Anda di halaman 1dari 19

Hal yang mungkin akan muncul dipikiran anda saat anda mendengar atau membaca kata

kuantitatif dan kualitatif adalah bahwa kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang
berupa angka-angka atau segala yang dapat dihitung, sedangkan kualitatif merupakan
pendekatan penelitian yang berupa pemaparan atau penalaran. Tidak ada yang salah dari
pemikiran itu, tapi, pernahkah anda berkeinginan untuk mengetahui lebih luas tentang dua
pendekatan ini? Bagi anda yang sedang mengerjakan tugas penelitian dan bingung tentang
pendekatan apa yang harus anda pakai dalam penelitian tersebut, mungkin informasi saya ini
bisa sedikit membantu anda.
PENDEKATAN KUANTITATIF
Pendekatan kuantitatif merupakan hasil perpaduan mazhab Marburg dengan aliran filsafat
positivisme dimana aliran filsafat ini lebih banyak menekuni ilmu-ilmu tua (old paradigm),
ilmu-ilmu kealaman. Pemahaman yang muncul di kalangan pengembang pendekatan
kuantitatif adalah peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan terhadap dunia
sekitar dengan melakukan eksperimen.
Pendekatan kuantitatif bersifat deduktif (dari umum ke khusus), karena berawal dari sebuah
teori. Pendekatan ini bertujuan untuk menguji hipotesis dan menegakkan fakta-fakta atau
kebenaran-kebenaran dari suatu teori. Teori-teori yang diajukan dijadikan sebagai standar
untuk menyatakan sesuai atau tidaknya sebuah gejala yang terjadi. Adanya hipotesis yang
diajukan merupakan sebagai penguatan atas asumsi bahwa penelitian kuantitatif bermaksud
untuk melihat keterkaitan antara suatu variabel dengan variabel lainnya. Orientasi akhirnya
adalah untuk membuat sebuah simpulan yang dapat digeneralisasikan secara lebih luas.
Desain penelitiannya telah sejak awal dirancang secara lebih spesifik, memiliki kejelasan
arah, dan telah terinci secara jelas sejak awal peneliti hendak melakukan penelitian.Kejelasan
tersebut mencakup desain, subjek, variabel, data, dan teknik analisis yang akan digunakan.
Sehingga pendekatan kuantitatif lebih bersifat stabil atau tetap dan tidak memungkinkan
untuk terjadinya proses perancangan ulang prosedur penelitian.
Dalam proses pengumpulan data, pendekatan ini menggunakan angket, tes, wawancara,
observasi, dan check list dari sebagian populasi yang dianggap cukup representatif.
Kemudian, hasil pengumpulan data akan diolah secara statistik sehingga menghasilkan data
berupa angka-angka. Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penelitian ilmu eksak,
karena simpulan bersifat objektif, sesuai dengan keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi
pendapat atau pandangan pribadi dari peneliti.
Kebenaran pendekatan kuantitatif bersifat etik karena untuk menyatakan benar atau tidaknya
suatu gejala, peneliti harus mengacu pada teori yang digunakan. Segala ukuran kebenaran
haruslah sesuai dengan teori yang dipakainya. Contoh penelitian dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif adalah pengaruh kehidupan ekonomi keluarga dengan motivasi
belajar.
PENDEKATAN KUALITATIF
Pendekatan kualitatif merupakan model yang dikembangkan oleh mazhab Baden yang
bersinergi dengan aliran filsafat fenomenologi yang menekuni ilmu-ilmu sosial (social
science), dimana pelaksanaan penelitian ini menghendaki berdasarkan pada situasi wajar
(natural setting) sehingga kerap orang juga menyebutnya sebagai metode naturalistik.
