitas-kualitas positif; (3) reputasi;
(4) seseorang dalam buku atau film; (5) orang yang luar biasa;
(6) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku,
atau tampilan; (7) huruf atau simbol; dan (8) unit data komputer.
Arti pada nomor (7) dan (8) ini tidak relevan dengan kajian
pendidikan karakter. Di samping itu terdapat kata karakteristik
(characteristic) yang masih juga kata benda yang artinya: fitur (ciri)
pembatas (defining feature), sebuah fitur atau kualitas yang membuat
seseorang atau suatu hal dapat dikenali. Kata sifat untuk karakter
adalah "khas" (typical), artinya pembeda atau mewakili seseorang
atau hal tertentu. Tentang "karakter” dan "karakteristik" ini dapat
disimpulkan melalui kalimat berikut: “Ia memiliki karakter herois”
dan “Karakteristiknya yang herois telah membuatnya memiliki nasib
yang menyedihkan tersebut.”
Karakter, berdasarkan kajian kamus umum di atas, merujuk
pada beberapa hal berikut. Pertama, karakter dikenakan pada orang
atau bukan orang. Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini
terutama berkenaan dengan orang. Kedua, ia berkenaan dengan
kualitas (bukan kuantitas) dan reputasi orang. Ketiga, ia berkenaan
dengan daya pembeda atau pembatas, membedakan atau membatasi
yang satu dari yang lainnya, membedakan orang/masyarakat yang
satu dengan orang/masyarakat yang lainnya. Keempat, karakter dapat
merujuk pada kualitas negatif atau positif: orang dengan karakter
mulia atau orang berkarakter flamboyan. Keempat hal tentang

Memaknai Pendidikan Karakter


karakter dari kam us um um tersebut relevan dengan kajian ‫ﻫﺎ؛>ا‬
tentang karakter dalam pendidikan karakter. Simpulannya, bahwa
karakter adalah sebuah kata yang m erujuk pada kualitas orang
dengan karakteristik ‫اااال ' ا؛' ا ' اا‬.
Demikianlah, ،‫ائ)آئ<ال' ا'أ‬semua kata tersebut: 1<‫'اﻇﺎ>ااقآائ‬, budi pekerti,
akhlak, moral, afeksi, susiia, talriat, watak memilild arti yang sama.
Dan dalam tulisan ini kata yang sering m uncul yaitu karakter,
akhlak, moral, afeksi/afektif, karena kata-kata tersebut dewasa ini
sering muneul dalam percakapan harian tentang pendidikan karakter.
Analisis pedagogis. Ada sebuah definisi dari kam us um um
tereebut yang belum kita soroti, yaitu definisi pada nomor (6), yaitu
individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah ‫ اأا‬1‫ ااآ‬, atau
tampilan. Definisi ini mulai memasuki wilayah ‫؛اال ﺗﺎااإل‬،‫ ا؛ ااا‬wacana
kita. M enurut penulis, karakter berada dalam sekurang-kurangnya
wilayah disiplin-disiplin: psikologi, etika (cabang filsafat umum ),
antropologi budaya, dan pedagogika. Siudi psikologi tentang karakter
dan pendidikan karakter sudah sangat maju. Studi psikologi ini
bersifat empiris-analitis. Studi filsafat (etika) bukan tertuju pada
karakter, tetapi pada isi karakter atau ajaran ^ r^ terim o ral/etik a/
akhlak/susila. s‫؛‬ud! etika bersifat rasional, radikal, kritis sebagaimana
halnya studi Hlsafat. Studi antropologi budaya ‫ ااا'اا‬،‫ ال؛‬pada isi
karakter atau ajaran karakter/moral/etik/akhlak/susila dalam bentuknya
yang empiris, yang dihidupi dalam kehidupan harian kelompok-
kelompok sosial. Studi pedagogika melibatkan semua studi tereebut
dengan tujuan mem bantu individu atau kelompok agar mengalami
perkembangan karakter/moral/akhlak/susila/watak/tabiat.
Hurlock (1974: 8) dalam bukunya, Personality Development,
secara tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada
kepribadian. Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan
melibatkan sebuah pertimbangan nilai. Karakter berkaitan dengan
tingkah ‫ ال>االا‬yang diatur oleh upaya dan keinginan. Hati nurani,
sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan
perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya
menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang diterim a secara
sosial. Definisi karakter dari Hurlock, untuk sementara ini, bersifat
cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih jauh apa
itu karakter dan implikasi-implikasinya.

24 I Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Ajaran Moral. Ajaran moral atau moralitas dipelajari oleh filsafat
moral atau etika. Urusan utama etika adalah studi tentang kebaikan/
hal yang baik/hal yang bemilai/moralitas/nilai dan studi tentang
tindakan yang baik (Audi, 1999: 284). Pada kesempatan ini, akan
dikaji secara ringkas studi tentang kebaikan/nilai, dan studi tentang
tindakan yang baik tidak akan dikaji di sini.
Studi tentang nilai. Studi tentang nilai/kebaikan tertuju untuk
menjawab: (1) apa komponen-komponen esensial untuk kehidupan
vang baik, dan (2) apa jenis-jenis vang baik pada dirinya sendiri.
Yang pertama, menghasilkan teori-teori eudaimonia!human well
/;،A?y/kesejahteraan manusia (kebahagiaan//z،zppz>?ess dan bertumbuh
subur/flourishing). Perasaan senang/bahagia adalah komponen esensial
kehidupan, dan karena itu hams menjadi tujuan kehidupan, dianut
oleh hedonisme, tokoh klasiknya Epicurus. Epicurus mengajarkan
bahwa berbuat baik pengerahan daya intelektual seseorang dan
kebajikan-kebajikan moral dengan cara-cara teladan dan berguna,
misalnya sarana yang terbukti baik dan benar untuk mengalami
kesenangan yang paling memuaskan dari kehidupan. Hedonisme
ini terbagi dua, hedonisme egoistik yang tertuju pada kesenangan
pribadi, dan hedonisme universal yang tertuju pada kesenangan
bersama atau semua orang. Sejak modernisasi diluncurkan oleh
peradaban Barat, hedonisme egoistik ini menjadi dominan dan
merusak banyak nilai-nilai kehidupan Timur yang luhur. Hedonisme
abad modem ini berbeda dari ajaran Epicurus.
Bukan perasaan senang sebagai komponen esensial kehidupan
yang baik, tetapi adalah perbuatan baik; perbuatan baik membuat
kita senang/bahagia, ini dianut oleh perfeksionisme. Tokohnya antara
lain: Plato, Aristoteles, kaum Stoik, Nietcsche, dan Muhammad Iqbal.

esensial

Gambar 1.5. Teori komponen esensial


Teori komponen esensial ini bertumpu pada asumsi (anggapan
dasar yang menjadi titik tolak) bahwa manusia secara alami mencari
kehidupan yang baik. Teori ini disajikan karena menurut penulis
bersifat praktis bagi mereka yang tidak belajar filsafat untuk berfilsafat
etika. Caranya dengan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan: apa
komponen esensial kehidupan yang baik dan apa perbuatan baik
itu? Jawaban-jawaban yang diberikan harus juga mempertimbangkan
konsekuensi logis atau isyaratnya untuk bidang-bidang kehidupan
tertentu. Apapun dapat kita ajukan sebagai jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan tersebut, namun jawaban hendaknya disertai dengan
penjelasan yang merupakan pertanggungjawaban kita secara rasional.
“Saling menghargai antarmanusia”, contohnya, adalah sebuah
jawaban yang dapat kita pilih. Alasannya, kehidupan yang damai
sepanjang masa dan di manapun adalah tujuan penting umat
manusia. Tanpa kedamaian kehidupan akan sulit diarungi. Lalu,
apa "saling menghargai antarmanusia itu?” atau "Bagaimana kita
mempraktikkannya dalam kehidupan kita?” Salah satu jawabannya,
yaitu: “perbuatan menghormati orang lain, tidak merendahkannya”.
Di samping teori komponen esensial yang bertumpu pada
asumsi metafisika bahwa manusia secara alami mencari kebaikan,
terdapat teori nilai intrinsik. Teori nilai intrinsik mengandung tesis-
tesis metafisika. Yang menjadi isu dalam teori ini adalah apa yang
baik pada dirinya sendiri, dan seseorang dapat mengambil sebuah
posisi terhadap isu ini tanpa terikat pada tesis apapun tentang
realitas atau bukan-realitas dari kebaikan atau tentang transendensi
atau imanensinya. Sejumlah hal yang dianggap baik pada dirinya
sendiri oleh para filsuf akan mencakup kehidupan, kebahagiaan,
kesenangan, pengetahuan, kebajikan, persahabatan, keindahan, dan
harmoni. Daftar cakupan ini dapat diperpanjang dengan mudah.
Gambaran sederhana pandangan penganut teori nilai intrinsik
ini dapat dilukiskan melalui kalimat berikut. "Persahabatan adalah
baik, karena persahabatan itu baik”. "Kesenangan adalah baik, karena
kesenangan itu baik”. Kebaikan yang intrinsik, dan bukan kebaikan
instrumental atau kebaikan dalam rangka mencapai tujuan yang
lainnya. Kebaikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lainnya
dianut oleh teori nilai instrumental.
Perspektif teori nilai intrinsik dan lawannya, teori nilai instrumental
sering kita butuhkan dalam rangka memahami sebuah nilai. Contoh,

26 I Memaknai Pendidikan Karakter


“ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang/' adalah
sikap instrumentalisme yang sering ditolak masyarakat. Dan sikap
ini didampingi oleh instrumentalisme yang sama: “Selagi muda
dan cantik adalah kesayangan abang, dan ketika tua dan keriput
bukan lagi kesayangan abang/' Instrumentalisme yang demikian ini
menimbulkan masalah keadilan dan kemanusiaan.

Teori komponen
esensial

T eorinilai

Teori nilai intrinsik


dan instruk mental

Gambar 1.6 Teori Nilai

Ajaran moral yang dianut oleh individu atau kelompok, pada


langkah berikutnya dijadikan standar moral oleh individu dan
kelompok tersebut untuk mengukur suatu perbuatan moral. Ajaran
moral yang dianut oleh seseorang atau oleh suatu kelompok sosial
dapat kita kaji dengan menerapkan pemahaman kita tentang berbagai
teori nilai yang dipaparkan di atas.
Ada banyak pola untuk memetakan nilai-nilai. Paparan di atas
adalah sebuah pola dari studi filsafat moral yang dikemukakan
dalam The Cambridge Dictionary o f Philosophy (Audi, 1999).
Lickona (1991) memiliki peta konsep filosofis sistem nilai yang
tampaknya lebih sederhana. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai terdiri
atas obligatory values dan non-obligatory values. Nilai-nilai >ang
non-obligato^ adalah nilai-nilai seni atau keindahan. Nilai seni
tidak m ^ajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi membuat
orang menjadi apresiatif terhadapnya. Nilai-nilai yang obligatory
atau mewajibkan adalah nilai-nilai moral. Liekona merinci lebih
lanjut nilai-nilai moral ini sebagai (1) respect ‫ س‬responsibility
to man dan (2) respect and responsibility ‫؛‬٠ nature. Penulis kira,
orang Indonesia dengan Pancasilanya akan senang menambahinya
dengan yang ke-(3) respect and resposibility to God.
Karakter. Ada ajaran moral dan standar moral, dan ada juga
pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen-komponen

Memaknai Pendidikan Karakter 27


karakter sebagaim ana diungkapkan oleh Hurlock. Pertim bangan
nilai adalah sebuah pertimbangan tentang baik atau buruk sesuatu
b erd asark an pan d an g an p rib ad i ten tan g m oralitas. K arakter,
selanjutnya, berkaitan dengan tingkah laku yang yang diatur oleh
upaya dan keinginan. Jika dem ikian halnya, karakter berkaitan
dengan tingkah laku yang tidak otomatis dimiliki seseoiang: ketika
dilahirkan ia otomatis memilikinya dan ketika ia memerlukannya
karakter muncul secara otomatis. Karakter diatur oleh upaya dan
keinginan. Pernyataan ini mengasumsikan kebebasan manusia. Karena
itu, upaya dan keinginan ini muncul dari dalam batin individu.
Upaya dan keinginan ini dicurahkan secara suka rela.

diri sendiri
Menghargai dan
bertanggung
jawab terhadap
manisia
orang lain
Menghargai dan
Nilai-nilai
r bertanggung
moral
jawab atas
aiam

Menghargai dan
bertanggung
jawab terhadap
Tuhan

Gambar 1.7 Nilai-nilai moral

Selanjutnya, jika upaya dan keinginan tersebut tidak secara


otomatis dimiliki manusia, dari m ana mereka berasal. Mereka berasal
dari pengalaman dan pendidikan individu. Karakter adalah aspek
tingkah laku hasil belajar, bukan tersedia secara genetik. Unsur
esensial karakter adalah hati nurani. Banyak pakar pendidikan
karakter bersepakat atas hal ini. Hanya atas definisi yang disediakan
oleh Hurlock, orang dapat tidak bersepakat. Hurlock mengungkapkan
karakter sebagai a pcittem o f inhibitoiy conditicming (sebuah pola
kebiasaan perlarangan). Di sini Hurlock menunjukkan bahwa hati

Memaknai Pendidikan Karakter


nurani sebagai produk dari pem biasaan larangan-larangan, ia
behavioristis. Ada filsuf yang mengungkapkan bahwa hati nurani
adalah bawaanUnherent manusia, begitu dilahirkan ia memiliki hati
nurani. Asumsi teori komponen esensial di atas yang berbunyi
“m anusia secara alam iah m encari kebaikan” m engim pliksikan
adanya hati nurani baw aan ini. Yang berikutnya, hati nurani
bukan hanya terbentuk oleh larangan-larangan, tetapi juga berisi
kerisauan, kegelisahan atau panggilan batin, kecintaan akan kebaikan.
Seseorang melakukan kebaikan bukan hanya karena larangan atau
sum han/perintah, tetapi juga karena kecintaannya akan kebaikan.
Yang terakhir tentang karakter, masih dalam rangka menganalisis
definisi karakter dari Hurlock, yaitu keselarasan individu dengan
pola-pola kelompok sosial tempat individu itu hidup sebagai hasil
dari kontrol hati nurani terhadap tingkah laku individu. Pola-pola
kelompok dapat mencakup pola-pola tingkah laku overt dan coveii.
Pola tingkah laku oven (terbuka bagi observasi) utamanya meliputi
kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk perbuatan-perbuatan yang
dapat diobservasi dengan m ata telanjang. Contohnya kebiasaan
makan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan berbicara, dan gerakan-
gerakan jasm aniah seseorang. Adapun pola tingkah laku covert
(tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku kognitif dan
afektif, tingkah laku mental atau kesadaran. Tingkah laku ini tidak
dapat diobservasi secara langsung. Mereka dapat diketahui melalui
penyimpulan atas tingkah laku overt-nya, in lem u, angket/kuesioner,
observasi partisipatif, dan laporan-diri. Bentuknya sam a dengan
tingkah laku yang oven, meliputi kecenderungan, kebiasaan, dan
kesiapan berbuat. Pola-pola kelompok atau pola-pola tingkah laku
kelompok dipelajari oleh bidang studi antropologi budaya.

Kom ponen-komponen karakter (Hurlock): X

٠ Aspek kepribadian
٠ Standar moral danajaran moral
٠ Pertimbangan nilai
٠ Upaya dan keinginanindividu
٠ Hati nurani
٠ Pola-pola kelompok
٠ Tingkah laku individu dan kelompok

Memaknai Pendidikan Karakter ‫؛‬ 29


Afeksi. Di samping karakter, terdapat istilah afeksi, berasal dari
affect. Dalam Encarta Dictionaries terdapat tiga kata affect dengan arti
yang berbeda-beda. Yang relevan di sini adalah yang ketiga. Affect
di sini adalah sebuah kata benda, artinya perasaan yang berkaitan
dengan tindakan: sebuah emosi atau mood yang berkaitan dengan
sebuah ide atau tindakan, atau ekspresi eksternal dari perasaan
tersebut. Kata jadiannya adalah affective, kata sifat atau ajektiva,
artinya hal yang berkenaan dengan ekspresi emosi: berkaitan dengan
ekspresi eksternal dari emosi yang terkait dengan sebuah ide atau
tindakan. Dengan demikian jika kita berbicara tentang pendidikan
afektif, maka yang dimaksud adalah pendidikan emosi, bukan
pendidikan pikiran, rasio, atau kognisi. Dalam Merriam-Webster’s
l l t h Collegiate Dictionary, affect diartikan sebagai sehimpunan
manifestasi dari suatu emosi yang dialami secara subjektif. Dalam
wacana praktik dan studi pendidikan, afektif sering diungkapkan
dengan sikap (attitude). Memang salah satu komponen dari afeksi
adalah sikap.

Memaknai Pendidikan Karakter


Desain
Pendidikan Karakter
di Sekolah

A. Rambu-Rambu Pengembangan
Pendidikan Karakter
Rambu-rambu yang dapat membantu kita mengembangkan silabus
pendidikan karakter di sekolah sekurang-kurangnya mencakup: teori
kurikulum dan teori pendidikan karakter.
Teori kurikulum. Kurikulum adalah sekumpulan pelajaran dan
kegiatan yang ditawarkan di sekolah. Secara menyeluruh, kurikulum
sekolah dapat digambarkan melalui grafis vektor kurikulum di
berikut ini.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 3 I


Kurikulum sehimpunan pengalaman (transformatif)

(2) di sekolah (3) terarah

Pengalaman- Pengalaman terarah,


pengalaman di (٦ ) ; tetapi tidak di
sekolah yang sekolah (tempat
adalah bagian Kurikulum Sekolah : ibadah, pramuka,
dari "pengalaman Programatik (mata ‫ ؛‬perkumpulan
belajar" yang pelajaran, kegiatan sepakbola, kursus
membuat orang ekstrakurikuler yang ‫ ؛‬musik atau tari
ter-(transformasi), didukung sekolah, pelatiah kerja,
tetapi bukan dan lain-lain) belajar dan orang
bagian dari ٠ dewasa bagaimana
pengalaman terarah berenang, memasak,
atau kurikulum atau menyukai buku
programatik sekolah dan membaca atau
senjata dan berburu,
dan lainnya).

Pengalaman (trans-) Pengalaman (trans-)


formatif di sekolah formatif terarah
(4)
Termasuk pengalaman tak-terarah dan terjadi di luar sekolah

(Disadur dari: School Curricula. Tersedia di: H ttp ://u p lo a d . w ‫؛‬kipedia/com m ons/F//W Com cuium
Com cept. svg 27.07.10)

Gambar 2.1 Ilustrasi kurikulum sebagai garis vektor

Dari diagram di atas diketahui bahwa kurikulum adalah sehimpunan


pengalaman yang bukan hanya fomiatife, tapi juga transformatife
(diindonesiakan: formatif dan transformatif). Pengalaman formatif
adalah pengalaman yang penting khususnya untuk pembentukan atau
perkembangan individu. Ringkasnya, pengalaman formatif adalah
pengalaman yang membuat individu mengalami perkembangan.
Adapun pengalaman transformatif adalah pengalaman yang membuat
perkembangan individu dalam hal pola atau strukturnya, biasanya
struktur kepribadian. Ini lebih rincinya, perubahan pola afektif, pola
kognitif, dan/atau pola psikomotor atau perbuatan.
Pengalaman (trans-)formatif dapat terjadi di kelas (kurikulum
sekolah programatik), di sekolah, dan di lingkungan yang berada

Memaknai Pendidikan Karakter


di luar ‘wilayah’ sekolah. Di samping itu, terdapat juga pengalaman
yang tanpa arah (tak terarah) dan di luar sekolah juga.
Kurikulum sekolah programatik. Kurikulum sekolah programatik
sudah kita pahami, yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) masing-masing sekolah. KTSP memang programatik,
segala sesuatunya serba terencana, bahkan kalau bisa terukur juga.
Tetapi ini jangan dipahami sebagai semata-mata perekayasaan sosial
(.social engineering), karena sekolah tidak berurusan dengan benda-
benda yang dapat direkayasa secara teknis belaka. Akan lebih baik
jika kita memandang sekolah sebagai organisme, bahkan manusia
boleh dipandang sebagai organisme spiritual. Sehubungan dengan
hal ini, sifat programatik kurikulum sekolah tersebut juga dilandasi
oleh paham organisme tersebut, bukan mekanisme semata-mata.
KTSP sebagai kurikulum sekolah, menurut penilaian penulis,
tidak eksklusif pendidikan kognitif, atau pendidikan sains yang kering
dari nuansa nilai-nilai. Bahkan pendidikan keterampilan inquiri yang
sering dituntut dalam mata pelajaran IPA mulai dari SD hingga
SMA, tidak secara eksklusif hanya pendidikan keterampilan belaka.
Gairah, rasa senang, ketekunan, kegigihan, perhatian anak ketika
melakukan observasi atau percobaan akan turut meningkatkan capaian
kognitifnya. Dan ketika ini tercapai, pola psikomotornya dan pola
emosinya terbentuk menjadi kebiasaan (habit), siswa setelah dewasa
akan menjadi dan dapat turut partisipatif sebagai ilmuwan yang
turut membangun bangsanya. Pekerjaan apapun yang ia pangku di
kemudian hari, akan disertai dengan kegiatannya untuk melakukan
pengembangan-pengembangan pekerjaan itu melalui pola tingkah
laku ilmuwan yang sudah dimilikinya. Karakter ilmuwan sudah
menjadi miliknya.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri dari:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan danteknologi;
kelompok mata pelajaran estetika;
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dankesehatan.

Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah


Kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan,
dan kepribadian jelas sekali berkaitan atau bahkan identik dengan
pendidikan karakter. Tabel berikut ini merupakan kutipan tentang
cakupan kedua kelompok mata pelajaran tersebut, dan hasil
identifikasinya sebagai pendidikan karakter.

Tabel 2.1
Identifikasi tujuan pendidikan karakter pada kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia serta kewarganegaraan dan
kepribadian
Kelompok Mata Pelajaran dan Identifikasi Tujuan Pendidikan
Cakupannya*) Karakter

Agama dan Akhlak Mulia Kata dan frasa yang dicetak miring di
Kelompok mata pelajaran agama dan kolom kiri yang merupakan rumusan
akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk tujuan pendidikan, secara jelas dan
peserta didik menjadi manusia yang beriman tegas menunjukkan kelompok mata
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha pelajaran Agama dan Akhlak mulia
Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia adalah merupakan pendidikan karakter;
mencakup etika, budi pekerti, atau moral dan tidak mungkin pendidikan kognitif
sebagai perwujudan dari pendidikan agama. semata-mata.

Kewarganegaraan dan Kepribadian Kata dan frasa yang dicetak miring di


Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan ;!blbm، kiri'yang merupakan rumusan
dan kepribadian dimaksudkan untuk tujuan pendidikan, secara jelas dan
peningkatan kesadaran dan wawasan peserta tegas menunjukkan kelompok mata
didik akan status, hak, dan kewajibannya pelajaran Kewarganegaraan dan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, Kepribadian merupakan pendidikan
dan bernegara, serta peningkatan kualitas karakter; dan tidak mungkin pendidi kan
dirinya sebagai manusia. kognitif semata-mata

Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan


kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela
negara, penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, kemajemukan bangsa,
pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan
gender, demokrasi, tanggung jawab sosial,
ketaatan pada hukum, ketaatan membayar
pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi,
kolusi dan nepotisme.

*) Dikutip dari Peraturan Pemerintah N om o r 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Sisanya—kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan


teknologi; estetika; dan jasmani, olahraga dan kesehatan sekalipun
tekanan kuatnya pada pendidikan kognitif dan psikomotor, muatan
karakter terpadu di dalamnya.

34 I Memaknai Pendidikan Karakter


Tabel 2.2 Identifikasi tujuan pendidikan karakter pada kelompok mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Estetika; Jasmani, Olahraga,
dan Kesehatan

Kelompok Mata Pelajaran dan Identifikasi Tujuan Pendidikan


Cakupannya*) Karakter
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kata dan frasa yang dicetak miring di
Kelompok mata pelajaran ilmu penge­ kolom kiri yang merupakan rumusan
tahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas
dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, menunjukkan kelompok mata pelajaran
dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah
teknologi, serta menanamkan kebiasaan bermuatan pendidikan karakter; dan tidak
berpikir dan berperilaku ilmiah yang mungkin pendidikan kognitif semata-mata.
kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu penge­
tahuan dan teknologi pada SMP/MTs/
SMPLB dimaksudkan untuk memperoleh
kompetensi dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi serta membudayakan berpikir
ilmiah secara kritis, kreatif, dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu penge­
tahuan dan teknologi pada SMA/MA/
SMALB dimaksudkan untuk memperoleh
kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan
teknologi serta membudayakan berpikir
ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Kelom pok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi pada SMK/
MAK dimaksudkan untuk menerapkan
ilmu pengetahuan dan teknologi,
membentuk kompetensi, kecakapan,
dan kemandirian kerja.
'.Estetika - Kata dan frasa yang dicetak miring di
Kelompok mata pelajaran estetika dimak­ kolom kiri yang merupakan rumusan
sudkan untuk meningkatkan sensitivitas, tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas
kemampuan mengekspresikan dan ke­ menunjuten kelompok mata pelajaran
mampuan mengapresiasi keindahan dan ; Estetika ;adalah bermuatan; pendidikan:
harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan ;kateter; dan tidak mungkin pendidikan،
mengekspresikan keindahan serta harmoni kognitif semata-mata،
mencakup apresiasi dan ekspresi, baik
dalam kehidupan individual sehingga
mampu menikmati dan mensyukuri
hidup, maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan sehingga mampu
menciptakan kebersamaan yang harmonis.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 35


Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kata dan frasa yang dicetak m ir‫؛‬ng di
K e lo m p o k m ata p e la ja ra n Jasm ani, kolom kiri yang m erupakan rumusan
Olahraga dan Kesehatan pada S D /M I/ tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas
SDLB dimaksudkan untuk meningkatkan menunjukkan kelom pok mata pelajaran
potensi fisik serta menanamkan sportivitas Jasm a ni, O la h ra g a , da n K esehatan
dan kesadaran hidup sehat. adalah berm uatan pendidikan karakter‫؛‬
dan tidak m ungkin pendidikan kognitif
K e lo m p o k m ata p e la ja ra n Jasm ani,
semata-mata.
Olahraga dan Kesehatan pada SMP/MTs/
SMPLB dimaksudkan untuk meningkatkan i
p o te n s i fis ik serta m em budayakan j

sportivitas dan kesadaran hidup sehat. \


K e lo m p o k m a ta p e la ja ra n ja s m a n i, i

olahraga dan kesehatan pada S M A / i


M A /S M A L B /S M K /M A K d im a k s u d k a n i
untuk meningkatkan potensi fisik serta j
m em budayakan sikap sportif, disiplin, ‫؛‬
kerja sama, dan hidup sehat. i
Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, j

sikap, dan perilaku hidup sehat yang


b e r s ifa t in d iv id u a l a ta u p u n yang
bersifat kolektif kemasyarakatan seperti
keterbebasan dari perilaku seksual bebas,
kecanduan narkoba, HIV/AIDS, dem am
berdarah, m untaber, dan penyakit lain
yang potensial untuk mewabah.

*) D ikutip dari Peraturan Pemerintah N om or 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Demikianlah kelom pok-kelom pok mata pelajaran dengan


cakupannya yang menjadi bagian dari Standar Isi dan KTSP,
yang merupakan kurikulum sekolah programatik, merupakan atau
memadukan pendidikan karakter, dan tidak hanya merupakan
pendidikan kognitif dan afektif secara eksklusif.
Pendidikan karakter, di samping melalui mata pelajaran yang
ada, juga dapat disediakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan
pengembangan diri. Beberapa contohnya: pendidikan kewirausahaan,
pendidikan karya ilmiah dan teknologi, pendidikan keagamaan,
pendidikan kesenian, pengabdian masyarakat, gerakan lingkungan
hidup, pramuka, pendidikan olah raga. Guru harus mampu
memahami, memilih, dan memilah karakter apa yang mau dibidiknya?
Bagaimana pelaksanaannya agar karakter-karakter tertentu tumbuh?
Bagaimana evaluasinya? Bagaimana pengayaannya sebagai sarana
penguatan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh sekolah?

Memaknai Pendidikan Karakter


Kurikulum dalam-sekolah. Jika kurikulum sekolah programatik
atau KTSP lebih dipraktikkan pada tataran ruang kelas, termasuk
laboratorium atau bengkel, terdapat juga kurikulum yang dipraktikkan
pada tataran sekolah. Ini adalah pengalaman-pengalaman di sekolah
yang adalah bagian dari “pengalaman belajar” yang membuat orang
ter-(trans-)formasi, tetapi bukan bagian dari pengalaman terarah atau
kurikulum programatik sekolah (Pengalaman formatif dalam-sekolah
yang takterarah dapat mencakup perhubungan siswa dengan pihak
pemangku wewenang lembaga, kelompok-kelompok sebaya, dan
lainnya; tetapi juga pembentukan intelektual serius dapat termasuk
di sini, jika hal ini terjadi tetapi bukan sebagai bagian program
sekolah yang terencana atau terarah).
Pengalaman dalam-sekolah dapat dikelompokkan menjadi yang
berwaktu pendek dan yang berwaktu panjang. Yang berwaktu pendek
terjadi ketika jam istirahat, menjelang jam awal masuk sekolah, dan
setelah kelas usai. Yang berwaktu cukup panjang dapat tersedia
pada hari-hari setelah ulangan sekolah menjelang libur semester
atau akhir tahun sebelum pembagian buku rapor. Bagaimana
semua ini menjadi sebuah seting natural/sewajarnya dan mendidik.
Perancangan jelas perlu. Model tenggang rasa ( ١ considerate model o f
moral developmeut) dapat diberlakukan pada semua waktu sekolah.
Dengan model ini setiap orang dalam lingkungan sekolah dituntut
untuk berbuat baik. Dengan model ini, lingkungan sekolah menjadi
tempat interaksi sosial yang menyenangkan, setiap orang bahagia dan
tulus. Setiap siswa dapat diminta untuk membuat catatan harian
dan refleksinya tentang perbuatan baik yang sudah ia lakukan.
Kemudian secara berkala diselenggarakan diskusi kelompok kecil
atau pleno tentang catatan dan refleksi tersebut. Diskusi-diskusi ini
dapat menghasilkan tindak-lanjut tertentu.
Sebuah contoh nyata tentang bagaimana anak Sekolah Dasar
(SD) kelas IV yang belum terbiasa shalat subuh.
Berdasarkan infonnasi dari anak- melalui diskusi dengan anak-anak
di kelas, diketahui sejumlah anak belum memiliki kebiasaan untuk
melakukan shalat subuh. Kebanyakan mereka diketahui alasannya
masih ngantuk. Kemudian guru mencatat anak-anak tersebut.
Pada suatu hari guru mencoba mengkondisikan anak dengan
cara menelpon pada pagi had pukul 05.00 ke rumah anak-anak
yang bersangkutan. Pada awalnya telepon guru diterima oleh orang

Desain Pendidikan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah ! 37


tua siswa, kemudian guru bertanya kepada siswa tersebut, “apakah
ananda sudah shalat shubuh hari ini?” anak tersebut kemudian
menjawab "belum.” Guru lebih lanjut berdiskusi dengan siswa,
“ayo sekarang ananda segera berwudu dan segera shalat subuh,
biar nanti disayang Allah, papa dan mama, disayang Bu Guru,
juga disayang teman-teman." Pada saat itu anak merasa senang,
gurunya menelpon dirinya untuk mengingatkan apakah dia sudah
shalat atau belum.
Perilaku ini dilakukan oleh guru secara berulang karena dianggap
dapat memberikan pengalaman yang berharga pada proses penguatan
kebiasaan shalat, khususnya pada waktu-waktu yang sulit dijalani
oleh anak (waktu shalat subuh).
Di samping model tenggang rasa, sekolah dapat merancang
program lainnya. Misalnya, program senyum-sapa-salam antar
orang dalam lingkungan sekolah. Pemantauan dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Siswa yang belum mampu melakukan
senvum-sapa-salam dibimbing secara pedagogis. Program lainnya,
khususnya di sekolah yang siswanya banyak muslim, jam shalat
dhuhur mewajibkan semua siswa shalat. Pemantauan diperlukan.
Siswa yang tidak shalat dibimbing secara pedagogis. Program ini
sudah banyak dilakukan sekolah-sekolah.
Sebuah contoh program yang sudah dilakukan pada beberapa
sekolah adalah ketika anak-anak SMP sedang menghadapi ujian
nasional (UN), banyak pihak merasakan kecemasan, karena ada
kekhawatiran anak-anak ada yang tidak lulus. Mereka yang khawatir
ini adalah para orang tua, kepala sekolah, guru, dan sudah barang
tentu anak-anak itu sendiri.
Menghadapi keresahan tersebut, salah satu kepala SMP mencoba
untuk menguatkan diri anak (khususnya) untuk selalu bergantung
kepada Allah Swt manakala ia diterpa kecemasan.
Pada suatu waktu penulis datang ke sekolah untuk melakukan
penelitian dan bertemu dengan kepala sekolah, kebetulan pada saat
itu jam pulang sekolah dan kepala sekolah berada di pintu gerbang
keluar sekolah. Keberadaan kepala sekolah ternyata bukan karena
kebetulan, tetapi sudah menjadi program rutin yang bersangkutan
untuk menyalami anak-anak yang akan pulang (sungguh luar biasa).
Yang lebih mengagetkan adalah ketika kepala sekolah mengucapkan

38 I Memaknai Pendidikan Karakter


“Ananda, nanti malam ponselnya dinyalakan ya!” Ternyata apa
yang diucapkan oleh kepala sekolah tersebut bukan hanya kepada
satu anak, tetapi hampir ke semua anak kelas EX. Mereka adalah
anak-anak yang akan menghadapi UN.
Setelah selesai menyalami anak-anak, penulis berkesempatan
untuk menanyakan lebih jauh mengenai apa yang dikomunikasi
antara kepala sekolah dengan anak-anak kelas IX ketika mereka
akan melalui gerbang keluar sekolah, lalu kepala sekolah menjawab,
“Saya sudah biasa mengajak anak-anak untuk berdoa kepada Allah
ketika menghadapi kesulitan dan kecemasan. Nah saya mengajak
anak-anak untuk shalat tahajud pada pukul 03.00 pagi, saya akan
miscall mereka atau saya kirim pesan (SMS) untuk mengajak
mereka shalat tahajud sekaligus mereka meminta kemudahan dalam
menghadapi UN.”
Mungkin saja dalam lingkungan dalam-sekolah ini dilakukan
kegiatan insidental tertentu. Misalnya, kegiatan dalam rangka
merespon musibah yang dialami orang lain. Ketika Gaza diserbu
secara brutal oleh Israel, ada sekolah yang mengadakan doa bersama
para siswa dan penggalangan dana untuk korban di Jalur Gaza.
Pada jenjang SMA/K, dapat saja dibangun forum diskusi dadakan
berkenaan dengan isu politik atau sosial dan yang lainnya yang
membutuhkan public pressure (tekanan sosial). Kejadian yang baru
saja terjadi adalah ketika Gunung Merapi meletus (Yogyakarta),
banyak sekolah yang menjadikan ini sebagai momentum untuk
menguatkan “rasa kemurahan hati” anak-anak untuk membantu
sesamanya. Banyak sekolah yang menyediakan “kencleng Merapi”
selama beberapa pekan untuk mengumpulkan segala bentuk bantuan,
apakah uang, barang, ataupun barang lainnya yang dibutuhkan
untuk dikirimkan kepada masyarakat yang terkena korban Merapi.
Ada baiknya juga sekolah mengidentifikasi masalah-masalah
apa dari segi karakter yang terdapat di sekolah. Umumnya, suka
terdapat siswa-siswa dari kalangan kaya bersifat sombong dan
membangun pergaulan yang eksklusif dan sebaliknya siswa-siswa
dari kalangan miskin memiliki sifat rendah-diri, tidak percaya diri,
terasing, menarik diri, mengucilkan diri. Ini membutuhkan program
khusus untuk mengatasinya. Banyak sekolah seakan buta mata
hati tak mampu melihat masalah-masalah ini dan juga karena
mempersepsi diri bahwa tugasnya hanyalah mengajar.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 39


Pendidikan karakter dalam-sekolah dapat berorientasi proses,
yaitu asal para siswa mengalami kegiatan tertentu yang dirancang
sekolah, dan dapat pula berorientasi hasil atau produk belajar. Para
siswa yang hasil belajarnya belum sesuai standar yang ditetapkan
harus dibimbing secara khusus. Perancangannya harus sedemikian
rupa agar intensitas/kualitas proses dapat dicapai hingga semua
siswa diharapkan mengalami perubahan tingkah laku.
Pengalaman terarah di luar sekolah. Pengalaman terarah, tetapi
tidak di sekolah (tempat ibadah, pramuka, perkumpulan sepakbola,
kursus sosial atau tari, pelatihan kerja, belajar dari orang dewasa
bagaimana berenang, memasak, atau menyukai buku dan membaca,
atau senjata dan berburu, dan lainnya). Pengalaman jenis ini turut
membentuk karakter siswa. Guru perlu mengetahuinya, siapa tahu
sekolah harus turut memperkuatnya atau menolaknya. Di Amerika,
banyak anak dan remaja mengikuti perkumpulan-perkumpulan
olahraga, ketika orientasinya kemenangan dengan cara apapun,
maka anak terlibat dalam apa yang disebut demagogi Machiavelian.
Demagogi adalah bukan pedagogi, karena mengembangkan nilai-
nilai yang ditolak oleh kemanusiaan universal. Niccolo Machiavelli
adalah filsuf politik Itali yang mengajarkan hakikat jahat praktik
politik. Dalam Encarta Dictionary (Microsoft® Encarta® 2009.)
terdapat istilah Machiavellian intelligence, kecerdasan Machiavellian,
istilah yang ditemukan dalam psikologi, artinya kecerdasan sosial
untuk melakukan penyesatan dan pembentukan koalisi.
Pengalaman tak terarah dan terjadi di luar sekolah. Ini berada
di luar tiga lingkungan sebagaimana terdapat dalam grafis sosial
kurikulum di atas, sebagai lingkungan yang keempat. Jika lingkungan
sosial kesatu, kedua, ketiga tersebut disediakan untuk mendidik
siswa atau anak, lingkungan yang keempat ini berada bukan untuk
mendidik anak atau generasi muda. Dari segi ini, ia dinamai sebagai
pengalaman tak-terarah. Untuk memahami lingkungan keempat ini
akan disajikan sosial universalia budaya. Kehidupan masyarakat
dapat dikatakan terdiri atas sejumlah kebutuhan universal dan
respon-respon kelompok untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Respon kelompok ini nama lainnya adalah pranata sosial (social
institutions).

