Anda di halaman 1dari 181

ROSDA

، Sk
Drs. Dharma Kesuma, M.Pd.
Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd.
Dr. H. Johar Permana, MA
٠ „,

Pendidikan

Kajian Te o ri dan Praktik di Sekolah

—...

"٠٠٠٠٠٠٠,..
‫‪.‬‬ ‫‪Drs. Dharma iküsuma. M.Pd‬‬
‫آمﺀ ‪€‬‬ ‫‪.‬؛‪BsTriatrtte‬؛‪Pd،M،:J‬‬
‫‪.‬ه‪h ٢‬ﻫﻞ ‪٥٢. .H‬‬ ‫أ' ﻫﻳؤ‪'-‬روؤ!‬

‫ﺳﻮأ ﺀ‬ ‫‪Pendidikan‬‬
‫^■‬ ‫إأ؟ ق|ﻣﺣﺊءام مءم‪ 1‬ه‬ ‫ظﺈ؛‪:‬؛‪|:‬؛;آل؟‬ ‫ء؛؛| إم ||| و ؟'"‬ ‫؛؛؛‪»iliig‬‬
‫ﻫﺗﺄج‪#‬ﺋﺑم أءﻫﻣﻣﻪ‪-‬ء‬ ‫ﻗﻘﻣﺢ'‬

‫آ;ﺟﻪ؛•ﺀتﺀم'; ةﻫﺄزﻣﺢ>؛‬ ‫‪SPkoteh‬اص؛؛‪Pr<shK‬‬

‫آل‪.‬‬ ‫ﺻس‪> -‬‬ ‫؟ ء؛ا ‪*،‬‬


‫س‪،‬ءهءﻫﻣؤ!‬
‫ﻣﻜﺎوك‪.‬أو‪ 5‬ا‬
‫ص ‪ :.,‬ﺳم ‪ ,‬ة‪ ،‬م ‪،‬س‪/‬؛ء‬

‫ه‬
‫‪Penerbit PT REM AJA ROSDAKARYABandung‬‬
Kajian Teori dan Praktik di Sekolah

RR.PK0133-03-2012

Penulis Drs. Dharma Kesuma, M.Pd.


Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd. Dr. H. Johar
Permana, MA. Editor Anang Solihin
Wardan Desainer sampul Guvun Slamet
Layout Kuswaya

Diterbitkan oleh PT REMAJA ROSDAKARYA


Jin. Ibu Inggit Gamasih No. 40
Bandung 40252
Tip. (022) 5200287
Fax. (022) 5202529
e-mail: ro.sdakaiyaCrosda.eo.id
www.rosda.eo.id

Anggota Ikapi
Cetakan pertama, Mei 2011
. • ٠Cptakap kedua, Agustus 2011
Cetakan ketiga, Juni 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis

ISBN 978-979-692-044-0

Dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya Offset - Bandung


Kata
Pengantar

egala puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadirat Allah SWT,
dengan Hidayah, Inayah, dan Karunia-Nya, buku tentang
“Pendidikan Karakter” ini dapat terselesaikan. Jika saja bukan karena
kehendak-Nya, sesungguhnya tidak ada daya
dan kekuatan bagi kami untuk melakukan sesuatu.
Buku ini merupakan salah satu karya yang kami susun sebagai
bentuk kontribusi Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) FTP UPI dalam
mengembangkan teori dan praktik pendidikan yang lebih baik dari
waktu ke waktu. Selain didasarkan kepada pengalaman kami dalam
mengembangkan kurikulum pendidikan karakter di sekolah, buku ini
pun merupakan hasil refleksi dan diskusi-diskusi panjang yang diawali
sejak bulan September 2009.
Karenanya penyusunan buku ini pun tidak akan terwujud
manakala tidak ada kontribusi pemikiran dari sejawat kami (P3) dalam
berbagai diskusi. Dalam kesempatan ini kami haturkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah berpikir bersama dalam berbagai
kajian bulanan kami, yaitu Prof. Dr. Ahman, M.Pd., Prof. Dr. Mustofa
Kamil, MA., Dr. H. Johar Permana, MA.
Dr. Hj. Emawulan, M.Pd & Drs. Dede Somarya, M.Pd. para dosen
Jurusan Pedagogik FIP UPI, para pimpinan Laboratorium yang ada di
lingkungan FIP, Dr. Dadang Rahman, M.Pd. Drs. Mastur Burhanudin,
M.Pd., MM.Pd., selaku Kasie $٧٨ Dinas Pendidikan
Provinsi Jabar, Drs. Eef $aehtl ^F., M.Pd. Drs. Eryanto, M.Pd. tim
pengembang kurikulum $٧٨ Provinsi Jabar, para pengelola, kepala
sekolah dan guru-guru di Medco Foundation, Perguruan ٨!
Azhar $}'‫؛؛‬a Budi Padalarang, Perguruan Daarul Hikam, dan semua
pihak yang telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan di P3.
Semoga Allah SWT memberikan kemulyaan dan keberkahan kepada
mereka semua.
Melalui buku ini kami berharap, semoga kajian mengenai teori dan
praktik pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik dari waktu ke
waktu. Ke depan, kami mengajak berbagai pihak yang terkait dengan
kajian pendidikan yang lebih baik untuk bergabung dalam berbagai
kegiatan di P3. $emoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan
kemudahan dan keikhlasan kepada kami untuk terus menjalani
pengembangan teori dan praktik pendidikan untuk membangun
bangsa/umat yang lebih baik menyongsong Indonesia emas.

Bandung, Mei 20i 1

Tim Penulis
Daftar Isi
Bab I
Memaknai Pendidikan Karakter 1
A. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Bangsa
Indonesia 1 .
B. Pengertian Pendidikan Karakter : 4
C. Tujuan pendidikan Karakter dalam Seling Sekolah
D. Karakter yang Perlu Bagi Bangsa‫؛‬، Indonesia 11
1. Jujur 16
2. Kerja keras 17
3. Ikhlas 20
E. Analisis Persamaan dan Perbedaan Karakter, Akhlak, dan
Moral22

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah 31


A. Rambu-Rambu Pengembangan Pendidikan
Karakter31
Elaborasi Pengetahuan Moral dari Lickona 71
Pengetahuan moral 71
Elaborasi Perasaan Moral dari Lickona 75
Perasaan moral 75
Tindakan moral 78

B. Rambu-Rambu Penyusunan dan Pengembangan Silabus dan


RPP untuk Pendidikan Karakter 85
Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 91
A. Memaknai Desain Pembelajaran untuk Pendidikan

1. Makna Belajar dalam Pendidikan Karakter 91


2. Makna Pembelajaran dalam Pendidikan

3. Dua Bentuk Pembelajaran dalam Pendidikan


Karakter 113

B. Model Reflektif 117


1. Asumsi Dasar 117
2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Reflektif 120
3. Proses Pembelajaran Model Reflektif 121
4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Reflektif 125
C. Model Pembelajaran Pembangunan Rasional 125

1. Asumsi Dasar Model Pembangunan


Rasional (MPR) 125
2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Pembangunan
Rasional (MPR) 128
3. Proses Pembelajaran Model Pembangunan Rasional
(MPR) 129
4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Pembangunan
Rasional (MPR) 135

Bab 4
Evaluasi Pendidikan Karakter 137
A. Evaluasi Pendidikan Karakter 137
B. Evaluasi Diri Anak 142
C. Penilaian Portofolio 147
Daftar Pustaka 155

Biodata Penulis 159


RESUME

uku tentang “Pendidikan K arakter di Sekolah; Kajian Teori dan Praktik


Desain, Proses, dan Evaluasi Pendidikan Karakter Latar Sekolah”
merupakan buku vang mengajak para dosen, peneliti, guru, kepala
sekolah, pengawas, pembuat
kebijakan pendidikan di kab./kota, provinsi, dan nasional untuk mencemiati
mengenai permasalahan pendidikan kita saat ini. Hasil kajian kami di Pusat
Pengkajian Pedagogik UPI menunjukkan teori dan praktik pendidikan masih
belum bersinergi. Teori yang sering dibahas di dunia perkuliahan belum
teipadu dengan praktik yang terjadi di dunia praktik pendidikan, khususnya
pada pendidikan iomial pada latar sekolah.

Dengan latar belakang kondisi bangsa Indonesia yang dicirikan oleh


krisis multidimensi dan keterpurukan dalam berbagai dimensi sem entara
sum ber daya potensial bangsa ini pun tidak terkira melimpah ruah, tetapi
kondisi yang dirasakan oleh banyak orang (rakyat) adalah jauhnya
kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dari kehidupan masyarakat
Indonesia saat ini. Kompleksitas masalah tidak dimaksudkan tuduhan kami
terhadap kinerja pemerintah yang rendah, tetapi lebih kepada ajakan kepada
semua pihak untuk

v ii
,bersinergi dalam pemecahan masalah bangsa ini seeara simultan
berkelanjutan, dan menyeluruh menuju Indonesia emas2020 .
Buku ini kami awali dengan kajian untuk memahami pendidikan
karakter yang mengkaji secara khusris mengapa pendidikan karakter
perlu untuk membangun dan mengeluarkan bangsa٨‫ ؛‬dari krisis ‫؛‬
multidimensi,genai lalumaknakamipendidikantegaskar ‫؛‬
karakter, tujuan pendidikan karakter, berbagai karakter yang perlu bagi
bangsa Indonesia saat ini, dan eksplorasi mengenai persamaan dan
perbedaan istilah yang sering ‘digunakan dalam pendidikan .karakter

Balam bab 2 kami m encoba m enyuguhkan desain pendidikan karakter


yang kami geluti dari Septembei 2009. Bab ini m encoba mem berikan kom
parasi mengenai desaitt pendidikan karakter dilihat dari silabus dan RPP, Dalam
bal ini kam i m enegaskan bahw a pendidikan karakter y'airg kami m aksud
bukan m enam bah m ata p elajaran baru a tau m en am b ah SK dan KD baitt.
Pendidikan karakter dalam latar sekolah yang kami bahas adalah pendidikan
yang m engem balikan desain dan proses pendidikan sebagaim ana

tertuangperaturandalampemteorindangpedagogik-

undangandai ‫ ؛‬yang ada. Dalam bahasa l'ektoi' DPI disebut “resureksi,1’ m enghidupkan
.kembali yang sridalr mati atau tertidur lam a
Bab 3 kam i isi dengan m odel-m odel pem b elajaran dalam perspektif
pendidikan karakter. Kami m encoba mengungkap‫ﻆﺤﻣاآا؟ا‬
pembelajaran, di sekolah1‫ﻦﺤﻣ‬. ‫أآ‬. ‫او‬.selalu dikaitkandengan
nilai y ;;،«g
dirujuk sekolahnKTSPvangdantertuangdikeml^uigkan ‫؛؛‬dalamvisid

oleli sekolah, ,^emalraml akan hal ini. maka ‫ﺊﺻ‬،‫؛أ‬:‫ ﺎﻳ‬nieiigeriai model

ai'atr dalam pendidikanpeiatbel،i.'‫مأ‬، ‫ا‬.‫ ؛طوﺎﺒﻟ؛م‬,mengarah' p ntuk


yaitu pembelaj،an;‫؛الأأﺄﺨﻳأأل'اا ؛آ‬-‫ب‬. l.aa ;"■embd ajaran rellektit I‫'؛‬,v'■.‫ ؛'؛‬jauh
,nagian ini akan mengeksploras! mengenai hakikat, prinsip ' roses'
,km evaluasi rnasmgmiasma pembelajaran،
Pada bab 4 , ١٢٨١٣،'. engenaimencoba gaimanmemba■»'‫؛‬has

mendesain, melakukan, dan mengolah evaluasi terhadap kepemilikan

karakter yang dikembangkan daiam pembelajaran. Evaluasi juga dilengkapi

dengan instrumen yang' dapat dijadikan rttjukan oleh


.para pengkaji, peneliti, praktisi untuk m engev^tasi suatu Irarakter e،mr'a
keseluruhan, buku$٨‫ ؛‬,mengkaji‫ ؛‬bagaim ana desain proses, dan evaluasi
pendidikan karakter dalam latar sekolah,
Buku ini merupakan salah satu program kami (P3) yang secara keseluruhan
terlihat pada desain pedagogik bangsa. Pedagogik bangsa adalah suatu grand
design aplikasi pedagogik dalam konteks pem bangunan bangsa Indonesia
saat ini pada berbagai wilayah pendidikan. Sasaran pembangunan melalui
pendidikan ini adalah pendidikan di persekolahan, pendidikan di keluarga,
dan pendidikan di tempat kerja.

Pendidikan di persekolahan meliputi pedagogik di TK, SD, SMP, SM


A, SMK, dan perguruan tinggi. Pedagogik di keluarga meliputi pedagogik
pada keluarga di masyarakat perkotaan, masyarakat pinggiran kota,
masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat. Pedagogik di tempat kerja
meliputi pedagogik pada organisasi pemerintah, pedagogik pada organisasi
bisnis, dan pedagogik pada organisasi sosial nonpemerintahan. Gambaran
keseluruhan pedagogik bangsa ini dapat dilihat bagan berikut ini.

IX
Gambar ٦ Road map kegiatan penyusunan desain teori dan praktik pedagogik bangsa

—> Pedagogik di TK
f ١
M Pedagogik di‫| ؛‬
k
: i cn
cr
٢
٨
=‫؛‬ Pedagogik di SMP
٢
٨
“D
0
CL
0
, Pedagogik di SMA
٢٥
O
٢٥ /
\ Pedagogik di SMK
Pedagogik di PT

Pedagogik masyarakat

perkotaan
0
o Pedagogik masyarakat
CL

H
o_

٢٥ pinggiran kota
o
“0
0 Pedagogik masyarakat
QL
0
pedesaan
٢٥
O
٢٥ 7
T
V y Pedagogik masyarakat
adat
١ Pedagogik masyarakat

m organisasi pemerintah
9L
0
٢ Pedagogik masyarakat

٨
organisasi bisnis
٥.
٢٥
0
O
Pedagogik masyarakat
٢٥
7T organisasi sosial non
V y pemerintah
Memaknai
Pendidikan Karakter

A. Pentingnya Pendidikan Karakter


bagi Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya sejak
17 Agustus 1945 memiliki kondisi yang unik dilihat dari
perkembangannya sampai saat ini. Kurang lebih sudah 65 tahun Rakyat
Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara secara
merdeka yang diakui oleh negara-negara lain di dunia. Keunikan ini
tidak saja dilihat dari keberagaman komponen dan kekayaan yang
dimiliki bangsa ini, tetapi juga dilihat dari kondisi yang dialami bangsa
Indonesia saat ini. Komponen bangsa Indonesia terdiri dari beragam
konteks sosial dan budaya yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat
dikategorikan sangat melimpah disertai dengan letak kepulauan yang
berada di lintasan khatulistiwa, tanah yang subur, air yang melimpah,
udara yang segar, kekayaan sumber enegi dan mineral yang melimpah
di dalam tanah dan laut, semuanya memberikan keunikan terhadap
bangsa ini.

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Namun demikian, keunikan juga dapat kita lihat dari kondisi yang
ada, dirasakan, dan telah menjadi ciri khas bangsa ini. Seharusnya
dengan kondisi sosial budaya dan kekayaan alam yang melimpah,
rakyat Indonesia dapat merasakan kehidupan yang makmur dan
sejahtera dari waktu ke waktu. Kenyataan yang dialami oleh bangsa ini
menunjukkan kondisi yang berbeda dengan logika kekayaan sosial,
budaya dan alam. Kondisi yang dialami menunjukkan bahwa kekayaan
alam tereksploitasi besar-besaran, pembangunan industri terjadi terus-
menerus (walaupun kondisinya turun naik dari waktu ke waktu), dan
pergantian pemerintahan terus berlangsung dari waktu ke waktu secara
damai, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia belum mendapatkan dan
mengalami kehidupan yang makmur dan sejahtera.

Berbagai pengalaman ini menunjukkan bahwa bangsa ini


merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami
bangsa sampai saat ini. Banyak orang dan pihak bertanya-tanya, “apa
yang salah dengan bangsa ini?” dalam berbagai perspektif? sudut
pandang orang banyak jawaban yang menjadi hipotesis masing-masing
orang dan pihak.
Sejenak, mari kita melihat beberapa indikasi tentang "apa yang
salah dengan bangsa ini?”
1. Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini
ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja (generasi
muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar,
peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar, dan
sebagainya. Data hasil survey mengenai seks bebas di kalangan
remaja Indonesia menunjukkan 63% remaja Indonesia melakukan
seks bebas, (www.wahdah.or.id/ wis/index2.php?
option=com_content&do_pdf...). Menurut Direktur
Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri
Muadz, data itu merupakan hasil survai oleh sebuah lembaga
survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada
tahun 2008. Sedangkan remaja korban narkoba di Indonesia ada
1,1 juta orang atau 3,9% dari total jumlah korban (http://hizbut-
ta.hrir.or. id/2009/12/01/jabar-masih-darurat-hivaids-dan-seks-
bebas/.). Berdasarkan data Pusat Pengendalian
Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang
terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318

2 Memaknai Pendidikan Karakter


siswa dari total 1.64?.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26
siswa di antaranya meninggal dunia, (http://www.beritajaka.rta.
com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=32527&idwil=0).
Pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (Lulusan SMA,
SMK dan perguruan tinggi). Data Badan Pusat Statistik atau BPS
menyebutkan, lulusan SMK tertinggi yakni 17,26%,', disusul ^ a ^ S
M A ( ^ o l ^ Menengah Atas) 14,31%, lulusan universitas 12,59%,
serta Diploma LII/III 11,21%). Tamatan SD ke bawah justru paling
sedikit menganggur yakni 4,57 persen dan SMP 9,39%, SMA 9,43
jiwa (8,46%). (sumber: http://\Wi>w.tribunjabar.
co.id/read/artikeI/4317/tentangkami).
Rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila,
kejahatan, tindakan kriminal pada semua sektot' pembangunan,
dll). Korupsi semakin bertambah merajalela. Berdasarkan Indeks
Persepsi Korupsi (1PK) Indonesia tahun 2009 ini naik menjadi 2,8%
dari 2,6% pada tahun 2008. Dengan skor ini, peringkat Indonesia
terdongkrak cukup signifikan, yakni berada di urutan 111 dari 180
negara (naik 15 posisi dari tahun lalu) yang disurvai IPK-nya oleh
Transparancey International (Tl). (http://
www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=942).
Bencana yang sering/terus berulang dialami oleh bangsa Indonesia
(dapat diduga sebagai azab atau bodohnya bangsa ini dalam
memecahkan masalah lingkungan, seperti banjir, longsor,
kebakaran). Wilayah Indonesia dilanda 6.632 kali bencana selama
kurun waktu 13 tahun (1997-2009) yang menunjukan negara ini
sebagai daerah rawan bencana di dunia. Bencana paling banyak
terjadi pada tahun 2008 >ang mencapai 1.302 kali. (Ridwan Yunus:
programme Asociate Crisis Prevention and Rocovery Unit lembaga
PBB, UNDP yang juga Koordinator Pusat Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana), (http://
www.republika.co.id/berita/104656/indonesia-dilanda-6632-bencana-
selama-1997-2009).
Kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah, llal
ini sebagaimana dikemukakan oleh BPS (online: http://www.
targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id~734
&ltemid=5).

Memaknai Pendidikan Karakter


6. Daya kompetitif yang rendah, sehingga banyak produk dalam
negeri dan sumber daya manusia yang tergantikan oleh produk dan
sumber daya manusia dari negeri tetangga atau luar negeri.
7. Inefisiensi pembiayaan pendidikan. Inefisiensi biaya pendidikan ini
dapat diidentifikasi dari rendahnya dampak yang dihasilkan dari
biaya yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan baik mikro,
messo, maupun makro. Angka pengangguran yang terus bertambah
menunjukkan bahwa lulusan pendidikan persekolahan kita sampai
saat ini belum mampu menjawab perubahan zaman dan kompetisi
yang ketat dengan bangsa-banga lain. (Dikembangkan dari naskah
Pusat Pengkajian Pedagogik, 2010:
1-2 )

Fenomena nyata yang dialami dan terjadi pada bangsa ini


sebagaimana tergambar dalam data-data tersebut menunjukkan bahwa
“sungguh unik bangsa ini.” Pandangan tentang keunikan ini harus
mengarahkan pandangan dan pikiran kita untuk menelaah lebih jauh
mengenai apa penyebabnya, bagaimana memecahkannya, dan
bagaimana bangsa ini dibangun untuk masa depan yang lebih baik,
serta sukses di dunia dan bahagia di akhirat.
Pembentukan Negara Indonesia bukan suatu yang kebetulan, tetapi
berdasarkan pada cita-cita luhur bangsa Indonesia yang dapat kita lihat
secara nyata dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan yang
dideklarasikan pada 65 tahun ke belakang oleh Soekarno dan Mohamad
Hatta dan juga dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945.

B. Pengertian Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari
semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini.
Terlebih dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan
dilihat dari perilaku lulusan pendidikan formal saat ini, semisal korupsi,
perkembangan seks bebas pada kalangan remaja, narkoba, tawuran,
pembunuhan, perampokan oleh pelajar, dan pengangguran lulusan
sekolah menengah dan atas. Semuanya terasa lebih kuat ketika negara
ini dilanda krisis dan tidak kunjung beranjak dari krisis yang dialami.

4 Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Istilah pendidikan karakter masih jarang didefinisikan oleh banyak
kalangan. Kajian secara teoretis terhadap pendidikan karakter bahkan
salah-salah dapat menyebabkan salah tafsir tentang makna pendidikan
karakter. Beberapa masalah ketidaktepatan makna yang beredar di
masyarakat mengenai makna pendidikan karakter dapat diidentifikasi
di antaranya sebagai berikut.
1. Pendidikan karakter = mata pelajaran agama dan PKn, karena itu
menjadi tanggung jawab guru agama dan PKn.
2. Pendidikan karakter = mata pelajaran pendidikan budi pekerti.
3. Pendidikan karakter = pendidikan yang menjadi tanggung jawab
keluarga, bukan tanggung jawab sekolah.
4. Pendidikan karakter = adanya penambahan mata pelajaran baru
dalam KTSP.
5. Dan sebagainya.

Berbagai makna yang kurang tepat tentang pendidikan karakter


itu bermunculan dan menempati pemikiran banyak orang tua, guru,
dan masyarakat umum.
Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi (2004:95),
“sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif
kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry
Gaffar (2010:1): “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan
untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi
tersebut, ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi
nilai-nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi
satu dalam perilaku.
Dalam konteks kajian P3, kami mendefinisikan pendidikan
karakter dalam seting sekolah sebagai “Pembelajaran yang mengarah
pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang
didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.”
Definisi ini mengandung makna:
1) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi
dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran;

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter I 5


2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak
seeara utuh. Asumsinya anak merupakan organisme manusia yang
memiliki potensi untuk dikuatkan dan diambangkan;
3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang
dirujuk sekolah (lembaga).

C. Tujuan Pend‫؛‬dil<an Karakter


dalam $et‫؛‬n^ Sekolah
Sebelum mengkaji tentang tujuan pendidikan karakter dalam seting
sekolah, perlu kita renungkan sebuah pertanyaan berikut “Apakah
tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UUSPN No.
20 tahun 2003 bersesuaian dengan pendidikan karakter?”
Analasis vang telah dilakukan oleh Pusat Pengkajian Pedagogik
(2010:2-3) dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan tentang tujuan
pendidikan nasional.
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan
landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu
menyiapkan generasi masa depan untuk dapat bertahan hidup (survive)
dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No.20
tahun 2003 Bab 2 Pasal 3:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Aattg Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, ‫ا’ﺊﻳا>ﺊﻟ؛د‬, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa sehamsnya
memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus
berdampak pada watak manusia/bangsa Indonesia. Fungsi ini amat
berat untuk dipikul oleh pendidikan nasional, terutama apabila ،،‫؛‬
kaitkan dengan siapa yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan
hrngsi ini.

Memadai Pendidikan Karakter


“Mengembangkan kemampuan” dapat dipahami bahwa
pendidikan nasional menganut aliran konstruktivisme, yang
mempercayai bahwa peserta didik adalah manusia yang potensial dan
dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Artinya
setiap layanan pendidikan yang ada di Indonesia harus dipersepsi
secara sama bahwa peserta didik itu memiliki potensi yang luar biasa
dan perlu di fasilitasi melalui proses pendidikan untuk mengembangkan
potensinya. Namun demikian, kemampuan apa yang harus
dikembangkan oleh pendidikan itu masih belum tersirat secara jelas,
apakah kemampuan watak yang perlu dikembangkan dalam
pendidikan atau kemampuan akademik, kemampuan sosial,
kemampuan religi, ini pun belum secara jelas dapat dipahami dari
pernyataan UUSPN tersebut.
Dalam konteks pendidikan karakter, kami melihat bahwa
kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui
persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan
manusia sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada
konsep ketuhanan) dan mengemban amanah sebagai pemimpin di
dunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik
Indonesia adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang
menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri,
kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan
makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai
wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Fungsi kedua, “membentuk watak” mengandung makna bahwa
pendidikan nasional harus diarahkan pada pembentukan watak.
Pendidikan yang berorientasi pada watak peserta didik merupakan
suatu hal yang tepat, tetapi perlu diperjelas mengenai istilah perlakuan
terhadap "watak”. Apakah watak itu harus "dikembangkan”,
“dibentuk”, atau “difasilitasi”. Perspektif pedagogik, lebih memandang
bahwa pendidikan itu mengembangkan/menguatkan/memfasilitasi
watak, bukan membentuk watak. Jika watak dibentuk, maka tidak ada
proses pedagogik/pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran.
Perspektif pedagogik memandang dan mensyaratkan untuk terjadinya
proses pendidikan harus ada kebebasan peserta didik sebagai subjek
didik, bukan sebagai objek. Jika peserta didik diposisikan sebagai
objek, maka hal ini tentu bertolak belakang dengan fungsi yang
pertama, bahwa pendidikan itu berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan yang dilandasi oleh pandangan konstruktivisme.

Memaknai Pendidikan Karakter 7


Fungsi ketiga “peradaban bangsa”. Dalam spektrum pendidikan
nasional dapat dipahami bahwa pendidikan itu selalu dikaitkan dengan
pembangunan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa. Apabila
dikaitkan dengan indikator peradaban seperti apa yang dapat
merepresentasikan pendidikan nasional dan siapa yang
bertanggungjawab untuk fungsi ini maka kondisi ini menjadi samar
atau tidak. Dalam persfektif pedagogik, pendidikan itu berfungsi untuk
menjadikan manusia yang terdidik. Apakah manusia terdidik akan
menjadikan bangsanya terdidik? Menjawab hal itu, maka ada sejumlah
kondisi lain untuk dapat menjadikan bangsa yang beradab, seperti
sistem kenegaraan, situasi dan kondisi negara, dan situasi serta kondisi
global. Jadi tidak serta merta (otomatis) manusia yang terdidik akan
menjadikan bangsa yang beradab. Analisis ini merujuk pada waktu
terwujudnya sejak dimilikinya manusia terdidik sampai terwujudnya
bangsa yang terdidik itu akan memerlukan waktu yang cukup panjang.
Dengan kata lain, bangsa yang beradab merupakan dampak dari
pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik.
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas
mengandung filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman
sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau
dilengkapi. Sebab filosofi pendidikan educare lebih cenderung mau
mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan
keterampilan. Karena itu, filosofi pendidikan educare amat memberi
penekanan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian yang baku
dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses pendidikan tahap tertentu
dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya pemberian materi. Lalu
bagaimana dengan karakter yang harus muncul dan menjadi pribadi anak?
Apakah hal ini juga dievaluasi menjadi syarat kelulusan pada jenjang
tertentu? Bukankah tujuan pendidikan lebih menekankan pada karakter
bukan simplikasinya (penyederhaan) dalam bentuk skor yang tidak
mencerminkan atau bertolak belakang dengan perilaku nyata peserta
didik/lulusan.
Singkat kata, bahwasanya tujuan pendidikan nasional mengarah
pada pengembangan berbagai karakter manusia Indonesia, walaupun
dalam penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksudkan
dalam UU. Secara singkat, pendidikan nasional seharusnya pendidikan
karakter bukan pendidikan akademik semata. Akan hal ini, Sunaryo
Kartadinata (2010:3) menegaskan:

Memaknai Pendidikan Karakter


Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian,
seperti halnya ujian nasional, adalah sebuah kemunduran, karena
dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai
keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini
menempatkan peserta didik sebagai pelajar imitatif dan belajar dari
ekspose-ekspose didaktis yang akan berhenti pada penguasaan fakta,
prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi
pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas.
Lalu apa tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah?
Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai
berikut:
1. menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang
dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian?
kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang
dikembangkan;
2. mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan
nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah;
3. membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan
masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan
karakter secara bersama.

Tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi


penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud
dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses
sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan dan pengembangan
memiliki makna bahwa pendidikan dalam seting sekolah bukanlah
sekedar suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah
proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi
bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam
perilaku keseharian manusia, termasuk bagi anak. Penguatan juga
mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasan yang disertai
oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses
pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam seting kelas
maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan
antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan
pembiasaan di rumah.
Berdasakan kerangka hasil/output pendidikan karakter seting
sekolah pada setiap jenjang, maka lulusan sekolah akan memiliki

Memaknai Pendidikan Karakter


sejumlah perilaku khas sebagaimana nilai yang dijadikan rujukan oleh
sekolah tersebut. Lalu bagaimana dengan prestasi akademik peserta
didik? Apakah prestasi akademik mereka juga menjadi tujuan yang
harus dicapai oleh anak atau tidak?
Asumsi yang terkandung dalam tujuan pendidikan karakter yang
pertama ini adalah bahwa penguasaan akademik diposisikan sebagai
media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan
pengembangan karakter. Atau dengan kata lain sebagai tujuan
perantara untuk terwujudnya suatu karakter. Hal ini berimplikasi
bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara kontekstual.
Tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengkoreksi perilaku
peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa
pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai
perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang
dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang
pedagogis, bukan suatu pemaksaan atau pengkondisian yang tidak
mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku negatif
diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan
keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan
berdasarkan tingkat dan jenjang sekolahnya. Apabila digambarkan
sebagai berikut:

Perilaku negativ/ Perilaku positif/


Mengarah negatif (-) Mengarah positif (+)
٠ ٠ ٢
Koreksi Pola pikir/mindset/ Penguatan Pola pikir/mindset/ T
\ paradigma paradigrrla /
\٠ Keteladanan dari lingkungan ٠ Keteladanan dari lingkungan /
٠ Pembiasaan di kelas, sekolah, ٠ Pembiasaan di kelas, sekolah
dan

Gambar 1.1. Proses koreksi pada perilaku negatif

Tujuan ketiga dalam pendidikan karakter seting sekolah adalah


membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat
dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara
bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan

Memaknai Pendidikan Karakter


karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di
keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu
pada interkasi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah,
maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan sangat sulit
diwujudkan. Mengapa demikian? Karena penguatan perilaku
merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan
dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak. Dalam setiap menit dan
detik interaksi anak dengan lingkungannya dapat dipastikan akan
terjadi proses mempengaruhi perilaku anak. Pertanyaannya apakah
proses yang dialami oleh anak ini menguatkan atau bahkan
melemahkan karakter yang dibangun oleh sekolah?

D. Karakter yang Diperlukan Bangsa


Indonesia
Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku anak itulah yang disebut karakter.
Jadi suatu karakter melekat dengan nilai dari perilaku tersebut.
Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Hanya
barangkali sejauhmana kita memahami nilai-nilai yang terkandung di
dalam perilaku seorang anak atau sekelompok anak memungldnkan
berada dalam kondisi tidak jelas. Dalam arti bahwa apa nilai dari suatu
perilaku amat sulit dipahami oleh orang lain daripada oleh dirinya
sendiri. Dalam kehidupan manusia, begitu banyak nilai yang ada di
dunia ini, sejak dahulu sampai saat ini. Beberapa nilai dapat kita
identifikasi sebagai nilai yang penting bagi kehidupan anak baik saat ini
maupun di masa yang akan datang, baik untuk dirinya maupun untuk
kebaikan lingkungan hidup di mana anak hidup saat ini dan di masa
yang akan datang.
Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang
mencerminkan akhlak/perilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi
Muhamad Saw, yaitu: (1) sidik, (2) amanah, (3) fatonah, (4) tablig.
Tentu dipahami bahwa empat nilai ini merupakan esensi, bukan
seluruhnya. Karena Nabi Muhamad Saw. juga terkenal dengan
karakter kesabarannya, ketangguhannya, dan berbagai karakter lain.
Sidik yang berarti benar, mencerminkan bahwa Rasulullah
berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar,

Memaknai Pendidikan Karakter


dan berjuang untuk menengakkan kebenaran. Amanah yang berarti
jujur atau terpercaya, mencerminkan bahwa apa yang dikatakan dan
apa yang dilakukan Rasulullah dapat dipercaya oleh siapa pun, baik
oleh kaum muslimin maupun nonmuslim. Fatonah yang berarti
cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan profesional. Artinya,
perilaku Rasullah dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya dalam
memecahkan masalah. Tablig yang bermakna komunikatif
mencerminkan bahwa siapa pun yang menjadi lawan bicara
Rasullullah, maka orang tersebut akan mudah memahami apa yang
dibicarakan/dimaksudkan oleh Rasulullah.
Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku/karakter dari berbagai
pihak. Di bawah ini berbagai nilai yang dapat kita identifikasi sebagai
nilai-nilai yang ada di kehidupan saat ini.

Tabel 1.1. Nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupan manusia

Nilai yang terkait Nilai yang terkait dengan Nilai yang terkait
dengan diri sendiri orang/makhluk lain dengan ketuhanan
Jujur Senang membantu Ikhlas

Kerja keras Toleransi Ikhsan


Tegas Murah senyum Iman
Sabar Pemurah Takwa
Ulet Kooperatif/mampu Dan sebagainya
bekerjasama
Ceria Komunikatif
Teguh Amar maruf (menyeru kebaikan)
Terbuka Nahi munkar
(mencegah kemunkaran)
Visioner Peduli (manusia, alam)
Mandiri Adil
Tegar Dan sebagainya
Pemberani
Reflektif
Tanggung jawab
Disiplin
Dan sebagainya

12 I Memaknai Pendidikan Karakter


Tabel 1.2. Nilai yang dikembangkan oleh Arry Ginanjar dalam 7 budi utama

No Tujuh budi (nilai) yang diusung

1. Jujur
2. Tanggung jawab
3. Visioner
4. Disiplin
5. Kerja sama
6. Adil
7. Peduli

Apa yang dirumuskan oleh Ary Ginanjar Agustian di atas


merupakan hasil refleksi terhadap peijalanan bangsa ini dari waktu ke
waktu. Secara umum, kondisi bangsa yang dirasakan saat ini berbeda
dengan apa yang menjadi karakteristik bangsa. Ary Ginanjar (2008: iv-
v) mengemukakan:
Kini yang utama bukanlah "budi”. Karena itu bangsa Indonesia
mengalami krisis yang luar biasa karena yang utama pada bangsa ini
adalah “kekuasaan”, “harta”, dan "jabatan”. Sementara itu budi,
moral, etika, akhlak, tidak lagi dinomorsatukan.
Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman (2005 :xvii) dalam
bukunya yang berjudul Karakteristik Lelaki Shalih mengemukakan
sejumlah karakter lelaki salih yang secara garis besar digambarkan
sebagai lelaki yang bersih jiwanya, lurus akidahnya, dan benar
amalnya. Karakter lelaki saleh menurut beliau yaitu:

Tabel 1.3 Karakter lelaki salih menurut Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman

No Sifat dan Karakter

1. Ikhlas dalam beramal


2. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
3. Program hidupnya Jihad fi Sabilillah
4. Sangat rindu syahid fi sabilillah
5. Sabar menghadapi ujian Allah
6. Negeri akhirat tujuan utamanya

Memaknai Pendidikan Karakter I I3


7. Sangat takut kepada Allah dan ancaman-Nya ‫؛‬
8. Bertobat dan mohon ampun atas dosa-dosanya
9. Shalat malam menjadi kebiasaannya
10. Zuhud dunia dan mengutamakan akhirat ‫؛‬
11. Tawakal kepada Allah
12. Senantiasa gemar berinfak
13. Kasih sayang sesama mukmin dan keras terhadap orang kafir
14. Senantiasa berdakwah dan amar ma'ruf nahi munkar
Kuat memegang amanah, janji, dan rahasia i
16. Bersikap santun menghadapi kebodohan manusia
17. ‫ ؛‬Cinta kasih dan penuh pengertian terhadap keluarga

Tabel 1.4 Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan menurut Indonesia Heritage
Foundation (IHF)

No Karakter

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence,


loyalty)
Kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self
2 reliance, discipline, orderliness)

3. Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)


4. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience)
5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong (love, compassion,
caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras (confidence, assertiveness,
6 creativity, resourcarefulness, courage, determination and enthusiasm)

7. Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)


8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
Toleransi dan kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility,
9 peacefulness, unity)
Sumber: Ratna Megawangi, 2004:95

Untuk kepentingan pendidikan karakter dalam seting sekolah,


sekolah perlu mengembangkan sejumlah nilai yang dianggap penting
untuk dimiliki setiap lulusannya. Dalam perspektif Lickona (1991:43),
nilai yang dianggap penting untuk dikembangkan menjadi karakter ada
dua, yaitu respect (hormat) dan responsibility (tanggung

14 I Memaknai Pendidikan Karakter


jawab). Lickona menganggap penting 1<‫أ‬، ‫ ﺀأااا ال <اإﺎﻗ‬tersebut ١ ) ‫>اااآا ال ا‬:)
pembangunan kesehatan pribadi seseurang, (2) menjaga hubungan
interpersonal, (3) sebuah masyarakat yang manusiawi dan demokratis, dan
(4) dunia yang lebih adil dan damai.

Nilai yang manakah yang perlu t ‫؛‬ntuk kondisi bangsa ‫«آا 'ﻢﺑﺈﺗا‬:)‫ ااآأا‬saat
ini? Untuk menjawab pertanyaan ini setiap orang dan setiap pihak akan
memiliki alasan I^sing-m asing untuk memilih nilai yang dianggap penting
untuk pembangunan Indonesia. Untuk memudahkan kita memilih nilai yang
mana yang perlu dikembangkan oleh bangsa saat ini dan ke depan, maka
perlu untuk dikaji mengenai kondisi dan pemiasalahan krusial yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam mewujudkan nicisyarakat vang cerdas, adil dan
makmur sebagaimana dicita-citakan oleh pendiri negara Indonesia.

Kondisi bangsa Indonesia dikatego.'ikan dalam kondisi ‫ أآ ’[لة؛ة‬, bahkan


bukan satu krisis, tetapi krisis multidimensi. Istilah krisis semakin terkenal
dalam benak bangsa ini sejak tahun 1997/1998, dimana pada saat itu terjadi
resesi ekonomi yang cukup berat, tidak saja di Indonesia, tetapi juga melanda
Asia. Sejak krisis taliun 1997, krisis yang dirasakan oleh bangsa ini semakin
terasa

penurunan nilai rupiah terhadap mata uang dolar, penutupan berbagai


industri, korupsi, dan berbagai lenomena terasa begitu menyakitkan liati
rakyat.
Dalam petjalanannya, krisis ekonomi vang semakin terasa sejak tahun
1997 tidak berhenti pada tahnn tersebut, tetapi masih terasa sampai saat ini
(tahun 201 ‫ هأ‬. Bahkan pada sebagian sisi kehidupan, krisis ini menjadi
semakin parah, seperti praktik korupsi yang

.sampai tingkat paling rendah. Kenyataan lain adalah perilaku seks bebas di
bilangan generasi muda semakin tidak terbendung oleh nasihat dan didikan
para orang tna di n ‫؛‬nial'i masing-masing. Peredaran narkoba vang semakin
menggurita di kalangan generasi muda terus rneroket dari tahun ke taliun.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, peredarannya sudah menjalar di
kalangan pelajar. Banyak lagi kondisi vang semakin paral'1. Semuanya '

bahwa krisis '.,ang dialami bangsa Indonesia bukan krisis biasa tetapi krisis
‫ ا'ﻮﻘﻠﺟ‬Simpleks. Krisis yang melibatkan semua sisi kehidupan ‫؛‬sosial, budaya,
ekonomi, politik, agama, pertahanan, dan keamanan) bangsa.

Memaknai Pendidikan Karakter


Dalam kajian Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan
Indonesia (P3 UPI) nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa
saat ini adalah sebagai berikut.

I. Jujur
Makna jujur. Jujur m erupakan sebuah karakter yang kami
anggap dapat membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Jujur dalam kamus Bahasa Indonesia dimaknai
dengan lurus hati; tidak curang. Dalam pandangan umum, kata jujur sering
dimaknai “adanya kesamaan antara realitas (kenyataan) dengan ucapan”,
dengan kata lain "apa adanya”.
Jujur sebagai sebuah nilai m erupakan keputusan seseorang
untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan/atau
perbuatan) bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara
berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan dirinya. Kata jujur
identik dengan “benar” yang lawan katanya adalah “bohong”. Makna jujur
lebih jauh dikorelasikan dengan kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan
memiliki makna kepentingan orang banyak, bukan kepentingan diri sendiri
atau kelompoknya, tetapi semua orang yang terlibat.

Dalam konteks pembangunan karakter di sekolah, kejujuran menjadi


amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia saat ini. Karakter
ini dapat dilihat secara langsung dalam kehidupan
di kelas, semisal ketika anak m elaksanakan ujian. Perbuatan meneontek
merupakan perbuatan yang menceiminkan anak tidak berbuat jujur kepada
diri, teman, orang tua, dan gurunya. Dengan meneontek. anak menipu diri,
lemari, orang tua, dan gurunva. Apa vang ditipu oleh anak. Anak
memanipulasi nilai vang didapatkannya seolah-olah merupakan kondisi vang
sebenarnya dan kemampuan anak, padahal nilai vang didapatnya bukan
merupakan kondisi vang sebenarnya.

K ejujuran dalam penyelenggaraan sekolah saat ini dapat


kita identifikasi ketika sekolah menghadapi Ujian Nasional (UN). Banyak
dugaan bahwa pelaksanaan UN banyak dimanipulasi oleh penyelenggara
sekolah itu sendiri, bahkan beberapa kepala sekolah dan guru mengakui akan
hal ini. Jika anak mempersepsi proses ketidakjujuran dalam UN ini sebagai
hal yang biasa, maka telah

Memaknai Pendidikan Karakter


terbentuk dalam diri anak karakter toleran terhadap kebohongan,
bahkan menganggap “harus berbohong”. Tentu saja hal ini sangat
berbahaya untuk penguatan karakter anak.

Ciri-ciri orang jujur.


Orang yang memiliki karakter jujur dicirikan oleh perilaku
berikut:
a. jika bertekad (inisiasi keputusan) untuk melakukan sesuatu,
tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan;
b. jika berkata tidak berbohong (benar apa adanya);
c. jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa
yang dilakukannya.
Seseorang yang memiliki karakter jujur akan diminati orang lain,
baik dalam konteks persahabatan, bisnis, rekan/mitra kerja, dan
sebagainya. Karakter ini merupakan salah satu karakter pokok untuk
menjadikan seseorang cinta kebenaran, apapun resiko yang akan
diterima dirinya dengan kebenaran yang ia lakukan.