Pendekatan kualitatif bersifat induktif (khusus ke umum), karena berawal dari data yang ada
bukan dari sebuah teori dan tidak bermaksud untuk menguji teori. Pendekatan ini akan
melakukan penggambaran secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti
sebagaimana adanya. Bukan berarti penelitian tidak memiliki asumsi awal yang menjadi
permasalahan dalam penelitian, namun pendekatan ini memang tidak berasal dari keinginan
untuk memecahkan masalah yang terlebih dahulu dihipotesiskan sehingga tidak ada upaya
untuk menguji hipotesis. Pendekatan kualitatif bersifat fleksibel atau dinamis dan
berkembang karena proses penggalian makna berjalan melalui proses yang
berkesinambungan secara kumulatif (bertambah) dan bermuara pada pencapaian makna pada
objek kajian sehingga memungkinkan terjadinya proses perancangan ulang prosedur
penelitian.
Pendekatan kualitatif datanya berupa kata-kata, kalimat, gambar, perilaku, replika, manuskip
dan banyak hal lain yang tidak didominasi oleh angka. Pengumpulan data biasanya melalui
wawancara dan observasi langsung. Simpulan analisisnya lebih bersifat subjektif, karena
peneliti terlibat langsung dalam penelitian sehingga ia memasukkan pendapat atau pandangan
pribadinya ke dalam simpulan namun bukan berarti penelitiannya tidak ilmiah karena peneliti
tetap akan mencocokkannya dengan teori yang sesuai. Pendekatan ini lebih banyak
digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.
Kebenaran pendekatan kualitatif bersifat emik karena terletak lebih kepada sisi informan,
sehingga tujuan utama pendekatan ini adalah pemahaman yang mendalam (verstehen)
terhadap fenomena kehidupan masyarakat yang diteliti. Contoh penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif adalah tradisi suatu suku di pedalaman Indonesia.
Menurut Koentjaraningrat (1990), ilmu antropologiyang mengandung pengetahuan yang
lebih banyak berdasarkan pengertian daripada pengetahuan menggunakan pendekatan
kualitatif dalam penelitiannya, karena dalam ilmu antropologi mencoba memperkuat
pengertiannya dengan menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat yang
hidup, tetapi dengan cara mengkhusus dan mendalam. Berbeda dengan pendekatan
kuantitatif, pendekatan ini mencoba menguji kebenaran dari pengertian dan kaidah-kaidah itu
dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta mengenai kejadian dan gejala sosial-budaya
yang menunjukkan asas-asas kesamaan sehingga pendekatan ini sering dipergunakan cara-
cara mengolah fakta sosial dalam jumlah besar. Namun, pendekatan kuantitatif sekarang ini
mulai juga menjadi suatu metode analisa yang sangat penting dalam ilmu antropologi.
Sumber referensi:

Idrus, Muhammad (2009). Metode penelitian ilmu sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Koentjaraningrat (1990). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


CIRI PENELITIAN KUANTITATIF
Apa sebenarnya penelitian kuantitatif? Mengapa kita menyebutnya “penelitian kuantitatif”? Ternyata, dalam
konteks ilmu sosial, ini sangat sulit menjawabnya. Dalam konteks ilmu alam (eksakta) kata kuantitatif jelas
sekali berhubungan dengan angka (kuantita), baik hasil pengukurannya, analisis datanya, maupun
penafsiran dan penarikan kesimpulannya, semuanya dalam bentuk angka.
Tetapi dalam ilmu sosial, banyak sekali hasil pengukuran terhadap variabel penelitian sangat bersifat
kualitatif dan arbitrer (meskipun bentuk luarnya adalah angka). Misalnya, kita mengukur “disiplin pegawai”,
atau “motivasi pegawai”, atau “tingkat loyalitas pegawai” dengan menggunakan skala likert (skala 1 sampai
5, misalnya). Maka hasilnya adalah beberapa angka yang menunjukkan kualitas variabel yang diukur itu.