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Tabel 2.3 Universalia budaya dan respon kelompok

Respon Kelompok {Pranata/ Respon Kelompok (Pranata/ Lingkungan


Institusi Sosial) Institusi Sosial) ke

• Adaptasi terhadap lingkungan, • Aktivitas ekonomi: produksi


makanan, perm ukiman dan distribusi barang dan 4

• Pemeliharaan tatanan; penegakan • T in g k a h la k u p o lit ik ;


ocia; penyelesaian perselisihan; penyediaan ocia;
perlindungan dan pertahanan perpolisian; pertahanan; 4
kehakiman

٠ R eproduksi secara bertatanan • Perkawinan dan ketertiban


dan rekruitasi anggota baru keluarga 4

• Pendidikan anggota baru sesuai • Sosialisasi dan pendidikan


dengan pola kehidupan kelompok ,

• P e m b a n g u n a n k e p e rc a y a a n - • Sistem-sistem kepercayaan
kepercayaan yang menghilangkan
kecemasan dan m em buat para
a n g g o ta k e lo m p o k m e ra sa 4
bertanggung jaw ab antara yang
satu dengan yang lainnya.

(Diterjemahkan dan Cultural Universals, Hess dkk., 1988: 64)

Pranata pendidikan, sebetulnya tidak hanya berada di sekolah,


tetapi juga di lembaga-lembaga lainnya. Misalnya, di kehakiman atau
pertahanan, terdapat juga sosialisasi dan pendidikan; tetapi fungsi
utamanya bukan pendidikan. Penggambaran melalui tabel di atas
untuk memudahkan analisis belaka. Lingkungan atau pengalaman
keempat, dapat memberikan pengaruh yang mendidik atau tidak-
mendidik. Lembaga-lembaga yang “sehat” dapat memberikan
pengaruh yang mendidik, dan sebaliknya. Masyarakat yang “sehat”
turut membantu pranata pendidikan dalam mendidik anak-anak
dan generasi muda.
Dewasa ini, Indonesia sebagai masyarakat-bangsa, kesehatannya
sedang tumbuh dan dapat dikatakan menghadapi kendala-kendala
berat. Indikasi-indikasi "ketidaksehatannya” cukup kuat: seks bebas,
hedonisme, korupsi, “markus” atau mafia hukum, politik uang dan
kekuasaan dan Machiavellian bukan politik pengabdian/kebangsaan/
kenegaraan/ibadah, ketidakmandirian ilmu/teknologi, kemiskinan,
pengangguran, ketidakjujuran guru sekaitan dengan UN, aristokrasi

Desain Pendidikan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah j 4 1


gaya baru yang mementingkan gelar akademis dan gelar lainnya dan
mengabaikan kinerja yang terkait dengan gelar tersebut, inefisiensi
birokrasi dan korup bahkan di kampus-kampus perguruan tinggi.
Jika begini keadaannya, Indonesia tidak mendidik anak-anak dan
generasi mudanya; atau bahkan sedang melakukan demagogi agar
orang-orang merasa legitimatif ketika melakukan korupsi.
Demikianlah, dapat saja pengalaman ke empat tersebut tidak
menjadi mitra pengalaman kesatu, kedua, dan ketiga dalam mendidik
anak-anak dan generasi muda. Pengalaman keempat tersebut dapat
saja menjadi counterculture yang buruk bagi sekolah.
Lingkungan ke satu, kurikulum sekolah yang programatik, dapat
saja melibatkan para siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan
keempat. Ini dicontohkan melalui kegiatan sensitifisasi masyarakat
terhadap korupsi yang dimotori oleh anak-anak sekolah di Maroko
dalam rangka memerangi korupsi yang akut. Kegiatan-kegiatannya
antara lain lomba menulis surat untuk para pejabat publik atau
anggota parlemen tentang korupsi; penjualan stiker, gantungan kunci
anti-korupsi dan lain-lain; lomba pidato anti-korupsi (Kesuma dkk.
2009: 122).
Contoh lainnya, seorang guru SD di Amesville, Ohio, Amerika
Serikat, Ibu Elaski, yang skeptis terhadap badan perlindungan
lingkungan setempat dalam bertindak menghadapi pencemaran
lingkungan oleh sebuah industri yang menumpahkan cairan kimia
(solvent) ke sungai yang mengalir dekat sekolah, lingkungan
permukiman para siswa, dan peternakan/pertanian setempat. Dalam
rangka pendidikan lingkungan hidup di SD tersebut, ia berbicara
pada para siswanya. Para siswa ini kemudian menamai diri mereka
sebagai “para pakar kimia air kelas enam Amesville”. Inilah beberapa
cerita tentang mereka.
Para siswa mengunjungi Universitas Ohio, pejabat-pejabat
badan perlindungan lingkungan lokal dan pusat, dan
Departemen Kesehatan untuk mendapatkan informasi tentang
hasil tes. Dalam pertemuan-pertemuan kelas, Elasky dan
para siswa memutuskan bahwa kelompok-kelompok siswa
harus menginvestigasi sumber-sumber dan pengaruh-pengaruh
polutan yang sedang mereka tes dan menyajikan temuan-
temuan mereka di dalam kelas; mewawancara orang-orang

42 I Memaknai Pendidikan Karakter


yang mengetahui tentang polusi air dan ekologi anak sungai;
mengembangkan sebuah tabel besar untuk tabulasi hasil-
hasil tes; dan meluncurkan sebuah kampanye iklan untuk
memasarkan layanan pengetesan mereka kepada individu-
individu dalam komunitas Amesville (hasilnya digunakan
untuk mengganti pengeluaran kelas).

“Kami mencurahkan banyak waktu mendiskusikan


terjadinya banyak hal tentang pencemaran ini”, Elasky berkata,
"tetapi ini tidak sia-sia”. Hal ini menciptakan pemahaman
atas proses-proses demokratis dan banyak peluang untuk
mengembangkan pemikiran kritis dan kecakapan berdiskusi”.

Selama beberapa bulan, para siswa menginterviu para


pakar di Universitas Ohio tentang polutan; berbicara dengan
para pejabat tentang perairan lokal dan pembuangan kotoran
pabrik melalui sungai, menyelusuri sejarah wilayah mereka;
membuat jurnal; menggunakan komputer untuk membuat
tabel-tabel polutan; membuat peta; mengambil gambar foto
dan mencetaknya; menulis kepada para pejabat pemerintah;
dan mengetes sumur-sumur, tangki-tangki air bawah tanah,
dan saluran-saluran air di Amesville. Di penghujung tahun
ajaran mereka dengan bangga menyajikan proyek mereka di
sebuah konferensi tentang pendidikan umum dalam sebuah
masyarakat demokratis di Universitas Ohio. Ini cakapan
mereka tentang pengalaman mereka.

Belajar tanpa buku lebih menyenangkan ketimbang mencurahkan


waktu sehari penuh dengan buku. Kami belajar berkooperasi
antarteman. Kami berpikir proyek jenis ini penting karena
kami belajar banyak hal, termasuk pertanggungjawaban. Hal
ini juga membantu pelajaran kami dalam IPA, kesehatan,
bahasa, berbicara, menulis, dan membaca.

Kami juga menikmati hal ini karena proyek ini menyenangkan,


dan kami merasa kami cukup dewasa untuk bekerja dengan
bahan-bahan kimia dan mampu melakukannya. Alasan
lainnya adalah kami menganggap penting untuk mengetahui
apa minuman anda setiap hari.
Sumber: Lickona, Thomas (1991). Educating for Character. How our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books. H. 161-162

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 43


Teori Pendidikan Karakter. Untuk memahami pendidikan karakter,
lebih mudah rasanya jika kita memulainya dengan memahami ranah-
ranah kepribadian yang ingin dikembangkan melalui pendidikan. Sejak
kerja besar Bloom dan kawan-kawan mengembangkan taksonomi
tujuan-tujuan pendidikan pada akhir tahun 1950-an, dan masuk ke
Indonesia sekitar pertengahan tahun 1970-an melalui Kurikulum ’75,
kita mengenal tiga ranah kepribadian yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Sebetulnya, jika sekedar pengenalan tentang ranah ini,
penemuannya sudah lama jauh sebelum Bloom dan kawan-kawan
mengemukakannya, yaitu dengan istilah: kepala, hati, dan tangan
atau dalam bahasa Inggris head, heart, and hand. Yang istimewa
dari Bloom dan kawan-kawan adalah elaborasi ranah kognitif ini
secara saintifik.
Ranah kognitif dikembangkan melalui pengajaran pengetahuan
dan utamanya sains. Sejak Kurikulum ’75 hingga saat ini, banyak
kalau bukan seluruh sekolah Indonesia membuat pendidikan menjadi
pengajaran pengetahuan secara eksklusif, mengabaikan pendidikan
afe ktif/ n i1ai/s ikap/mo ra1/ akhlak/budi pekerti. Kementerian Pendidikan
Nasional, melalui UN-nya, menyediakan tagihan untuk pengajaran
pengetahuan; dan pendidikan karakter belum menjadi tagihannya
sekalipun Standar Isi menghendaki penyelenggaraan pendidikan
karakter. Keadaan ini diperparah oleh Badan Akreditasi Sekolah
yang juga menyediakan tagihan-tagihan administratif ketimbang
pendidikan atau pedagogi.
Pengajaran di abad ke-20 Indonesia menjadi bias, berkenaan
secara eksklusif dengan sains. Dalam KBBI (Moeliono, 1996: 14-15),
mengajar berarti (1) member pelajaran (misalnya, berhitung), (2)
melatih, dan (3) memarahi (memukuli, menghukum, dan sebagainya)
supaya kapok. Arti yang ketiga, memarahi, menunjukkan “mengajar”
tidak eksklusif kognitif, tetapi juga afektif. Adapun ajaran diartikan
sebagai ( ١) segala sesuatu yang diajarkan, (2) nasihat, (3) petuah, (4)
petunjuk, dan (5) paham (misalnya, paham Mahatma Gandhi). Di
sini kata ajaran juga tidak eksklusif kognitif, ada unsur afektifnya.
Berdasarkan hal ini, mengajar bersifat komprehensif, sama dengan
pendidikan.
Sehubungan dengan biasnya pengajaran orang-orang saat ini,
barangkali memberi tekanan pada pendidikan (dibedakan dari

44 Memaknai Pendidikan Karakter


pengajaran!teaching) dan pendidikan karakter, untuk menandingi
pengajaran. Pengajaran menjadi bias tersebut ada hubungannya
dengan peradaban Barat yang mengutamakan ilmu-teknologi,
berlangsung melalui zaman modernisme. Modernisme mevakini ilmu,
bukan yang lainnya termasuk agama, akan memajukan peradaban.
Jika kita bertumpu pada skema kognitif, afektif, psikomotor,
pendidikan karakter identik dengan pendidikan afektif; dan seakan
terpisah secara saling menolak-serta (mutually exclusive) dengan
pendidikan kognitif dan psikomotor. Sesungguhnya tidak demikian
halnya, sering terdapat persinggungan atau irisan antara ketiganya.
Pengajaran yang eksklusif, seperti yang teijadi dewasa ini, mengeksklusi
(menolak-serta) khususnya pendidikan afektif untuk bergabung.

Gambar 2.2 Irisan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dalam


pendidikan karakter

Banyak guru terlibat dalam suatu bentuk pendidikan sikap,


meskipun mereka tidak selalu menyadarinya. Dalam beberapa kasus,
pembelajaran sikap merupakan tujuan utama dari pengajaran.
Kampanye-kampanye anti-narkoba, anti-korupsi, dan keluarga
berencana adalah contoh dari tipe pengajaran yang berfokus sikap.
Pembelajaran sikap dapat menjadi sebuah komponen utama,
sebagaimana kampanye-kampanye tersebut, dan dapat pula menjadi
sebuah komponen di antara komponen-komponen pembelajaran
lainnya (kognitif dan psikomotor). Strategi-strategi pengajaran yang
spesifik dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran afektif, apakah
ia sebagai sebuah komponen utama ataupun ia sebagai sebuah
komponen pembelajaran diantara pembelajaran jenis-jenis lainnya.
Hasil-hasil belajar dan perubahan atau perkembangannya.
Hasil-hasil belajar afektif melibatkan sikap, motivasi, dan nilai-nilai.

Desain Pend‫؛‬d ‫؛‬kan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah ! 45


Ekspresi dari hal-hal ‫ ﻟﻂ‬melibatkan pernyataan-pernyataan tentang
pendapat, kepercayaan/keyakinan, atau penilaian terhadap harga
dari sesuatu (Smith ‫ ظ‬Ragan, 1999, dalam Miller, 2005). Sikap
diperoleh melalui belajar/pengalainan atau merupakan predisposition
(kecenderungan) yang terbangun pada diri seseorang untuk merespon
sesuatu (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Dewasa
ini, banyak peneliti bersepakat bahwa sikap diperoleh (bukan
bawaan) dan karena itu “dapat dikenai pernbahan yang cukup
prediktif "(Simmons ‫ ه‬Maushak, 2001, p. 84 dalam Miller, 2005),
meskipun beberapa peneliti meyakini bahwa beberapa sikap bisa
jadi bawaan atau bisa jadi memiliki asal-usul biologis (Eagly &
Chaiken, 1993 dalam Miller, 2005). Sikap-sikap adalah sistem-sistem
atau konstruk-konstruk yang terdiri atas empat kualitas yang saling
berhubungan: respon-respon afektif, kognisi-kognisi, intensi-intensi
perilaku, dan perlaku-perlaku. Sikap-sikap bervariasi dalam arah
(positif atau negatif), derajat (jumlah perasaan positif atau negatif),
dan intensitas (tingkat komitmen yang dimiliki individu terhadap
‫ﻫﺎ ؛‬،‫ ال‬posisi). Sikap-sikap tidak secara langsung dapat diobservasi,
tetapi tindakan-tindakan ‫ ﺳﻞ‬perilaku-perilaku yang disumbang oleh
sikap dapat diobse^asi (Bednar ‫ ه‬Eerie, 1993 dalam Miller, 2005).
Meskipun "ranah kognitif ‫ ﺳﻚ‬afektif berinteraksi secara signifikan
dalam pengajaran ‫ ﺳﻚ‬pembelajaran" (Martin ‫ ه‬Briggs, 1986, p. 3
dalam Miller, 2005), perilaku apapnn yang memiliki suatu komponen
emosi terletak dalam ranah afektif.
Perubahan sikap. Pembahan sikap adalah suatu J^rkembangan
dalam arah, derajat, atau intensitasnya. Sebuah ‫ آل ﻟﻢ‬1‫ اض‬dalam
sebuah komponen dari sebuah sikap dapat menghasilkan pembahan
pada komponen-komponen lainnya. Lagi pula, sikap-sikap terhadap
sebuah objek dapat berkaitan dengan sikap-sikap terhadap objek
lainnva, dan pembahan dalam sebuah sikap dapat menggiring
pembahan sikap yang lainnya (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam
Miller, 2005).
Teori-teori pembentukan dan pembahan sikap. Ringkasnya,
‫ ﻟﻂ‬adalah teori-teori belajar tentang pembahan sikap, fokus pada
penguatan perilaku sebagai faktor primer penentu perkembangan
sikap.
Teori disonansi kognitif. Riset awal tentang pembahan sikap
berasal ‫ﻣﺤﻚ‬teori disonansi kognitif Eestinger, yang mengemukakan

46 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


bahwa, ketika seseorang terpersuasi untuk bertindak dengan suatu
cara yang tidak sejalan dengan sebuah sikap yang sudah ada
sebelumnya, ia bisa jadi m engubah sikapnya untuk mengurangi
disonansi tersebut (Sm ith & Ragan, 1999 dalam Miller, 2005).
(disonansi artinya suara yang tidak menyenangkan, inkonsistensi).
P em anfaatan disonansi u n tu k m enghasilkan p eru b ah an sikap,
pendidik pertama-tama harus menciptakan disonansi, dan kemudian
menyediakan sebuah metode untuk mengurangi disonansi tersebut.
Idealnya, hal ini akan melibatkan pem buatan alternatif terpilih yang
menarik, mempertunjukkan sebuah kelompok sosial dengan sikap
yang diharapkan, m em buktikan pentingnya isu yang dimaksud,
menyediakan pemilihan bebas, dan penyediaan ruang luas untuk
penerimaan melalui penghampiran bertahap (Martin & Briggs, 1986
dalam Miller, 2005 ).
Teori-teori konsistensi. Sam a halnya, teori-teori konsistensi
mengasumsikan bahwa individu-individu m embutuhkan pengalaman
konsistensi antara di kalangan sikap dan perilaku akan memodifikasi
satu atau keduanya untuk mencapai keseimbangan ini (Zimbardo &
Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Teori konsistensi afektif-kognitif
mengkaji perhubungan antara sikap-sikap dan kepercayaan-kepercayaan
dan mengungkapkan bahwa individu-individu berada dalam suatu
keadaan tidak stabil ketika sikap-sikap m ereka terhadap sebuah
objek, peristiwa atau orang dan pengetahuan mereka tentang objek,
peristiwa atau orang tersebut bersifat tidak konsisten (Simonson &
Maushak, 2001 dalam Miller, 2005). Teori ini menyarankan bahwa
komponen afektif dari sistem sikap dapat diubah dengan menyediakan
informasi baru (pengubahan komponen kognitif) melalui sebuah pesan
yang persuasif. Ketika individu selesai memproses informasi baru,
ia akan mengalami perubahan sikap yang membuat pengetahuan
dan perasaan m engalam i harm oni. Pem rosesan pesan tersebut
mempersyaratkan orang mencurahkan perhatiannya dan memahami
pesan tersebut, kem udian m enerim a dan m em pertahankannya
(Zimbardo & Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Teori konsistensi
afektif-kognitif menyarankan bahwa komponen afektif dari sistem
sikap dapat diubah dengan pertama-tama pengubahan komponen
kognitif melalui penyediaan informasi baru.
Meskipun faktanya bahwa sikap-sikap disimpan secara terpisah
dari kognisi-kognisinya yang terkait, yang berarti bahwa seseorang

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 47


dapat mengalami sebuah perasaan tanpa mengingat informasi atau
kejadian yang memieu perasaan tersebut, sikap-sikap pada umumnya
akan lebih kuat ketika kaitan antara kom ^nen-kom ponen kognitif
dan afektif dimunculkan secara sadar (Zimbardo & fcippe, 1991
dalam Miller, 2005). Agar hal ini berhasil, tentunya, si penerima
harus memperhatikan terhadap pesan yang menyediakan informasi
tersebut. Sebuah kecenderungan untuk m em andang secara pasif
terhadap pesan dapat dikurangi dengan memberi petunjuk pada
siswa untuk m em perhatikan dan memihki kesiapan sehubungan
isi pesan akan diteskan (Wetzel c't al., 1994 dalam Miller, 2005).
Menurut Zimbardo and Leippe (1991 dalam Miller, 2005), “sebuah
pesan persuasif sangat mungkin menyebabkan sikap dan tingkah
laku berubah jika ia dapat membentuk keyakinan tentang suatu
topik dan keyakinan tentang apa yang dipikirkan individu dan
kelompok sosial yang penting dan bagaim ana m ereka berbuat
terhadapnya" (p. 188). Pesan persuasif yang sangat efektif adalah
yang “m em buat indh'idu berpikir tentang sebuah isu atau objek
dalam gam baran yang konkret, hidup y ‫؛‬mg memiliki implikasi-
implikasi yang jelas bagi perilaku” (Zimbardo & Leippe, 1991, p.
)94 dalam Miller, 2005).
Teori-teori pertimbangan sosial. Teori-teori ‫]؛؛‬٦ menekankan peranan
sikap-sikap sebelumnya dalam pembentukan dan perubahan sikap.
Mereka mendeskripsikan sikap sebagai sebuah jenis dari spektrum
dengan sebuah “ruang penerimaan” yang mengelilingi sebuah sikap
yang ada. Sebuah posisi baru lebih mungkin untuk diterima jika ia
termasuk ke dalam ruang penerimaan tersebut dan kurang mungkin
diterima jika ia tidak dem‫؛‬k‫؛‬an (Smith & Ragan, 1999 dalam Miller,
2005). Teori ‫؛؛‬١٦ menyarankan bahwa pem bahan dalam posisi sikap
dapat lebih besar ،:‫أاااا‬،‫ ﻟﻞ؛‬merespon terhadap presentasi dari sebuah
posisi persuasif yang moderat ketimbang dalam merespon terhadap
sebuah pesan yang lebih ekstrem. Sebagaim ana ‫ا‬-‫ اآآ[ ا؛ا‬-‫ ل؛‬dengan
teori disonansi, teori pertimbangan sosial menyampaikan pem bahan
sikap sebagai sebuah respon terhadap penerim aan sebuah pesan
yang tidak sepenuhnya sejalan dengan sikap yang dianut seseorang.
Penerimaan posisi ‫ ااآل؛ت؛‬bergantung atas termasuk tidaknya posisi
bam tersebut ke dalam m ang penerimaan si penerima. “Penggunaan
penghampiran bertahap dapat memperluas m ang penerimaan dan
dengan dem ikian m em ungkinkan p em b ah an sikap yang lebih

M em adai Pendidikan Karakter


besar” (Bednar & Levie, 1993, p. 295 dalam Miller, 2005). Ruang
penerimaan ini beranalogi dengan zona proximal development dalam
teori perkembangan sosial sebagaimana dibahas dalam bab tentang
“Konstnrksionisme Vygotsky”.
Teori pembelajaran sosial. Teori ‫؛؛ ؛‬٦ fokus pada perkembangan
kognisi-kognisi yang berkaitan dengan dampak perilaku yang diharapkan.
Teori ‫؛ ؛‬٢١ menyarankan bahwa seorang individu belajar sikap-sikap
dengan mengamati perilaku-perilaku orang lain dan menjadikannya
model atau mengimitasinya (McDonald & Kielsmeier, 1970 dalam
Miller, 2005). Suatu perilaku yang diamati tidak harus diperkuat
untuk dipelajari (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller, 200.5),
dan modelnya "dapat disajikan dalam film, oleh televisi, dalam
sebuah novel, atau oleh sarana-sarana pengalaman tidak langsung
lainnya” (Martin ‫ ه‬Briggs, 1986, p 28 dalam Miller, 2005). Si model
harus kredibel bagi pemirsa sasaran (Bednar & Levie, 1993 dalam
Miller, 2005). Kredibilitas utamanya sebuah fungsi dari kepakaran
dan kejujuran. Pembelajaran observasional meningkat ketika model-
model dipersepsi sebagai berpengaruh (poweiful) dan/atau hangat
d an m endukung, d an “perilaku im itatif lebih m ungkin ketika
terdapat beragam model mengeijakan hal yang sam a” (Zimbardo
& Leippe, 1991, p. 51 dalam Miller, 200.5). Sementara “sikap-sikap
yang terbentuk melalui pengalaman langsung dengan objek atau isu
sikap adalah lebih prediktif ketimbang sikap-sikap yang terbentuk
melalui pengalaman tak langsung” (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991, p. 193
dalam Miller, 200.5), “media dapat menggantikan banyak pengalaman
langsung” (Wetzel et al., 1994, p. 26 dalam Miller, 2005). Dengan
demikian, mengamati sebuah model melalui video adalah sebuah
metode yang bermanfaat dalam pembelajaran sebuah sikap ‫؛‬١٤١١٧.
Bagi pan، pembelajar pasif, pengajaran yang disampaikan melalui
m edia dapat m emfasilitasi pem erolehan cepat ^rilak u -p erilak u
afektif yang kompleks secara lebih efektif ketimbang demonstrasi
langsung (M cDonald ‫ ه‬Kielsmeier, 1970 dalam Miller, 2005).
Bagaimanapun, para penerima dapat memperhatikan pesan-pesan
vang termediasi secara kurang erat ketimbang yang disajikan secara
langsung (Bednar & Lerie, 1993 dalam Miller, 2005). Teori-teori
pembelajaran sosial tentang pem bahan sikap terkait erat dengan
teori-teori yang m enekankan peranan ^ m b ela jarau sosial dalam
perkembangan kognitif. Pahamilah bab-bab tentang Konstruktivisme

Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah


Sosial dan Pem agangan Kognitif, misalnya, untuk pem bahasan-
^ m b ah asan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif.
Teori pembelajaran sosial juga sam a dengan pemagangan kognitif
yang m enekankan pada pem odelan sebagai sebuah eara berbagi
pengetahuan.
Teori-teori fungsional. Teori-teori ini menyarankan bahwa sikap-
sikap bertugas melayani beragam kebutuhan psikologis ‫ ﺳﻞ‬bahwa
perubahan sebuah sikap m em persyaratkan sebuah pem aham an
mengenai tujuannya dalam ketfeh^tan individu yang ■™ n^ntanya.
K em anfaatan teori ini dib atasi oleh fakta bahw a riset sikap
dalam wilayah ini belum m en^asilkan sehimpunan kategori yang
konsisten vang menghubungkan sikap dengan kebutuftan-kebutuhan
psikologis (Bednar ‫ ه‬Levie, 1993 dalam Miller, 2005). Riset telah
memperlihatkan bahwa sikap-sikap yang berkaitan dengan konsep-
diri sering melaksanakan fungsi ego-defensif dan sikap-sikap ego-
defensif khususnya sulit untuk diubah (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991
dalam Miller. 2005).
T a kso n o m i K rathw ohl. T e rd a p a t b e b e ra p a u p ay a u n tu k
ro^gklasiiikasi tipe-tipe dan tingkat-tingkat pem belajaran dalam
ran ah afektif. Barangkali klasifikasi yang paling dikenal orang
adalah yang dikem bangkan oleh Ki'athwohl, Bloom, and Masia
in 1964 (Atherton, 2010). Taksonomi Krathwohl memiliki lim a
kategori utama.
• Receiving/Attending/menerimaJmengikuti - keinginan untuk menjadi
sadar.
• Responding/merespon - mengapresiasi atau menginternalisasi.
٠ Valuing/menilai - menerima, memilih, menjadi berkom itm en
im trik

٠ Conceptualizing/Oi'ganizing - ?uemadukan ke dalam sebuah sistem


nilai.
• Characterizing by va/zi،7karakterisasi oleh nilai - orientasi terhadap/
identifikasi dengan.

Pembelajaran pada sebuah ‫ س^ﻫﻄﺊ‬bergantung pada keberhasilan


pembelajaran pada tahapan sebelumnya.
Tabel berikut ini menyediakan pandangan yang menyeluruh
tentang asum si-asum si dasarlah d an inrplikari-lm phkasi kunci
instruksional dari teori-teori di atas.

Memaknai Pendidikan Karakter


Tabel 2.3 Pandangan menye^ruh tentang teori-teori pembentukan dan
perubahan $‫^؛‬ap

Teori Asumsi dasariah Saran pengajaran

Behavioral Pembelajaran terjadi ketika • Mengupayakan


perilaku diperkuat secara siswa berbuat sesuai
positif dengan sikap yang
diharapkan
• Menyediakan
penguatan positif
Disonansi kognitif Keadaan goyah tercipta ketika • Ciptakan disosansi
sikap-sikap inkonsisten dengan ٠ Sediakan sarana
tingkah laku pengurang disonansi
bebas untuk
membuat pilihan
menarik
konsistensi afektif- Keadaan goyah tercipta ketika Ubah komponen kognitif
kognitif sikap-sikap inkonsisten dengan pertama-tama dengan
pengetahuan menyediakan informasi
baru
Pertimbangan Sikap-sikap yang ada Penyiapan bertahap
sosial dikelilingi oleh ruang pesan-pesan dalam mang
penerimaan -: ‫؛‬ penerimaan

Pembelajaran Individu: belajar sikap;dengari, • Sediakan model


sosial mengamati ^nfmengirnitasf 1 yang berpengaruh
perilaku orang lain (powerful)
• Beragam model
mengerjakan hal yang
sama
Fungsional Tujuan sikap memenuhi Acknowledge ego-
kebutuhan seseorang yang defensive role of
menganutnya menentukan attitudes related to
metode terbaik untuk self-concept. (peranan
mengubahnya ego-defensif dari sikap
berkaitan dengan konsep
diri).
Taksonomi Intensitas sikap yang ada Pembelajaran pada
Krathwohl dibangun melalui tahap-tahap sebuah tahapan
beruntun bergantung pada
pembelajaran sebelumnya
pada tahapan yang lebih
rendah

Diterjemahkan ٢١‫ ظ‬sedikit adaptas‫ ؛‬dari: OverView o f t^ e théories o f aptitude form ation and change
(Miller; 2005)

Desain Pendidikan Karakter di 5ekolah ‫ا‬ 5 ‫ا‬


Beberapa temuan tentang desatn instruksional untuk pem bahan
sikap. Desain efektif pengajaran afektif, sebagaimana hasil studi
Simonson and Maushak (2001 dalam Miller, 2005), yaitu:
1. buatlah pengajaran realistik, relevan, dan menstimulasi secara
teknis;
2. sajikan informasi baru;
3. sajikan pesan-pesan persuasif dengan cara kredibel;
4. bangkitkan keterlibatan emosional bertujuan;
5. libatkan siswa dalam perencanaan, produksi, atau penyampaian
pesan
6. sediakan diskusi pasca-pengajaran atau peluang-peluang kritik.

Smith dan Ragtur (1999 dalam Miller, 2005) memusatkan diri


pada aspek behavioral dari pembelajaran sikap dan menekankan
pentingnya tiga pendekatan instruksional kunci:
• demonstrasikan perilaku yang diharapkan oleh seorang model
peranan yang dihargai;
٠ praktikkan perilaku yang diharapkan, sering melalui permainan
peranan;
• perkuat perilaku yang diharapkan.

Bednar & Levie (١993 dalam Miller, 2005) mengajukan rekomendasi


yang sama. Ketika mendesain pengajaran untuk pem bahan sikap,
"tiga pendekatan berkem bang dari literatur teoretis: penyediaan
sebuah pesan persuasif; pemodelan dan pemerkuatan tingkah laku
yang sesuai; dan munculkan disonansi antara komponen-komponen
kognitif, afektif, dan behavioral dari suatu sikap. Pendekatan-
pendekatan ini idealnya digunakan secara tandem” (p. 286).
Dewasa ini, tidak terdapat kesepakatan yang bulat tentang
tatanan optimal untuk menyajikan berbagai pesan kognitif dan
afektif yang terkandung dalam sebuah unit pengajaran. Sejumlah
peneliti m enem ukan bahw a “pengetahuan tentang sebuah topik
sering menjadi sebuah prasvarat untuk sebuah posisi sikap positif
terhadap suatu ide” (Simonson ‫ ظ‬Maushak, 2001, p. 1010 dalam
Miller, 2005). Para peneliti lainnya m enyanm kan bahw a ”orang
yang lebih terdidik memiliki kesiapan yang baik untuk beradu
argumentasi dan karena itu kurang mungkin untuk menerima atau
dipersuasi oleh informasi batu” (Ansolabehere et al., 1993, p. 151

M em aknai Pendidikan K ara kter


dalam Miller, 200.‫) ؟‬. Teori yang pertam a ini akan m enyarankan
bahw a para pem belajar akan mengalam i perubahan sikap yang
lebih jika aspek-aspek kognitif dari sebuah pelajaran disajikan
sebelum aspek-aspek afektif diintroduksikan, sementara teori yang
kedua menyarankan pengaruh yang sebaliknya. Kemampuan sebuah
pesan persuasif untuk memproduksi perubahan sikap terkait erat
dengan kekuatannya, dan "informasi statistik yang kering memilhvi
pengaruh yang kurang ketimbang contoh-contoh yang hidup dan
konkret” (Zimbardo ‫ ه‬l.e‫؛‬ppc, 1991, p. 337 dalam Mille،', 2005).
Bagaimanapun, studi-studi tentang penontonan televisi di rum ah
telah memperlihatkan bahwa cerita-cerita yang “berkaitan dengan
topik-topik yang berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki
para pemirsa cenderung untuk diingat dengan lebih baik” (Wetzel et
al., 1994, p. 53 dalam Miller, 2005). Pertama sajikan yang ،١٨١٧٨٦
dan kemudian yang khusus, pertama yang abstrak dan kemudian
yang konkret, tam paknya m erupakan desain instm ksional yang
sesuai haik ‫ ا‬،‫ < ااااآا‬ranah kognitif m aupun afektif.
K arena penyajian pesan-pesan yang kredibel dan persnasif
merupakan sebuah komponen kunci dari pengajaran sikap, eksplorasi
lebih lanjut terhadap pengajaran kredibel dan persuasif bisa jadi
akan bermanfaat. Penerimaan sebual) pesan adalah ”tidak terlalu
berkenaan dengan Isi pesan sebagai kognisi-kognisi, tetapi dalam
bentuk respon-respon evaluatif” (Zim bardo & Leippe, 1991, p.
150 dalam Miller 2005). Efektivitas dari sebuah pesan persuasif
bergantung pada persepsi si penerima tentang sumber kredibilitas,
dan lmedibilitas adalah fungsi kepakaran dan kejujuran.
Ketika informasi yang disajikan penting bagi si penerima dan
^ ^ a b a n n y a rendah, sebuah pesan intelektual akan mungkin lebih
persuasif, dan peningkatan objektivitas dapat membantu mengatasi
resistensi terhadap perubahan sikap. Sebaliknya, ketika pentingnya
pesan adalah relatif rendab dan keakrabannya tinggi, im bauan
emosional adalah lebih berhasil. “Citra-citra emosional membutuhkan
penglihatan, suara, dan kualitas gerakan yang >‫؛‬ ‫ا؛ ا؛ ااا؛اا‬ oleh TV”
(Zimbardo & Leippe, 1991, p. 149 dalam Miller 200.5).
“Trick yang m enyertai desain pesan persuasif ideal adalah
bahvva ia harus berupa kualitas agar respon-respon kognitif si
penerima sendiri terhadapnya bersifat banyak dan sesuai dengan
yang diharapkan” (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991, p. 182 dalam Miller

Desain Pendidikan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah


2005). Contohnya, studi-studi (e.g., Allison, 1966; Wade and Pool,
1983; Bage, 1997 dalam Miller 2005) menemukan bahwa video-video
persuasif lebih mungkin untuk menghasilkan perubahan sikap ketika
diskusi-diskusi pasea menonton dilaksanakan. Jika unit pengajaiun
dim ulai dengan sebuah tekanan pada dam pak-dam pak kognitif,
dilanjutkan dengan pesan m edia persuasif, dan ditutup dengan
sebuah bagian diskusi, maka para siswa akan ،«‫س‬ ^ dengan
beberapa peluang untuk m engem bangkan dan mengekspresikan
respon-respon kognitif mereka terhadap ‫؛ﺳﺎم‬ yang disajikan.
M asing-masing tahap pengajaran hendaknya menyajikan pesan-
pesan penting, persuasif dengan informasi baru (dalam rangka)
memprovokasi kognisi-kognisi yang lebih dan karena itu meningkatkan
perkem bangan sikap" (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 150 dalam
Miller 2005). K arena itu, kom ponen persuasif hendaknya tidak
hanya menyatakan ulang informasi yang tereedia sebelumnya, tetapi
harus mengelaborasi dan memperluasnya.
Sebuah keuntungan dari pengajaran bermedia adalah kemampuannya
m elakukan repliltasi seeara ek sak pengajaran sikap yang sam a
dapat disampaikan secara eksak pada banyak kelompok (McDonald
& Kielsmeier, 1970 dalam Miller 2005). ?engajaran komponen-
komponen kognitif dan afektif yang ditutup dengan sebuah diskusi
dapat m em bantu m enciptakan perubahan sikap lebih permanen,
karena pesan-pesan yang dihasilkan sendiri bersifat lebih dapat
diingat ketimbang yang hanya diterima dari pihak lain (Zimbardo
‫ه‬ Leippe, 1991 dalam Miller 2005). “Orang-orang menjadi lebih
penuh kesadaran ketika mereka m enjum pai stim ulus baru yang
tidak sesuai dengan kategori-kategori (konsep) yang sudah terbangun
dan ketika mereka termotivasi untuk terlibat dalam berpikir secara
sistematik, ketimbang tergelincir ke dalam proses tanpa berpikir”
(Zimbardo and Leippe, 1991, p. 259 dalam Miller 2005). Pentingnya
keterlibatan kognitif ini untuk perubahan sikap hendaknya jangan
dianggap sepele. “Perubahan-perubahan sikap yang m etupakan hasil
dari proses mental aktif dan sistematik adaiah paling bertahan lama,
penrbahan-petubahan yang tak lekang oleh waktu” (Zimbardo &
Leippe, 1991, p. 181 clalam Miller 2005).
Sebagaim ana dibahas di atas, kom ponen-kom ponen afektif
sering hadir dalam banyak perencanaan pelajaran. Penam bahan
tujuan-tujuan objektif pada pengajaran lainnya tidak perlu menyita

54 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


banyak waktu. Sebuah meta-analisis tentang studi-studi perubahan
sikap berkaitan dengan bias dan prasangka telah memperlihatkan
b ahw a p e rla k u an -p erla k u an singkat u m u m n y a m en g h asilk an
pelubahan sikap yang lebih ketimbang perlakuan yang lebih lama.
Dengan kata lain, “waktu perlakuan yang singkat secara jelas lebih
kondusif untuk pengurangan prasangka (McGregor, 1993, p. 222
dalam Miller 2005). Implikasi-implikasi dari temuan ini sangat luar
biasa untuk intervensi-intervensi ketika perubahan sikap merupakan
tujuan utamanya.
Jika seorang guru mentpet'sepsi bahwa sikap para siswanya sudah
menyertai peneapaian tujuan yang ada, ia bisa jadi tidak tergoda
untuk menangani komponen afektif dari pelajaran. Bagaimanapun,
penguatan tetap penting. “Kurangnya resistensi (terhadap persuasi)
adalah dimungkinkan ketika sikap dan kepercayaan masih dalam
tahap-tahap pem bentukan atau ketika individu memasuki sebuah
lingkungan sosial baru dan sangat berbeda” (Zimbardo & Leippe,
1991, p. 225 dalam Miller, 2005). Dengan dem ikian pentingnya
pengkonfirm asian dan penguatan sikap-sikap positif yang ada
hendaknya jangan dianggap sepele. Semakin mendalam pemikiran
yang menyertai sebuah sikap, maka semakin resisten ia terhadap
perubahan (Zimbardo & Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Dengan
m em otivasi p a ra sisw a u n tu k m erefleksi sikap-sikap m ereka,
pengajaran dapat menggiring ke meningkatnya intensitas sikap-sikap
dan pemranensi.
Sementara sikap-sikap um um adalah prediktor yang baik dari
p e rila h yang umum, dan sikap-sikap spesifik adalah prediktor yang
baik dari perilaku-perilaku spesifik, yang um um tidak memprediksi
yang khusus secara a‫؛‬eg, juga yang spesifik tidak meprediksi yang
um um secara ajeg (Sim onson ‫ ه‬M aushak, 2000 dalam Miller,
2005). K arena itu, dalam penilaian pem belajaran sikap, skala-
skala tipe I.ikert atau pengukuran-pengukuran tertutup yang sama
hendaknya ‫دﻟﻮه‬ secara tandem dengan instrumen-instrumen
yang lebih terbuka.
Pendidikan Afektif Krathwohl. Taksouomi ranah afektif Krathwohl,
disusun bersama Bloom dan Maria (1973), barangkali taksonomi
yang paling dikenal orang dalam bidang afektif. “Taksononri ini
ditata sesuai dengan prinsip internalisasi. Internalisasi m erujuk
pada proses perasaan/sikap terhadap sebuah objek yang berkisar

Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah


dari sebuah tingkatan kesadaran yang um um /hanya m enyadari
sesuatu/menjadi melek nilai, ke tingkatan dim ana perasaan tersebut
‘terinternalisasi’ dan secara konsisten membimbing atau mengontrol
tingkah laku seseorang” (Seels & Glasgow, 1990, p. 28). Demikianlah,
bahwa afeksi adalah proses mental atau kesadaran pada sisi emosi
utamanya, berkenaan dengan perasaan atau sikap positif-negatif.
"Taksonomi” artinya adalah “klasifikasi”, maka taksonomi tujuan-
tujuan belajar adalah sebuah upaya (dalam paradigma behavioral)
untuk mengklasifikasi bentuk-bentuk dan tingkat-tingkat belajar.
Taksonomi mengidentifikasi tiga “ranah" belajar, masing-masing
ranah ini diorganisasikan sebagai serangkaian tingkatan atau secara
pre-requisites. ٢!‫؛‬
١ m en ^ran k an bahwa seseorang tidak dapat secara
”’ mencoba untuk—menguasai tingkatan-tingkatan yang
lebih tinggi sebelum tingkatan yang lebih rendah dikuasai. Taksonomi
’ topik-topik dalam kurikulum disajikan secara runtunan,
juga m enyarankan suatu cara kategorisasi tingkatan-tingkatan
belajar. K arena itu, misalnya, dalam ranah kognitif, pendidikan
untuk teknisi bisa jadi mencakup pengingatan, pem aham an dan
penerapan, tetapi tidak berkepentingan dengan analisis dan yang di
atasnya, sedangkan untuk pendidikan profesional bisa jadi mencakup
analisis, evaluasi, dan kreasi.
Adapun susunan taksonomi afektif Krathwohl (Krathwohl dkk.,
1964, tersedia di :http://mvw.Iean7ingandteachmg.info/leaming/bloomtax.
htm. 01.08.10) sebagaimana disajikan pada diagram 2.4.