2. Kerja keras
Makna kerja keras. Kerja keras adalah suatu istilah yang melingkupi
suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam
menyelesaikan pekerjaan/yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Kerja
keras bukan berarti bekerja sampai tuntas lalu berhenti, istilah yang
kami maksud adalah mengarah pada visi besar yang harus dicapai
untuk kebaikan/kemaslahatan manusia (umat) dan lingkungannya.
Mengingat arah dari istilah kerja keras, maka upaya untuk
memaslahatkan manusia dan lingkungannya merupakan upaya yang
tidak ada hentinya sampai kiamat tiba.
Dalam skala mikro, kerja keras terjadi untuk kemaslahatan diri,
keluarga, RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan, kab./kota, provinsi,
bangsa/negara, atau dunia dan akhirat. Melihat skalanya, kerja keras
memiliki kondisi yang variatif. Pada sebagian orang kerja keras
dilakukan dengan menghabiskan waktu untuk membuat ide baru dan
menyisakan waktu hanya 2 jam untuk tidur. Pada sebagian orang, kerja
keras dilakukan dengan menghabiskan uang yang dimiliki untuk
membangun suatu sekolah (fisik, layanan maupun manajerial). Pada
sebagian orang kerja keras dilakukan dengan cara pergi pagi pulang
sore untuk mencari nafkah menghidupi

Memaknai Pendidikan Karakter I 17


keluarganya, dan sebagainya. Kondisi variatif ini memiliki satu esensi
yang sama, yaitu bagaimana memberikan kebaikan/kemaslahatan
kepada manusia dan lingkungannya. Artinya tidak dikategorikan
sebagai kerja keras orang yang menghabiskan waktunya untuk
mengedarkan narkoba atau membuat ide untuk merampok bank.
Karena keduanya dilakukan bukan untuk memberikan kebaikan
kepada manusia.
Barangkali perlu untuk menjadi catatan bagi kita semua bahwa
kerja keras amat penting bagi pembangunan bangsa ini melalui
pendidikan di sekolah karena kronisnya masalah yang dihadapi bangsa.
Bekerja yang seadanya atau sebatas jam kerja akan menghasilkan
perubahan yang seadanya. Padahal pembahan dalam konteks
pembahan bangsa ini akan sangat menuntut banyak pengorbanan.
Pengorbanan inilah yang kemudian perlu untuk dikelola menjadi kerja
keras. Tidak semua pengorbanan tepat mewakili kerja keras. Seperti
halnya seorang pekerja kesehatan di puskesmas memberikan layanan
kesehatan seharian, dengan mengorbankan/ mengabaikan
kewajibannya untuk mendidik keluarganya. Karena itu, kerja keras
selalu dikaitkan dengan nilai kebaikan. Itulah yang diperlukan oleh
bangsa ini.
Saat ini begitu banyak pemuda yang mempakan penduduk
produktif lebih memilih bekerja ringan walaupun tidak halal dari pada
bekerja keras yang halal. Tengoklah berapa banyak pemuda yang
pekerjaannya meminta-minta di terminal atau di perempatan jalan,
padahal bersamaan dengan keberadaan mereka, para kakek dan nenek
masih terus bekerja keras, semisal dengan berjualan keliling.

Hanya mencari nafkah dengan mengamen Seorang kakek bekerja keras berjualan
Sumber; http://www .mediaindonesia.com/
read/2010/06/01 /146358/37/5/Polda*Metro-dan-
‫؛‬
Sumber: http://okefar d.wordpress.
com/2009/09/02/penjual-pisang-dan-ironi-bank-
Pemprov-DKI-Tertibkan-Gepeng-Pemalak
century/

Gambar 1.2 Ilustrasi ketimpangan moral bangsa

Memaknai Pendidikan Karakter


Mafia pajak merugikan negara triliunan Seseorang bekerja keras menjual jasa sol
rupiah per tahun Sumber: http://hm inews. sepatu
com/news/mafia Sumber: http://aiim oet.net/category/iife/

Gambar 1.3 Ilustrasi rusaknya moral generasi bangsa

Gambar-gambar mengilustrasikan perilaku masyarakat kita saat


ini banyak yang tidak mau bekeija keras, dengan taat aturan dan norma
untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka banyak memilih untuk
melakukan hal yang mudah dan mendapat untung banyak sehingga
korupsi, pemalakan, perampokan menjadi hal-hal yang lumrah terjadi
dan semakin menggejala di semua lapisan. “Kondisi ini sangat
menghawatirkan...!” Bukan saja terlihat secara kasat mata, tetapi
lemahnya kerja keras juga banyak dilakukan oleh banyak orang yang
dikategorikan masyarakat berkedudukan mulia seperti guru, dokter,
polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya. Dosen dan guru yang memberikan
layanan tanpa desain pembelajaran mencerminkan rendahnya kerja
keras bagi yang bersangkutan. Menghindarnya polisi dari keadaan
jalanan yang macet di tengah hari yang terik juga menunjukkan
rendahnya kerja keras. Tidak mempelajari kasus secara seksama yang
dilakukan oleh hakim dan jaksa pada kasus rakyat miskin juga
menunjukkan mereka tidak mau bekerja keras. Dan bahkan kondisi ini
merasuk kepada perilaku banyak orang. “Sungguh menghawatirkan
masa depan bangsa yang kita cintai ini....”

Karakteristik kerja keras yang dimaksud dalam buku ini adalah


perilaku seseorang yang dicirikan oleh kecenderungan berikut:
a. Merasa risau jika pekerjaannya belum terselesaikan sampai tuntas;

Memaknai Pendidikan Karakter I 19


b. mengecek/memeriksa terhadap apa yang harus dilakukan/apa yang
menjadi tanggungjawabnya dalam suatu jabatan/posisi;
c. mampu mengelola waktu yang dimilikinya;
d. Mampu mengorganisasi sumber daya yang ada untuk
menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.

3. Ikhlas
Ikhlas dalam bahasa Arab memiliki arti “mumi”, “suci”, “tidak
bercampur”, “bebas” atau “pengabdian yang tulus”. Dalam kamus
bahasa Indonesia, ikhlas memiliki arti tulus hati; (dengan) hati yg bersih
dan jujur). Sedangkan ikhlas menurut Islam adalah setiap kegiatan
yang kita kerjakan semata-mata hanya karena mengharapkan ridha
Allah SWT.
Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat
dari definisi-definisi mereka adalah sama. Ada yang mendefenisikan
ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan
wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada
yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari
komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan
tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan
manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka
tentang perbuatanmu itu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas
adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak
dengan yang ada di batin”. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas
adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang
kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang
memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah,
yaitu seakan-akan engkau melihat Allah, (sumber:
http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-ikhlas-dan-
bahaya-riya-.html).
Ciri-ciri orang ikhlas: (1). Terjaga dari segala sesuatu yang
diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang bersama dengan manusia
atau sendiri. (2) Senantiasa beramal di jalan Allah SWT baik dalam
keadaan sendiri atau bersama orang lain, baik ada pujian ataupun
celaan. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan

20 Memaknai Pendidikan Karakter


semakin berkurang jika dicela. (3) Selalu menerima apa adanya yang
diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT. (4) Mudah memaalkan kesalahan orang lain,
(sumber: http://sites.google.com/site/otoehkasela/ikhlas-menumt-isla).
Nilai ikhlas perlu untuk dikuatkan pada lulusan-lulusan sekolah
(SD-SMA/K) supaya anak dapat berkontribusi untuk kemaslahatan
kehidupan anak dan dunia dimana anak berada, serta akhirat yang
akan ditempuhnya/dijalaninya. Ketika anak melakukan sesuatu dengan
ikhlas, maka perilaku yang dilakukan akan memiliki karakteristik
mutu. Mengapa demikian? Dengan “ikhlas” anak akan melakukan
segala sesuatu secara bermutu. Orientasi kerja atau apa yang dilakukan
bukan untuk mendapatkan penghargaan dari teman-teman atau
lingkungannya, tetapi untuk mendapatkan keridaan dari Tuhannya.
Tuhan menjadi orientasi hidupnya. Karena orientasi inilah maka sikap
dan tindakan yang dilakukan oleh anak akan memiliki karakteristik
kesugguhan/kebermutuan.
Perilaku yang mencerminkan ikhlas memiliki sejumlah karakter,
vaitu:
a. Konsistensi yang kuat dari waktu ke waktu dan daii satu kondisi ke
kondisi lainnya. Konsistensi sebagai ciri ikhlasnya seseorang bukan dari
cara pemecahan masalah yang dihadapi, tetapi perilaku seseorang yang
memihak kepada yang benar tidak berubah dan terus melakukan apapun
yang dihadapi yang bersangkutan sebagai konsekuensi dari tindakan
yang dilakukannya.

b. Pengharapan dan kepuasan bagi pelaku adalah keridaan dari Tuhannya,


bukan dari siapa pun. Hal ini sangat berguna untuk evaluasi diri kita
dalam mengidentifikasi perilaku yang kita lakukan, apakah karena Allah
atau karena makhluknya.
c. ،Memiliki karakteristik keberm utuan yang lebih baik dari waktu ke
waktu. Artinya, perilaku yang diperbuat oleh yang bersangkutan selalu
diperbaiki dari waktu ke waktu. Dengan demikian jika perilaku
seseorang tidak ada perbaikan seiring dengan bertambahnya waktu,
maka perilaku tersebut kemungkinan besar bukan didasari oleh
keikhlasan atau mengharap Rihda Allah Swt.

Memaknai Pendidikan Karakter 21


E. A n a lis is Persamaan dan Perbedaan
Karakter, Akhlak; dan Morai
Analisis bahasa ‫ ﺎﺳﺎﺳ‬. Judul bagian ini melibatkan sejumlah istilah yang
dapat membuat pembaca bingung: Karakter, Budi Pekerti, Akhlak,
Afeksi, dan Moral. Apakah istilah-istilah ini memiliki penamaan atar]
perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya sekaligus juga
ada perbedaannya? Istilah-istilah ini akan kita kaji dari segi bahasa
harian dengan merujuk pada kamus umum. Setelah pengkajian bahasa
harian ini, kita akan coba meyelami substansi dari masing-masing
istilah tereebut.
“Budi pekerti” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 1.50)
diletakkan dalam masukan "budi”, artinya: (!) alat batin yang
merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan
buruk; (2) tabiat, akhlak, watak; (3) perbuatan baik, kebaikan; (4) daya
upaya, ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya).
Dan budi pekerti diartikannya sebagai tingkah laku, perangai, akhlak,
watak. Dalam kamus umum ‫ ﻂﻟ‬kita menemukan bahwa budi pekerti
sama dengan akhlak, watak, tabiat, perbuatan baik, kebaikan.
Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata “susila”. Perlu dicatat di
sini bahwa arti pada nomor (5) jarang digunakan orang dewasa: tidak
pernah orang yang berbudi pekerti dikaitkan dengan kelak] ،an cerdik
menipu.
“Moral”, masih dari kamus yang sama (1996: 665), didefinisikan
sebagai: (I) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang
membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan
sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Definisi moral ini menyatakan bah^'a moral adalah ajaran tentang
moral. Definisinya pada nomor (2) menurut penulis menyatakan sebuah
kondisi mental yang sudah menyerap suatu ajaran moral.

Ringkasnya, berbagai pengertian di atas dapat kita petakan dalam


formulasi berikut ‫ﻂﻟ‬.

22 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


Orang yang
berakhlak,
bermoral,
bersusila, bertabiat,
berwatak,
berkarakter,
berafeksi, atau
berbudi pekertii

Gambar 1.4. Peta istilah moral

Kata “karakter” belum muncul dalam paparan di atas. Karakter


adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character. Encarta
Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2008.) menyatakan (terjemahan
penulis) bahwa "karakter” adalah kata benda yang memiliki arti: (1)
kualitas-kualitas pembeda; (2) kualitas-kualitas positif; (3) reputasi;
(4) seseorang dalam buku atau film; (5) orang yang luar biasa;
(6) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau
tampilan; (7) huruf atau simbol; dan (8) unit data komputer. Arti pada
nomor (7) dan (8) ini tidak relevan dengan kajian pendidikan karakter.
Di samping itu terdapat kata karakteristik (characteristic) yang masih
juga kata benda yang artinya: fitur (ciri) pembatas (defining feature),
sebuah fitur atau kualitas yang membuat seseorang atau suatu hal dapat
dikenali. Kata sifat untuk karakter adalah "khas" (typical), artinya
pembeda atau mewakili seseorang atau hal tertentu. Tentang
"karakter” dan "karakteristik" ini dapat disimpulkan melalui kalimat
berikut: “Ia memiliki karakter herois” dan “Karakteristiknya yang
herois telah membuatnya memiliki nasib yang menyedihkan tersebut.”

Karakter, berdasarkan kajian kamus umum di atas, merujuk pada


beberapa hal berikut. Pertama, karakter dikenakan pada orang atau
bukan orang. Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini terutama
berkenaan dengan orang. Kedua, ia berkenaan dengan kualitas (bukan
kuantitas) dan reputasi orang. Ketiga, ia berkenaan dengan daya
pembeda atau pembatas, membedakan atau membatasi yang satu dari
yang lainnya, membedakan orang/masyarakat yang satu dengan
orang/masyarakat yang lainnya. Keempat, karakter dapat merujuk
pada kualitas negatif atau positif: orang dengan karakter mulia atau
orang berkarakter flamboyan. Keempat hal tentang

Memaknai Pendidikan Karakter


karakter dari kamus um um tersebut relevan dengan kajian ‫ ا>؛ﺎﻫ‬tentang
karakter dalam pendidikan karakter. Simpulannya, bahwa karakter adalah
sebuah kata yang merujuk pada kualitas orang dengan karakteristik ‫اا 'ا '؛ا 'الااا‬.

Demikianlah, ،‫أ'ا 'ال<ئآ)ئا‬semua kata tersebut: 1<‫'ئاآقاا>ﺎﻇا‬, budi pekerti,


akhlak, moral, afeksi, susiia, talriat, watak memilild arti yang sama. Dan
dalam tulisan ini kata yang sering muncul yaitu karakter, akhlak, moral,
afeksi/afektif, karena kata-kata tersebut dewasa ini sering muneul dalam
percakapan harian tentang pendidikan karakter.
Analisis pedagogis. Ada sebuah definisi dari kam us um um tereebut
yang belum kita soroti, yaitu definisi pada nomor (6), yaitu individu dalam
kaitannya dengan kepribadian, tingkah ‫آاا‬1 ‫ اأا‬, atau tampilan. Definisi ini
mulai memasuki wilayah ‫ااا ؛ا‬،‫ إلااﺎﺗ الا؛‬wacana kita. Menurut penulis, karakter
berada dalam sekurang-kurangnya wilayah disiplin-disiplin: psikologi, etika
(cabang filsafat umum), antropologi budaya, dan pedagogika. Siudi
psikologi tentang karakter dan pendidikan karakter sudah sangat maju. Studi
psikologi ini bersifat empiris-analitis. Studi filsafat (etika) bukan tertuju pada
karakter, tetapi pada isi karakter atau ajaran ^r^terim oral/etika/
akhlak/susila. s‫؛‬ud! etika bersifat rasional, radikal, kritis sebagaimana halnya
studi Hlsafat. Studi antropologi budaya ‫؛ال‬، ‫ اا'ااا‬pada isi karakter atau ajaran
karakter/moral/etik/akhlak/susila dalam bentuknya yang empiris, yang
dihidupi dalam kehidupan harian kelompok-kelompok sosial. Studi
pedagogika melibatkan semua studi tereebut dengan tujuan membantu
individu atau kelompok agar mengalami perkembangan
karakter/moral/akhlak/susila/watak/tabiat.

Hurlock (1974: 8) dalam bukunya, Personality Development, secara


tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian.
Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan melibatkan sebuah
pertimbangan nilai. Karakter berkaitan dengan tingkah ‫ اال>ال‬yang diatur oleh
upaya dan keinginan. Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah
sebuah pola kebiasaan perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang,
membuatnya menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang diterima
secara sosial. Definisi karakter dari Hurlock, untuk sementara ini, bersifat
cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih jauh apa itu
karakter dan implikasi-implikasinya.

24 I Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Ajaran Moral. Ajaran moral atau moralitas dipelajari oleh filsafat
moral atau etika. Urusan utama etika adalah studi tentang kebaikan/
hal yang baik/hal yang bemilai/moralitas/nilai dan studi tentang
tindakan yang baik (Audi, 1999: 284). Pada kesempatan ini, akan dikaji
secara ringkas studi tentang kebaikan/nilai, dan studi tentang tindakan
yang baik tidak akan dikaji di sini.
Studi tentang nilai. Studi tentang nilai/kebaikan tertuju untuk
menjawab: (1) apa komponen-komponen esensial untuk kehidupan
vang baik, dan (2) apa jenis-jenis vang baik pada dirinya sendiri. Yang
pertama, menghasilkan teori-teori eudaimonia!human well
/;،A ?y/kesejahteraan manusia (kebahagiaan//z،zppz>?ess dan
bertumbuh subur/flourishing). Perasaan senang/bahagia adalah
komponen esensial kehidupan, dan karena itu hams menjadi tujuan
kehidupan, dianut oleh hedonisme, tokoh klasiknya Epicurus. Epicurus
mengajarkan bahwa berbuat baik pengerahan daya intelektual
seseorang dan kebajikan-kebajikan moral dengan cara-cara teladan dan
berguna, misalnya sarana yang terbukti baik dan benar untuk
mengalami kesenangan yang paling memuaskan dari kehidupan.
Hedonisme ini terbagi dua, hedonisme egoistik yang tertuju pada
kesenangan pribadi, dan hedonisme universal yang tertuju pada
kesenangan bersama atau semua orang. Sejak modernisasi diluncurkan
oleh peradaban Barat, hedonisme egoistik ini menjadi dominan dan
merusak banyak nilai-nilai kehidupan Timur yang luhur. Hedonisme
abad modem ini berbeda dari ajaran Epicurus.
Bukan perasaan senang sebagai komponen esensial kehidupan yang
baik, tetapi adalah perbuatan baik; perbuatan baik membuat kita
senang/bahagia, ini dianut oleh perfeksionisme. Tokohnya antara lain:
Plato, Aristoteles, kaum Stoik, Nietcsche, dan Muhammad Iqbal.

esensial

Gambar 1.5. Teori komponen esensial


Teori komponen esensial ini bertumpu pada asumsi (anggapan
dasar yang menjadi titik tolak) bahwa manusia secara alami mencari
kehidupan yang baik. Teori ini disajikan karena menurut penulis
bersifat praktis bagi mereka yang tidak belajar filsafat untuk berfilsafat
etika. Caranya dengan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan: apa
komponen esensial kehidupan yang baik dan apa perbuatan baik itu?
Jawaban-jawaban yang diberikan harus juga mempertimbangkan
konsekuensi logis atau isyaratnya untuk bidang-bidang kehidupan
tertentu. Apapun dapat kita ajukan sebagai jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan tersebut, namun jawaban hendaknya disertai dengan
penjelasan yang merupakan pertanggungjawaban kita secara rasional.
“Saling menghargai antarmanusia”, contohnya, adalah sebuah
jawaban yang dapat kita pilih. Alasannya, kehidupan yang damai
sepanjang masa dan di manapun adalah tujuan penting umat manusia.
Tanpa kedamaian kehidupan akan sulit diarungi. Lalu, apa "saling
menghargai antarmanusia itu?” atau "Bagaimana kita
mempraktikkannya dalam kehidupan kita?” Salah satu jawabannya,
yaitu: “perbuatan menghormati orang lain, tidak merendahkannya”.
Di samping teori komponen esensial yang bertumpu pada asumsi
metafisika bahwa manusia secara alami mencari kebaikan, terdapat
teori nilai intrinsik. Teori nilai intrinsik mengandung tesis-tesis
metafisika. Yang menjadi isu dalam teori ini adalah apa yang baik pada
dirinya sendiri, dan seseorang dapat mengambil sebuah posisi terhadap
isu ini tanpa terikat pada tesis apapun tentang realitas atau bukan-
realitas dari kebaikan atau tentang transendensi atau imanensinya.
Sejumlah hal yang dianggap baik pada dirinya sendiri oleh para filsuf
akan mencakup kehidupan, kebahagiaan, kesenangan, pengetahuan,
kebajikan, persahabatan, keindahan, dan harmoni. Daftar cakupan ini
dapat diperpanjang dengan mudah.
Gambaran sederhana pandangan penganut teori nilai intrinsik ini
dapat dilukiskan melalui kalimat berikut. "Persahabatan adalah baik,
karena persahabatan itu baik”. "Kesenangan adalah baik, karena
kesenangan itu baik”. Kebaikan yang intrinsik, dan bukan kebaikan
instrumental atau kebaikan dalam rangka mencapai tujuan yang
lainnya. Kebaikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lainnya
dianut oleh teori nilai instrumental.
Perspektif teori nilai intrinsik dan lawannya, teori nilai instrumental
sering kita butuhkan dalam rangka memahami sebuah nilai. Contoh,

26 I Memaknai Pendidikan Karakter


“ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang/' adalah
sikap instrumentalisme yang sering ditolak masyarakat. Dan sikap ini
didampingi oleh instrumentalisme yang sama: “Selagi muda dan cantik
adalah kesayangan abang, dan ketika tua dan keriput bukan lagi
kesayangan abang/' Instrumentalisme yang demikian ini menimbulkan
masalah keadilan dan kemanusiaan.

Teori komponen
esensial

Teorinilai

Teori nilai intrinsik


dan instruk mental

Gambar 1.6 Teori Nilai

Ajaran moral yang dianut oleh individu atau kelompok, pada


langkah berikutnya dijadikan standar moral oleh individu dan
kelompok tersebut untuk mengukur suatu perbuatan moral. Ajaran
moral yang dianut oleh seseorang atau oleh suatu kelompok sosial dapat
kita kaji dengan menerapkan pemahaman kita tentang berbagai teori
nilai yang dipaparkan di atas.
Ada banyak pola untuk memetakan nilai-nilai. Paparan di atas
adalah sebuah pola dari studi filsafat moral yang dikemukakan dalam
The Cambridge Dictionary o f Philosophy (Audi, 1999).
Lickona (1991) memiliki peta konsep filosofis sistem nilai yang
tampaknya lebih sederhana. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai terdiri
atas obligatory values dan non-obligatory values. Nilai-nilai >ang non-
obligato^ adalah nilai-nilai seni atau keindahan. Nilai seni tidak m
^ajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi membuat orang menjadi
apresiatif terhadapnya. Nilai-nilai yang obligatory atau mewajibkan
adalah nilai-nilai moral. Liekona merinci lebih lanjut nilai-nilai moral
ini sebagai (1) respect ‫ س‬responsibility
to man dan (2) respect and responsibility ٠‫ ؛‬nature. Penulis kira, orang
Indonesia dengan Pancasilanya akan senang menambahinya dengan
yang ke-(3) respect and resposibility to God.
Karakter. Ada ajaran moral dan standar moral, dan ada juga
pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen-komponen

Memaknai Pendidikan Karakter 27


karakter sebagaimana diungkapkan oleh Hurlock. Pertimbangan nilai adalah
sebuah pertimbangan tentang baik atau buruk sesuatu berd asark an
pandangan pribadi tentang m oralitas. K arakter, selanjutnya, berkaitan
dengan tingkah laku yang yang diatur oleh upaya dan keinginan. Jika
demikian halnya, karakter berkaitan dengan tingkah laku yang tidak otomatis
dimiliki seseoiang: ketika dilahirkan ia otomatis memilikinya dan ketika ia
memerlukannya karakter muncul secara otomatis. Karakter diatur oleh upaya
dan keinginan. Pernyataan ini mengasumsikan kebebasan manusia. Karena
itu, upaya dan keinginan ini muncul dari dalam batin individu. Upaya dan
keinginan ini dicurahkan secara suka rela.

diri sendiri
Menghargai dan
bertanggung
jawab terhadap
manisia
orang lain
Menghargai dan
Nilai-nilai
r bertanggung
moral
jawab atas
aiam

Menghargai dan
bertanggung
jawab terhadap
Tuhan

Gambar 1.7 Nilai-nilai moral

Selanjutnya, jika upaya dan keinginan tersebut tidak secara otomatis


dimiliki manusia, dari mana mereka berasal. Mereka berasal dari
pengalaman dan pendidikan individu. Karakter adalah aspek tingkah laku
hasil belajar, bukan tersedia secara genetik. Unsur esensial karakter adalah
hati nurani. Banyak pakar pendidikan karakter bersepakat atas hal ini. Hanya
atas definisi yang disediakan oleh Hurlock, orang dapat tidak bersepakat.
Hurlock mengungkapkan karakter sebagai a pcittem o f inhibitoiy
conditicming (sebuah pola kebiasaan perlarangan). Di sini Hurlock
menunjukkan bahwa hati

Memaknai Pendidikan Karakter


nurani sebagai produk dari pem biasaan larangan-larangan, ia behavioristis.
Ada filsuf yang mengungkapkan bahwa hati nurani adalah bawaanUnherent
manusia, begitu dilahirkan ia memiliki hati nurani. Asumsi teori komponen
esensial di atas yang berbunyi “m anusia secara alam iah m encari kebaikan”
m engim pliksikan adanya hati nurani bawaan ini. Yang berikutnya, hati
nurani bukan hanya terbentuk oleh larangan-larangan, tetapi juga berisi
kerisauan, kegelisahan atau panggilan batin, kecintaan akan kebaikan.
Seseorang melakukan kebaikan bukan hanya karena larangan atau sum
han/perintah, tetapi juga karena kecintaannya akan kebaikan.

Yang terakhir tentang karakter, masih dalam rangka menganalisis


definisi karakter dari Hurlock, yaitu keselarasan individu dengan pola-pola
kelompok sosial tempat individu itu hidup sebagai hasil dari kontrol hati
nurani terhadap tingkah laku individu. Pola-pola kelompok dapat mencakup
pola-pola tingkah laku overt dan coveii. Pola tingkah laku oven (terbuka bagi
observasi) utamanya meliputi kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk
perbuatan-perbuatan yang dapat diobservasi dengan m ata telanjang.
Contohnya kebiasaan makan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan berbicara,
dan gerakan-gerakan jasm aniah seseorang. Adapun pola tingkah laku covert
(tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku kognitif dan afektif,
tingkah laku mental atau kesadaran. Tingkah laku ini tidak dapat diobservasi
secara langsung. Mereka dapat diketahui melalui penyimpulan atas tingkah
laku overt-nya, in lem u, angket/kuesioner, observasi partisipatif, dan
laporan-diri. Bentuknya sama dengan tingkah laku yang oven, meliputi
kecenderungan, kebiasaan, dan kesiapan berbuat. Pola-pola kelompok atau
pola-pola tingkah laku kelompok dipelajari oleh bidang studi antropologi
budaya.

X
Komponen-komponen karakter (Hurlock):

٠ Aspek kepribadian
٠ Standar moral danajaran moral
٠ Pertimbangan nilai
٠ Upaya dan keinginanindividu
٠ Hati nurani
٠ Pola-pola kelompok
٠ Tingkah laku individu dan kelompok

Memaknai Pendidikan Karakter ‫؛‬ 2


9
Afeksi. Di samping karakter, terdapat istilah afeksi, berasal dari
affect. Dalam Encarta Dictionaries terdapat tiga kata affect dengan arti
yang berbeda-beda. Yang relevan di sini adalah yang ketiga. Affect di
sini adalah sebuah kata benda, artinya perasaan yang berkaitan dengan
tindakan: sebuah emosi atau mood yang berkaitan dengan sebuah ide
atau tindakan, atau ekspresi eksternal dari perasaan tersebut. Kata
jadiannya adalah affective, kata sifat atau ajektiva, artinya hal yang
berkenaan dengan ekspresi emosi: berkaitan dengan ekspresi eksternal
dari emosi yang terkait dengan sebuah ide atau tindakan. Dengan
demikian jika kita berbicara tentang pendidikan afektif, maka yang
dimaksud adalah pendidikan emosi, bukan pendidikan pikiran, rasio,
atau kognisi. Dalam Merriam-Webster’
ll th Collegiate Dictionary, affect diartikan sebagai sehimpunan
manifestasi dari suatu emosi yang dialami secara subjektif. Dalam
wacana praktik dan studi pendidikan, afektif sering diungkapkan
dengan sikap (attitude). Memang salah satu komponen dari afeksi
adalah sikap.

Memaknai Pendidikan Karakter


Desain
Pendidikan Karakter
di Sekolah

A. Rambu-Rambu Pengembangan
Pendidikan Karakter
Rambu-rambu yang dapat membantu kita mengembangkan silabus
pendidikan karakter di sekolah sekurang-kurangnya mencakup: teori
kurikulum dan teori pendidikan karakter.
Teori kurikulum. Kurikulum adalah sekumpulan pelajaran dan
kegiatan yang ditawarkan di sekolah. Secara menyeluruh, kurikulum
sekolah dapat digambarkan melalui grafis vektor kurikulum di berikut
ini.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 3I


Kurikulum sehimpunan pengalaman (transformatif)
(2) di sekolah (3) terarah

Pengalaman- Pengalaman terarah,

(٦ )
;
pengalaman di tetapi tidak di
sekolah yang Kurikulum Sekolah
sekolah (tempat
:
adalah bagian ibadah, pramuka,
dari "pengalaman Programatik (mata ‫ ؛‬perkumpulan
belajar" yang pelajaran, kegiatan sepakbola, kursus
membuat orang ekstrakurikuler yang ‫ ؛‬musik atau tari
ter-(transformasi), didukung sekolah, pelatiah kerja,
tetapi bukan dan lain-lain) belajar dan orang
bagian dari ٠ dewasa bagaimana
pengalaman terarah berenang, memasak,
atau kurikulum atau menyukai buku
programatik sekolah dan membaca atau
senjata dan berburu,
dan lainnya).
Pengalaman (trans-) Pengalaman (trans-)

formatif di sekolah formatif terarah


(4)
Termasuk pengalaman tak-terarah dan terjadi di luar sekolah
(Disadur dari: School Curricula. Tersedia di:
‫؛‬
H ttp://upload . w kipedia/commons/F//W Comcuium

Comcept. svg 27.07.10)


Gambar 2.1 Ilustrasi kurikulum sebagai garis vektor

Dari diagram di atas diketahui bahwa kurikulum adalah sehimpunan


pengalaman yang bukan hanya fomiatife, tapi juga transformatife
(diindonesiakan: formatif dan transformatif). Pengalaman formatif
adalah pengalaman yang penting khususnya untuk pembentukan atau
perkembangan individu. Ringkasnya, pengalaman formatif adalah
pengalaman yang membuat individu mengalami perkembangan.
Adapun pengalaman transformatif adalah pengalaman yang membuat
perkembangan individu dalam hal pola atau strukturnya, biasanya
struktur kepribadian. Ini lebih rincinya, perubahan pola afektif, pola
kognitif, dan/atau pola psikomotor atau perbuatan.
Pengalaman (trans-)formatif dapat terjadi di kelas (kurikulum
sekolah programatik), di sekolah, dan di lingkungan yang berada

Memaknai Pendidikan Karakter


di luar ‘wilayah’ sekolah. Di samping itu, terdapat juga pengalaman
yang tanpa arah (tak terarah) dan di luar sekolah juga.
Kurikulum sekolah programatik. Kurikulum sekolah programatik
sudah kita pahami, yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) masing-masing sekolah. KTSP memang programatik,
segala sesuatunya serba terencana, bahkan kalau bisa terukur juga.
Tetapi ini jangan dipahami sebagai semata-mata perekayasaan sosial
(.social engineering), karena sekolah tidak berurusan dengan benda-
benda yang dapat direkayasa secara teknis belaka. Akan lebih baik jika
kita memandang sekolah sebagai organisme, bahkan manusia boleh
dipandang sebagai organisme spiritual. Sehubungan dengan hal ini, sifat
programatik kurikulum sekolah tersebut juga dilandasi oleh paham
organisme tersebut, bukan mekanisme semata-mata.
KTSP sebagai kurikulum sekolah, menurut penilaian penulis, tidak
eksklusif pendidikan kognitif, atau pendidikan sains yang kering dari
nuansa nilai-nilai. Bahkan pendidikan keterampilan inquiri yang sering
dituntut dalam mata pelajaran IPA mulai dari SD hingga SMA, tidak
secara eksklusif hanya pendidikan keterampilan belaka. Gairah, rasa
senang, ketekunan, kegigihan, perhatian anak ketika melakukan
observasi atau percobaan akan turut meningkatkan capaian
kognitifnya. Dan ketika ini tercapai, pola psikomotornya dan pola
emosinya terbentuk menjadi kebiasaan (habit), siswa setelah dewasa
akan menjadi dan dapat turut partisipatif sebagai ilmuwan yang turut
membangun bangsanya. Pekerjaan apapun yang ia pangku di kemudian
hari, akan disertai dengan kegiatannya untuk melakukan
pengembangan-pengembangan pekerjaan itu melalui pola tingkah laku
ilmuwan yang sudah dimilikinya. Karakter ilmuwan sudah menjadi
miliknya.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri dari:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan danteknologi;
kelompok mata pelajaran estetika;
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dankesehatan.

Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah


Kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan,
dan kepribadian jelas sekali berkaitan atau bahkan identik dengan
pendidikan karakter. Tabel berikut ini merupakan kutipan tentang
cakupan kedua kelompok mata pelajaran tersebut, dan hasil
identifikasinya sebagai pendidikan karakter.

Tabel 2.1
Identifikasi tujuan pendidikan karakter pada kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia serta kewarganegaraan dan
kepribadian
Kelompok Mata Pelajaran dan Identifikasi Tujuan Pendidikan
Cakupannya*) Karakter
Agama dan Akhlak Mulia Kata dan frasa yang dicetak miring di

Kelompok mata pelajaran agama dan kolom kiri yang merupakan rumusan
akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk tujuan pendidikan, secara jelas dan
peserta didik menjadi manusia yang beriman tegas menunjukkan kelompok mata
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha pelajaran Agama dan Akhlak mulia
Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia adalah merupakan pendidikan karakter;
mencakup etika, budi pekerti, atau moral dan tidak mungkin pendidikan kognitif
sebagai perwujudan dari pendidikan agama. semata-mata.
Kewarganegaraan dan Kepribadian Kata dan frasa yang dicetak miring di

Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan ;!blbm، kiri'yang merupakan rumusan


dan kepribadian dimaksudkan untuk tujuan pendidikan, secara jelas dan
peningkatan kesadaran dan wawasan peserta tegas menunjukkan kelompok mata
didik akan status, hak, dan kewajibannya pelajaran Kewarganegaraan dan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, Kepribadian merupakan pendidikan
dan bernegara, serta peningkatan kualitas karakter; dan tidak mungkin pendidi kan
dirinya sebagai manusia. kognitif semata-mata
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan

kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela


negara, penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, kemajemukan bangsa,
pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan
gender, demokrasi, tanggung jawab sosial,
ketaatan pada hukum, ketaatan membayar
pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi,
kolusi dan nepotisme.

*) Dikutip dari Peraturan Pemerintah Nom or 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Sisanya—kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan


teknologi; estetika; dan jasmani, olahraga dan kesehatan sekalipun
tekanan kuatnya pada pendidikan kognitif dan psikomotor, muatan
karakter terpadu di dalamnya.

34 I Memaknai Pendidikan Karakter


Tabel 2.2 Identifikasi tujuan pendidikan karakter pada kelompok mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Estetika; Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan

Kelompok Mata Pelajaran dan Identifikasi Tujuan Pendidikan


Cakupannya*) Karakter
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kata dan frasa yang dicetak miring di
Kelompok mata pelajaran ilmu penge kolom kiri yang merupakan rumusan tujuan
tahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB pendidikan, secara jelas dan tegas
dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, menunjukkan kelompok mata pelajaran
dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah
teknologi, serta menanamkan kebiasaan bermuatan pendidikan karakter; dan tidak
berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, mungkin pendidikan kognitif semata-mata.
kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu penge
tahuan dan teknologi pada SMP/MTs/
SMPLB dimaksudkan untuk memperoleh
kompetensi dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi serta membudayakan berpikir
ilmiah secara kritis, kreatif, dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu penge
tahuan dan teknologi pada SMA/MA/
SMALB dimaksudkan untuk memperoleh
kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan
teknologi serta membudayakan berpikir
ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Kelom pok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi pada SMK/
MAK dimaksudkan untuk menerapkan
ilmu pengetahuan dan teknologi,
membentuk kompetensi, kecakapan, dan
kemandirian kerja.
'.Estetika - Kata dan frasa yang dicetak miring di
Kelompok mata pelajaran estetika dimak kolom kiri yang merupakan rumusan
sudkan untuk meningkatkan sensitivitas, tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas
kemampuan mengekspresikan dan ke menunjuten kelompok mata pelajaran
mampuan mengapresiasi keindahan dan ; Estetika ;adalah bermuatan; pendidikan:
harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan ;kateter; dan tidak mungkin pendidikan،
mengekspresikan keindahan serta harmoni kognitif semata-mata،
mencakup apresiasi dan ekspresi, baik
dalam kehidupan individual sehingga
mampu menikmati dan mensyukuri
hidup, maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan sehingga mampu
menciptakan kebersamaan yang harmonis.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 35


Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kata dan frasa yang dicetak m ir ‫؛‬ng di kolom
K e lo m p o k m ata pelajaran Jasm ani, kiri yang m erupakan rumusan tujuan
Olahraga dan Kesehatan pada SD/M I/ pendidikan, secara jelas dan tegas
SDLB dimaksudkan untuk meningkatkan menunjukkan kelompok mata pelajaran Jasm
potensi fisik serta menanamkan sportivitas ani, O lah rag a, dan Kesehatan adalah
dan kesadaran hidup sehat. bermuatan pendidikan karakter‫ ؛‬dan tidak
K elo m p o k m ata pelajaran Jasm ani, mungkin pendidikan kognitif semata-mata.
Olahraga dan Kesehatan pada SMP/MTs/
SMPLB dimaksudkan untuk meningkatkan
i
p o te n s i fisik serta m e m b u d a ya ka n
j
sportivitas dan kesadaran hidup sehat.
\
K e lo m p o k m ata pelajaran jasm ani,
i
olahraga dan kesehatan pada SM A/
i
M A /S M A L B /S M K /M A K dim aksudkan
i
untuk meningkatkan potensi fisik serta
j
membudayakan sikap sportif, disiplin,
kerja sama, dan hidup sehat. ‫؛‬
Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, i
j
sikap, dan perilaku hidup sehat yang
b e rs ifa t in d iv id u a l a ta u p u n yan g
bersifat kolektif kemasyarakatan seperti
keterbebasan dari perilaku seksual bebas,
kecanduan narkoba, HIV/AIDS, demam
berdarah, muntaber, dan penyakit lain yang
potensial untuk mewabah.

*) Dikutip dari Peraturan Pemerintah Nom or 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Demikianlah kelompok-kelompok mata pelajaran dengan


cakupannya yang menjadi bagian dari Standar Isi dan KTSP, yang
merupakan kurikulum sekolah programatik, merupakan atau
memadukan pendidikan karakter, dan tidak hanya merupakan
pendidikan kognitif dan afektif secara eksklusif.
Pendidikan karakter, di samping melalui mata pelajaran yang ada,
juga dapat disediakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan
pengembangan diri. Beberapa contohnya: pendidikan kewirausahaan,
pendidikan karya ilmiah dan teknologi, pendidikan keagamaan,
pendidikan kesenian, pengabdian masyarakat, gerakan lingkungan
hidup, pramuka, pendidikan olah raga. Guru harus mampu memahami,
memilih, dan memilah karakter apa yang mau dibidiknya? Bagaimana
pelaksanaannya agar karakter-karakter tertentu tumbuh? Bagaimana
evaluasinya? Bagaimana pengayaannya sebagai sarana penguatan nilai-
nilai yang dijunjung tinggi oleh sekolah?

Memaknai Pendidikan Karakter


Kurikulum dalam-sekolah. Jika kurikulum sekolah programatik atau
KTSP lebih dipraktikkan pada tataran ruang kelas, termasuk
laboratorium atau bengkel, terdapat juga kurikulum yang dipraktikkan
pada tataran sekolah. Ini adalah pengalaman-pengalaman di sekolah
yang adalah bagian dari “pengalaman belajar” yang membuat orang
ter-(trans-)formasi, tetapi bukan bagian dari pengalaman terarah atau
kurikulum programatik sekolah (Pengalaman formatif dalam-sekolah
yang takterarah dapat mencakup perhubungan siswa dengan pihak
pemangku wewenang lembaga, kelompok-kelompok sebaya, dan
lainnya; tetapi juga pembentukan intelektual serius dapat termasuk di
sini, jika hal ini terjadi tetapi bukan sebagai bagian program sekolah
yang terencana atau terarah).
Pengalaman dalam-sekolah dapat dikelompokkan menjadi yang
berwaktu pendek dan yang berwaktu panjang. Yang berwaktu pendek
terjadi ketika jam istirahat, menjelang jam awal masuk sekolah, dan
setelah kelas usai. Yang berwaktu cukup panjang dapat tersedia pada
hari-hari setelah ulangan sekolah menjelang libur semester atau akhir
tahun sebelum pembagian buku rapor. Bagaimana semua ini menjadi
sebuah seting natural/sewajarnya dan mendidik. Perancangan jelas
perlu. Model tenggang rasa ( ١considerate model o f moral developmeut)
dapat diberlakukan pada semua waktu sekolah.
Dengan model ini setiap orang dalam lingkungan sekolah dituntut
untuk berbuat baik. Dengan model ini, lingkungan sekolah menjadi
tempat interaksi sosial yang menyenangkan, setiap orang bahagia dan
tulus. Setiap siswa dapat diminta untuk membuat catatan harian dan
refleksinya tentang perbuatan baik yang sudah ia lakukan. Kemudian
secara berkala diselenggarakan diskusi kelompok kecil atau pleno
tentang catatan dan refleksi tersebut. Diskusi-diskusi ini dapat
menghasilkan tindak-lanjut tertentu.
Sebuah contoh nyata tentang bagaimana anak Sekolah Dasar (SD)
kelas IV yang belum terbiasa shalat subuh.
Berdasarkan infonnasi dari anak- melalui diskusi dengan anak-anak di
kelas, diketahui sejumlah anak belum memiliki kebiasaan untuk
melakukan shalat subuh. Kebanyakan mereka diketahui alasannya masih
ngantuk. Kemudian guru mencatat anak-anak tersebut.
Pada suatu hari guru mencoba mengkondisikan anak dengan cara
menelpon pada pagi had pukul 05.00 ke rumah anak-anak yang
bersangkutan. Pada awalnya telepon guru diterima oleh orang

Desain Pendidikan Karakter d‫ ؛‬Sekolah ! 37


tua siswa, kemudian guru bertanya kepada siswa tersebut, “apakah
ananda sudah shalat shubuh hari ini?” anak tersebut kemudian
menjawab "belum.” Guru lebih lanjut berdiskusi dengan siswa, “ayo
sekarang ananda segera berwudu dan segera shalat subuh, biar nanti
disayang Allah, papa dan mama, disayang Bu Guru, juga disayang
teman-teman." Pada saat itu anak merasa senang, gurunya menelpon
dirinya untuk mengingatkan apakah dia sudah shalat atau belum.

Perilaku ini dilakukan oleh guru secara berulang karena dianggap


dapat memberikan pengalaman yang berharga pada proses penguatan
kebiasaan shalat, khususnya pada waktu-waktu yang sulit dijalani oleh
anak (waktu shalat subuh).
Di samping model tenggang rasa, sekolah dapat merancang
program lainnya. Misalnya, program senyum-sapa-salam antar orang
dalam lingkungan sekolah. Pemantauan dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Siswa yang belum mampu melakukan senvum-sapa-
salam dibimbing secara pedagogis. Program lainnya, khususnya di
sekolah yang siswanya banyak muslim, jam shalat dhuhur mewajibkan
semua siswa shalat. Pemantauan diperlukan. Siswa yang tidak shalat
dibimbing secara pedagogis. Program ini sudah banyak dilakukan
sekolah-sekolah.
Sebuah contoh program yang sudah dilakukan pada beberapa
sekolah adalah ketika anak-anak SMP sedang menghadapi ujian
nasional (UN), banyak pihak merasakan kecemasan, karena ada
kekhawatiran anak-anak ada yang tidak lulus. Mereka yang khawatir
ini adalah para orang tua, kepala sekolah, guru, dan sudah barang tentu
anak-anak itu sendiri.
Menghadapi keresahan tersebut, salah satu kepala SMP mencoba
untuk menguatkan diri anak (khususnya) untuk selalu bergantung
kepada Allah Swt manakala ia diterpa kecemasan.
Pada suatu waktu penulis datang ke sekolah untuk melakukan
penelitian dan bertemu dengan kepala sekolah, kebetulan pada saat itu
jam pulang sekolah dan kepala sekolah berada di pintu gerbang keluar
sekolah. Keberadaan kepala sekolah ternyata bukan karena kebetulan,
tetapi sudah menjadi program rutin yang bersangkutan untuk
menyalami anak-anak yang akan pulang (sungguh luar biasa). Yang
lebih mengagetkan adalah ketika kepala sekolah mengucapkan

38 I Memaknai Pendidikan Karakter


“Ananda, nanti malam ponselnya dinyalakan ya!” Ternyata apa yang
diucapkan oleh kepala sekolah tersebut bukan hanya kepada satu anak,
tetapi hampir ke semua anak kelas EX. Mereka adalah anak-anak yang
akan menghadapi UN.
Setelah selesai menyalami anak-anak, penulis berkesempatan
untuk menanyakan lebih jauh mengenai apa yang dikomunikasi antara
kepala sekolah dengan anak-anak kelas IX ketika mereka akan melalui
gerbang keluar sekolah, lalu kepala sekolah menjawab, “Saya sudah
biasa mengajak anak-anak untuk berdoa kepada Allah ketika
menghadapi kesulitan dan kecemasan. Nah saya mengajak anak-anak
untuk shalat tahajud pada pukul 03.00 pagi, saya akan miscall mereka
atau saya kirim pesan (SMS) untuk mengajak mereka shalat tahajud
sekaligus mereka meminta kemudahan dalam menghadapi UN.”