Dengan pengukuran yang sangat lemah seperti ini, kita (terpaksa) rnenyebut pengukuran ini (bagian) dari
penelitian kuantitatif. Tentu saja kita bisa mendapat:kan data yang lebih “kuantitatif” tentang disiplin atau
motivasi. Misalnya, kita menghitung berapa hari seseorang masuk kantor tepat pukul 8:00 pagi, dan berapa
hari orang itu terlambat masuk kantor. Lalu kita mengambil kesimpulan kuantitatif bahwa 62% pegawai,
misalnya, memiliki disiplin bagus dan sisanya 28% tidak memiliki disiplin. Biasanya, proses kuantifikasi
dalam masalah seperti ini harus berhenti begitu saja.
Begitu pun, masih jauh lebih banyak variabel ilmu sosial yang tidak mungkin diukur secara kuantitatif seperti
ini. Walhasil, kita sering “memaksakan diri” untuk mengkuantitatifikasi pengukuran suatu variabel dengan
cara yang sangat lemah. Bahkan jika Anda teliti, angka 62% atau 28% itu tidak sepenuhnya menggambarkan
variabelnya, tetapi hanya indikatornya saja. Kalau begitu, penelitian kuantitatif (dalam ilmu sosial) harus
ditafsirkan lain.
Ternyata, apa yang dimaksud dengan “kuantitatif” di sini sebenarnya lebih mengacu kepada “keakuratan”
deskripsi setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Inilah yang
disebut oleh Krathwohl (1982) sebagai internal validity atau Linking Power. Maka jika seorang peneliti,
misalnya, mampu menunjukkan hubungan antara disiplin pegawai dan kinerja pegawai dengan amat
meyakinkan dan tanpa menggunakan satu angka pun, maka ia telah menerapkan penelitian kuantitatif.

Tetapi itu baru separuh jalan. Selanjutnya, bila peneliti tersebut mampu menunjukkan bahwa hubungan
disiplin-kinerja itu juga berlaku di tempat lain, maka ia telah mencapai apa yang disebut External Validity
atau Generalizing Power.
Dua karakter inilah yang akan menjadi karakter terpenting yang membedakan antara penelitian kualitatif
dan penelitian kuantitatif. Jadi, ini bukan sekedar soal angka atau non angka.
Kesimpulannya, penelitian kuantitatif sebenarnya tidak hanya berurusan dengan “kuantita”. Paling tidak
dalam ilmu sosial, kata “kuantitatif” ditafsirkan secara bebas sebagai “keakuratan” deskripsi suatu variabel
dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya, serta memiliki daerah aplikasi
(generalisasi) yang luas.
Tetapi, bagaimana dengan penelitian deskriptif (yang juga kuantitatif), yang hanya melibatkan satu variabel
(univariat), atau banyak variabel tetapi tidak saling berhubungan satu-sama lain (misalnya hubungan
korelasional, atau kausal)? Jawabannya, ini juga sah disebut sebagai penelitian kuantitatif. Tetapi penelitian
deskriptif seperti ini tetap terbatas pada kemampuannya untuk menjelaskan realitas seperti apa adanya saja.
Paling jauh penelitian deskriptif hanya menjelaskan hubungan korelasional, bukan hubungan kausal. Jika
begitu, maka yang dimaksud “internal validity” di dalam penelitian deskriptif-kuantitatif (non-kausal) tidak
mengacu pada hubungan satu variabel dan lain variabel. ”internal validity” dalam hal ini hanya menunjuk
pada validitas “instrumen” untuk mengumpulkan data. Jika instrumen telah valid (dan reliabel), maka data
diharapkan juga valid dan reliabel. Jika proses analisis dan penyimpulan juga valid maka penelitian deskriptif
ini telah dianggap valid.
Ciri-ciri Utama Penelitian Kuantitatif
Beberapa ciri penelitian kuantitatif berikut ini mudah-mudahan memperjelas pemahaman kita tentang
penelitian kuantitatif. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Permasalahan penelitian terbatas dan sempit
Sejak awal peneliti kuantitatif telah berusaha membatasi lingkup penelitiannya, dengan mengidentifikasikan
satu atau beberapa variabel saja. Peneliti berusaha keras untuk memilih variabel yang menurutnya paling
penting untuk diteliti. Obsesinya adalah menemukan sesedikit mungkin variabel, tetapi yang mungkin
menjelaskan realitas kebenaran sebanyak mungkin.