56 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


R anah afektif (K rathw ohl, Bloom, Masia, 1973) cara kita
m enghadapi suatu hal secara emosional, seperti perasaan, nilai,
apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Lima kategorinya dimulai
dari perilaku yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks:

Tabel 2.4 tima kategori afektif menurut Krathwhol

Kategori Contoh dan Kata Kunci (Verba)


Contoh: Mendengarkan orang lain dengan
hormat. Memperhatikan dan mengingat nama
Receiwng/menerima fenomena: orang yang baru diperkenalkan.
• Individu mulai sadar secara Kata Kunci: bertanya, memilih, mendeskripsikan,
positif akan fenomena mengikuti, memberi, mengidentifikasi, menunjukkan
tempat, menyebutkan nama, menunjukkan,
memilih, duduk, berdiri, menjawab, menggunakan.
Respondirtg jmerespon terhadap Contoh: Berpartisipasi dalam diskusi kelas.
fenomena: Memberikan sebuah presentasi. Mengajukan
٠ Berpartisipasi aktif mempelajari pertanyaan tentang cita-cita, konsep-konsep,
sesuatu. Memperhatikan dan model-model baru, dan lain-lain dalam rangka
mereaksi terhadap fenomena memahami secara penuh. Mengetahui peraturan
tertentu. keamanan dan mempraktikkannya.
• Hasil-hasil belajar dapat me­ Kata Kunci: menjawab, membantu, menye-
nekankan keinginan untuk diakan bantuan, mematuhi, menyesuaikan diri,
merespon, kepatuhan dalam mendiskusikan, menyambut, memberi label,
merespon, atau kepuasan melaksanakan, mempraktikkan, menyajikan,
dalam merespon. membaca, melaporkan, memilih, mengatakan,
menulis.

Va/u‫؛‬ng/menilai: Contoh: Mendemonstrasikan keyakinan terhadap


• Harga, nilai atau anggapan proses demokratis. Peka terhadap perbedaan
penting yang seseorang individual dan kultural (keanekaragaman nilai).
berikan pada sebuah fenomena
tertentu.

٠ Ini berkisar dari persetujuan


sederhana hingga keadaan Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah.
komitmen yang lebih kompleks Mengajukan sebuah rencana untuk pembaikan
terhadap nilai. sosial dan melaksanakannya dengan komitmen.
٠ Penilaian didasarkan atas Memberitahukan kepada manajer hal-hal yang
internalisasi sehimpunan nilai dirasakan dengan kuat.
spesifik Kata Kunci: menyelesaikan, mendemons-
٠ Keping-keping petunjuk untuk trasikan, membedakan, menjelaskan, mengikuti,
nilai-nilai ini terekspresikan membentuk, ^^rakarea, mengundang, l^rgabung,
dalam perilaku terbuka (overt) menju^fikasi, mengusulkan, membaca, melaporkan,
si pembelajar dan sering dapat memilih, berbagi, melakukan studi, bekerja.
didentifikasi.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 57


Contoh: Mengenali kebutuhan untuk menyeim-
bangkan antara kebebasan dan perilaku
bertanggung jawab. Menerima tanggung jawab
atas perbuatan sendiri. Menjelaskan peranan
dari perencanaan sistematis dalam memecahkan
Organization/mengorganisasi: masalah. Menyetujui standar etis profesional.
٠ Mengorganisasi nilai-nilai
Menciptakan sebuah rencana kehidupan yang
menjadi prioritas-prioritas harmoni dengan kemampuan, minat, dan keya­
melalui: mempertentangkan kinan. Memprioritaskan waktu secara efektif untuk
berbagai nilai, memecahkan memenuhi kebutuhan organisasi, keluarga, dan
konflik di antara nilai-nilai diri sendiri.
ini, dan menciptakan sebuah Kata kunci: menganut, mengubah, menyusun,
sistem nilai yang unik. mengkombinasikan, membandingkan, menye­
lesaikan, mempertahankan, menjelaskan, mem­
formulasikan, mengeneralisasi, mengidentifikasi,
memadukan, memodifikasi, menata, mengorga­
nisasi, mempersiapkan, menghubungkan,
mensintesis.

Contoh: Memperlihatkan kebergantungan pada


diri sendiri ketika bekerja secara mandiri. Bekerja
sama dalam aktivitas kelompok (memperlihatkan
kerjatim). Menggunakan sebuah pendekatan objektif
Characterizat/on/karakterisasi/
dalam memecahkan masalah. Memperlihatkan
internalisasi nilai:
• Memiliki sebuah sistem nilai komitmen profesional pada praktik etis secara
yang mengontrol perilaku. harian. Memperbaiki pertimbangan-pertimbangan
• Perilaku adalah pervasive (hadir dan mengubah perilaku berdasarkan evidensi
dirnana-mana, selalu ada), baru. Menghargai orang sebagaimana adanya,
konsisten, prediktif, dan yang bukan sebagaimana tampakannya.
paling penting, merupakan Kata Kunci: bertindak, membedakan, mem­
karakteristik seseorang. perlihatkan, mempengaruhi, mendengarkan memo­
difikasi, mengerjakan, mempraktikkan, mengusulkan,
mengkualrfikasi, bertanya, memperbaiki, melayani/
bertugas, memecahkan, memverifikasi.

Catatan penulis: Utamakan untuk memahami kategori/konsepnya, jangan hanya menggunakan kata-
kata kuncinya sementara tidak memahami konsepnya.

Kita dapat bayangkan posisi siswa sebelum diperkenalkan dengan


nilai-nilai baru adalah nol, tidak tahu, netral, atau mungkin negatif
atau menolak. Ini harus dipersiapkan oleh guru sebelum memulai
pengajarannya. Karena itu, m enurut penulis, tingkatan-tingkatan afektif
Krathwohl ini ketika dim anfaatkan oleh guru dalam pengajaran,
lengkapnya adalah sebagaimana berikut ini:

Memaknai Pendidikan Karakter


Karakterisasi diri oleh nilai j

j Pengorganisasian nilai

Pemberian nilai j

٢ Merespon 1

Menerima j

Netral atau negatif j

Gambar 2.4 Tingkatan-tingkatan afektif Krathwohl

Aplikasi Krathwohl. Sebagaim ana disebutkan di atas, bahw a


taksonomi ini berkenaan dengan perasaan/sikap terhadap sesuatu,
misalnya, perasaan individu siswa terhadap ide demokrasi, konsep
gotong royong (PKn), atau ide shalat (PAI). Perasaan ini harus
tum buh natural/sewajarnya pada diri siswa. Sangat mungkin adanya
perasaan ini tum buh dalam waktu yang lama, khususnya untuk
pencapaian tingkatan tertinggi: karakterisasi oleh nilai.
Perasaan yang sudah tum buh hendaknya relatif ajeg (reliahle)
dan dengan frekuensi yang cukup atau muncul berkali-kali. Jika
perasaan negatif saling berganti dengan perasaan positif, apalagi
hanya perasaan negatif yang sering muncul (dalam bentuk penolakan,
skeptis, tidak acuh/peduli, menghindar, antipati, benci), ini pertanda
tingkatan yang pertam a saja (receiving/menehma) belum tercapai
oleh siswa.
B arangkali tidak sem ua SK-KD (stan d ar kom petensi dan
kompetensi dasar), misalnya, dalam mata pelajaran IPA m enuntut
dilaksanakannya pendidikan karakter ini. Tetapi SK-KD yang mana
saja yang m enuntut pelaksanaan pendidikan karakter? Ini sebuah
pertanyaan yang belum banyak terjawab oleh para guru. Kurikulum
IPA SD internasional Cambridge, sejak kelas tiga hingga kelas
enam, menghendaki para siswa menguasai kompetensi keterampilan
proses inquiri, di samping isi IPA (konsep dan fakta IPA). Dapat
dibayangkan para siswa ini selam a em pat tahun pelajaran IPA

in Pendidikan Karakter di Sekolah


belajar keterampilan inquiri, dan ini tidak mungkin hanya berupa
keteram pilan m ekanis belaka. Akan lebih baik jika pendidikan
karakter menyertai pendidikan keterampilan ini, yaitu dalam rangka
pengembangan karakter ilmuwan/saintis. Dalam hal ini guru dapat
menerapkan taksonomi Krathwohl. Puncak keberhasilannya adalah
siswa yang dikarakterisasi oleh nilai-nilai metode inquiri, antara lain:
menolak mengambil simpulan jika tidak ada datanya, menghindari
pengambilan putusan berdasarkan perasaan belaka, meminta teman-
temannya untuk turut meninjau apa yang dikerjakannya, m enuntut
pengujian empiris atas suatu ide, memiliki rasa ingin tahu yang kuat.
Tugas guru IPA SD internasional Cambridge yang baik,
tidak hanya m engajar isi IPA dan m etode inquiri, tetapi juga
memfasilitasi agar karakter ilmuwan tum buh pada para siswanya.
Fasilitasnya adalah dalam bentuk penyediaan pengalaman belajar
yang sesuai.

Tabel 2.5 Ilustrasi pengalaman belajar siswa untuk berbagai ranah pendidikan

J e n i s
I s i P e n d . P e n g a l a m a n B e l a ja r I lu s t r a s i
P e n d i d i k a n

Pendidikan Isi ilmu Pengalaman Eksperimen pemuaian


kognitif (konsep dan empiris dan logam melalui
fakta) konseptualisasinya pemanasan dan
berupaya memahami
hukum pemuaian logam

Pendidikan Keterampilan Pengalaman empiris Eksperimen pemuaian


psikomotor metode inquiri dan konseptualisasi/ logam melalui
pemahaman logika pemanasan dan
inquiri, dan berlatih berupaya memahami
menggunakannya. logika eksperimen.

Pendidikan Karakter Belajar menyukai Upaya pengembangan


afektif ilmuwan metode inquri, respon-respon perasaan
atau perkembangan /sikap (positif) siswa
sikap positif selama mempraktikkan
siswa selama metode inguiri.
mempraktikkan
metode inquiri

Memaknai Pendidikan Karakter


Memperhatikan rum usan pengalaman belajar pendidikan afektif di
atas, dan menghubungkannya dengan pengalaman belajar pendidikan
psikom otor dan kognitif, dapat disim pulkan bahw a pendidikan
afektif harus menyertai pendidikan psikomotor dan kognitif, dan
jika tidak demikian, diduga kuat pendidikan afektif ini akan gagal.
Hasil-hasil belajar, kognitif, psikomotor, dan afektif, ada yang
dicapai dalam jangka panjang (satu semester, satu tahun, atau
selama bersekolah) dan ada yang dicapai dalam jangka pendek
dalam satu atau dua pertemuan. Kebiasaan para guru dewasa ini
adalah berorientasi pada hasil-hasil jangka pendek pembelajaran,
melalui sebuah RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) diharapkan
seperangkat tujuan pembelajaran selesai dicapai oleh para siswa di
kelas. Akan tetapi, sebetulnya, ada tujuan-tujuan pembelajaran yang
pencapaiannya dilakukan dalam jangka panjang.
Tujuan pem belajaran dalam pendidikan afektif sebagaim ana
dideskripsikan di atas, cenderung dicapai dalam jangka panjang.
Dalam kasus SD internasional Cambridge tersebut, tujuan afektif
karakter ilm uw an dicapai m elalui m ata pelajaran IPA m ereka
mulai dari kelas tiga hingga kelas enam. Dalam kasus ini, guru
IPA kelas tiga hingga kelas enam sebaiknya bekerja sama dalam
rangka m engorganisasi pendidikan k arak ter ilm uw an ini dan
bagaimana pembagiannnya di tiap jenjang kelas. Untuk memenuhi
hal ini, langkah pertam a yang hendak m ereka lakukan adalah
m erum uskan indikator-indikator karakter ilmuwan ini, kemudian
mendistribusikannya untuk setiap jenjang kelas.
Untuk menutup taksonomi Krathwohl ini, penulis menyajikan
saran indikator-indikator karakter ilmuwan tersebut berdasarkan
taksonomi tersebut.

Tabel 2.6 Indikator-indikator karakter ilmuwan

T a k s o n o m i B e b e r a p a I n d ik a t o r K a r a k t e r I lm u w a n

• Berupaya mendengarkan dengan baik penjelasan guru


tentang metode inquiri.
Menerima ٠ Merespon dengan perkataan rencana guru untuk
penugasan pelaksanaan inguiri.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


• Menggunakan waktu luang untuk bertanya-tanya tentang
metode inquiri.
Merespon • Memuji incjuiri sebagai cara belajar penemuan.
• Mengikuti proses inquiri secara antusias.

• Aktif dalam perancangan inquiri bersama anggota-anggota


kelompok.
Menilai ٠ Berdebat (mendukung) tentang metode inquiri.
٠ Mempunyai usul-usul untuk dilakukannya inquiri.

• Mendiskusikan metode inquiri dalam hubungannya


dengan hal lain (membandingkan nilai-nilai).
Mengorganisasi • Menentukan prioritas nilai-nilai inquiri di tengah sistem
nilai lainnya.
• Memilah-milah inquiri dan cara lainnya

Karakterisasi diri ٠ Menghendaki dilakukannya inquiri


oleh nilai • Memiliki proyek inquiri pribadi

Pendidikan Karakter Lickona. Dr. Thom as Lickona, seorang


psikologiwan perkembangan dan pendidik, memiliki otoritas yang
dihargai secara internasional dalam perkem bangan m oral dan
pendidikan nilai. Ia adalah profesor pendidikan di the State University
of New York at Cortland, tempat ia mengeijakan karya pemenang
penghargaan dalam pendidikan guru dan saat ini (1992) memimpin
The Teachers for the 21st Century Project. Ia pernah menjadi presiden
dari The Association for Moral Education, juga pernah mengajar di
universitas Boston dan Harvard dan sering menjadi pembicara di
konferensi-konferensi dan lokakarya-lokakarya untuk para guru, orang
tua, pendidik agama, dan kelompok-kelompok lainnya mengenai
nilai-nilai dan karakter para pemuda. Ia telah memberikan kuliah
di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Irlandia, dan Amerika Latin.
Kerja dua puluh tahun Dr. Lickona dalam pendidikan guru
dan orang tua term asuk konsultasi dengan sekolah-sekolah di
banyak kota tentang implementasi pendidikan nilai dan karakter. Ia
menyandang Ph.D. dalam psikologi dari The State University of New
York di Albany dan telah mengerjakan riset tentang pertum buhan
pem aham an moral anak-anak. Tulisannya Moral Development and
Behavior digunakan luas di studi pascasarjana dan bukunya Raising
Good Children (lebih dari 150.000 eksemplar) m endapat pujian
karena m enerjem ahkan riset tentang perkem bangan m oral ke
dalam bahasa dan pengalaman orang tua. Ia menjadi pembicara

M em aknai P endidikan K ara kter


di banyak pertunjukan wacana radio dan televisi, termasuk Good
Morning America, Larry King Live, dan Latenight America. Pada
1984 ia dianugrahi a State University o f New York Exchange Scholar.
Bagian tulisan ini akan menyajikan karya Lickona yang berjudul
Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility (1992), secara ringkas. K aryanya ini fokus pada
pendidikan sekolah secara komprehensif. Isi bukunya dapat dikatakan
terdiri dari tiga bagian: konsep nilai moral, kompetensi-kompetensi
karakter, dan strategi-strategi pendidikan karakter.
Nilai-nilai yang harus diajarkan sekolah. Lickona (1992) memulai
uraiannya tentang pendidikan karakter di sekolah dengan dua
prinsip berikut ini:
1. terdapat nilai-nilai yang bermanfaat secara objektif, disepakati
secara universal yang harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah
masyarakat yang plural; dan
2. sekolah-sekolah hendaknya tidak hanya memapari para siswa
dengan nilai-nilai tersebut, tetapi ju g a m em b an tu m ereka
memahami, menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-
nilai tersebut.

Adapun yang dim aksudkannya dengan nilai, ada dua jenis


yaitu m oral dan nonm oral. Nilai-nilai m oral seperti kejujuran,
tanggung jawab, dan ketidakmemihakan m engandung kewajiban.
Kita merasa wajib memenuhi janji, membayar hutang, menyayangi
anak, dan tidak memihak dalam menangani suatu perkara. Nilai
moral mengatakan apa yang harus dilakukan. Kita harus terikat
pada nilai-nilai moral bahkan ketika kita tidak menyukainya.
Nilai-nilai nonmoral tidak mengandung kewajiban yang demikian.
Nilai-nilai ini mengekspresikan apa yang kita inginkan atau sukai
untuk kita lakukan. Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan
mendengarkan musik klasik, misalnya, atau membaca sebuah novel
yang bagus. Tapi jelas adanya saya tidak terkena kewajiban untuk
melakukannya.
Nilai-nilai moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut menjadi
dua kategori: universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal—
seperti memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai
penghidupan mereka, kebebasan, dan kesetaraan—mengikat semua
orang dim anapun karena nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


dan m artabat m anusia. K ita m emiliki hak dan b ahkan suatu
kewajiban untuk m enuntut sem ua orang berbuat sesuai dengan
nilai-nilai moral universal tersebut.
Pada 1948 PBB mengakui validitas universal nilai-nilai moral
dasariah dengan mengadopsi The Universal Declaration o f Human
Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Manusia). Dokumen bermakna
historis ini m enegaskan bahw a setiap w arga dari setiap bangsa
memiliki hak untuk: kehidupan, kebebasan, dan bebas dari serangan
pribadi; bebas dari perbudakan; diakui di depan hukum dan praduga
tak bersalah hingga terbukti bersalah; bebas dari penganiayaan;
kebebasan nurani dan religi; kebebasan berekspresi; kehidupan
pribadi, keluarga, dan berkorespondensi; kebebasan berpartisipasi
dalam kehidupan komunitas; pendidikan; dan standar penghidupan
yang cukup untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan. Memang
tidak semua bangsa secara konsisten menghargai hak-hak ini secara
aktual dalam m em perlakukan w arga mereka, tetapi kegagalan-
kegagalan menegakkan Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia ini
tentunya menolak secara telak validitas universal nilai-nilai moral
yang mendasari dokumen tersebut.
Nilai-nilai moral nonuniversal, berbeda halnya, tidak mengandung
kewajiban moral universal. Ini adalah nilai-nilai—seperti kewajiban
spesifik pada sebuah religi (yakni, bersem bahyang, berpuasa,
mengikuti hari suci)—yang dirasakan sebagai kewajiban pribadi
serius bagi seseorang, tetapi saya tidak memberlakukan kewajiban
yang dirasakan pribadi ini pada orang lain.
D em ikianlah p andangan Lickona tentang nilai-nilai moral.
Namun, penulis merasakan ada yang kurang, terdapat nilai-nilai
lainnya yang belum tercakup dalam sistem nilai Lickona tersebut,
misalnya membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Ini dapat
dipandang sebagai wajib dilakukan dalam suatu kelompok sosial, tetapi
yang tidak melakukannya rasanya tidak pantas untuk disebut tidak
bermoral. Hal tersebut berkenaan dengan sopan santun pergaulan.
Penulis menduga, etiket ini masih bagian dari nilai moral, dan
statusnya m endukung nilai moral tersebut. Etiket, sopan santun,
seperti membungkukkan badan, menganggukkan kepala, senyum,
turut mendukung moralitas yang sifatnya lebih fundamental.
Sehubungan dengan hal tersebut ada yang membedakan nilai
etik atau etis dan etiket. Nilai etik sama dengan nilai moral, dan

64 I Memaknai Pendidikan Karakter


etiket adalah nilai-nilai sopan-santun dalam suatu kelompok sosial.
Karena itu, m enurut penulis, kita harus m em bedakan nilai-nilai
demi survival kem anusiaan dan m asyarakat secara menyeluruh,
yaitu nilai moral; dan yang kurang berkenaan dengan hal ini tetapi
mendukungnya, yakni etiket.

Gambar 2.5 kategorisasi nilai menurut Lickona

Pilihan nilai Lickona. Hukum moral natural yang mendefinisikan


agenda moral sekolah publik dapat diekspresikan sebagai berikut:
respect and responsibility (menghargai dan pertanggungjawaban).
Nilai-nilai ini membentuk inti dari moralitas publika, dan universal.
Nilai-nilai ini memiliki m anfaat yang objektif, dapat dibuktikan
dengan mempromosikan kebaikan individu dan kebaikan masyarakat
secara menyeluruh. Nilai-nilai ini niscaya berguna untuk.
٠ Perkembangan pribadi yang sehat.
٠ Menjaga perhubungan antarpribadi.
• Sebuah masyarakat manusia dan demokratik.
٠ Sebuah dunia yang adil dan damai.

Respect and responsibility adalah “R keempat dan kelima” yang


sekolah-sekolah tidak hanya dapat, tetapi juga harus mengajarkan
agar sekolah-sekolah mengembangkan pribadi-pribadi yang melek
etis yang dapat menempati posisi sebagai warga masyarakat yang
bertanggung jawab.

Pendidikan Karakter di Sekolah


Reading

Writing

School vital
Arithmetic
business (FiveR.s)

Respect

Responsibility

Gambar 2.6 School vital business (Five R's)

Respect berarti memperlihatkan rasa menghargai terhadap nilai/


harga dari seseorang atau sesuatu, la memiliki tiga bentuk utama:
menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, dan menghargai
semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang membuat kehidupan
berkelanjutan.
Menghargai diri mempersyaratkan kita memperlakukan kehidupan
dan pribadi sendiri sebagai memiliki nilai baw aan (dari Sang
Pencipta). Karena itu, terlibat dalam perilaku perusakan diri seperti
penyalahgunaan “narkoba” dan alkohol adalah salah. Menghargai
orang lain mempersyaratkan kita memperlakukan semua manusia
lain—bahkan mereka yang tidak kita sukai—sebagai memiliki martabat
dan hak-hak yang sam a dengan kita. Inilah inti dari the Golden
Rule (“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana anda berharap
orang lain berbuat kepada Anda”). Menghaigai keseluruhan jaringan
kompleks kehidupan melarang kita menganiaya hewan dan menuntut
kita bertindak dengan peduli terhadap lingkungan alam, ekosistem
rapuh tempat semua kehidupan bergantung.
Bentuk-bentuk penghargaan yang lainnya berasal dari hal-hal
tersebut. Menghargai hak milik, misalnya, berasal dari pem ahaman
bahwa hak milik adalah suatu perpanjangan dari suatu pribadi atau
suatu komunitas pribadi-pribadi. Menghargai otoritas berasal dari

66 I Memaknai Pendidikan Karakter


pem aham an bahw a figur-figur otoritas legitimatif diberi am anah
untuk menjaga/mengurus orang-orang lain. Tanpa figur-figur ini,
Anda tidak dapat menjalankan keluarga, sekolah, atau negara. Jika
orang-orang tidak menghargai otoritas, maka akan banyak hal tidak
berjalan dengan baik dan setiap orang menderita.
“Tenggang rasa”, adalah salah satu bentuk dari etiket, juga
berasal dari penghargaan terhadap orang. Contohnya antara lain,
m em inta m aaf jika akan m emotong pem bicaraan, mengucapkan
permisi ketika akan m em inta jalan, m engucapkan terim a kasih
atas pujian orang lain.
Menghargai manusia tidak hanya untuk kehidupan harian dalam
lingkungan terbatas, nilai-nilai ini bahkan mendasari prinsip-prinsip
demokrasi. K arena saling menghargai, orang-orang m enciptakan
konstitusi yang m enuntut pemerintah melindungi, bukan menzalimi,
hak-hak dari orang-orang yang diperintah.
Responsibility, atau pertanggungjawaban adalah perpanjangan dari
penghargaan terhadap manusia. Jika kita menghargai orang lain,
kita menganggapnya bernilai. Jika kita menganggapnya bernilai, kita
merasakan suatu ukuran pertanggungjawaban atas kesejahteraannya.
P ertanggungjaw aban (responsibility) secara h arfiah b erarti
“kem ampuan merespon”. Ini berarti berorientasi terhadap orang-orang
lain, m encurahkan perhatian terhadap mereka, m erespon secara
aktif terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka. Pertanggungjawaban
m enekankan kew ajiban-kew ajiban positif untuk saling m enjaga
antarorang.
Arti lain dari pertanggungjawaban, yakni dapat dipercaya, tidak
membiarkan orang lain mengalami kekecewaan. Kita menolong orang
dengan cara memenuhi komitmen kita, dan kita menciptakan masalah
bagi mereka ketika kita tidak memenuhinya. Pertanggungjawaban
berarti pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas—dalam keluarga, di
sekolah, di tempat kerja—sebaik-baiknya sesuai dengan kem ampuan
kita.
Nilai-nilai moral lainnya seperti kejujuran, ketidakmemihakan,
toleransi, kehati-hatian, disiplin-diri, penolong, berbelas-kasih, kerja
sama, keberanian, dan sehim punan nilai dem okratis. Nilai-nilai
spesifik ini adalah bentuk-bentuk dari menghargai orang dan/atau
pertanggungjawaban atau mem bantu dalam berbuat secara berharga
dan bertanggung jawab.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 67


M enghadapi orang lain dengan jujur, tidak m enipu mereka,
tidak meliciki mereka, atau mencuri dari mereka adalah cara yang
dasariah untuk menghargai mereka. Demikian juga halnya dengan
ketidakmemihakan, yang menuntut kita memperlakukan orang lain
secara tidak memihak dan tidak menerapkan cara pilih kasih.
Toleransi juga mengekspresikan penghargaan terhadap orang
lain. Meskipun toleransi dapat tergelincir menjadi suatu relativisme
netral yang terarah untuk menghindar dari pertimbangan etis. Akar
makna toleransi adalah salah satu marka penting dari peradaban.
Toleransi adalah sikap tidak memihak dan objektif terhadap mereka
yang memiliki ide, ras, dan ajaran yang berbeda dari kita. Toleransi
adalah pencipta rasa am an bagi dunia yang beraneka ragam.
Kehati-hatian berarti tidak membiarkan diri kita berada dalam
bahaya fisik dan moral. Disiplin-diri berarti tidak m engizinkan
diri untuk terlibat dalam kesenangan yang meruntuhkan martabat
diri dan m erusak diri, tetapi berjuang untuk kebaikan kita, dan
m engupayakan kesenangan yang sehat secara tidak berlebihan.
Disiplin diri juga m em bantu kita untuk m enunda kesenangan,
m engem bangkan bakat-bakat kita, bekerja untuk tujuan jangka
panjang, dan membuat sesuatu untuk penghidupan kita. Ini semua
adalah bentuk-bentuk dari penghargaan terhadap diri sendiri.
Sama halnya, nilai-nilai seperti penolong, berbelas-kasih, dan
keija sam a m em bantu kita dalam melaksanakan nilai etis yang
lebih luas pertanggungjaw abannya. Spirit penolong m em buat
orang merasa senang dalam mengerjakan kebaikan. Berbelas-kasih
(berarti "ikut merasa menderita”) mem bantu kita tidak hanya untuk
m engetahui pertanggungjawaban kita, tetapi juga merasakannya.
Kerja sam a dimulai dengan pengetahuan bahw a m anusia hidup
bersama manusia lainnya dan bahwa, di dunia yang orang-orang
dan m asyarakat semakin saling bergantung, kita harus bekerja
sama ke arah tujuan-tujuan yang dasariah untuk survival manusia.
Keberanian moral bersifat m em bantu bagi penghargaan dan
pertanggungjawaban. Keberanian membantu anak-anak m uda untuk
menghargai diri mereka sendiri dengan menolak tekanan tem an sebaya
untuk melakukan hal-hal yang merugikan kesejahteraan mereka.
Keberanian membantu kita untuk menghargai hak-hak orang lain
ketika kita menghadapi tekanan untuk bergabung dalam gerombolan

Memaknai Pendidikan Karakter


yang akan melakukan kejahatan. Keberanian juga m embantu kita
melakukan tindakan tegas, positif atas nam a orang lain.
Nilai-nilai demokrasi m embantu menciptakan sebuah masyarakat
yang berdasark an atas penghargaan dan pertanggungjaw aban.
Kekuasaan berdasarkan hukum, kesempatan yang sama, hak warga
akan keadilan, argum entasi bernalar, pem erintahan perwakilan,
checks and halances, pem buatan putusan dem okratis—■semuanya
adalah "nilai-nilai prosedural” yang membentuk demokrasi.
Demokrasi pada giliran berikutnya adalah cara terbaik yang
kita ketahui hingga saat ini untuk m enjam in hak-hak individu
(penghargaan terhadap orang) dan mempromosikan kesejahteraan
bersama (bertindak secara bertanggung jawab untuk kebaikan semua
orang). Mengajarkan pem aham an dan apresiasi terhadap nilai-nilai
demokratis ini—dan bagaimana nilai-nilai ini dibuat menjadi realitas
melalui hukum —adalah peranan sentral sekolah. Nilai-nilai ini
juga membantu kita mendefinisikan jenis “patriotisme” yang harus
diajarkan sekolah. Dalam masyarakat demokratis, patriotisme tidak
berarti "benar atau salah adalah negaraku”; patriotism e berarti
kesetiaan pada nilai-nilai demokrasi yang luhur yang menjadi dasar
dari pendirian negara.
U ntuk kita, bangsa Indonesia, jenis-jenis nilai m oral yang
dikemukakan oleh Lickona bersifat kurang, ada satu tam bahan yang
kita perlukan, yaitu; respect and respomibility to God. Karena itu
lengkapnya jenis nilai moral fundamental ini lengkapnya tergambar
pada bagan berikut ini.

Tuhan Diri sendiri

Nilai-nilai moral:
Penghargaan dan
pertanggungjawaban Manusia :------------ Individu lain
terhadap/atas:

Lingkungan Masyarakat
alam

Gambar 2.7 Pembagian nilai-nilai moral

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


Kompetensi-kompetensi karakter Lickona. Bagian berikut ini
merupakan teori tentang sebuah sistem karakter Lickona, dengan
tiga ranah: pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Ketiga ranah ini
saling berhubungan, saling berinteraksi, dan saling merembesi. Lickona
berbeda dari Krathwohl, dalam hal sistem, Lickona, pengetahuan,
perasaan, dan tindakan terpisah secara tajam pada tataran analitik,
sedangkan dalam sistem Krathwohl, pemisahan yang demikian tidak
terdapat. Keduanya wajib dipelajari agar repertoire (perbendaharaan
kinerja) guru bertambah kaya. Berikut ini akan dipaparkan sistem
karakter Lickona ini, penulis menambahinya dengan interpretasi penulis
dengan tujuan agar lebih m udah dipahami, juga pengalaman belajar
yang relevan untuk masing-masing subkomponen dari setiap ranah
m erupakan tam bahan penulis. Pengembangannya oleh guru, dapat
dilakukan dengan cara memahami setiap subkomponen pendidikan
karakter ini, kemudian memadamkannya dengan SK-KD-Indikator
yang terdapat dalam KTSP atau tujuan-tujuan pendidikan karakter
yang menjadi visi-misi sekolah.

Tindakan m ora ) ٦‫؛‬: )


kom petensi, (2) keinginan,
dan (3) kebiasaan

Perasaan moral: ( ٦) nurani.


(2) harga d‫؛‬ri (3) e m pa t4) .‫)؛‬
cinta kebaikan, (5) kontroi-airi,
dan {‫ رق‬rendah hati

Gambar 2.8. Tiga ranah moraI menurut Lickona

70 Memaknai Pendidikan Karakter


Elaborasi Pengetahuan Moral dari Lickona
Pengetahuan moral
1. Kesadaran moral
Definisi: Melek moral atau ketajaman (dalam menangkap/melihat)
moral, antonimnya adalah buta moral. Ini adalah kemampuan
menangkap isu moral, yang sering implisit, dari suatu objek/
peristiwa. Kompetensi ini m enurut hem at penulis sama dengan
kemampuan C2 (memahami, khususnya interpretasi) dari Taksonomi
Tujuan-Tujuan Kognitif Bloom. Dalam bahasa Lickona sendiri,
kesadaran moral adalah kemampuan: “... to use their intelligence
to see when a situation requires moral judgment—and then to
think carefully about what the right course o f action is." (...
menggunakan kecerdasan mereka untuk melihat kapan sebuah
situasi m em persyaratkan pertim bangan moral dan kemudian
berpikir secara cermat tentang apa tindakan yang sebaiknya.)
Orang dapat menangkap secara intuitif sebuah isu moral dari
sebuah objek/peristiwa; dan sebaliknya, buta moral. Contoh
orang yang buta moral yaitu orang yang menganggap martabat
diri bergantung pada tampilan fisik atau harta. Ketersinggungan
kita ketika menyaksikan orang kaya menganiaya orang miskin
adalah contoh ketajaman moral kita. Rasa haru yang muncul
ketika kita menyaksikan perbuatan luhur tertentu adalah juga
contoh ketajaman moral. Kesadaran moral terjadi sebelum kita
melakukan pertimbangan moral dan pembuatan-putusan moral.
Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang penting bagi para
pelajar agar melek moral adalah dengan hidup dalam lingkungan
orang-orang yang melek moral (conditioning). Pendidik harus
menjadi teladan dalam ketajaman moral ini. Selain conditioning,

Yambuatnya menjadi jelas/


eksplisit (menginterpretasi)
isu moral tersebut
Menangkap secara intuitif
(merasakan) isu moral dari
peristiwa

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah 7


pengalam an-tak-langsung pun penting. Ini dapat dilakukan
dengan mempelajari peristiwa-peristiwa historis yang relevan
dan biografi tokoh yang memiliki ketajaman penglihatan moral.
Kasus impresif pada remaja kita m enuntut pendidik mendidik
para pelajar untuk memiliki ketajaman dalam menangkap nilai-
nilai yang penting dalam sebuah budaya dan nilai-nilai yang
dapat m enghancurkan jati diri para remaja. Banyak rem aja
merasa gaul jika bergaya hidup westem (kebarat-baratan) yang
negatif, antara lain mengkonsumsi NAPZA, ber-dugem secara
tidak proporsional, mengikuti tren budaya pop secara membabi
buta. Kebalikan dari remaja kita, banyak orang tua buta moral
dalam hal korupsi yang mewabahi negeri kita. Pendidik PLS
dalam hal ini harus segera bekerja.
Hasil belajar: Dapat mengidentifikasi isu moral dari sebuah
objek/peristiwa. Dapat mengeksplisitkan isu moral dari sebuah
objek/peristiwa.