Mungkin saja dalam lingkungan dalam-sekolah ini dilakukan


kegiatan insidental tertentu. Misalnya, kegiatan dalam rangka merespon
musibah yang dialami orang lain. Ketika Gaza diserbu secara brutal
oleh Israel, ada sekolah yang mengadakan doa bersama para siswa dan
penggalangan dana untuk korban di Jalur Gaza. Pada jenjang SMA/K,
dapat saja dibangun forum diskusi dadakan berkenaan dengan isu
politik atau sosial dan yang lainnya yang membutuhkan public pressure
(tekanan sosial). Kejadian yang baru saja terjadi adalah ketika Gunung
Merapi meletus (Yogyakarta), banyak sekolah yang menjadikan ini
sebagai momentum untuk menguatkan “rasa kemurahan hati” anak-
anak untuk membantu sesamanya. Banyak sekolah yang menyediakan
“kencleng Merapi” selama beberapa pekan untuk mengumpulkan segala
bentuk bantuan, apakah uang, barang, ataupun barang lainnya yang
dibutuhkan untuk dikirimkan kepada masyarakat yang terkena korban
Merapi.
Ada baiknya juga sekolah mengidentifikasi masalah-masalah apa
dari segi karakter yang terdapat di sekolah. Umumnya, suka terdapat
siswa-siswa dari kalangan kaya bersifat sombong dan membangun
pergaulan yang eksklusif dan sebaliknya siswa-siswa dari kalangan
miskin memiliki sifat rendah-diri, tidak percaya diri, terasing, menarik
diri, mengucilkan diri. Ini membutuhkan program khusus untuk
mengatasinya. Banyak sekolah seakan buta mata hati tak mampu
melihat masalah-masalah ini dan juga karena mempersepsi diri bahwa
tugasnya hanyalah mengajar.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 39


Pendidikan karakter dalam-sekolah dapat berorientasi proses,
yaitu asal para siswa mengalami kegiatan tertentu yang dirancang
sekolah, dan dapat pula berorientasi hasil atau produk belajar. Para
siswa yang hasil belajarnya belum sesuai standar yang ditetapkan harus
dibimbing secara khusus. Perancangannya harus sedemikian rupa agar
intensitas/kualitas proses dapat dicapai hingga semua siswa diharapkan
mengalami perubahan tingkah laku.
Pengalaman terarah di luar sekolah. Pengalaman terarah, tetapi
tidak di sekolah (tempat ibadah, pramuka, perkumpulan sepakbola,
kursus sosial atau tari, pelatihan kerja, belajar dari orang dewasa
bagaimana berenang, memasak, atau menyukai buku dan membaca,
atau senjata dan berburu, dan lainnya). Pengalaman jenis ini turut
membentuk karakter siswa. Guru perlu mengetahuinya, siapa tahu
sekolah harus turut memperkuatnya atau menolaknya. Di Amerika,
banyak anak dan remaja mengikuti perkumpulan-perkumpulan
olahraga, ketika orientasinya kemenangan dengan cara apapun, maka
anak terlibat dalam apa yang disebut demagogi Machiavelian.
Demagogi adalah bukan pedagogi, karena mengembangkan nilai-nilai
yang ditolak oleh kemanusiaan universal. Niccolo Machiavelli adalah
filsuf politik Itali yang mengajarkan hakikat jahat praktik politik.
Dalam Encarta Dictionary (Microsoft® Encarta® 2009.) terdapat istilah
Machiavellian intelligence, kecerdasan Machiavellian, istilah yang
ditemukan dalam psikologi, artinya kecerdasan sosial untuk melakukan
penyesatan dan pembentukan koalisi.
Pengalaman tak terarah dan terjadi di luar sekolah. Ini berada di luar
tiga lingkungan sebagaimana terdapat dalam grafis sosial kurikulum di
atas, sebagai lingkungan yang keempat. Jika lingkungan sosial kesatu,
kedua, ketiga tersebut disediakan untuk mendidik siswa atau anak,
lingkungan yang keempat ini berada bukan untuk mendidik anak atau
generasi muda. Dari segi ini, ia dinamai sebagai pengalaman tak-
terarah. Untuk memahami lingkungan keempat ini akan disajikan sosial
universalia budaya. Kehidupan masyarakat dapat dikatakan terdiri atas
sejumlah kebutuhan universal dan respon-respon kelompok untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Respon kelompok ini nama lainnya
adalah pranata sosial (social institutions).

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Tabel 2.3 Universalia budaya dan respon kelompok

Respon Kelompok {Pranata/ Respon Kelompok (Pranata/ Lingkungan


Institusi Sosial) Institusi Sosial) ke

• Adaptasi terhadap lingkungan, • Aktivitas ekonomi: produksi


makanan, permukiman dan distribusi barang dan
4
• Pemeliharaan tatanan; penegakan • T in g k a h laku p o litik ;

ocia; penyelesaian perselisihan; penyediaan ocia;


perlindungan dan pertahanan perpolisian; pertahanan; 4
kehakiman
٠ Reproduksi secara bertatanan • Perkawinan dan ketertiban

dan rekruitasi anggota baru keluarga 4


• Pendidikan anggota baru sesuai • Sosialisasi dan pendidikan

dengan pola kehidupan kelompok ,


• P em b an gu nan kepercayaan - • Sistem-sistem kepercayaan

kepercayaan yang menghilangkan


kecemasan dan m em buat para
a n g g o ta k e lo m p o k m erasa 4
bertanggung jawab antara yang
satu dengan yang lainnya.

(Diterjemahkan dan Cultural Universals, Hess dkk., 1988: 64)

Pranata pendidikan, sebetulnya tidak hanya berada di sekolah,


tetapi juga di lembaga-lembaga lainnya. Misalnya, di kehakiman atau
pertahanan, terdapat juga sosialisasi dan pendidikan; tetapi fungsi
utamanya bukan pendidikan. Penggambaran melalui tabel di atas untuk
memudahkan analisis belaka. Lingkungan atau pengalaman keempat,
dapat memberikan pengaruh yang mendidik atau tidak-mendidik.
Lembaga-lembaga yang “sehat” dapat memberikan pengaruh yang
mendidik, dan sebaliknya. Masyarakat yang “sehat” turut membantu
pranata pendidikan dalam mendidik anak-anak dan generasi muda.

Dewasa ini, Indonesia sebagai masyarakat-bangsa, kesehatannya


sedang tumbuh dan dapat dikatakan menghadapi kendala-kendala
berat. Indikasi-indikasi "ketidaksehatannya” cukup kuat: seks bebas,
hedonisme, korupsi, “markus” atau mafia hukum, politik uang dan
kekuasaan dan Machiavellian bukan politik pengabdian/kebangsaan/
kenegaraan/ibadah, ketidakmandirian ilmu/teknologi, kemiskinan,
pengangguran, ketidakjujuran guru sekaitan dengan UN, aristokrasi

Desain Pendidikan Karakter d‫ ؛‬Sekolah j 4 1


gaya baru yang mementingkan gelar akademis dan gelar lainnya dan
mengabaikan kinerja yang terkait dengan gelar tersebut, inefisiensi
birokrasi dan korup bahkan di kampus-kampus perguruan tinggi. Jika
begini keadaannya, Indonesia tidak mendidik anak-anak dan generasi
mudanya; atau bahkan sedang melakukan demagogi agar orang-orang
merasa legitimatif ketika melakukan korupsi.
Demikianlah, dapat saja pengalaman ke empat tersebut tidak
menjadi mitra pengalaman kesatu, kedua, dan ketiga dalam mendidik
anak-anak dan generasi muda. Pengalaman keempat tersebut dapat
saja menjadi counterculture yang buruk bagi sekolah.
Lingkungan ke satu, kurikulum sekolah yang programatik, dapat
saja melibatkan para siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan
keempat. Ini dicontohkan melalui kegiatan sensitifisasi masyarakat
terhadap korupsi yang dimotori oleh anak-anak sekolah di Maroko
dalam rangka memerangi korupsi yang akut. Kegiatan-kegiatannya
antara lain lomba menulis surat untuk para pejabat publik atau anggota
parlemen tentang korupsi; penjualan stiker, gantungan kunci anti-
korupsi dan lain-lain; lomba pidato anti-korupsi (Kesuma dkk.
2009: 122).
Contoh lainnya, seorang guru SD di Amesville, Ohio, Amerika
Serikat, Ibu Elaski, yang skeptis terhadap badan perlindungan
lingkungan setempat dalam bertindak menghadapi pencemaran
lingkungan oleh sebuah industri yang menumpahkan cairan kimia (so
lven t) ke sungai yang mengalir dekat sekolah, lingkungan permukiman
para siswa, dan peternakan/pertanian setempat. Dalam rangka
pendidikan lingkungan hidup di SD tersebut, ia berbicara pada para
siswanya. Para siswa ini kemudian menamai diri mereka sebagai “para
pakar kimia air kelas enam Amesville”. Inilah beberapa cerita tentang
mereka.
Para siswa mengunjungi Universitas Ohio, pejabat-pejabat
badan perlindungan lingkungan lokal dan pusat, dan
Departemen Kesehatan untuk mendapatkan informasi tentang
hasil tes. Dalam pertemuan-pertemuan kelas, Elasky dan para
siswa memutuskan bahwa kelompok-kelompok siswa harus
menginvestigasi sumber-sumber dan pengaruh-pengaruh
polutan yang sedang mereka tes dan menyajikan temuan-
temuan mereka di dalam kelas; mewawancara orang-orang

42 I Memaknai Pendidikan Karakter


yang mengetahui tentang polusi air dan ekologi anak sungai;
mengembangkan sebuah tabel besar untuk tabulasi hasil-hasil
tes; dan meluncurkan sebuah kampanye iklan untuk
memasarkan layanan pengetesan mereka kepada individu-
individu dalam komunitas Amesville (hasilnya digunakan
untuk mengganti pengeluaran kelas).
“Kami mencurahkan banyak waktu mendiskusikan terjadinya
banyak hal tentang pencemaran ini”, Elasky berkata, "tetapi ini
tidak sia-sia”. Hal ini menciptakan pemahaman atas proses-proses
demokratis dan banyak peluang untuk mengembangkan
pemikiran kritis dan kecakapan berdiskusi”.

Selama beberapa bulan, para siswa menginterviu para


pakar di Universitas Ohio tentang polutan; berbicara dengan
para pejabat tentang perairan lokal dan pembuangan kotoran
pabrik melalui sungai, menyelusuri sejarah wilayah mereka;
membuat jurnal; menggunakan komputer untuk membuat
tabel-tabel polutan; membuat peta; mengambil gambar foto
dan mencetaknya; menulis kepada para pejabat pemerintah;
dan mengetes sumur-sumur, tangki-tangki air bawah tanah,
dan saluran-saluran air di Amesville. Di penghujung tahun
ajaran mereka dengan bangga menyajikan proyek mereka di
sebuah konferensi tentang pendidikan umum dalam sebuah
masyarakat demokratis di Universitas Ohio. Ini cakapan
mereka tentang pengalaman mereka.

Belajar tanpa buku lebih menyenangkan ketimbang mencurahkan


waktu sehari penuh dengan buku. Kami belajar berkooperasi
antarteman. Kami berpikir proyek jenis ini penting karena kami
belajar banyak hal, termasuk pertanggungjawaban. Hal ini juga
membantu pelajaran kami dalam IPA, kesehatan, bahasa,
berbicara, menulis, dan membaca.

Kami juga menikmati hal ini karena proyek ini


menyenangkan, dan kami merasa kami cukup dewasa untuk
bekerja dengan bahan-bahan kimia dan mampu
melakukannya. Alasan lainnya adalah kami menganggap
penting untuk mengetahui apa minuman anda setiap hari.
Sumber: Lickona, Thomas (1991). Educating for Character. How our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books. H. 161-162

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 43


Teori Pendidikan Karakter. Untuk memahami pendidikan karakter,
lebih mudah rasanya jika kita memulainya dengan memahami ranah-
ranah kepribadian yang ingin dikembangkan melalui pendidikan. Sejak
kerja besar Bloom dan kawan-kawan mengembangkan taksonomi
tujuan-tujuan pendidikan pada akhir tahun 1950-an, dan masuk ke
Indonesia sekitar pertengahan tahun 1970-an melalui Kurikulum ’75,
kita mengenal tiga ranah kepribadian yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Sebetulnya, jika sekedar pengenalan tentang ranah ini,
penemuannya sudah lama jauh sebelum Bloom dan kawan-kawan
mengemukakannya, yaitu dengan istilah: kepala, hati, dan tangan atau
dalam bahasa Inggris head, heart, and hand. Yang istimewa dari Bloom
dan kawan-kawan adalah elaborasi ranah kognitif ini secara saintifik.

Ranah kognitif dikembangkan melalui pengajaran pengetahuan


dan utamanya sains. Sejak Kurikulum ’75 hingga saat ini, banyak kalau
bukan seluruh sekolah Indonesia membuat pendidikan menjadi
pengajaran pengetahuan secara eksklusif, mengabaikan pendidikan afe
kt if/ n i1ai/ s ika p/m o ra 1/ akhlak/budi pekerti. Kementerian
Pendidikan Nasional, melalui UN-nya, menyediakan tagihan untuk
pengajaran pengetahuan; dan pendidikan karakter belum menjadi
tagihannya sekalipun Standar Isi menghendaki penyelenggaraan
pendidikan karakter. Keadaan ini diperparah oleh Badan Akreditasi
Sekolah yang juga menyediakan tagihan-tagihan administratif
ketimbang pendidikan atau pedagogi.
Pengajaran di abad ke-20 Indonesia menjadi bias, berkenaan secara
eksklusif dengan sains. Dalam KBBI (Moeliono, 1996: 14-15), mengajar
berarti (1) member pelajaran (misalnya, berhitung), (2) melatih, dan (3)
memarahi (memukuli, menghukum, dan sebagainya) supaya kapok. Arti
yang ketiga, memarahi, menunjukkan “mengajar” tidak eksklusif
kognitif, tetapi juga afektif. Adapun ajaran diartikan sebagai ( ١) segala
sesuatu yang diajarkan, (2) nasihat, (3) petuah, (4) petunjuk, dan (5)
paham (misalnya, paham Mahatma Gandhi). Di sini kata ajaran juga
tidak eksklusif kognitif, ada unsur afektifnya. Berdasarkan hal ini,
mengajar bersifat komprehensif, sama dengan pendidikan.
Sehubungan dengan biasnya pengajaran orang-orang saat ini,
barangkali memberi tekanan pada pendidikan (dibedakan dari

44 Memaknai Pendidikan Karakter


pengajaran!teaching) dan pendidikan karakter, untuk menandingi
pengajaran. Pengajaran menjadi bias tersebut ada hubungannya
dengan peradaban Barat yang mengutamakan ilmu-teknologi,
berlangsung melalui zaman modernisme. Modernisme mevakini ilmu,
bukan yang lainnya termasuk agama, akan memajukan peradaban.
Jika kita bertumpu pada skema kognitif, afektif, psikomotor,
pendidikan karakter identik dengan pendidikan afektif; dan seakan
terpisah secara saling menolak-serta (mutually exclusive) dengan
pendidikan kognitif dan psikomotor. Sesungguhnya tidak demikian
halnya, sering terdapat persinggungan atau irisan antara ketiganya.
Pengajaran yang eksklusif, seperti yang teijadi dewasa ini, mengeksklusi
(menolak-serta) khususnya pendidikan afektif untuk bergabung.

Gambar 2.2 Irisan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dalam pendidikan
karakter

Banyak guru terlibat dalam suatu bentuk pendidikan sikap,


meskipun mereka tidak selalu menyadarinya. Dalam beberapa kasus,
pembelajaran sikap merupakan tujuan utama dari pengajaran.
Kampanye-kampanye anti-narkoba, anti-korupsi, dan keluarga
berencana adalah contoh dari tipe pengajaran yang berfokus sikap.
Pembelajaran sikap dapat menjadi sebuah komponen utama,
sebagaimana kampanye-kampanye tersebut, dan dapat pula menjadi
sebuah komponen di antara komponen-komponen pembelajaran
lainnya (kognitif dan psikomotor). Strategi-strategi pengajaran yang
spesifik dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran afektif, apakah ia
sebagai sebuah komponen utama ataupun ia sebagai sebuah komponen
pembelajaran diantara pembelajaran jenis-jenis lainnya.
Hasil-hasil belajar dan perubahan atau perkembangannya.
Hasil-hasil belajar afektif melibatkan sikap, motivasi, dan nilai-nilai.

Desain Pend‫؛‬d‫؛‬kan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah ! 45


Ekspresi dari hal-hal ‫ ﻂﻟ‬melibatkan pernyataan-pernyataan tentang
pendapat, kepercayaan/keyakinan, atau penilaian terhadap harga dari
sesuatu (Smith ‫ ظ‬Ragan, 1999, dalam Miller, 2005). Sikap diperoleh
melalui belajar/pengalainan atau merupakan predisposition
(kecenderungan) yang terbangun pada diri seseorang untuk merespon
sesuatu (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Dewasa ini,
banyak peneliti bersepakat bahwa sikap diperoleh (bukan bawaan) dan
karena itu “dapat dikenai pernbahan yang cukup prediktif "(Simmons ‫ه‬
Maushak, 2001, p. 84 dalam Miller, 2005), meskipun beberapa peneliti
meyakini bahwa beberapa sikap bisa jadi bawaan atau bisa jadi
memiliki asal-usul biologis (Eagly & Chaiken, 1993 dalam Miller, 2005).
Sikap-sikap adalah sistem-sistem atau konstruk-konstruk yang terdiri
atas empat kualitas yang saling berhubungan: respon-respon afektif,
kognisi-kognisi, intensi-intensi perilaku, dan perlaku-perlaku. Sikap-
sikap bervariasi dalam arah (positif atau negatif), derajat (jumlah
perasaan positif atau negatif), dan intensitas (tingkat komitmen yang
dimiliki individu terhadap
‫ال ؛‬،‫ ﺎﻫ‬posisi). Sikap-sikap tidak secara langsung dapat diobservasi, tetapi
tindakan-tindakan ‫ ﻞﺳ‬perilaku-perilaku yang disumbang oleh sikap
dapat diobse^asi (Bednar ‫ ه‬Eerie, 1993 dalam Miller, 2005). Meskipun
"ranah kognitif ‫ ﻚﺳ‬afektif berinteraksi secara signifikan dalam
pengajaran ‫ ﻚﺳ‬pembelajaran" (Martin ‫ ه‬Briggs, 1986, p. 3 dalam Miller,
2005), perilaku apapnn yang memiliki suatu komponen emosi terletak
dalam ranah afektif.
Perubahan sikap. Pembahan sikap adalah suatu J^rkembangan
dalam arah, derajat, atau intensitasnya. Sebuah ‫ضا‬1 ‫ﻢﻟ آل‬ dalam
sebuah komponen dari sebuah sikap dapat menghasilkan pembahan
pada komponen-komponen lainnya. Lagi pula, sikap-sikap terhadap
sebuah objek dapat berkaitan dengan sikap-sikap terhadap objek
lainnva, dan pembahan dalam sebuah sikap dapat menggiring
pembahan sikap yang lainnya (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam
Miller, 2005).
Teori-teori pembentukan dan pembahan sikap. Ringkasnya, ‫ﻂﻟ‬
adalah teori-teori belajar tentang pembahan sikap, fokus pada
penguatan perilaku sebagai faktor primer penentu perkembangan
sikap.
Teori disonansi kognitif. Riset awal tentang pembahan sikap berasal
‫ﻚﺤﻣ‬teori disonansi kognitif Eestinger, yang mengemukakan

46‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


bahwa, ketika seseorang terpersuasi untuk bertindak dengan suatu cara yang
tidak sejalan dengan sebuah sikap yang sudah ada sebelumnya, ia bisa jadi m
engubah sikapnya untuk mengurangi disonansi tersebut (Smith & Ragan,
1999 dalam Miller, 2005). (disonansi artinya suara yang tidak
menyenangkan, inkonsistensi). Pem anfaatan disonansi un tu k m
enghasilkan perubahan sikap, pendidik pertama-tama harus menciptakan
disonansi, dan kemudian menyediakan sebuah metode untuk mengurangi
disonansi tersebut. Idealnya, hal ini akan melibatkan pembuatan alternatif
terpilih yang menarik, mempertunjukkan sebuah kelompok sosial dengan
sikap yang diharapkan, mem buktikan pentingnya isu yang dimaksud,
menyediakan pemilihan bebas, dan penyediaan ruang luas untuk penerimaan
melalui penghampiran bertahap (Martin & Briggs, 1986 dalam Miller,
2005 ).

Teori-teori konsistensi. Sam a halnya, teori-teori konsistensi


mengasumsikan bahwa individu-individu membutuhkan pengalaman
konsistensi antara di kalangan sikap dan perilaku akan memodifikasi satu
atau keduanya untuk mencapai keseimbangan ini (Zimbardo & Leippe, 1991
dalam Miller, 2005). Teori konsistensi afektif-kognitif mengkaji
perhubungan antara sikap-sikap dan kepercayaan-kepercayaan dan
mengungkapkan bahwa individu-individu berada dalam suatu keadaan tidak
stabil ketika sikap-sikap mereka terhadap sebuah objek, peristiwa atau orang
dan pengetahuan mereka tentang objek, peristiwa atau orang tersebut bersifat
tidak konsisten (Simonson & Maushak, 2001 dalam Miller, 2005). Teori ini
menyarankan bahwa komponen afektif dari sistem sikap dapat diubah
dengan menyediakan informasi baru (pengubahan komponen kognitif)
melalui sebuah pesan yang persuasif. Ketika individu selesai memproses
informasi baru, ia akan mengalami perubahan sikap yang membuat
pengetahuan dan perasaan mengalam i harm oni. Pem rosesan pesan tersebut
mempersyaratkan orang mencurahkan perhatiannya dan memahami pesan
tersebut, kem udian m enerim a dan m em pertahankannya (Zimbardo &
Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Teori konsistensi afektif-kognitif
menyarankan bahwa komponen afektif dari sistem sikap dapat diubah
dengan pertama-tama pengubahan komponen kognitif melalui penyediaan
informasi baru.

Meskipun faktanya bahwa sikap-sikap disimpan secara terpisah dari


kognisi-kognisinya yang terkait, yang berarti bahwa seseorang

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 47


dapat mengalami sebuah perasaan tanpa mengingat informasi atau kejadian
yang memieu perasaan tersebut, sikap-sikap pada umumnya akan lebih kuat
ketika kaitan antara kom ^nen-kom ponen kognitif dan afektif dimunculkan
secara sadar (Zimbardo & fcippe, 1991 dalam Miller, 2005). Agar hal ini
berhasil, tentunya, si penerima harus memperhatikan terhadap pesan yang
menyediakan informasi tersebut. Sebuah kecenderungan untuk memandang
secara pasif terhadap pesan dapat dikurangi dengan memberi petunjuk pada
siswa untuk memperhatikan dan memihki kesiapan sehubungan isi pesan
akan diteskan (Wetzel c't al., 1994 dalam Miller, 2005). Menurut Zimbardo
and Leippe (1991 dalam Miller, 2005), “sebuah pesan persuasif sangat
mungkin menyebabkan sikap dan tingkah laku berubah jika ia dapat
membentuk keyakinan tentang suatu topik dan keyakinan tentang apa yang
dipikirkan individu dan kelompok sosial yang penting dan bagaim ana
mereka berbuat terhadapnya" (p. 188). Pesan persuasif yang sangat efektif
adalah yang “membuat indh'idu berpikir tentang sebuah isu atau objek dalam
gam baran yang konkret, hidup y ‫؛‬mg memiliki implikasi-implikasi yang
jelas bagi perilaku” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. )94 dalam Miller, 2005).

Teori-teori pertimbangan sosial. Teori-teori ٦]‫ ؛‬menekankan peranan


sikap-sikap sebelumnya dalam pembentukan dan perubahan sikap. Mereka
mendeskripsikan sikap sebagai sebuah jenis dari spektrum dengan sebuah
“ruang penerimaan” yang mengelilingi sebuah sikap yang ada. Sebuah posisi
baru lebih mungkin untuk diterima jika ia termasuk ke dalam ruang
penerimaan tersebut dan kurang mungkin diterima jika ia tidak dem ‫؛‬k‫؛‬an
(Smith & Ragan, 1999 dalam Miller, 2005). Teori ١٦‫ ؛؛‬menyarankan bahwa
pem bahan dalam posisi sikap dapat lebih besar ،:‫؛ﻞﻟ‬،‫ ااااأ‬merespon terhadap
presentasi dari sebuah posisi persuasif yang moderat ketimbang dalam
merespon terhadap sebuah pesan yang lebih ekstrem. Sebagaimana ‫؛ل‬- ‫؛اا[آآا‬-‫ا‬
dengan teori disonansi, teori pertimbangan sosial menyampaikan pem bahan
sikap sebagai sebuah respon terhadap penerimaan sebuah pesan yang tidak
sepenuhnya sejalan dengan sikap yang dianut seseorang. Penerimaan posisi ‫؛‬
‫ ت؛آلاا‬bergantung atas termasuk tidaknya posisi bam tersebut ke dalam mang
penerimaan si penerima. “Penggunaan penghampiran bertahap dapat
memperluas m ang penerimaan dan dengan dem ikian m em ungkinkan pem
bahan sikap yang lebih

Memadai Pendidikan Karakter


besar” (Bednar & Levie, 1993, p. 295 dalam Miller, 2005). Ruang
penerimaan ini beranalogi dengan zona proximal development dalam teori
perkembangan sosial sebagaimana dibahas dalam bab tentang
“Konstnrksionisme Vygotsky”.
Teori pembelajaran sosial. Teori ٦‫ ؛ ؛؛‬fokus pada perkembangan
kognisi-kognisi yang berkaitan dengan dampak perilaku yang diharapkan.
Teori ٢١‫ ؛ ؛‬menyarankan bahwa seorang individu belajar sikap-sikap dengan
mengamati perilaku-perilaku orang lain dan menjadikannya model atau
mengimitasinya (McDonald & Kielsmeier, 1970 dalam Miller, 2005). Suatu
perilaku yang diamati tidak harus diperkuat untuk dipelajari (Zimbardo ‫ه‬
Leippe, 1991 dalam Miller, 200.5), dan modelnya "dapat disajikan dalam
film, oleh televisi, dalam sebuah novel, atau oleh sarana-sarana pengalaman
tidak langsung lainnya” (Martin ‫ ه‬Briggs, 1986, p 28 dalam Miller, 2005). Si
model harus kredibel bagi pemirsa sasaran (Bednar & Levie, 1993 dalam
Miller, 2005). Kredibilitas utamanya sebuah fungsi dari kepakaran dan
kejujuran. Pembelajaran observasional meningkat ketika model-model
dipersepsi sebagai berpengaruh (poweiful) dan/atau hangat dan m endukung,
dan “perilaku im itatif lebih m ungkin ketika terdapat beragam model
mengeijakan hal yang sama” (Zimbardo

& Leippe, 1991, p. 51 dalam Miller, 200.5). Sementara “sikap-sikap yang


terbentuk melalui pengalaman langsung dengan objek atau isu sikap adalah
lebih prediktif ketimbang sikap-sikap yang terbentuk melalui pengalaman tak
langsung” (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991, p. 193 dalam Miller, 200.5), “media
dapat menggantikan banyak pengalaman langsung” (Wetzel et al., 1994, p. 26
dalam Miller, 2005). Dengan demikian, mengamati sebuah model melalui
video adalah sebuah metode yang bermanfaat dalam pembelajaran sebuah
sikap ١٤١١٧‫؛‬. Bagi pan، pembelajar pasif, pengajaran yang disampaikan
melalui media dapat memfasilitasi pem erolehan cepat ^rilaku -perilaku
afektif yang kompleks secara lebih efektif ketimbang demonstrasi langsung
(McDonald ‫ ه‬Kielsmeier, 1970 dalam Miller, 2005). Bagaimanapun, para
penerima dapat memperhatikan pesan-pesan vang termediasi secara kurang
erat ketimbang yang disajikan secara langsung (Bednar & Lerie, 1993 dalam
Miller, 2005). Teori-teori pembelajaran sosial tentang pem bahan sikap
terkait erat dengan teori-teori yang menekankan peranan ^m b elajarau sosial
dalam perkembangan kognitif. Pahamilah bab-bab tentang Konstruktivisme

Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah


Sosial dan Pemagangan Kognitif, misalnya, untuk pem bahasan-
^ m b ah asan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Teori
pembelajaran sosial juga sama dengan pemagangan kognitif yang
menekankan pada pemodelan sebagai sebuah eara berbagi pengetahuan.

Teori-teori fungsional. Teori-teori ini menyarankan bahwa sikap-sikap


bertugas melayani beragam kebutuhan psikologis ‫ ﻞﺳ‬bahwa perubahan
sebuah sikap m em persyaratkan sebuah pem aham an mengenai tujuannya
dalam ketfeh^tan individu yang ■™ n^ntanya. K em anfaatan teori ini
dibatasi oleh fakta bahw a riset sikap dalam wilayah ini belum m en^asilkan
sehimpunan kategori yang konsisten vang menghubungkan sikap dengan
kebutuftan-kebutuhan psikologis (Bednar ‫ ه‬Levie, 1993 dalam Miller, 2005).
Riset telah memperlihatkan bahwa sikap-sikap yang berkaitan dengan
konsep-diri sering melaksanakan fungsi ego-defensif dan sikap-sikap ego-
defensif khususnya sulit untuk diubah (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam
Miller. 2005).

Taksonom i K rathwohl. T erd ap at b eb era p a up ay a u n tu k


ro^gklasiiikasi tipe-tipe dan tingkat-tingkat pembelajaran dalam ranah
afektif. Barangkali klasifikasi yang paling dikenal orang adalah yang
dikembangkan oleh Ki'athwohl, Bloom, and Masia in 1964 (Atherton, 2010).
Taksonomi Krathwohl memiliki lima kategori utama.

• Receiving/Attending/menerimaJmengikuti - keinginan untuk menjadi


sadar.
• Responding/merespon - mengapresiasi atau menginternalisasi.
٠ Valuing/menilai - menerima, memilih, menjadi berkomitmen
im trik

٠ Conceptualizing/Oi'ganizing - ?uemadukan ke dalam sebuah sistem


nilai.
• Characterizing by va/zi،7karakterisasi oleh nilai - orientasi terhadap/
identifikasi dengan.

Pembelajaran pada sebuah ‫ ﺊﻄﻫ^س‬bergantung pada keberhasilan


pembelajaran pada tahapan sebelumnya.
Tabel berikut ini menyediakan pandangan yang menyeluruh tentang
asum si-asum si dasarlah dan inrplikari-lm phkasi kunci instruksional dari
teori-teori di atas.

Memaknai Pendidikan Karakter


Tabel 2.3 Pandangan menye^ruh tentang teori-teori pembentukan dan
perubahan $‫^؛‬ap

Teori Asumsi dasariah Saran pengajaran


Behavioral Pembelajaran terjadi ketika • Mengupayakan
perilaku diperkuat secara siswa berbuat sesuai
positif dengan sikap yang
diharapkan
• Menyediakan
penguatan positif
Disonansi kognitif Keadaan goyah tercipta ketika • Ciptakan disosansi
sikap-sikap inkonsisten ٠ Sediakan sarana
dengan tingkah laku pengurang
disonansi bebas
untuk membuat
pilihan menarik

konsistensi afektif- Keadaan goyah tercipta ketika Ubah komponen kognitif


kognitif sikap-sikap inkonsisten dengan pertama-tama dengan
pengetahuan menyediakan informasi
baru
Pertimbangan Sikap-sikap yang ada Penyiapan bertahap
sosial dikelilingi oleh ruang pesan-pesan dalam mang
penerimaan -: ‫؛‬ penerimaan
Pembelajaran Individu: belajar sikap;dengari, • Sediakan model
sosial mengamati ^nfmengirnitasf 1 yang berpengaruh
perilaku orang lain (powerful)
• Beragam model
mengerjakan hal yang
sama
Fungsional Tujuan sikap memenuhi Acknowledge ego-
kebutuhan seseorang yang defensive role of
menganutnya menentukan attitudes related to
metode terbaik untuk self-concept. (peranan
mengubahnya ego-defensif dari sikap
berkaitan dengan konsep
diri).
Taksonomi Intensitas sikap yang ada Pembelajaran pada
Krathwohl dibangun melalui tahap-tahap sebuah tahapan
beruntun bergantung pada
pembelajaran sebelumnya
pada tahapan yang lebih
rendah
Diterjemahkan
‫ظ‬٢١sedi adaptas ‫ ؛‬dari: OverView o f t^e théories o f aptitude formation and change
kit

(Miller; 2005)
Desain Pendidikan Karakter di 5ekolah ‫ا‬ ‫ا‬5
Beberapa temuan tentang desatn instruksional untuk pembahan sikap.
Desain efektif pengajaran afektif, sebagaimana hasil studi Simonson and
Maushak (2001 dalam Miller, 2005), yaitu:
1. buatlah pengajaran realistik, relevan, dan menstimulasi secara teknis;

2. sajikan informasi baru;


3. sajikan pesan-pesan persuasif dengan cara kredibel;
4. bangkitkan keterlibatan emosional bertujuan;
5. libatkan siswa dalam perencanaan, produksi, atau penyampaian pesan

6. sediakan diskusi pasca-pengajaran atau peluang-peluang kritik.

Smith dan Ragtur (1999 dalam Miller, 2005) memusatkan diri pada
aspek behavioral dari pembelajaran sikap dan menekankan pentingnya tiga
pendekatan instruksional kunci:
• demonstrasikan perilaku yang diharapkan oleh seorang model peranan
yang dihargai;
٠ praktikkan perilaku yang diharapkan, sering melalui permainan peranan;
• perkuat perilaku yang diharapkan.

Bednar & Levie (١993 dalam Miller, 2005) mengajukan rekomendasi


yang sama. Ketika mendesain pengajaran untuk pem bahan sikap, "tiga
pendekatan berkembang dari literatur teoretis: penyediaan sebuah pesan
persuasif; pemodelan dan pemerkuatan tingkah laku yang sesuai; dan
munculkan disonansi antara komponen-komponen kognitif, afektif, dan
behavioral dari suatu sikap. Pendekatan-pendekatan ini idealnya digunakan
secara tandem” (p. 286).
Dewasa ini, tidak terdapat kesepakatan yang bulat tentang tatanan
optimal untuk menyajikan berbagai pesan kognitif dan afektif yang
terkandung dalam sebuah unit pengajaran. Sejumlah peneliti m enem ukan
bahwa “pengetahuan tentang sebuah topik sering menjadi sebuah prasvarat
untuk sebuah posisi sikap positif terhadap suatu ide” (Simonson ‫ ظ‬Maushak,
2001, p. 1010 dalam Miller, 2005). Para peneliti lainnya menyanmkan bahwa
”orang yang lebih terdidik memiliki kesiapan yang baik untuk beradu
argumentasi dan karena itu kurang mungkin untuk menerima atau dipersuasi
oleh informasi batu” (Ansolabehere et al., 1993, p. 151

M em aknai Pendidikan K arakter


dalam Miller, 200.‫) ؟‬. Teori yang pertam a ini akan menyarankan bahwa para
pembelajar akan mengalami perubahan sikap yang lebih jika aspek-aspek
kognitif dari sebuah pelajaran disajikan sebelum aspek-aspek afektif
diintroduksikan, sementara teori yang kedua menyarankan pengaruh yang
sebaliknya. Kemampuan sebuah pesan persuasif untuk memproduksi
perubahan sikap terkait erat dengan kekuatannya, dan "informasi statistik
yang kering memilhvi pengaruh yang kurang ketimbang contoh-contoh yang
hidup dan konkret” (Zimbardo ‫ ه‬l.e‫؛‬ppc, 1991, p. 337 dalam Mille ،', 2005).
Bagaimanapun, studi-studi tentang penontonan televisi di rum ah telah
memperlihatkan bahwa cerita-cerita yang “berkaitan dengan topik-topik yang
berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki para pemirsa cenderung
untuk diingat dengan lebih baik” (Wetzel et al., 1994, p. 53 dalam Miller,
2005). Pertama sajikan yang ،١٨١٧٨٦ dan kemudian yang khusus, pertama
yang abstrak dan kemudian yang konkret, tam paknya m erupakan desain
instm ksional yang sesuai haik ‫اآاااا‬، ‫ < ا‬ranah kognitif maupun afektif.

Karena penyajian pesan-pesan yang kredibel dan persnasif merupakan


sebuah komponen kunci dari pengajaran sikap, eksplorasi lebih lanjut
terhadap pengajaran kredibel dan persuasif bisa jadi akan bermanfaat.
Penerimaan sebual) pesan adalah ”tidak terlalu berkenaan dengan Isi pesan
sebagai kognisi-kognisi, tetapi dalam bentuk respon-respon evaluatif”
(Zimbardo & Leippe, 1991, p. 150 dalam Miller 2005). Efektivitas dari
sebuah pesan persuasif bergantung pada persepsi si penerima tentang sumber
kredibilitas, dan lmedibilitas adalah fungsi kepakaran dan kejujuran.

Ketika informasi yang disajikan penting bagi si penerima dan


^ ^ a b a n n y a rendah, sebuah pesan intelektual akan mungkin lebih
persuasif, dan peningkatan objektivitas dapat membantu mengatasi resistensi
terhadap perubahan sikap. Sebaliknya, ketika pentingnya pesan adalah relatif
rendab dan keakrabannya tinggi, im bauan emosional adalah lebih berhasil.
“Citra-citra emosional membutuhkan
penglihatan, suara, dan kualitas gerakan yang >‫ ؛اا؛ااا ؛ا ؛ا‬oleh TV” (Zimbardo
& Leippe, 1991, p. 149 dalam Miller 200.5).
“Trick yang menyertai desain pesan persuasif ideal adalah bahvva ia
harus berupa kualitas agar respon-respon kognitif si penerima sendiri
terhadapnya bersifat banyak dan sesuai dengan yang diharapkan” (Zimbardo
‫ ه‬Leippe, 1991, p. 182 dalam Miller

Desain Pendidikan Karakter d‫ ؛‬Sekolah


2005). Contohnya, studi-studi (e.g., Allison, 1966; Wade and Pool, 1983;
Bage, 1997 dalam Miller 2005) menemukan bahwa video-video persuasif
lebih mungkin untuk menghasilkan perubahan sikap ketika diskusi-diskusi
pasea menonton dilaksanakan. Jika unit pengajaiun dimulai dengan sebuah
tekanan pada dam pak-dampak kognitif, dilanjutkan dengan pesan media
persuasif, dan ditutup dengan
sebuah bagian diskusi, maka para siswa akan ،«‫س‬ ^ dengan
beberapa peluang untuk mengembangkan dan mengekspresikan
respon-respon kognitif mereka terhadap ‫ مﺎﺳ؛‬yang disajikan. Masing-masing
tahap pengajaran hendaknya menyajikan pesan-pesan penting, persuasif
dengan informasi baru (dalam rangka) memprovokasi kognisi-kognisi yang
lebih dan karena itu meningkatkan perkembangan sikap" (Zimbardo &
Leippe, 1991, p. 150 dalam Miller 2005). Karena itu, kom ponen persuasif
hendaknya tidak hanya menyatakan ulang informasi yang tereedia
sebelumnya, tetapi harus mengelaborasi dan memperluasnya.

Sebuah keuntungan dari pengajaran bermedia adalah kemampuannya


melakukan repliltasi seeara eksak pengajaran sikap yang sama dapat
disampaikan secara eksak pada banyak kelompok (McDonald
& Kielsmeier, 1970 dalam Miller 2005). ?engajaran komponen-komponen
kognitif dan afektif yang ditutup dengan sebuah diskusi dapat m em bantu
menciptakan perubahan sikap lebih permanen, karena pesan-pesan yang
dihasilkan sendiri bersifat lebih dapat
diingat ketimbang yang hanya diterima dari pihak lain (Zimbardo
‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller 2005). “Orang-orang menjadi lebih penuh
kesadaran ketika mereka menjumpai stimulus baru yang tidak sesuai dengan
kategori-kategori (konsep) yang sudah terbangun dan ketika mereka
termotivasi untuk terlibat dalam berpikir secara sistematik, ketimbang
tergelincir ke dalam proses tanpa berpikir” (Zimbardo and Leippe, 1991, p.
259 dalam Miller 2005). Pentingnya keterlibatan kognitif ini untuk
perubahan sikap hendaknya jangan dianggap sepele. “Perubahan-perubahan
sikap yang metupakan hasil dari proses mental aktif dan sistematik adaiah
paling bertahan lama, penrbahan-petubahan yang tak lekang oleh waktu”
(Zimbardo & Leippe, 1991, p. 181 clalam Miller 2005).

Sebagaim ana dibahas di atas, kom ponen-kom ponen afektif sering


hadir dalam banyak perencanaan pelajaran. Penam bahan tujuan-tujuan
objektif pada pengajaran lainnya tidak perlu menyita

54 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


banyak waktu. Sebuah meta-analisis tentang studi-studi perubahan sikap
berkaitan dengan bias dan prasangka telah memperlihatkan
bahw a p erlakuan -perlakuan singkat um um nya m enghasilkan pelubahan
sikap yang lebih ketimbang perlakuan yang lebih lama. Dengan kata lain,
“waktu perlakuan yang singkat secara jelas lebih
kondusif untuk pengurangan prasangka (McGregor, 1993, p. 222 dalam
Miller 2005). Implikasi-implikasi dari temuan ini sangat luar biasa untuk
intervensi-intervensi ketika perubahan sikap merupakan tujuan utamanya.