Di kalangan ilmuwan eksakta, dipercayai bahwa alam semesta ini diatur oleh hukum-hukum yang sederhana.
Jika mereka menemukan suatu penjelasan yang melibatkan banyak variabel, mereka menjadi gelisah, dan
merasa ada yang salah. Misalnya, mereka percaya ada satu hukum “sederhana” yang menyatukan empat
kekuatan besar di alam semesta (interaksi lemah, elektromagnetik, gravitasi, dan interaksi kuat) dalam satu
hukum (mereka menyebutnya “The Grand Unified Theory”).
Jika menggunakan rumus regresi, dikenal satu pemeo “less is more”. Maksudnya, semakin sedikit prediktor
(variabel X) semakin baik dan semakin besar kekuatan memprediksi variabel Y. Pendeknya, menemukan
gambaran luas dan umum tentang sesuatu bukanlah cita-cita peneliti kuantitatif. Tetapi ia memilih satu aspek
realitas yang sangat spesifik dan “kecil” untuk diteliti.
2. Mengikuti pola berpikir deduktif
Secara umum, pola berpikir deduktif berjalan seperti ini: Pengamatan  Hipotesis  Pengumpulan Data
Pengujian Hipotesis  Kesimpulan
Albert Einstein percaya betul pada superioritas metode deduktif ini dan mengatakan (dalam Suriasumantri,
1981) Tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam. Kegagalan
dalam menyadari hal ini merupakan kesalahan dasar filosofis dari banyak sekali peneliti dalam abad 19.
Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori
datang secara induktif dari pengalaman. Sekedar untuk diingat, jumlah bab di dalam skripsi/tesis/disertasi
pada umumnya adalah lima. Jumlah bab ini bukan sekedar urusan administrasi, tetapi merupakan cerminan
struktur logis pengembangan sains.
3. Mempercayai angka (statistika atau matematika) sebagai instrumen untuk menjelaskan kebenaran.
Ketika suatu saat seseorang mengomentari Albert Einstein tentang teorinya yang rumit (dalam bentuk
hitungan-hitungan matematika) bahwa “itu hanya teori, tidak ada gunanya bila tidak cocok dengan realitas
di lapangan”. Einstein menjawab “Anda benar, hanya observasi yang mampu membimbing kita menuju ke
kebenaran. Saya tidak percaya pada matematika”.
Tentu saja kita tak pernah tahu apakah dialog ini benar-benar terjadi. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa semua
peneliti kuantitatif (termasuk Einstein) selalu menggunakan bahasa angka untuk mengungkapkan pikiran-
pikiran mereka. David Hume pernah mengatakan, pemikiran abstrak tanpa kuantitas dan angka adalah
khayalan dan debat kusir belaka (dalam Lawrence, 1989).
Karena tradisi kuantitatif yang sangat kuat inilah, maka peneliti ilmu sosial pun merasa “kurang ilmiah” jika
tidak menjelaskan penemuan-penemuannya dalam bentuk angka. Tetapi kadang-kadang hal ini terjadi
secara berlebihan. Banyak peneliti ilmu sosial, misalnya, memaksakan diri menggunakan rumus regresi (y =
a+bx) pada hal data yang dia miliki hanya berskala ordinal atau bahkan nominal. Angka yang dihitung pasti
muncul. Tetapi angka-angka dalam rumus itu sebenarnya “statistically nonsense”.

4. Membangun validitas internal dan validitas eksternal sebaik mungkin.


Menghitung korelasi antara dua variabel adalah mudah. Tetapi meyakinkan bahwa satu variabel benar-benar
membuat variabel yang lain berubah-ubah, ini yang sangat sulit. Validitas internal tercapai jika peneliti
berhasil meyakinkan bahwa variabel Y benar-benar dipengaruhi oleh variabel X (bukan oleh variabel W,K,
atau Q).