Pengetahuan nilai moral


Definisi: Ini adalah ethical literacy, literasi etis, kemampuan hasil
belajar teori-teori tentang berbagai nilai etis, seperti: menghargai
kehidupan dan kebebasan, bertanggung jawab terhadap orang
lain, kejujuran, ketidakm em ihakan, toleransi, sopan-santun/
tenggang rasa, disiplin diri, integritas (teguh pada prinsip
moral), kebaikan hati, berbelas-kasih, dan keberanian. Literasi
etis termasuk pem ahaman tentang bagaimana menerapkannya
dalam berbagai situasi. Ini berarti kem ampuan menerjemahkan/
mengalihbahasakan (translasi) nilai-nilai abstrak menjadi perilaku
moral konkret.
M enurut penulis, beda antara kesadaran moral dan pengetahuan
nilai moral adalah bahwa kesadaran moral mempersyaratkan
kemampuan menangkap langsung (ketajaman) nilai moral dari
sebuah objek atau peristiw a konkret; adapun pengetahuan
nilai moral adalah kem ampuan yang terbentuk setelah orang
belajar teori-teori nilai (bukan peristiwa konkret), dalam rangka
m em aham i teori-teori tersebut term asuk m em aham i aplikasi
mereka.
Pengalam an belajar: Pengalam an belajarnya adalah melalui
belajar kognitif, C1-C2-C3 (mengingat, memahami, menerapkan),
tentang teori-teori nilai; dapat disebut sebagai pengajaran nilai-

Memaknai Pendidikan Karakter


nilai (teaching o f values). Juga, diskusi-diskusi peristiwa konkret
yang melibatkan isu nilai dapat meningkatkan kognisi nilai-nilai
pada tataran aplikasi.
Hasil belajar: Menyebutkan nilai moral tertentu. Menginterpretasi
nilai moral dari sebuah peristiwa atau komunikasi. Menerjemahkan
nilai moral tertentu. Melakukan ekstrapolasi berdasarkan sebuah
nilai tertentu. M enerapkan nilai m oral tertentu pada suatu
situasi (baru).

Memahami sudut pandang lain


Definisi: M emahami sudut pandang lain adalah kem am puan
menerima sudut pandang orang lain, memahami sebuah situasi
sebagaim ana orang lain m em aham inya, m engim ajinasikan
bagaim ana orang lain berpikir, mereaksi, dan berperasaan.
Kemampuan ini sebuah prasyarat penting untuk perilaku moral
sosial, menghargai dan bertanggung jawab terhadap orang lain.
Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang otentik untuk
kem am puan ini adalah dengan mempraktikkan pengambilan
p ersp ek tif (su d u t p an d an g ) o ran g lain p ad a p a ra siswa.
Pengalam an belajar yang kognitif dapat dilakukan dengan
menganalisis sudut pandang orang lain atau budaya lain.
Hasil belajar: M enginterpretasi secara objektif perasaan dan
pikiran orang lain. Meneijemahkan perasaan dan pikiran orang
lain. Mengekstrapolasi perasaan dan pikiran orang lain (Bloom:
C2: inteipretasi, translasi, ekstrapolasi).

Penalaran moral
Definisi: M emahami m akna apa itu berm oral dan mengapa
harus bermoral? Mengapa memenuhi janji itu penting? Mengapa
harus kerja dengan sebaik-baiknya? Mengapa harus berbagi
dengan orang yang m em butuhkan? Ini adalah kem am puan
analisis hubungan (C4) dari Bloom.
Penalaran moral anak-anak berkembang, mereka belajar apa
yang dapat dianggap sebagai alasan m oral yang baik dan
alasan moral yang buruk.
Pengalam an belajar: Pengalam an belajarnya adalah melalui
belajar kognitif, C4 (analisis), tentang perbuatan bermoral.
Hasil belajar: Menyediakan alasan atas suatu perbuatan moral.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 73


Menjelaskan alasan atas suatu perbuatan moral. Menginterpretasi
alasan dari suatu perbuatan moral (Bloom: C2, interpretasi dan
C6, kreasi).

5. Pembuatan putusan
Definisi: Proses orang menjadi memiliki putusan. Biasanya orang
m enghadapi m asalah atau dilem a moral. Apa pilihan saya?
Apa konsekuensi yang mungkin dari berbagai tindakan bagi
orang yang terkena pengaruh putusan saya? Apa tindakan yang
memaksimalkan konsekuensi yang baik dan diyakini penting
untuk nilai yang pertaruhkan?
Pengalaman belajar: Mengalami secara simulatif konflik atau
dilema nilai, dapat juga konflik nilai yang dialami orang lain,
kemudian membuat putusan nilai, dan mengkajinya. Menurut
Lickona, pendekatan apa-pilihan saya dan apa-konsekuensi-
konsekuensinya untuk m em buat putusan-putusan moral telah
diajarkan bahkan sejak pada anak prasekolah.
Hasil Belajar: Memiliki putusan nilai lengkap dengan konsekuensinya
yang sudah terkaji secara baik, atas konflik nilai yang tersedia
(Bloom: C6, kreasi).

6. Pengetahuan-diri:
Kemampuan melihat-kembali perilaku sendiri dan mengevaluasinya.
Pengembangan pengetahuan-diri termasuk kekuatan dan kelemahan
karakter diri sendiri dan bagaimana mengkompensasi kelemahan
tersebut, di antaranya yang ham pir universal merupakan tendensi
manusia, yaitu melakukan apa yang kita inginkan dan kemudian
membelanya dengan cara yang tidak adil.
Pengalaman belajar: Ini dapat dilakukan dengan meminta siswa
m em buat “ju rn al etis/akhlak/budi pekerti “-d en g an m encatat
kejadian-kejadian moral dalam penghidupan mereka, respon-
respon m ereka dalam kejadian moral tersebut, dan adakah
respon ini dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Hasil belajar: Perkembangan kejujuran individu dalam melihat
diri sendiri. Perkembangan upaya-upaya mengatasi kelemahan
diri. Iklim sosial kejujuran dalam kelompok (dam pak sosial
yang mungkin, misalnya jika masing-masing jurnal tersebut
didiskusikan dalam kelompok).

74 I Memaknai Pendidikan Karakter


Elaborasi Perasaan Moral dari Lickona

Perasaan moral
1. Hati nurani/nurani
Definisi: Nurani memiliki dua sisi: sisi kognitif—pengetahuan
tentang apa yang baik—dan sisi em osional—m erasa wajib
melakukan apa yang baik.
N urani yang m atang m encakup juga kapasitas untuk rasa
bersalah konstruktif di samping merasakan kewajiban moral. Jika
nurani anda m erasa wajib untuk berbuat sesuatu, maka Anda
akan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Ini berbeda dari
rasa bersalah destruktif, yang menyebabkan seseorang berpikir,
“Saya orang jahat”. Orang dengan rasa bersalah konstruktif akan
berkata, “Saya tidak dapat memenuhi standar saya sendiri. Saya
merasakan ini sebagai keburukan, tetapi saya akan lebih baik
pada waktu yang akan datang”. Kapasitas untuk rasa bersalah
konstruktif juga mem bantu kita dalam menolak godaan.
Pengalam an belajar: Berlatih m enghadapi kasus-kasus yang
m enuntut individu mengekspresikan nuraninya adalah sebuah
pengalaman belajar yang penting. Latihan ini akan terbentuk
salah satunya m elalui stim ulasi yang m endorong individu
mengekspresikan nuraninya. Perbuatan dan ucapan yang sesuai
nurani perlu m endapat penghargaan atau “dirayakan” untuk
m enunjukkan bahw a m asyarakat atau kelom pok m enuntut
individu untuk berbuat sesuai dengan nurani. Diskusi kasus-kasus
penggunaan atau pengabaian nurani adalah juga pengalaman
belajar yang penting.
Hasil belajar: Hasil belajar yang otentik adalah kapasitas untuk
m erasa bersalah dan m erasa wajib untuk perbuatan moral.
Pada tataran lebih rendah, ekspresi-ekspresi nurani ini melalui
kata-kata.

2. Harga diri
Definisi: Ini adalah kem am puan m erasa berm artabat karena
memiliki kebaikan atau nilai luhur.
Studi-studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan harga diri
yang tinggi lebih resisten terhadap tekanan dari teman-teman

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 75


sebaya dan lebih m am pu mengikuti putusan mereka sendiri
ketimbang mereka dengan harga-diri rendah. Ketika kita menilai
secara positif diri kita sendiri, kita lebih mungkin memperlakukan
orang lain dengan cara positif. Jika kita menilai rendah diri
sendiri atau tidak memiliki harga-diri, maka akan sulit untuk
memperpanjang penghargaan untuk orang-orang lain. Harga-
diri yang tinggi pada dirinya sendiri tidak menjamin karakter
yang baik. Sangat mungkin adanya untuk memiliki harga-diri
yang didasarkan atas hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan
karakter baik—seperti harta, tampilan bagus, popularitas, atau
kekuasaan. Bagian dari tantangan kita sebagai pendidik adalah
m embantu anak-anak mengembangkan harga-diri positif yang
didasarkan atas nilai-nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran,
dan kebaikan hati dan keyakinan pada kapasitas sendiri untuk
kebaikan.
Pengalaman belajar: Perbuatan baik yang dilakukan seseorang
sering m em buat orang m erasa senang atau bahagia karena
melakukannya. Refleksi dan diskusi-diskusi mengenai peristiwa ini
barangkali merupakan suatu pengalaman belajar yang penting.
Hasil belajar: Individu yang puas dengan dirinya sendiri dalam
perbuatan baik, dan sebaliknya, merasa tidak senang atau tidak
bahagia dalam perilaku buruk.

Empati
Definisi: Em pati adalah identifikasi diri pada keadaan orang
lain, atau pengalaman tidak langsung. Empati m embantu kita
keluar dari diri sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain.
Ini adalah sisi emosional dari pengambilan-perspektif.
Pengalaman belajar: Para peserta didik dapat berlatih melakukan
empati di bawah bimbingan guru. Setelah berlatih, guru dapat
membimbing mereka untuk mendiskusikannya.
Hasil belajar: Mengungkapkan apa yang dirasakan orang lain.
Bertoleransi. Menghargai perbedaan sikap.

Cinta kebaikan
Definisi: Bentuk tertinggi dari karakter mencakup ketertarikan
sejati/tulus pada kebaikan.
Psikologiwan Boston College Kirk Kilpatrick menulis: “Dalam
pendidikan untuk kebajikan, hati dilatih sebagaim ana juga

Memaknai Pendidikan Karakter


kesadaran. O rang bijak b elajar tidak hanya m em bedakan
kebaikan dan keburukan, tetapi juga mencintai kebaikan dan
membenci keburukan”.
Pengalaman belajar: Para guru dapat berpaling pada sastra sebagai
cara m ananam kan perasaan tentang kebaikan dan kejahatan.
Ketika anak-anak m enjum pai para penjahat dan pahlaw an
dalam halaman-halaman dari sebuah buku yang baik, mereka
merasa tertolak oleh kejahatan dan tertarik pada kebaikan tanpa
kuasa menahannya. Ketika orang mencintai kebaikan, mereka
mendapatkan rasa senang dalam melakukan kebaikan. Mereka
memiliki hasrat moral, bukan hanya kewajiban moral. Potensi
ini dikembangkan melalui program-program peer tutoring dan
pelayanan masyarakat di sekolah-sekolah.
Hasil belajar: Upaya-upaya pribadi dan dalam kelompok untuk
berbuat baik.

Kontrol diri
Definisi: Emosi dapat menenggelamkan penalaran. Inilah mengapa
kontrol-diri merupakan sebuah kebajikan moral yang niscaya.
Kontrol-diri mem bantu kita bermoral bahkan ketika kita tidak
ingin bermoral, ketika sedang m arah pada sesuatu, misalnya.
Kontrol-diri juga niscaya untuk mengekang kesukaan-diri.
Pengalam an belajar: Pengalam an-pengalam an belajar dalam
bentuk menolak kesenangan atau kebencian demi kebaikan.
Hasil belajar: Tekun belajar/bekerja, m enunda kesenangan.
Tugas-tugas belajar diselesaikan dengan baik. Memiliki kegiatan
harian yang baik untuk pengembangan diri dan lingkungannya.

Rendah hati
Definisi: Rendah hati adalah sisi afektif dari pengetahuan-diri.
Rendah hati terdiri dari keterbukaan yang sejati pada kebenaran
dan kemauan untuk bertindak memperbaiki kesalahan-kesalahan
kita.
R endah hati juga m em bantu kita m engatasi rasa bangga.
Rasa bangga adalah sum ber dari arogansi, prasangka, dan
merendahkan orang lain. Rasa bangga yang terluka membuka
kem arahan dan menutup munculnya sikap memaafkan. Rendah
hati adalah penjaga terbaik melawan perbuatan jahat.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 77


Pengalaman belajar: Berlatih terbuka terhadap kebenaran, dari
m anapun sumbernya, dan mau memperbaiki kesalahan-kesalahan
diri sendiri.
Hasil belajar: Mengakui kebenaran pendapat orang lain. Mengaku
bersalah jika melakukan kesalahan. Memberikan penghargaan
terhadap pendapat orang lain.

Tindakan moral
1. Kompetensi
Definisi: K om petensi m oral adalah kem am puan m engubah
putusan dan perasaan moral menjadi tindakan m oral yang
efektif.
Pengalam an belajar: Psikologiwan Ervin Staub m enem ukan
bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman yang terbimbing
dalam rok-playing. Dalam serangkaian situasi bermasalah, yang
di dalamnya seorang anak membantu anak lainnya pada waktu
berikutnya lebih mungkin (dibandingkan dengan anak-anak tanpa
pengalaman yang demikian) untuk menyelidiki suara tangisan
seorang anak dalam sebuah ruangan. Sebuah studi baru-baru
ini atas 400 orang yang m em bantu orang-orang Yahudi lari
dari Nazi m enem ukan bahw a para penyelamat ini memiliki
pem ahaman yang kuat tentang kompetensi personal, di samping
nilai-nilai simpati. Kompetensi moral sering merupakan suatu
tantangan pribadi bagi seseorang. Seseorang bisa jadi sudah
m emaham i m akna shalat wajib dan ingin melaksanakannya,
tetapi ia tetap saja tidak melaksanakannya. Ini adalah tantangan
bagi pendidik ketika menghadapi peserta didik yang demikian.
Pendidik harus mengerahkan berbagai cara untuk menumbuhkan
kompetensi moral ini. Pengalaman individual secara mandiri,
pengalaman terbimbing, pengalaman dalam kelompok, pemodelan,
dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkannya.
Hasil belajar: K em am puan m elaksanakan tindakan moral.
Berbuat baik. M embantu orang lain berbuat baik.

2. Keinginan moral
Definisi: Menjadi baik sering mempersyaratkan sebuah tindakan
nyata dari kem auan, suatu m obilisasi energi m oral un tu k

78 I Memaknai Pendidikan Karakter


melakukan apa yang m enurut kita harus dilakukan. Kemauan
memerlukan emosi berada di bawah kontrol nalar. Kemauan
memerlukan penglihatan dan pemikiran tentang semua dimensi
moral dari sebuah .situasi. Kemauan dipei'lukan agar kewajiban
diletakkan m endahului kesenangan. K em auan m em butuhkan
kemampuan untuk menolak godaan, teguh menghadapi tekanan
teman sebaya, dan melawan arus. Kemauan adalah inti dari
keberanian morai.
Pengalaman belajar: Kemauan sebagai sebuah potensi diri perlu
dipahami dan disadari oleh peserta didik melalui bantuan guru.
Langkah berikutnya peserta didik diminta mencatat kemauan-
kemauan moral apa saja yang tidak dipenuhinya; setelah ini
adalah praktik-praktik mewujudkan kemauan ini.
H asil belajar: Individu yang b eru p ay a m em iliki kem auan
melakukan tindakan moral. Konsisten melaksanakan kewajiban
m oral. B erbuat adil sekalipun terhadap orang yang tidak
disukainya. Berdisiplin melakukan suatu tindakan moral.

3. Kebiasaan (‫)ﺀ' أﻇﺴﺎ‬


Dclinisi: Dalam banyak situasi tingkah ‫ أا>اةﺋﻞ‬moral diuntungkan
oleh habit. Orang yang memiliki karakter yang baik, sebagaimana
ditunjukkan William Bennctt, “bertindak benar, setia, berani,
simpati, dan adil tanpa banyak tergoda oleh hal yang sebaliknya”.
M ereka bahkan sering tidak berpikir secara sad ar tentang
“pilihan yang baik”. Mereka melakukan hal yang baik oleh
kekuatan kebiasaan.
Pengalaman belajar: Auak-auak men>brituhkan, sebagai bagian
dari pendidikan m oral m ereka, banyak kesem patan u n tuk
mengembangkan kebiasaan yang baik, banyak praktik menjadi
orang yang baik.
Hasil belajar: Kebiasaan dalam hal tertentu. Biasa sopan-santun
tertentu. Biasa menolong. Biasa adil.

Pendekatan komprehensif untuk pendidikan nilai dan karakter.


Lickona menyarankan suatu pendekatan pendidikan karakter yang
komprehensif, melibatkan berbagai komponen terka‫؛‬، dan berbagai
latar (.setting). Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide besar" berikut.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah 79‫ا‬


Sepanjang sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki
dua tujuan besar: membantu orang-orang menjadi cerdas dan
membantu mereka menjadi baik.
“Baik” d ap at didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai m oral
yang memiliki kemanfaatan objektif—nilai-nilai yang mengakui
m artabat manusia dan mempromosikan kebaikan individu dan
masyarakat.
Dua nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik
yang dapat diajarkan: respect and responsibility (penghargaan
dan pertanggungjawaban).
Penghargaan berarti menunjukkan rasa hormat terhadap nilai
seseorang atau sesuatu. Ini mencakup menghargai diri sendiri,
menghargai hak-hak dan m artabat semua orang, dan menghargai
lingkungan yang m em buat sem ua kehidupan berkelanjutan.
Penghargaan adalah sisi pelarangan dari moralitas; ia menjaga
kita untuk tidak menyakiti apa yang seharusnya kita hargai.
Pertanggungjawaban adalah sisi aktif dari moralitas, ia mencakup
m elaksanakan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang
lain, memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kontributif terhadap
komunitas kita, mengurangi penderitaan, dan membangun dunia
yang lebih baik.
M endidik penghargaan dan pertanggungjaw aban—m em buat
hal-hal ini menjadi nilai-nilai operatif dalam penghidupan para
siswa—adalah mendidikkan karakter. Karakter terdiri dari:
• pengetahuan moral (kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai
moral, melihat dengan sudut pandang orang lain, penalaran
moral, pem buatan putusan, dan pengetahuan diri);
٠ perasaan moral (hati-nurani, harga-diri, empati, mencintai
kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati);
٠ tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan kebiasaan).
Dihadapkan dengan struktur sosial yang memburuk, sekolah-
sekolah yang berharap membangun karakter harus menyediakan
pendekatan yang komprehensif, yang merangkul banyak hal,
terhadap pendidikan nilai yang m enggunakan sem ua tahap
kehidupan sekolah untuk m em bantu perkembangan karakter.
Ini m encakup 12 strategi ru an g kelas dan sekolah, yang
tertuju pada penciptaan nilai-nilai penghidupan penghargaan
dan pertanggungjawaban dalam karakter para siswa.

Memaknai Pendidikan Karakter


Dalam ruang kelas, suatu pendekatan kom prehensif m enuntut
guru untuk:
1. Bertindak sebagai pem erduli (caregiver, pem beri kepedulian,
perawat), model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan
cinta dan penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku
prososial, dan mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti.
2. Menciptakan sebuah komunitas moral di kelas, m embantu para
siswa untuk saling kenal, menghargai dan peduli antara siswa
yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan keanggotaan
yang berharga dalam kelompok.
3. M em praktikkan disiplin m oral, m enggunakan p en cip taan
dan penegakan aturan-aturan sebagai peluang-peluang untuk
menumbuhkan penalaran moral, kontrol-diri, dan penghargaan
terhadap orang lain.
4. Menciptakan sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis,
melibatkan para siswa dalam pembuatan-putusan dan berbagi
tanggung jawab untuk membuat ruang kelas menjadi tempat
yang baik untuk berada dan belajar.
5. Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan mata-
m ata pelajaran sebagai w ahana untuk mengkaji isu-isu etis.
(Ini secara serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika
kurikulum menangani kepedulian lintas-jenjang kelas seperti
pendidikan seks, antinarkoba, alkohol, dan kekerasan remaja.)
6. Menggunakan pembelajaran kooperatif untuk mengajari anak-
anak dengan w atak dan keteram pilan tolong-menolong dan
bekerja sama.
7. Mengembangkan the “conscience o f craft" dengan menumbuhkan
tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka
terhadap nilai dari belajar dan kerja. (The "conscience o f craft",
nurani tentang kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan
dorongan untuk kerja sebaik-baiknya.)
8. Mendorong refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis,
diskusi, pembuatan-putusan, dan debat.
9. Ajarkan pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas
dan komitmen untuk memecahkan konflik dengan cara yang
tidak memihak dan tanpa kekerasan.

Desain Pendidikan Karakter d) Sekolah


Suatu pendekatan yang komprehensif m enuntut sekolah untuk:
1. m enumbuhkan kepedulian ke luar ruang kelas, menggunakan
model-model peranan yang memberi inspirasi dan peluang-peluang
untuk sekolah dan pengabdian kom unitas untuk m em bantu
para siswa belajar peduli dengan memberi kepedulian;
2. menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan
seluruh lingkungan sekolah (melalui kepem im pinan kepala
sekolah, disiplin pada tataran sekolah, suatu kepekaan sekolah
terhadap komunitas, pemerintahan siswa yang demokratik, suatu
komunitas moral di kalangan orang dewasa, dan waktu untuk
m enangani kepentingan-kepentingan moral) yang m endukung
dan m eningkatkan nilai-nilai yang diajarkan di ruang-ruang
kelas;
3. rekruitasi orang tua dan anggota kom unitas sebagai m itra
dalam pendidikan nilai, dukung orang tua sebagai guru moral
pertama anak; mendorong orang tua untuk mendukung sekolah
dalam upaya-upaya m enum buhkan nilai-nilai yang baik; dan
m engupayakan b a n tu a n kom u n itas (m asjid, gereja, biara,
perusahaan, dan media) dalam m em perkuat nilai-nilai yang
sedang diupayakan untuk diajarkan oleh sekolah.

Pusat Pengkajian Pedagogik (P3)


Universitas Pendidikan Indonesia sejak
tahun 2009 sudah mengembangkan
sebuah model pendidikan karakter.
Model ini sudah ditawarkan kepada
sejumlah sekolah di Jakarta untuk
diterapkan. Melalui buku ini P3 ingin
berbagi pengalaman dan pemikiran
tentang hal ini. Untuk itu, di sini
disajikan cup lik an silabus u n tu k
Pendidikan Agama Islam jenjang SMA
dan sedikit penjelasannya.

Gambar 2.8 Tiga strategi sekolah


dan delapan strategi guru

M em aknai Pendidikan K ara kter


Tabel 2.9. Analisis Penjabaran SK-KD dan Indikator menjadi pengalaman
dan penilaian

S t a n d a r k o m p e t e n s i : B e r im a n d a n b e r t a q w a k e p a d a T u h a n Y M E

K o m p e t e n s i d a s a r : B e r im a n k e p a d a m a l a ik a t .

Indikator Pengalaman belajar: Penilaian:


1. D a p a t m e n d e fin is ik a n Pembelajaran kognitif. Tes esai dan kinerja
secara luas dan mendalam individual diskusi
ko n s e p im a n m e n u ru t kelom pok kecil dan
ajaran Islam. diskusi kelas.

2. Dapat menganalisis ber­ idem idem


bagai argum entasi yang
mendasari keimanan dan
ketidak berimanan

3. Dapat menjelaskan tanda- idem idem


ta n d a o ra n g b e rim a n
kepada malaikat.

4. D a p a t m e m p ra k tik k a n Kegiatan Pengembangan Jurnal siswa


perilaku beriman kepada Diri
malaikat.

5. D a pa t m en jad i tela da n idem idem


d a la m p ra k tik p e rila ku
beriman kepada malaikat
dalam kehidupan harian.

6. Dapat sabar dalam praktik idem idem


beriman kepada malaikat
dalam kehidupan harian.

7. D apat m endakw ahkan idem idem


kehidupan beriman kepada
malaikat dalam kehidupan
harian

Indikator-indikator itu mengikuti pola berikut ini; dan dibandingkan


dengan pola-pola yang lainnya yang disajikan dalam buku ini:

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


Tabel 2.10 Analisis perbandingan taksonomi pembelajaran

P u s a t P e n g k a ji a n T a k s o n o m i
T a k s o n o m i B l o o m L i c k o n a
P e d a g o g i k K r a t h w o h l

Tindakan moral
Dakwah

Sabar

Teladan

Praktik

Karakterisasi-diri

Organisasi

Penilaian

Responsi

Menerima Perasaan moral

Kompetensi Kognitif Pengetahuan moral


Kreasi

Evaluasi

Analisis

Aplikasi

Pemahaman

Pengingatan

P 3 m em pertim bangkan teladan, sabar, dan dakwah sebagai


perincian secara khusus tingkat karakterisasi-diri Krathwohl atau
tingkat tindakan Lickona.
Contoh-contoh silabus yang mengandung karakter tertentu dapat
dilihat pada lampiran buku ini.

M em aknai Pendidikan K ara kter


B. Rambu-Rambu Penyusunan dan
Pengembangan Silabus dan RPP untuk
Pendidikan Karakter
Terdapat sejum lah hal yang sekurang-kurangnya harus menjadi
rambu-rambu bagi guru untuk mengembangkan silabus dan RPP
(rencana pelaksanaan pembelajaran): (1) dokumen-dokumen resmi
kurikulum yang tercakup dalam Peraturan M enteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (2) pedoman
penyusunan silabus dan RPP, dan (3) teori-teori pendidikan karakter.
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada
bagian sebelumnya ada disimpulkan bahwa kelompok m ata pelajaran
dan cakupannya tidak lepas dari misi pendidikan karakter. Ini
berarti pembelajaran yang semata-mata kognitif, adalah tidak sejalan
dengan misi ini. Juga, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi
Dasar (KD) yang merupakan rincian lanjutan dari kelompok mata
pelajaran tersebut sudah sewajarnya tidak menolakserta (to exclude)
keberadaan nilai-nilai.
Di samping itu, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan
(SKL-SP) mulai dari jenjang pendidikan dasar, m enengah, dan
menengah kejuruan, juga mempertegas misi pendidikan karakter.
B egitupun halnya dengan S tandar Kompetensi M ata Pelajaran,
konsisten dengan misi pendidikan karakter.
Perm endiknas N om or 22 T ahun 2006 tersebut m engartikan
kompetensi sebagai kem ampuan bersikap, berpikir, dan bertindak
secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik. Kata “bersikap” dan
“bertindak” pada rum usan kompetensi ini, jelas m em uat esensi
karakter. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Tidak ada sesuatu yang baru yang harus dikerjakan guru dalam
m enyusun silabus dan RPP ketika guru akan m engem bangkan
p endidikan k arak ter dalam m ata p elajaran yang diam punya,
kecuali ham s memahami SK-KD secara lebih cermat dan dengan
menggunakan perspektif pendidikan karakter. Masalahnya, perspektif
pendidikan karakter ini merupakan barang bam bagi banyak guru

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


yang selama ini dibelenggu oleh perspektif pendidikan kognitif.
Bagian bacaan di atas tentang pendidikan karakter, diharapkan
dapat m em b an tu guru u n tu k m em iliki perspektif p endidikan
karakter ketika memahami SK-KD. Dengan perspektif ini, SK-KD
yang memuat pendidikan karakter atau memang fokus utamanya
pendidikan karakter, akan diperlakukan sebagai pendidikan karakter,
dan bukan pengajaran pengetahuan secara eksklusif. Berikut ini
disajikan beberapa contoh silabus pendidikan karakter dengan
harapan para guru terbantu dalam mengembangkan silabus dan
RPP yang menerapkan pendidikan karakter.

Contoh 1 Standar isi

S t a n d a r K o m p e t e n s i K o m p e t e n s i D a s a r

T a r ik h 3.1 Menceritakan kisah Nabi Ayyub as.


3. Menceritakan kisah Nabi 3.2 Menceritakan kisah Nabi Musa as.
3.3 Menceritakan kisah Nabi Isa as.

A k h l a k 4.1 M eneladani perilaku Nabi A yyub as.


4, Membiasaka n peri laku terpuji 4.2 Meneladani perilaku Nabi Musa as.
4.3 M eneladani perilaku N abi Isa as.

Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah
Ibtidaiyah (Ml), Kelas V semester ‫؛‬.

S ilabus 1

S t a n d a r k o m p e t e n s i : 3 . M e n c e r i t a k a n k i s a h N a b i

K o m p e t e n s i d a s a r : 3 .1 M e n c e r i t a k a n k i s a h N a b i A y y u b as.

Materi pokok Kisah Nabi Ayyub as:


1. Jalan cerita kisah Nabi A yyub as.
2. Latar (sett/ng) kejadian kisah Nabi Ayyub

3. Tokoh-tokoh dan karakter dalam kisah


Nabi Ayyub as.
4. Pesan yang te rka n d u n g dalam kisah
Nabi Ayyub as.
Perilaku teladan Nabi Ayyub as.

M em aknai P endidikan K ara kter


Kegiatan pembelajaran 1. M em baca secara in divid u kisah Nabi
A y y u b AS sesuai p a n d u a n y a n g
disediakan g u ru (dalam rangka para
siswa membacanya secara intensif melalui
pencapaian indikator-indikator di bawah)

2. Diskusi ke lo m p o k kecil te n ta n g hasil


membaca secara individual tersebut.

3. B eb e ra p a anak te rp ilih secara acak


membacakan kisah tersebut di depan
kelas (guru dapat m emberikan contoh
cara membaca cerita secara baik)

4. Diskusi kelas d a lam rangka koreksi,


penguatan, dan pe ng em ba ng an hasil
belajar siswa.

Indikator 1. Menemutunjukkan jalan/alur cerita kisah


Nabi Ayyub AS

2. M endeskripsikan latar kejadian kisah


Nabi Ayyub AS

3. Mendeskripsikan tokoh-tokoh dan karakter/


perbuatan dari mereka yang terda pa t
dalam kisah Nabi Ayyub AS

4. M enginterpretasi pesan yang terkandung


dalam kisah Nabi Ayyub AS

5. M e n d e s k rip s ik a n secara u tu h (niat,


perilaku, konsekuensi) perilaku teladan
Nabi Ayyub AS

6. M em iliki apresiasi yang baik terhadap


kisah Nabi Ayyub AS

Penilaian Laporan in d iv id u a l hasil tu g a s baca dan


diskusi kelas

Alokasi waktu

Sum ber belajar Buku:

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 87


Silabus 2

S t a n d a r k o m p e t e n s i : 4 . M e m b i a s a k a n p e r il a k u t e r p u j i

K o m p e t e n s i d a s a r 4 .1 M e n e l a d a n i p e r il a k u N a b i A y y u b a s .

Materi pokok Meneladani perilaku Nabi A yyub AS


1 Perilaku teladan (niat, perilaku, konsekuensi) Nabi
Ayyub AS
2. Pentingnya perilaku teladan Nabi Ayyub AS.
3. Bagaimana meneladaninya

Kegiatan Pembelajaran 1. M emotivasi siswa: pentingnya perilaku teladan


N abi A yyub AS (misalnya, kontraskan dengan
perilaku orang atau kelom pok yang bertentangan)
2. Pemodelan di kelas agar siswa m am pu melakukan
role playing di kelas
3. Role playing di kelas
4. Praktik perilaku teladan Nabi A yyub AS dalam
kehidupan harian dan mencatat dan merefleksinya
dalam jurnal siswa.
5. M engajak orang lain untuk m eneladani N a b ‫؛‬
Ayyub AS.
6. Diskusi ke lo m p o k te n ta n g ju rnal siswa, atau
konsultasi dengan guru tentang jurnal siswa

Indikator 1. Memerankan keteladanan Nabi A yyub AS dalam


latar kelas
2. Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub
AS |
3. M enaaiak orar‫؛‬q lain untuk m eneladani N abi
Ayyub as.

Penilaian j Evaluasi jurnal siswa

i‫ ؛‬Alokasi waktu -

| Sumber belajar

*) Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang


mampu menyusunnya secara canggih berkat pengalamannya dalam
materi pelajaran, pergaulan dengan siswa, dan lain-lain.
Catatan: Silabus yang pertam a adalah bagian dari pelajaran
tarikh biasanya (barangkali) diajarkan semata-semata sebagai pelajaran
kognitif). Kisah atau cerita sering menjadi sarana untuk pendidikan
karakter. Karena itu penting adanya siswa m em bacanya secara

88 I Memaknai Pendidikan Karakter


intensif/mendalam, dengan disediakan panduan/LKS. Juga, puncak
dari pelajaran kisah ini adalah kem am puan siswa mengapresiasi
kisah tersebut. Apresiasi dalam hal ini jelas sebuah fasilitas penting
untuk penum buhan karakter siswa. Dalam taksonomi Krathwohl,
apresiasi termasuk ke dalam kemampuan valuing (menilai). Adapun
dalam sistem Lickona, apresiasi dapat memfasilitasi berkembangnya
kemampuan cinta kebaikan.
Silabus yang kedua adalah bagian dari p elajaran akhlak.
Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub as. adalah bagian
dari tindakan moral (kompetensi), yang harus dibiasakan dalam
kehidupan harian. Pembuatan jurnal jika dikerjakan sungguh-sungguh
dan pendidik m enyediakan um pan-baliknva, dapat m em perkuat
perilaku siswa. Adapun diskusi dan konsultasi jurnal, di samping
memperkuat perilaku yang sudah ada, dapat juga berfungsi koreksi
terhadap kelemahan yang ditemukan, atau juga mengembangkan/
meningkatkan perilaku yang ada. Dengan pendidikan karakter, latar
tem pat terjadinya pem belajaran tidak hanya di kelas. Kegiatan
pem belajaran n om or 4 dan 5 silabus SK-KD akhlak di atas,
m engim plikasikan pem belajaran terjadi juga di luar kelas, dan
semua hal ini di bawah manajemen guru.
Contoh 2
Standar Isi

S t a n d a r K o m p e t e n s i K o m p e t e n s i D a s a r

8. Mem ahami pentingnya 8.1 M engidentifikasi kegunaan energi


penghem atan energi listrik dan b e rp a rtisip a si dalam
penghematannya dalam kehidupan
sehari-hari

Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran IPA untuk Sekolah Dasar


(SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Kelas VI semester 2.

S t a n d a r k o m p e t e n s i : 8 . M e m a h a m i p e n t i n g n y a p e n g h e m a t a n e n e r g i

8.1 M engidentifikasi kegunaan energi


listrik dan be rpa rtisipa si dalam
Kompetensi dasar penghematannya dalam kehidupan
sehari-hari

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


Materi pokok

Kegiatan pembelajaran

Indikator

Penilaian
Alokasi waktu -
Sumber belajar -

*) Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang


m am pu menyusunnya secara lengkap berkat pengalamannya dalam
materi pelajaran, pergaulan dengan siswa, dan lain-lain.

Untuk kepentingan latihan, para pembaca dapat melihat contoh


RPP yang kami buat pada lampiran buku ini.

Memaknai Pendidikan Karakter


aib 3

Hodsl-Model
•٠- ‫؛‬.‫؟‬

Pendidikan Karakter

A. Memaknai Desain Pembelajaran untuk


Pendidikan Karakter
I. Makna Belajar dalam Pendidikan Karakter
Sebelum memasuki apa dan bagaimana desain pembelajaran dalam
pendidikan karakter, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah
belajar dalam konteks pendidikan karakter. Pemahaman akan hal
ini am at penting untuk memberikan dasar pem ikiran mengenai
bagaimana seharusnya pembelajaran didesain.
Tinjauan terhadap berbagai teori belajar akan menyampaikan
kita pada suatu gambaran tentang apa sebenarnya makna belajar
dalam berbagai perspektif. Mari kita kaji beberapa teori belajar
vang ada saat ini lalu nanti kita bandingkan dengan makna belajar
menurut pusat kajian p'xlagogik.
U ntuk m em aham i m akna belajar, H ergenhahn dan Olson
(2009:2-3) mengemukakan lima rambu-rambu sebagai berikut.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


(1) Belajar diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku. Hasil
belajar harus selalu diterjem ahkan ke dalam perilaku atau
tindakan yang dapat diamati.
(2) P erubahan behavioral ini relatif perm anen. Artinya hanya
sementara dan tidak menetap (relatif).
(3) Perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung
setelah proses belajar selesai. Potensi u n tuk bertindak ini
mungkin tidak akan diterjemahkan ke dalam bentuk perilaku
secara langsung.
(4) P erubahan perilaku (atau potensi behavioral) berasal dari
pengalaman atau praktik (latihan).
(5) Pengalaman atau praktik harus diperkuat. Hanya respon-repson
yang menyebabkan penguatanlah yang akan dipelajari.