Jika seorang guru mentpet'sepsi bahwa sikap para siswanya sudah


menyertai peneapaian tujuan yang ada, ia bisa jadi tidak tergoda untuk
menangani komponen afektif dari pelajaran. Bagaimanapun, penguatan tetap
penting. “Kurangnya resistensi (terhadap persuasi) adalah dimungkinkan
ketika sikap dan kepercayaan masih dalam tahap-tahap pembentukan atau
ketika individu memasuki sebuah lingkungan sosial baru dan sangat
berbeda” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 225 dalam Miller, 2005). Dengan
demikian pentingnya pengkonfirm asian dan penguatan sikap-sikap positif
yang ada hendaknya jangan dianggap sepele. Semakin mendalam pemikiran
yang menyertai sebuah sikap, maka semakin resisten ia terhadap perubahan
(Zimbardo & Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Dengan m em otivasi p ara
siswa un tu k merefleksi sikap-sikap m ereka,

pengajaran dapat menggiring ke meningkatnya intensitas sikap-sikap dan


pemranensi.
Sementara sikap-sikap umum adalah prediktor yang baik dari
p e rila h yang umum, dan sikap-sikap spesifik adalah prediktor yang
baik dari perilaku-perilaku spesifik, yang um um tidak memprediksi
yang khusus secara a‫؛‬eg, juga yang spesifik tidak meprediksi yang
um um secara ajeg (Simonson ‫ ه‬Maushak, 2000 dalam Miller,
2005). K arena itu, dalam penilaian pem belajaran sikap, skala-
skala tipe I.ikert atau pengukuran-pengukuran tertutup yang sama
hendaknya ‫ هﻮﻟد‬secara tandem dengan instrumen-instrumen yang lebih
terbuka.
Pendidikan Afektif Krathwohl. Taksouomi ranah afektif Krathwohl,
disusun bersama Bloom dan Maria (1973), barangkali taksonomi yang paling
dikenal orang dalam bidang afektif. “Taksononri ini ditata sesuai dengan
prinsip internalisasi. Internalisasi merujuk pada proses perasaan/sikap
terhadap sebuah objek yang berkisar

Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah


dari sebuah tingkatan kesadaran yang um um /hanya menyadari
sesuatu/menjadi melek nilai, ke tingkatan dimana perasaan tersebut
‘terinternalisasi’ dan secara konsisten membimbing atau mengontrol tingkah
laku seseorang” (Seels & Glasgow, 1990, p. 28). Demikianlah, bahwa afeksi
adalah proses mental atau kesadaran pada sisi emosi utamanya, berkenaan
dengan perasaan atau sikap positif-negatif.
"Taksonomi” artinya adalah “klasifikasi”, maka taksonomi tujuan-
tujuan belajar adalah sebuah upaya (dalam paradigma behavioral) untuk
mengklasifikasi bentuk-bentuk dan tingkat-tingkat belajar. Taksonomi
mengidentifikasi tiga “ranah" belajar, masing-masing ranah ini
diorganisasikan sebagai serangkaian tingkatan atau secara pre-requisites. !٢١‫؛‬
m en^rankan bahwa seseorang tidak dapat secara
”’ mencoba untuk—menguasai tingkatan-tingkatan yang
lebih tinggi sebelum tingkatan yang lebih rendah dikuasai. Taksonomi
’ topik-topik dalam kurikulum disajikan secara runtunan, juga m
enyarankan suatu cara kategorisasi tingkatan-tingkatan belajar. Karena itu,
misalnya, dalam ranah kognitif, pendidikan untuk teknisi bisa jadi mencakup
pengingatan, pem aham an dan penerapan, tetapi tidak berkepentingan
dengan analisis dan yang di atasnya, sedangkan untuk pendidikan profesional
bisa jadi mencakup analisis, evaluasi, dan kreasi.

Adapun susunan taksonomi afektif Krathwohl (Krathwohl dkk., 1964,


tersedia di :http://mvw.Iean7ingandteachmg.info/leaming/bloomtax. htm.
01.08.10) sebagaimana disajikan pada diagram 2.4.

56 ‫ا‬ Memaknai Pendidikan Karakter


R anah afektif (Krathwohl, Bloom, Masia, 1973) cara kita menghadapi
suatu hal secara emosional, seperti perasaan, nilai, apresiasi, antusiasme,
motivasi, dan sikap. Lima kategorinya dimulai dari perilaku yang paling
sederhana hingga yang sangat kompleks:

Tabel 2.4 tima kategori afektif menurut Krathwhol

Kategori Contoh dan Kata Kunci (Verba)


Contoh: Mendengarkan orang lain dengan
hormat. Memperhatikan dan mengingat nama
Receiwng/menerima fenomena: orang yang baru diperkenalkan.
• Individu mulai sadar secara Kata Kunci: bertanya, memilih, mendeskripsikan,
positif akan fenomena mengikuti, memberi, mengidentifikasi, menunjukkan
tempat, menyebutkan nama, menunjukkan,
memilih, duduk, berdiri, menjawab, menggunakan.
Respondirtg jmerespon terhadap Contoh: Berpartisipasi dalam diskusi kelas.

fenomena: Memberikan sebuah presentasi. Mengajukan


٠ Berpartisipasi aktif mempelajari pertanyaan tentang cita-cita, konsep-konsep,
sesuatu. Memperhatikan dan model-model baru, dan lain-lain dalam rangka
mereaksi terhadap fenomena memahami secara penuh. Mengetahui peraturan
tertentu. keamanan dan mempraktikkannya.
• Hasil-hasil belajar dapat me Kata Kunci: menjawab, membantu, menye-
nekankan keinginan untuk diakan bantuan, mematuhi, menyesuaikan diri,
merespon, kepatuhan dalam mendiskusikan, menyambut, memberi label,
merespon, atau kepuasan melaksanakan, mempraktikkan,
menyajikan,
dalam merespon. membaca, melaporkan, memilih,
mengatakan, menulis.

Va/u‫؛‬ng/menilai: Contoh: Mendemonstrasikan keyakinan terhadap


• Harga, nilai atau anggapan proses demokratis. Peka terhadap
perbedaan penting yang seseorang individual dan kultural
(keanekaragaman nilai). berikan pada sebuah fenomena
tertentu.

٠ Ini berkisar dari persetujuan


sederhana hingga keadaan Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah.
komitmen yang lebih kompleks Mengajukan sebuah rencana untuk pembaikan
terhadap nilai. sosial dan melaksanakannya dengan komitmen.
٠ Penilaian didasarkan atas Memberitahukan kepada manajer hal-hal yang
internalisasi sehimpunan nilai dirasakan dengan kuat.
spesifik Kata Kunci: menyelesaikan, mendemons-
٠ Keping-keping petunjuk untuk trasikan, membedakan, menjelaskan, mengikuti,
nilai-nilai ini terekspresikan membentuk, ^^rakarea, mengundang,
l^rgabung, dalam perilaku terbuka (overt) menju^fikasi, mengusulkan,
membaca, melaporkan, si pembelajar dan sering dapat memilih,
berbagi, melakukan studi, bekerja. didentifikasi.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 57


Contoh: Mengenali kebutuhan untuk menyeim-
bangkan antara kebebasan dan perilaku
bertanggung jawab. Menerima tanggung jawab
atas perbuatan sendiri. Menjelaskan peranan
dari perencanaan sistematis dalam
memecahkan masalah. Menyetujui standar etis
Organization/mengorganisasi:
profesional. Menciptakan sebuah rencana
٠ Mengorganisasi nilai-nilai kehidupan yang harmoni dengan kemampuan,
menjadi prioritas-prioritas
minat, dan keya kinan. Memprioritaskan waktu
melalui: mempertentangkan
secara efektif untuk memenuhi kebutuhan
berbagai nilai, memecahkan
konflik di antara nilai-nilai organisasi, keluarga, dan diri sendiri.
ini, dan menciptakan sebuah Kata kunci: menganut, mengubah, menyusun,
sistem nilai yang unik. mengkombinasikan, membandingkan, menye
lesaikan, mempertahankan, menjelaskan,
mem formulasikan, mengeneralisasi,
mengidentifikasi, memadukan, memodifikasi,
menata, mengorga nisasi, mempersiapkan,
menghubungkan, mensintesis.

Contoh: Memperlihatkan kebergantungan pada


diri sendiri ketika bekerja secara mandiri. Bekerja
sama dalam aktivitas kelompok (memperlihatkan
Characterizat/on/karakterisasi/ kerjatim). Menggunakan sebuah pendekatan objektif
dalam memecahkan masalah. Memperlihatkan
internalisasi nilai:
• Memiliki sebuah sistem nilai komitmen profesional pada praktik etis secara
yang mengontrol perilaku. harian. Memperbaiki pertimbangan-pertimbangan
• Perilaku adalah pervasive (hadir dan mengubah perilaku berdasarkan evidensi
dirnana-mana, selalu ada), baru. Menghargai orang sebagaimana adanya,
konsisten, prediktif, dan yang bukan sebagaimana tampakannya.
paling penting, merupakan Kata Kunci: bertindak, membedakan, mem
karakteristik seseorang. perlihatkan, mempengaruhi, mendengarkan memo
difikasi, mengerjakan, mempraktikkan, mengusulkan,
mengkualrfikasi, bertanya, memperbaiki, melayani/
bertugas, memecahkan, memverifikasi.

Catatan penulis: Utamakan untuk memahami kategori/konsepnya, jangan hanya menggunakan kata-kata kuncinya
sementara tidak memahami konsepnya.

Kita dapat bayangkan posisi siswa sebelum diperkenalkan dengan nilai-


nilai baru adalah nol, tidak tahu, netral, atau mungkin negatif atau menolak.
Ini harus dipersiapkan oleh guru sebelum memulai pengajarannya. Karena
itu, m enurut penulis, tingkatan-tingkatan afektif Krathwohl ini ketika
dimanfaatkan oleh guru dalam pengajaran, lengkapnya adalah sebagaimana
berikut ini:

Memaknai Pendidikan Karakter


Karakterisasi diri oleh nilai j
j Pengorganisasian nilai

Pemberian nilai j

٢ Merespon 1

Menerima j

Netral atau negatif


j

Gambar 2.4 Tingkatan-tingkatan afektif Krathwohl

Aplikasi Krathwohl. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa taksonomi


ini berkenaan dengan perasaan/sikap terhadap sesuatu, misalnya, perasaan
individu siswa terhadap ide demokrasi, konsep gotong royong (PKn), atau
ide shalat (PAI). Perasaan ini harus tumbuh natural/sewajarnya pada diri
siswa. Sangat mungkin adanya perasaan ini tum buh dalam waktu yang
lama, khususnya untuk pencapaian tingkatan tertinggi: karakterisasi oleh
nilai.
Perasaan yang sudah tum buh hendaknya relatif ajeg (reliahle) dan
dengan frekuensi yang cukup atau muncul berkali-kali. Jika perasaan negatif
saling berganti dengan perasaan positif, apalagi hanya perasaan negatif yang
sering muncul (dalam bentuk penolakan, skeptis, tidak acuh/peduli,
menghindar, antipati, benci), ini pertanda tingkatan yang pertama saja
(receiving/menehma) belum tercapai oleh siswa.

B arangkali tidak sem ua SK-KD (standar kom petensi dan kompetensi


dasar), misalnya, dalam mata pelajaran IPA menuntut dilaksanakannya
pendidikan karakter ini. Tetapi SK-KD yang mana saja yang menuntut
pelaksanaan pendidikan karakter? Ini sebuah pertanyaan yang belum banyak
terjawab oleh para guru. Kurikulum IPA SD internasional Cambridge, sejak
kelas tiga hingga kelas enam, menghendaki para siswa menguasai
kompetensi keterampilan proses inquiri, di samping isi IPA (konsep dan
fakta IPA). Dapat dibayangkan para siswa ini selama em pat tahun pelajaran
IPA

in Pendidikan Karakter di Sekolah


belajar keterampilan inquiri, dan ini tidak mungkin hanya berupa keteram
pilan mekanis belaka. Akan lebih baik jika pendidikan karakter menyertai
pendidikan keterampilan ini, yaitu dalam rangka pengembangan karakter
ilmuwan/saintis. Dalam hal ini guru dapat menerapkan taksonomi
Krathwohl. Puncak keberhasilannya adalah siswa yang dikarakterisasi oleh
nilai-nilai metode inquiri, antara lain: menolak mengambil simpulan jika
tidak ada datanya, menghindari pengambilan putusan berdasarkan perasaan
belaka, meminta teman-temannya untuk turut meninjau apa yang
dikerjakannya, menuntut pengujian empiris atas suatu ide, memiliki rasa
ingin tahu yang kuat.
Tugas guru IPA SD internasional Cambridge yang baik, tidak hanya
m engajar isi IPA dan metode inquiri, tetapi juga memfasilitasi agar karakter
ilmuwan tum buh pada para siswanya. Fasilitasnya adalah dalam bentuk
penyediaan pengalaman belajar yang sesuai.

Tabel 2.5 Ilustrasi pengalaman belajar siswa untuk berbagai ranah pendidikan

J e n i s

s i P d . P
n

I e e

P e n d i d ik a n

Pendidikan Isi ilmu Pengalaman Eksperimen pemuaian


kognitif (konsep dan empiris dan logam melalui
fakta) konseptualisasinya pemanasan dan
berupaya memahami
hukum pemuaian logam
Pendidikan Keterampilan Pengalaman empiris Eksperimen pemuaian
psikomotor metode inquiri dan konseptualisasi/ logam melalui
pemahaman logika pemanasan dan
inquiri, dan berlatih berupaya memahami
menggunakannya. logika eksperimen.
Pendidikan Karakter Belajar menyukai Upaya pengembangan

afektif ilmuwan metode inquri, respon-respon perasaan


atau perkembangan /sikap (positif) siswa
sikap positif selama mempraktikkan
siswa selama metode inguiri.
mempraktikkan
metode inquiri

Memaknai Pendidikan Karakter


Memperhatikan rumusan pengalaman belajar pendidikan afektif di atas,
dan menghubungkannya dengan pengalaman belajar pendidikan psikom otor
dan kognitif, dapat disim pulkan bahw a pendidikan afektif harus menyertai
pendidikan psikomotor dan kognitif, dan jika tidak demikian, diduga kuat
pendidikan afektif ini akan gagal.
Hasil-hasil belajar, kognitif, psikomotor, dan afektif, ada yang dicapai
dalam jangka panjang (satu semester, satu tahun, atau selama bersekolah)
dan ada yang dicapai dalam jangka pendek dalam satu atau dua pertemuan.
Kebiasaan para guru dewasa ini adalah berorientasi pada hasil-hasil jangka
pendek pembelajaran, melalui sebuah RPP (rencana pelaksanaan
pembelajaran) diharapkan seperangkat tujuan pembelajaran selesai dicapai
oleh para siswa di kelas. Akan tetapi, sebetulnya, ada tujuan-tujuan
pembelajaran yang pencapaiannya dilakukan dalam jangka panjang.

Tujuan pem belajaran dalam pendidikan afektif sebagaimana


dideskripsikan di atas, cenderung dicapai dalam jangka panjang. Dalam
kasus SD internasional Cambridge tersebut, tujuan afektif karakter ilmuwan
dicapai melalui m ata pelajaran IPA mereka mulai dari kelas tiga hingga
kelas enam. Dalam kasus ini, guru IPA kelas tiga hingga kelas enam
sebaiknya bekerja sama dalam rangka m engorganisasi pendidikan karakter
ilm uw an ini dan bagaimana pembagiannnya di tiap jenjang kelas. Untuk
memenuhi hal ini, langkah pertam a yang hendak mereka lakukan adalah
merumuskan indikator-indikator karakter ilmuwan ini, kemudian
mendistribusikannya untuk setiap jenjang kelas.

Untuk menutup taksonomi Krathwohl ini, penulis menyajikan saran


indikator-indikator karakter ilmuwan tersebut berdasarkan taksonomi
tersebut.

Tabel 2.6 Indikator-indikator karakter ilmuwan

T a k s o n B o e m b i e r a p a I n d i

• Berupaya mendengarkan dengan baik penjelasan


guru tentang metode inquiri.
Menerima ٠ Merespon dengan perkataan rencana guru untuk penugasan
pelaksanaan inguiri.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


• Menggunakan waktu luang untuk bertanya-tanya
tentang metode inquiri.
Merespon • Memuji incjuiri sebagai cara belajar penemuan.
• Mengikuti proses inquiri secara antusias.

• Aktif dalam perancangan inquiri bersama anggota-anggota


kelompok.
Menilai ٠ Berdebat (mendukung) tentang metode inquiri.
٠ Mempunyai usul-usul untuk dilakukannya inquiri.
• Mendiskusikan metode inquiri dalam hubungannya
dengan hal lain (membandingkan nilai-nilai).
Mengorganisasi • Menentukan prioritas nilai-nilai inquiri di tengah
sistem nilai lainnya.
• Memilah-milah inquiri dan cara lainnya

Karakterisasi ٠ Menghendaki dilakukannya inquiri


diri oleh nilai • Memiliki proyek inquiri pribadi

Pendidikan Karakter Lickona. Dr. Thomas Lickona, seorang


psikologiwan perkembangan dan pendidik, memiliki otoritas yang dihargai
secara internasional dalam perkem bangan m oral dan pendidikan nilai. Ia
adalah profesor pendidikan di the State University of New York at Cortland,
tempat ia mengeijakan karya pemenang penghargaan dalam pendidikan guru
dan saat ini (1992) memimpin The Teachers for the 21st Century Project. Ia
pernah menjadi presiden dari The Association for Moral Education, juga
pernah mengajar di universitas Boston dan Harvard dan sering menjadi
pembicara di konferensi-konferensi dan lokakarya-lokakarya untuk para
guru, orang tua, pendidik agama, dan kelompok-kelompok lainnya mengenai
nilai-nilai dan karakter para pemuda. Ia telah memberikan kuliah di Amerika
Serikat, Kanada, Jepang, Irlandia, dan Amerika Latin.

Kerja dua puluh tahun Dr. Lickona dalam pendidikan guru dan orang
tua term asuk konsultasi dengan sekolah-sekolah di banyak kota tentang
implementasi pendidikan nilai dan karakter. Ia menyandang Ph.D. dalam
psikologi dari The State University of New York di Albany dan telah
mengerjakan riset tentang pertumbuhan pemahaman moral anak-anak.
Tulisannya Moral Development and Behavior digunakan luas di studi
pascasarjana dan bukunya Raising Good Children (lebih dari 150.000
eksemplar) m endapat pujian karena m enerjem ahkan riset tentang perkem
bangan m oral ke dalam bahasa dan pengalaman orang tua. Ia menjadi
pembicara

M em aknai Pendidikan K arakter


di banyak pertunjukan wacana radio dan televisi, termasuk Good Morning
America, Larry King Live, dan Latenight America. Pada 1984 ia dianugrahi
a State University o f New York Exchange Scholar.
Bagian tulisan ini akan menyajikan karya Lickona yang berjudul
Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility (1992), secara ringkas. Karyanya ini fokus pada pendidikan
sekolah secara komprehensif. Isi bukunya dapat dikatakan terdiri dari tiga
bagian: konsep nilai moral, kompetensi-kompetensi karakter, dan strategi-
strategi pendidikan karakter.
Nilai-nilai yang harus diajarkan sekolah. Lickona (1992) memulai
uraiannya tentang pendidikan karakter di sekolah dengan dua prinsip berikut
ini:
1. terdapat nilai-nilai yang bermanfaat secara objektif, disepakati secara
universal yang harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah masyarakat
yang plural; dan
2. sekolah-sekolah hendaknya tidak hanya memapari para siswa dengan
nilai-nilai tersebut, tetapi juga m em bantu m ereka memahami,
menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut.

Adapun yang dim aksudkannya dengan nilai, ada dua jenis yaitu m oral
dan nonmoral. Nilai-nilai m oral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan
ketidakmemihakan mengandung kewajiban. Kita merasa wajib memenuhi
janji, membayar hutang, menyayangi anak, dan tidak memihak dalam
menangani suatu perkara. Nilai moral mengatakan apa yang harus dilakukan.
Kita harus terikat pada nilai-nilai moral bahkan ketika kita tidak
menyukainya.
Nilai-nilai nonmoral tidak mengandung kewajiban yang demikian.
Nilai-nilai ini mengekspresikan apa yang kita inginkan atau sukai untuk kita
lakukan. Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan mendengarkan
musik klasik, misalnya, atau membaca sebuah novel yang bagus. Tapi jelas
adanya saya tidak terkena kewajiban untuk melakukannya.

Nilai-nilai moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut menjadi dua


kategori: universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal— seperti
memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai penghidupan
mereka, kebebasan, dan kesetaraan—mengikat semua orang dimanapun
karena nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


dan m artabat m anusia. Kita memiliki hak dan bahkan suatu kewajiban
untuk m enuntut semua orang berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral
universal tersebut.
Pada 1948 PBB mengakui validitas universal nilai-nilai moral dasariah
dengan mengadopsi The Universal Declaration o f Human Rights (Deklarasi
Universal Hak-hak Manusia). Dokumen bermakna historis ini menegaskan
bahwa setiap warga dari setiap bangsa memiliki hak untuk: kehidupan,
kebebasan, dan bebas dari serangan pribadi; bebas dari perbudakan; diakui di
depan hukum dan praduga tak bersalah hingga terbukti bersalah; bebas dari
penganiayaan; kebebasan nurani dan religi; kebebasan berekspresi;
kehidupan pribadi, keluarga, dan berkorespondensi; kebebasan berpartisipasi
dalam kehidupan komunitas; pendidikan; dan standar penghidupan yang
cukup untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan. Memang tidak semua
bangsa secara konsisten menghargai hak-hak ini secara aktual dalam m em
perlakukan warga mereka, tetapi kegagalan-kegagalan menegakkan
Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia ini tentunya menolak secara telak
validitas universal nilai-nilai moral yang mendasari dokumen tersebut.

Nilai-nilai moral nonuniversal, berbeda halnya, tidak mengandung


kewajiban moral universal. Ini adalah nilai-nilai—seperti kewajiban spesifik
pada sebuah religi (yakni, bersem bahyang, berpuasa, mengikuti hari suci)—
yang dirasakan sebagai kewajiban pribadi serius bagi seseorang, tetapi saya
tidak memberlakukan kewajiban yang dirasakan pribadi ini pada orang lain.

Demikianlah pandangan Lickona tentang nilai-nilai moral. Namun,


penulis merasakan ada yang kurang, terdapat nilai-nilai lainnya yang belum
tercakup dalam sistem nilai Lickona tersebut, misalnya membungkukkan
badan sebagai tanda hormat. Ini dapat dipandang sebagai wajib dilakukan
dalam suatu kelompok sosial, tetapi yang tidak melakukannya rasanya tidak
pantas untuk disebut tidak bermoral. Hal tersebut berkenaan dengan sopan
santun pergaulan. Penulis menduga, etiket ini masih bagian dari nilai moral,
dan statusnya mendukung nilai moral tersebut. Etiket, sopan santun, seperti
membungkukkan badan, menganggukkan kepala, senyum, turut mendukung
moralitas yang sifatnya lebih fundamental.

Sehubungan dengan hal tersebut ada yang membedakan nilai etik atau
etis dan etiket. Nilai etik sama dengan nilai moral, dan

64 I Memaknai Pendidikan Karakter


etiket adalah nilai-nilai sopan-santun dalam suatu kelompok sosial. Karena
itu, m enurut penulis, kita harus membedakan nilai-nilai demi survival
kemanusiaan dan masyarakat secara menyeluruh, yaitu nilai moral; dan yang
kurang berkenaan dengan hal ini tetapi mendukungnya, yakni etiket.

Gambar 2.5 kategorisasi nilai menurut Lickona

Pilihan nilai Lickona. Hukum moral natural yang mendefinisikan


agenda moral sekolah publik dapat diekspresikan sebagai berikut: respect
and responsibility (menghargai dan pertanggungjawaban). Nilai-nilai ini
membentuk inti dari moralitas publika, dan universal. Nilai-nilai ini
memiliki m anfaat yang objektif, dapat dibuktikan dengan mempromosikan
kebaikan individu dan kebaikan masyarakat secara menyeluruh. Nilai-nilai
ini niscaya berguna untuk.
٠ Perkembangan pribadi yang sehat.
٠ Menjaga perhubungan antarpribadi.
• Sebuah masyarakat manusia dan demokratik.
٠ Sebuah dunia yang adil dan damai.

Respect and responsibility adalah “R keempat dan kelima” yang


sekolah-sekolah tidak hanya dapat, tetapi juga harus mengajarkan agar
sekolah-sekolah mengembangkan pribadi-pribadi yang melek etis yang
dapat menempati posisi sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab.

Pendidikan Karakter di Sekolah


Reading
Writing

School vital Arithmetic

business (FiveR.s)
Respect

Responsibility

Gambar 2.6 School vital business (Five R's)

Respect berarti memperlihatkan rasa menghargai terhadap nilai/ harga


dari seseorang atau sesuatu, la memiliki tiga bentuk utama: menghargai diri
sendiri, menghargai orang lain, dan menghargai semua bentuk kehidupan
dan lingkungan yang membuat kehidupan berkelanjutan.

Menghargai diri mempersyaratkan kita memperlakukan kehidupan dan


pribadi sendiri sebagai memiliki nilai baw aan (dari Sang Pencipta). Karena
itu, terlibat dalam perilaku perusakan diri seperti penyalahgunaan “narkoba”
dan alkohol adalah salah. Menghargai orang lain mempersyaratkan kita
memperlakukan semua manusia lain—bahkan mereka yang tidak kita sukai
—sebagai memiliki martabat dan hak-hak yang sama dengan kita. Inilah inti
dari the Golden Rule (“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana anda
berharap orang lain berbuat kepada Anda”). Menghaigai keseluruhan
jaringan kompleks kehidupan melarang kita menganiaya hewan dan
menuntut kita bertindak dengan peduli terhadap lingkungan alam, ekosistem
rapuh tempat semua kehidupan bergantung.

Bentuk-bentuk penghargaan yang lainnya berasal dari hal-hal tersebut.


Menghargai hak milik, misalnya, berasal dari pemahaman bahwa hak milik
adalah suatu perpanjangan dari suatu pribadi atau suatu komunitas pribadi-
pribadi. Menghargai otoritas berasal dari

66 I Memaknai Pendidikan Karakter


pem aham an bahwa figur-figur otoritas legitimatif diberi am anah untuk
menjaga/mengurus orang-orang lain. Tanpa figur-figur ini, Anda tidak dapat
menjalankan keluarga, sekolah, atau negara. Jika orang-orang tidak
menghargai otoritas, maka akan banyak hal tidak berjalan dengan baik dan
setiap orang menderita.
“Tenggang rasa”, adalah salah satu bentuk dari etiket, juga berasal dari
penghargaan terhadap orang. Contohnya antara lain, meminta m aaf jika
akan memotong pembicaraan, mengucapkan permisi ketika akan m em inta
jalan, mengucapkan terim a kasih atas pujian orang lain.

Menghargai manusia tidak hanya untuk kehidupan harian dalam


lingkungan terbatas, nilai-nilai ini bahkan mendasari prinsip-prinsip
demokrasi. Karena saling menghargai, orang-orang menciptakan konstitusi
yang menuntut pemerintah melindungi, bukan menzalimi, hak-hak dari
orang-orang yang diperintah.
Responsibility, atau pertanggungjawaban adalah perpanjangan dari
penghargaan terhadap manusia. Jika kita menghargai orang lain, kita
menganggapnya bernilai. Jika kita menganggapnya bernilai, kita merasakan
suatu ukuran pertanggungjawaban atas kesejahteraannya.
Pertanggungjaw aban (responsibility) secara harfiah berarti
“kemampuan merespon”. Ini berarti berorientasi terhadap orang-orang lain,
m encurahkan perhatian terhadap mereka, merespon secara aktif terhadap
kebutuhan-kebutuhan mereka. Pertanggungjawaban m enekankan
kewajiban-kewajiban positif untuk saling menjaga antarorang.

Arti lain dari pertanggungjawaban, yakni dapat dipercaya, tidak


membiarkan orang lain mengalami kekecewaan. Kita menolong orang
dengan cara memenuhi komitmen kita, dan kita menciptakan masalah bagi
mereka ketika kita tidak memenuhinya. Pertanggungjawaban berarti
pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas—dalam keluarga, di sekolah, di
tempat kerja—sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan kita.

Nilai-nilai moral lainnya seperti kejujuran, ketidakmemihakan,


toleransi, kehati-hatian, disiplin-diri, penolong, berbelas-kasih, kerja sama,
keberanian, dan sehim punan nilai demokratis. Nilai-nilai spesifik ini adalah
bentuk-bentuk dari menghargai orang dan/atau pertanggungjawaban atau
membantu dalam berbuat secara berharga dan bertanggung jawab.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 67


Menghadapi orang lain dengan jujur, tidak menipu mereka, tidak
meliciki mereka, atau mencuri dari mereka adalah cara yang dasariah untuk
menghargai mereka. Demikian juga halnya dengan ketidakmemihakan, yang
menuntut kita memperlakukan orang lain secara tidak memihak dan tidak
menerapkan cara pilih kasih.
Toleransi juga mengekspresikan penghargaan terhadap orang lain.
Meskipun toleransi dapat tergelincir menjadi suatu relativisme netral yang
terarah untuk menghindar dari pertimbangan etis. Akar makna toleransi
adalah salah satu marka penting dari peradaban. Toleransi adalah sikap tidak
memihak dan objektif terhadap mereka yang memiliki ide, ras, dan ajaran
yang berbeda dari kita. Toleransi adalah pencipta rasa aman bagi dunia yang
beraneka ragam.
Kehati-hatian berarti tidak membiarkan diri kita berada dalam bahaya
fisik dan moral. Disiplin-diri berarti tidak mengizinkan diri untuk terlibat
dalam kesenangan yang meruntuhkan martabat diri dan merusak diri, tetapi
berjuang untuk kebaikan kita, dan mengupayakan kesenangan yang sehat
secara tidak berlebihan. Disiplin diri juga m em bantu kita untuk m enunda
kesenangan, mengembangkan bakat-bakat kita, bekerja untuk tujuan jangka
panjang, dan membuat sesuatu untuk penghidupan kita. Ini semua adalah
bentuk-bentuk dari penghargaan terhadap diri sendiri.

Sama halnya, nilai-nilai seperti penolong, berbelas-kasih, dan keija


sama m em bantu kita dalam melaksanakan nilai etis yang lebih luas
pertanggungjaw abannya. Spirit penolong m em buat orang merasa senang
dalam mengerjakan kebaikan. Berbelas-kasih (berarti "ikut merasa
menderita”) membantu kita tidak hanya untuk mengetahui
pertanggungjawaban kita, tetapi juga merasakannya. Kerja sama dimulai
dengan pengetahuan bahwa manusia hidup bersama manusia lainnya dan
bahwa, di dunia yang orang-orang dan masyarakat semakin saling
bergantung, kita harus bekerja sama ke arah tujuan-tujuan yang dasariah
untuk survival manusia.
Keberanian moral bersifat membantu bagi penghargaan dan
pertanggungjawaban. Keberanian membantu anak-anak muda untuk
menghargai diri mereka sendiri dengan menolak tekanan teman sebaya untuk
melakukan hal-hal yang merugikan kesejahteraan mereka. Keberanian
membantu kita untuk menghargai hak-hak orang lain ketika kita menghadapi
tekanan untuk bergabung dalam gerombolan

Memaknai Pendidikan Karakter


yang akan melakukan kejahatan. Keberanian juga membantu kita melakukan
tindakan tegas, positif atas nam a orang lain.
Nilai-nilai demokrasi membantu menciptakan sebuah masyarakat yang
berdasarkan atas penghargaan dan pertanggungjaw aban. Kekuasaan
berdasarkan hukum, kesempatan yang sama, hak warga akan keadilan,
argum entasi bernalar, pem erintahan perwakilan, checks and halances, pem
buatan putusan demokratis—■semuanya adalah "nilai-nilai prosedural” yang
membentuk demokrasi.
Demokrasi pada giliran berikutnya adalah cara terbaik yang kita ketahui
hingga saat ini untuk menjamin hak-hak individu (penghargaan terhadap
orang) dan mempromosikan kesejahteraan bersama (bertindak secara
bertanggung jawab untuk kebaikan semua orang). Mengajarkan pemahaman
dan apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis ini—dan bagaimana nilai-nilai
ini dibuat menjadi realitas melalui hukum —adalah peranan sentral sekolah.
Nilai-nilai ini juga membantu kita mendefinisikan jenis “patriotisme” yang
harus diajarkan sekolah. Dalam masyarakat demokratis, patriotisme tidak
berarti "benar atau salah adalah negaraku”; patriotism e berarti kesetiaan
pada nilai-nilai demokrasi yang luhur yang menjadi dasar dari pendirian
negara.

Untuk kita, bangsa Indonesia, jenis-jenis nilai m oral yang dikemukakan


oleh Lickona bersifat kurang, ada satu tambahan yang kita perlukan, yaitu;
respect and respomibility to God. Karena itu lengkapnya jenis nilai moral
fundamental ini lengkapnya tergambar pada bagan berikut ini.

Tuhan Diri sendiri


Nilai-nilai moral:

Penghargaan dan Manusia :------------ Individu lain


pertanggungjawaban
terhadap/atas:
Lingkungan Masyarakat

alam
Gambar 2.7 Pembagian nilai-nilai moral

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


Kompetensi-kompetensi karakter Lickona. Bagian berikut ini
merupakan teori tentang sebuah sistem karakter Lickona, dengan tiga ranah:
pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Ketiga ranah ini saling berhubungan,
saling berinteraksi, dan saling merembesi. Lickona berbeda dari Krathwohl,
dalam hal sistem, Lickona, pengetahuan, perasaan, dan tindakan terpisah
secara tajam pada tataran analitik, sedangkan dalam sistem Krathwohl,
pemisahan yang demikian tidak terdapat. Keduanya wajib dipelajari agar
repertoire (perbendaharaan kinerja) guru bertambah kaya. Berikut ini akan
dipaparkan sistem karakter Lickona ini, penulis menambahinya dengan
interpretasi penulis dengan tujuan agar lebih mudah dipahami, juga
pengalaman belajar yang relevan untuk masing-masing subkomponen dari
setiap ranah merupakan tambahan penulis. Pengembangannya oleh guru,
dapat dilakukan dengan cara memahami setiap subkomponen pendidikan
karakter ini, kemudian memadamkannya dengan SK-KD-Indikator yang
terdapat dalam KTSP atau tujuan-tujuan pendidikan karakter yang menjadi
visi-misi sekolah.

Tindakan mora ) ‫؛‬٦: )


kompetensi, (2) keinginan,
dan (3) kebiasaan

Perasaan moral: ٦
( ) nurani.

(2) harga d ri‫؛‬ (3) ‫؛‬


em pat4) . )
cinta kebaikan, (5) kontroi-airi,

dan { ‫قر‬ rendah hati

Gambar 2.8. Tiga ranah moraI menurut Lickona

70 Memaknai Pendidikan Karakter


Elaborasi Pengetahuan Moral dari Lickona
Pengetahuan moral
1. Kesadaran moral
Definisi: Melek moral atau ketajaman (dalam menangkap/melihat)
moral, antonimnya adalah buta moral. Ini adalah kemampuan
menangkap isu moral, yang sering implisit, dari suatu objek/ peristiwa.
Kompetensi ini menurut hemat penulis sama dengan kemampuan C2
(memahami, khususnya interpretasi) dari Taksonomi Tujuan-Tujuan
Kognitif Bloom. Dalam bahasa Lickona sendiri, kesadaran moral adalah
kemampuan: “... to use their intelligence to see when a situation
requires moral judgment—and then to think carefully about what the
right course o f action is." (...
menggunakan kecerdasan mereka untuk melihat kapan sebuah situasi
mempersyaratkan pertimbangan moral dan kemudian berpikir secara
cermat tentang apa tindakan yang sebaiknya.) Orang dapat menangkap
secara intuitif sebuah isu moral dari sebuah objek/peristiwa; dan
sebaliknya, buta moral. Contoh orang yang buta moral yaitu orang yang
menganggap martabat diri bergantung pada tampilan fisik atau harta.
Ketersinggungan kita ketika menyaksikan orang kaya menganiaya orang
miskin adalah contoh ketajaman moral kita. Rasa haru yang muncul
ketika kita menyaksikan perbuatan luhur tertentu adalah juga contoh
ketajaman moral. Kesadaran moral terjadi sebelum kita melakukan
pertimbangan moral dan pembuatan-putusan moral. Pengalaman belajar:
Pengalaman belajar yang penting bagi para pelajar agar melek moral
adalah dengan hidup dalam lingkungan orang-orang yang melek moral
(conditioning). Pendidik harus menjadi teladan dalam ketajaman moral
ini. Selain conditioning,

Yambuatnya menjadi jelas/


eksplisit (menginterpretasi)
isu moral tersebut
Menangkap secara intuitif
(merasakan) isu moral dari
peristiwa

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah 7


pengalaman-tak-langsung pun penting. Ini dapat dilakukan dengan
mempelajari peristiwa-peristiwa historis yang relevan dan biografi
tokoh yang memiliki ketajaman penglihatan moral. Kasus impresif pada
remaja kita menuntut pendidik mendidik para pelajar untuk memiliki
ketajaman dalam menangkap nilai-nilai yang penting dalam sebuah
budaya dan nilai-nilai yang dapat menghancurkan jati diri para remaja.
Banyak remaja merasa gaul jika bergaya hidup westem (kebarat-
baratan) yang negatif, antara lain mengkonsumsi NAPZA, ber-dugem
secara tidak proporsional, mengikuti tren budaya pop secara membabi
buta. Kebalikan dari remaja kita, banyak orang tua buta moral dalam hal
korupsi yang mewabahi negeri kita. Pendidik PLS dalam hal ini harus
segera bekerja.

Hasil belajar: Dapat mengidentifikasi isu moral dari sebuah


objek/peristiwa. Dapat mengeksplisitkan isu moral dari sebuah
objek/peristiwa.
Pengetahuan nilai moral
Definisi: Ini adalah ethical literacy, literasi etis, kemampuan hasil
belajar teori-teori tentang berbagai nilai etis, seperti: menghargai
kehidupan dan kebebasan, bertanggung jawab terhadap orang lain,
kejujuran, ketidakm em ihakan, toleransi, sopan-santun/ tenggang rasa,
disiplin diri, integritas (teguh pada prinsip moral), kebaikan hati,
berbelas-kasih, dan keberanian. Literasi etis termasuk pemahaman
tentang bagaimana menerapkannya dalam berbagai situasi. Ini berarti
kemampuan menerjemahkan/ mengalihbahasakan (translasi) nilai-nilai
abstrak menjadi perilaku moral konkret.

Menurut penulis, beda antara kesadaran moral dan pengetahuan nilai


moral adalah bahwa kesadaran moral mempersyaratkan kemampuan
menangkap langsung (ketajaman) nilai moral dari sebuah objek atau
peristiwa konkret; adapun pengetahuan nilai moral adalah kemampuan
yang terbentuk setelah orang belajar teori-teori nilai (bukan peristiwa
konkret), dalam rangka memaham i teori-teori tersebut term asuk
memahami aplikasi mereka.

Pengalam an belajar: Pengalaman belajarnya adalah melalui belajar


kognitif, C1-C2-C3 (mengingat, memahami, menerapkan), tentang
teori-teori nilai; dapat disebut sebagai pengajaran nilai-

Memaknai Pendidikan Karakter


nilai (teaching o f values). Juga, diskusi-diskusi peristiwa konkret yang
melibatkan isu nilai dapat meningkatkan kognisi nilai-nilai pada tataran
aplikasi.
Hasil belajar: Menyebutkan nilai moral tertentu. Menginterpretasi nilai
moral dari sebuah peristiwa atau komunikasi. Menerjemahkan nilai
moral tertentu. Melakukan ekstrapolasi berdasarkan sebuah
nilai tertentu. M enerapkan nilai moral tertentu pada suatu situasi
(baru).

Memahami sudut pandang lain


Definisi: Memahami sudut pandang lain adalah kemampuan menerima
sudut pandang orang lain, memahami sebuah situasi sebagaim ana
orang lain m em aham inya, m engim ajinasikan bagaim ana orang lain
berpikir, mereaksi, dan berperasaan. Kemampuan ini sebuah prasyarat
penting untuk perilaku moral sosial, menghargai dan bertanggung jawab
terhadap orang lain. Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang
otentik untuk kemampuan ini adalah dengan mempraktikkan
pengambilan perspektif (sudut pandang) orang lain pad a p ara siswa.
Pengalam an belajar yang kognitif dapat dilakukan dengan menganalisis
sudut pandang orang lain atau budaya lain.

Hasil belajar: M enginterpretasi secara objektif perasaan dan pikiran


orang lain. Meneijemahkan perasaan dan pikiran orang lain.
Mengekstrapolasi perasaan dan pikiran orang lain (Bloom: C2:
inteipretasi, translasi, ekstrapolasi).

Penalaran moral
Definisi: Memahami makna apa itu bermoral dan mengapa harus
bermoral? Mengapa memenuhi janji itu penting? Mengapa harus kerja
dengan sebaik-baiknya? Mengapa harus berbagi dengan orang yang m
em butuhkan? Ini adalah kem am puan analisis hubungan (C4) dari
Bloom.
Penalaran moral anak-anak berkembang, mereka belajar apa yang dapat
dianggap sebagai alasan m oral yang baik dan alasan moral yang buruk.

Pengalaman belajar: Pengalaman belajarnya adalah melalui belajar


kognitif, C4 (analisis), tentang perbuatan bermoral. Hasil belajar:
Menyediakan alasan atas suatu perbuatan moral.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 73


Menjelaskan alasan atas suatu perbuatan moral. Menginterpretasi alasan
dari suatu perbuatan moral (Bloom: C2, interpretasi dan C6, kreasi).

5. Pembuatan putusan
Definisi: Proses orang menjadi memiliki putusan. Biasanya orang
menghadapi m asalah atau dilema moral. Apa pilihan saya? Apa
konsekuensi yang mungkin dari berbagai tindakan bagi orang yang
terkena pengaruh putusan saya? Apa tindakan yang memaksimalkan
konsekuensi yang baik dan diyakini penting untuk nilai yang
pertaruhkan?
Pengalaman belajar: Mengalami secara simulatif konflik atau dilema
nilai, dapat juga konflik nilai yang dialami orang lain, kemudian
membuat putusan nilai, dan mengkajinya. Menurut Lickona, pendekatan
apa-pilihan saya dan apa-konsekuensi-konsekuensinya untuk membuat
putusan-putusan moral telah diajarkan bahkan sejak pada anak
prasekolah.
Hasil Belajar: Memiliki putusan nilai lengkap dengan konsekuensinya
yang sudah terkaji secara baik, atas konflik nilai yang tersedia (Bloom:
C6, kreasi).

6. Pengetahuan-diri:
Kemampuan melihat-kembali perilaku sendiri dan mengevaluasinya.
Pengembangan pengetahuan-diri termasuk kekuatan dan kelemahan
karakter diri sendiri dan bagaimana mengkompensasi kelemahan
tersebut, di antaranya yang ham pir universal merupakan tendensi
manusia, yaitu melakukan apa yang kita inginkan dan kemudian
membelanya dengan cara yang tidak adil.
Pengalaman belajar: Ini dapat dilakukan dengan meminta siswa m em
buat “jurnal etis/akhlak/budi pekerti “-dengan m encatat kejadian-
kejadian moral dalam penghidupan mereka, respon-respon mereka
dalam kejadian moral tersebut, dan adakah respon ini dapat
dipertanggungjawabkan secara etis.
Hasil belajar: Perkembangan kejujuran individu dalam melihat diri
sendiri. Perkembangan upaya-upaya mengatasi kelemahan diri. Iklim
sosial kejujuran dalam kelompok (dampak sosial yang mungkin,
misalnya jika masing-masing jurnal tersebut didiskusikan dalam
kelompok).

74 I Memaknai Pendidikan Karakter


Elaborasi Perasaan Moral dari Lickona

Perasaan moral
1. Hati nurani/nurani
Definisi: Nurani memiliki dua sisi: sisi kognitif—pengetahuan tentang
apa yang baik—dan sisi em osional—m erasa wajib melakukan apa
yang baik.
N urani yang m atang m encakup juga kapasitas untuk rasa bersalah
konstruktif di samping merasakan kewajiban moral. Jika nurani anda
merasa wajib untuk berbuat sesuatu, maka Anda akan merasa bersalah
jika tidak melakukannya. Ini berbeda dari rasa bersalah destruktif, yang
menyebabkan seseorang berpikir, “Saya orang jahat”. Orang dengan
rasa bersalah konstruktif akan berkata, “Saya tidak dapat memenuhi
standar saya sendiri. Saya merasakan ini sebagai keburukan, tetapi saya
akan lebih baik pada waktu yang akan datang”. Kapasitas untuk rasa
bersalah konstruktif juga membantu kita dalam menolak godaan.

Pengalaman belajar: Berlatih m enghadapi kasus-kasus yang menuntut


individu mengekspresikan nuraninya adalah sebuah pengalaman belajar
yang penting. Latihan ini akan terbentuk salah satunya m elalui stim
ulasi yang m endorong individu mengekspresikan nuraninya. Perbuatan
dan ucapan yang sesuai nurani perlu mendapat penghargaan atau
“dirayakan” untuk m enunjukkan bahw a m asyarakat atau kelompok m
enuntut individu untuk berbuat sesuai dengan nurani. Diskusi kasus-
kasus penggunaan atau pengabaian nurani adalah juga pengalaman
belajar yang penting.