Selanjutnya, peneliti berpikir, Apakah temuan saya ini juga berlaku di konteks lain (selain penelitian yang
saya lakukan?) Bila ternyata ya, berlaku, maka peneliti telah mencapai validitas eksternal. Dalam hal ini,
peneliti yang teliti tidak hanya senang karena dia telah mencapai validitas eksternal dalam penelitiannya.
Tetapi dia juga khawatir terhadap kasus-kasus yang bisa mendiskonfirmasi temuannya. Maka, sebelum orang
lain yang mendiskonfirmasi temuannya, peneliti itu sendiri mencari kasus-kasus yang berpotensi
mendiskonfirmasi temuannya itu.
Dalam hal ini ada beberapa variabel penting yang berpotensi merusak validitas internal. Variabel-variabel
ini (disebut Extraneous Varable) seperti misalnya History, Maturation, Regression Effect, dan lain-lain) harus
dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh peneliti.
Metode-Metode Penelitian Kuantitatif
Beberapa metode penelitian kuantitatif yang cukup sering digunakan adalah survei dan eksperimen.
Metode survei adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk
mengumpulkan data. Metode ini adalah yang paling sering dipakai di kalangan mahasiswa. Desainnya
sederhana, prosesnya cepat. Tetapi bila dilakukan dengan sembrono, temuan survei ini cenderung superficial
(dangkal) meskipun dalam analisisnya peneliti menggunakan statistik yang rumit.
Penelitian survei dengan kuesioner ini memerlukan responden dalam jumlah yang cukup agar validitas
temuan bisa dicapai dengan baik. Hal ini wajar, sebab apa yang digali dari kuesioner itu cenderung informasi
umum tentang fakta atau opini yang diberikan oleh responden. Karena informasi bersifat umum dan
(cenderung) dangkal maka diperlukan responden dalam jumlah cukup agar “pola” yang menggambarkan
objek yang diteliti dapat dijelaskan dengan baik.
Sebagai ilustrasi, lima orang saja kemungkinan tidak mampu memberikan gambaran yang utuh tentang
sesuatu (misalnya tentang profil kesejahteraan pegawai). Tetapi 250 orang mungkin akan lebih mampu
memberi gambaran yang lebih baik tentang profil kesejahteraan pegawai itu. Perlu dicatat, jumlah responden
saja belum cukup memenuhi syarat “keterwakilan”. Teknik memilih responden (“teknik sampling”) juga
harus ditentukan dengan hati-hati.
Karena validitas data sangat tergantung pada “kejujuran” responden maka peneliti sebaiknya juga
menggunakan cara lain (selain kuesioner) untuk meningkatkan keabsahan data itu. Misalnya, peneliti
mungkin bertanya kepada responden tentang pendapatan per bulannya (dalam rupiah).
Dalam hal ini, peneliti juga mempunyai sumber data lain untuk meyakinkan kebenaran data yang diberikan
responden (misalnya dengan melihat daftar gaji si responden di kantornya). Jika hal ini sulit ditemukan maka
peneliti terpaksa harus berasumsi bahwa semua data yang diberikan responden adalah benar. Kita tahu,
asumsi semacam ini sering kali menyesatkan.
Kesalahan yang sering dibuat oleh peneliti dalam penelitian survei ini adalah terletak pada analisis data.
Peneliti sering kali lupa bahwa apa yang dikumpulkan melalui kuesioner ini adalah sekedar “persepsi tentang
sesuatu”, bukan “substansi dari sesuatu”. Karena itu, kalaupun peneliti menggunakan analisis statistik yang
cukup kompleks (misalnya korelasi atau regresi) maka peneliti harus ingat apa yang dianalisisnya itu
tetaplah sekumpulan persepsi, bukan substansi.