A sum si-asum si di atas m en g h an tark an kita kepada suatu


pem aham an bahw a belajar m erupakan suatu pengalam an yang
mendahului perubahan perilaku seseorang. Dengan kata lain, jika
seorang anak belajar maka sangat memungkinkan terjadi perubahan
perilaku pada anak tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pandangan
banyak ahli psikologi tentang belajar, kecuali pendapat B.F Skinner
yang berpendapat bahw a perubahan perilaku m erupakan proses
belajar itu sendiri dan tak perlu lagi ada proses lain yang harus
disimpulkan. Hergenhahn dan Olson (2009:4) menggambarkannya
sebagai berikut:

Variabel
Independen H Variabel
Perantara H Variabel
Dependen

Pengalaman J------- > Belajar


H Perubahan
Perilaku

Gambar 3.1. Pengaruh belajar terhadap perubahan perilaku

Pemahaman tentang teori belajar menjadi am at penting dalam


pendidikan karakter, karena perilaku yang berkarakter itu terbangun
melalui proses belajar, bukan suatu yang kebetulan.

Memaknai Pendidikan Karakter


Berikut beberapa pandangan tentang belajar dari ‫اأه'اا‬ ke waktu:‫؛‬

Tabel 3.1 Lima Sudut Pandangan tentang Belajar

S u d u t

P a n d a n g
N o . P a r a d i g m a T o k o h K o n s e p T e o r i t i s U t a m a
t e r h a d a p

B e l a ja r

1. Fungsionalistik Menekankan Edward • Bentuk paling dasar dari


proses belajar adalah trial
hubungan ^ o m d ik e and error learning (belajar
antara belajar (1871- dengan uji coba).
dengan 194?) ٠ Belajar adalah incremental,
penyesuaian bukan langsung ke
diri dengan pengertian mendalam
lingkungan. ( insightful).

Banyak • Belajar tidak dimediasi


dipengaruhi oleh ide.
oleh pemikiran • Semua mamalia belajar
Darwinisme. dengan cara yang sama.
• Law o f readiness, law
o f exercise, dan law o f
effect.

Burrhus ٠ M em bedakan dua jenis


Frederick perilaktt: respondent
Skinner behavior (perilaku
(1904- resp on ded yang
1990) ditim bnlkan oleh suatu
stimulus yang dikenali,
dan operant behavior
(perilaku operan), yang
tidak diakibatkan oleh
stimulus yang dikenal
tetapi dilakukan sendiri
oleh organisme.
٠ Ada dua jenis
pengkondisian (Tipe

Pengkondisian Tipe S
yang menekankan arti
penting stimulus dalam
menimbulkan respons
yang diinginkan. Tipe R:
kondisi yang m enyangkut ;
perilaku operan yang j
penekanannya pada j
respons.
‫؛‬
١ ‫؛‬
— ‫ﺳﺺ‬. _

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


Dua prinsip pengkondisian
operan: 1) setiap respon
yang diikuti dengan
stimulus yang menguatkan
cenderung akan diulang,
dan 2) stimulus yang
menguatkan adalah
segala sesuatu yang
mem perbesar rata-rata
terjadinya respon operan.
٠ Belajar akan sangat efektif
apabila: 1) informasi yang
akan dipelajari disajikan
secara bertahap, 2) j
pem belajar segera diberi |
umpan balik (feedback)
mengenai akurasi
pembelajaran mereka,
dan 3) pem belajar
m am pu belajar dengan
caranya sendiri.
Clark ٠ Ada tiga macam
Leonard variabel dalam teori
Hull Hull: 1) variabel bebas
(1884- (independen) yang
1952) merupakan kejadian
stimulus yang secara
sistematis dimanipulasi
oleh eksperimenter. 2)
variabel pengintervensi
(.intervening ), yakni
proses yang dianggap
terjadi di dalam
organisme tetapi tidak
dapat diam ati secara
langsung. 3) variabel
terikat (dependen), yakni
beberapa aspek dari
perilaku yang diukur oleh
eksperim enter dalam
rangka menentukan
apakah variable punya
efek atau tidak.
٠ Teori belajar Hull adalah
teori reduksi dorongan
atau reduksi stimulus
dorongan. Belajar
melibatkan dorongan
yang dapat direduksi.

94 Memaknai Pendidikan Karakter


2. Asosiasinistik Mempelajari Ivan ‫إ‬ Ada dua proses dasar
proses belajar Petrovich ; yang m engatur semua
dalam term Pavlop aktivitas sistem syaraf
hukum (1849- sentral adalah excitation
asosiasi. 1936) (eksitasi) dan inhibition
Berasal dari (hambatan).
Aristoteles dan Prinsip Pavplovian
dipertahankan sulit diaplikasikan ke
dan dielaborasi pendidikan kelas. Setiap
oleh focke, kali kejadian netral
Barkeley, dan dipasangkan dengan
Hume. kejadian bermakna, akan
terjadi pengkondisian
klasik.
Prinsip pengkondisian
klasik dapat dipakai
dalam program
pendidikan, khususnya
dipakai untuk
memodifikasi perilaku,
situasinya tam pak
menyerupai brainwashing
ketim bang pendidikan.

Asosiasi antara stimulus


dan respons terjadi
hanya karena keduanya
terjadi bersama-sama.
Law o f contiguity
(hukum kontiguitas):
"kom binasi stimuli yang
m engiringi suatu gerakan
akan cenderung diikuti
oleh gerakan itu jika
kejadiannya berulang"
yang direvisi menjadi
"Apa-apa yang dilihat
akan m enjadi sinyal untuk ;
apa-apa yang dilakukan."
Dengan kata lain: jika
Anda melakukan sesuatu
dalam situasi tertentu,
pada waktu lain saat
Anda dalam situasi itu
Anda cenderung akan
melakukan hal yang
sama.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


• Pendidikan dimulai
dengan menyatakan
tujuan, yakni menyatakan
respon apa yang harus
d ibuat untuk stimuli.
٠ Sekolah seharusnya
menyerupai situasi
kehidupan nyata semirip
mungkin.
• Hukuman terkadang
da pa t mengatasi perilaku
yang m engganggu dan
hukuman mesti dipakai
saat perilaku disruptif itu
sedang terjadi.

W illiam ٠ Mengemukakan teori


Kay stimulus sampling theory
Estes (SST).
(1919-...) ٠ Dengan lingkungan
belajar yang kompleks,
proses belajar
berlangsung dengan cara
sekaligus atau tidak sama
sekali (all o r none), hanya
saja ia berjalan sedikit
dem i sedikit pada suatu
waktu.

K ognitif Menekankan ٠ Mengaplikasikan field


sifat kognitif theory (teori medan)
dari belajar. dari fisika ke problem
Berasal dari psikologi. Secara umum
Plato dan dideskripsikan sebagai
sampai kepada system yang saling terkait
kita melalui secara dinamis, di mana
Descartes. setiap bagiannya saling
Teori Gestalt m em pengaruhi satu sama
lain.
• Psikologi gestalt percaya
bahwa apapun yang
terjadi pada seseorang
akan m em pengaruhi
segala sesuatu yang lain
di dalam diri orang itu.
• Belajar adalah memuaskan
secara personal dan tidak
perlu didorong-dorong
oleh penguatan eksternal.

Memaknai Pendidikan Karakter


3. K ognitif Menekankan Mengaplikasikan field
sifat kognitif theory (teori medan)
dari belajar. dari fisika ke problem
Berasal dari psikologi. Secara umum
Plato dan dideskripsikan sebagai
sampai kepada sistem yang saling terkait
kita melalui secara dinamis, di mana
Descartes. setiap bagiannya saling
Teori Gestalt m em pengaruhi satu sama
lain.
Psikologi Gestalt percaya
bahwa apa pun yang
terjadi pada seseorang
akan m em pengaruhi
segala sesuatu yang lain
di dalam diri orang itu.
Belajar adalah memuaskan
secara personal dan tidak
perlu d idoro ng -doro ng
oleh penguatan eksternal.
Belajar da pa t dimulai
dengan sesuatu yang
familiar dan setiap
langkah dalam pendidikan
didasarkan pada hal-hal
yang sudah dikuasai.
Ketika hal-hal yang
dipelajari telah dipahami,
bukan hanya diingat,
maka ia da pa t dengan
mudah diaplikasikan ke
situasi yang baru dan
dipertahankan dalam
jangka waktu yang lama.

Jean Anak dilahirkan dengan


: Piaget beberapa schemata
sensorimotor, yang
m em beri kerangka bagi
interaksi awal mereka
dengan lingkungannya.
Pengalaman pendidikan
harus dibangun di
seputar struktur kognitif
pembelajar.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 97


Materi pendidikan yang
tidak dapat diasimilasikan ‫؛‬
ke struktur kognitif anak
tidak akan bermakna bagi
si anak. A ga r belajar
terjadi, materi perlu
sebagian sudah diketahui
dan sebagian belum.
Bagian yang sudah
diketahui akan diasimilasi
dan bagian yang I
belum diketahui akan
menim bulkan modifikasi
dalam struktur kognitif
anak.
Modifikasi ini disebut
akomodasi yang dapat
disamakan dengan belajar.
Pendidikan yang optim al
mem butuhkan pengalaman
yang menantang
bagi si pembelajar,
sehingga proses
asimilasi dan akomodasi
dapat menghasilkan ‫؛‬
pertum buhan intelektual.

— U
Edward Belajar bukan hanya soal
Chace m em beri respon atau
Tolman strategi yang benar,
( 1886 - tetapi juga menghilangkan
1959) resoon atau strateai vana
salah.
Yang penting untuk
anak (murid) adalah
ada kesempatan, secara
individual atau anggota
kelom pok, untuk menguji
ide-idenya secara
memadai. Guru bertindak
sebagai konsultan
yang m em bantu siswa
dalam menjelaskan dan
m engkonformasi atau
menolak hipotesis.

Memaknai Pendidikan Karakter


Siswa semestinya
dihadapkan pada to p ik
dari berbagai sudut
pandang yang berbeda.
Proses ini memungkinkan
siswa untuk m em bangun
proses kognitif, yang
akan dipakai siswa untuk
menjawab pertanyaan
tentang to p ik tertentu
dan to p ik lainnya.
Penguatan ekstrinsik
dianggap tidak perlu
untuk m emicu proses
belajar. Belajar terjadi
secara konstan.

A lbert Belajar bersifat terus


Bandura menerus dan tidak
(1925-...) bergantung pada
penguatan.
Proses belajar manusia
biasanya terjadi dengan
mengam ati konsekuensi
dari perilaku model.
Empat proses utama
yang dianggap mem
pengaruhi jalannya
belajar observasional: 1)
proses atensional, yang
menentukan aspek mana
dari situasi m odeling yang
akan diperhatikan; 2)
proses retensional, yang
melibatkan pengkodean
informasi secara imajinal
dan verbal sehingga bisa
disimpan dan dipakai
di waktu m endatang;
3) proses pem bentukan
perilaku, yang melibatkan
kemampuan untuk
m em beri respon yang
dibutuhkan untuk
menerjemahkan hal-hal
yang sudah dipelajari
ke dalam perilaku; 4)
proses motivasional, yang
menentukan aspek mana
dari respon yang telah
dipelajari sebelumnya
yang akan diterjemahkan
ke dalam tindakan.
1

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


Ada interaksi resiprokal
(interaksi konstan antara
lingkungan, perilaku
dan orang). Perilaku
m em pengaruhi lingkungan
sebagaimana lingkungan
m em engaruhi perilaku.
Selain itu, orang
m em engaruhi perilaku dan
linkungan.
Melalui belajar langsung
dan observasional,
muncul standar performa
yang bertindak sebagai
pedom an dalam
mengevaluasi seseorang.
Jika perilaku seseorang
sesuai atau melebihi
standar, ia dinilai positif;
jika tidak, ia akan dinilai
negatif.
Proses kog nitif yang
salah dapat muncul
dari persepsi yang
tida k akurat, generalisasi
berlebihan atau informasi
yang tidak lengkap
(keliru).
Teori kognitif sosial
menekankan fakta bahwa
ham pir semua informasi
kita peroleh dari interaksi
kita dengan orang lain.
Segala sesuatu yang
dapat dipelajari melalui
pengalam an langsung
juga bisa dipelajari secara
tak langsung lewat
observasi.

4. Neurofisiologis Berusaha Donald M enurut H ebb ada


mengisolasi O lding dua jenis belajar:
korelasi H ebb 1) berkaitan dengan
neurofisiologis (1904 pem bentukan kumpulan
dari hal-hal sel dan sekuensi fase
seperti belajar, secara gradual selama
persepsi, masa bayi dan kanak-
pemikiran, dan kanak. Proses belajar
kecerdasan. awal ini representasi
Diawali dari neurologis atas objek dan
rangkaian lingkungan.
penelitian

Memaknai Pendidikan Karakter


Descartes yang Semakin kompleks
memisahkan suatu lingkungan,
antara tubuh semakin banyak yang
dengan akan direpresentasikan
pikiran. Tujuan dalam level neurologis.
Neurofisiologis Semakin banyak yang
saat ini direpresentasikan di
menyatukan level neural, semakin
kembali proses besar kemampuan anak
fisiologis dan untuk berpikir. Untuk
mental. itu guru bertugas untuk
menciptakan lingkungan
pendidikan yang
bervariasi.
• setelah sekumpulan
sel dan sekuensi fase
berkem bang pada masa
kecil, proses belajar
selanjutnya biasanya
berupa penataan ulang.
Setelah blok bangunan
terbentuk, blok itu dapat
diatur kembali menjadi
berbagai macam bentuk.
Proses belajar di tingkat
selanjutnya berbentuk
perceptual, cepat, dan
berwawasan. Tugas guru
adalah m em bantu mereka
memahami apa yang
sudah mereka pelajari
dengan cara yang kreatif.
• Karakteristik fisik dari
lingkungan belajar adalah
sangat penting.
• Belahan otak kiri dan
kanan tidak belajar atau
berperilaku secara sendiri-
sendiri dan perbedaannya
bukan bersifat dikotom i.
٠ Fungsi otak normal
adalah saling terkait
secara keseluruhan, dan
dianggap mustahil untuk
m enciptakan pengalaman
■1, ■ ٠١١ .٠
. .. ،
pendidikan yang
H '/ ■ '
dikhususkan pada satu
belahan otak saja.
//» / ;
٠ "• _____ - ______ ______ ______ ______ —‫؛‬

1،v
'Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 101
Menekankan ! Robert Psikologi evolusioner tidak
pada sejarah C. Bolles ‫؛‬ memiliki implikasi untuk
evolusi teknik pengajaran secara
proses belajar khusus, tetapi berimplikasi
organisme. banyak terhadap
Paradigma ini kurikulum pendidikan.
berfokus pada Manusia memiliki
cara di mana kecenderungan untuk
proses evolusi m em entingkan diri sendiri,
mempersiapkan xenophobia, dan agresi.
organisme Kurikulum dan aktivitas
untuk sekolah, bersama dengan
beberapa jenis pengaruh budaya lainnya,
belajar tetapi seperti praktik pengasuhan
m em buat jenis anak, harus disusun
belajar lain sedemikian rupa sehingga
menjadi sulit bisa melemahkan tendensi
atau mustahil. alamiah itu.
Manusia secara biologis
siap untuk belajar
hal-hal yang dinilai
positif oleh suatu
kultur. Misalnya, karena
manusia cenderung bisa
menguasai bahasa, maka
sekolah harus menekankan
pada belajar bilingual di
tahap awai pendidikan.
Pandangan psikologi
evolusioner m engingatkan
pendidik untuk
menghindari "nothing-
butism", yakni asumsi
bahwa perilaku ditentukan
oleh gen atau oleh kultur
saja. M enurut mereka,
perilaku manusia selalu
merupakan fungsi dari
keduanya.

Sumber: Diringkas dari buku The Theories Learning belajar) B.R. Hergenhahn dan
Matthew H. Oison (Edisi ketujuh tahun 200

Menurut kami, untuk memahami makna belajar dalam pendidikan


karakter perlu dipahami terlebih dahulu mengenai esensi manusia.
Manusia dapat dipandang sebagai tmnsmitter, yaitu organisme yang
menerima energi dari lingkungannya dan menyalurkan energi dari
dirinya kepada lingkungannya. Energi dari suatu benda dalam
dunia fisika adalah ukuran dari kesanggupan benda tersebut untuk

Memaknai Pendidikan Karakter


melakukan suatu usaha. Energi terdiri dari atom, elektron dan
proton. Jenis energi ini banyak, di antaranya energi potensial,
energi kinetik/kinetis, energi panas, energi air, energi batu bara,
energi minyak bumi, energi listrik, energi matahari, energi angin,
energi kimia, energi nuklir, energi gas bumi, energi ombak dan
gelombang, energi minyak bumi, energi mekanik/mekanis, energi
cahaya, energi listrik, dan sebagainya. Energi yang dimaksud
dalam kajian pendidikan karakter adalah suatu hal, situasi, dan
kondisi yang mempengaruhi terhadap organisme/individu manusia
sehingga melakukan sesuatu. Energi ini dapat berupa energi positif
(+) atau energi negatif (-). Energi positif adalah potensi yang
mempengaruhi dan mengarahkan perilaku individu atau kelompok
untuk berperilaku baik/benar/memperbaiki. Energi negatif adalah
potensi yang mengarahkan perilaku individu kepada perilaku yang
jahat/salah/merusak. Jadi dapat dikatakan bahwa anak menerima
pengaruh dari suatu hal, situasi dan kondisi lingkungannya dan
juga menyalurkan pengaruh berupa hal, situasi, dan kondisi kepada
lingkungannya. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:

٠• Student

Gambar 3.2. Proses transmisi energi pada manusia

Berdasarkan asumsi di atas, dipahami bahwa belajar dalam


konteks pendidikan karakter menurut Pusat Penkajian Pedagogik
adalah proses menerima atau menolak dan menyalurkan nilai
untuk diadopsi atau diabaikan dalam perilaku keseharian anak
yang dipengaruhi oleh kondisi/potensi awal yang dimiliki anak.
Belajar dideskripsikan sebagai proses yang memunculkan analisis

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


kognisi, afeksi dan psikomotor secara terpadu dan menghasilkan
keputusan apakah suatu hal akan dilakukan/di terima atau tidak
dilakukan/diterima. Proses ini tidak dapat dilihat secara langsung,
karena terjadi dalam diri manusia dan merupakan proses gaib.
Proses belajar dalam konteks pendidikan karakter ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

+ + J 1 1 K + + + +
Potensi awal
Proses Belajar ; Hasil Belajar

"TTMU•'
'C A S ‫؛‬
Gambar 3.3. Proses belajar dalam konteks pendidikan karakter

Proses belajar pada Gambar 3.3. menunjukkan banyak dipengaruhi


oleh energi negatif dan energi positif. Berdasarkan gambaran proses
belajar seperti dapat dipahami lebih jauh mengenai bagaimana peran
guru dalam menetralisasi energi negatif menjadi energi positif. Mari
kita lihat analisis berikut.
Pada suatu interaksi antara guru dengan siswa di suatu
kelas, guru mengawali pertemuannya dengan anak melalui
ucapan salam yang khas ketika masuk kekelas. Kekhasan
salam inidilakukan dengan cara diam tepat di pintu lalu
mengucapkan salam sambil menatap kelas. Guru tidak
mengucapkan salam sambil berjalan menuju kursi. Kemudian
guru melihat ada beberapa sampah kertas dan bekas
minuman di bawah meja para siswa. Sebelum menyimpan
peralatan pembelajaran yang dibawa, guru mengambil
kertas yang terjangkau olehnya kemudian menyimpannya
di tong sampah. Setelah itu guru mengajak anak-anak
berdoa sebelum memulai pelajaran. Dalam proses tersebut
(berdoa) guru mendoakan anak-anak yang berada di kelas

10 4 I Memaknai Pendidikan Karakter


supaya m en d ap atk an m an faat d an m em berikan m anfaat
dari proses belajar dengan guru.

Apabila kita analisis kasus ini, dapat dipaham i beberapa


energi negatif yang terlihat langsung secara kasat m ata,
yaitu: (1) konsentrasi anak yang belum fokus ketika guru
m asuk, (2) banyak sam pah di kelas.

Analisis terhadap proses penefralan energi negatif dilakukan


oleh guru dengan cara: (1) m engucapkan salam secara khas
kepada kelas, (2) m em andang ke kelas ketika akan m asuk
kelas, (3) anak berdoa, dan (4) guru m erdoakan anak-anak.

Dalam proses inilah terjadi proses anak belajar suatu nilai.


Ketika proses ini berulang d an terasa nyam an dalam diri
anak, m aka dapat dipastikan bahw a anak akan memiliki
karakter dari nilai yang diperkuat melalui proses belajar.

?roses belajar itu bersifat gaib. Dalam konteks proses yang gaib,
pendidik perlu mengkaji secara khusus pengaruh dari setan sebagai
pihak yang m em pengaruhi m an u sia m elalui (transfer) pengaruh
energi negatif kepada diri m anusia. G am baran pengaruh ini dapat
dikaji dalam Sur’at An-Nas [114] 1:6 sebagai berikut.

1. ‫اﻗﻠﻲ‬ ‫ﺑﺮب‬ ‫ﻗﻦ أﻓﻮف‬


Katakanlah: “ Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan
menguasai) manusia.

Raja manusia.

W
‫ أﺋﺌﺶ اﺗﻪ‬3, .
- r

Sembahan manusia.

4, -‫ص‬
‫ﻧﻢﺀ[ﻣﻤﺎ‬
‫ﻧم‬-
‫ﻣﻦ ﺳﺮ‬
dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi.

‫ ﻗﺄ اس‬5‫ أ‬. ‫ﻓﻲ ﺻﺪور‬


‫س‬ ‫ﻳﻮﻫﻨﻮس ي‬
‫اﺋﺘﻲ‬

yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

Modei-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


،J■*
dari (golongan) jin dan manusia.

Pada ayat 5 S urat An Nas tersebut dengan jelas Allah Swt.


m enjelaskan bahw a m anusia harus berlindung dari bisikan kejahatan
setan ke dalam dada (hati) m anusia. Ayat 6 m enjelaskan bahw a
energi negatif m anusia itu ada yang datang dari jin dan m anusia.
B erdasarkan kajian terh a d ap su ra t An-Nas ini m aka pendidikan
perlu untuk m em bentengi perilaku diri dan anak didiknya melalui
doa kepada Allah Swt. untuk selalu dilindungi dari godaan sietan
yang terkutuk. Dengan dem ikian dapat dipaham i bahw a doa dalam
proses belajar m enjadi suatu hal yang m utlak untuk dilakukan oleh
pendidikan dan anak didik.
B erdasarkan kajian di atas, kam i m em andang b ah w a KBM
dalam pendidikan karakter bukan m em berikan w arna kepada anak
ten tan g su a tu nilai, tetap i m eru p a k an proses interaksi alam iah
yang selalu didasarkan/dirujuk kepada suatu nilai. Dan tidak ada
perilaku yang bebas dari nilai. Sem ua perilaku didasari/m erujuk
pada suatu nilai. Persoalannya adalah, apakah guru m em aham i nilai
apa yang ada di balik setiap perilaku yang dilakukan guru selam a
berinteraksi dengan peserta didik. Jika saja dalam kasus tertentu
guru tidak m engakui bahw a “selam a proses interaksi dia dengan
peserta didiknya, tidak ada nilai khusus yang dirujuk”, m aka guru
tidak m em aham i hakikat nilai.

Gambar 3.4 Perumpamaan pendidikan karakter bukan


mewarnai jiwa anak

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Jika proses yang terjadi dalam p em b elajaran di kelas-kelas
sebagaim ana G am bar 3.4, m aka anak dipaksa u n tu k m enerim a
su atu nilai dengan cara dogm atis dan an ak diposisikan sebagai
p ih ak yang tidak m em iliki potensi. Inilah yang sering m uncul
dalam persepsi para guru ketika m engahadapi anak-anak di kelas.
T entu saja ini tidak d ap at disebut sebagai pendidikan karakter,
tetap i m endekati p a d a p rak tik dem agogi. Di m an a anak, m au
tidak m au harus m enerim a suatu nilai secara paksa dari gurunya.
Pendidikan karakter bukan m em aksa anak untuk m enerim a suatu
nilai dan m enjadi perilaku, tetapi layanan yang m engarahkan dan
m enguatkan anak pada suatu nilai.
Tentu saja proses belajar an tara "m ewarnai” dan “m engarahkan
dan “m enguatkan” m erupakan dua proses belajar yang berbeda. Di
m ana letak perbedaannya? M ari kita analisis lebih lanjut!
Jika anak diposisikan sebagai pihak yang diwarnai oleh gurunya,
m aka posisi anak dalam proses belajar adalah objek atau individu
yang m enjadi sasaran ajar. Sedangkan dalam proses "diarahkan dan
dikuatkan” oleh guru, m aka anak tidak saja sebagai objek, tetapi
juga sebagai subjek. Anak diposisikan sebagai pihak yang memiliki
keterkaitan satu sam a lain, baik dengan anak didik lainnya m aupun
dengan berbagai hal yang a d a di sekitarnya. B ukan saja anak
itu m em pelajari dan m eresapi suatu nilai, tetapi juga m enularkan
nilai kepada lingkungannya yang dirasakan oleh anak secara sadar.
Dengan kata lain, anak didik tidak saja orang yang m enerim a, tetapi
juga m erupakan pihak yang m em berikan arah an dan penguatan
nilai kepada lingkungannya. Lalu siapa sebenarnya yang disebut
lingkungan itu? Apakah guru term asuk pada lingkungan?
Interaksi anak didik dengan lingkungan memiliki m akna yang
luas, m akna lingkungan bukan saja kelas dalam arti ruangan kelas
beserta aiiifact di dalam kelas tersebut. Lingkungan anak dalam
konteks pendidikan karakter dipaham i sebagai segala sesuatu yang
terlihat, terdengar, terpikir, dan terasakan oleh anak. Lingkungan
tidak m engarah p ad a sesuatu objek fisik sem ata, tetapi juga apa
vang didengar, dilihat, dipikirkan dan dirasakan oleh anak. K arena
itu hal-hal (objek) yang dipelajari anak dapat m enem bus keterbatasan
ruang dan w aktu dan hal itu diasum sikan m em pengaruhi perilaku
anak.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I 10 7


2. Makna Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter
Istilah pem belajaran m enjadi sem akin kerap terdengar dalam
kajian p en didikan persekolahan saat ini. Istilah ini m eru p ak an
p e n g e m b a n g a n istila h d a ri “p ro se s b e la ja r m e n g a ja r” (PBM ).
Pengem bangan istilah ini disertai penekanan m akna dalam praktik
kegiatan belajar m engajar (KBM) di sekolah. Penekanan m akna ini
utam anya ditujukan pada "proses” atau hal-hal yang dilakukan oleh
guru dan anak dalam PBM.
Dalam istilah PBM, m akna yang fam iliar bagi guru-guru saat
ini adalah guru m elakukan pengajaran dalam berbagai m ateri ajar
kepada peserta didik. Dalam proses ini guru memiliki peran yang
d o m in a n d alam proses, sed angkan sisw a b erp eran lebih pasif,
a ta u lebih b anyak m en e rim a inform asi d a ri guru. P eran g u ru
dalam PBM lebih banyak dim aknai sebagai pengajar. Sedangkan
istilah “pem belajaran” yang saat ini m enjadi lebih aktual, dim aknai
sebagai proses interaksi peserta didik dengan lingkungan belajarnya.
Dalam proses ini anak m enjadi objek dan sekaligus subjek belajar,
sedangkan guru dan lingkungan belajar lainnya m enjadi kondisi
penting yang m enyertai dalam proses pem belajaran. P eran guru
dalam proses pem belajaran lebih banyak dim aknai sebagai fasilitator
supaya anak m engalam i proses belajar.
D alam k ajian p e n u lis, p e ris tila h a n k ed u a n y a b u k a n s u a tu
persoalan, tetapi substansi yang m enyertainyalah yang m enjadi kajian
lebih lanjut. M engapa dem ikian? Sebagian praktisi dan akademisi
ada juga yang m endefinisikan PBM sebagai proses interaksi antara
peserta didik dengan lingkungan belajar. Artinya istilah PBM dan
pem belajaran m enjadi am bigu (sam ar) dalam penggunaan keseharian
pada pihak-pihak tertentu. Selanjutnya dalam penulisan buku ini,
peristilahan PBM dan pem belajaran akan digunakan saling berganti
dengan m akna yang sam a yaitu suatu proses untuk memfasilitasi
anak m engalam i proses belajar.
A p ak ah p e m b e la ja ra n y a n g s e la m a in i d ila k u k a n d a p a t
dik ateg o rik an sebagai proses p en d id ik a n k a ra k te r a ta u bukan?
Jaw aban akan hal ini cukup berat, karena harus dijawab setelah
m elakukan riset besar. N am un demikian, berdasarkan pengalam an
kami dalam m elakukan pem binaan kepada guru-guru di berbagai
w ilayah Indonesia, pengalam an ketika m enjadi asesor sertifikasi

10 8 I Memaknai Pendidikan Karakter


guru SD, instruktur dalam kegiatan PLPG guru SD, dan interaksi
dengan p a ra m ahasisw a PGSD yang berasal dari guru-guru (kelas
kerjasam a), faktanya m en u n ju k k an b ahw a k ecenderungan KBM
yang terjadi di kelas-kelas tidak m enunjukkan pendidikan karakter.
Tetapi lebih m enunjukkan sebagai pengajaran. Indikasi yang dapat
m encirikan hal tersebut yakni:
1. desain silabus dan RPP yang dibuat guru-guru saat ini cenderung
berpusat pada guru, bukan pada anak;
2. hirarki perilaku yang dirancang dalam silabus dan RPP cenderung
b erad a p ad a perilaku tingkat ren d ah (C l), b ah k an sebagian
guru m enganggap bahw a hirarki perilaku dalam kategori Cl
itu m em ang d ip eru n tu k k an u n tu k p eserta didik yang tidak
berkategori cerdas istim ew a, sedangkan hirarki perilaku C2-
C4 diperuntukkan untuk anak-anak yang dikategorikan cerdas
istimewa. Akan hal ini, penulis berbeda pemikiran. Apa bedanya?
Kami m elihat bahw a ketika anak dikondisikan untuk m enguasai
su a tu k o m p eten si p a d a level C l s.d C3, m ak a a n a k ak a n
disiksa untuk m engingat banyak fakta, bahkan m inim dengan
pem aham an dan aplikasi konsep.
3. KBM yang terjadi sering tidak kontekstual dengan kehidupan
anak, bahkan verbalism e banyak m enjadi keunggulan para guru
saat ini.
4. m e to d e p e m b e la ja ra n y a n g b a n y a k d ila k u k a n c e n d e ru n g
ceram ah tunggal. Anak yang baik dipersepsi sebagai anak yang
m endengarkan dan m am pu m engulang apa yang diceram ahkan
oleh gurunya. Sungguh keterlaluan! Jik a g uru m enganggap
anak sebagai m esin perekam atau m esin fotokopi yang harus
m erekam segala apa yang dikatakan dan dilakukan oleh guru;
5. Evaluasi akhir jarang dilakukan. Ketika dilakukan, inform asi dari
hasil evaluasi jarang ditindaklanjuti. Terkait dengan penyebab
hal ini ada faktor utam a yang harus m enjadi perhatian bersam a
(sekolah, o ran g tu a, d a n p em erin tah ) yang kam i tem ukan,
yaitu ju m lah siswa yang cukup besar (40 anak/kelas) dalam
setiap kelasnya. S ecara s a d a r kam i m elih at b ah w a hal ini
sangat m em ungkinkan terjadinya penghalang bagi guru untuk
m em b erik an c a ta ta n k h u su s te rh a d a p p ek erjaan an ak baik
yang dikerjakan di kelas m au p u n di rum ah. Di sam ping itu
a d a fak to r b irokrasi yang h a ru s diadvokasi bagi guru-guru
teru tam a terkait dengan persoalan pertanggungjaw aban dana

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


BOS yang diterim a oleh sekolah. Hal ini perlu kajian khusus.
N am un kam i ingin m enekankan bahw a indikasi poin kelima
ini begitu rum it.

Perlu ditegaskan kembali, bahw a tem uan penulis di atas bukan


hasil riset pada lingkup yang besar, tetapi berdasarkan pada hasil
pengam atan dan pengalam an berinteraksi dengan guru-guru, yang
kebanyakan adalah guru SD.
Lalu yang b a g a im a n a k a h p e m b e la ja ra n u n tu k p e n d id ik a n
karakter? Di baw ah ini kam i ak an m engem ukakan ide-ide dari
P usat Pengkajian Pedagogik terkait dengan desain pem belajaran
dalam pendidikan karakter.
P em belajaran dalam pendidikan karak ter penulis definisikan
sebagai Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan
perilaku anak secara utu h yang didasarkan/dirujuk pada suatu
nilai. Peguatan adalah upaya untuk melapisi suatu perilaku anak
sehingga berlapis (kuat). Pengem bangan perilaku adalah proses
adaptasi perilaku an ak terh ad ap situasi d an kondisi b aru yang
dihadapi berdasarkan pengalam an anak. K egiatan penguatan dan
pengem bangan didasarkan pada suatu nilai yang dirujuk. Artinya,
proses p e n d id ik a n k a ra k te r a d a la h proses yang terjad i k a re n a
didesain secara sadar, bukan suatu kebetulan.
G am baran pem belajaran dalam pendidikan karakter dapat dilihat
pada gam bar berikut.

Stakeholders

b•‫>—؛‬ Nilai
KTSP— ٦ Visi Sekolah L-
Silabus

Pengalaman
Belajar Anak
RPP -ri Karakter

Rumah 1

Indikator ' ‫؛‬


‫؛‬.Pembelajaran;
Evaluasi
Layanan KBM
G uru

(X ! l ^l _
Sekolah ‫؛‬

Hirarkhi Kompetensi Karakter

Gambar 3.5. Seting pembelajaran dalam pendidikan karakter

Memaknai Pendidikan Karakter


M elalui G a m b a r 3.1, kam i b e rm a k su d m en jelask an b ahw a
pem belajaran dalam pendidikan karakter diawali dari dirujuknya
suatu nilai oleh sekolah berdasarkan diskusi antara sekolah dengan
stakeholder. Nilai yang dirujuk ini kem udian m enjadi nilai sekolah
yang m endasari penyusunan suatu visi sekolah. Visi sekolah ini
kem udian dijabarkan ke dalam kurikulum yang dibuat pada level
sekolah yang dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Dalam hal ini, silabus dan RPP yang dikem bangkan oleh
g uru tentu berbeda dengan silabus d an RPP yang bukan untuk
pem b elajaran karakter. Hal ini d ap at dikaji ulang p a d a B ab II
buku ini.
P engalam an belajar an a k d alam seting pendidikan karak ter
dilakukan dalam tiga tem pat, yaitu kelas, sekolah, dan rum ah. Hal
ini m engim plikasikan bahw a guru harus m erancang dalam silabus
dan RPP nya m engenai pengalam an apa yang h am s dilalui oleh
anak dalam upaya penguatan suatu nilai di sekolah dan di rum ah.
Jadi yang harus dipikirkan oleh guru bukan lingkup kelas lagi, tetapi
lingkup sekolah dan rum ah, bahkan m asyarakat di suatu daerah.
Desain pem belajaran yang dikem bangkan oleh guru kem udian
m enjadi layanan KBM bagi peserta didik. Layanan KBM dalam
pendidikan karakter h am s m em enuhi tiga kunci berikut:

٠ Dasar pendidikan = kasih sayang


• Syarat teknis = saling percaya
٠ Syarat mutlak = Kewajiban

D asar Pendidikan adalah kasih sayang m aksudnya bahw a KBM


yang difasilitasi oleh guru m erupakan bentuk/w ujud kasih sayang
g u ru terh ad ap anak, bukan dipersepsi dan diasum sikan sebagai
pelaksanaan tugas/keija sebagai PNS/guru honorer di suatu sekolah.
D asar ini m enjadi am at penting dalam proses pem belajaran, karena
asum si guru tentang KBM akan m elandasi perilaku guru dalam
melayani anak dalam KBM. Jika seorang guru m endasarkan KBM
nya pada kasih sayang, m aka transm isi nilai yang dirujuk m enjadi
suatu perilaku khas p ad a anak akan m udah untuk terwujud. Akan
tetapi, jika ap a yang dilakukan oleh g uru tidak dilandasi kasih
sayang, semisal sebagai pelaksanaan tugas sem ata, m aka transm isi
m akna/pem aham an yang ditangkap oleh anak bukan “suatu nilai

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


itu penting bagi diri dan lingkungannya, tetapi KBM adalah proses
yang h a ru s dilalui oleh an a k d a la m k e h id u p a n kesehariannya,
seb ag aim an a m ak an , m in u m , d a n b erm ain ." K ondisi ini telah
m enghilangkan esensi belajar pada diri anak.
Syarat teknis adalah saling percaya m aksudnya bahw a interaksi
pem belajaran dalam pendidikan karakter yang dibangun oleh guru
m ensyaratkan adanya saling percaya an tara guru dengan peserta
didik, peserta didik dengan peserta didik, dan lingkungan pendidikan
dengan peserta didik. Hal ini m enunjukkan bahw a guru memiliki
peran yang besar u ntuk m em berikan keteladanan dalam m em percapai
bahw a setiap an ak adalah individu yang m em iliki potensi yang
h a ru s difasilitasi oleh guru d an lingkungannya. Jika KBM tidak
disertai adanya kepercayaan g u ru terh a d ap peserta didik, m aka
guru akan m engkondisikan anak untuk selalu MENDENGAR bukan
BELAJAR. M akna saling percaya juga adalah adanya hubungan yang
erat an tara peserta didik dengan guru dan peserta didik dengan
peserta didik lainnya. Transform asi suatu nilai m enjadi perilaku
adalah suatu proses yang kom pleks dan berdim ensi w aktu yang
cukup lama, terlebih jika peserta didik tidak memiliki kepercayaan
kepada guru dan lingkungannya.
"Syarat m utlak adalah kewibawaan” m aksudnya bahw a proses
p en d id ik a n k a ra k te r tidak ak a n terw u ju d (tidak m en g h asilk an
kepemilikan karakter oleh anak) m anakala guru diasum sikan tidak
berw ibaw a di m ata peserta didik. Kewibawaan adalah suatu kondisi
di m an a anak m engasum sikan bahw a guru m em iliki kelayakan
sebagai seo ran g g u ru . K ew ibaw aan m e ru p a k a n su a tu kondisi
yang lah ir secara alam iah b e rd a sa rk a n interaksi a n a k dengan
lingkungannya, bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh guru, semisal
dengan m em arahi anak yang tidak m enghorm ati guiu tersebut atau
dengan m enegakkan aturan yang sangat keras/ketat sebagaim ana
pengkondisian di instansi militer.
B e rd a s a rk a n p a p a r a n di a ta s , d a p a t d im a k n a i leb ih
khusus bahw a p em belajaran dalam p en didikan karakter
adalah pem belajaran yang m engarah pada penguatan dan
pengem bangan perilaku anak secara u tu h yang didasarkan
pada suatu nilai. Pengalam an belajar anak dalam pendidikan
karakter m erupakan suatu proses yang terpadu antara proses
di kelas, sekolah, dan rum ah.