Hasil belajar: Hasil belajar yang otentik adalah kapasitas untuk merasa
bersalah dan merasa wajib untuk perbuatan moral. Pada tataran lebih
rendah, ekspresi-ekspresi nurani ini melalui kata-kata.

2. Harga diri
Definisi: Ini adalah kemampuan merasa berm artabat karena memiliki
kebaikan atau nilai luhur.
Studi-studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan harga diri yang
tinggi lebih resisten terhadap tekanan dari teman-teman

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 75


sebaya dan lebih mampu mengikuti putusan mereka sendiri ketimbang
mereka dengan harga-diri rendah. Ketika kita menilai secara positif diri
kita sendiri, kita lebih mungkin memperlakukan orang lain dengan cara
positif. Jika kita menilai rendah diri sendiri atau tidak memiliki harga-
diri, maka akan sulit untuk memperpanjang penghargaan untuk orang-
orang lain. Harga-diri yang tinggi pada dirinya sendiri tidak menjamin
karakter yang baik. Sangat mungkin adanya untuk memiliki harga-diri
yang didasarkan atas hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan karakter
baik—seperti harta, tampilan bagus, popularitas, atau kekuasaan.
Bagian dari tantangan kita sebagai pendidik adalah membantu anak-
anak mengembangkan harga-diri positif yang didasarkan atas nilai-nilai,
seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan hati dan keyakinan
pada kapasitas sendiri untuk kebaikan.

Pengalaman belajar: Perbuatan baik yang dilakukan seseorang sering m


em buat orang merasa senang atau bahagia karena melakukannya.
Refleksi dan diskusi-diskusi mengenai peristiwa ini barangkali
merupakan suatu pengalaman belajar yang penting. Hasil belajar:
Individu yang puas dengan dirinya sendiri dalam perbuatan baik, dan
sebaliknya, merasa tidak senang atau tidak bahagia dalam perilaku
buruk.

Empati
Definisi: Empati adalah identifikasi diri pada keadaan orang lain, atau
pengalaman tidak langsung. Empati membantu kita keluar dari diri
sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain. Ini adalah sisi emosional
dari pengambilan-perspektif.
Pengalaman belajar: Para peserta didik dapat berlatih melakukan empati
di bawah bimbingan guru. Setelah berlatih, guru dapat membimbing
mereka untuk mendiskusikannya.
Hasil belajar: Mengungkapkan apa yang dirasakan orang lain.
Bertoleransi. Menghargai perbedaan sikap.

Cinta kebaikan
Definisi: Bentuk tertinggi dari karakter mencakup ketertarikan
sejati/tulus pada kebaikan.
Psikologiwan Boston College Kirk Kilpatrick menulis: “Dalam
pendidikan untuk kebajikan, hati dilatih sebagaim ana juga

Memaknai Pendidikan Karakter


kesadaran. Orang bijak belajar tidak hanya m em bedakan kebaikan dan
keburukan, tetapi juga mencintai kebaikan dan membenci keburukan”.

Pengalaman belajar: Para guru dapat berpaling pada sastra sebagai cara
mananamkan perasaan tentang kebaikan dan kejahatan. Ketika anak-
anak m enjum pai para penjahat dan pahlawan dalam halaman-halaman
dari sebuah buku yang baik, mereka merasa tertolak oleh kejahatan dan
tertarik pada kebaikan tanpa kuasa menahannya. Ketika orang mencintai
kebaikan, mereka mendapatkan rasa senang dalam melakukan kebaikan.
Mereka memiliki hasrat moral, bukan hanya kewajiban moral. Potensi
ini dikembangkan melalui program-program peer tutoring dan
pelayanan masyarakat di sekolah-sekolah.

Hasil belajar: Upaya-upaya pribadi dan dalam kelompok untuk berbuat


baik.

Kontrol diri
Definisi: Emosi dapat menenggelamkan penalaran. Inilah mengapa
kontrol-diri merupakan sebuah kebajikan moral yang niscaya. Kontrol-
diri membantu kita bermoral bahkan ketika kita tidak ingin bermoral,
ketika sedang marah pada sesuatu, misalnya. Kontrol-diri juga niscaya
untuk mengekang kesukaan-diri.
Pengalaman belajar: Pengalaman-pengalam an belajar dalam bentuk
menolak kesenangan atau kebencian demi kebaikan. Hasil belajar:
Tekun belajar/bekerja, m enunda kesenangan. Tugas-tugas belajar
diselesaikan dengan baik. Memiliki kegiatan harian yang baik untuk
pengembangan diri dan lingkungannya.

Rendah hati
Definisi: Rendah hati adalah sisi afektif dari pengetahuan-diri. Rendah
hati terdiri dari keterbukaan yang sejati pada kebenaran dan kemauan
untuk bertindak memperbaiki kesalahan-kesalahan kita.

R endah hati juga m em bantu kita m engatasi rasa bangga. Rasa bangga
adalah sum ber dari arogansi, prasangka, dan merendahkan orang lain.
Rasa bangga yang terluka membuka kemarahan dan menutup
munculnya sikap memaafkan. Rendah hati adalah penjaga terbaik
melawan perbuatan jahat.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 77


Pengalaman belajar: Berlatih terbuka terhadap kebenaran, dari manapun
sumbernya, dan mau memperbaiki kesalahan-kesalahan diri sendiri.

Hasil belajar: Mengakui kebenaran pendapat orang lain. Mengaku


bersalah jika melakukan kesalahan. Memberikan penghargaan terhadap
pendapat orang lain.

Tindakan moral
1. Kompetensi
Definisi: Kompetensi moral adalah kem am puan m engubah putusan
dan perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif.

Pengalaman belajar: Psikologiwan Ervin Staub m enem ukan bahwa


anak-anak yang memiliki pengalaman yang terbimbing dalam rok-
playing. Dalam serangkaian situasi bermasalah, yang di dalamnya
seorang anak membantu anak lainnya pada waktu berikutnya lebih
mungkin (dibandingkan dengan anak-anak tanpa pengalaman yang
demikian) untuk menyelidiki suara tangisan seorang anak dalam sebuah
ruangan. Sebuah studi baru-baru ini atas 400 orang yang membantu
orang-orang Yahudi lari dari Nazi menemukan bahwa para penyelamat
ini memiliki pemahaman yang kuat tentang kompetensi personal, di
samping nilai-nilai simpati. Kompetensi moral sering merupakan suatu
tantangan pribadi bagi seseorang. Seseorang bisa jadi sudah memahami
makna shalat wajib dan ingin melaksanakannya, tetapi ia tetap saja
tidak melaksanakannya. Ini adalah tantangan bagi pendidik ketika
menghadapi peserta didik yang demikian. Pendidik harus mengerahkan
berbagai cara untuk menumbuhkan kompetensi moral ini. Pengalaman
individual secara mandiri, pengalaman terbimbing, pengalaman dalam
kelompok, pemodelan,

dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkannya.


Hasil belajar: K em am puan m elaksanakan tindakan moral.
Berbuat baik. Membantu orang lain berbuat baik.

2. Keinginan moral
Definisi: Menjadi baik sering mempersyaratkan sebuah tindakan nyata
dari kem auan, suatu mobilisasi energi m oral untuk

78 I Memaknai Pendidikan Karakter


melakukan apa yang menurut kita harus dilakukan. Kemauan
memerlukan emosi berada di bawah kontrol nalar. Kemauan
memerlukan penglihatan dan pemikiran tentang semua dimensi moral
dari sebuah .situasi. Kemauan dipei'lukan agar kewajiban diletakkan
mendahului kesenangan. Kemauan mem butuhkan kemampuan untuk
menolak godaan, teguh menghadapi tekanan teman sebaya, dan
melawan arus. Kemauan adalah inti dari keberanian morai.

Pengalaman belajar: Kemauan sebagai sebuah potensi diri perlu


dipahami dan disadari oleh peserta didik melalui bantuan guru. Langkah
berikutnya peserta didik diminta mencatat kemauan-kemauan moral apa
saja yang tidak dipenuhinya; setelah ini adalah praktik-praktik
mewujudkan kemauan ini.
Hasil belajar: Individu yang berupaya memiliki kem auan melakukan
tindakan moral. Konsisten melaksanakan kewajiban moral. B erbuat adil
sekalipun terhadap orang yang tidak disukainya. Berdisiplin melakukan
suatu tindakan moral.

3. Kebiasaan (‫)ﺎﺴﻇأ 'ﺀ‬


Dclinisi: Dalam banyak situasi tingkah ‫ ﻞﺋةا>اأ‬moral diuntungkan oleh
habit. Orang yang memiliki karakter yang baik, sebagaimana
ditunjukkan William Bennctt, “bertindak benar, setia, berani, simpati,
dan adil tanpa banyak tergoda oleh hal yang sebaliknya”. M ereka
bahkan sering tidak berpikir secara sadar tentang “pilihan yang baik”.
Mereka melakukan hal yang baik oleh kekuatan kebiasaan.

Pengalaman belajar: Auak-auak men>brituhkan, sebagai bagian dari


pendidikan m oral mereka, banyak kesem patan untuk mengembangkan
kebiasaan yang baik, banyak praktik menjadi orang yang baik.

Hasil belajar: Kebiasaan dalam hal tertentu. Biasa sopan-santun


tertentu. Biasa menolong. Biasa adil.

Pendekatan komprehensif untuk pendidikan nilai dan karakter. Lickona


menyarankan suatu pendekatan pendidikan karakter yang komprehensif,
melibatkan berbagai komponen terka ‫؛‬، dan berbagai latar (.setting).
Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide besar" berikut.

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah 79 ‫ا‬


Sepanjang sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua
tujuan besar: membantu orang-orang menjadi cerdas dan membantu
mereka menjadi baik.
“Baik” dapat didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai moral yang
memiliki kemanfaatan objektif—nilai-nilai yang mengakui martabat
manusia dan mempromosikan kebaikan individu dan masyarakat.

Dua nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik yang dapat
diajarkan: respect and responsibility (penghargaan dan
pertanggungjawaban).
Penghargaan berarti menunjukkan rasa hormat terhadap nilai seseorang
atau sesuatu. Ini mencakup menghargai diri sendiri, menghargai hak-
hak dan martabat semua orang, dan menghargai lingkungan yang m em
buat semua kehidupan berkelanjutan. Penghargaan adalah sisi
pelarangan dari moralitas; ia menjaga kita untuk tidak menyakiti apa
yang seharusnya kita hargai.
Pertanggungjawaban adalah sisi aktif dari moralitas, ia mencakup m
elaksanakan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, memenuhi
kewajiban-kewajiban kita, kontributif terhadap komunitas kita,
mengurangi penderitaan, dan membangun dunia yang lebih baik.

M endidik penghargaan dan pertanggungjaw aban—m em buat hal-hal


ini menjadi nilai-nilai operatif dalam penghidupan para siswa—adalah
mendidikkan karakter. Karakter terdiri dari:
• pengetahuan moral (kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral,
melihat dengan sudut pandang orang lain, penalaran moral,
pembuatan putusan, dan pengetahuan diri);
٠ perasaan moral (hati-nurani, harga-diri, empati, mencintai
kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati);
٠ tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan kebiasaan).
Dihadapkan dengan struktur sosial yang memburuk, sekolah-sekolah
yang berharap membangun karakter harus menyediakan pendekatan
yang komprehensif, yang merangkul banyak hal, terhadap pendidikan
nilai yang m enggunakan semua tahap kehidupan sekolah untuk
membantu perkembangan karakter. Ini m encakup 12 strategi ruang
kelas dan sekolah, yang tertuju pada penciptaan nilai-nilai penghidupan
penghargaan dan pertanggungjawaban dalam karakter para siswa.

Memaknai Pendidikan Karakter


Dalam ruang kelas, suatu pendekatan kom prehensif m enuntut guru
untuk:
1. Bertindak sebagai pemerduli (caregiver, pemberi kepedulian, perawat),
model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan cinta dan
penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku prososial, dan
mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti.
2. Menciptakan sebuah komunitas moral di kelas, membantu para siswa
untuk saling kenal, menghargai dan peduli antara siswa yang satu
dengan yang lainnya, dan merasakan keanggotaan yang berharga dalam
kelompok.
3. M em praktikkan disiplin m oral, m enggunakan penciptaan dan
penegakan aturan-aturan sebagai peluang-peluang untuk menumbuhkan
penalaran moral, kontrol-diri, dan penghargaan terhadap orang lain.

4. Menciptakan sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis,


melibatkan para siswa dalam pembuatan-putusan dan berbagi tanggung
jawab untuk membuat ruang kelas menjadi tempat yang baik untuk
berada dan belajar.
5. Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan mata-
m ata pelajaran sebagai w ahana untuk mengkaji isu-isu etis. (Ini secara
serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika kurikulum
menangani kepedulian lintas-jenjang kelas seperti pendidikan seks,
antinarkoba, alkohol, dan kekerasan remaja.)
6. Menggunakan pembelajaran kooperatif untuk mengajari anak-anak
dengan w atak dan keterampilan tolong-menolong dan bekerja sama.

7. Mengembangkan the “conscience o f craft" dengan menumbuhkan


tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka terhadap
nilai dari belajar dan kerja. (The "conscience o f craft", nurani tentang
kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan dorongan untuk kerja
sebaik-baiknya.)
8. Mendorong refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis, diskusi,
pembuatan-putusan, dan debat.
9. Ajarkan pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas dan
komitmen untuk memecahkan konflik dengan cara yang tidak memihak
dan tanpa kekerasan.

Desain Pendidikan Karakter d) Sekolah


Suatu pendekatan yang komprehensif m enuntut sekolah untuk:
1. menumbuhkan kepedulian ke luar ruang kelas, menggunakan model-
model peranan yang memberi inspirasi dan peluang-peluang untuk
sekolah dan pengabdian komunitas untuk membantu para siswa belajar
peduli dengan memberi kepedulian;
2. menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan seluruh
lingkungan sekolah (melalui kepem im pinan kepala sekolah, disiplin
pada tataran sekolah, suatu kepekaan sekolah terhadap komunitas,
pemerintahan siswa yang demokratik, suatu komunitas moral di
kalangan orang dewasa, dan waktu untuk menangani kepentingan-
kepentingan moral) yang mendukung dan meningkatkan nilai-nilai yang
diajarkan di ruang-ruang kelas;

3. rekruitasi orang tua dan anggota kom unitas sebagai m itra dalam
pendidikan nilai, dukung orang tua sebagai guru moral pertama anak;
mendorong orang tua untuk mendukung sekolah dalam upaya-upaya m
enumbuhkan nilai-nilai yang baik; dan m engupayakan b an tu an kom
unitas (m asjid, gereja, biara, perusahaan, dan media) dalam
memperkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan untuk diajarkan oleh
sekolah.

Pusat Pengkajian Pedagogik (P3)


Universitas Pendidikan Indonesia sejak
tahun 2009 sudah mengembangkan
sebuah model pendidikan karakter.
Model ini sudah ditawarkan kepada
sejumlah sekolah di Jakarta untuk
diterapkan. Melalui buku ini P3 ingin
berbagi pengalaman dan pemikiran
tentang hal ini. Untuk itu, di sini
disajikan cuplikan silabus untuk
Pendidikan Agama Islam jenjang SMA
dan sedikit penjelasannya.

Gambar 2.8 Tiga strategi sekolah


dan delapan strategi guru

M em aknai Pendidikan K arakter


Tabel 2.9. Analisis Penjabaran SK-KD dan Indikator menjadi pengalaman dan
penilaian

S t a n d a r k o m p e t e n s i

K o m p e t e n s i d a s a r

Indikator Pengalaman belajar: Penilaian:


1. D a p a t m e n d e fin is ik a n Pembelajaran kognitif. Tes esai dan kinerja
secara luas dan mendalam individual diskusi
kon sep im an m e n u ru t kelom pok kecil dan
ajaran Islam. diskusi kelas.

2. Dapat menganalisis ber idem bagai idem


argumentasi yang mendasari
keimanan dan ketidak berimanan

3. Dapat menjelaskan tanda- idem idem


ta n d a o ra n g b e rim a n
kepada malaikat.
4. D a p a t m e m p ra k tik k a n Kegiatan Pengembangan Jurnal siswa

perilaku beriman kepada Diri


malaikat.
5. Dapat m enjadi teladan idem idem

dalam p ra ktik perilaku


beriman kepada malaikat
dalam kehidupan harian.
6. Dapat sabar dalam praktik idem idem

beriman kepada malaikat


dalam kehidupan harian.
7. D a p a t m en da kw ah kan idem idem

kehidupan beriman kepada


malaikat dalam kehidupan
harian

Indikator-indikator itu mengikuti pola berikut ini; dan dibandingkan


dengan pola-pola yang lainnya yang disajikan dalam buku ini:

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


Tabel 2.10 Analisis perbandingan
u
s
taksonomi pembelajaran
s

e
P a t T aP k n o g n k o a m ji ai n

T a k o nL oi
s

n
o ic m k

a
P e d Kg or a g t ih k w o h l
Dakwah Tindakan moral

Sabar

Teladan

Praktik

Karakterisasi-diri

Organisasi

Penilaian

Responsi

Menerima Perasaan moral

Kompetensi Kognitif Kreasi Pengetahuan moral

Evaluasi

Analisis

Aplikasi

Pemahaman

Pengingatan

P mem3 pertim bangkan teladan, sabar, dan dakwah sebagai perincian


secara khusus tingkat karakterisasi-diri Krathwohl atau tingkat tindakan
Lickona.
Contoh-contoh silabus yang mengandung karakter tertentu dapat dilihat
pada lampiran buku ini.

M em aknai Pendidikan K arakter


B. Rambu-Rambu Penyusunan dan
Pengembangan Silabus dan RPP
untuk Pendidikan Karakter
Terdapat sejumlah hal yang sekurang-kurangnya harus menjadi rambu-
rambu bagi guru untuk mengembangkan silabus dan RPP (rencana
pelaksanaan pembelajaran): (1) dokumen-dokumen resmi kurikulum yang
tercakup dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, (2) pedoman penyusunan silabus dan RPP, dan (3) teori-teori
pendidikan karakter. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Pada bagian sebelumnya ada disimpulkan bahwa kelompok mata
pelajaran dan cakupannya tidak lepas dari misi pendidikan karakter. Ini
berarti pembelajaran yang semata-mata kognitif, adalah tidak sejalan dengan
misi ini. Juga, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang
merupakan rincian lanjutan dari kelompok mata pelajaran tersebut sudah
sewajarnya tidak menolakserta (to exclude) keberadaan nilai-nilai.

Di samping itu, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-


SP) mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan menengah kejuruan,
juga mempertegas misi pendidikan karakter. Begitupun halnya dengan
Standar Kompetensi M ata Pelajaran, konsisten dengan misi pendidikan
karakter.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tersebut mengartikan kompetensi
sebagai kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten
sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki
oleh peserta didik. Kata “bersikap” dan “bertindak” pada rum usan
kompetensi ini, jelas m em uat esensi karakter. Silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tidak ada sesuatu yang baru yang harus
dikerjakan guru dalam m enyusun silabus dan RPP ketika guru akan
mengembangkan pendidikan karakter dalam m ata pelajaran yang diam
punya, kecuali ham s memahami SK-KD secara lebih cermat dan dengan
menggunakan perspektif pendidikan karakter. Masalahnya, perspektif
pendidikan karakter ini merupakan barang bam bagi banyak guru

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


yang selama ini dibelenggu oleh perspektif pendidikan kognitif. Bagian
bacaan di atas tentang pendidikan karakter, diharapkan dapat m em bantu
guru untuk m em iliki perspektif pendidikan karakter ketika memahami SK-
KD. Dengan perspektif ini, SK-KD yang memuat pendidikan karakter atau
memang fokus utamanya pendidikan karakter, akan diperlakukan sebagai
pendidikan karakter, dan bukan pengajaran pengetahuan secara eksklusif.
Berikut ini disajikan beberapa contoh silabus pendidikan karakter dengan
harapan para guru terbantu dalam mengembangkan silabus dan RPP yang
menerapkan pendidikan karakter.

Contoh 1 Standar isi

S
t n d a r K K oo m m p p e et t e en n s s
3.1 Menceritakan kisah Nabi Ayyub as.
a h
T r i k

3. Menceritakan kisah Nabi 3.2 Menceritakan kisah Nabi Musa as.


3.3 Menceritakan kisah Nabi Isa as.
A k h l a k 4.1 Meneladani perilaku Nabi Ayyub as.

4, Membiasaka n peri laku terpuji 4.2 Meneladani perilaku Nabi Musa as.
4.3 Meneladani perilaku Nabi Isa as.

Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (Ml),

Kelas V semester . ‫؛‬

Silabus 1

S t a n d: a 3 r . k M o m e n p c e e t re i

K o m p e t e: n3 .s 1 i dM a se a asn. r c e r i

Materi pokok Kisah Nabi Ayyub as:


1. Jalan cerita kisah Nabi Ayyub as.
2. Latar (sett/ng) kejadian kisah Nabi Ayyub

3. Tokoh-tokoh dan karakter dalam kisah Nabi


Ayyub as.
4. Pesan yang terkandung dalam kisah Nabi
Ayyub as.
Perilaku teladan Nabi Ayyub as.

Mem aknai Pendidikan Karakter


Kegiatan pembelajaran 1. M em baca secara individu kisah Nabi
A y y u b AS sesuai p a n d u a n y a n g
disediakan guru (dalam rangka para
siswa membacanya secara intensif melalui
pencapaian indikator-indikator di bawah)

2. Diskusi kelom pok kecil tentang hasil


membaca secara individual tersebut.

3. Beberapa anak te rp ilih secara acak


membacakan kisah tersebut di depan kelas
(guru dapat memberikan contoh cara
membaca cerita secara baik)

4. Diskusi kelas dalam rangka koreksi,


penguatan, dan pengem bangan hasil belajar
siswa.

Indikator 1. Menemutunjukkan jalan/alur cerita kisah Nabi


Ayyub AS

2. M endeskripsikan latar kejadian kisah Nabi


Ayyub AS

3. Mendeskripsikan tokoh-tokoh dan karakter/


perbuatan dari mereka yang terdapat dalam
kisah Nabi Ayyub AS

4. Menginterpretasi pesan yang terkandung


dalam kisah Nabi Ayyub AS

5. M e n de skripsika n secara utuh (niat,


perilaku, konsekuensi) perilaku teladan Nabi
Ayyub AS

6. Memiliki apresiasi yang baik terhadap kisah


Nabi Ayyub AS

Penilaian Laporan individual hasil tugas baca dan diskusi


kelas

Alokasi waktu

Sumber belajar Buku:

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah I 87


Silabus 2

S t a n d a r k o m p e t e n

K o m p e 4 t . e 1 n s i M d ae sn ae rl a d

Materi pokok Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS


1 Perilaku teladan (niat, perilaku, konsekuensi) Nabi
Ayyub AS
2. Pentingnya perilaku teladan Nabi Ayyub AS.
3. Bagaimana meneladaninya

Kegiatan Pembelajaran 1. Memotivasi siswa: pentingnya perilaku teladan Nabi


Ayyub AS (misalnya, kontraskan dengan perilaku orang
atau kelom pok yang bertentangan)
2. Pemodelan di kelas agar siswa mampu melakukan role
playing di kelas
3. Role playing di kelas
4. Praktik perilaku teladan Nabi Ayyub AS dalam
kehidupan harian dan mencatat dan merefleksinya
dalam jurnal siswa.
5. M engajak orang lain untuk meneladani N a b‫؛‬
Ayyub AS.
6. Diskusi kelom pok ten ta ng jurnal siswa, atau
konsultasi dengan guru tentang jurnal siswa
Indikator 1. Memerankan keteladanan Nabi Ayyub AS dalam

latar kelas
2. Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub
AS |
3.Menaaiak orar‫؛‬q lain untuk meneladani Nabi
Ayyub as.
Penilaian j Evaluasi jurnal siswa
i Alokasi waktu -
‫؛‬
| Sumber belajar

*) Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang mampu


menyusunnya secara canggih berkat pengalamannya dalam materi pelajaran,
pergaulan dengan siswa, dan lain-lain.
Catatan: Silabus yang pertam a adalah bagian dari pelajaran tarikh
biasanya (barangkali) diajarkan semata-semata sebagai pelajaran kognitif).
Kisah atau cerita sering menjadi sarana untuk pendidikan karakter. Karena
itu penting adanya siswa membacanya secara

88 I Memaknai Pendidikan Karakter


intensif/mendalam, dengan disediakan panduan/LKS. Juga, puncak dari
pelajaran kisah ini adalah kem ampuan siswa mengapresiasi kisah tersebut.
Apresiasi dalam hal ini jelas sebuah fasilitas penting untuk penum buhan
karakter siswa. Dalam taksonomi Krathwohl, apresiasi termasuk ke dalam
kemampuan valuing (menilai). Adapun dalam sistem Lickona, apresiasi
dapat memfasilitasi berkembangnya kemampuan cinta kebaikan.

Silabus yang kedua adalah bagian dari pelajaran akhlak. Berperilaku


sebagaimana disarankan Nabi Ayyub as. adalah bagian dari tindakan moral
(kompetensi), yang harus dibiasakan dalam kehidupan harian. Pembuatan
jurnal jika dikerjakan sungguh-sungguh dan pendidik menyediakan umpan-
baliknva, dapat m em perkuat perilaku siswa. Adapun diskusi dan konsultasi
jurnal, di samping memperkuat perilaku yang sudah ada, dapat juga
berfungsi koreksi terhadap kelemahan yang ditemukan, atau juga
mengembangkan/ meningkatkan perilaku yang ada. Dengan pendidikan
karakter, latar tem pat terjadinya pem belajaran tidak hanya di kelas.
Kegiatan pem belajaran nom or 4 dan 5 silabus SK-KD akhlak di atas,
mengimplikasikan pem belajaran terjadi juga di luar kelas, dan semua hal ini
di bawah manajemen guru.

Contoh 2
Standar Isi

a ss
S t n d a r K K o o mm pp e e t t e e n n
8. Memahami pentingnya 8.1 Mengidentifikasi kegunaan energi

penghematan energi listrik dan berpartisipasi dalam


penghematannya dalam kehidupan
sehari-hari

Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran IPA untuk Sekolah Dasar


(SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Kelas VI semester 2.

S t a n d a r k o m p e t e n s i :

8.1 Mengidentifikasi kegunaan energi


listrik dan berpartisipasi dalam
Kompetensi dasar penghematannya dalam kehidupan
sehari-hari

Desain Pendidikan Karakter di Sekolah


Materi pokok

Kegiatan pembelajaran

Indikator

Penilaian
Alokasi waktu -

Sumber belajar -

*) Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang mampu


menyusunnya secara lengkap berkat pengalamannya dalam materi pelajaran,
pergaulan dengan siswa, dan lain-lain.

Untuk kepentingan latihan, para pembaca dapat melihat contoh RPP


yang kami buat pada lampiran buku ini.

Memaknai Pendidikan Karakter


aib 3

Hodsl-Model
•-٠ ‫؟‬.‫؛‬

Pendidikan Karakter

A. Memaknai Desain Pembelajaran


untuk Pendidikan Karakter
I. Makna Belajar dalam Pendidikan Karakter
Sebelum memasuki apa dan bagaimana desain pembelajaran dalam
pendidikan karakter, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah belajar
dalam konteks pendidikan karakter. Pemahaman akan hal ini amat penting
untuk memberikan dasar pemikiran mengenai bagaimana seharusnya
pembelajaran didesain.
Tinjauan terhadap berbagai teori belajar akan menyampaikan kita pada
suatu gambaran tentang apa sebenarnya makna belajar dalam berbagai
perspektif. Mari kita kaji beberapa teori belajar vang ada saat ini lalu nanti
kita bandingkan dengan makna belajar menurut pusat kajian p'xlagogik.

Untuk m em aham i m akna belajar, H ergenhahn dan Olson (2009:2-3)


mengemukakan lima rambu-rambu sebagai berikut.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


(1) Belajar diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku. Hasil belajar
harus selalu diterjem ahkan ke dalam perilaku atau tindakan yang dapat
diamati.
(2) Perubahan behavioral ini relatif perm anen. Artinya hanya sementara
dan tidak menetap (relatif).
(3) Perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung setelah
proses belajar selesai. Potensi untuk bertindak ini mungkin tidak akan
diterjemahkan ke dalam bentuk perilaku secara langsung.

(4) Perubahan perilaku (atau potensi behavioral) berasal dari pengalaman


atau praktik (latihan).
(5) Pengalaman atau praktik harus diperkuat. Hanya respon-repson yang
menyebabkan penguatanlah yang akan dipelajari.

Asum si-asumsi di atas m enghantarkan kita kepada suatu pem aham an


bahwa belajar m erupakan suatu pengalaman yang mendahului perubahan
perilaku seseorang. Dengan kata lain, jika seorang anak belajar maka sangat
memungkinkan terjadi perubahan perilaku pada anak tersebut. Pandangan ini
sejalan dengan pandangan banyak ahli psikologi tentang belajar, kecuali
pendapat B.F Skinner yang berpendapat bahwa perubahan perilaku m
erupakan proses belajar itu sendiri dan tak perlu lagi ada proses lain yang
harus disimpulkan. Hergenhahn dan Olson (2009:4) menggambarkannya
sebagai berikut:

Variabel H Variabel
Independen Perantara H Variabel
Dependen

Pengalaman J------- > Belajar


H Perubahan
Perilaku

Gambar 3.1. Pengaruh belajar terhadap perubahan perilaku

Pemahaman tentang teori belajar menjadi amat penting dalam


pendidikan karakter, karena perilaku yang berkarakter itu terbangun melalui
proses belajar, bukan suatu yang kebetulan.

Memaknai Pendidikan Karakter


Berikut beberapa pandangan tentang belajar dari ‫اا'هأا‬ ke waktu :‫؛‬
Tabel 3.1 Lima Sudut Pandangan tentang Belajar
S
u d u t

ro

P a n d a n g i o h gn m e ap
T
N o . P T a a k K d o s
t e r h a d a p
B
e l
a j a r

1. Fungsionalistik Menekankan Edward • Bentuk paling dasar dari proses


hubungan ^ o m d ik e belajar adalah trial and error
learning (belajar dengan uji
antara belajar (1871- coba).
dengan 194?)
٠ Belajar adalah incremental,
penyesuaian bukan langsung ke
diri dengan pengertian mendalam
lingkungan. ( insightful).
Banyak • Belajar tidak dimediasi
dipengaruhi oleh ide.
oleh pemikiran • Semua mamalia belajar
Darwinisme. dengan cara yang sama.
• Law o f readiness, law
o f exercise, dan law o f
effect.

Burrhus ٠ Membedakan dua jenis


Frederick perilaktt: respondent
Skinner behavior (perilaku
(1904- responded yang
1990) ditimbnlkan oleh suatu
stimulus yang dikenali,
dan operant behavior
(perilaku operan), yang
tidak diakibatkan oleh
stimulus yang dikenal
tetapi dilakukan sendiri
oleh organisme.
٠ Ada dua jenis
pengkondisian (Tipe
Pengkondisian Tipe S

yang menekankan arti


penting stimulus dalam
menimbulkan respons
yang diinginkan. Tipe R:
kondisi yang menyangkut ;

perilaku operan yang j

penekanannya pada j

respons.
‫؛‬
١ ‫؛‬
— ‫ﺺﺳ‬. _

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


Dua prinsip pengkondisian
operan: 1) setiap respon
yang diikuti dengan
stimulus yang menguatkan
cenderung akan diulang,
dan 2) stimulus yang
menguatkan adalah
segala sesuatu yang
memperbesar rata-rata
terjadinya respon operan.
٠ Belajar akan sangat efektif
apabila: 1) informasi yang
akan dipelajari disajikan
secara bertahap, 2) j
pembelajar segera diberi |
umpan balik (feedback)
mengenai akurasi
pembelajaran mereka,
dan 3) pembelajar
mampu belajar dengan
caranya sendiri.
Clark ٠ Ada tiga macam
Leonard variabel dalam teori
Hull Hull: 1) variabel bebas
(1884- (independen) yang
1952) merupakan kejadian
stimulus yang secara
sistematis dimanipulasi
oleh eksperimenter. 2)
variabel pengintervensi
(.intervening), yakni
proses yang dianggap
terjadi di dalam
organisme tetapi tidak
dapat diamati secara
langsung. 3) variabel
terikat (dependen), yakni
beberapa aspek dari
perilaku yang diukur oleh
eksperimenter dalam
rangka menentukan
apakah variable punya
efek atau tidak.
٠ Teori belajar Hull adalah
teori reduksi dorongan
atau reduksi stimulus
dorongan. Belajar
melibatkan dorongan
yang dapat direduksi.

94 Memaknai Pendidikan Karakter


2. Asosiasinistik Mempelajari Ivan ‫إ‬ Ada dua proses dasar
proses belajar Petrovich ; yang mengatur semua
dalam term Pavlop aktivitas sistem syaraf
hukum (1 849- sentral adalah excitation
asosiasi. 1936) (eksitasi) dan inhibition
Berasal dari (hambatan).
Aristoteles dan Prinsip Pavplovian
dipertahankan sulit diaplikasikan ke
dan dielaborasi pendidikan kelas. Setiap
oleh focke, kali kejadian netral
Barkeley, dan dipasangkan dengan
Hume. kejadian bermakna, akan
terjadi pengkondisian
klasik.
Prinsip pengkondisian
klasik dapat dipakai
dalam program
pendidikan, khususnya
dipakai untuk
memodifikasi perilaku,
situasinya tampak
menyerupai brainwashing
ketimbang pendidikan.
Asosiasi antara stimulus

dan respons terjadi


hanya karena keduanya
terjadi bersama-sama.
Law o f contiguity
(hukum kontiguitas):
"kombinasi stimuli yang
mengiringi suatu gerakan
akan cenderung diikuti
oleh gerakan itu jika
kejadiannya berulang"
yang direvisi menjadi
"Apa-apa yang dilihat
akan menjadi sinyal untuk ;
apa-apa yang dilakukan."
Dengan kata lain: jika
Anda melakukan sesuatu
dalam situasi tertentu,
pada waktu lain saat
Anda dalam situasi itu
Anda cenderung akan
melakukan hal yang
sama.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


• Pendidikan dimulai
dengan menyatakan
tujuan, yakni menyatakan
respon apa yang harus
dibuat untuk stimuli.
٠ Sekolah seharusnya
menyerupai situasi
kehidupan nyata semirip
mungkin.
• Hukuman terkadang
dapat mengatasi perilaku
yang m engganggu dan
hukuman mesti dipakai
saat perilaku disruptif itu
sedang terjadi.
William ٠ Mengemukakan teori

Kay stimulus sampling theory


Estes (SST).
(1919-...) ٠ Dengan lingkungan
belajar yang kompleks,
proses belajar
berlangsung dengan cara
sekaligus atau tidak sama
sekali (all or none), hanya
saja ia berjalan sedikit
demi sedikit pada suatu
waktu.
Kognitif Menekankan ٠ Mengaplikasikan field

sifat kognitif theory (teori medan)


dari belajar. dari fisika ke problem
Berasal dari psikologi. Secara umum
Plato dan dideskripsikan sebagai
sampai kepada system yang saling terkait
kita melalui secara dinamis, di mana
Descartes. setiap bagiannya saling
Teori Gestalt mempengaruhi satu sama
lain.
• Psikologi gestalt percaya
bahwa apapun yang
terjadi pada seseorang
akan mempengaruhi
segala sesuatu yang lain
di dalam diri orang itu.
• Belajar adalah memuaskan
secara personal dan tidak
perlu didorong-dorong
oleh penguatan eksternal.

Memaknai Pendidikan Karakter


3. Kognitif Menekankan Mengaplikasikan field
sifat kognitif theory (teori medan)
dari belajar. dari fisika ke problem
Berasal dari psikologi. Secara umum
Plato dan dideskripsikan sebagai
sampai kepada sistem yang saling terkait
kita melalui secara dinamis, di mana
Descartes. setiap bagiannya saling
Teori Gestalt mempengaruhi satu sama
lain.
Psikologi Gestalt percaya
bahwa apa pun yang
terjadi pada seseorang
akan mempengaruhi
segala sesuatu yang lain
di dalam diri orang itu.
Belajar adalah memuaskan
secara personal dan tidak
perlu didorong -dorong
oleh penguatan eksternal.
Belajar dapat dimulai
dengan sesuatu yang
familiar dan setiap
langkah dalam pendidikan
didasarkan pada hal-hal
yang sudah dikuasai.
Ketika hal-hal yang
dipelajari telah dipahami,
bukan hanya diingat,
maka ia dapat dengan
mudah diaplikasikan ke
situasi yang baru dan
dipertahankan dalam
jangka waktu yang lama.
Jean Anak dilahirkan dengan

: Piaget beberapa schemata


sensorimotor, yang
memberi kerangka bagi
interaksi awal mereka
dengan lingkungannya.
Pengalaman pendidikan
harus dibangun di
seputar struktur kognitif
pembelajar.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 97


Materi pendidikan yang
tidak dapat diasimilasikan ‫؛‬
ke struktur kognitif anak
tidak akan bermakna bagi
si anak. Agar belajar
terjadi, materi perlu
sebagian sudah diketahui
dan sebagian belum.
Bagian yang sudah
diketahui akan diasimilasi
dan bagian yang I
belum diketahui akan
menimbulkan modifikasi
dalam struktur kognitif
anak.
Modifikasi ini disebut
akomodasi yang dapat
disamakan dengan belajar.
Pendidikan yang optimal
membutuhkan pengalaman
yang menantang
bagi si pembelajar,
sehingga proses
asimilasi dan akomodasi
dapat menghasilkan ‫؛‬
pertumbuhan intelektual.
Belajar bukan hanya soal
— U
Edward
Chace memberi respon atau
Tolman strategi yang benar,
(1886- tetapi juga menghilangkan
1959) resoon atau strateai vana
salah.
Yang penting untuk
anak (murid) adalah
ada kesempatan, secara
individual atau anggota
kelompok, untuk menguji
ide-idenya secara
memadai. Guru bertindak
sebagai konsultan
yang membantu siswa
dalam menjelaskan dan
mengkonformasi atau
menolak hipotesis.

Memaknai Pendidikan Karakter


Siswa semestinya
dihadapkan pada topik dari
berbagai sudut pandang yang
berbeda. Proses ini
memungkinkan siswa untuk
membangun proses kognitif,
yang akan dipakai siswa
untuk menjawab pertanyaan
tentang topik tertentu dan
topik lainnya. Penguatan
ekstrinsik dianggap tidak
perlu untuk memicu proses
belajar. Belajar terjadi secara
konstan.

Albert
Bandura Belajar bersifat terus
(1925-...) menerus dan tidak
bergantung pada
penguatan.
Proses belajar manusia
biasanya terjadi dengan
mengamati konsekuensi dari
perilaku model. Empat proses
utama yang dianggap mem
pengaruhi jalannya belajar
observasional: 1) proses
atensional, yang menentukan
aspek mana dari situasi m
odeling yang akan
diperhatikan; 2) proses
retensional, yang melibatkan
pengkodean informasi secara
imajinal dan verbal sehingga
bisa disimpan dan dipakai

di waktu mendatang;
3) proses pembentukan
perilaku, yang melibatkan
kemampuan untuk memberi
respon yang dibutuhkan
untuk menerjemahkan hal-hal
yang sudah dipelajari

ke dalam perilaku; 4) proses


motivasional, yang
menentukan aspek mana dari
respon yang telah dipelajari
sebelumnya yang akan
1 diterjemahkan ke dalam
tindakan.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


Ada interaksi resiprokal
(interaksi konstan antara
lingkungan, perilaku
dan orang). Perilaku
mempengaruhi lingkungan
sebagaimana lingkungan
memengaruhi perilaku.
Selain itu, orang
memengaruhi perilaku dan
linkungan.
Melalui belajar langsung
dan observasional,
muncul standar performa
yang bertindak sebagai
pedoman dalam
mengevaluasi seseorang.
Jika perilaku seseorang
sesuai atau melebihi
standar, ia dinilai positif;
jika tidak, ia akan dinilai
negatif.
Proses kognitif yang
salah dapat muncul
dari persepsi yang
tidak akurat, generalisasi
berlebihan atau informasi
yang tidak lengkap
(keliru).
Teori kognitif sosial
menekankan fakta bahwa
hampir semua informasi
kita peroleh dari interaksi
kita dengan orang lain.
Segala sesuatu yang
dapat dipelajari melalui
pengalaman langsung
juga bisa dipelajari secara
tak langsung lewat
observasi.
Donald M enurut Hebb ada
4. Neurofisiologis Berusaha
O lding dua jenis belajar:
mengisolasi
Hebb 1) berkaitan dengan
korelasi
(1904 pembentukan kumpulan
neurofisiologis
dari hal-hal sel dan sekuensi fase
seperti belajar, secara gradual selama
persepsi, masa bayi dan kanak-
pemikiran, dan kanak. Proses belajar
kecerdasan. awal ini representasi
Diawali dari neurologis atas objek dan
rangkaian lingkungan.
penelitian

Memaknai Pendidikan Karakter


Descartes yang Semakin kompleks
memisahkan suatu lingkungan,
antara tubuh semakin banyak yang
dengan akan direpresentasikan
pikiran. Tujuan dalam level neurologis.
Neurofisiologis Semakin banyak yang
saat ini direpresentasikan di
menyatukan level neural, semakin
kembali proses besar kemampuan anak
fisiologis dan untuk berpikir. Untuk
mental. itu guru bertugas untuk
menciptakan lingkungan
pendidikan yang
bervariasi.
• setelah sekumpulan sel dan
sekuensi fase berkembang
pada masa kecil, proses
belajar selanjutnya biasanya
berupa penataan ulang.
Setelah blok bangunan
terbentuk, blok itu dapat diatur
kembali menjadi berbagai
macam bentuk. Proses belajar
di tingkat selanjutnya
berbentuk perceptual, cepat,
dan berwawasan. Tugas guru
adalah membantu mereka

memahami apa yang sudah


mereka pelajari dengan cara
yang kreatif.
• Karakteristik fisik dari
lingkungan belajar adalah
sangat penting.
• Belahan otak kiri dan kanan
tidak belajar atau berperilaku
secara sendiri-sendiri dan
perbedaannya bukan bersifat
dikotomi.
٠ Fungsi otak normal adalah
saling terkait secara
keseluruhan, dan dianggap
mustahil untuk menciptakan
pengalaman pendidikan yang
dikhususkan pada satu
■1, ■ ٠١١ ٠. ،
...
belahan otak saja.
H'/ ■ '

//»/ ;
______ ______ ______ ______ —

٠ "• _____ - ‫؛‬

1 ،v

'Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 101


Menekankan ! Robert Psikologi evolusioner tidak
pada sejarah C. Bolles ‫؛‬ memiliki implikasi untuk
evolusi teknik pengajaran secara
proses belajar khusus, tetapi berimplikasi
organisme. banyak terhadap
Paradigma ini kurikulum pendidikan.
berfokus pada Manusia memiliki
cara di mana kecenderungan untuk
proses evolusi mementingkan diri sendiri,
mempersiapkan xenophobia, dan agresi.
organisme Kurikulum dan aktivitas
untuk sekolah, bersama dengan
beberapa jenis pengaruh budaya lainnya,
belajar tetapi seperti praktik pengasuhan
m em buat jenis anak, harus disusun
belajar lain sedemikian rupa sehingga
menjadi sulit bisa melemahkan tendensi
atau mustahil. alamiah itu.
Manusia secara biologis
siap untuk belajar
hal-hal yang dinilai
positif oleh suatu
kultur. Misalnya, karena
manusia cenderung bisa
menguasai bahasa, maka
sekolah harus menekankan
pada belajar bilingual di
tahap awai pendidikan.
Pandangan psikologi
evolusioner mengingatkan
pendidik untuk
menghindari "nothing-
butism", yakni asumsi
bahwa perilaku ditentukan
oleh gen atau oleh kultur
saja. Menurut mereka,
perilaku manusia selalu
merupakan fungsi dari
keduanya.