Beberapa tema penelitian dengan menggunakan metode survei adalah sebagai berikut:
a. Survei tentang alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai di semua Perguruan Tinggi Negeri.
b. Survei tentang kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan di Bank XY.
c. Analisis terhadap potensi penerimaan calon konsumen terhadap produk baru yang akan diluncurkan.
d. Jajak pendapat masyarakat terhadap metode baru dalam hal penetapan Pajak Pembangunan I.
Dari contoh-contoh di atas, kita sadar bahwa tidak mudah menggolongkan suatu penelitian ke jenis
penelitian tertentu dengan hanya melihat judul atau tema penelitian itu. Jika hanya judul yang kita baca maka
kita sebenarnya bisa memasukkan suatu penelitian ke jenis penelitian mana pun. Karena itu, kita harus bisa
membaca seluruh desain penelitian untuk mengetahui jenis penelitian atau metode yang digunakan seorang
peneliti.
Masalah Populasi – Sampel dalam Penelitian Kuantitatif
Masalah populasi-sampel menempati posisi yang sangat penting di dalam penelitian kuantitatif. Hal ini
terutama pada penelitian yang bertujuan membuat generalisasi temuannya. Sebagai catatan, generalisasi
adalah “pengembalian” temuan di dalam sampel ke populasi. Inilah “validitas eksternal” yang dimaksud
Krathwohl (1982) dan yang lain-lain. Maka, populasi dalam kaitan ini (validitas eksternal) didefinisikan
sebagai keseluruhan objek atau subjek yang menjadi sasaran akhir generalisasi. Peneliti mengambil sampel
dan menelitinya. Tetapi harus selalu diingat, bukan sampel yang sebenarnya ingin dia teliti, tetapi populasi.
Peneliti mengambil sampel karena satu dan lain alasan sehingga ia tidak mampu meneliti seluruh populasi.
Tetapi ada juga sampel yang sejak semula tidak diniatkan untuk digeneralisasikan. Maka dalam hal ini, urusan
samplingnya menjadi lebih sederhana. Untuk sampel yang digunakan untuk generalisasi, maka sampling atau
sampelnya disebut sampling probabilitas. Sampel yang tidak digunakan dan tidak bisa digunakan untuk
melakukan generalisasi disebut sampel non probabilitas.
Sampel probabilitas harus dihitung dengan rumus-rumus statistika dengan memperhitungkan tingkat
kesalahan sampling (sampling error), derajat kepercayaan, proporsi, dan sebagainya tergantung sifat
populasi dan rumus yang digunakan.
Tetapi satu hal harus dicatat. Sampel probabilitas bisa digunakan untuk generalisasi jika dan hanya jika
sampel itu diambil secara random (acak). Sampel random adalah sampel yang diambil sedemikian rupa
sehingga setiap anggota dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel.
Sampel bisa langsung diambil secara random atau tidak langsung, tergantung pada sifat populasinya yaitu,
homogen atau heterogen. Sampel random bisa langsung diambil dari populasi jika populasi bersifat
homogen. Sampel diambil dari populasi heterogen setelah heterogenitas populasi dijelaskan.
Populasi heterogen bisa berpola hierarki (terstrata), cluster (berkelompok atau gabungan strata dan
cluster). Pola hierarki, misalnya, adalah populasi pegawai negeri sipil, yang distrata menurut pangkatnya
(golongan I, II, III, IV). Populasi berkelompok (cluster), misalnya adalah mahasiswa di suatu perguruan tinggi
yang dikelompokkan menurut fakultas (Eksakta – Ilmu Sosial). Populasi strata-cluster, misalnya, adalah PNS
menurut jabatan (fungsional – struktural) dan sekaligus golongan I, II, III, IV. Sampel bisa juga diambil secara
sistematis (disebut juga quasi-random sampling).
Sampling non probabilitas tidak perlu dihitung tetapi dipilih, di kira-kira, diambil sekenanya. Contohnya
adalah sampel purposif (sampel sengaja dipilih karena memiliki ciri-ciri khusus). Atau sampel
accidental/convenient yang diambil begitu saja dari populasi yang kebetulan terlihat (misalnya mengambil
sampel pengunjung super¬market, siapa saja yang mau diambil menjadi sampel). Atau bisa juga sampel yang
sengaja dipilih oleh orang yang dianggap pakar dalam suatu hal (expert sampling).