112 I Memaknai Pendidikan Karakter


3. Dua Bentuk Pembelajaran dalam Pendidikan
Karakter
Pusat Pengkajian Pedagogik UPI sebagai salah satu institusi
yang m encoba m engem bangkan teori d an praktik pendidikan m enuju
pendidikan yang lebih baik, m encoba m engem bangkan dua jenis
pem belajaran yang m en g arah pada pendidikan karakter. Artinya
d engan d u a b e n tu k p em b e laja ra n ini d a p a t dib ed ak an ap ak ah
suatu pem belajaran dikategorikan sebagai pendidikan karakter atau
pengajaran semata. Dua bentuk yang dim aksud adalah pem belajaran
substantif dan pem belajaran reflektif. H arus diakui, bahw a pendidikan
karakter bukan sem ata-m ata tugas dari guru agam a, guru PKn, atau
guru BP sem ata, tetapi tanggung jaw ab sem ua guru, bahkan kepala
sekolah, sem ua w arga sekolah dan orang tua, serta m asyarakat.
Pembelajaran Substantif. Pembelajaran substantif adalah pembelajaran
yang su b stan si m aterin y a terk a it langsung d en g an su atu nilai.
Seperti pada m ata pelajaran agam a dan PKn. Proses pem belajaran
substantif dilakukan dengan m engkaji su atu nilai yang dibahas,
m engkaitkannya dengan kem aslahatan (untuk kebaikan) kehidupan
anak d an kehidupan m anusia, baik di du n ia (saat ini) m au p u n
di akhirat (setelah m eninggal). Dengan ini, pendidikan agam a di
sekolah, sem isal pendidikan agam a Islam, tidak saja m enjadikan
anak teram pil dalam bacaan dan gerakan shalat, tetapi juga anak
memiliki kebiasaan, kem auan yang kuat dan m erasakan m anfaat
shalat bagi dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Proses
pem belajaran selalu dikaitkan dengan nilai yang ingin diperkuat pada
anak. Misal nilai yang terkandung dalam shalat adalah pengham baan,
keteraturan/ketertiban, kerendahan hati, keikhlasan, kebersam aan,
am ar m a ’m f nahi m unkar (m enyuruh pada kebaikan dan m encegah
kejelekan), d a n sebagainya. Nilai m an a yang akan dirujuk dalam
pem belajaran terlebih dahulu didesain oleh guru atau kelom pok
guru m ata pelajaran yang m engarah p ad a risi sekolah. Dem ikian
halnya dengan m ata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Analisis lebih lanjut dapat kita perbandingkan perbedaan antara
pem belajaran Agama Islam yang m engarah pada pendidikan karakter
d an yang tidak, terletak pada rujukan terhadap nilai yang m elekat

Model-Mode! Pembelajaran Pendidikan Karakter I 113


pada m ateri tersebut. MisaJnva jika guru dan anak sedang mengkaji
tentang sebuah kom petensi “anak m am p u m elaksanakan shalat”.
Proses belajar yang m enunjukkan pendidikan karakter adalah ketika
guru dan siswa m em pertanyakan m engapa m anusia harus shalat dan
apa m anfaat shalat bagi dirinya (lebih luas bagi m anusia). Itulah
yang disebut proses refleksi, yaitu m em pertanyakan apa hakikat di
balik m ateri. Perbandingan analisis pem belajaran yang m engarah
kepada pendidikan karakter atau bukan pendidikan karakter dapat
dilihat pada tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Analsis perbedaan pembelajaran pendidikan ama Islam dari


sudut pendidikan karakter dan bukan karakter

P r o s e s d a n H a s i l

P e n d i d i k a n A g a m a P r o s e s d a n H a s i l P e n d i d i k a n
M a te r i d a n A n a l is i s
T i d a k M e n g u a t k a n A g a m a M e n g u a t k a n K a r a k t e r

K a r a k t e r

■ S halat w a jib d a la m ‫ ؛‬Proses:


Anak melakukan refleksi/
‫ ؛‬keadaan darurat ‫ ؛‬٠ Anak-anak
mengaitkan pengalaman
berdiskusi dengan
shalat wajib dalam keadaan
fasilitasi guru
darurat dengan alasan
tentang shalat
mengapa hal itu boleh
wajib dalam
dilakukan. Atau menjawab
keadaan da rura t
apa makna shalat wajib
Jenis-jenis keadaan
dalam keadaan darurat
darurat dibahas
dalam bahasa anak.
tuntas dalam
diskusi tersebut. Anak mempraktikkan shalat
wajib dalam keadaan
٠ Anak
darurat
mempraktikkan
shalat w ajib dalam Guru meminta anak untuk
keadaan darurat. melakukan wawancara
kepada orang-orang ter­
dekatnya untuk menuliskan
pengalaman mereka
m engenai shalat wajib
dalam keadaan darurat.
Khususnya mengenai alasan
mereka tetap melakukan
shalat dalam keadaan
darurat, (sebagai tugas
terstruktur).

I 14 I Memaknai Pendidikan Karakter


Anak m am pu m e­ Hasil:
lakukan praktik ٠ Anak merasa yakin tentang
shalat wajib perlunya shalat bagi dirinya
dalam keadaan dalam segala kondisi.
darurat (kendaraan,
k Anak merasa butuh untuk
bepergian, perang,
melakukan shalat wajib
dll)
dalam setiap kondisi (santai
maupun darurat).

٠ Anak m am pu
pempraktikkan shalat wajib
dalam keadaan darurat.
Analisis Pada proses ini, guru Pada proses ini, guru m e­
tidak mengaitkan lakukan refleksi terhadap
materi yang dibahas mengapa shalat wajib te ta p j
dengan suatu nilai j harus dilakukan walupun dalam
berada di belakang j keadaan darurat. ‫؛‬
‫ ؛‬materi shalat wajib j Guru pun menguatkan nilai
| dalam keadaan (misal keyakinan tentang
darurat.
hidupan manusia) dengan cara
memberikan tugas terstruktur.

Analisis perbedaan itu d ap at dipaham i bahw a pem belajaran


s u b s ta n tif d a la m p e n d id ik a n k a ra k te r d ila k u k a n d e n g a n c a ra
m endalam i substansi m ateri yang dibahas
Penibalcuaran Reflektif. Pem belajaran reflektif adalah pendidikan
karakter yang terintegrasi/m elekat pada sem ua m ata pelajaran/bidang
studi di sem ua jenjang dan jenis pendidikan. Proses pem belajaran
dilakukan oleh sem ua guru m ata pelajaran/bidang studi, seperti
guru M atem atika, IPS, IPA, Bahasa Indonesia, dan m ata pelajaran
lainnya. Proses pem belajaran reflektif dilakukan melalui pengaitan
m ateri-m ateri yang dibahas dalam pem belajaran dengan m akna
di belak an g m ate ri terse b u t. D engan k a ta lain, d alam proses
pem belajaran guru m enjaw ab pertanyaan m engapa suatu m ateri
itu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan.
Misalnya guru M atem atika m elakukan pem belajaran pada m ateri
tentang kesebangunan pada RPP sebagai berikut:

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 1 1 1 5


| Contoh |
| Rencana Pelaksanaan Pembelajaran |

| Mata pelajaran Matematika |


| Kelas/ semester IX / Ganjil 4
| Pertemuan ke 1, 2, 3, 4, dan 5 |
| Alokasi waktu 10 Jam Pelajaran (5 kali pertemuan) |
j Standar kompetensi Memahami kesebangunan bangun datar dan |
penggunaannya dalam pemecahan masalah |
^ Kompetensi dasar : Menentukan perbandingan kesebangunan dua |
| bangun datar |
| Indikator : - Mengenali dua bangun datar yang kongruen |
f atau tidak kongruen pada objek/benda yang |
| terkait dengan keseharian anak. ^
| - M em bedakan dua bangun d a ta r yang |
| sebangun atau tidak sebangun pada objek/ |
| benda yang terkait dengan keseharian anak. |
| - M e n g h itu n g panjang sisi yang belum |
| diketahui dari dua bangun yang kongruen |
| atau sebangun pada objek/benda yang |
| terkait dengan keseharian anak. |

11. Tujuan Pembelajaran |


| 1. M engenali dua bangun datar yang kongruen atau tidak |
| kongruen yang terkait dengan keseharian anak dengan cara |
| menyebutkan syarat-syaratnya. |
| 2. Membedakan dua bangun datar sebangun atau tidak sebangun |
| pada objek/benda yang terkait dengan keseharian anak dengan |
| cara menyebutkan syarat-syaratnya. |
| 3. M enghitung panjang sisi yang belum diketahui dari dua |
| bangun yang sebangun pada objek/benda yang terkait dengan |
I keseharian anak. I

| II. Materi Ajar (Materi Pokok) |


| Kesebangunan J

Im p le m e n ta s i p e m b e la ja ra n d e n g a n R P P di a ta s m ela lu i
pem belajaran reflektif dilakukan oleh guru pada kegiatan apersepsi,
proses, atau penutup, dengan cara m enanyakan m engapa kesebangunan
itu perlu dikaji oleh anak (lebih jau h oleh m anusia). Dalam hal
ini g uru m erefleksi k eseb an g u n an ke dalam b e n tu k keh id u p an
keseharian anak. K hususnya m en g aitk an k eseb an g u n an dengan

Memaknai Pendidikan Karakter


kehidupan m anusia. Ketika m ateri kesebangunan ini direfleksikan
kepada kehidupan m anusia, m aka ada nilai yang dapat dikuatkan
bagi anak, seperti nilai saling m enghorm ati terh ad ap perbedaan
dan m enghargai atas kesam aan secara tepat. Proses m engkaitkan
m ateri dengan su atu nilai yang terk an d u n g di belakang m ateri
te rs e b u t in ila h y a n g d is e b u t se b ag a i p e m b e la ja ra n reflek tif.
M aksudnya adalah m ateri yang dibahas oleh guru (dalam sem ua
m a ta pelajaran) selalu direfleksi terh a d ap seb u ah nilai di balik
m ateri dan kem udian dikaitkan dengan kem aslahatan kehidupan
anak (lebih luas kehidupan m anusia).

B. Model Reflektif
I. Asumsi Dasar
Anak (peserta didik) adalah individu m anusia yang memiliki
k em am p u an u n tu k m elihat jau h ke belakang d an m eneraw ang
suatu kondisi vang diinginkan di m asa yang akan datang. Hal ini
m erupakan su atu yang m enjadi fitrah m anusia, bahw a m anusia
dapat m eneraw ang terhadap apa yang telah dilakukannya dan apa
yang ingin dilakukannya. M anusia d ap at m eneraw ang terh ad ap
m asa lalu yang telah d ialam in y a d an m am p u m em b ay an g k an
tentang m asa depan yang diinginkannya. Selain itu, setiap m anusia
p ada dasarnya memiliki kata hati/hati nurani. Hati nurani/kata hati
adalah suatu anugrah yang diberikan Allah Yang M aha R ahm an
dan M aha R ahim kepada m anusia. Dengan asum si inilah m aka
kehidupan m anusia tidak akan pernah lepas dari proses refleksi.
Asumsi di atas m engungkapkan bahw a m anusia memiliki sisi
religi/keagam aan yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Setiap
m anusia dim anapun akan m em pertanyakan m engapa dia ada dan
u n tu k ap a dia ada. P ertanyaan inilah yang m enjadi salah satu
kajian filsafat (ontologi-hakikat sesuatu). Ketika m anusia dilahirkan
ke dunia d an m ulai berkem bang kem am puan berpikirnya, akan
m uncul pertanyaan dalam dirinya, untuk apa ia lahir atau untuk
apa ia hidup di dunia? Pertanyaan tersebut m enunjukkan bahw a
m anusia akan selalu berpikir m engenai kondisi spiritual/batiniah di
balik m ateri/keduniaan. Dalam Agama Islam, pem enuhan kebutuhan
b a tin ia h b anyak terp e n u h i m elalui p ra k tik ib a d a h ritu al, baik

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I 117


ib a d a h yang langsung b e rh u b u n g a n d engan Allah Swt. seperti
shalat, shaum , ibadah haji, dan sebagainya, m aupun ibadah yang
berhubungan dengan m ahkluk Allah seperti zakat, sodaqah, infaq,
dan lain sebagainya.
M ari kita pelajari bagaim ana pengalam an Nabi Ibrahim a.s.
dalam proses pencarian Tuhannya yang diceritakan secara langsung
oleh Allah Swt pada Surat Al Anam ayat 76-78.

Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu)
dia berkata: “ inilah Tuhanku” . Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: “ Saya tidak suka kepada yang tenggelam” . (76 )

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “ Inilah Tuhanku” .
Tetapi setelah bulan ‫؛؛‬٧ terbenam dia berkata: “ Sesungguhnya /‫ ﻫطﺎ‬Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat” . (77)

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “ Inilah


Tuhanku, ini yang lebih besar” , maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia
berkata: “ Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan. (78 )

Ayat itu m enunjukkan secara nyata, bahw a m anusia m em ang


dik aru n iai rasa u n tu k m engabdi k epada T uhan. T u h an dengan
m akna Dzat yang M aha K uasa yang m enciptakan segala sesuatu.

Memaknai Pendidikan Karakter


Refleksi m erupakan proses seseorang u n tu k m em aham i m akna
di balik suatu fakta, fenom ena, inform asi, atau benda. Model reflektif
dalam bagian ini adalah model pembelajaran pendidikan karakter
yang diarahkan pada pemahaman terhadap makna dan nilai yang
terkandung di balik teori, fakta, fenomena, informasi, atau benda
yang menjadi bahan ajar dalam suatu mata pelajaran.
P e m a h a m a n s e s e o ra n g t e r h a d a p m a k n a d a n n ila i y a n g
terkandung dalam suatu hal m em iliki hirarki/tingkatan. Tingkatan
yang paling rendah dicirikan oleh kem am puan untuk m enjelaskan
m engenai apa kaitan an tara m ateri dengan m akna. H irarki yang
lebih tinggi adalah m enyadari m engenai adanya kekuasaan di luar
m anusia atau m enyadari bahw a m anusia itu kecil dan bukanlah
p em ilik k e k u a sa a n yang sejati. Level p e m a h a m a n yang ketiga
adalah seseorang/anak term otivasi u n tu k m elakukan sesuatu dari
hasil pem aham annya terh ad ap m akna/nilai yang dipelajari. Level
keem pat adalah seseorang/anak m au m em praktikan nilai/m akna yang
dia paham i dalam kehidupan kesehariannya. Level kelim a adalah
anak m enjadi teladan bagi orang-orang di lingkungan terdekatnya.
Level keenam adalah anak m au m engajak orang-orang terdekatnya
u ntuk m elakukan m akna/nilai yang dia pelajari.

Mengajak orang terdekat untuk berbuat/melakukan


sesuatu yang baik atau menghindari yang jelek

T
Menjadi teladan bagi lingkungan terdekat anak (di
kelas, sekolah, rumah, masyarakat

Mempraktikkan nilai

Memotivasi dirinya sendiri untuk terus konsisten


berperilaku terbaik

٢
Menyadari keberadaan adanya yang Maha Kuasa

Menjelaskan/menguraikan fakta/fenomena/benda

Gambar 3.6 Hirarki perilaku berkarakter

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I l'


Pem belajaran reflektif bertujuan u n tu k m enguatkan d an m engem ­
bangkan nilai-nilai yang akan diperkuat melalui pem belajaran pada
berbagai m ata pelajaran yang secara substansi tidak terkait langsung
dengan nilai sam pai pada level paling atas, yaitu m engajak orang-
orang di lingkungan terdekatnya u n tu k m em praktikan nilai/m akna
yang dipelajarinya dalam kehidupan keseharian.
Pem belajaran reflektif ini dapat dipaham i sebagai praktik dari
hidden curriculum secara nyata dalam bentuk layanan pem belajaran.
N am u n dem ikian, jika guru tidak m em aham i m engenai hakikat
d an asum si m engenai proses refleksi, m aka hidden curriculum ini
tidak akan terim plem entasi dengan benar, bahkan m uncul proses
dem agogi (salah ajar). Yang ak a n m u n cu l p a d a perilak u an a k
bukan nilai kebaikan, tetapi nilai kejelekan atau nilai syaitaniyah
(bersifat seperti setan).

2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Reflektif


Prinsip pem belajaran adalah d asar atau asas yang dijadikan
landasan dalam m elaksanakan pem belajaran. Prinsip pem belajaran
m odel reflektif d ib a n g u n b e rd a sa rk a n p a d a p e m ik ira n ten ta n g
hakikat berpikir reflektif. Prinsip-prinsip yang harus ditem puh untuk
m engim plem entasikan pem belajaran reflektif adalah sebagai berikut.
a. D asar interaksi pem belajaran a n ta ra guru dan peserta didik
adalah kasih sayang. Kasih sayang m erupakan d asar pertam a
yang h a ru s d itu m b u h k an p a d a guru d a n a n a k ketika akan
m elan g su n g k an proses p em b elajaran . A rtinya jik a kegiatan
belajar m engajar tidak didasarkan p ad a kasih sayang, m aka
tidak akan terjadi proses reflektif. Dengan kata lain tidak akan
terjadi proses transform asi nilai m enjadi suatu perilaku jika
dasar interaksi bukan kasih sayang.
b. Sikap d a n p e rilak u g u ru h a ru s m e n c e rm in k a n nilai yang
dianut atau dirujuk oleh sekolah. Dasar interaksi yang kedua
adalah keteladanan guru. Apa yang dilakukan oleh guru harus
m encerm inkan/sesuai dengan nilai yang ingin diperkuat pada
diri anak. Landasan yang kedua ini bukanlah hal yang m udah,
karena seorang guru harus m enegaskan kediriannya secara tegas,
santun, dan rendah hati. Barangkali landasan ini perlu untuk
diperkuat sem enjak seseorang m enjalani proses kuliah sebagai
pendidik di LPTK.

12 0 I Memaknai Pendidikan Karakter


Pada hakikatnya proses belajar tidak hanya terjadi ketika anak
m erekontruksi (m em ikirkan) lingkungannya, tetapi juga terjadi
ketika anak m engalam i atau m erasakan suatu keadaan pada
lingkungannya. A rtinya proses belajar d a p a t terjadi dengan
lingkungan yang transendental/gaib. Semisal ketika anak m elihat
rau t m uka yang sedih karena guru tersebut sedang diuji dengan
kem atian salah satu anggota keluarganya. T iba-tiba m uncul
dalam diri anak-anak peneraw angan terhadap bagaim ana jika
hal tersebut terjadi pada dirinya atau keluarganya. Proses inilah
yang disebut dengan lingkungan gaib/tidak dialam i secara nyata
oleh anak, tetapi sebagai hasil pem ikiran anak yang m endalam ,
c. P andangan g uru terh a d ap peserta didik ad alah subjek yang
se d an g tu m b u h d a n b e rk e m b a n g y an g p e rtu m b u h a n d a n
perkem bangannya terkait dengan peran guru. Dalam hal ini,
guru perlu untuk berpikir dan m erasa bahw a apa pun kondisi
yang dimiliki dan dialam i dalam proses KBM, dia m em iliki
p e n g a ru h yang cu k u p k u a t te rh a d a p tu m b u h kem b an g n y a
perilaku anak. Jika saja guru tidak m em iliki rasa ini, m aka
yang ak an m uncul adalah transm isi nilai/m akna negatif dari
guru kepada anak, seperti sikap tidak peduli an ak terhadap
sesam a m anusia, dan sebagainya.

3. Proses Pembelajaran Model Reflektif


Proses p em b e laja ra n m odel reflektif d ilakukan oleh sem ua
guru m ata pelajaran melalui integrasi m ateri-m ateri di setiap m ata
pelajaran dengan nilai-nilai tertentu yang akan diperkuat m enjadi
sikap anak. Pelaksanaan pem belajaran reflektif dapat terjadi pada
setiap tahap dari tahapan proses pem belajaran. Misal ketika guru
m em biasakan untuk m enyapa anak sebelum pem belajaran dimulai,
secara reflektif guru tersebut m em belajarkan nilai keram ahan kepada
peserta didiknya. T ahapan yang harus dilakukan oleh guru untuk
m elaksanakan pem belajaran reflektif sebagai berikut.
a. M enyusun RP P berbasis karakter. Silahkan kaji kembali ram bu-
ram bu pengem bangan RPP pada Bab II.
b. G uru m elakukan apersepsi yang kontekstual dengan kehidupan
anak dan terkait dengan m ateri yang akan dibahas. Yang lebih
tepat apersepsi bu k an u n tu k m engaitkan m ateri yang akan

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter i 121


dipelajari dengan m ateri yang sudah dipelajari sebelum nya, tetapi
lebih pada m enyiapkan anak siap untuk belajar. Oleh karena
itu, proses apersepsi tidak cukup hanya dengan m enanyakan
k ep ad a a n a k m engenai m ate ri yang s u d a h dikaji b e rsa m a
pada m inggu sebelumnya. Apersepsi yang lebih tepat dilakukan
dengan m em fokuskan pikiran dan konsentrasi anak untuk siap
m em asuki kajian yang lebih m endalam dari m ateri yang akan
dibahas.
c. M elakukan pem belajaran sebagaim ana didesain dalam RPP.
Dalam pelaksanaan kegiatan inti pem belajaran, guru m elakukan
elaborasi terhadap berbagai m akna dari m ateri yang dibahas/
dikaji. Sem isal ketika m em b ah as m ateri "p ertu m b u h an d an
perkem bangan p ad a m ahkluk hidup” pada m ata pelajaran Biologi
kelas 8 sem ester 1. Setelah anak m engkaji m engenai m ateri,
guru bertanya kepada anak, "apakah (anak-anak) m engetahui
siapa yang m enghidupkan dan m engem bangkan m akhluk hidup?
T erm asuk diri kita sem ua?” Pertanyaan tersebut m eru p ak an
refleksi terhadap nilai ketauhidan (ketuhanan) yang terkandung
di balik m ateri m engenai pertum buhan dan perkem bangan pada
m akhluk hidup.
d. M elakukan evaluasi yang dilakukan melalui pengam atan terhadap
sejauhm ana nilai-nilai yang akan dikuatkan atau dikem bangkan
m u n cu l d alam p e rilak u anak. B e n tu k perilak u itu a p a k ah
perkataan, perbuatan, rau t m uka, karya, dan sebagainya. Lebih
khusus m ateri tentang evaluasi ini akan dibahas p ad a Bab IV.
e. M em berikan catatan khusus (anekdot) jika ada anak yang secara
khusus memiliki perkem bangan perilaku yang berbeda dengan
kelom poknya atau tidak sesuai dengan tahapan perkem bangnya,
a p a k a h b e rs ifa t p o s itif m a u p u n n eg atif. C a ta ta n a n e k d o t
m erupakan su atu hal yang penting bagi perkem bangan dan
tin d a k a n (treatm ent) terh a d ap p erk em b an g an perilaku anak.
Sebaiknya c a ta ta n an ek d o t d ib u k u k an dalam b e n tu k b u k u
penghubung atau buku harian anak.
f. M em berikan referensi/rujukan kepada guru lain, apakah guru
BP a ta u wali kelas, o ran g tu a, a ta u b erb ag ai p ih ak yang
berkepentingan yang dianggap layak untuk m enangani anak-anak
yang dikategorikan memiliki kekhususan dalam perkem bangan
nilai dan karakter.

Memaknai Pendidikan Karakter


B erikut, contoh-contoh proses refleksi dalam berbagai m a ta
pelajaran.

Tabel 3.3 Contoh proses refleksi pada berbagai mata pelajaran

Mata Petajaran/Kelas/SK-KD/
Corrtoh Refleksi
Tujuan Pembelajaran/Materi

1. Matematika/Kelas VII Ketika guru selesai melakukan proses


• SK: Memaham i sifat-sifat inti pembelajaran, selanjutnya guru
operasi hitung bilangan mengajukan pertanyaan kepada peserta
dan penggunaannya dalam didik sebagai b e riku t
pemecahan masalah "Anak-anak, siapakah yang dapat
menghubungkan kegunaan antara materi
operasi hitung dengan kehidupan
keseharian kita?"

Atau "Siapakah di antara kalian yang


• KD: Melakukan operasi hitung m engetahui manfaat kita mepelajari
bilangan bulat dan pecahan. materi operasi hitung untuk kehidupan
• Salah satu contoh indikator: kita?" Atau guru mengajukan suatu
Melakukan operasi pen­ kasus tentang bagaimana operasi
jumlahan, pengurangan, hitung dapat memberikan manfaat bagi
perkalian, dan pem bagian kehidupan anak.
bilangan bulat termasuk Contoh kasus:
operasi campuran Dalam 'suatu permainan, bila m enang
• Salah satu contoh tujuan pem ­ diberi nilai 3, bila kalah diberi nilai
belajaran: setelah melakukan -2, dan bila seri diberi nilai -1. Suatu
praktik langsung, peserta didik regu telah berm ain sebanyak 47 kali,
dapat melakukan operasi 21 menang, dan 3 kali seri. Nilai yang
penjumlahan, pengurangan, diperoleh regu itu adalah ....
perkalian, dan pem bagian Setelah anak selesai m enjawab kasus ini,
bilangan bulat termasuk guru menanyakan m engapa jika menang
operasi campuran. ditam bah (+) dan jika kalah dikurangi
(-)? Apakah hal ini berlaku juga untuk
pekerjaan yang kita lakukan, semisal
jika kita berbuat baik, maka kita akan
m endapatkan tambahan (+) pahala dan
jika kita berbuat baik, maka pahala kita
akan dikurangi (-)?

Model-Mode! Pembelajaran Pendidikan Karakter


2. IPA/Kelas V / ٠ Mata pelajaran: Biologi
SK : M engidentifikasi fungsi ٠ Materi: darah/sel darah
organ tubuh manusia ٠ Kegiatan pembelajaran: Siswa
dan hewan menganalisis siapa yang m em buat
KD : 1.4 M engidentifikasi darah manusia berfungsi atau tidak.
organ peredaran darah
manusia
1.5 M engidentifikasi
gangguan pada organ
peredaran darah
manusia

Contoh yang pem belajaran refleksi ini dilakukan oleh guru


sebagai berikut:

Setelah siswa-siswa di kelas m engelaborasi m ateri tentang


darah (kom ponen, fungsi, dan karakteristik lainnya) kem udian
di akhir sesi pem belajaran guru bertanya kepada anak. “Anak-
anak m enurut kam u siapakah sebenarnya yang m engatur
darah di dalam diri m anusia dan m akhluk hidup lainnya
yang m em iliki d a ra h ? ” K ebanyakan an a k -a n a k d e n g a n
sp o n tan m enjaw ab "A llah...” n a m u n dem ikian beb erap a
anak lain tidak m enjawab. Kondisi ini dipahm i oleh guru
sebaga suatu kondisi yang m em erlukan penguatan karakter
anak, yaitu karakter tentang berserah diri terhadap Allah
Swt. yang M aha K uasa. K em udian guru m em in ta p ad a
kelas (anak-anak) u n tu k m enjelaskan lebih lanjut, “coba
siapa yang akan m enjelaskan bagaim ana kita m engetahui
b ahw a Allah lah yang m en g atu r d a ra h yang b e ra d a di
dalam tu b u h kita?”

P ada saat itu belum ad a anak yang m am p u m enjaw ab


pertanyaan guru. K em udian guru m em berikan pertanyaan
pancingan lagi supaya anak-anak dapat merefleksi m engenai
m ateri tentang “darah” ini m enjadi bagian dari penguatan
k a ra k te r bagi anak. “N ah anak-anak, siap a seb en arn y a
yang m enciptakan m anusia dan alam semesta?” Anak-anak
kem udian m enjaw ab dengan spontan “A llah...” lalu guru
kem udian bertanya lagi, “jika Allah yang m enciptakan sem ua
m akhluknya, apakah Allah juga yang m engatur d arah di
dalam diri m an u sia?” kem udian m erek a m enjaw ab lagi
secara spontan “y a ...”.

12 4 I Memaknai Pendidikan Karakter


Pada saat itu guru m em aham i bahw a suatu hal yang sulit
untuk m em buktikan bagaim ana keterlibatan Allah Swt. dalam
p e n g a tu ra n d a ra h m an u sia. K em u d ian dia m enjelaskan
tentang proses penciptaan m anusia m ulai dari pertem uan
sperm a dengan ovum. Dalam penjelasannya guru m engutip
Q uran Surat Al-Alaq ayat 2:

“ Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah”

B erdasarkan refleksi tersebut kem udian guru m em inta anak-


anak di kelas untuk m encari pengetahuan atau w aw ancara kepada
keluarga terdekat tentang “kaitan an tara darah dengan kesehatan
dan kondisi darah dengan psikologi seseorang.”

4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Reflektif


Evaluasi pem belajaran reflektif adalah evaluasi yang ditujukan
u n tu k m elih a t se ja u h m a n a b e rb a g a i k a ra k te r d a n nilai yang
dikem bangkan d ap at dim iliki oleh anak. Evaluasi ini dilakukan
m elalui observasi te rh a d a p p erilak u anak. O bservasi dilakukan
m elalui lisan, perbuatan, ra u t m uka, gerak badan, d a n berbagai
hal lainnya.
E v alu asi y an g p a lin g te p a t d a la m p ro se s reflek tif a d a la h
observasi terhadap pem ikiran dan sikap anak. Lebih jauh m engenai
pem bahasan evaluasi dalam pendidikan karakter ini dapat dipelajari
pada "Bab IV Evaluasi Pendidikan K arakter”.

C. Model Pembelajaran Pembangunan


Rasional
I. Asumsi Dasar Model Pembangunan Rasional
(MPR)
Pada hakikatnya m anusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan
m akhluk T uhan lainnya, salah satunya karena m anusia diberikan
akal pikiran. Dengan akal pikirannya ia m enjalani kehidupan yang

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


lebih baik. Akal pikiran m erupakan karunia yang patu t disyukuri
keberadaannya dengan cara digunakan sebaik-baiknya untuk m enjalani
kehidupan ini m enjadi lebih baik, baik saat ini di dunia, m aupun
nanti di akhirat. Asumsi ini juga berarti bahw a jika m anusia tidak
m enggunakan akal pikirannya untuk m endapatkan kehidupan yang
lebih baik, m isal perilaku m anusia m alah seperti binatang, m aka
m anusia tidak lebih baik dari binatang. M engapa demikian? Binatang
berbuat berbagai hal yang diluar akal-pikiran karena m ereka m em ang
tidak dikaruniai akal pikiran. Lalu bagaim ana dengan m anusia?
B ukankah ia dibekali dengan akal pikiran?
Dengan asum si tersebut, m aka akal pikiran memiliki tugas yang
cukup berat u n tu k m em berikan pertim bangan dalam m engam bil
keputusan dari setiap keputusan yang harus dibuat oleh seseorang
dalam m enjalani proses kehidupannya. Kelogisan (dapat dipaham i)
d a n kerasionalan (m asuk akal) m enjadi sebuah u k u ra n penting
u n tu k m en g h asilk an k e p u tu sa n -k e p u tu sa n seseorang. D em ikian
h aln y a ketika seseo ran g b elajar u n tu k m e m u tu sk a n a p a k ah ia
akan m em ilih “perilaku A” atau “perilaku B” m aka akal pikiran
orang tersebut m elakukan proses pem ikiran. Proses inilah yang
kem udian dijadikan kebiasaan dan kekuatan/kelem ahan seseorang
d alam u k u ra n k em atan g an perilaku. A rtinya m an u sia diberikan
kesem patan untuk belajar m em ilih d an m em ilah yang terbaik dari
segala kondisi yang dihadapinya.
Model Pem bangunan Rasional (MPR) dinam ai dem ikian karena
fokus u tam a pem belajaran adalah kom petensi pem bangunan rasional,
argum entasi, atau alasan atas pilihan nilai yang dibuat anak. Dalam
hal ini, kita harus m engasum sikan bahw a anak didik adalah anak
yang sedang berk em b an g proses berpikirnya. M em iliki rasional
yang kokoh dan selalu diuji sepanjang penghidupan seseorang jelas
penting u n tu k keberfungsian akal d an pik iran m anusia. Sistem
karakter yang lengkap harus m engikutsertakan aspek rasional atau
kognitif ini, di sam ping aspek em osi atau perasaan dan perbuatan.
Kondisi kehidupan m asyarakat Indonesia yang plural, yang an tar
sistem ideologinya sangat m em ungkinkan terjadinya benturan nilai
sehingga d ap at m engacaukan sistem nilai yang d ian u t seseorang
atau sebuah kelom pok sosial, jelas-jelas akan sangat m em butuhkan
k em am p u an u n tu k m em b an g u n b erpikir rasional dalam rangka

Memaknai Pendidikan Karakter


m engisi, m enyelam atkan dan m engem bangkan jati diri individu
d an kelom pok sosial.
Selain itu, individu m anusia h aru s hidup dalam lingkungan
m akna-m akna dan nilai-nilai kehidupan yang dibangunnya sendiri,
di sam ping yang diperolehnya dari kitab suci (seperti Ai-Quran)
secara dogm atis, agar kehidupannya lebih berarti d an produktif.
Seseorang yang m em baca Al-Quran, tetapi tidak m em aham i apa
yang dibacanya sangat m em ungkinkan perilakunya bertentangan
dengan ajaran Al-Quran. Situasi ini m enuntut individu untuk dapat
m am pu m engem bangkan kem am puan rasionalnya. Yang berm akna
adalah m anakala akal pikiran m anusia ini dijadikan sebagai alat
untuk m encari kehidupan yang lebih baik berdasarkan logika dan
rasionalitas yang dilandasi prinsip K etuhanan.
Disamping memiliki keunggulan dalam m em bangun kesadaran
m o ral seseo ran g , m o d el p e n g e m b a n g a n ra sio n a l ini m em iliki
kelem ahan. Hal ini harus diwaspadai dan diantisipasi oleh pendidik.
K elem ahan utam anya adalah sehubungan dengan tum puannya yang
terlalu berat pada aspek kognitif atau rasionalitas m anusia. Dalam
konteks itu, m a n u sia d a p a t m en ja d ik a n d irinya sebagai tu h a n
sebagaim ana yang telah dilakukan oleh Firaun. Ketika keim anan
tipis a ta u ru sa k m ak a individu d a p a t m endew a-dew akan akal,
m enuntut segala hal harus m asuk akal.
Fenom ena akan hal ini telah banyak m enggejala pada kalangan
generasi m uda saat ini, di m ana orientasi pekeija baik pada pegawai
negeri (PNS) m au p u n pegawai sw asta bukan lagi kem uliaan dan
ketaqw aan, tetapi lebih kepada harta, kehorm atan, dan kekayaan.
Tentu saja akal pikirannya dijadikan dirinya berpikir bahw a segala
sesuatu yang telah terjadi tidak atas cam pur tangan Tuhan, tetapi
m erupakan kekuasaan dirinya atau m ajikannya. Sungguh sangat
berbahaya pikiran-pikiran sem acam ini karena m enjadikan m anusia
yang serba lem ah sebagai pusat berpikir. Artinya, dia m enggantungkan
diri (pikirannya) k e p a d a se su a tu yang lem ah. D isinilah posisi
bahayanya seseorang yang m enggantungkan diri kepada dirinya
bukan kepada Tuhannya. Semisal, “kawin antara sesam a jenis pun
m enjadi boleh/legal.” Yang begini suatu saat kawin dengan ibunya/
bapaknya atau dengan binatang sekalipun m enjadi boleh selam a
pikirannya m enganggap hal tersebut suatu hal yang menyenangkan.

Modei-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I 127


M anusia ak an tenggelam dalam kesenangan tan p a m elihat lagi
norm a/nilai yang m engikat keharm onisan alam /kehidupan dunia.
Model ini dapat diberlakukan pada sem ua tingkat perkem bangan
anak, baik a n a k usia TK, SD, SM P, m a u p u n SMA/K. N am u n
dem ikian, jika pem b an g u n an rasional ini hendak dikem bangkan
pada anak-anak tingkat rendah (TK dan SD), m aka perlu dipaham i
bahw a perkem bangan berpikir anak tingkat rendah m asih berpikir
konkret. K arena itu diperlukan kepandaian guru untuk m eneraw ang
proses berpikir anak. K em ana arah berpikirnya? Apakah m enyalahi
nilai atau konsisten dengan nilai yang dianutnya.