Sumber: Diringkas dari buku The Theories L ea rn in g belajar) B.R. Hergenhahn dan
Matthew H. Oison (Edisi ketujuh tahun 200

Menurut kami, untuk memahami makna belajar dalam pendidikan


karakter perlu dipahami terlebih dahulu mengenai esensi manusia.
Manusia dapat dipandang sebagai tmnsmitter, yaitu organisme yang
menerima energi dari lingkungannya dan menyalurkan energi dari
dirinya kepada lingkungannya. Energi dari suatu benda dalam dunia
fisika adalah ukuran dari kesanggupan benda tersebut untuk

Memaknai Pendidikan Karakter


melakukan suatu usaha. Energi terdiri dari atom, elektron dan proton.
Jenis energi ini banyak, di antaranya energi potensial, energi
kinetik/kinetis, energi panas, energi air, energi batu bara, energi minyak
bumi, energi listrik, energi matahari, energi angin, energi kimia, energi
nuklir, energi gas bumi, energi ombak dan gelombang, energi minyak
bumi, energi mekanik/mekanis, energi cahaya, energi listrik, dan
sebagainya. Energi yang dimaksud dalam kajian pendidikan karakter
adalah suatu hal, situasi, dan kondisi yang mempengaruhi terhadap
organisme/individu manusia sehingga melakukan sesuatu. Energi ini
dapat berupa energi positif
( atau energi negatif (-). Energi positif adalah potensi yang
mempengaruhi dan mengarahkan perilaku individu atau kelompok
untuk berperilaku baik/benar/memperbaiki. Energi negatif adalah
potensi yang mengarahkan perilaku individu kepada perilaku yang
jahat/salah/merusak. Jadi dapat dikatakan bahwa anak menerima
pengaruh dari suatu hal, situasi dan kondisi lingkungannya dan juga
menyalurkan pengaruh berupa hal, situasi, dan kondisi kepada
lingkungannya. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:

٠• Student

Gambar 3.2. Proses transmisi energi pada manusia

Berdasarkan asumsi di atas, dipahami bahwa belajar dalam


konteks pendidikan karakter menurut Pusat Penkajian Pedagogik
adalah proses menerima atau menolak dan menyalurkan nilai untuk
diadopsi atau diabaikan dalam perilaku keseharian anak yang
dipengaruhi oleh kondisi/potensi awal yang dimiliki anak. Belajar
dideskripsikan sebagai proses yang memunculkan analisis

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


kognisi, afeksi dan psikomotor secara terpadu dan menghasilkan
keputusan apakah suatu hal akan dilakukan/di terima atau tidak
dilakukan/diterima. Proses ini tidak dapat dilihat secara langsung,
karena terjadi dalam diri manusia dan merupakan proses gaib.
Proses belajar dalam konteks pendidikan karakter ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

+ + J 1 1K + + + +
Potensi awal Proses Belajar ; Hasil Belajar

"TTMU•'
'CAS‫؛‬
Gambar 3.3. Proses belajar dalam konteks pendidikan karakter

Proses belajar pada Gambar 3.3. menunjukkan banyak


dipengaruhi oleh energi negatif dan energi positif. Berdasarkan
gambaran proses belajar seperti dapat dipahami lebih jauh mengenai
bagaimana peran guru dalam menetralisasi energi negatif menjadi
energi positif. Mari kita lihat analisis berikut.
Pada suatu interaksi antara guru dengan siswa di suatu kelas,
guru mengawali pertemuannya dengan anak melalui
ucapan salam yang khas ketika masuk ke kelas. Kekhasan
salam ini dilakukan dengan cara diam tepat di pintu lalu
mengucapkan salam sambil menatap kelas. Guru tidak
mengucapkan salam sambil berjalan menuju kursi. Kemudian
guru melihat ada beberapa sampah kertas dan bekas minuman
di bawah meja para siswa. Sebelum menyimpan peralatan
pembelajaran yang dibawa, guru mengambil kertas yang
terjangkau olehnya kemudian menyimpannya di tong sampah.
Setelah itu guru mengajak anak-anak berdoa sebelum memulai
pelajaran. Dalam proses tersebut (berdoa) guru mendoakan
anak-anak yang berada di kelas

10 4 I Memaknai Pendidikan Karakter


supaya m endapatkan m anfaat dan m em berikan m anfaat dari proses
belajar dengan guru.

Apabila kita analisis kasus ini, dapat dipaham i beberapa energi negatif
yang terlihat langsung secara kasat m ata, yaitu: (1) konsentrasi anak
yang belum fokus ketika guru masuk, (2) banyak sam pah di kelas.

Analisis terhadap proses penefralan energi negatif dilakukan oleh guru


dengan cara: (1) m engucapkan salam secara khas kepada kelas, (2) m
em andang ke kelas ketika akan m asuk kelas, (3) anak berdoa, dan (4)
guru m erdoakan anak-anak.

Dalam proses inilah terjadi proses anak belajar suatu nilai. Ketika
proses ini berulang dan terasa nyam an dalam diri anak, m aka dapat
dipastikan bahw a anak akan memiliki karakter dari nilai yang
diperkuat melalui proses belajar.
?roses belajar itu bersifat gaib. Dalam konteks proses yang gaib, pendidik
perlu mengkaji secara khusus pengaruh dari setan sebagai pihak yang m em
pengaruhi m anusia m elalui (transfer) pengaruh energi negatif kepada diri m
anusia. G am baran pengaruh ini dapat dikaji dalam Sur’at An-Nas [114] 1:6
sebagai berikut.

1. ‫ﻲﻠﻗا‬ ‫بﺮﺑ‬ ‫فﻮﻓأ ﻦﻗ‬

Katakanlah: “ Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan


menguasai) manusia.

Raja manusia.

3 ‫ﻪﺗا ﺶﺌﺋأ‬, .
W - r

Sembahan manusia.
4, - ‫صمﻧ‬
- ‫ﺮﺳ ﻦﻣ‬

‫ﺎﻤﻣ[ﺀﻢﻧ‬

dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi.

‫ روﺪﺻ‬. ‫أ‬5 ‫ﻲﻓ س ﺄﻗ‬ ‫ﻲﺘﺋا‬Ž‫ي سﻮﻨﻫﻮﻳ‬


‫سا‬
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

Modei-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


،J■*
dari (golongan) jin dan manusia.

Pada ayat 5 Surat An Nas tersebut dengan jelas Allah Swt.


menjelaskan bahw a m anusia harus berlindung dari bisikan kejahatan setan ke
dalam dada (hati) m anusia. Ayat 6 m enjelaskan bahw a energi negatif m anusia
itu ada yang datang dari jin dan manusia.
B erdasarkan kajian terhadap surat An-Nas ini m aka pendidikan
perlu untuk m em bentengi perilaku diri dan anak didiknya melalui doa kepada
Allah Swt. untuk selalu dilindungi dari godaan sietan yang terkutuk. Dengan
demikian dapat dipaham i bahw a doa dalam proses belajar menjadi suatu hal
yang m utlak untuk dilakukan oleh pendidikan dan anak didik.

B erdasarkan kajian di atas, kam i m em andang bahw a KBM dalam


pendidikan karakter bukan m em berikan w arna kepada anak tentang su atu
nilai, tetapi m erupakan proses interaksi alam iah yang selalu didasarkan/dirujuk
kepada suatu nilai. Dan tidak ada perilaku yang bebas dari nilai. Sem ua perilaku
didasari/m erujuk pada suatu nilai. Persoalannya adalah, apakah guru m em
aham i nilai apa yang ada di balik setiap perilaku yang dilakukan guru selama
berinteraksi dengan peserta didik. Jika saja dalam kasus tertentu guru tidak m
engakui bahw a “selam a proses interaksi dia dengan peserta didiknya, tidak ada
nilai khusus yang dirujuk”, m aka guru tidak m em aham i hakikat nilai.

Gambar 3.4 Perumpamaan pendidikan karakter bukan


mewarnai jiwa anak

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Jika proses yang terjadi dalam pem belajaran di kelas-kelas sebagaim ana G
am bar 3.4, m aka anak dipaksa u ntuk m enerim a suatu nilai dengan cara dogm
atis dan anak diposisikan sebagai pihak yang tidak m em iliki potensi. Inilah
yang sering m uncul dalam persepsi para guru ketika m engahadapi anak-anak di
kelas. Tentu saja ini tidak dapat disebut sebagai pendidikan karakter, tetapi m
endekati p ad a praktik dem agogi. Di m an a anak, m au tidak m au harus m
enerim a suatu nilai secara paksa dari gurunya. Pendidikan karakter bukan m em
aksa anak untuk m enerim a suatu nilai dan menjadi perilaku, tetapi layanan
yang m engarahkan dan m enguatkan anak pada suatu nilai.

Tentu saja proses belajar antara "mewarnai” dan “m engarahkan dan “m


enguatkan” m erupakan dua proses belajar yang berbeda. Di m ana letak
perbedaannya? Mari kita analisis lebih lanjut!
Jika anak diposisikan sebagai pihak yang diwarnai oleh gurunya, m aka
posisi anak dalam proses belajar adalah objek atau individu yang menjadi
sasaran ajar. Sedangkan dalam proses "diarahkan dan dikuatkan” oleh guru, m
aka anak tidak saja sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Anak diposisikan
sebagai pihak yang memiliki keterkaitan satu sam a lain, baik dengan anak didik
lainnya m aupun dengan berbagai hal yang ada di sekitarnya. B ukan saja anak
itu mempelajari dan meresapi suatu nilai, tetapi juga m enularkan nilai kepada
lingkungannya yang dirasakan oleh anak secara sadar. Dengan kata lain, anak
didik tidak saja orang yang menerim a, tetapi juga m erupakan pihak yang m em
berikan arahan dan penguatan nilai kepada lingkungannya. Lalu siapa
sebenarnya yang disebut lingkungan itu? Apakah guru term asuk pada
lingkungan?

Interaksi anak didik dengan lingkungan memiliki m akna yang luas, m akna
lingkungan bukan saja kelas dalam arti ruangan kelas beserta aiiifact di dalam
kelas tersebut. Lingkungan anak dalam konteks pendidikan karakter dipaham i
sebagai segala sesuatu yang terlihat, terdengar, terpikir, dan terasakan oleh anak.
Lingkungan tidak m engarah pada sesuatu objek fisik semata, tetapi juga apa
vang didengar, dilihat, dipikirkan dan dirasakan oleh anak. Karena itu hal-hal
(objek) yang dipelajari anak dapat m enem bus keterbatasan ruang dan waktu
dan hal itu diasum sikan m em pengaruhi perilaku anak.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I 10 7


2. Makna Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter
Istilah pem belajaran menjadi semakin kerap terdengar dalam
kajian pendidikan persekolahan saat ini. Istilah ini m erupakan
p en g em b an g an istilah d ari “p ro ses b elajar m en g a jar” (PBM).
Pengembangan istilah ini disertai penekanan m akna dalam praktik
kegiatan belajar m engajar (KBM) di sekolah. Penekanan m akna ini
utam anya ditujukan pada "proses” atau hal-hal yang dilakukan oleh
guru dan anak dalam PBM.
Dalam istilah PBM, m akna yang fam iliar bagi guru-guru saat
ini adalah guru m elakukan pengajaran dalam berbagai m ateri ajar
kepada peserta didik. Dalam proses ini guru memiliki peran yang
d o m in an dalam proses, sedangkan sisw a berperan lebih pasif,
a tau lebih banyak m enerim a inform asi dari guru . Peran guru
dalam PBM lebih banyak dim aknai sebagai pengajar. Sedangkan
istilah “pem belajaran” yang saat ini menjadi lebih aktual, dimaknai
sebagai proses interaksi peserta didik dengan lingkungan belajarnya. Dalam
proses ini anak menjadi objek dan sekaligus subjek belajar, sedangkan guru dan
lingkungan belajar lainnya m enjadi kondisi penting yang m enyertai dalam
proses pem belajaran. Peran guru
dalam proses pem belajaran lebih banyak dim aknai sebagai fasilitator
supaya anak m engalami proses belajar.
D alam kajian p enulis, p eristilah an ked u an y a b u k an su atu
persoalan, tetapi substansi yang menyertainyalah yang menjadi kajian
lebih lanjut. M engapa demikian? Sebagian praktisi dan akademisi
ada juga yang mendefinisikan PBM sebagai proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungan belajar. Artinya istilah PBM dan pem belajaran menjadi am
bigu (sam ar) dalam penggunaan keseharian pada pihak-pihak tertentu.
Selanjutnya dalam penulisan buku ini, peristilahan PBM dan pem belajaran akan
digunakan saling berganti dengan m akna yang sam a yaitu suatu proses untuk
memfasilitasi anak mengalam i proses belajar.

A pakah p e m b e la ja ra n y an g se la m a in i d ila k u k a n d a p a t
dikategorikan sebagai proses pen d id ik an k arak ter atau bukan?
Jaw aban akan hal ini cukup berat, karena harus dijawab setelah
m elakukan riset besar. N am un demikian, berdasarkan pengalam an
kami dalam m elakukan pem binaan kepada guru-guru di berbagai
w ilayah Indonesia, pengalam an ketika m enjadi asesor sertifikasi

10 8 I Memaknai Pendidikan Karakter


guru SD, instruktur dalam kegiatan PLPG guru SD, dan interaksi dengan p ara m
ahasisw a PGSD yang berasal dari guru-guru (kelas kerjasam a), faktanya m
enunjukkan bahw a kecenderungan KBM yang terjadi di kelas-kelas tidak m
enunjukkan pendidikan karakter. Tetapi lebih m enunjukkan sebagai pengajaran.
Indikasi yang dapat m encirikan hal tersebut yakni:

1. desain silabus dan RPP yang dibuat guru-guru saat ini cenderung berpusat
pada guru, bukan pada anak;
2. hirarki perilaku yang dirancang dalam silabus dan RPP cenderung
berada pada perilaku tingkat rendah (Cl), bahkan sebagian guru m
enganggap bahw a hirarki perilaku dalam kategori Cl itu m em ang d
iperuntukkan u n tu k peserta didik yang tidak berkategori cerdas istimewa,
sedangkan hirarki perilaku C2-C4 diperuntukkan untuk anak-anak yang
dikategorikan cerdas istimewa. Akan hal ini, penulis berbeda pemikiran.
Apa bedanya? Kami melihat bahw a ketika anak dikondisikan untuk
menguasai su atu kom petensi p ad a level Cl s.d C3, m aka an ak akan
disiksa untuk mengingat banyak fakta, bahkan m inim dengan pem aham an
dan aplikasi konsep.

3. KBM yang terjadi sering tidak kontekstual dengan kehidupan


anak, bahkan verbalisme banyak menjadi keunggulan para guru saat ini.

4. m eto d e p e m b e la ja ra n yang b a n y a k d ila k u k a n cen d eru n g


ceram ah tunggal. Anak yang baik dipersepsi sebagai anak yang
m endengarkan dan m am pu m engulang apa yang diceram ahkan
oleh gurunya. Sungguh keterlaluan! Jika guru m enganggap
anak sebagai m esin perekam atau m esin fotokopi yang harus
m erekam segala apa yang dikatakan dan dilakukan oleh guru;
5. Evaluasi akhir jarang dilakukan. Ketika dilakukan, informasi dari hasil
evaluasi jarang ditindaklanjuti. Terkait dengan penyebab hal ini ada faktor
utam a yang harus menjadi perhatian bersam a (sekolah, orang tua, d an
pem erintah) yang kam i tem ukan, yaitu jum lah siswa yang cukup besar
(40 anak/kelas) dalam setiap kelasnya. S ecara sad ar kam i m elihat bahw a
hal ini sangat m em ungkinkan terjadinya penghalang bagi guru untuk

m em berikan ca ta ta n khusus terh ad ap pekerjaan anak baik yang


dikerjakan di kelas m aupun di rum ah. Di sam ping itu ad a faktor birokrasi
yang h aru s diadvokasi bagi guru -guru terutam a terkait dengan persoalan
pertanggungjaw aban dana

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


BOS yang diterim a oleh sekolah. Hal ini perlu kajian khusus.
N am un kami ingin m enekankan bahw a indikasi poin kelima
ini begitu rumit.
Perlu ditegaskan kembali, bahw a tem uan penulis di atas bukan

hasil riset pada lingkup yang besar, tetapi berdasarkan pada hasil
pengam atan dan pengalam an berinteraksi dengan guru-guru, yang
kebanyakan adalah guru SD.
Lalu yang b ag aim an ak ah p e m b elajaran u n tu k pen d id ik an
karakter? Di baw ah ini kam i akan m engem ukakan ide-ide dari
Pusat Pengkajian Pedagogik terkait dengan desain pem belajaran
dalam pendidikan karakter.
Pem belajaran dalam pendidikan karakter penulis definisikan
sebagai Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan
perilaku anak secara utuh yang didasarkan/dirujuk pada suatu
nilai. Peguatan adalah upaya untuk melapisi suatu perilaku anak sehingga
berlapis (kuat). Pengem bangan perilaku adalah proses adaptasi perilaku anak
terhadap situasi dan kondisi baru yang dihadapi berdasarkan pengalam an anak.
Kegiatan penguatan dan pengem bangan didasarkan pada suatu nilai yang
dirujuk. Artinya, proses pendidikan k arak ter ad alah proses yang terjadi karen a
didesain secara sadar, bukan suatu kebetulan.

G am baran pem belajaran dalam pendidikan karakter dapat dilihat pada


gam bar berikut.

Stakeholders
b• ‫>—؛‬ NilaiKTSP— ٦ Visi Sekolah
L-

Silabus
Pengalaman

RPP Belajar Anak -ri Karakter

Rumah 1

Indikator
' ‫؛‬

‫؛‬.Pembelajaran;
Evaluasi
Layanan KBM
G uru

(X !
l ^l_

Sekolah
‫؛‬

Hirarkhi Kompetensi Karakter

Gambar 3.5. Seting pembelajaran dalam pendidikan karakter

Memaknai Pendidikan Karakter


M elalui G am b ar 3.1, kam i b erm ak su d m enjelaskan bahw a
pem belajaran dalam pendidikan karakter diawali dari dirujuknya
suatu nilai oleh sekolah berdasarkan diskusi antara sekolah dengan stakeholder.
Nilai yang dirujuk ini kem udian menjadi nilai sekolah yang m endasari
penyusunan suatu visi sekolah. Visi sekolah ini
kem udian dijabarkan ke dalam kurikulum yang dibuat pada level sekolah yang
dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam hal ini,
silabus dan RPP yang dikem bangkan oleh
guru tentu berbeda dengan silabus dan RPP yang bukan untuk pem belajaran
karakter. Hal ini dapat dikaji ulang pada Bab II buku ini.

Pengalam an belajar anak dalam seting pendidikan karakter dilakukan


dalam tiga tem pat, yaitu kelas, sekolah, dan rum ah. Hal
ini mengimplikasikan bahw a guru harus m erancang dalam silabus dan RPP nya
mengenai pengalam an apa yang ham s dilalui oleh
anak dalam upaya penguatan suatu nilai di sekolah dan di rum ah. Jadi yang
harus dipikirkan oleh guru bukan lingkup kelas lagi, tetapi lingkup sekolah dan
rum ah, bahkan m asyarakat di suatu daerah.
Desain pem belajaran yang dikem bangkan oleh guru kem udian m enjadi
layanan KBM bagi peserta didik. Layanan KBM dalam pendidikan karakter ham
s m em enuhi tiga kunci berikut:

٠ Dasar pendidikan = kasih sayang


• Syarat teknis = saling percaya ٠
Syarat mutlak = Kewajiban

Dasar Pendidikan adalah kasih sayang m aksudnya bahwa KBM yang


difasilitasi oleh guru m erupakan bentuk/wujud kasih sayang guru terhadap
anak, bukan dipersepsi dan diasum sikan sebagai pelaksanaan tugas/keija
sebagai PNS/guru honorer di suatu sekolah. Dasar ini menjadi am at penting
dalam proses pembelajaran, karena asum si guru tentang KBM akan m elandasi
perilaku guru dalam melayani anak dalam KBM. Jika seorang guru m
endasarkan KBM nya pada kasih sayang, m aka transmisi nilai yang dirujuk
menjadi suatu perilaku khas pada anak akan m udah untuk terwujud. Akan
tetapi, jika apa yang dilakukan oleh guru tidak dilandasi kasih sayang, semisal
sebagai pelaksanaan tugas semata, m aka transmisi m akna/pem aham an yang
ditangkap oleh anak bukan “suatu nilai

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


itu penting bagi diri dan lingkungannya, tetapi KBM adalah proses yang h aru s
dilalui oleh anak d alam kehidupan kesehariannya,
sebagaim ana m akan, m inum , d an berm ain ." K ondisi ini telah m
enghilangkan esensi belajar pada diri anak.
Syarat teknis adalah saling percaya m aksudnya bahw a interaksi pem
belajaran dalam pendidikan karakter yang dibangun oleh guru m ensyaratkan
adanya saling percaya antara guru dengan peserta
didik, peserta didik dengan peserta didik, dan lingkungan pendidikan
dengan peserta didik. Hal ini m enunjukkan bahw a guru memiliki
peran yang besar untuk m em berikan keteladanan dalam m em percapai
bahw a setiap anak adalah individu yang m em iliki potensi yang
harus difasilitasi oleh guru dan lingkungannya. Jika KBM tidak
disertai adanya kepercayaan guru terh ad ap peserta didik, m aka guru akan m
engkondisikan anak untuk selalu MENDENGAR bukan BELAJAR. M akna
saling percaya juga adalah adanya hubungan yang erat antara peserta didik
dengan guru dan peserta didik dengan
peserta didik lainnya. Transform asi suatu nilai m enjadi perilaku adalah suatu
proses yang kompleks dan berdim ensi waktu yang cukup lama, terlebih jika
peserta didik tidak memiliki kepercayaan
kepada guru dan lingkungannya.
"Syarat m utlak adalah kewibawaan” m aksudnya bahwa proses
pen d id ik an k arak ter tidak akan terw ujud (tidak m enghasilkan
kepemilikan karakter oleh anak) m anakala guru diasum sikan tidak
berwibawa di m ata peserta didik. Kewibawaan adalah suatu kondisi
di m ana anak m engasum sikan bahw a guru memiliki kelayakan
sebagai seorang guru . K ew ibaw aan m eru p ak an su atu kondisi
yang lah ir secara alam iah berd asark an interaksi an ak dengan
lingkungannya, bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh guru, semisal dengan m em
arahi anak yang tidak m enghorm ati guiu tersebut atau dengan m enegakkan
aturan yang sangat keras/ketat sebagaim ana pengkondisian di instansi militer.

B e rd a sa rk a n p a p a ra n di a ta s, d a p a t d im a k n a i lebih
khusus bahw a pem belajaran dalam pendidikan karakter
adalah pem belajaran yang m engarah pada penguatan dan
pengem bangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu
nilai. Pengalam an belajar anak dalam pendidikan karakter m erupakan
suatu proses yang terpadu antara proses di kelas, sekolah, dan rum ah.

112 I Memaknai Pendidikan Karakter


3. Dua Bentuk Pembelajaran dalam Pendidikan
Karakter
Pusat Pengkajian Pedagogik UPI sebagai salah satu institusi yang m encoba
m engem bangkan teori dan praktik pendidikan m enuju pendidikan yang lebih
baik, m encoba m engem bangkan dua jenis
pem belajaran yang m engarah pada pendidikan karakter. Artinya dengan d u a
ben tu k pem b elajaran ini d ap at dibedakan apakah suatu pem belajaran
dikategorikan sebagai pendidikan karakter atau
pengajaran semata. Dua bentuk yang dim aksud adalah pembelajaran substantif
dan pem belajaran reflektif. Harus diakui, bahw a pendidikan karakter bukan
sem ata-m ata tugas dari guru agama, guru PKn, atau
guru BP semata, tetapi tanggung jaw ab sem ua guru, bahkan kepala sekolah,
sem ua warga sekolah dan orang tua, serta masyarakat.
Pembelajaran Substantif. Pembelajaran substantif adalah pembelajaran
yang substansi m aterinya terkait langsung dengan suatu nilai. Seperti pada m
ata pelajaran agam a dan PKn. Proses pem belajaran substantif dilakukan
dengan mengkaji suatu nilai yang dibahas, m engkaitkannya dengan kem
aslahatan (untuk kebaikan) kehidupan
anak dan kehidupan m anusia, baik di dunia (saat ini) m aupun
di akhirat (setelah meninggal). Dengan ini, pendidikan agam a di
sekolah, semisal pendidikan agam a Islam, tidak saja m enjadikan
anak terampil dalam bacaan dan gerakan shalat, tetapi juga anak memiliki
kebiasaan, kem auan yang kuat dan m erasakan m anfaat shalat bagi dirinya dan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Proses pem belajaran selalu dikaitkan
dengan nilai yang ingin diperkuat pada anak. Misal nilai yang terkandung dalam
shalat adalah pengham baan, keteraturan/ketertiban, kerendahan hati, keikhlasan,
kebersam aan, amar m a’m f nahi m unkar (m enyuruh pada kebaikan dan
mencegah kejelekan), d an sebagainya. Nilai m ana yang akan dirujuk dalam
pem belajaran terlebih dahulu didesain oleh guru atau kelom pok guru m ata
pelajaran yang m engarah pada risi sekolah. Demikian halnya dengan m ata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Analisis lebih lanjut dapat kita perbandingkan perbedaan antara pem


belajaran Agama Islam yang m engarah pada pendidikan karakter dan yang
tidak, terletak pada rujukan terhadap nilai yang melekat

Model-Mode! Pembelajaran Pendidikan Karakter I 113


pada m ateri tersebut. MisaJnva jika guru dan anak sedang mengkaji tentang
sebuah kom petensi “anak m am pu m elaksanakan shalat”. Proses belajar yang
m enunjukkan pendidikan karakter adalah ketika guru dan siswa m em
pertanyakan m engapa m anusia harus shalat dan apa m anfaat shalat bagi
dirinya (lebih luas bagi m anusia). Itulah yang disebut proses refleksi, yaitu m
em pertanyakan apa hakikat di balik materi. Perbandingan analisis pem
belajaran yang m engarah kepada pendidikan karakter atau bukan pendidikan
karakter dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Analsis perbedaan pembelajaran pendidikan ama Islam dari


sudut pendidikan karakter dan bukan karakter
P r o s e s d a n H a

P e n d i Pd ir o a
s n e s A d g a a
M a n Mg A n a l i s
a

d ag
t e r i i s

T i d a k A a em n u aM
a
K r a k t e r

■ Shalat w a jib dalam ‫ ؛‬Proses:


‫ ؛‬keadaan darurat ٠ ‫ ؛‬Anak-anak Anak melakukan refleksi/
berdiskusi dengan mengaitkan pengalaman shalat
fasilitasi guru wajib dalam keadaan darurat dengan
tentang shalat alasan mengapa hal itu boleh
wajib dalam dilakukan. Atau menjawab apa
keadaan darurat makna shalat wajib dalam keadaan
Jenis-jenis keadaan darurat dalam bahasa anak.
darurat dibahas
tuntas dalam
diskusi tersebut. Anak mempraktikkan shalat wajib
٠ Anak dalam keadaan darurat
mempraktikkan
shalat wajib dalam
Guru meminta anak untuk
keadaan darurat. melakukan wawancara kepada
orang-orang ter dekatnya untuk
menuliskan pengalaman mereka
mengenai shalat wajib dalam
keadaan darurat. Khususnya
mengenai alasan mereka tetap
melakukan shalat dalam keadaan
darurat, (sebagai tugas terstruktur).

I 14 I Memaknai Pendidikan Karakter


Anak mampu me Hasil:
lakukan praktik ٠ Anak merasa yakin tentang
shalat wajib perlunya shalat bagi dirinya
dalam keadaan dalam segala kondisi.
darurat (kendaraan, k Anak merasa butuh untuk
bepergian, perang,
melakukan shalat wajib
dll)
dalam setiap kondisi (santai
maupun darurat).
٠ Anak mampu

pempraktikkan shalat wajib


dalam keadaan darurat.
Analisis Pada proses ini, guru Pada proses ini, guru me
tidak mengaitkan lakukan refleksi terhadap
materi yang dibahas mengapa shalat wajib tetap j

dengan suatu nilai j harus dilakukan walupun dalam


berada di belakang j keadaan darurat. ‫؛‬
‫ ؛‬materi shalat wajib j Guru pun menguatkan nilai
| dalam keadaan (misal keyakinan tentang
darurat.
hidupan manusia) dengan cara
memberikan tugas terstruktur.

Analisis perbedaan itu dapat dipaham i bahw a pem belajaran


su b sta n tif d alam p en d id ik an k a ra k ter dilak u k an dengan cara
m endalam i substansi materi yang dibahas
Penibalcuaran Reflektif. Pem belajaran reflektif adalah pendidikan
karakter yang terintegrasi/melekat pada sem ua m ata pelajaran/bidang
studi di sem ua jenjang dan jenis pendidikan. Proses pembelajaran
dilakukan oleh sem ua guru m ata pelajaran/bidang studi, seperti
guru M atematika, IPS, IPA, Bahasa Indonesia, dan m ata pelajaran
lainnya. Proses pem belajaran reflektif dilakukan melalui pengaitan
m ateri-m ateri yang dibahas dalam pem belajaran dengan m akna
di belakang m ateri tersebut. D engan k ata lain, dalam proses
pem belajaran guru m enjaw ab pertanyaan m engapa suatu m ateri
itu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan.
Misalnya guru M atematika m elakukan pem belajaran pada materi tentang
kesebangunan pada RPP sebagai berikut:

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter 1115


| Contoh |
| Rencana Pelaksanaan Pembelajaran |
| Mata pelajaran Matematika |

| Kelas/ semester IX / Ganjil 4


| Pertemuan ke 1, 2, 3, 4, dan 5 |
| Alokasi waktu 10 Jam Pelajaran (5 kali pertemuan) |
j Standar kompetensi Memahami kesebangunan bangun datar dan |
penggunaannya dalam pemecahan masalah |
^ Kompetensi dasar : Menentukan perbandingan kesebangunan dua |
| bangun datar |
| Indikator : - Mengenali dua bangun datar yang kongruen |
f atau tidak kongruen pada objek/benda yang |
| terkait dengan keseharian anak. ^
| - M em bedakan dua bangun datar yang |
| sebangun atau tidak sebangun pada objek/ |
| benda yang terkait dengan keseharian anak. |
| - M enghitung panjang sisi yang belum |
| diketahui dari dua bangun yang kongruen |
| atau sebangun pada objek/benda yang |
| terkait dengan keseharian anak. |
11. Tujuan Pembelajaran |

| 1. Mengenali dua bangun datar yang kongruen atau tidak |


| kongruen yang terkait dengan keseharian anak dengan cara |
| menyebutkan syarat-syaratnya. |
| 2. Membedakan dua bangun datar sebangun atau tidak sebangun |
| pada objek/benda yang terkait dengan keseharian anak dengan |
| cara menyebutkan syarat-syaratnya. |
|
3. M enghitung panjang sisi yang belum diketahui dari dua |
|
bangun yang sebangun pada objek/benda yang terkait dengan |
I
keseharian anak. I
|
II. Materi Ajar (Materi Pokok) |
|
Kesebangunan J
Im p le m e n ta si p e m b e la ja ra n d en g an R PP di a ta s m elalui

pem belajaran reflektif dilakukan oleh guru pada kegiatan apersepsi,


proses, atau penutup, dengan cara m enanyakan m engapa kesebangunan itu
perlu dikaji oleh anak (lebih jau h oleh m anusia). Dalam hal ini guru m erefleksi
kesebangunan ke dalam ben tu k kehidupan keseharian anak. K hususnya m
engaitkan kesebangunan dengan

Memaknai Pendidikan Karakter


kehidupan m anusia. Ketika m ateri kesebangunan ini direfleksikan
kepada kehidupan m anusia, m aka ada nilai yang dapat dikuatkan
bagi anak, seperti nilai saling m enghorm ati terhadap perbedaan
dan m enghargai atas kesam aan secara tepat. Proses mengkaitkan
m ateri dengan suatu nilai yang terkandung di belakang m ateri
te rse b u t in ila h y ang d ise b u t seb ag ai p e m b e la ja ra n reflektif.
M aksudnya adalah m ateri yang dibahas oleh guru (dalam sem ua
m ata pelajaran) selalu direfleksi terhadap sebuah nilai di balik
m ateri dan kem udian dikaitkan dengan kem aslahatan kehidupan
anak (lebih luas kehidupan manusia).

B. Model Reflektif
I. Asumsi Dasar
Anak (peserta didik) adalah individu m anusia yang memiliki
k em am puan u ntuk m elihat jau h ke belakang dan m eneraw ang
suatu kondisi vang diinginkan di m asa yang akan datang. Hal ini
m erupakan suatu yang m enjadi fitrah m anusia, bahw a m anusia
dapat m eneraw ang terhadap apa yang telah dilakukannya dan apa
yang ingin dilakukannya. M anusia dapat m eneraw ang terhadap
m asa lalu yang telah dialam inya dan m am p u m em bayangkan
tentang m asa depan yang diinginkannya. Selain itu, setiap m anusia
pada dasarnya memiliki kata hati/hati nurani. Hati nurani/kata hati
adalah suatu anugrah yang diberikan Allah Yang M aha R ahm an
dan M aha Rahim kepada m anusia. Dengan asumsi inilah m aka
kehidupan m anusia tidak akan pernah lepas dari proses refleksi.
Asumsi di atas mengungkapkan bahwa m anusia memiliki sisi
religi/keagamaan yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Setiap
m anusia dim anapun akan m em pertanyakan m engapa dia ada dan
u ntuk apa dia ada. Pertanyaan inilah yang m enjadi salah satu
kajian filsafat (ontologi-hakikat sesuatu). Ketika m anusia dilahirkan
ke dunia dan m ulai berkem bang kem am puan berpikirnya, akan
m uncul pertanyaan dalam dirinya, untuk apa ia lahir atau untuk
apa ia hidup di dunia? Pertanyaan tersebut m enunjukkan bahw a
m anusia akan selalu berpikir mengenai kondisi spiritual/batiniah di
balik materi/keduniaan. Dalam Agama Islam, pem enuhan kebutuhan batin iah
banyak terpenuhi m elalui p rak tik ib ad ah ritual, baik

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I 117


ib ad ah yang langsung b erh u b u n g an dengan Allah Swt. seperti shalat,
shaum, ibadah haji, dan sebagainya, m aupun ibadah yang berhubungan dengan
m ahkluk Allah seperti zakat, sodaqah, infaq, dan lain sebagainya.

M ari kita pelajari bagaim ana pengalam an Nabi Ibrahim a.s. dalam proses
pencarian Tuhannya yang diceritakan secara langsung oleh Allah Swt pada Surat
Al Anam ayat 76-78.

Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: “ inilah Tuhanku” . Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:
“ Saya tidak suka kepada yang tenggelam” . (76)

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “ Inilah Tuhanku” .
Tetapi setelah bulan ٧‫ ؛؛‬terbenam dia berkata: “ Sesungguhnya /‫ ﺎطﻫ‬Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat” . (77)

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “ Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar” , maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “ Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (78)

Ayat itu m enunjukkan secara nyata, bahw a m anusia m em ang dikaruniai


rasa u n tu k m engabdi kepada T uhan. T uhan dengan m akna Dzat yang M aha
Kuasa yang m enciptakan segala sesuatu.

Memaknai Pendidikan Karakter


Refleksi m erupakan proses seseorang untuk m em aham i m akna
di balik suatu fakta, fenomena, informasi, atau benda. Model reflektif dalam
bagian ini adalah model pembelajaran pendidikan karakter yang diarahkan
pada pemahaman terhadap makna dan nilai yang terkandung di balik teori,
fakta, fenomena, informasi, atau benda yang menjadi bahan ajar dalam
suatu mata pelajaran.
P e m a h a m a n se se o ra n g te rh a d a p m a k n a d a n n ila i yang
terkandung dalam suatu hal m em iliki hirarki/tingkatan. Tingkatan
yang paling rendah dicirikan oleh kem am puan untuk menjelaskan
m engenai apa kaitan antara m ateri dengan m akna. Hirarki yang
lebih tinggi adalah m enyadari m engenai adanya kekuasaan di luar
m anusia atau m enyadari bahw a m anusia itu kecil dan bukanlah
pem ilik kekuasaan yang sejati. Level p e m ah am an yang ketiga
adalah seseorang/anak term otivasi untuk m elakukan sesuatu dari
hasil pem aham annya terhadap m akna/nilai yang dipelajari. Level
keem pat adalah seseorang/anak m au m em praktikan nilai/m akna yang dia
paham i dalam kehidupan kesehariannya. Level kelima adalah anak m enjadi
teladan bagi orang-orang di lingkungan terdekatnya. Level keenam adalah anak
m au m engajak orang-orang terdekatnya untuk m elakukan makna/nilai yang
dia pelajari.

Mengajak orang terdekat untuk berbuat/melakukan


sesuatu yang baik atau menghindari yang jelek

T
Menjadi teladan bagi lingkungan terdekat anak (di
kelas, sekolah, rumah, masyarakat

Mempraktikkan nilai

Memotivasi dirinya sendiri untuk terus konsisten


berperilaku terbaik

٢
Menyadari keberadaan adanya yang Maha Kuasa

Menjelaskan/menguraikan fakta/fenomena/benda

Gambar 3.6 Hirarki perilaku berkarakter

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I l'


Pem belajaran reflektif bertujuan untuk m enguatkan dan m engem
bangkan nilai-nilai yang akan diperkuat melalui pem belajaran pada
berbagai m ata pelajaran yang secara substansi tidak terkait langsung
dengan nilai sam pai pada level paling atas, yaitu m engajak orang-orang di
lingkungan terdekatnya untuk m em praktikan nilai/makna yang dipelajarinya
dalam kehidupan keseharian.
Pem belajaran reflektif ini dapat dipaham i sebagai praktik dari
hidden curriculum secara nyata dalam bentuk layanan pembelajaran.
N am un dem ikian, jika guru tidak m em aham i m engenai hakikat
dan asumsi mengenai proses refleksi, m aka hidden curriculum ini
tidak akan terimplem entasi dengan benar, bahkan m uncul proses
dem agogi (salah ajar). Yang akan m un cu l p ad a perilaku anak
bukan nilai kebaikan, tetapi nilai kejelekan atau nilai syaitaniyah (bersifat
seperti setan).

2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Reflektif


Prinsip pem belajaran adalah dasar atau asas yang dijadikan landasan dalam
m elaksanakan pembelajaran. Prinsip pem belajaran m odel reflektif d ib an g u
n b erd asark an p a d a pem ik iran tentang hakikat berpikir reflektif. Prinsip-
prinsip yang harus ditem puh untuk m engimplementasikan pem belajaran
reflektif adalah sebagai berikut.
a. D asar interaksi pem belajaran an tara guru dan peserta didik adalah kasih
sayang. Kasih sayang m erupakan dasar pertam a
yang h aru s d itum buhkan p ad a guru d an an ak ketika akan
m elangsungkan proses pem belajaran . A rtinya jika kegiatan
belajar m engajar tidak didasarkan pada kasih sayang, m aka
tidak akan terjadi proses reflektif. Dengan kata lain tidak akan
terjadi proses transform asi nilai m enjadi suatu perilaku jika
dasar interaksi bukan kasih sayang.
b. Sikap d a n p erilak u guru h a ru s m en cerm in k an nilai yang
dianut atau dirujuk oleh sekolah. Dasar interaksi yang kedua
adalah keteladanan guru. Apa yang dilakukan oleh guru harus mencerm
inkan/sesuai dengan nilai yang ingin diperkuat pada diri anak. Landasan
yang kedua ini bukanlah hal yang m udah, karena seorang guru harus m
enegaskan kediriannya secara tegas, santun, dan rendah hati. Barangkali
landasan ini perlu untuk diperkuat semenjak seseorang menjalani proses
kuliah sebagai pendidik di LPTK.

12 0 I Memaknai Pendidikan Karakter


Pada hakikatnya proses belajar tidak hanya terjadi ketika anak m
erekontruksi (memikirkan) lingkungannya, tetapi juga terjadi ketika anak m
engalam i atau m erasakan suatu keadaan pada lingkungannya. Artinya
proses belajar d ap at terjadi dengan lingkungan yang transendental/gaib.
Semisal ketika anak melihat raut m uka yang sedih karena guru tersebut
sedang diuji dengan kem atian salah satu anggota keluarganya. Tiba-tiba m
uncul dalam diri anak-anak peneraw angan terhadap bagaim ana jika hal
tersebut terjadi pada dirinya atau keluarganya. Proses inilah yang disebut
dengan lingkungan gaib/tidak dialami secara nyata oleh anak, tetapi sebagai
hasil pem ikiran anak yang m endalam,

c. P andangan guru terhadap peserta didik adalah subjek yang


sed an g tu m b u h d an b erk em b an g yang p e rtu m b u h a n d an
perkem bangannya terkait dengan peran guru. Dalam hal ini,
guru perlu untuk berpikir dan m erasa bahwa apa pun kondisi
yang dimiliki dan dialam i dalam proses KBM, dia memiliki
p en g aru h yang cukup ku at terh a d ap tu m b u h kem bangnya
perilaku anak. Jika saja guru tidak memiliki rasa ini, m aka
yang akan m uncul adalah transm isi nilai/m akna negatif dari
guru kepada anak, seperti sikap tidak peduli anak terhadap sesam a m
anusia, dan sebagainya.

3. Proses Pembelajaran Model Reflektif


Proses pem b elajaran m odel reflektif dilakukan oleh sem ua guru m ata
pelajaran melalui integrasi m ateri-m ateri di setiap m ata pelajaran dengan nilai-
nilai tertentu yang akan diperkuat menjadi sikap anak. Pelaksanaan pem
belajaran reflektif dapat terjadi pada setiap tahap dari tahapan proses
pembelajaran. Misal ketika guru m em biasakan untuk m enyapa anak sebelum
pem belajaran dimulai, secara reflektif guru tersebut m em belajarkan nilai
keram ahan kepada peserta didiknya. Tahapan yang harus dilakukan oleh guru
untuk melaksanakan pem belajaran reflektif sebagai berikut.

a. M enyusun RP P berbasis karakter. Silahkan kaji kembali ram bu-


ram bu pengem bangan RPP pada Bab II.
b. Guru m elakukan apersepsi yang kontekstual dengan kehidupan anak dan
terkait dengan m ateri yang akan dibahas. Yang lebih tepat apersepsi bukan
untuk m engaitkan m ateri yang akan

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter i 121


dipelajari dengan m ateri yang sudah dipelajari sebelumnya, tetapi lebih
pada m enyiapkan anak siap untuk belajar. Oleh karena itu, proses apersepsi
tidak cukup hanya dengan m enanyakan kepada an ak m engenai m ateri
yang su d ah dikaji bersam a pada minggu sebelumnya. Apersepsi yang
lebih tepat dilakukan dengan m em fokuskan pikiran dan konsentrasi anak
untuk siap memasuki kajian yang lebih m endalam dari m ateri yang akan
dibahas.

c. M elakukan pem belajaran sebagaim ana didesain dalam RPP. Dalam


pelaksanaan kegiatan inti pem belajaran, guru m elakukan elaborasi
terhadap berbagai m akna dari m ateri yang dibahas/ dikaji. Sem isal ketika
m em bahas m ateri "pertum buhan dan perkem bangan pada m ahkluk
hidup” pada m ata pelajaran Biologi kelas 8 sem ester 1. Setelah anak
mengkaji m engenai m ateri, guru bertanya kepada anak, "apakah (anak-
anak) m engetahui
siapa yang m enghidupkan dan m engem bangkan m akhluk hidup? T erm
asuk diri kita sem ua?” Pertanyaan tersebut m erupakan refleksi terhadap
nilai ketauhidan (ketuhanan) yang terkandung di balik m ateri mengenai
pertum buhan dan perkem bangan pada m akhluk hidup.

d. Melakukan evaluasi yang dilakukan melalui pengam atan terhadap


sejauhm ana nilai-nilai yang akan dikuatkan atau dikem bangkan
m uncul d alam p erilaku anak . B entuk perilaku itu ap ak ah perkataan,
perbuatan, raut m uka, karya, dan sebagainya. Lebih khusus m ateri tentang
evaluasi ini akan dibahas pada Bab IV.
e. M emberikan catatan khusus (anekdot) jika ada anak yang secara khusus
memiliki perkem bangan perilaku yang berbeda dengan
kelompoknya atau tidak sesuai dengan tahapan perkembangnya,
a p a k ah b e rsifa t p o sitif m a u p u n negatif. C atatan an ek d o t
m erupakan suatu hal yang penting bagi perkem bangan dan
tindakan (treatm ent) terh ad ap perkem bangan perilaku anak.
Sebaiknya catatan anekdot dib u k u k an dalam b e n tu k buku
penghubung atau buku harian anak.
f. M emberikan referensi/rujukan kepada guru lain, apakah guru
BP a ta u wali kelas, orang tua, atau berbagai p ihak yang
berkepentingan yang dianggap layak untuk menangani anak-anak
yang dikategorikan memiliki kekhususan dalam perkem bangan nilai dan
karakter.

Memaknai Pendidikan Karakter


Berikut, contoh -contoh proses refleksi dalam berbagai m ata pelajaran.

Tabel 3.3 Contoh proses refleksi pada berbagai mata pelajaran

Mata Petajaran/Kelas/SK-KD/ Corrtoh Refleksi


Tujuan Pembelajaran/Materi

1. Matematika/Kelas VII Ketika guru selesai melakukan proses inti


• SK: Memahami sifat-sifat pembelajaran, selanjutnya guru mengajukan
operasi hitung bilangan dan pertanyaan kepada peserta didik sebagai
penggunaannya dalam berikut
pemecahan masalah "Anak-anak, siapakah yang dapat
menghubungkan kegunaan antara materi
operasi hitung dengan kehidupan keseharian
kita?"

Atau "Siapakah di antara kalian yang


• KD: Melakukan operasi hitung mengetahui manfaat kita mepelajari
bilangan bulat dan pecahan. materi operasi hitung untuk kehidupan
• Salah satu contoh indikator: kita?" Atau guru mengajukan suatu
Melakukan operasi pen kasus tentang bagaimana operasi
jumlahan, pengurangan, hitung dapat memberikan manfaat bagi
perkalian, dan pembagian kehidupan anak.
bilangan bulat termasuk Contoh kasus:
operasi campuran Dalam 'suatu permainan, bila menang
• Salah satu contoh tujuan pem diberi nilai 3, bila kalah diberi nilai
belajaran: setelah melakukan -2, dan bila seri diberi nilai -1. Suatu
praktik langsung, peserta didik regu telah bermain sebanyak 47 kali,
dapat melakukan operasi 21 menang, dan 3 kali seri. Nilai yang
penjumlahan, pengurangan, diperoleh regu itu adalah ....
perkalian, dan pembagian Setelah anak selesai menjawab kasus ini,
bilangan bulat termasuk guru menanyakan mengapa jika menang
operasi campuran. ditambah (+) dan jika kalah dikurangi
(-)? Apakah hal ini berlaku juga untuk
pekerjaan yang kita lakukan, semisal
jika kita berbuat baik, maka kita akan
mendapatkan tambahan (+) pahala dan
jika kita berbuat baik, maka pahala kita
akan dikurangi (-)?

Model-Mode! Pembelajaran Pendidikan Karakter


2. IPA/Kelas V/ ٠ Mata pelajaran: Biologi
SK : Mengidentifikasi fungsi organ
٠ Materi: darah/sel darah
tubuh manusia dan hewan
٠ Kegiatan pembelajaran: Siswa
menganalisis siapa yang m embuat darah
KD : 1.4 Mengidentifikasi organ
manusia berfungsi atau tidak.
peredaran darah manusia

1.5 Mengidentifikasi
gangguan pada organ
peredaran darah manusia

Contoh yang pem belajaran refleksi ini dilakukan oleh guru sebagai
berikut:
Setelah siswa-siswa di kelas mengelaborasi m ateri tentang darah
(komponen, fungsi, dan karakteristik lainnya) kem udian di akhir sesi
pem belajaran guru bertanya kepada anak. “Anak-
anak m enurut kam u siapakah sebenarnya yang m engatur
darah di dalam diri m anusia dan m akhluk hidup lainnya
yang m em iliki d a ra h ? ” K ebanyakan an ak -an ak dengan
spontan m enjaw ab "Allah...” nam u n dem ikian beberapa
anak lain tidak menjawab. Kondisi ini dipahm i oleh guru
sebaga suatu kondisi yang m em erlukan penguatan karakter
anak, yaitu karakter tentang berserah diri terhadap Allah
Swt. yang M aha Kuasa. K em udian guru m em inta pada kelas (anak-
anak) untuk m enjelaskan lebih lanjut, “coba siapa yang akan m
enjelaskan bagaim ana kita m engetahui bahw a Allah lah yang m
engatur d arah yang b erad a di dalam tubuh kita?”

Pada saat itu belum ada anak yang m am p u m enjaw ab pertanyaan


guru. Kem udian guru m em berikan pertanyaan pancingan lagi supaya
anak-anak dapat merefleksi mengenai
m ateri tentang “darah” ini menjadi bagian dari penguatan
k arak ter bagi anak . “N ah anak -anak, siapa sebenarnya
yang m enciptakan m anusia dan alam semesta?” Anak-anak
kem udian m enjawab dengan spontan “Allah...” lalu guru
kem udian bertanya lagi, “jika Allah yang m enciptakan sem ua
m akhluknya, apakah Allah juga yang m engatur darah di
dalam diri m anusia?” kem udian m ereka m enjaw ab lagi
secara spontan “ya ...”.

12 4 I Memaknai Pendidikan Karakter


Pada saat itu guru m em aham i bahw a suatu hal yang sulit untuk m
em buktikan bagaim ana keterlibatan Allah Swt. dalam
p en g atu ran d a ra h m anusia . K em udian dia m enjelaskan
tentang proses penciptaan m anusia m ulai dari pertem uan
sperm a dengan ovum. Dalam penjelasannya guru m engutip
Q uran Surat Al-Alaq ayat 2:

“ Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah”

B erdasarkan refleksi tersebut kem udian guru m em inta anak-anak di kelas


untuk m encari pengetahuan atau w aw ancara kepada keluarga terdekat tentang
“kaitan antara darah dengan kesehatan dan kondisi darah dengan psikologi
seseorang.”

4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Reflektif


Evaluasi pem belajaran reflektif adalah evaluasi yang ditujukan
u n tu k m elih at sejauh m an a berbagai k arak ter d an nilai yang
dikem bangkan dapat dimiliki oleh anak. Evaluasi ini dilakukan
m elalui observasi terh ad ap perilaku anak. Observasi dilakukan
melalui lisan, perbuatan, rau t m uka, gerak badan, d an berbagai
hal lainnya.
E valuasi yang p alin g te p a t d alam p ro ses reflek tif a d alah
observasi terhadap pem ikiran dan sikap anak. Lebih jauh mengenai pem
bahasan evaluasi dalam pendidikan karakter ini dapat dipelajari pada "Bab IV
Evaluasi Pendidikan Karakter”.

C. Model Pembelajaran
Pembangunan Rasional
I. Asumsi Dasar Model Pembangunan Rasional
(MPR)
Pada hakikatnya m anusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan
m akhluk Tuhan lainnya, salah satunya karena m anusia diberikan
akal pikiran. Dengan akal pikirannya ia menjalani kehidupan yang

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


lebih baik. Akal pikiran m erupakan karunia yang patut disyukuri
keberadaannya dengan cara digunakan sebaik-baiknya untuk menjalani
kehidupan ini m enjadi lebih baik, baik saat ini di dunia, m aupun
nanti di akhirat. Asumsi ini juga berarti bahw a jika m anusia tidak
m enggunakan akal pikirannya untuk m endapatkan kehidupan yang
lebih baik, misal perilaku m anusia m alah seperti binatang, m aka
m anusia tidak lebih baik dari binatang. M engapa demikian? Binatang berbuat
berbagai hal yang diluar akal-pikiran karena m ereka m em ang tidak dikaruniai
akal pikiran. Lalu bagaim ana dengan m anusia?
Bukankah ia dibekali dengan akal pikiran?
Dengan asumsi tersebut, m aka akal pikiran memiliki tugas yang cukup
berat untuk m em berikan pertim bangan dalam m engam bil keputusan dari
setiap keputusan yang harus dibuat oleh seseorang
dalam menjalani proses kehidupannya. Kelogisan (dapat dipaham i)
d an kerasionalan (m asuk akal) m enjadi sebuah u k u ran penting
u n tu k m enghasilkan k ep u tu san -k ep u tu san seseorang. D em ikian
halnya ketika seseorang belajar u n tu k m em u tu sk an ap ak ah ia
akan m em ilih “perilaku A” atau “perilaku B” m aka akal pikiran
orang tersebut m elakukan proses pem ikiran. Proses inilah yang
kem udian dijadikan kebiasaan dan kekuatan/kelem ahan seseorang
dalam u k u ran kem atangan perilaku. Artinya m anusia diberikan
kesem patan untuk belajar memilih dan m em ilah yang terbaik dari
segala kondisi yang dihadapinya.
Model Pem bangunan Rasional (MPR) dinam ai demikian karena fokus
utam a pem belajaran adalah kompetensi pem bangunan rasional, argum entasi,
atau alasan atas pilihan nilai yang dibuat anak. Dalam
hal ini, kita harus m engasum sikan bahw a anak didik adalah anak yang sedang
berkem bang proses berpikirnya. M emiliki rasional yang kokoh dan selalu diuji
sepanjang penghidupan seseorang jelas
penting u n tu k keberfungsian akal dan pikiran m anusia. Sistem
karakter yang lengkap harus m engikutsertakan aspek rasional atau kognitif ini,
di samping aspek emosi atau perasaan dan perbuatan.
Kondisi kehidupan m asyarakat Indonesia yang plural, yang antar
sistem ideologinya sangat m em ungkinkan terjadinya benturan nilai
sehingga dapat m engacaukan sistem nilai yang dianut seseorang
atau sebuah kelompok sosial, jelas-jelas akan sangat m em butuhkan
k em am puan u n tu k m em bangun berpikir rasional dalam rangka

Memaknai Pendidikan Karakter


m engisi, m enyelam atkan dan m engem bangkan jati diri individu
dan kelompok sosial.
Selain itu, individu m anusia harus hidup dalam lingkungan
m akna-m akna dan nilai-nilai kehidupan yang dibangunnya sendiri,
di sam ping yang diperolehnya dari kitab suci (seperti Ai-Quran)
secara dogm atis, agar kehidupannya lebih berarti dan produktif.
Seseorang yang m em baca Al-Quran, tetapi tidak m em aham i apa
yang dibacanya sangat m em ungkinkan perilakunya bertentangan
dengan ajaran Al-Quran. Situasi ini m enuntut individu untuk dapat
m am pu m engem bangkan kem am puan rasionalnya. Yang berm akna
adalah m anakala akal pikiran m anusia ini dijadikan sebagai alat
untuk m encari kehidupan yang lebih baik berdasarkan logika dan rasionalitas
yang dilandasi prinsip Ketuhanan.
Disamping memiliki keunggulan dalam m em bangun kesadaran
m oral seseorang, m odel p e n g em b an g an rasio n al ini m em iliki
kelemahan. Hal ini harus diwaspadai dan diantisipasi oleh pendidik. Kelemahan
utam anya adalah sehubungan dengan tum puannya yang
terlalu berat pada aspek kognitif atau rasionalitas m anusia. Dalam
konteks itu, m an u sia d ap at m enjadikan dirinya sebagai tu h an
sebagaim ana yang telah dilakukan oleh Firaun. Ketika keim anan
tipis ata u ru sak m aka individu d ap at m endew a-dew akan akal, m enuntut
segala hal harus m asuk akal.
Fenom ena akan hal ini telah banyak menggejala pada kalangan
generasi m uda saat ini, di m ana orientasi pekeija baik pada pegawai
negeri (PNS) m aupun pegawai swasta bukan lagi kem uliaan dan ketaqwaan,
tetapi lebih kepada harta, kehorm atan, dan kekayaan. Tentu saja akal pikirannya
dijadikan dirinya berpikir bahwa segala
sesuatu yang telah terjadi tidak atas cam pur tangan Tuhan, tetapi
m erupakan kekuasaan dirinya atau m ajikannya. Sungguh sangat
berbahaya pikiran-pikiran semacam ini karena menjadikan m anusia yang serba
lem ah sebagai pusat berpikir. Artinya, dia m enggantungkan diri (pikirannya) k
ep ad a sesu atu yang lem ah . D isinilah posisi bahayanya seseorang yang m
enggantungkan diri kepada dirinya bukan kepada Tuhannya. Semisal, “kawin
antara sesam a jenis pun menjadi boleh/legal.” Yang begini suatu saat kawin
dengan ibunya/ bapaknya atau dengan binatang sekalipun menjadi boleh selam a
pikirannya m enganggap hal tersebut suatu hal yang menyenangkan.

Modei-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter I 127


M anusia akan tenggelam dalam kesenangan tan p a m elihat lagi norma/nilai
yang m engikat keharm onisan alam /kehidupan dunia.
Model ini dapat diberlakukan pada sem ua tingkat perkem bangan anak,
baik an ak usia TK, SD, SMP, m au p u n SMA/K. N am un dem ikian, jika pem
bangunan rasional ini hendak dikem bangkan pada anak-anak tingkat rendah
(TK dan SD), m aka perlu dipaham i bahw a perkem bangan berpikir anak
tingkat rendah m asih berpikir konkret. K arena itu diperlukan kepandaian guru
untuk m enerawang proses berpikir anak. Kem ana arah berpikirnya? Apakah
menyalahi nilai atau konsisten dengan nilai yang dianutnya.

2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Pembangunan


Rasional (MPR)
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pem bangunan rasional
anak adalah sebagai berikut.
a. Logis berarti dapat dipaham i. Artinya proses pengem bangan rasional anak
harus dibawa kepada tahapan kem am puan berpikir
anak yang dapat dipaham i oleh anak. Mengajak berpikir tentang
m engapa seorang anak SD harus berinfaq atau bershadaqah
dengan alasan bahw a infaq atau shadaqah itu diperintahkan
d alam Al-Q uran, m eru p a k an c o n to h proses p em b an g u n an
rasional yang tidak dilandaskan pada prinsip kelogisan. Artinya tidak logis
mengajak anak SD untuk berpikir menganalisis ayat Al-Quran untuk
dijadikan referensi pikirannya dalam memilih “m elakukan shadaqah” atau
“tidak akan m elakukan shadaqah."
b. Rasional berarti m asuk akal. Dalam konteks pem bangunan rasional
anak didik perlu untuk diajak m em aham i suatu perkara dari
sisi rasionalitas. W alaupun demikian, dalam konteks tertentu,
rasio n alitas ini tidak m enjadi m utlak, k aren a ad a banyak
k eterb atasan potensi berp ik ir m an u sia u n tu k m em ecahkan
m asalah. Yang karena keterbatasan tersebut, m anusia h am s
m enjadi bersyukur. K arena keterbatasan tersebut m erupakan
kasih sayang Tuhan Yang M aha Esa terhadap m anusia. Semisal, m anusia
tidak memiliki informasi m engenai kapan dia akan meninggal. Jika saja
seseorang hidup dan dia m engetahui dengan pasti kapan, di m ana dan
bagaim ana ia akan meninggal, m aka
sudah barang tentu, selam a hidupnya ia akan berada dalam
kondisi stres, terlebih m endekati w aktu meninggalnya, ia akan
sangat stres. Dengan demikian, m erupakan suatu keuntungan
bahw a m anusia tidak m engetahui kapan dan di m ana ia akan
m eninggal. K eterbatasan ini m erupakan suatu karunia yang
m em ang perlu si paham i secara arif bahw a m anusia adalah
m anusia yang serba terbatas.
c. Sistem atis memiliki arti bahw a pengem bangan rasional anak

h aru s d ibaw a u n tu k b erp ik ir sistem atis, sehingga ia ak an


lebih m udah m encari pem ecahan m asalah, baik bagi dirinya,
keluarganya, m aupun m anusia pada um um nya.

d. Sistem ik memiliki arti bahw a pengem bangan rasionalitas berpikir anak h


aru s dibaw a pada berpikir secara m enyeluruh, tidak parsial. Dengan
berpikir menyeleuruh, m aka anak akan dibaw a untuk berpikir
komprehensif, sehingga hal-hal yang dim ungkinkan terjadi dapat
terprediksi lebih awal. Dalam kondisi ini, anak akan menjadi antisipator
yang andal.

3. Proses Pembelajaran Model Pembangunan


Rasional (M PR)
Proses pem bangunan rasional dilakukan dengan m em perhatikan proses
sebagaim ana dikem ukakan oleh Shaver (Hersh, Miller, & Fielding, 1980:38),
yaitu: 1) identifikasi nilai dan klarifikasi nilai, generalisasi label/nama, 2)
analisis konflik nilai, dan 3) pem buatan keputusan yang tepat.

Identifikasi Nilai dan Klarifikasi Nilai. Asumsi yang dikem ukakan Shaver
bahw a “nilai akan m em bantu m em bentuk perilaku.” Proses ini adalah proses
kognitif, yakni proses individu berupaya m enem ukan dan m em aham i nilai-
nilai yang berada di luar dirinya atau yang sudah dimilikinya. Dalam konteks
interaksi M PR di kelas, anak difasilitasi untuk m enem ukan nilai-nilai yang
dianut/diyakini oleh dirinya sendiri, tem an -tem annya, guru-gurunya, m
asyarakat, dan orang tua.

Proses kognitif yang dim aksud m eru p ak an upaya m em buat nilai-nilai


m enjadi eksplisit (jelas) bagi individu (anak). Dengan

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


m enjadi eksplisit, nilai-nilai berfungsi sebagai arah dan pem bentuk karakter
individu, ?roses ini dilakukan dengan m em pertanyakan segala sesuatu yang
dialami oleh anak. Misal, apa nilai-nilai, apa cita-eita, atau apa kewajiban?
Contoh bentuk pertanyaan ini secara
konkret adalah, apa itu m enghargai orang lain? Siapa Tuhan itu? Di m ana T
uhan berada? M engapa harus m elaksanakan perintah-
perintah Tuhan? Apa itu berim an? M engapa harus berim an? Apa itu
demokrasi? M engapa demokrasi menjadi sebuah pilihan?
Pertanyaan penting lainnya, di san^ping pertanyaan-pertanyaan di atas,
seberapa jauh nilai-nilai tertentu berfungsi dalam kehidupan saya atau
masyarakat? Antara n.‫؛‬lai yang satu dengan yang lainnya dapat
berkonflik. Sebagaim ana nilai yang terkandung dalam kata “jihad” saat ini ‫ه‬
Indonesia. Selain adanya upaya pelem ahan terhadap nilai “jihad,” nilai ‫ ﻂﻟ‬dapat
dikonflikkan dengan nikri-nilai lain, seperti “indahnya kebersam aan”.
Akibatnya, sebuah nilai yang dianggap
lebih b e r h a la dapat ‫ س‬berlaku sam a sekah atau keberlakuannya berlaw anan
atau bahkan kekacauan nilai. Identifikasi dan klarifikasi nilai-nilai tersebut akan
m em bantu individu memperjelas situasi ini.
Generalisasi Label. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah generalisasi
label. A sum sinya adalah b ah w a anak itu h idup di tengah m asyarakat yang
terbangrrn oleh sebuah sistem nilai tertentu,
m isalnya nilai-nilai dem okrasi d an nilai-nilai religius. Nilai-nilai
yang dianut anak perlu dikaitkan dengan nilai-nilai dasar tersebut.
D alam prosesnya an ak m em ungkinkan berp en d ap at sam a atau
bertentangan dengan nilai-nilai, yang dianut m asyarakat tersebut.
Dalam proses tersebut gur'u perlu m em bantu anak m em andang
dan berpikir secara jernih dan te{~>at m engapa nilai-nilai tersebut
ad a d an diperlukan u n tu k kehidupan yang lebih baik. Dengan
dem ikian generalisasi label adalah proses m em adukan an tar label
atau antarnilai yang ada.
Dalam proses yang nyata, sebetulnya bukan hanya penghubungan antarnilai
yang dianut anak dengan nilai yang dianut masyarakat, tetapi m erupakan suatu
pengujian sistem nilai mdividu atau siswa dengan sistem nilai yang sudah
berkem bang dalam m asyarakat atau dengan sistem nilai yang terkandung
dalam kitab suci. Misal, anak dibawa untuk menganalisis nilai “jihad” apakah
perlu untuk dianut atau harus dihindari karena bertentangan dengan nilai yang
ada di m asyarakat, seperti nilai demokratis. Apakah kedua nilai tersebut

‫ا?ه‬ ‫ا‬ Memaknai Pendidikan


bertentangan atau saling m enguatkan satu sam a lain m erupakan proses yang
harus dijawab dalam proses generalisasi label.
Analisis Konflik Nilai. A sum sinya a d alah b ah w a p u tu san -
putusan m oral m elibatkan konflik antarnilai. Proes ini dilakukan
dengan m engkaji konsekuensi-konsekuensi dari sebuah perbuatan
atas sebuah nilai m oral, sehingga anak m enem ukan cita m oral
yang dikompromikan. Misal, anak ingin menolong orang lain yang
kelaparan sem entara dia sendiri memiliki uang yang jum lahnya
hanya cukup untuk ongkos adalah situasi konflik.
Bagaim ana proses ini harus dilalui anak? Dalam situasi ini,
keseim bangan antar nilai banyak disarankan orang. N am un menjadi
m enarik dalam proses ini jika kita mempelajari sejarah/tarikh para
sahabat, di m ana mereka memikirkan untuk tidak seim bang antarnilai. Seperti
ketika sahabat Abu Bakar Shidik yang m enginfakkan sem ua hartanya u n tu k
keperluan perang dan tidak m enyisakan u ntuk
keperluan diri dan keluarganya. Analisis konflik nilai dalam konteks pengalam
an para sahabat Nabi M uham ad Saw. didasarkan pada keutuhan nilai
Ketuhanan. Jika individu m em belanjakan hartanya di jalan Allah Swt., m aka
ia akan m endapatkan pengganti yang berlipat-lipat. Dalam konteks terentu,
sangat m em ungkinkan seorang
guru berhadapan dengan anak-anak yang memiliki keutuhan nilai Ketuhanan,
sehingga konflik nilai menjadi kurang logis pada sebagian
orang tetapi menjadi logis bagi dirinya.
K etika p ara sisw a m enilai im plikasi-im plikasi, konsekuensi-
konsekuensi yang m ungkin, dari putusan m oral mereka, m ereka
perlu m em andang konsep-konsep moral sebagai konstruk-konstruk
yang dimensional ketimbang kategoris. Yakni, m ereka harus belajar
m em perlakukan nilai-nilai moral sebagai derajat-derajat dari kondisi
yang diharapkan sepanjang sebuah kontinuum , ketim bang ajaran
yang bersifat sepenuhnya atau tidak sam a sekali. Inilah ilustrasi yang disebut
bahw a anak sebagai "subjek" belajar bukan “objek” semata. Anak dibim bing
untuk m am pu m em ikirkan secara tepat dan benar m engenai apa yang harus
dan tidak harus dilakukan.
Jika kita m em bayangkan tentang bagaim ana proses konflik nilai yang
teijadi ketika seorang Amrozi m em utuskan untuk m elakukan
bom bunuh diri. M aka kita dapat menganalisis lebih lanjut, mengenai perlunya
kem am puan individu untuk m am pu m em ikirkan untuk

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


m em ilih m ana yang tepat dan benar dan m ana yang tepat tapi
tidak benar atau m ana yang tidak tepat tapi benar. Pikiran-pikiran
akan hal tersebut m erupakan konflik nilai yang cukup m endasar
bagi kalangan m uslim . Bahkan, saat ini cenderung m erebak di
kalangan pem uda muslim.
Kom itm en-kom itm en nilai jarang bersifat m um i dan absolut.
K om itm en nilai yang absolut banyak d itu n tu t oleh kitab suci.
K arena keabsolutan inilah, sebagian pihak m enjadikan kitab suci
sebagai alat untuk m endogm a pengikutnya untuk m elakukan atau
tidak m elakukan sesuatu . P erjinahan d an yang sejenis absolut
diharam kan m en u m t kaum m uslim yang sum bernya adalah Al-
Q uran . D alam situasi ini kom prom i a n tarn ilai tid ak terd ap at.
Salah satu bentuk “kom prom i” (sebetulnya bukan kom prom i) yang
sering terdengar dalam kalangan m uslim bunyinya kurang-lebih sebagai
berikut: "bagimu agam am u dan bagiku adalah agam aku”. Ini adalah situasi
koeksistensi antara dua sistem nilai yang tidak
dapat dikom prom ikan. Kulm inasi konflik nilai ini m erujuk pada
pem berlakuan syariat agam a dalam tatanan negara. Akan hal ini
perlu diskusi panjang, nam un tidak menjadi kajian khusus dalam
buku ini. Kami m enekankan bahw a para guru harus m enyadari
berbagai konflik nilai yang berkem bang saat ini d an diprediksi
akan terus berkem bang di m asa yang akan datang.
Pengambilan Putusan. Asum sinya bahw a sebuah nilai dapat
m enjadi prioritas bagi individu/anak tertentu d an tidak m enjadi
prioritas bagi individu/anak lainnya. Mari kita analisis kembali cerita
anak yang konflik nilai an tara m enolong orang yang kelaparan
dengan pulang jalan kaki? Pada akhir analisis situasi dan kondisi,
individu/anak harus m em buat putusan. M ana yang harus diambil
oleh anak akan sangat dipengaruhi m ana prioritas nilai yang dimiliki
anak. Dalam konteks tersebut guru sebaiknya m em berikan penguatan
u ntuk m em pertim bangkan secara m atang m engenai konsekuensi-
konsekuensi dari suatu putusan. Adalah hal yang kurang tepat jika
gurulah yang m em utuskan untuk anak m engenai apa yang harus
dilakukan oleh anak, karena anak tidak akan belajar m engenai
bagaim ana sebuah keputusan terbaik harus diam bil selain juga
m enguatkan ketergantungan anak kepada gurunya.

Memaknai Pendidikan Karakter


Putusan ada yang sifatnya m erupakan tradeoff, tidak ada rotan akar pun
jadi. Hari ini saya akan pulang jalan kaki, besok saya
bisa naik bus lagi, dan hari ini saya sudah dapat menolong orang yang
kelaparan. Kompleksitas sebuah keputusan yang diambil anak dapat dianalisis
dari nilai apa yang m enjadi prioritas bagi anak.
Atau sebaliknya, jika kita ingin mengetahui nilai apa yang menjadi
prioritas anak, m aka lihatlah kaitan antara putusan yang dibuat
an ak dengan nilai yang terkandung di balik p u tu san tersebut. Barangkali
putusan “daripada m engalami konflik lebih baik hidup berd am p in g an dengan
d am ai” p u n m erupakan sebuah tradeoff.
Dalam konteks tersebut, selama tidak terkait dengan nilai absolut
yang tertuang dalam kitab suci, m aka guru harus memfasilitasi anak untuk m
enim bang secara m atang m engenai putusan yang harus diambil. N am un jika
terkait dengan nilai absolut, seperti apakah anak harus ikhlas atau tidak
(ikhlas=m endasarkan sem ua tindakan kepada Tuhan, bukan kepada yang
lainnya), m aka sudah barang tentu tidak ada kom prom i akan hal itu, karena
ikhlas m erupakan bagian dari ajaran dalam kitab suci.

C ontoh proses p em b elajaran d en g an m en g g u n ak an m odel pem


bangunan rasional.
Pada suatu har i guru agam a m erasa kebingungan untuk mencapai
suatu kondisi di m ana anak-anak menjadi terbiasa m elakukan shalat wajib.
Berdasarkan pengalam an yang telah lalu (tahun sebelumnya), biasanya anak-
anak ketika diuji dengan bacaan dan gerakan shalat
m ereka sangat terampil. Nam un, ketika ditanyakan apakah mereka
terbiasa shalat wajib? Atau “apakah anak -anaka m erasa b utuh dengan shalat?”
Hal ini berbeda hasilnya dengan hasil tes bacaan dan gerakan shalat, bahkan
berbanding terbalik.
Mengatasi hal tersebut, penulis m encoba berdiskusi dengan guru agam a
dan guru PKn. Untuk mengetahui apa kira-kira pengalam an yang harus dialam i
oleh anak untuk dapat memiliki rasa butuh
terhadap shalat atau terbiasa m elakukan shalat wajib lima waktu.
P ad a saat itu p en u lis m en co b a m ereviu ap a yang su d ah
dilakukan oleh guru agam a dalam pem belajaran mengenai shalat.
Kem udian guiu menjelaskan secara detil. Dari penjelasan tersebut, penulis m
em aham i bahw a apa yang dilakukan guru sebenarnya belum m em berikan
pengalam an kepada anak mengenai bagaim ana anak m erasakan keindahan
shalat. Jika itu terlalu sulit, barangkali

Model-Mc ١Pembelajaran Pendidikan Karakter


A
anak perlu mengelaborasi bagaim ana pengalam an orang lain yang
sudah m erasakan nikm atnya shalat.
Proses pem belajaran dilakukan dengan cara anak m em bangun
secara rasional m engenai "m engapa shalat itu diperlukan bagi
m an u sia?” U ntuk m en d ap atk an jaw ab an ini, anak -nak dim in ta
untuk m elakukan observasi dan w aw ancara kepada orang yang
shalat dan dinilai oleh anak itu shalatnva berm akna (orang tersebut
m erasa butuh).
Hal itu kem udian dipraktikan oleh guru agam a, prosesnya
sebagai berikut.
"Nah anak-anak, kita sudah belajar tentang bagaim ana shalat
(bacaan dan gerakan), sekarang kita m encoba m em pelajari m engapa
shalat itu diperlukan oleh m anusia yang beragam a Islam. Adakah
di antara anak-anak yang mengetahui m engapa kita (um at islam)
diw ajibkan u ntuk m elakukan shalat lim a w aktu?” Pada saat itu
banyak anak-anak memiliki pandangan yang sam a seperti ilustrasi
orang yang m em bersihkan dosa-dosanya selam a lim a kali sehari,
tentu akan m endapati dirinya lebih bersih dari dosa-dosa.
Hal ini belum m em bangun rasional lebih dalam dari anak-anak.
G uru kem udian m em berikan ilustrasi m engenai pengalam annya
ketika m endapati sahabatnya yang sungguh-sungguh dalam shalat, dilihat dari
persiapan dan proses vang dilakukan sahabat tersebut
ketika shalat. Setelah elaborasi itu, guru kem udian bertanya kepada anak,
“apakah ada di antara kalian yang pernah m elihat orang
yang shalat sambil menangis?” Beberapa orang m enjawab pernah, tetapi
kebanyakannya belum pernah.

Melihat hal tersebut, m aka guru memiliki peluang untuk membangun


rasional anak secara nyata, m engapa shalat itu dibutuhkan oleh seorang muslim.
Kem udian guna m em inta kepada anak-anak yang sudah pernah melihat untuk
m engem ukakan pendapatnya, kira-kira m engapa orang tersebut shalat sambil
m enangis? Apakah karena sedang d iru n d u n g m usibah? Apakah karen a
sedang m enikm ati pengakuan dosa dan dia m em inta am p u n an dari Aliah m
elalui shalat tersebut? Apakah dia m erasakan bahw a dirinya sedang berkom
unikasi dengan Allah swt.?

Pada dasarnya anak-anak yang pernah melihat tersebut belum dapat m


engem ukakan hal-hal rasional terkait dengan alasan mereka shalat sambil
menangis (m encucurkan air mata).

i 34 I Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


Di akhir pem belajaran guru m em berikan tugas kepada anak-anak untuk m
elakukan observasi dan w aw ancara kepada orang yang terdekat dengan dirinya
mengenai pengalam an m ereka dalam
menjalankan shalat. Atau m ereka m engobsenasi dan m ew awancara
orang lain yang berada di m asjid. K ebetulan sekolah m em iliki
m asjid yang cukup besar dan sering digunakan oleh m asyarakat
um um pada waktu-waktu shalat wajib.

4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model


Pembangunan Rasional (M PR)
Evaluasi dalam m odel pem bangunan rasional pada akhirnya ditujukan
untuk m engetahui tingkat ketepatan dan kebenaran putusan vang dibuat oleh
anak. Sem entara putusan belum m uncul, evaluasi ditujukan untuk m engetahui
ketepatan dan kebenaran mengenai apa saja yang dipertim bangkan oleh anak
dalam menganalisis konflik antarnilai. P enggunaan M PR dalam pendidikan
nilai m em buat pendidikan menjadi situasi pengajaran yang khasnya adalah
pengajaran kognitif. Situasi intinya adalah situasi siswa m em buat jelas nilai-
nilai yang ada dan yang harus m enjadi miliknya sendiri. Situasi ini adalah
situasi siswa memiliki argum entasi atau pertanggungjawaban rasional atas nilai-
nilai yang dimilikinya.

Evaluasi dalam M PR b eru p a evaluasi kinerja sisw a dalam


m em p ertan g g u n g jaw ab k an n ilai-nilai yang d ia n u t a ta u h a ru s
dianutnya. Alasan-alasan vang muncul ketika anak m engem ukakan suatu
gagasan, kritik, sanggahan m erupakan komponen yang menjadi penilaian
proses. Sedangkan penilaian akhir dilakukan melalui evaluasi kinerja siswa.
Kineija siswa dapat tam pak dalam situasi diskusi, atau dalam bentuk karya tulis
yang dibuat siswa yang kem udian didiskusikan dengan tem an-tem annya di
baw ah bim bingan guru. Bentuk evaluasi lainnya adalah melalui tes kognitif.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter


y
Langkah-langkah menjabarkan indikator karakter. |
1. Mendefinisikan atau memberi makna secara khusus kepada I
karakter yang dimaksud. |
2. Mengelaborasi terhadap substansi makna yang terkandung |
dalam karakter tersebut melalui suatu hirarki perilaku. |
3. Menyusun indikator karakter ke dalam bentuk rincian khusus |
suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai oleh anak |
sesuai tahap perkembangannya. |
4. Menyusun indikator dari karakter tersebut ke dalam bentuk |
rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai |
oleh anak sesuai tahap perkembangannya
J

Memaknai Pendidikan Karakter


Evaluasi
Pendidikan Karakter

A. Evaluasi Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter sebagai suatu proses interaksi peserta didik dengan
lingkungan pendidikan akan sulit diketahui tingkat keberhasilannya apabila tidak
dikaitkan dengan evaluasi hasil. Apakah anak sudah memiliki karakter “jujur”
atau belum, m em erlukan suatu evaluasi. Jadi evaluasi u n tu k pendidikan
karakter m em iliki m akna suatu proses untuk menilai kepemilikan suatu
karakter oleh anak yang dilakukan secara terencana, sistematis, sistemik, dan
terarah pada tujuan yang jelas.

Dalam konteks tertentu, kata “evaluasi” m enjadi kata yang banyak


dikhawatirkan oleh para guru, khususnya guru yang m engajar pada m ata
pelajaran yang di UN-kan. Evaluasi secara nasional yang saat ini dilakukan
melalui proses “Ujian Nasional” memiliki dam pak psikologis yang m eresahkan
bagi para guru, kepala sekolah, orang tua, dan juga anak yang bersangkutan.
Dalam kajian bab ini, kami tidak akan m engulas secara khusus m engenai
evaluasi dalam konteks pendidikan nasional, tetapi akan lebih fokus pada
evaluasi dalam pembelajaran.

Evaluasi Pendidikan Karakter I 137


Terkait dengan evaluasi, ada beberapa kata yang sering digunakan
secara silih berganti, tum pang tindih, bahkan tidak jarang salah
makna. Beberapa kata yang dim aksud adalah evaluasi, pengukuran
(m easurem ent), dan tes. Ketiga istilah ini m em iliki kaitan yang
erat, nam un berbeda satu sam a lain. Evaluasi m erupakan upaya
u n tu k m engetahui keadaan su atu obyek dengan m enggunakan
alat (in stru m e n ) terten tu d an m em bandingkan hasilnya dengan
standar tertentu untuk mem peroleh kesimpulan. Kegiatan evaluasi
m em erlukan penggunaan inform asi dari hasil pengukuran atau
tes. Pengukuran adalah upaya untuk m engetahui keadaan/kondisi
sesuatu. Dalam pengukuran tidak ada proses m em bandingkan hasil
pengukuran dengan standar tertentu. Inform asi hasil pengukuran belum
memiliki m akna yang m endalam , tetapi baru mendeskripsikan hasil dari suatu
tes/instrum ent. Sedangkan tes m erupakan upaya untuk m enggunakan suatu
alat pada suatu objek, dalam hal ini peserta didik. Ketiga istilah tersebut
memiliki m akna yang berbeda dalam konteks pendidikan karakter, sebagaim
ana uraian di atas.
Evaluasi untuk pendidikan karakter dilakukan untuk m engukur apakah
anak sudah memiliki satu atau sekelompok karakter yang ditetapkan oleh
sekolah dalam kurun waktu tertentu. Karena itu, substansi evaluasi dalam
konteks pendidikan karakter adalah upaya m em bandingkan perilaku anak
dengan standar (indikator) karakter yang ditetapkan oleh guru dan/atau sekolah.

Proses m em bandingkan antara perilaku anak dengan indikator karakter


dilakukan melalui suatu proses pengukuran. Proses pengukuran dapat dilakukan
melalui tes tertentu atau tidak melalui tes (nontes).
Tujuan evaluasi pendidikan karakter. Evaluasi pendidikan karakter
ditujukan untuk:
1. m engetahui kem ajuan hasil belajar dalam bentuk kepemilikan sejumlah
indikator karakter tertentu pada anak dalam kurun waktu tertentu;

2. m engetahui kekurangan dan kelebihan desain pem belajaran yang dibuat


oleh guru; dan
3. m engetahui tingkat efektivitas proses pembelajaran yang dialami oleh
anak, baik pada seting kelas, sekolah, m aupun rumah.

Berdasarkan tujuan pendidikan karakter di atas, dapat dipaham i bahw


asannya evaluasi pendidikan karakter tidak terbatas pada

Memaknai Pendidikan Karakter


pengalam an anak di kelas, tetapi juga pengalam an anak di sekolah dan di rum
ah. Tentu saja hal ini terbatas pada pengalam an belajar anak yang didesain
secara khusus oleh guru. Dalam hal ini, desain RPP yang d ibuat oleh guru m em
ang betul-betul m eru m u sk an pengalam an belajar anak di rum ah. Artinya
evaluasi belajar anak di rum ah tidak dilakukan jika m em ang guna tidak
mendesain adanya pembelajaran di rum ah.

Fungsi evaluasi pendidikan karakter. Hasil evaluasi tidak akan memiliki


dam pak yang baik jika tidak difungsikan semestinya. Ada tiga hal penting yang
menjadi fungsi evaluasi pendidikan karakter, yaitu:

1. berfungsi untuk mengidentifikasi dan m engem bangkan sistem pengajaran


(instnictional) yang didesain oleh guru;
2. berfungsi untuk menjadi alat kendali dalam konteks m anajem en sekolah;
dan
3. berfungsi untuk menjadi bahan pem binaan lebih lanjut (remedial,
pendalam an, atau perluasan) bagi guru kepada peserta didik.

Langkah-langkah menjabarkan indikator karakter. B agaim ana


kita m engetahui isi suatu karakter secara lebih detail? Kajian ini
m encoba m engupas hal tersebut. Sebagaim ana diketahui bahw a
k a ra k ter itu sifat seseorang yang perlu d itu m b u h k em b an g k an
melalui proses pendidikan, m aka pendidik ham s m engetahui secara
lebih m endalam m engenai substansi suatu karakter, bagaim ana
memfasilitasi tum buhkem bangnya, dan bagaim ana mengevaluasinya. Untuk
m enjabarkan suatu karakter, m aka perlu dikaji definisi isi karakter
tersebut. Misal karakter yang ingin dikem bangkan oleh
sekolah/orang tua adalah “pribadi unggul”. Langkah pertam a yang
ham s dilakukan adalah mendefinisikan atau memberi m akna secara
khusus yang dim aksud dengan “pribadi unggul” itu apa? Semakin
jelas m akna yang terkandung di dalam karakter tersebut, m aka
semakin m udah untuk m enjabarkan indikatornya.
Langkah kedua adalah m elakukan elaborasi terhadap substansi
m akna yang terkandung dalam karakter tersebut m elalui suatu
hirarki perilaku. Semisal kita m enguraikan karakter tersebut dengan
m enggunakan form at dari T. Lickona, yaitu moral knowing, moral
feeling, dan moral action atau m enggunakan hirarkhi perilaku yang
dikem bangkan oleh Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, atau hirarki
yang lainnya.
Setelah merefleksi suatu karakter menjadi suatu hirarkhi perilaku, m aka
langkah ketiga adalah m enyusun indikator dari karakter tersebut ke dalam
bentuk rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai oleh anak
sesuai tahap perkem bangannya. Perlu menjadi catatan, bahw a yang dinam akan
kompetensi m encakup suatu yang utuh, yakni meliputi cipta, rasa, dan karsa
atau pengetahuan perasaan dan tindakan m enurut Lickona, atau dalam
pandangan Bloom m encakup kognitif, apektif, dan psikomotor. Selain itu, akan
sangat banyak indikator dalam suatu karakter, bahkan tum pang tindih satu sam
a lain, karenanya perlu untuk m encari indikator yang esensi. P encarian m an a
in d ik ato r yang esensi sebaiknya dilakukan melalui diskusi pihak sekolah
(kepala sekolah dan guru) dengan stakeholder-nya (komite sekolah dan orang
tua), khususnya orang tua siswa.

Jika langkah ketiga selesai, langkah keempat adalah m enjabarkan indikator


karakter menjadi indikator penilaian. Indikator penilaian adalah rum usan
mengenai pokok-pokok perilaku yang dapat dijadikan rujukan untuk menilai
ketercapaian suatu karakter.
Langkah-langkah tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:

T abe l 4.1
Langkah-langkah penjabaran indikator suatu karakter

Langkah-langkah penjabaran karakter Contoh


menjadi indikator
Langkah I mendefinisikan atau memberi Sekolah menentukan "pribadi Unggul"

makna secara khusus terhadap karakter sebagai karakter bagi setiap peserta
yang akan diwujudkan menjadi perilaku didik di sekolah yang bersangkutan.
anak.
Langkah I! melakukan elaborasi terhadap Pribadi unggul memiliki arti seseorang

substansi makna yang terkandung dalam yang memiliki kualitas/keunggulan dari


karakter tersebut melalui suatu hirarki sisi agama, pribadi, dan sosial.
perilaku.
Langkah III menyusun indikator dari Berdasarkan langkah II kemudian dibuat

karakter te rs e b u t ke dalam be n tu k rincian sebagai berikut:


rincian khusus suatu kompetensi yang A. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan
harus dikuasai oleh anak sesuai tahap Yang Maha Esa
perkembangannya. B. Mampu berperilaku jujur
C. Memiliki sifat-sifat kepemimpinan
D. Memiliki citra diri positif

I40 I Memaknai Pend‫؛‬dikan Karakter


Langkah IV menjabarkan indikator menjadi Contoh Indikator Penilaian:
indikator penilaian Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Contoh Indikator karakter: Maha Esa
١. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada Malaikat
3. Beriman kepada Rasul
4. Beriman kepada Kita Suci
5. Beriman kepada hari kiamat
6. Beriman kepada qada danqadar

7. Memiliki pola kehidupan yang sama


d e n g a n rukun Islam (shadataen,
shalat, zakat, shaum, haji)

E valuasi te rh a d a p tu m b u h kem b an g su a tu k a ra k te r p a d a
anak bukanlah suatu hal yang m udah, tetapi tidak berarti hal ini
suatu yang m ustahil untuk dilakukan oleh guru. Evaluasi karakter
m erupakan upaya untuk m engidentifikasi perkem bangan capaian
hirarki perilaku (berkarakter) dari w aktu ke waktu melalui suatu
identifikasi dan/atau pengam atan terhadap perilaku yang m uncul
dalam keseharian anak.
Perlu m enjadi catatan penting, bahw a suatu karakter tidak dapat dinilai
dalam satu waktu (one shot evalucition), tetapi harus diobservasi dan
diidentifikasi secara terus m enerus dalam keseharian anak, baik di kelas,
sekolah, m aupun rum ah. Karena itu, penilaian terhadap karakter harus
melibatkan tiga kom penen tersebut. Evaluasi di kelas m elibatkan guru, peserta
didik sendiri dan peserta didik lainnya. Evaluasi di sekolah m elibatkan peserta
didik itu sendiri, tem an-temannya, guru lainnya (termasuk Kepala Sekolah dan
Wakil Kepala Sekolah), pustakawan, laboran, tenaga adm inistrasi sekolah,
penjaga sekolah, dan teknisi jika ada. Di rum ah m elibatkan peserta didik, orang
tuanya (jika m asih ada) atau walinya, kakak, dan adiknya (jika ada).