2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Pembangunan


Rasional (MPR)
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pem bangunan
rasional anak adalah sebagai berikut.
a. Logis b erarti d ap at dipaham i. Artinya proses pengem bangan
rasional anak harus dibaw a kepada tahapan kem am puan berpikir
anak yang dapat dipaham i oleh anak. M engajak berpikir tentang
m engapa seorang anak SD h aru s berinfaq atau bershadaqah
dengan alasan bahw a infaq atau shadaqah itu diperintahkan
d a la m A l-Q uran, m e ru p a k a n c o n to h p ro ses p e m b a n g u n a n
rasional yang tidak dilandaskan pada prinsip kelogisan. Artinya
tidak logis m engajak anak SD untuk berpikir m enganalisis ayat
Al-Quran untuk dijadikan referensi pikirannya dalam memilih
“m elakukan shadaqah” atau “tidak akan m elakukan shadaqah."

b. Rasional berarti m asuk akal. Dalam konteks pem bangunan rasional


anak didik perlu untuk diajak m em aham i suatu perkara dari
sisi rasionalitas. W alaupun dem ikian, dalam konteks tertentu,
ra sio n a lita s ini tid a k m en jad i m u tlak , k a re n a a d a b anyak
k e te rb a ta sa n potensi b e rp ik ir m a n u sia u n tu k m em e ca h k a n
m asalah. Yang karena keterbatasan tersebut, m an u sia h a m s
m enjadi bersyukur. K arena k eterbatasan tersebut m erupakan
kasih sayang T uhan Yang M aha Esa terhadap m anusia. Semisal,
m anusia tidak m em iliki inform asi m engenai kapan dia akan
meninggal. Jika saja seseorang hidup dan dia m engetahui dengan
pasti kapan, di m ana dan bagaim ana ia akan meninggal, m aka
sudah barang tentu, selam a hidupnya ia akan berada dalam
kondisi stres, terlebih m endekati w aktu m eninggalnya, ia akan
sangat stres. Dengan dem ikian, m erupakan suatu keuntungan
bahw a m anusia tidak m engetahui kapan dan di m ana ia akan
m eninggal. K eterbatasan ini m eru p ak an su atu k aru n ia yang
m em ang perlu si paham i secara arif bahw a m anusia adalah
m anusia yang serba terbatas.

c. Sistem atis m em iliki arti bahw a pengem bangan rasional an ak


h a ru s d ib aw a u n tu k b e rp ik ir sistem atis, seh in g g a ia a k a n
lebih m u d ah m encari pem ecahan m asalah, baik bagi dirinya,
keluarganya, m au p u n m anusia pada um um nya.

d. Sistemik memiliki arti bahw a pengem bangan rasionalitas berpikir


an ak h a ru s dibaw a p a d a b erpikir secara m enyeluruh, tidak
parsial. Dengan berpikir m enyeleuruh, m aka anak akan dibaw a
u ntuk berpikir kom prehensif, sehingga hal-hal yang dim ungkinkan
terjadi d ap at terprediksi lebih awal. Dalam kondisi ini, anak
akan m enjadi antisipator yang andal.

3. Proses Pembelajaran Model Pembangunan


Rasional (M PR)
Proses pem bangunan rasional dilakukan dengan m em perhatikan
proses sebagaim ana dikem ukakan oleh Shaver (Hersh, Miller, &
Fielding, 1980:38), yaitu: 1) identifikasi nilai dan klarifikasi nilai,
generalisasi label/nama, 2) analisis konflik nilai, dan 3) pem buatan
keputusan yang tepat.
Identifikasi Nilai dan Klarifikasi Nilai. Asumsi yang dikem ukakan
Shaver bahw a “nilai akan m em bantu m em bentuk perilaku.” Proses ini
adalah proses kognitif, yakni proses individu berupaya m enem ukan
dan m em aham i nilai-nilai yang berada di lu ar dirinya atau yang
sudah dimilikinya. D alam konteks interaksi M PR di kelas, anak
difasilitasi u n tu k m enem ukan nilai-nilai yang dianut/diyakini oleh
dirinya sendiri, tem an-tem annya, guru-gurunya, m asyarakat, dan
orang tua.
Proses kognitif yang d im aksud m eru p a k an up ay a m em b u at
nilai-nilai m enjadi eksplisit (jelas) bagi individu (anak). D engan

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


m enjadi eksplisit, nilai-nilai berfungsi sebagai arah dan pem bentuk
karakter individu, ?roses ini dilakukan dengan m em pertanyakan
segala sesuatu yang dialam i oleh anak. Misal, apa nilai-nilai, apa
cita-eita, atau apa kewajiban? Contoh bentuk pertanyaan ini secara
konkret adalah, apa itu m enghargai orang lain? Siapa T uhan itu?
Di m ana T uhan berada? M engapa harus m elaksanakan perintah-
perintah Tuhan? Apa itu berim an? M engapa harus berim an? Apa
itu dem okrasi? M engapa dem okrasi m enjadi sebuah pilihan?
Pertanyaan penting lainnya, di san^ping pertanyaan-pertanyaan di
atas, seberapa jau h nilai-nilai tertentu berfungsi dalam kehidupan saya
atau m asyarakat? A ntara n.‫؛‬lai yang satu dengan yang lainnya dapat
berkonflik. Sebagaim ana nilai yang terkandung dalam kata “jihad”
saat ini ‫ ه‬Indonesia. Selain adanya upaya pelem ahan terhadap nilai
“jihad,” nilai ‫ ﻟﻂ‬dapat dikonflikkan dengan nikri-nilai lain, seperti
“indahnya k ebersam aan”. Akibatnya, sebuah nilai yang dianggap
lebih b e r h a l a dapat ‫س‬ berlaku sam a sekah atau keberlakuannya
berlaw anan atau bahkan kekacauan nilai. Identifikasi dan klarifikasi
nilai-nilai tersebut akan m em bantu individu m em perjelas situasi ini.
Generalisasi Label. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah
generalisasi label. A sum sinya a d a la h b a h w a an a k itu h id u p di
tengah m asyarakat yang terbangrrn oleh sebuah sistem nilai tertentu,
m isalnya nilai-nilai dem okrasi d a n nilai-nilai religius. Nilai-nilai
yang dianut anak perlu dikaitkan dengan nilai-nilai dasar tersebut.
D alam pro sesn y a a n a k m em u n g k in k an b e rp e n d a p a t sam a a ta u
bertentangan dengan nilai-nilai, yang dianut m asyarakat tersebut.
Dalam proses terseb u t gur'u p erlu m em b an tu an a k m em andang
dan berpikir secara jernih d an te{~>at m engapa nilai-nilai tersebut
a d a d a n d ip erlu k an u n tu k k eh id u p an yang lebih baik. D engan
dem ikian generalisasi label adalah proses m em adukan a n ta r label
atau antarnilai yang ada.
Dalam proses yang nyata, sebetulnya bukan hanya penghubungan
antarnilai yang dianut anak dengan nilai yang dianut m asyarakat,
tetapi m erupakan suatu pengujian sistem nilai mdividu atau siswa
dengan sistem nilai yang sudah berkem bang dalam m asyarakat atau
dengan sistem nilai yang terkandung dalam kitab suci. Misal, anak
dibaw a u ntuk m enganalisis nilai “jihad” apakah perlu untuk dianut
atau harus dihindari karena bertentangan dengan nilai yang ada di
m asyarakat, seperti nilai dem okratis. Apakah kedua nilai tersebut

‫ا ه?ا‬ Memaknai Pendidikan


bertentangan atau saling m enguatkan satu sam a lain m erupakan
proses yang harus dijawab dalam proses generalisasi label.
A nalisis K onflik N ilai. A sum sinya a d a la h b a h w a p u tu sa n -
putusan m oral m elibatkan konflik antarnilai. Proes ini dilakukan
dengan m engkaji konsekuensi-konsekuensi dari sebuah perb u atan
atas sebuah nilai m oral, sehingga anak m enem ukan cita m oral
yang dikom prom ikan. Misal, anak ingin m enolong orang lain yang
kelaparan sem entara dia sendiri m em iliki uang yang jum lahnya
hanya cukup u ntuk ongkos adalah situasi konflik.
B agaim ana proses ini harus dilalui anak? Dalam situasi ini,
keseim bangan an tar nilai banyak disarankan orang. N am un m enjadi
m enarik dalam proses ini jika kita m em pelajari sejarah/tarikh para
sahabat, di m ana m ereka m em ikirkan untuk tidak seim bang antarnilai.
Seperti ketika sahabat Abu B akar Shidik yang m enginfakkan sem ua
h a rta n y a u n tu k keperluan perang dan tid ak m enyisakan u n tu k
keperluan diri dan keluarganya. Analisis konflik nilai dalam konteks
pengalam an p ara sahabat Nabi M uham ad Saw. didasarkan pada
keutuhan nilai K etuhanan. Jika individu m em belanjakan hartanya
di jalan Allah Swt., m aka ia akan m endapatkan pengganti yang
berlipat-lipat. Dalam konteks terentu, sangat m em ungkinkan seorang
guru berhadapan dengan anak-anak yang memiliki keutuhan nilai
K etuhanan, sehingga konflik nilai m enjadi kurang logis pada sebagian
orang tetapi m enjadi logis bagi dirinya.
K etika p a ra sisw a m enilai im plikasi-im plikasi, konsekuensi-
konsekuensi yang m ungkin, dari p u tu san m oral m ereka, m ereka
perlu m em andang konsep-konsep m oral sebagai konstruk-konstruk
yang dim ensional ketim bang kategoris. Yakni, m ereka harus belajar
m em perlakukan nilai-nilai m oral sebagai derajat-derajat dari kondisi
yang diharapkan sepanjang sebuah kontinuum , ketim bang ajaran
yang bersifat sepenuhnya atau tidak sam a sekali. Inilah ilustrasi
yang disebut bahw a anak sebagai "subjek" belajar bukan “objek”
sem ata. Anak dibim bing u n tu k m am pu m em ikirkan secara tepat
d an benar m engenai ap a yang harus dan tidak harus dilakukan.
Jika kita m em bayangkan tentang bagaim ana proses konflik nilai
yang teijadi ketika seorang Amrozi m em utuskan untuk m elakukan
bom bunuh diri. M aka kita dapat m enganalisis lebih lanjut, m engenai
perlunya kem am puan individu untuk m am p u m em ikirkan untuk

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


m em ilih m an a yang tepat dan b en ar dan m an a yang tepat tapi
tidak benar atau m ana yang tidak tepat tapi benar. Pikiran-pikiran
akan hal tersebut m erupakan konflik nilai yang cukup m endasar
bagi kalangan m uslim . B ahkan, saat ini cenderung m erebak di
kalangan pem uda muslim.
K om itm en-kom itm en nilai jarang bersifat m u m i d an absolut.
K om itm en nilai yang ab solut b anyak d itu n tu t oleh kitab suci.
K arena keabsolutan inilah, sebagian pihak m enjadikan kitab suci
sebagai alat untuk m endogm a pengikutnya untuk m elakukan atau
tid a k m elakukan sesuatu. P e rjin a h an d a n yang sejenis absolut
dih aram k an m en u m t kaum m uslim yang sum bernya adalah Al-
Q uran. D alam situ asi ini kom p ro m i a n ta rn ila i tid a k terd a p at.
Salah satu bentuk “kom prom i” (sebetulnya bukan kom prom i) yang
sering terd en g ar dalam kalangan m uslim bunyinya kurang-lebih
sebagai berikut: "bagimu agam am u dan bagiku adalah agam aku”.
Ini adalah situasi koeksistensi an tara dua sistem nilai yang tidak
dap at dikom prom ikan. K ulm inasi konflik nilai ini m erujuk pada
pem berlakuan syariat agam a dalam tatanan negara. Akan hal ini
perlu diskusi panjang, nam un tidak m enjadi kajian khusus dalam
buku ini. K am i m enekankan bahw a p ara guru harus m enyadari
berbagai konflik nilai yang berkem bang saat ini d a n diprediksi
akan terus berkem bang di m asa yang akan datang.
Pengambilan P utusan. A sum sinya b ahw a sebuah nilai d ap at
m enjadi prioritas bagi individu/anak terten tu d a n tidak m enjadi
prioritas bagi individu/anak lainnya. M ari kita analisis kembali cerita
anak yang konflik nilai a n ta ra m enolong orang yang kelaparan
dengan pulang jalan kaki? Pada akhir analisis situasi dan kondisi,
individu/anak harus m em buat putusan. M ana yang harus diam bil
oleh anak akan sangat dipengaruhi m an a prioritas nilai yang dimiliki
anak. Dalam konteks tersebut guru sebaiknya m em berikan penguatan
u n tu k m em pertim bangkan secara m atang m engenai konsekuensi-
konsekuensi dari suatu putusan. Adalah hal yang kurang tepat jika
gurulah yang m em utuskan untuk anak m engenai apa yang harus
dilakukan oleh anak, karena an ak tidak ak an belajar m engenai
b agaim ana sebuah k eputusan terb aik h a ru s diam bil selain juga
m enguatkan ketergantungan anak kepada gurunya.

Memaknai Pendidikan Karakter


Putusan ada yang sifatnya m erupakan tradeoff, tidak ada rotan
akar p u n jadi. H ari ini saya akan pulang jalan kaki, besok saya
bisa naik bus lagi, dan hari ini saya sudah dapat m enolong orang
yang kelaparan. Kom pleksitas sebuah keputusan yang diam bil anak
dapat dianalisis dari nilai apa yang m enjadi prioritas bagi anak.
Atau sebaliknya, jika kita ingin m engetahui nilai apa yang m enjadi
prioritas anak, m aka lihatlah kaitan an tara p u tusan yang dibuat
a n a k d engan nilai yang terk a n d u n g di balik p u tu sa n tersebut.
Barangkali putusan “daripada m engalam i konflik lebih baik hidup
b erd a m p in g a n dengan d a m a i” p u n m eru p a k an seb u ah tradeoff.
Dalam konteks tersebut, selam a tidak terkait dengan nilai absolut
yang tertuang dalam kitab suci, m aka guru harus memfasilitasi anak
u n tu k m enim bang secara m atang m engenai putusan yang harus
diam bil. N am un jika terkait dengan nilai absolut, seperti apakah
anak harus ikhlas atau tidak (ikhlas=m endasarkan sem ua tindakan
kepada Tuhan, bukan kepada yang lainnya), m aka sudah barang
tentu tidak ada kom prom i akan hal itu, karena ikhlas m erupakan
bagian dari ajaran dalam kitab suci.
C ontoh p ro ses p e m b e la ja ra n d e n g a n m e n g g u n a k a n m odel
pem bangunan rasional.
Pada suatu har i guru agam a m erasa kebingungan untuk m encapai
suatu kondisi di m ana anak-anak m enjadi terbiasa m elakukan shalat
wajib. Berdasarkan pengalam an yang telah lalu (tahun sebelumnya),
biasanya anak-anak ketika diuji dengan bacaan dan gerakan shalat
m ereka sangat terampil. N am un, ketika ditanyakan apakah m ereka
terb iasa sh alat w ajib? Atau “a p a k ah an ak -an ak a m erasa b u tu h
dengan shalat?” Hal ini berbeda hasilnya dengan hasil tes bacaan
dan gerakan shalat, bahkan berbanding terbalik.
M engatasi hal tersebut, penulis m encoba berdiskusi dengan guru
agam a dan guru PKn. U ntuk m engetahui apa kira-kira pengalam an
yang harus dialam i oleh anak u n tu k dapat m em iliki rasa butuh
terhadap shalat atau terbiasa m elakukan shalat wajib lim a waktu.
P a d a s a a t itu p e n u lis m e n c o b a m erev iu a p a yang s u d a h
dilakukan oleh guru agam a dalam pem belajaran m engenai shalat.
Kem udian guiu m enjelaskan secara detil. Dari penjelasan tersebut,
penulis m em aham i bahw a apa yang dilakukan guru sebenarnya
belum m em berikan pengalam an kepada anak m engenai bagaim ana
anak m erasakan keindahan shalat. Jika itu terlalu sulit, barangkali

Model-Mc ١Pembelajaran Pendidikan Karakter

A
anak perlu m engelaborasi bagaim ana pengalam an orang lain yang
sudah m erasakan nikm atnya shalat.
Proses pem belajaran dilakukan dengan cara anak m em bangun
secara rasio n al m engenai "m engapa shalat itu d ip erlu k an bagi
m an u sia ? ” U ntuk m en d a p a tk a n jaw a b an ini, an ak -n ak d im in ta
u n tu k m elakukan observasi dan w aw ancara kepada orang yang
shalat dan dinilai oleh anak itu shalatnva berm akna (orang tersebut
m erasa butuh).
Hal itu k em udian d ipraktikan oleh guru agam a, prosesnya
sebagai berikut.
"Nah anak-anak, kita sudah belajar tentang bagaim ana shalat
(bacaan dan gerakan), sekarang kita m encoba m em pelajari m engapa
shalat itu diperlukan oleh m anusia yang beragam a Islam. Adakah
di an tara anak-anak yang m engetahui m engapa kita (um at islam)
diw ajibkan u n tu k m elakukan shalat lim a w aktu?” P ada saat itu
banyak anak-anak memiliki pandangan yang sam a seperti ilustrasi
orang yang m em bersihkan dosa-dosanya selam a lim a kali sehari,
tentu akan m endapati dirinya lebih bersih dari dosa-dosa.
Hal ini belum m em bangun rasional lebih dalam dari anak-anak.
G uru k em udian m em berikan ilustrasi m engenai pengalam annya
ketika m endapati sahabatnya yang sungguh-sungguh dalam shalat,
dilihat dari persiapan dan proses vang dilakukan sahabat tersebut
ketika shalat. Setelah elaborasi itu, guru kem udian bertanya kepada
anak, “ap akah ad a di an tara kalian yang pernah m elihat orang
yang shalat sambil m enangis?” Beberapa orang m enjaw ab pernah,
tetapi kebanyakannya belum pernah.
Melihat hal tersebut, m aka guru memiliki peluang untuk m em bangun
rasional anak secara nyata, m engapa shalat itu dibutuhkan oleh
seorang muslim. K em udian guna m em inta kepada anak-anak yang
sudah pernah m elihat u ntuk m engem ukakan pendapatnya, kira-kira
m engapa orang tersebut shalat sam bil m enangis? Apakah karena
sedang d iru n d u n g m usibah? A pakah k a re n a sedang m enikm ati
pengakuan dosa dan dia m em in ta am p u n a n dari Aliah m elalui
sh alat terseb u t? A pakah dia m era sak a n b a h w a dirin y a sedang
berkom unikasi dengan Allah swt.?
Pada dasarnya anak-anak yang pernah m elihat tersebut belum
dapat m engem ukakan hal-hal rasional terkait dengan alasan m ereka
shalat sam bil m enangis (m encucurkan air m ata).

i 34 I Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Di akhir pem belajaran guru m em berikan tugas kepada anak-
anak u n tu k m elakukan observasi dan w aw ancara kepada orang
yang terdekat dengan dirinya m engenai pengalam an m ereka dalam
m enjalankan shalat. Atau m ereka m engobsenasi dan m ew aw ancara
orang lain yang berad a di m asjid. K ebetulan sekolah m em iliki
m asjid yang cukup besar dan sering digunakan oleh m asyarakat
um um pada waktu-w aktu shalat wajib.

4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Pembangunan


Rasional (M PR)
Evaluasi dalam m odel p em bangunan rasional p ad a akhirnya
ditujukan untuk m engetahui tingkat ketepatan dan kebenaran putusan
vang dibuat oleh anak. Sem entara putusan belum m uncul, evaluasi
ditujukan untuk m engetahui ketepatan dan kebenaran m engenai apa
saja yang dipertim bangkan oleh anak dalam m enganalisis konflik
antarn ilai. P en g g u n aan M PR dalam pen d id ik an nilai m em b u a t
pendidikan m enjadi situasi pengajaran yang khasnya adalah pengajaran
kognitif. Situasi intinya adalah situasi siswa m em buat jelas nilai-
nilai yang ada dan yang harus m enjadi m iliknya sendiri. Situasi ini
adalah situasi siswa memiliki argum entasi atau pertanggungjaw aban
rasional atas nilai-nilai yang dimilikinya.
Evaluasi dalam M PR b e ru p a evaluasi kinerja sisw a dalam
m e m p e rta n g g u n g ja w a b k a n n ila i-n ila i y an g d ia n u t a ta u h a ru s
dianutnya. Alasan-alasan vang m uncul ketika anak m engem ukakan
suatu gagasan, kritik, sanggahan m erupakan kom ponen yang menjadi
penilaian proses. Sedangkan penilaian akhir dilakukan melalui evaluasi
kinerja siswa. K ineija siswa dapat tam pak dalam situasi diskusi,
atau dalam bentuk karya tulis yang dibuat siswa yang kem udian
didiskusikan dengan tem an-tem annya di baw ah bim bingan guru.
Bentuk evaluasi lainnya adalah melalui tes kognitif.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


y
Langkah-langkah menjabarkan indikator karakter. |
1. Mendefinisikan atau memberi makna secara khusus kepada I
karakter yang dimaksud. |
2. Mengelaborasi terhadap substansi makna yang terkandung |
dalam karakter tersebut melalui suatu hirarki perilaku. |
3. Menyusun indikator karakter ke dalam bentuk rincian khusus |
suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai oleh anak |
sesuai tahap perkembangannya. |
4. Menyusun indikator dari karakter tersebut ke dalam bentuk |
rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai |
oleh anak sesuai tahap perkembangannya J

Memaknai Pendidikan Karakter


Evaluasi
Pendidikan Karakter

A. Evaluasi Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter sebagai suatu proses interaksi peserta didik dengan
lingkungan pendidikan akan sulit diketahui tingkat keberhasilannya
apabila tidak dikaitkan dengan evaluasi hasil. Apakah anak sudah
memiliki karakter “ju ju r” atau belum , m em erlukan suatu evaluasi.
Jadi evaluasi u n tu k p en didikan k arak ter m em iliki m ak n a su atu
proses untuk m enilai kepem ilikan suatu karakter oleh anak yang
dilakukan secara terencana, sistematis, sistemik, dan terarah pada
tujuan yang jelas.
D alam konteks terten tu , k ata “evaluasi” m enjadi kata yang
banyak dikhaw atirkan oleh para guru, khususnya guru yang m engajar
p ad a m ata pelajaran yang di UN-kan. Evaluasi secara nasional
yang saat ini dilakukan melalui proses “Ujian Nasional” memiliki
dam pak psikologis yang m eresahkan bagi p ara guru, kepala sekolah,
orang tua, dan juga anak yang bersangkutan. Dalam kajian bab
ini, kam i tidak akan m engulas secara khusus m engenai evaluasi
dalam konteks pendidikan nasional, tetapi akan lebih fokus pada
evaluasi dalam pem belajaran.

Evaluasi Pendidikan Karakter I 137


Terkait dengan evaluasi, ada beberapa kata yang sering digunakan
secara silih berganti, tum pang tindih, bahkan tidak jarang salah
m akna. Beberapa kata yang dim aksud adalah evaluasi, pengukuran
(m easurem ent), d an tes. K etiga istilah ini m em iliki kaitan yang
erat, nam un berbeda satu sam a lain. Evaluasi m erupakan upaya
u n tu k m en g e tah u i k ead aan su a tu obyek d en g an m en g g u n ak an
alat (instru m en ) te rte n tu d a n m em b an d in g k an hasilnya dengan
standar tertentu untuk m em peroleh kesim pulan. Kegiatan evaluasi
m em erlu k an pen g g u n aan inform asi dari hasil p en g u k u ran atau
tes. Pengukuran adalah upaya u n tu k m engetahui keadaan/kondisi
sesuatu. Dalam pengukuran tidak ada proses m em bandingkan hasil
pengukuran dengan standar tertentu. Inform asi hasil pengukuran
belum memiliki m akna yang m endalam , tetapi baru m endeskripsikan
hasil dari suatu tes/instrum ent. Sedangkan tes m erupakan upaya
u n tu k m enggunakan suatu alat pada suatu objek, dalam hal ini
peserta didik. Ketiga istilah tersebut memiliki m akna yang berbeda
dalam konteks pendidikan karakter, sebagaim ana uraian di atas.
Evaluasi untuk pendidikan karakter dilakukan untuk m engukur
apakah anak sudah memiliki satu atau sekelompok karakter yang
ditetapkan oleh sekolah dalam kurun waktu tertentu. Karena itu,
substansi evaluasi dalam konteks pendidikan karakter adalah upaya
m em bandingkan perilaku anak dengan standar (indikator) karakter
yang ditetapkan oleh guru dan/atau sekolah.
Proses m em bandingkan an tara perilaku anak dengan indikator
karakter dilakukan melalui suatu proses pengukuran. Proses pengukuran
dapat dilakukan melalui tes tertentu atau tidak melalui tes (nontes).
Tujuan evaluasi pendidikan karakter. Evaluasi pendidikan karakter
ditujukan untuk:
1. m engetahui kem ajuan hasil belajar dalam bentuk kepemilikan
sejum lah indikator karakter tertentu pada anak dalam kurun
waktu tertentu;
2. m engetahui kekurangan d an kelebihan desain pem belajaran
yang dibuat oleh guru; dan
3. m engetahui tingkat efektivitas proses pem belajaran yang dialami
oleh anak, baik pada seting kelas, sekolah, m aupun rum ah.

Berdasarkan tujuan pendidikan karakter di atas, dapat dipaham i


b ah w asan n y a evaluasi p e n d id ik an k arak ter tidak terb atas p ad a

Memaknai Pendidikan Karakter


pengalam an anak di kelas, tetapi juga pengalam an anak di sekolah
dan di rum ah. Tentu saja hal ini terbatas pada pengalam an belajar
anak yang didesain secara khusus oleh guru. Dalam hal ini, desain
RPP yang d ib u at oleh guru m em a n g betu l-b etu l m eru m u sk a n
pengalam an belajar anak di rum ah. Artinya evaluasi belajar anak di
rum ah tidak dilakukan jika m em ang guna tidak m endesain adanya
pem belajaran di rum ah.
Fungsi evaluasi pendidikan karakter. Hasil evaluasi tidak akan
memiliki dam pak yang baik jika tidak difungsikan semestinya. Ada
tiga hal penting yang m enjadi fungsi evaluasi pendidikan karakter,
yaitu:
1. berfungsi untuk m engidentifikasi dan m engem bangkan sistem
pengajaran (instnictional) yang didesain oleh guru;
2. berfungsi untuk m enjadi alat kendali dalam konteks m anajem en
sekolah; dan
3. berfungsi untuk m enjadi bahan pem binaan lebih lanjut (remedial,
pendalam an, atau perluasan) bagi guru kepada peserta didik.

Langkah-langkah m enjabarkan indikator karakter. B agaim ana


kita m engetahui isi suatu karakter secara lebih detail? Kajian ini
m encoba m engupas hal tersebut. Sebagaim ana diketahui bahw a
k a ra k te r itu sifat seseo ran g yang p erlu d itu m b u h k e m b a n g k a n
melalui proses pendidikan, m aka pendidik h am s m engetahui secara
lebih m endalam m engenai substansi su atu karakter, bagaim ana
memfasilitasi tum buhkem bangnya, dan bagaim ana mengevaluasinya.
Untuk m enjabarkan suatu karakter, m aka perlu dikaji definisi
isi karakter tersebut. Misal karakter yang ingin dikem bangkan oleh
sekolah/orang tua adalah “pribadi unggul”. Langkah pertam a yang
ham s dilakukan adalah m endefinisikan atau m em beri m akna secara
khusus yang dim aksud dengan “pribadi unggul” itu apa? Sem akin
jelas m akna yang terkandung di dalam k arakter tersebut, m aka
sem akin m udah untuk m enjabarkan indikatornya.
Langkah kedua adalah m elakukan elaborasi terhadap substansi
m akna yang terkandung dalam karak ter tersebut m elalui suatu
hirarki perilaku. Semisal kita m enguraikan karakter tersebut dengan
m enggunakan form at dari T. Lickona, yaitu m oral knowing, m oral
feeling, dan m oral action atau m enggunakan hirarkhi perilaku yang
dikem bangkan oleh Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan psikom otor,
atau hirarki yang lainnya.
Setelah merefleksi suatu karakter m enjadi suatu hirarkhi perilaku,
m aka langkah ketiga adalah m enyusun indikator dari karakter tersebut
ke dalam bentuk rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang
h aru s dikuasai oleh an ak sesuai tah ap perkem bangannya. Perlu
m enjadi catatan, bahw a yang dinam akan kom petensi m encakup suatu
yang utuh, yakni m eliputi cipta, rasa, dan karsa atau pengetahuan
perasaan d an tindakan m enurut Lickona, atau dalam pandangan
Bloom m encakup kognitif, apektif, dan psikom otor. Selain itu, akan
sangat banyak indikator dalam suatu karakter, bahkan tum pang
tindih satu sam a lain, karenanya perlu u n tu k m encari indikator
yang esensi. P e n c a rian m a n a in d ik a to r yang esensi sebaiknya
dilakukan m elalui diskusi pihak sekolah (kepala sekolah dan guru)
dengan stakeholder-nya (komite sekolah dan orang tua), khususnya
orang tua siswa.
Jika langkah ketiga selesai, langkah keem pat adalah m enjabarkan
indikator karakter m enjadi indikator penilaian. Indikator penilaian
adalah rum usan m engenai pokok-pokok perilaku yang dapat dijadikan
rujukan untuk m enilai ketercapaian suatu karakter.
Langkah-langkah tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:

T a b e l 4.1
Langkah-langkah penjabaran indikator suatu karakter

Langkah-langkah penjabaran karakter


Contoh
menjadi indikator
Langkah I mendefinisikan atau mem beri Sekolah menentukan "pribadi Unggul"
makna secara khusus terhadap karakter sebagai karakter bagi setiap peserta
yang akan diwujudkan menjadi perilaku didik di sekolah yang bersangkutan.
anak.
Langkah I! melakukan elaborasi terhadap Pribadi unggul memiliki arti seseorang
substansi makna yang terkandung dalam yang mem iliki kualitas/keunggulan dari
karakter terseb ut melalui suatu hirarki sisi agama, pribadi, dan sosial.
perilaku.

Langkah III m enyusun in d ik a to r dari Berdasarkan langkah II kemudian dibuat


k a ra kte r te rs e b u t ke d a la m b e n tu k rincian sebagai berikut:
rincian khusus suatu kom petensi yang A. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan
harus dikuasai oleh anak sesuai tahap Yang Maha Esa
perkembangannya. B. M am pu berperilaku jujur
C. Memiliki sifat-sifat kepem im pinan
D. Memiliki citra diri positif

I40 I Memaknai Pend‫؛‬dikan Karakter


Langkah IV menjabarkan indikator menjadi Contoh Indikator Penilaian:
indikator penilaian Beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Contoh Indikator karakter: Yang Maha Esa
١. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada Malaikat
3. Beriman kepada Rasul
4. Beriman kepada Kita Suci
5. Beriman kepada hari kiamat
6. Beriman kepada qada dan qadar
7. Mem iliki pola kehidupan yang sama
d e n g a n rukun Islam (shadataen,
shalat, zakat, shaum, haji)

E valuasi te rh a d a p tu m b u h k e m b a n g s u a tu k a ra k te r p a d a
anak bukanlah suatu hal yang m udah, tetapi tidak berarti hal ini
suatu yang m ustahil untuk dilakukan oleh guru. Evaluasi karakter
m erupakan upaya untuk m engidentifikasi perkem bangan capaian
hirarki perilaku (berkarakter) dari w aktu ke waktu melalui suatu
identifikasi dan/atau pengam atan terhadap perilaku yang m uncul
dalam keseharian anak.
Perlu m enjadi c a ta ta n penting, b ahw a suatu k arak ter tidak
dapat dinilai dalam satu waktu (one shot evalucition), tetapi harus
diobservasi dan diidentifikasi secara terus m enerus dalam keseharian
anak, baik di kelas, sekolah, m aupun rum ah. K arena itu, penilaian
terhadap karakter harus m elibatkan tiga kom penen tersebut. Evaluasi
di kelas m elibatkan guru, peserta didik sendiri dan peserta didik
lainnya. Evaluasi di sekolah m elibatkan peserta didik itu sendiri,
tem an-tem annya, guru lainnya (term asuk Kepala Sekolah dan Wakil
Kepala Sekolah), pustakaw an, laboran, tenaga adm inistrasi sekolah,
penjaga sekolah, dan teknisi jika ada. Di ru m ah m elibatkan peserta
didik, orang tuanya (jika m asih ada) atau w alinya, kakak, dan
adiknya (jika ada).
Lalu bagaim ana kerangka evaluasi yang harus dibangun untuk
mengevaluasi karakter anak ini?

Evaluasi Pendidikan Karakter 141


Anak
Evaluasi d i R um ah Orangtua/wali
Kakak/adik

Anak
Temannya
Guru
Pustkawan
G u ru G-- Laboran
Tenaga
administrasi
Anak
sekolah
Teman
Penjaga sekolah
Guru

Evaluasi d i Kelas ‫—؛‬ Evaluasi d i S ekolah

G a m b a r 4.1 K e ra n g ka s e tin g evaluasi ka ra kte r

Alat evaluasi vang dapat digunakan yaitu.


1. Evaluasi diri oleh anak.
2. Penilaian tem an.
3. Catatan anekdot guru.
4. Catatan anekdot orang tua.
5. Catatan perkem bangan aktivitas anak (psikolog).
6. Lem bar observasi guru.
7. Lem bar Kerja Siswa (LKS).
8. Dan lain-lain.

Dalam buku ini akan dijelaskan dua bentuk penilaian karakter,


yaitu evaluasi diri anak dan penilaian portofolio.

B. Evaluasi D iri Anak


M akna evaluasi diri. Lem bar evaluasi diri anak m erupakan instrum en
evaluasi yang mengidentifikasi perkem bangan perilaku anak berdasarkan
apa yang dialam i anak m elalui suatu proses refleksi terhadap apa
yang dialam i oleh anak. Proses refleksi m erupakan suatu proses
di m ana anak m encurahkan pengalam annya berupa proses yang
dialami, kesan (keberm aknaan bagi anak) yang dirasakan, respon

142 Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


dirinya terhadap proses yang dialami, dan rencana ke depan (jika
ada/m em ungkinkan) baik bagi dirinya m aupun bagi lingkungannya.
In stru m e n evaluasi diri d ap at berupa: lem b ar evaluasi diri dan
buku harian anak.
L em bar evaluasi diri. L em bar evaluasi diri adalah instrum en
evaluasi perilaku b erk arak ter b eru p a lem bar-lem bar yang berisi
m engenai identifikasi proses, kesan, respon, dan rencana ke depan anak
dari pengalam an yang baru dialam inya dalam proses pem belajaran.
Misal, ketika an ak m elakukan/dikondisikan dalam pem b elajaran
melalui m enonton film/video, m aka setelah m enonton tersebut, anak
dim inta untuk mengisi lem baran evaluasi diri m engenai bagaim ana
proses selam a ia m enonton, bagaim ana kesan film/video tersebut
bagi anak, bagaim ana respon anak terh adap film/video tersebut,
dan terakhir apakah ada rencana tindak lanjut dalam pikiran anak
setelah m enonton film/video tersebut.

Table 4.2 Contoh instrumen evaluasi diri anak

^ FORMAT LEMBAR EVALUASI DIRI ANAK j

Nama : .....
Kelas : ............................................................................ NIS:
Mata Pelajaran : .....
Hari/tgl/jam : .....
Deskripsi : .....
KBM : .....

Aspek Evaluasi
No Pengalamanku
Diri Anak

‫؛‬1( (2) (3)

Aku mengalami ‫؛‬

2. Kesanku

Pandanganku
terhadap kegiatan

A
Rencanaku ‫؛‬

Evaluasi Pendidikan Karakter 14 3 ‫؛‬


F orm at lem bar evaluasi diri juga d ap at berupa intrum en
yang bebas dari klasifikasi “aspek evaluasi diri anak.” Dalam form at
ini yang ad a hanya deskripsi pengalam an an ak berdasarkan apa
yang dialam i anak, tanpa ada strukturisasi intrum en evaluasi oleh
guru. Perbedaannya dengan form at p ad a Tabel adalah tidak adanya
kolom (1) dan (2), tetapi yang ada hanyalah adalah kolom (3).
Contoh form at evaluasi diri yang bebas dari aspek evaluasi diri
adalah sebagai berikut ini.

Tabel 4.3 Contoh format evaluasi diri anak

FORMAT LEMBAR EVALUASI DIRI ANAK

Nama :....
Kelas :...............................................................................NIS:
Mata Pelajaran :..............................................................................
Hari/tgl/jam :....
Deskripsi :....
KBM :....

Deskripsi Pengalamanku

P en g isian le m b a r evaluasi diri ini d ila k u k a n setelah an a k


m elakukan suatu kegiatan dalam KBM. Sebaiknya tidak ada jeda
w aktu antara kegiatan yang dilakukan dengan pengisian instrum en.
Hal ini ditujukan untuk m endapatkan inform asi secara lebih orisinal
m engenai apa yang dialam i oleh anak.