Lalu bagaim ana kerangka evaluasi yang harus dibangun untuk


mengevaluasi karakter anak ini?

Evaluasi Pendidikan Karakter 141


Evaluasi di Rumah Anak
Orangtua/wali
Kakak/adik
Anak

Temannya
Guru
G uru G-- Pustkawan
Laboran
Tenaga
Anak administrasi
sekolah
Teman
Penjaga sekolah
Guru
Evaluasi di Kelas ‫—؛‬ Evaluasi di Sekolah

G a m b a r 4.1 K erangka setin g evaluasi karakter

Alat evaluasi vang dapat digunakanyaitu.


1. Evaluasi diri oleh anak.
2. Penilaian teman.
3. Catatan anekdot guru.
4. Catatan anekdot orang tua.
5. Catatan perkem bangan aktivitas anak (psikolog).
6. Lem bar observasi guru.
7. Lem bar Kerja Siswa (LKS).
8. Dan lain-lain.

Dalam buku ini akan dijelaskan dua bentuk penilaian karakter, yaitu
evaluasi diri anak dan penilaian portofolio.

B. Evaluasi Diri Anak


Makna evaluasi diri. Lem bar evaluasi diri anak m erupakan instrum en evaluasi
yang mengidentifikasi perkem bangan perilaku anak berdasarkan apa yang
dialami anak melalui suatu proses refleksi terhadap apa yang dialam i oleh anak.
Proses refleksi m erupakan suatu proses di m ana anak m encurahkan pengalam
annya berupa proses yang dialami, kesan (keberm aknaan bagi anak) yang
dirasakan, respon

142 Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


dirinya terhadap proses yang dialami, dan rencana ke depan (jika ada/m em
ungkinkan) baik bagi dirinya m aupun bagi lingkungannya. Instrum en evaluasi
diri dapat berupa: lem bar evaluasi diri dan buku harian anak.

Lem bar evaluasi diri. Lem bar evaluasi diri adalah instrum en
evaluasi perilaku berkarakter berupa lem bar-lem bar yang berisi
mengenai identifikasi proses, kesan, respon, dan rencana ke depan anak dari
pengalam an yang baru dialaminya dalam proses pembelajaran. Misal, ketika
anak m elakukan/dikondisikan dalam pem belajaran melalui m enonton
film/video, m aka setelah m enonton tersebut, anak dim inta untuk mengisi lem
baran evaluasi diri mengenai bagaim ana proses selama ia m enonton, bagaim
ana kesan film/video tersebut bagi anak, bagaim ana respon anak terhadap
film/video tersebut,
dan terakhir apakah ada rencana tindak lanjut dalam pikiran anak setelah m
enonton film/video tersebut.

Table 4.2 Contoh instrumen evaluasi diri anak

^ FORMAT LEMBAR EVALUASI DIRI ANAK j

Nama :.....
Kelas : ............................................................................ NIS:
Mata Pelajaran : .....
Hari/tgl/jam : .....
Deskripsi :.....
KBM : .....
No Aspek Evaluasi Pengalamanku

Diri Anak
1‫(؛‬ (2) (3)

Aku mengalami ‫؛‬

2. Kesanku

Pandanganku
terhadap kegiatan
A Rencanaku ‫؛‬

Evaluasi Pendidikan Karakter 14 3 ‫؛‬


F orm at lem bar evaluasi diri juga dapat berupa intrum en yang bebas
dari klasifikasi “aspek evaluasi diri anak.” Dalam format ini yang ada hanya
deskripsi pengalam an anak berdasarkan apa yang dialami anak, tanpa ada
strukturisasi intrum en evaluasi oleh guru. Perbedaannya dengan form at pada
Tabel adalah tidak adanya kolom (1) dan (2), tetapi yang ada hanyalah adalah
kolom (3). Contoh form at evaluasi diri yang bebas dari aspek evaluasi diri
adalah sebagai berikut ini.

Tabel 4.3 Contoh format evaluasi diri anak


FORMAT LEMBAR EVALUASI DIRI ANAK

Nama :....

:...............................................................................
Kelas NIS:
:..............................................................................
Mata Pelajaran
Hari/tgl/jam :....
Deskripsi :....
KBM :....
Deskripsi Pengalamanku

Pengisian lem b ar evaluasi diri ini d ilakukan setelah anak


m elakukan suatu kegiatan dalam KBM. Sebaiknya tidak ada jeda
w aktu antara kegiatan yang dilakukan dengan pengisian instrum en. Hal ini
ditujukan untuk m endapatkan informasi secara lebih orisinal m engenai apa
yang dialami oleh anak.

Memaknai Pendidikan Karakter


Buku harian anak. Dalam proses mengevaluasi perkem bangan perilaku
berkarakter anak, guru dapat m enggunakan buku harian anak. Buku harian anak
adalah buku yang berisi curahan perasaan anak dari proses yang dialami oleh
anak selama ia menjalani proses
kehidupannya selama 24 jam . Bedanya dengan lem bar evaluasi diri,
buku harian anak tidak terbatas pada KBM yang didesain oleh
guru di kelas, tetapi meliputi sem ua pengalam an anak selama 24
jam , bahkan m em ungkinkan mengidentifikasi visualisasi pem ikiran
anak tentang m asa depan diri dan lingkungannya.
Buku harian anak ini bukanlah buku harian yang dibeli oleh
anak kem udian dim inta oleh sekolah, tetapi buku yang disediakan
oleh sekolah secara khusus u ntuk kepentingan evaluasi perilaku
berkarakter anak.
Bagaim ana kedua jenis evaluasi diri ini diolah? Arah pengolah
evaluasi diri anak. P engolahan evaluasi diri dilakukan dengan
m elihat kecenderungan perilaku "m enetap” atau “tidak m enetap”
pada anak dari sejum lah indikator yang terlebih dahulu dibuat
oleh guru. “Evaluasi diri anak” kurang tepat apabila dipandang sebagai cara
khusus untuk mengevaluasi suatu indikator perilaku berkarakter, tetapi lebih
tepat dipandang fungsinya sebagai upaya
untuk mengidentifikasi “m enetap” atau “tidak m enetapnya” perilaku
anak dalam suatu indikator perilaku berdasarkan kehidupan anak
d alam k u ru n w aktu terten tu . K arena itu, p en afsiran terh ad ap
hasil evaluasi diri anak ini bukanlah deskripsi tentang anak itu berkarakter atau
tidak berkarakter, tetapi lebih pada prediksi terhadap
kepemilikan suatu karakter dengan kriteria "cenderung m enetap,”
“sewaktu-waktu,” “inisiasi awal,” dan "belum m uncul.”
Tindak lanjut hasil evaluasi. Jika anak dikategorikan perilakunya
“cenderung m enetap” dalam sutau indikator perilaku berkarakter,
m aka guru dan orang tua harus terus m erawat perilaku ini untuk
terus m enetap melalui penegakan reward dan pimishment secara
konsisten. Jika hasil penilaian berupa “sewaktu-waktu,” m aka guru
dan orang tua perlu untuk m em berikan penguatan perilaku anak
untuk m enjadi m enetap. Hal ini m em ungkinkan dilakukan dengan cara
penguatan p em ah am an anak terh ad ap m anfaat dari suatu karakter. Selain
itu, perlu untuk penegakkan reward dan pimishment secara konsisten. Jika hasil
penilaian berupa "inisiasi awal,” m aka upaya yang m em ungkinkan untuk
dilakukan guru dan orang tua

tvaluasi Pendidikan Karakter


adalah: 1) mengelaborasi perasaan dan orang ‫؛ا‬،‫ أا‬kepada anak,
‫ج;اااآا‬
‫ااة‬،‫ز‬anak memiliki atau tidak memiliki suatu karakter tcricmm; 2)
penguatan pem aham an anak tentang pentingnya suatu karakter
dimiliki oleh anak dan lingkungannya, baik untuk saat ini m aupun
untuk m asa depan anak; 3) m enegakkan ‫ﺀ‬-‫ عا’؛آ’اأ‬punishm/dan ent
secara konsisten. Jika liusil penilaian m enunjukkan ‘Joelttm m uncul,”
m aka hal yang memungkinkan untuk dilakukan oleh guru dan orang tua adalah:
1) nrengidentihkasi penolakan anak terhadap suatu nilai (karakter), 2)
mengelaborasi perasaan guru dan orang tua kepada anak, jika anak memiliki atau
tidak memiliki suatu karakte‫ '؛‬tertentu;
3) pengrratan pem aham an anak tentang pentingnya suatu karakter dimiliki
oleh anak dan lingkungannya, baik untuk saat ini m aupun r،ntuk m asa depan
anak; 4) m enegakkan reward dan p u n ish m en t
secara konsisten. Upaya-upaya tindaklanjut tersebut bukanlah suatu kegiatan
yang dilakukan dalam Iritungan satu l‫؛‬ali kegiatan, tetapi kegiatan yang secara
terus m enerus dilakukan sehingga m uncul perilaku anak yang cendem ng
menetap.

4 .4 Klasifikasi Hasil evaluasi dan T ind ak lanjutnya

Hasil
Pengolahan
Tindak Lanjut (peran orang tua ‫وﺎﻤﺳأ‬
Evaluasi diri
Tegakkan reward dan punishment secara konsisten
Cenderung menetap
1. Kuatkan pem aham an anak tentang pentingnya suatu
Sewaktu-waktu karakter bagi anak dan lingkungannya
2. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten

Inisiasi awal 1. Sampaikan harapan guru dan orang tua kepada


anak untuk memiliki suatu karakter tertentu
2. Kuatkan pem aham an anak tentang pentingnya
suatu karakter bagi anak dan lingkungannya
3. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten
Belum muncul 1. Identifikasi penolakan anak terhadap suatu nilai

(karakter)
2. Sampaikan harapan guru dan orang tua kepada
‫؛‬ anak untuk memiliki suatu karakter tertentu
I 3. Kuatkan pem aham an anak tentang pentingnya
‫ ؛‬suatu karakter bagi anak dan iingkungannya
i 4. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten

M em aknai Pendidikan K arakter


C. Penilaian Portofolio
Pendekatan evaluasi. Evaluasi terhadap berkarakter atau tindakan seorang
anak, berkaitan dengan usaha guru m engem bangkan keterampilan
mengobservasi dan melakukan pertim bangan segi kuantitas dan kualitas
perilaku termasuk pekerjaan peserta didik yang melingkupi dan memenuhi
tujuan aktivitas belajar peserta didik. Dalam konteks tersebut, Roberts dan
Klleough (1996: 128), menyarankan seorang guru dalam menilai pekeijaan
dan perilaku peserta didik dituntut melalui proses yang berkelanjutan dan
informal.
Untuk pelaksanaan tugas penilaian tersebut, sejumlah teknik penilaian
dapat dipilih dan dilakukan guru. Teknik itu bukan sekedar tes berupa paper
peucil test, melainkan dapat bersifat alternatif (altemative assessmcnt) atau
nontes seperti catatan anekdot, rekam an audio dan video, daftar cek, buku
harian, term asuk penilaian portofolio.

Penilaian portofolio. Teknik penilaian portofolio sebenarnya esensial


dalam penilaian karakter. Amatlah sulit memahami dan mengidentilikasi
suatu karakter itu tercapai tanpa gum mengerti, menguasai, dan
melaksanakan penilaian dengan bentuk portofolio.
Lingkungan operasional memperlihatkan bahwa peserta didik dalam
praktek pendidikan mesti dipahami dengan baik. Dalam setiap pembelajaran,
peserta didik itu unik. Mereka memiliki perbedaan satu sama lain. Latar
belakang sosial dan ekonomi keluarganya, minat, harapan, motivasi,
kemampuan, perasaan, kreativitas, dan penampilan dalam kegiatan
belajarnya berbeda-beda. Tidaklah mungkin mereka diperlakukan atau
dilayani dengan cara disamaratakan.
Dalam penilaian pun, peserta didik itu sangat memerlukan perlakuan
individual. Mereka penting dinilai kegiatan dan hasil belajarnya berdasarkan
kem ampuan dirinya. Orientasi penilaian berbasis kom petensi mesti
berubah. Prakteknya tidak banyak membandingkan kemampuan hasil belajar
seorang peserta didik dengan kemampuan hasil belajar teman-temannya,
melainkan hal itu dibandingkan dengan kem ampuan sebelumnya. Inilah
teknik penilaian m utakhir atau inovatif dan lebih otentik. Penilaian
demikian akan mengandalkan teknik nontes atau tes perbuatan dalam bentuk
portofolio. Penilaian portofolio inilah sebenarnya yang lebih

Evdiua‫ ؛؛‬Pendidikin Karakter ١ 147


mewarnai konsep Penilaian Berbasis Kompetensi daripada cara-cara tes
(tertulis) yang telah biasa guru-guru lakukan. Apakah suatu kompetensi itu
dapat dimengerti dengan cara diberikan suatu soal tes tertulis pada peserta
didik? Penilaian portofolio menjadi bagian integral sekaligus mensiasati
suasana belajar yang menyenangkan dan lebih bermakna bagi peserta didik.

Konsep Dasar Penilaian Portofolio. Penilaian portofolio mendasarkan


pada teori belajar konstruktivistik (ingat tokoh-tokoh Piaget, Vygotsky dan
Bruneur) yang mengasumsikan bahwa peserta didik selain unik, mereka itu
active leamers, bahkan a scientist. Mereka memiliki kepekaan, sensitif; they
constmct their own knowledge by themselves. Sekali lagi, berdasarkan
asumsi ini, pencapaian hasil belajar peserta didik tidaklah patut untuk
dibandingkan dengan prestasi kelompoknya (nonn reference assessment).
Prestasi peserta didik itu selayaknya dibandingkan dengan kemampuan
sebelumnya atau kriteria pencapaian kompetensi (Balitbang, Depdiknas,
2002). Perhatikan pula peran guru sebagai bagian dari lingkungan belajar
peserta didik. Guru-guru menjadi objek observasi peserta didik sehingga
penilaian yang dilakukan guru harus benar-benar adil dan otentik (auihentic
assessment). Penilaian tidak cukup mencakup cara-cara formal, tetapi juga
mencakup cara-cara informal.

Penilaian portofolio merupakan penilaian yang berusaha menggali,


mengumpulkan, m elaporkan dan m enggunakan otentisitas dari penampilan
atau kinerja kegiatan belajar peserta didik. Penilaian demikian akan meliputi
keseimbangan ranah kegiatan belajar yang komprehensif. Jelas, portofolio
menjadi esensial untuk penilaian yang mendasarkan pada kompetensi.
Melalui portofolio, peserta didik didorong untuk menilai dan
mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri sehingga mereka benar-benar
aktif, merasa senang belajar dan kaya akan makna sekaligus bertanggung
jawab atas apa yang dipelajarinya. Penilaian poitofolio mesti menempuh
prosedur yang bervariasi dan jelas memerlukan perhatian dan kreativitas dari
guru.
Secara konkret, portofolio merupakan koleksi bahan. Koleksi ini
merupakan kumpulan bahan atau pekerjaan yang sengaja dibuat dan benar-
benar terpilih (relevan) dari serentetan pengalaman belajar/ pekerjaan peserta
didik. Portofolio artinya tas surat atau dompet. Sebagai suatu koleksi,
portofolio dapat mencakup banyak komponen, misalnya catatan pelajaran,
daftar istilah atau kata-kata penting,

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


daftar sumhc'[- belajar, resume bagian buku, daftar pertanyaan kritis,
komentar ٤٧٤١٠١cerita, puisi, karangan/jumal, cacatan harian (,diaries),
pekerjaan rumah, tugas-tugas baik individual atau kelompok, basil pretes
dan postes, hasil obervasi/wawancara, laporan percobaan, laporan praktik
kerja, hasil penelitian, gambar, peta, grafik dan penjelasannya, rekaman
kaset dan keterangannya, (oto-kopi suatu bahan dengan refleksinya, lembar
kerja, foto-kopi, dan lain-lain. Untuk kepentingan koleksi ini sering
digunakan file folder atau map penyimpanan catatan, ring binder atau ‫؛‬
c^itan arsip bercincin, atau kantong plastik persegi transparan. Jadi,
sejumlah kegiatan dan hasil belajar peserta didik itu diorganisasikan; dan
yang lebih penting lagi koleksi itu selayaknya menunjukkan pertumbuhan
peserta didik.
?ortofolio menyangkut usaha-usaha yang dilakukan peserta didik,
kemajuan dan prestasi yang ‫ آا؛ا'ئآاآلﻘﻟ؛اآاأا‬untuk ‫اا اأ؛ااﺪﺂﻟﺟ‬،‫ حال؛ا‬studi/tema/topik
tertentu dalam ‫؛‬angka waktu totcmtu. Koleksi juga menunjukkan cakupan
dan tingkat partisipasi (keaktifan belajar), adanya bahan-bahan yang henar-
benar bermanfaat ‫اا‬/‫اﺎﻤﺑ‬/‫ﺮﻛااﺀ‬، ‫ ؛ااأ‬/) dan merupakan bukti-bukti refleksi bahwa
peserta didik bertanggungjawab atas bahan-bahan kegiatan ‫ ■[طا'اأأﺰﺋا‬yang
patut dikuasai sekaligus terpupuk kesadarannyauntukmelakukan perbaikan
dan penyempurnaan atas cara-cara/kegiatan belajar yang ditempulinya. -‫حﺄﻏاا‬
‫ اا؛اا‬Johnston (Miscellaneous: 1995) menyatakan portofolio sebagai proses
koleksi, seleksi, refleksi. Dalam kerangka Implementasi KBK, portofolio m
encerm inkan pencapaian tingkat kompetensi-kompetensi yang

disyaratkan, yaitu kompetensi dasar mata ’ ’ mata pelajaran, kompetensi


lintas kurikulum dan kompetensi tam atan suatu lembaga pendidikan.

Swann dan Bickley-Green (1993), juga Waack (1991), merangkum


karakteristik portofolio sebagai berikut: (a) kesempatan ‫ اﺪﺗاة'أ‬peserta didik
‫ثﺎﻗدالﺎﺻاآ‬،‫ ص‬self-evalualion, (b) proses 1‫ ﺪﻘﻠﺟآ‬kegiatan ‫آ‬،‫اأا؛ئ‬€‫ 'اآل‬dan program
evaluasi, (e) metode untuk memonitor dan mendorong
kemajuan belajar, (d) kumpulan dolurmen otentik yang ' kemampuan ‫طا'اةا؛‬
‫'ئاا‬,(e) suatu pertanggungjawaban peserta didik atas kegiatan belajarnya, (f)
catatan tentang proses kreatif peserta didik,
historis ^ n ^ ta h u a n n y a , pemikiran kritisnya, ' estetikanya dan hasil-
hasil (seni) peke^aannya, (g) ‫ ﺊﻟا؛اا‬belajar-mengajar yang memfasilitasi
dialog antara peserta didik dengan guru, (h) bukti perkembangan nyata yang
menunjukkan hubungan antara proses

Evaluasi Pendidikan Karakter


kreatif peserta didik, hasil pekerjaannya dan refleksi dalam periode waktu
tertentu, (i) suatu perkembangan yang mencakup cultuml literacy dan gender
imderstcmding (bagaimana mensikapi perubahan atau perbedaan), dan (j)
kontainer yang menampung fakta/pekerjaan (karya seni) dan refleksi tertulis
atas suatu makna yang dibangun antara guru dan peserta didik.

Suatu Prosedur dan Teknik Penilaian Portofolio. Biasanya guru


mensyaratkan silabi atau rumusan tujuan pembelajaran (dan tentu pula untuk
tujuan portofolio) dikopi dan disimpan pada tempat penyimpanan portofolio
milik setiap peserta didik. Hal ini untuk mengikat relevansi dokum en yang
disim pan dalam portofolio berkaitan erat dengan silabi dan tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai. Jadi, dokumen yang dikum pulkan itu
sifatnya menjadi terpilih/terseleksi.

Untuk mem ulai portofolio, guru berusaha mengidentifikasi


karakteristik pengalaman belajar (leaming experiencies) yang dapat dialami
peserta didik. Karakteristik pengalaman belajar ini sebenarnya berkaitan
dengan sejumlah kompetensi yang patut dikuasai mereka, baik untuk suatu
standar kompetensi, kompetensi dasar, untuk suatu unit/tem a/topik m ata
(rum pun m ata) pelajaran, bahkan lintas kurikulum ataupun untuk tamatan
lembaga pendidikan yang bersangkutan. Contoh berikut dihubungkan
dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas 10 SMU
semester genap dengan Standar Kompetensi mewujudkan persatuan bangsa
dan negara. Secara tentatif, penilaian portofolio dikembangkan berbasis
kompetensi dapat dipelajari dari skema silabi penilaian berikut.

Tabel 4.5 Skema Silabi dalam Konteks Penilaian Portofolio


| Kompetensi Materi Pokok Pengalaman Indikator ‫؛‬ Tagihan i Sumber
(dan uraiannya) Belajar Pencapaian ; Portofolio
Kemampuan Pengertian Menganalisis Menjelaskan | 1. Kumpulkan Buku

untuk me bangsa dan bangsa dan pengertian 4 (empat) koran


mahami negara: negara. pengertian
hakekat 1. Pengertian Kecakapan negara. tentang
bangsa dan bangsa hidup: Mengiden bangsa
negara 2. Pengertian Menggali tifikasi dan coba
negara informasi unsur-unsur I identifikasi apa
Mengiden terbentuknya
tifikasi negara. menurut
variabel pengertian-
pengertian itu.

Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter


. Unsur-unsur
T,
Kumpulkan
menu-rut 4 (empat)
S : : ro„,، pengertian
tentang
Hans Kohn negara
Ernest Renan
. Unsur-unsur identifikasi apa
terbentuknya arti negara
negara: menurut
Rakyat pengertian-
Wilayah pengertian itu.
Pemerintahan Tuliskan istilah-
yang istilah penting
berdaulat berkaitan
Pemerintahan dengan
yang pelajaran
berdaulat Pendidikan Ke-
Pengakuan warganegaraan
dari negara
lain. mester ini.
Coba kau
gambar peta
Indonesia
sebagai
sebuah
negara.
Cari sebuah
artikel dari
koran tentang
bangsa
& negara
Indonesia.

Sebenarnya tidak sulit mengembangkan portofolio untuk penilaian


kurikulum berbasis kompetensi ini. Untuk terbentuknya kompetensi dasar
pada diri siswa diperlukan materi pokok dan uraiannya, sejumlah
pengalaman belajar dan indikator pencapaian. Semua ini biasanya
dituangkan dalam pengembangan silabi KBK. Satu langkah lagi untuk
mengembangkan penilaian, khususnya dalam bentuk portofolio, guru m
enam bahkan kolom silabi itu dengan tagihan portofolio.

Lima tagihan portofolio yang dicoba dikem bangkan guru untuk m


ewujudkan kom petensi dan pengalam an belajar yang sudah dirumuskan
sebelumnya di atas. Sangat mungkin guru bisa mengemas tagihan portofolio
itu untuk jangka waktu belajar 4 x 45 menit, atau untuk sepanjang semester
genap. Dengan demikian, guru harus mempertimbangkan semua pengalaman
belajar siswa dengan semua materi yang terkait dengan tema pengertian
bangsa dan negara, yaitu asal mula terjadinya negara; fungsi dan tujuan
negara; bentuk-bentuk negara; negara kesatuan dan serikat (federasi); dan
kelebihan dan kekurangan negara kesatuan sistem sentralisasi dan
desentralisasi; persamaan dan perbedaan negara serikat dan negara kesatuan
sistem desentralisasi. Tagihan port()l()‫؛؛‬o itu bisa jadi lebih banyak lagi.

M enim ba pelajaran dari Swann dan Bickley-Green (1993) prosedur


tentatif pelaksanaan portofolio dalam rangka KBK, meliputi instruksi-
instruksi berikut.
a. R um uskan tujuan um um portofolio yang didasarkan atas kompetensi
yang disyaratkan.
b. Rumuskan tujuan portofolio bagi setiap peserta didik secara individual
u n tu k m elihat pencapaian dan perkem bangan kompetensi yang
mereka kuasai dalam suatu periode tertentu (satu semester).

c. Tentukan kegiatan-kegiatan portofolio (portfolio projects) atau unit-unit


kegiatan pelajaran secara bervariasi untuk menjelaskan segi-segi
kompetensi yang harus dikuasai.
d. Secara teknis sejumlah pertanyaan patut dijawab guru untuk memahami
bahan (koleksi) yang tercakup cla)a‫؛‬n penggunaan portofolio, yaitu.

• Bahan (koleksi) manakah yang menunjukkan bahwa peserta


1'[‫< ﺀإ؛ل‬itu memperoleh informasi yang relevan ‫ س ﺎﺳ‬dengan p e n
g u a s a kompetensi dalam topik yang dipelajarinya?
٠ B ahan (koleksi) m anakah yang m enunjukkan bahw a peserta
didik itu mengembangkan proses berpikir seperti mengobservasi,
mengklasifikasi, membandingkan, menguraikan, menilai,
menyimpulkan, dan seterusnya yang berkaitan dengan penguasaan
kompetesi yang dipelajarinya?
• Bahan (koleksi) manakali yang sepatutnya tereakup dalam
portofolio yang m enunjukkan bahw a peserta didik itu
menggunakan sumber-sumber belajar yang bervariasi?
• Baca kembali mmusan kompetensi yang disyaratkan melalui
pembelajaran dalam tema atau topik yang ditetapkan; dan tentnkan
bahan (koleksi) apakah atau manakah yang akan dihasilkan dari
^iM tas-aktivitas belajar itu sebagai bahan-bahan yang akan
ditempatkan dalam portofolio?

Memaknai Pendidikan Karal<ter


e. K em bangkan prosedur self evaluation secara ru tin untuk peserta didik
dalam bentuk pengungkapan pertanyaan yang berarti, sekaligus hal itu
dimaksudkan untuk menyelidiki saat-saat pei'kembangan kompetensi
individual peserta didik dan munculnya proses-proses kreatif.

f. Cakupkan pengetahuan-pengetahuan yang lebih luas menyangkut kultur


dan konteks kompetensi sosial dalam perkembangan portofolio mereka.

g. Lakukan prosedur penulisan jurnal atau responsi secara rutin untuk


melatih berpikir reflektif dan respon-respon afektif.
h. Lakukan dialog untuk setiap peserta didik secara individual dan berilah
komentar positif secara tertulis bahwa pekerjaan mereka itu baik,
terutam a untuk memberi penguatan atas penulisan jumal/refleksi.

i. Baca kembali setiap komentar guru yang telah ditulis itu dan bagaimana
komentar peserta didik. Apakah komentar mereka adalah sesuatu yang
di inginkan guru?
j. Pada saat suatu kemajuan lebih lanjut dibutuhkan peserta didik, tulislah
cara-cara yang layak untuk melengkapi/menyempurnakan pencapaian
kompetensi melalui tugas-tugas mereka.
k. Tentukan kriteria evaluasi atau terms for assessnient sebagaimana
komptensi yang disyaratkan, tujuan program yang ditetapkan dan isi
pembelajaran yang telah dipelajari dan taraf perkembangan
peserta didik. Kriteria yang ditetapkan bisa jadi sangat bervariasi.
1. Akhiri penilaian dalam bentuk laporan nilai akhir dan atau dalam bentuk
pernyataan-pernyataan kualitatif yang didasarkan atas evaluasi dari
peserta didik dan hasil dialog atau pemikiran di antara guru dan peserta
didik.
m. Penilaian atas aktivitas dan prestasi hasil belajar dalam bentuk angka atau
huruf, hanyalah salah satu bagian (mungkin juga tidak penting) dari
tuntutan proses penilaian yang otentik (berbasis kompetensi).

n. Bisa saja guru yang bertanggung jawab dan memiliki cukup waktu
melakukan sidang portofolio. Untuk keperluan itu, terdapat sejumlah
pertanyaan yang perlu dipertimbangkan:
٠ Apa yang dapat pembaca harapkan dari portofolio peserta didik
itu? Pertanyaan ini dapat dipelajari melalui daftar isi, ringkasan
naratif, suatu definisi yang am at berarti, atau mungkin suatu cerita.

ivaluasi Pendidikan Karakter


o. Mengapa peserta didik memilih pilihan itu, padahal tentu ada pilihan-
pilihan lain yang dapat dibuat mereka? Peserta didik diminta untuk
menggambarkan alasan atas suatu pilihan tema atau topik yang
diungkapkan dalam kaitannya dengan kompetensi yang disyaratkan
dalam portofolionya.
• Pertanyaan-pertanyaan untuk yang ketiga m engundang
pembuktian tentang adanya pengertian baru dan adanya pengalam
an belajar peserta didik berupa penguasaan/
pencapaian sejumlah kompetensi:
٠ Bagaimana peserta didik dapat mengevaluasi penguasaan
kompetensi melalui kegiatan dan basil belajarnya? Bukti-bukti
apakah yang secara khusus m enunjukan bahw a
kompetensi yang disavaratkan telah muncul selama periode
pembelajaran?
• Bagaimana peserta didik dapat mengevaluasi keterampilan
hidup (atau keterampilan kerja) dari hasil belajarnya? Apa sajakah
yang peserta didik dapat lakukan setelah menempuh kegiatan
belajar dan apa sajakah yang peserta didik tidak dapat lakukan
sebelum menempuh kegiatan belajar itu?
٠ Bagaimana peserta didik dapat mengevaluasi diri dalam konteks
kehidupan sosial? Apa sajakah yang dapat mereka lakukan dalam
konteks kehidupan sosial itu?
p. Akhirnya terhadap semua pembuktian di atas tingkatan manakah yang
paling mewakili usaha-usaha, kemajuan dan hasil-hasil belajar peserta
didik untuk kegiatan pembelajaran dalam periode tersebut? A atau B?

Sampai di sini, hambatan untuk melaksanakan portofolio untuk


penilaian berbasis kompetensi tentu banyak. Tetapi coba renungkan: adakah
keuntungan-keuntungan penilaian portofolio baik itu bagi peserta didik,
guru-guru, anggota masyarakat ataupun bagi suatu pengembangan program
pembelajaran? Jawabannya, ya!
Yang jelas melalui portofolio, peradaban m asyarakat akan berubah dan
peradaban negara-negara maju telah mereka capai. Dengan kebiasaan
mengedepankan cara-cara yang terpelajar, kerja keras, dan menjunjung nilai-
nilai kejujuran melalui portofolio, di masa yang akan datang, Indonesia akan
keluar dari krisis yang dihadapinya. Akankah kita mengabaikan penilaian
portofolio? Semoga tidak demikian!

I 54 ! Memaknai Pendidikan Karakter


P a ftir Pustaka

Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman. (2005). Karakteristik Lelaki Shalih.


Pamulang: Ar Rahman Media.
Agustian, Arv Ginanjar. (2009). Bangkit dengan 7 Budi Utama.
Jakarta: PT. Arga Publishing.
Alicia Komputer. (2008). Teori Pembentukan Karakter. Online: http://
koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.
html. 06 Mei 2010.
Arte, Judith. A. 1992. Portfolios in Practice: What Is A Pori folio? Paper
presented at the annual m eeting of the American Educational Research
Assosiation. San Francisco.
Atherton, J, S. (2010) Learning and Teaching; Bloom’s taxonomy [On-line]
UK: Available: http://wvvw.leamingandteaching.info/
learning/bloomtax.htm Accessed: 1 August 2010.
Balitbang, Depdiknas. 2003. Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta Pusat:
Pusat Kurikulum.
Bavvazir, Djauharah. (2007). Pembentukan Manusia Seutuhnya; Mo^el
Sistem Pendidikan Bunyan. Jakarta: PT. Bunyan Andalan Sejati.

D a fta r Pustaka
Bloom Taxonomy, http://www.odu.edu/educ/roverbau/Bloom/blooms_
taxonomy.htm
Cox, Keni Brayton. 1993. Portfolios in Action: A Study o f Two Classrooms
with Implications for Reform. Paper presented at the annual meeting of
the American Educational Research Assosiation. Atlanta, Georgia.

Dharma Kesuma, dkk. (2009). Suplement Kurikulum Pendidikan Karakter


Sekolah Avicenna. Bandung: CV. Alfa Orient.
Dryden, Gordon & Vos, Jeannette. (1999). The Learning Revolution: To
Change the Way World Learns. Selandia Baru: The Learning Web.

Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach about Values. USA:


Englewood Cliffs.
Gaffar, Mohammad Fakry. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Islam.
(Disampaikan pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama,
08-10 April 2010 di Yoyakarta).
Hafizhahullah, Firanda. (2010). Ikhlas dan Bahaya Riya. (tersedian online:
http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-ikhlas-dan-
bahaya-riya-.html). 22 Juli 2010.
Hess, Beth B.; Markson, Elizabeth W.; Stem, Peter J. (1988 3rd ed.).
Sociology. New York: MacMillan Publishing Company.
Hergenhahn, B.R & Olson, Matthew H. (2008). Theories o f Learning
(Teori Belajar) (Edisi Ketujuh). Pearson Education. Alihbahasa oleh:
Tri Wibowo.(2009). Jakarta: Kencana.
Hers, Richard H., Miller, John P., & Fielding, Glen D. Models of Moral
Education; An Appraisal. New York: Longman Inc.
Hurlock, Elizabeth B. (1974). Personality Development'. New' York:
McGraw-Hill Book Company.
Kartadinata, Sunaryo. (2010). Resureksi Ilmu. Pendidikan (Pedagogik) bagi
Pemulihan Penyelenggaraan Pendidikan. B ahan Kajian Seminar
Internasional tentang: Pedagogik Praktis dalam Perspektif Pendidikan
Global. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Kesuma, Dharma; Darmawan, Cecep; Permana, Johar. (2009). Kompsi dan
Pendidikan Antikorupsi. Bandung: Pustaka Aulia Press.

Memaknai Pendidikan Karakt


Krathwohl, D.R., Bloom, U.S., and Masia, B.B. (1964). Taxonomy o f
Educational objectives: Handbook //.■ Affective Domain. New York:
David McKay Co.
Kwok, Percy. (2001). Local Knowledge and Value Transformation in East
Asian Mass Tutorial Schools. International Education Journal Vol 2, No
5, 2001. p. 46-9?.
Lickona, Thomas (1991). Educating for Character, How Our Schools can
Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Lickona, Thomas. (1993). The ‫’؛رااأر‬،‫ ﺀب‬o f Character Education.
Educational Leadership, v51 n3 p6 -ll Nov 1993.
Lickona, Torn & Davidson, Matt. (2005). Smart & Good High Schools.
Tersedia online: wvvvv.cortland.cdu/charactci■. 23 2010 ‫ ؛ ال ]ا‬.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk
Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Miller, M. (2005). Teaching and Learning /‫ اأ‬Affective Domain. In M. Orey
(Ed.), Emerging perspectives on learning, teaching, and technology.
Retrieved cinsert date>, from http://projects. coe.uga.edu/epltt/

Moeliono, Anton M. (penyunting penyelia). 1996. Kamus Besar Ba/:asa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Encarta Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2009.)
Moya, Sharon s.;O’Malley, j. Michael. 1994. A Portfolio Assessment Model
for ESL. The Journal o f Educational Issues of Languasge Minority
Students, 13, 13-36.
Permana, Johar. 1997. Portfolio Assessment dalam Pembelajaran.
Jurnal Pendidikan. No. 12/Tahun 1997. Bandung: IKA, IKfP.
Puskur. (2007). Panduan Pengembangan Indikator. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Roberts, Patricia L.; Kellough, R ichard D. 1996. A Guide for Developing an
Interdisciplinary Thematic Unit. New Jersey: Pr'C‘irtic،‫؛‬-Hall, Inc.

Rosyidin, Dedeng. (2009). Konsep Pendidikan Formal Islam. Bandung:


Pustaka Nadwah.
Samani, Muchlas. (2010). Rencana Induk Pengembangan Pendidikan
KarakterBangsa. Kementerian Pendidikan Nasional RI. (Disampaikan
pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 08-10 April 2010
di Yov'akarta).
Somantri, Endang. (2010). Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan Nilai:
Tinjauan Filosofis, Agama, dan Budaya. (Disampaikan pada Workshop
Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 08-10 April 2010 di Yoyakarta).

Suherdi, Did2008) .‫)؛‬. Mikroskop Pedagogik; Alat Analisis Proses Belajar


Mengajar, (cetakan ke-1). Bandung: DPI Press.
Swann, /‫ ' أاأاآا 'ااا‬C.; Bickley-Green, Cynthia. 1993. Basic Uses of Poi-tfblio
in Art Education Assessment. NAEA Advisory'. Reston.
Triatna, Cepi. (2008). Guru sebagai Mentor. Bandung: CV. Citra Praya.

Memaknai Pendidikan Karakter


Biodata Penulis
CV. Maulana, 2002, Kewirausahaar، Dalam Pendidikan. Bahan
Dharma Kesuma Diklat Teknis Manajemen Kepala SD. Pemda

Adalah dosen di Jurusan Pedagogik FIP UPI.


Lahir pada 27 Sepetember 1955 di Cimahi.
Menyelesaikan studi SI di IKIP Bandung tahun
1984 pada Jurusan Filsafat dan Sosiologi
Pendidikan. Kemudian melanjutkan ke jenjang
S2 di Universitas Negeri Jakarta pada Program
Studi Manajemen Pendidikan dan selesai pada
tahun 2008. Saat ini sedang menyelesaikan
Kota Bandung beke ‫؟؛‬program S3 pada Program
Studi Pendidikan Uinum SPS UPI. Buku yang pernah ditulis adalah
Korupsi dan Pendidikan Antikorupsi (2008), Contextual Teaching and
Learning (2009). Selain menjadi dosen di Jur. Pedagogik, juga menjadi
pengajar pada program Akta Mengajar Kepolisian Republik Indonesia,
Kerjasama FIP UPI Bandung dengan Kepolisian Republik Indonesia. Saat
ini diamanahi sebagai ketua Pusat Pengkajian Pedagogik FIP UPI.

asama dengan Program Pasca Sarjana UPI, 2002. Manajemen Kelas


Yang Konstruktivistik dan Bimbingan Belajar
Johar Permana

Bagi Siswa SD. Adalah dosen Jurusan A dm inistrasi


Pendidikan FIP UPI. Lahir di Ciamis, 14 Agustus
Bahan Diklat Teknis
1959. Menyelesaikan SD Tahun 1971 di SD
Pengawas
Negeri Kertahavu I Pamarican Ciamis; SMP
Pendidikan. PemdaNegeri Pamarican Ciamis, Tahun 1974; Sekolah
Kota BandungPendidikan Guru (SPG) Negeri Ciamis, Tahun
*•'٠ 1977; Sarjana Pendidikan, Jurusan Administrasi
bekerjasama "* ’ Pendidikan IKIP Bandung, Tahun 1984; Master of
dengan ProgramAits (M.A.) in Educational
Theory and Practice (Early and Middle Childhood Education), The Ohio
State University USA, Graduated in 1995; Doktor Bidang Ilmu
Komunikasi Organisasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Bandung Tahun 2009. Buku yang pernah ditulis: Korupsi dan Pendidikan
Antikorupsi. 2008. Bersama Kesuma, D; Darmawan C. Bandung: Pustaka
Aulia Press. Strategi Belajar Mengajar. PGSD Development Project
melalui Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Bandung:
Pasca Sarjana UPI, 2002. Selain mengjadi dosen untuk mahasis^'a di
UPI juga aktif sebagai dosen pada progam Biodata Penulis
Akta Mengajar Departemen Kesehatan RI; Program Akta Mengajar
Kepolisian Republik Indonesia, Diklat di tingkat kab./kota, provinsi,
nasional dan internasional. Saat ini diamanahi sebagai Pembantu
Dekan II TIP UPI.

Ccpi T rfitri3
Lahir di Bandung pada 23 Juli 1979.
Menyelesaikan SD pada tahun 1991 di SD
Negeri C i^ w ^ a ^ B a le e n d a h Kab.
Bandung; MTs Pesantren Persatuan Islam
No. 1 Bandung tahun 1994, Muallimien
(setingkat SMA) Pesantren Persatuan Islam
No. 1 Bandung Tahun 1997; SI pada
Juiusan Administrasi Pendidikan TIP UPI
tahun 2001; S2 Prodi Administrasi
Pendidikan SPS
U’PI Tahun 2005. Dan saat ini sedang menyelesaikan Program
Doktoral (S31 Prodi Administrasi Pendidikan SPS UPI. Buku yang
pc'rnah ditulis: Visionary leadership Menuju Sekolah Elektll, Bumi
Aksara, 2005; Inovasi kepemimpinan kepala sekolah dan
Pemberdayaan Masyarakat pada Sekolah di daerah tertinggal. Tahun
2008. Subdit Dikmen P M ^ K Depdiknas; Kiat-kiat Kepemimpinan
pada Sekolah Daerah Maju. Tahun 2008. Subdit Dikmen PMPTK
Depdiknas; Tim Penulis Buku “Manajemen Pendidikan”, Tahun
2008. Alfabeta; Bagaimana menjadi menjadi guru penulis?. Tahun
2008. Citra P‫؛‬ava Bandung; 0 ‫ الأال‬Sebagai Mentor. Tahun 2009. Citra
Praya Bandung; 9 Kebiasaan Pelajar Elektll. Tahun 2008. Citra Praya
Bandung; EQ Power: Panduan Meningkatkan Kecerdasan Emosional.
Tahun 2008. Citra Praya Bandung. Selain menjadi dosen, juga aktif
dalam berbagai pelatihan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat, dan Kememterian Pendidikan Nasional. Saat ini
diamanahi sebagai sekretaris Pusat Pengkajian Pedagogik TIP UPI.
PendidikanMemaknaKara!> ‫آﺀ؛‬
PERPUSTAKAAN
PPs STAIN Kerinci
Kembalikan Buku Tepat pada Waktunya

NO N a m a /N IM ٢٠ /. Pinjam Tgl. Kembali


(0 -//- 2/")/C / 2e/j- - ( / - 7 ‫؛‬

‫؟‬- ١L - 1210-- ‫؟‬١


r2&C'
(8-fa

-4-1; - ZiG 2 ) - ‫؛‬j^ 4‫؛‬t


A

---------------

-
Pendidikan
Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah

Buku ini mengkaji bagaimana desain, proses, dan evaluasi pendidikan


karakter dalam latar sekolah. Buku ini merupakan salah satu program
kami (P3) yang secara keseluruhan terlihat pada desain pedagogik bangsa.
Pedagogik bangsa adalah suatu grand design aplikasi pedagogik dalam
konteks pembangunan bangsa Indonesia saat ini pada berbagai wilayah
pendidikan. Sasaran pembangunan melalui pendidikan ini adalah
pendidikan di persekolahan, pendidikan di keluarga, dan pendidikan di
tempat kerja.

Pendidikan di persekolahan meliputi pedagogik di TK, SD, SMP,


SMA, SMK, dan perguruan tinggi. Pedagogik di keluarga meliputi
pedagogik pada keluarga di masyarakat perkotaan, masyarakat
pinggiran kota, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat.
Pedagogik di tempat kerja meliputi pedagogik pada organisasi
pemerintah, pedagogik pada organisasi bisnis, dan pedagogik
pada organisasi sosial nonpemerintahan.

ISBN 978-979-692-044-0

9789796920440
ROSDA

Anda mungkin juga menyukai