Memaknai Pendidikan Karakter


Buku harian anak. Dalam proses mengevaluasi perkem bangan
perilaku berkarakter anak, guru dapat m enggunakan buku harian
anak. B uku harian anak adalah buku yang berisi curahan perasaan
anak dari proses yang dialam i oleh anak selam a ia m enjalani proses
kehidupannya selam a 24 jam . Bedanya dengan lem bar evaluasi diri,
buku harian an ak tidak terbatas pada KBM yang didesain oleh
guru di kelas, tetapi m eliputi sem ua pengalam an anak selam a 24
jam , bahkan m em ungkinkan m engidentifikasi visualisasi pem ikiran
anak tentang m asa depan diri dan lingkungannya.
B uku harian anak ini bukanlah buku harian yang dibeli oleh
anak kem udian dim inta oleh sekolah, tetapi buku yang disediakan
oleh sekolah secara khusus u n tu k kepentingan evaluasi perilaku
berkarakter anak.
B agaim ana kedua jenis evaluasi diri ini diolah? Arah pengolah
evaluasi diri anak. P en golahan evaluasi diri dilak u k an dengan
m elihat kecenderungan perilaku "m enetap” atau “tidak m en etap ”
p ad a an ak dari sejum lah indikator yang terlebih dahulu dibuat
oleh guru. “Evaluasi diri an ak ” kurang tepat apabila dipandang
sebagai cara khusus untuk mengevaluasi suatu indikator perilaku
berkarakter, tetapi lebih tepat dipandang fungsinya sebagai upaya
untuk m engidentifikasi “m enetap” atau “tidak m enetapnya” perilaku
anak dalam suatu indikator perilaku berdasarkan kehidupan anak
d alam k u ru n w aktu terten tu . K arena itu, p e n a fsira n te rh a d a p
hasil evaluasi diri anak ini bukanlah deskripsi tentang anak itu
berkarakter atau tidak berkarakter, tetapi lebih pada prediksi terhadap
kepem ilikan suatu karakter dengan kriteria "cenderung m enetap,”
“sewaktu-waktu,” “inisiasi awal,” dan "belum m uncul.”
Tindak lanjut hasil evaluasi. Jika anak dikategorikan perilakunya
“cenderung m enetap” dalam sutau indikator perilaku berkarakter,
m aka guru dan orang tua harus terus m eraw at perilaku ini untuk
terus m enetap m elalui penegakan reward dan pimishment secara
konsisten. Jika hasil penilaian berupa “sewaktu-waktu,” m aka guru
dan orang tua perlu untuk m em berikan penguatan perilaku anak
untuk m enjadi m enetap. Hal ini m em ungkinkan dilakukan dengan
cara pen g u atan p e m a h a m a n an ak terh a d ap m an faat d ari su atu
karakter. Selain itu, perlu untuk penegakkan reward dan pimishment
secara konsisten. Jika hasil penilaian berupa "inisiasi awal,” m aka
upaya yang m em ungkinkan untuk dilakukan guru dan orang tua

tvaluasi Pendidikan Karakter


adalah: 1) m engelaborasi perasaan ‫ اآااا;ج‬dan orang ‫اأ‬،‫ ا؛‬kepada anak,
‫ز‬،‫ ةاا‬anak memiliki atau tidak memiliki suatu karakter tcricmm; 2)
p enguatan p em ah am an anak ten tan g pentingnya su atu karakter
dimiliki oleh anak dan lingkungannya, baik untuk saat ini m aupun
untuk m asa depan anak; 3) m enegakkan ‫أا’آ؛’اع‬
-‫ﺀ‬ punishm
/ dan ent
secara konsisten. Jika liusil penilaian m enunjukkan ‘Joelttm m uncul,”
m aka hal yang m em ungkinkan untuk dilakukan oleh guru dan orang
tua adalah: 1) nrengidentihkasi penolakan anak terhadap suatu nilai
(karakter), 2) m engelaborasi perasaan guru dan orang tua kepada
anak, jika anak memiliki atau tidak memiliki suatu karakte‫ '؛‬tertentu;
3) pengrratan pem aham an anak tentang pentingnya suatu karakter
dimiliki oleh anak dan lingkungannya, baik untuk saat ini m aupun
r،ntuk m asa depan anak; 4) m enegakkan reward dan punishm ent
secara konsisten. Upaya-upaya tindaklanjut tersebut bukanlah suatu
kegiatan yang dilakukan dalam Iritungan satu l‫؛‬ali kegiatan, tetapi
kegiatan yang secara terus m enerus dilakukan sehingga m uncul
perilaku anak yang cendem ng m enetap.

4 .4 Klasifikasi Hasil evaluasi d a n T in d a k la n ju tn ya

Hasil Pengolahan
Evaluasi diri
Tindak Lanjut (peran orang tua ‫أﺳﻤﺎو‬

Cenderung menetap Tegakkan reward dan punishment secara konsisten

Sewaktu-waktu 1. Kuatkan pem aham an anak te n ta n g pentingnya


suatu karakter bagi anak dan lingkungannya
2. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten

Inisiasi awal 1. Sampaikan harapan guru dan orang tua kepada


anak untuk memiliki suatu karakter tertentu
2. Kuatkan pem aham an anak te n ta n g pentingnya
suatu karakter bagi anak dan lingkungannya
3. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten

Belum muncul 1. Identifikasi penolakan anak te rha da p suatu nilai


(karakter)
2. Sampaikan harapan guru dan orang tua kepada
‫؛‬ anak untuk memiliki suatu karakter tertentu
I 3. Kuatkan pem aham an anak te n ta n g p e ntin gnya
‫؛‬ suatu karakter bagi anak dan iingkungannya
i 4. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten

M em aknai P endidikan K ara kter


C. Penilaian Portofolio
Pendekatan evaluasi. Evaluasi terhadap berkarakter atau tindakan
seorang anak, berkaitan dengan usaha guru m engem bangkan
keteram pilan mengobservasi dan m elakukan pertim bangan segi
kuantitas dan kualitas perilaku termasuk pekerjaan peserta didik
yang melingkupi dan memenuhi tujuan aktivitas belajar peserta
didik. Dalam konteks tersebut, Roberts dan Klleough (1996: 128),
menyarankan seorang guru dalam menilai pekeijaan dan perilaku
peserta didik dituntut melalui proses yang berkelanjutan dan informal.
Untuk pelaksanaan tugas penilaian tersebut, sejumlah teknik
penilaian dapat dipilih dan dilakukan guru. Teknik itu bukan
sekedar tes berupa paper peucil test, m elainkan dapat bersifat
alternatif (altemative assessm cnt ) atau nontes seperti catatan anekdot,
rekam an audio dan video, d aftar cek, buku harian, term asuk
penilaian portofolio.
Penilaian portofolio. Teknik penilaian portofolio sebenarnya
esensial dalam penilaian karakter. Amatlah sulit memaham i dan
mengidentilikasi suatu karakter itu tercapai tanpa gum mengerti,
menguasai, dan melaksanakan penilaian dengan bentuk portofolio.
Lingkungan operasional memperlihatkan bahwa peserta didik
dalam praktek pendidikan mesti dipahami dengan baik. Dalam setiap
pembelajaran, peserta didik itu unik. Mereka memiliki perbedaan satu
sama lain. Latar belakang sosial dan ekonomi keluarganya, minat,
harapan, motivasi, kemampuan, perasaan, kreativitas, dan penampilan
dalam kegiatan belajarnya berbeda-beda. Tidaklah mungkin mereka
diperlakukan atau dilayani dengan cara disamaratakan.
Dalam penilaian pun, peserta didik itu sangat m em erlukan
perlakuan individual. Mereka penting dinilai kegiatan dan hasil
belajarnya berdasarkan kem am puan dirinya. Orientasi penilaian
berbasis kom petensi mesti berubah. Prakteknya tidak banyak
membandingkan kem am puan hasil belajar seorang peserta didik
dengan kemampuan hasil belajar teman-temannya, melainkan hal
itu dibandingkan dengan kem am puan sebelumnya. Inilah teknik
penilaian m utak h ir atau inovatif dan lebih otentik. Penilaian
demikian akan mengandalkan teknik nontes atau tes perbuatan dalam
bentuk portofolio. Penilaian portofolio inilah sebenarnya yang lebih

Evdiua‫ ؛؛‬Pendidikin Karakter ١ 14 7


mewarnai konsep Penilaian Berbasis Kompetensi daripada cara-cara
tes (tertulis) yang telah biasa guru-guru lakukan. Apakah suatu
kompetensi itu dapat dimengerti dengan cara diberikan suatu soal
tes tertulis pada peserta didik? Penilaian portofolio menjadi bagian
integral sekaligus mensiasati suasana belajar yang menyenangkan
dan lebih bermakna bagi peserta didik.
Konsep Dasar Penilaian Portofolio. Penilaian portofolio mendasarkan
p ad a teori b elajar konstruktivistik (ingat tokoh-tokoh Piaget,
Vygotsky dan Bruneur) yang mengasumsikan bahwa peserta didik
selain unik, mereka itu active leamers, bahkan a scientist. Mereka
memiliki kepekaan, sensitif; they constmct their own knowledge by
themselves. Sekali lagi, berdasarkan asumsi ini, pencapaian hasil
belajar peserta didik tidaklah patut untuk dibandingkan dengan
prestasi kelompoknya (nonn reference assessment). Prestasi peserta
didik itu selayaknya dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya
atau kriteria pencapaian kompetensi (Balitbang, Depdiknas, 2002).
Perhatikan pula peran guru sebagai bagian dari lingkungan belajar
peserta didik. Guru-guru menjadi objek observasi peserta didik
sehingga penilaian yang dilakukan guru harus benar-benar adil
dan otentik (auihentic assessment). Penilaian tidak cukup mencakup
cara-cara formal, tetapi juga mencakup cara-cara informal.
Penilaian portofolio merupakan penilaian yang berusaha menggali,
m engum pulkan, m elaporkan dan m enggunakan otentisitas dari
penam pilan atau kinerja kegiatan belajar peserta didik. Penilaian
demikian akan meliputi keseimbangan ranah kegiatan belajar yang
komprehensif. Jelas, portofolio menjadi esensial untuk penilaian yang
m endasarkan pada kompetensi. Melalui portofolio, peserta didik
didorong untuk menilai dan mengkonstruksi pengetahuan mereka
sendiri sehingga mereka benar-benar aktif, merasa senang belajar
dan kaya akan makna sekaligus bertanggung jawab atas apa yang
dipelajarinya. Penilaian poitofolio mesti menempuh prosedur yang
bervariasi dan jelas memerlukan perhatian dan kreativitas dari guru.
Secara konkret, portofolio merupakan koleksi bahan. Koleksi ini
merupakan kumpulan bahan atau pekerjaan yang sengaja dibuat dan
benar-benar terpilih (relevan) dari serentetan pengalaman belajar/
pekerjaan peserta didik. Portofolio artinya tas surat atau dompet.
Sebagai suatu koleksi, portofolio dapat mencakup banyak komponen,
misalnya catatan pelajaran, daftar istilah atau kata-kata penting,

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


daftar sumhc'[- belajar, resume bagian buku, daftar pertanyaan kritis,
komentar ٤٧٤١٠١ cerita, puisi, karangan/jumal, cacatan harian (,diaries),
pekerjaan rumah, tugas-tugas baik individual atau kelompok, basil
pretes dan postes, hasil obervasi/wawancara, laporan percobaan,
laporan praktik kerja, hasil penelitian, gambar, peta, grafik dan
penjelasannya, rekaman kaset dan keterangannya, (oto-kopi suatu
bahan dengan refleksinya, lem bar kerja, foto-kopi, dan lain-lain.
Untuk kepentingan koleksi ini sering digunakan file folder atau map
penyimpanan catatan, ring binder atau ‫؛‬c^itan arsip bercincin, atau
kantong plastik persegi transparan. Jadi, sejumlah kegiatan dan hasil
belajar peserta didik itu diorganisasikan; dan yang lebih penting
lagi koleksi itu selayaknya menunjukkan pertum buhan peserta didik.
?ortofolio m enyangkut usaha-usaha yang dilakukan peserta
didik, kemajuan dan prestasi yang ‫اآئ'ا؛اآ‬‫ اأاآا؛ﻟﻘآل‬untuk ‫ا؛الح‬،‫ﺟﺂﻟﺪاا؛أا اا‬
studi/tema/topik tertentu dalam ‫؛‬angka waktu totcmtu. Koleksi juga
m enunjukkan cakupan dan tingkat partisipasi (keaktifan belajar),
adanya bahan-bahan yang henar-benar bermanfaat ‫ أاا؛‬،‫ﺀااﻛﺮ‬/‫ﺑﻤﺎا‬/ ‫ اا‬/) dan
merupakan bukti-bukti refleksi bahwa peserta didik bertanggungjawab
atas bahan-bahan kegiatan ‫ ■[اﺋﺰأأا'اط‬yang patut dikuasai sekaligus
terpupuk kesadarannyauntukmelakukan perbaikan dan penyempurnaan
atas cara-cara/kegiatan belajar yang ditempulinya. ‫ااﻏﺄح‬-‫ اا؛اا‬Johnston
(Miscellaneous: 1995) menyatakan portofolio sebagai proses koleksi,
seleksi, refleksi. Dalam kerangka Implementasi KBK, portofolio
m encerm inkan pencapaian tingkat kom petensi-kom petensi yang
disyaratkan, yaitu kompetensi dasar m ata ’ ’ mata
pelajaran, kompetensi lintas kurikulum dan kompetensi tam atan
suatu lembaga pendidikan.
Swann dan Bickley-Green (1993), juga Waack (1991), merangkum
karakteristik portofolio sebagai berikut: (a) kesempatan ‫ أ'ةاﺗﺪا‬peserta
didik ‫ص‬، ‫ﻗﺎث‬ ‫ﺻﺎالد‬ ‫ آا‬self-evalualion, (b) proses 1‫ آﺟﻠﻘﺪ‬kegiatan ‫آلا‬€‫ئ؛اأا‬ ،‫ 'آ‬dan
program evaluasi, (e) metode untuk m em onitor dan mendorong
kemajuan belajar, (d) kumpulan dolurmen otentik yang '
kemampuan ‫اائ؛اةا'اط‬ ', (e) suatu pertanggungjawaban peserta didik atas
kegiatan belajarnya, (f) catatan tentang proses kreatif peserta didik,
historis ^ n ^ ta h u a n n y a , pemikiran kritisnya, ' estetikanya
dan hasil-hasil (seni) peke^aannya, (g) ‫ اا؛اﻟﺊ‬belajar-mengajar yang
memfasilitasi dialog antara peserta didik dengan guru, (h) bukti
perkembangan nyata yang menunjukkan hubungan antara proses

Evaluasi Pendidikan Karakter


kreatif peserta didik, hasil pekerjaannya dan refleksi dalam periode
waktu tertentu, (i) suatu perkem bangan yang mencakup cultuml
literacy dan gender imderstcmding (bagaimana mensikapi perubahan
atau perbedaan), dan (j) kontainer yang menampung fakta/pekerjaan
(karya seni) dan refleksi tertulis atas suatu makna yang dibangun
antara guru dan peserta didik.
Suatu Prosedur dan Teknik Penilaian Portofolio. Biasanya guru
mensyaratkan silabi atau rum usan tujuan pembelajaran (dan tentu
pula untuk tujuan portofolio) dikopi dan disimpan pada tempat
penyimpanan portofolio milik setiap peserta didik. Hal ini untuk
m engikat relevansi dokum en yang disim pan dalam portofolio
berkaitan erat dengan silabi dan tujuan pembelajaran yang hendak
dicapai. Jadi, dokum en yang dikum pulkan itu sifatnya menjadi
terpilih/terseleksi.
Untuk m em ulai portofolio, guru berusaha mengidentifikasi
karakteristik pengalaman belajar (leaming experiencies) yang dapat
dialami peserta didik. Karakteristik pengalaman belajar ini sebenarnya
berkaitan dengan sejumlah kompetensi yang patut dikuasai mereka,
baik untuk suatu standar kompetensi, kompetensi dasar, untuk
suatu unit/tem a/topik m ata (rum pun m ata) pelajaran, bahkan
lintas kurikulum ataupun untuk tamatan lembaga pendidikan yang
bersangkutan. Contoh berikut dihubungkan dengan mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas 10 SMU semester genap
dengan Standar Kompetensi mewujudkan persatuan bangsa dan
negara. Secara tentatif, penilaian portofolio dikembangkan berbasis
kompetensi dapat dipelajari dari skema silabi penilaian berikut.

Tabel 4.5 Skema Silabi dalam Konteks Penilaian P ortofolio


| Kompetensi M ateri Pokok Pengalaman Indikator ‫؛‬ Tagihan i Sumber
(dan uraiannya) Belajar Pencapaian ; Portofolio

Kemampuan Pengertian Menganalisis Menjelaskan | 1. Kumpulkan Buku


untuk me­ bangsa dan bangsa dan pengertian 4 (empat) koran
mahami negara: negara. pengertian
hakekat 1. Pengertian Kecakapan negara. tentang
bangsa dan bangsa hidup: Mengiden­ bangsa
negara 2. Pengertian Menggali tifikasi dan coba
negara informasi unsur-unsur I identifikasi apa
Mengiden­ terbentuknya
tifikasi negara. menurut
variabel pengertian-
pengertian itu.

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


. Unsur-unsur T, Kumpulkan
menu-rut 4 (empat)
pengertian
S : : ro„,، tentang
Hans Kohn negara
Ernest Renan
. Unsur-unsur identifikasi apa
terbentuknya arti negara
negara: menurut
Rakyat pengertian-
Wilayah pengertian itu.
Pemerintahan Tuliskan istilah-
yang istilah penting
berdaulat berkaitan
Pemerintahan dengan
yang pelajaran
berdaulat Pendidikan Ke-
Pengakuan warganegaraan
dari negara
lain. mester ini.
Coba kau
gambar peta
Indonesia
sebagai
sebuah
negara.
Cari sebuah
artikel dari
koran tentang
bangsa
& negara
Indonesia.

Sebenarnya tidak sulit mengembangkan portofolio untuk penilaian


kurikulum berbasis kompetensi ini. Untuk terbentuknya kompetensi
dasar pada diri siswa diperlukan m ateri pokok dan uraiannya,
sejum lah pengalam an belajar dan indikator pencapaian. Semua
ini biasanya dituangkan dalam pengembangan silabi KBK. Satu
langkah lagi untuk mengembangkan penilaian, khususnya dalam
bentuk portofolio, guru m enam bahkan kolom silabi itu dengan
tagihan portofolio.
Lim a tagihan portofolio yang dicoba dikem bangkan guru
untuk m ew ujudkan kom petensi dan pengalam an belajar yang
sudah dirumuskan sebelumnya di atas. Sangat mungkin guru bisa
mengemas tagihan portofolio itu untuk jangka waktu belajar 4 x
45 menit, atau untuk sepanjang semester genap. Dengan demikian,
guru harus mempertimbangkan semua pengalaman belajar siswa
dengan semua materi yang terkait dengan tema pengertian bangsa
dan negara, yaitu asal mula terjadinya negara; fungsi dan tujuan
negara; bentuk-bentuk negara; negara kesatuan dan serikat (federasi);
dan kelebihan dan kekurangan negara kesatuan sistem sentralisasi
dan desentralisasi; persam aan dan perbedaan negara serikat dan
negara kesatuan sistem desentralisasi. Tagihan port()l()‫؛؛‬o itu bisa
jadi lebih banyak lagi.
M enim ba pelajaran dari Sw ann dan Bickley-Green (1993)
prosedur tentatif pelaksanaan portofolio dalam rangka KBK, meliputi
instruksi-instruksi berikut.
a. R um uskan tu ju an um um portofolio yang d idasarkan atas
kompetensi yang disyaratkan.
b. Rumuskan tujuan portofolio bagi setiap peserta didik secara
individual u n tu k m elih at p en cap aian dan p erk em b an g an
kompetensi yang mereka kuasai dalam suatu periode tertentu
(satu semester).
c. Tentukan kegiatan-kegiatan portofolio (portfolio projects) atau
unit-unit kegiatan pelajaran secara bervariasi untuk menjelaskan
segi-segi kompetensi yang harus dikuasai.
d. Secara teknis sejumlah pertanyaan patut dijawab guru untuk
memahami bahan (koleksi) yang tercakup cla)a‫؛‬n penggunaan
portofolio, yaitu.
• Bahan (koleksi) manakah yang menunjukkan bahwa peserta
1'[
‫< ل؛إﺀ‬itu memperoleh informasi yang relevan ‫س‬ ‫ﺳﺎ‬ dengan
p e n g u a s a kompetensi dalam topik yang dipelajarinya?
٠ B ah an (koleksi) m an ak ah yang m e n u n ju k k an bahw a
peserta didik itu mengembangkan proses berpikir seperti
mengobservasi, mengklasifikasi, membandingkan, menguraikan,
menilai, m enyim pulkan, dan seterusnya yang berkaitan
dengan penguasaan kompetesi yang dipelajarinya?
• Bahan (koleksi) manakali yang sepatutnya tereakup dalam
portofolio yang m enunjukkan bahw a peserta didik itu
menggunakan sumber-sumber belajar yang bervariasi?
• Baca kembali mm usan kompetensi yang disyaratkan melalui
pembelajaran dalam tema atau topik yang ditetapkan; dan
tentnkan bahan (koleksi) apakah atau manakah yang akan
dihasilkan dari ^iM tas-aktivitas belajar itu sebagai bahan-
bahan yang akan ditempatkan dalam portofolio?

Memaknai Pendidikan Karal<ter


e. K em bangkan p ro sed u r self evaluation secara ru tin u n tuk
peserta didik dalam bentuk pengungkapan pertanyaan yang
berarti, sekaligus hal itu dimaksudkan untuk menyelidiki saat-
saat pei'kembangan kompetensi individual peserta didik dan
munculnya proses-proses kreatif.
f. Cakupkan pengetahuan-pengetahuan yang lebih luas menyangkut
kultur dan konteks kom petensi sosial dalam perkem bangan
portofolio mereka.
g. Lakukan prosedur penulisan jurnal atau responsi secara rutin
untuk melatih berpikir reflektif dan respon-respon afektif.
h. Lakukan dialog untuk setiap peserta didik secara individual
dan berilah komentar positif secara tertulis bahwa pekerjaan
m ereka itu baik, terutam a untuk m em beri penguatan atas
penulisan jumal/refleksi.
i. Baca kembali setiap komentar guru yang telah ditulis itu dan
bagaimana komentar peserta didik. Apakah komentar mereka
adalah sesuatu yang di inginkan guru?
j. Pada saat suatu kemajuan lebih lanjut dibutuhkan peserta didik,
tulislah cara-cara yang layak untuk melengkapi/menyempurnakan
pencapaian kompetensi melalui tugas-tugas mereka.
k. Tentukan kriteria evaluasi atau terms for assessnient sebagaimana
komptensi yang disyaratkan, tujuan program yang ditetapkan dan
isi pembelajaran yang telah dipelajari dan taraf perkembangan
peserta didik. Kriteria yang ditetapkan bisa jadi sangat bervariasi.
1. Akhiri penilaian dalam bentuk laporan nilai akhir dan atau
dalam bentuk pernyataan-pernyataan kualitatif yang didasarkan
atas evaluasi dari peserta didik dan hasil dialog atau pemikiran
di antara guru dan peserta didik.
m. Penilaian atas aktivitas dan prestasi hasil belajar dalam bentuk
angka atau huruf, hanyalah salah satu bagian (mungkin juga
tidak penting) dari tu n tu tan proses penilaian yang otentik
(berbasis kompetensi).
n. Bisa saja guru yang bertanggung jawab dan memiliki cukup
waktu melakukan sidang portofolio. Untuk keperluan itu, terdapat
sejumlah pertanyaan yang perlu dipertimbangkan:
٠ Apa yang dapat pembaca harapkan dari portofolio peserta
didik itu? Pertanyaan ini dapat dipelajari melalui daftar isi,
ringkasan naratif, suatu definisi yang am at berarti, atau
mungkin suatu cerita.

ivaluasi Pendidikan Karakter


o. Mengapa peserta didik memilih pilihan itu, padahal tentu ada
pilihan-pilihan lain yang dapat dibuat mereka? Peserta didik
diminta untuk menggambarkan alasan atas suatu pilihan tema
atau topik yang diungkapkan dalam kaitannya dengan kompetensi
yang disyaratkan dalam portofolionya.
• Pertanyaan-pertanyaan untuk yang ketiga m engundang
pembuktian tentang adanya pengertian baru dan adanya
pengalam an b elajar peserta didik b eru p a penguasaan/
pencapaian sejumlah kompetensi:
٠ Bagaimana peserta didik dapat mengevaluasi penguasaan
kompetensi melalui kegiatan dan basil belajarnya? Bukti-
bukti apakah yang secara khusus m enunjukan bahw a
kompetensi yang disavaratkan telah muncul selama periode
pembelajaran?
• Bagaimana peserta didik dapat mengevaluasi keterampilan
hidup (atau keterampilan kerja) dari hasil belajarnya? Apa
sajakah yang peserta didik dapat lakukan setelah menempuh
kegiatan belajar dan apa sajakah yang peserta didik tidak
dapat lakukan sebelum menempuh kegiatan belajar itu?
٠ Bagaimana peserta didik dapat mengevaluasi diri dalam
konteks kehidupan sosial? Apa sajakah yang dapat mereka
lakukan dalam konteks kehidupan sosial itu?
p. Akhirnya terhadap semua pembuktian di atas tingkatan manakah
yang paling mewakili usaha-usaha, kemajuan dan hasil-hasil
belajar peserta didik untuk kegiatan pembelajaran dalam periode
tersebut? A atau B?

Sampai di sini, hambatan untuk melaksanakan portofolio untuk


penilaian berbasis kompetensi tentu banyak. Tetapi coba renungkan:
adakah keuntungan-keuntungan penilaian portofolio baik itu bagi
peserta didik, guru-guru, anggota masyarakat ataupun bagi suatu
pengembangan program pembelajaran? Jawabannya, ya!
Yang jelas m elalui portofolio, peradaban m asyarakat akan
berubah dan peradaban negara-negara maju telah mereka capai.
Dengan kebiasaan mengedepankan cara-cara yang terpelajar, kerja
keras, dan menjunjung nilai-nilai kejujuran melalui portofolio, di
masa yang akan datang, Indonesia akan keluar dari krisis yang
dihadapinya. Akankah kita mengabaikan penilaian portofolio? Semoga
tidak demikian!

I 54 ! Memaknai Pendidikan Karakter


P a ftir Pustaka

Abu M uhammad Jibriel Abdul Rahman. (2005). Karakteristik Lelaki


Shalih. Pamulang: Ar Rahman Media.
Agustian, Arv Ginanjar. (2009). Bangkit dengan 7 Budi Utama.
Jakarta: PT. Arga Publishing.
Alicia Komputer. (2008). Teori Pembentukan Karakter. Online: http://
koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.
html. 06 Mei 2010.
Arte, Judith. A. 1992. Portfolios in Practice: What Is A Porifolio?
P aper presen ted at the an n u al m eeting of the A m erican
Educational Research Assosiation. San Francisco.
Atherton, J, S. (2010) Learning and Teaching; Bloom ’s taxonomy
[On-line] UK: Available: http://wvvw.leamingandteaching.info/
learning/bloomtax.htm Accessed: 1 August 2010.
Balitbang, Depdiknas. 2003. Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta Pusat:
Pusat Kurikulum.
Bavvazir, Djauharah. (2007). Pembentukan Manusia Seutuhnya; Mo^el
Sistem Pendidikan Bunyan. Jakarta: PT. Bunyan Andalan Sejati.

D a fta r Pustaka
Bloom Taxonomy, http://www.odu.edu/educ/roverbau/Bloom/blooms_
taxonomy.htm
Cox, Keni Brayton. 1993. Portfolios in Action: A Study o f Two
Classrooms with Implications for Reform. Paper presented at
the annual meeting of the American Educational Research
Assosiation. Atlanta, Georgia.
D harm a Kesuma, dkk. (2009). Suplement Kurikulum Pendidikan
Karakter Sekolah Avicenna. Bandung: CV. Alfa Orient.
Dryden, Gordon & Vos, Jeannette. (1999). The Learning Revolution:
To Change the Way World Learns. Selandia Baru: The Learning
Web.
Fraenkel, Jack R. (1977). H ow to Teach about Values. USA:
Englewood Cliffs.
Gaffar, M ohammad Fakry. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Islam.
(Disampaikan pada W orkshop Pendidikan Karakter Berbasis
Agama, 08-10 April 2010 di Yoyakarta).
Hafizhahullah, Firanda. (2010). Ikhlas dan Bahaya Riya. (tersedian
online: http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-
ikhlas-dan-bahaya-riya-.html). 22 Juli 2010.
Hess, Beth B.; Markson, Elizabeth W.; Stem, Peter J. (1988 3rd
ed.). Sociology. New York: MacMillan Publishing Company.
Hergenhahn, B.R & Olson, Matthew H. (2008). Theories o f Learning
(Teori Belajar) (Edisi Ketujuh). Pearson Education. Alihbahasa
oleh: Tri Wibowo.(2009). Jakarta: Kencana.
Hers, Richard H., Miller, John P., & Fielding, Glen D. Models o f
Moral Education; An Appraisal. New York: Longman Inc.
Hurlock, Elizabeth B. (1974). Personality Development'. New' York:
McGraw-Hill Book Company.
Kartadinata, Sunaryo. (2010). Resureksi Ilmu. Pendidikan (Pedagogik)
bagi Pemulihan Penyelenggaraan Pendidikan. B ahan Kajian
Seminar Internasional tentang: Pedagogik Praktis dalam Perspektif
Pendidikan Global. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Kesuma, Dharma; Darmawan, Cecep; Permana, Johar. (2009). Kompsi
dan Pendidikan Antikorupsi. Bandung: Pustaka Aulia Press.

Memaknai Pendidikan Karakt


Krathwohl, D.R., Bloom, U.S., and Masia, B.B. (1964). Taxonomy
o f Educational objectives: Handbook //.■ Affective Domain. New
York: David McKay Co.
Kwok, Percy. (2001). Local Knowledge and Value Transformation
in East Asian Mass Tutorial Schools. International Education
Journal Vol 2, No 5, 2001. p. 46-9?.
Lickona, Thomas (1991). Educating for Character, How Our Schools
can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Lickona, Thom as. (1993). The ‫بﺀ‬،’‫ رأاار؛‬o f Character Education.
Educational Leadership, v51 n3 p 6 -ll Nov 1993.
Lickona, Torn & Davidson, Matt. (2005). Smart & Good High Schools.
Tersedia online: wvvvv.cortland.cdu/charactci■. 23 2010 ‫ ا] ال ؛‬.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat
untuk Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Miller, M. (2005). Teaching and Learning /‫ أا‬Affective Domain. In
M. Orey (Ed.), Emerging perspectives on learning, teaching,
and technology. Retrieved cinsert date>, from http://projects.
coe.uga.edu/epltt/
Moeliono, Anton M. (penyunting penyelia). 1996. Kamus Besar
Ba/:asa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Encarta Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2009.)
Moya, Sharon s .;O’Malley, j. Michael. 1994. A Portfolio Assessment
Model for ESL. The Journal o f Educational Issues of Languasge
Minority Students, 13, 13-36.
Permana, Johar. 1997. Portfolio Assessment dalam Pembelajaran.
Jurnal Pendidikan. No. 12/Tahun 1997. Bandung: IKA, IKfP.
Puskur. (2007). Panduan Pengembangan Indikator. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Roberts, P atricia L.; Kellough, R ichard D. 1996. A Guide for
Developing an Interdisciplinary Thematic Unit. New Jersey:
Pr'C‘irtic،‫؛‬-Hall, Inc.
Rosyidin, Dedeng. (2009). Konsep Pendidikan Formal Islam. Bandung:
Pustaka Nadwah.
Samani, Muchlas. (2010). Rencana Induk Pengembangan Pendidikan
KarakterBangsa. Kementerian Pendidikan Nasional RI. (Disampaikan
pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 08-10
April 2010 di Yov'akarta).
Somantri, Endang. (2010). Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan
Nilai: Tinjauan Filosofis, Agama, dan Budaya. (Disampaikan
pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 08-10
April 2010 di Yoyakarta).
Suherdi, Did2008) .‫)؛‬. Mikroskop Pedagogik; Alat Analisis Proses
Belajar Mengajar, (cetakan ke-1). Bandung: DPI Press.
Swann, /‫ ' ااا ' اآاأاأ‬C.; Bickley-Green, Cynthia. 1993. Basic Uses of
Poi-tfblio in Art Education Assessment. NAEA Advisory'. Reston.
Triatna, Cepi. (2008). Guru sebagai Mentor. Bandung: CV. Citra
Praya.

Memaknai Pendidikan Karakter


Biodata Penulis

Dharma Kesuma
Adalah dosen di Jurusan Pedagogik
FIP UPI. Lahir pada 27 Sepetember 1955
di Cimahi. Menyelesaikan studi SI di IKIP
Bandung tahun 1984 pada Jurusan Filsafat dan
Sosiologi Pendidikan. Kemudian melanjutkan
ke jenjang S2 di Universitas Negeri Jakarta
pada Program Studi Manajemen Pendidikan
dan selesai pada tahun 2008. Saat ini sedang
menyelesaikan program S3 pada Program
Studi Pendidikan Uinum SPS UPI. Buku yang pernah ditulis adalah
Korupsi dan Pendidikan Antikorupsi (2008), Contextual Teaching
and Learning (2009). Selain menjadi dosen di Jur. Pedagogik, juga
menjadi pengajar pada program Akta Mengajar Kepolisian Republik
Indonesia, Kerjasama FIP UPI Bandung dengan Kepolisian Republik
Indonesia. Saat ini diamanahi sebagai ketua Pusat Pengkajian
Pedagogik FIP UPI.

Johar Permana
Adalah dosen Ju ru san A dm inistrasi
Pendidikan FIP UPI. Lahir di Ciamis, 14
Agustus 1959. Menyelesaikan SD Tahun 1971
di SD Negeri Kertahavu I Pamarican Ciamis;
SMP Negeri Pamarican Ciamis, Tahun 1974;
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Ciamis,
*•'٠' Tahun 1977; Sarjana Pendidikan, Jurusan
"* ’ Administrasi Pendidikan IKIP Bandung, Tahun
1984; Master of Aits (M.A.) in Educational
Theory and Practice (Early and Middle Childhood Education), The
Ohio State University USA, Graduated in 1995; Doktor Bidang Ilmu
Komunikasi Organisasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Bandung Tahun 2009. Buku yang pernah ditulis: Korupsi dan
Pendidikan Antikorupsi. 2008. Bersama Kesuma, D; Darmawan C.
Bandung: Pustaka Aulia Press. Strategi Belajar Mengajar. PGSD
Development Project melalui Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Bandung:

Biodata Penulis
CV. Maulana, 2002, Kewirausahaar، Dalam Pendidikan. Bahan Diklat
Teknis Manajemen Kepala SD. Pemda Kota Bandung beke‫؛؟‬asama
dengan Program Pasca Sarjana UPI, 2002. Manajemen Kelas Yang
Konstruktivistik dan Bimbingan Belajar Bagi Siswa SD. Bahan Diklat
Teknis Pengawas Pendidikan. Pemda Kota Bandung bekerjasama
dengan Program Pasca Sarjana UPI, 2002. Selain mengjadi dosen
untuk mahasis^'a di UPI juga aktif sebagai dosen pada progam
Akta Mengajar Departemen Kesehatan RI; Program Akta Mengajar
Kepolisian Republik Indonesia, Diklat di tingkat kab./kota, provinsi,
nasional dan internasional. Saat ini diamanahi sebagai Pembantu
Dekan II TIP UPI.

Ccpi T rfitri3
Lahir di Bandung pada 23 Juli 1979.
Menyelesaikan SD pada tahun 1991 di SD
Negeri C i^ w ^ a ^ B a le e n d a h Kab. Bandung;
MTs P esantren P ersatuan Islam No. 1
Bandung tahun 1994, Muallimien (setingkat
SMA) Pesantren Persatuan Islam No. 1
Bandung Tahun 1997; SI pada Juiusan
Administrasi Pendidikan TIP UPI tahun
2001; S2 Prodi Administrasi Pendidikan SPS
U’PI Tahun 2005. Dan saat ini sedang menyelesaikan Program
Doktoral (S31 Prodi Administrasi Pendidikan SPS UPI. Buku
yang pc'rnah ditulis: Visionary leadership Menuju Sekolah Elektll,
Bumi Aksara, 2005; Inovasi kepemimpinan kepala sekolah dan
Pemberdayaan Masyarakat pada Sekolah di daerah tertinggal. Tahun
2008. Subdit Dikmen P M ^ K Depdiknas; Kiat-kiat Kepemimpinan
pada Sekolah Daerah Maju. Tahun 2008. Subdit Dikmen PMPTK
Depdiknas; Tim Penulis Buku “Manajemen Pendidikan”, Tahun 2008.
Alfabeta; Bagaimana menjadi menjadi guru penulis?. Tahun 2008.
Citra P‫؛‬ava Bandung; 0 ‫ الأال‬Sebagai Mentor. Tahun 2009. Citra
Praya Bandung; 9 Kebiasaan Pelajar Elektll. Tahun 2008. Citra
Praya Bandung; EQ Power: Panduan Meningkatkan Kecerdasan
Emosional. Tahun 2008. Citra Praya Bandung. Selain menjadi
dosen, juga aktif dalam berbagai pelatihan di lingkungan Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat, dan Kememterian Pendidikan
Nasional. Saat ini diamanahi sebagai sekretaris Pusat Pengkajian
Pedagogik TIP UPI.

Pendidikan Kara!>‫ﺀآ‬
Memakna ‫؛‬
PERPUSTAKAAN
PPs STAIN Kerinci
Kembalikan Buku Tepat pada Waktunya

NO N a m a /N IM ٢٠ /. Pinjam Tgl. Kembali

(0 - / / - 2/")/C / 2e/j- - ( / - 7 ‫؛‬


‫؟‬- ١L - r2&C' 10--- ١‫؟‬
12
( 8 -fa
- 4 - 1 ; - Z iG ‫ ؛‬- ) 2j^ 4 ‫؛‬t A

---------------

-
Pendidikan
Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah

Buku ini mengkaji bagaimana desain, proses, dan evaluasi


pendidikan karakter dalam latar sekolah. Buku ini merupakan salah
satu program kami (P3) yang secara keseluruhan terlihat pada desain
pedagogik bangsa. Pedagogik bangsa adalah suatu grand design
aplikasi pedagogik dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia
saat ini pada berbagai wilayah pendidikan. Sasaran pembangunan
melalui pendidikan ini adalah pendidikan di persekolahan,
pendidikan di keluarga, dan pendidikan di tempat kerja.

Pendidikan di persekolahan meliputi pedagogik di TK, SD, SMP,


SMA, SMK, dan perguruan tinggi. Pedagogik di keluarga meliputi
pedagogik pada keluarga di masyarakat perkotaan, masyarakat
pinggiran kota, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat.
Pedagogik di tempat kerja meliputi pedagogik pada organisasi
pemerintah, pedagogik pada organisasi bisnis, dan pedagogik pada
organisasi sosial nonpemerintahan.

ISBN 9 7 8 -9 7 9 -6 9 2 -0 4 4 -0

9789796920440
ROSDA

Anda mungkin juga menyukai