Instrumen Penelitian Kuantitatif
Jika dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah penelitinya sendiri, maka dalam penelitian
kuantitatif, instrumen harus dibuat dan menjadi perangkat yang “independent” dari peneliti. Peneliti harus
mampu membuat instrumen sebagus mungkin, apapun instrumen itu.
Semua instrumen (baik yang tes maupun non tes) harus memiliki dua syarat yaitu reliabel dan valid. Reliabel
berarti hasil pengukuran konsisten dari waktu ke waktu. Valid berarti instrumen secara akurat mengukur
objek yang harus diukur.
Reliabilitas mempunyai tiga dimensi yaitu Stabilitas, Ekivalensi, dan Konsistensi Internal (O’Sullivan &
Rassel, 1995). Stabilitas mengacu pada kemampuan instrumen untuk menghasilkan data yang sama dari
waktu ke waktu (dengan asumsi objek yang diukur tidak berubah).
Ekivalensi mengacu pada kemampuan dua atau lebih macam instrumen yang dibuat dua atau lebih peneliti
untuk mengukur satu hal yang sama. Misalnya, dua peneliti mengukur penggunaan listrik di suatu aula. Dua
peneliti ini menggunakan dua instrumen yang berbeda. Tetapi jika temuan kedua peneliti ini sama, maka
instrumen mereka memilki sifat “ekivalen”.
Konsistensi internal tercapai jika semua item dalam instrumen mengukur satu hal yang sama. Jika terdapat
10 pertanyaan tentang motivasi, maka ke 10 pertanyaan itu mengukur hal yang sama (motivasi).
Instrumen yang baik juga harus valid. Ada beberapa macam validitas yaitu face validity, content validity, dan
criterion validity. Face validity (validitas muka) tercapai jika suatu instrumen nampaknya sudah valid (dari
penglihatan sepintas lalu). Tentu saja validitas semacam ini sangat superficial. Tetapi kadang-kadang peneliti
cukup memerlukan validitas jenis ini. Caranya, peneliti meminta beberapa orang membaca atau mengisi
instrumen tersebut, dan meminta pendapat mereka untuk keperluan revisi.
Content validity (validitas isi) tercapai jika suatu instrumen telah mencakup seluruh hal yang perlu diukur.
Jika satu tes ujian akhir telah mencakup seluruh isi mata kuliah satu semester, maka instrumen ini dianggap
memiliki validitas isi. Sebagai catatan, ini jangan dikacaukan dengan “konsistensi internal” dalam bahasan
tentang reliabilitas. Soal tes ujian yang hanya mencakup 50% bahan kuliah satu semester mungkin memiliki
sifat konsistensi internal, tetapi instrumen ini tidak memiliki validitas isi.
Criterion validity (validitas kriteria) mengacu pada kemampuan item-item instrumen untuk mengukur hal
yang sama atau memprediksi suatu hal di masa depan. Dalam hal ini kita mengenal dua macam validitas, yaitu
concurrent validity dan predictive validity.
Concurrent validity tercapai jika suatu instrumen buatan kita misalnya, berkorelasi secara signifikan dengan
instrumen lain yang mengukur hal yang sama. Jika kita mempunyai alat tes bahasa Inggris lalu kita uji
cobakan kepada sejumlah siswa, dan hasilnya ternyata berkorelasi dengan nilai TOEFL mereka, maka tes kits
telah memiliki concurrent validity.

Sedangkan predictive validity tercapai jika suatu instrumen mampu meramalkan apa yang terjadi di masa
depan sesuai dengan hasil tes. Berikut adalah peta reliabilitas dan validitas instrumen.
Prosedur Penelitian Kuantitatif
Proses yang secara umum terjadi dalam penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut:
Pengamatan  Hipotesis  Pengumpulan Data  Pengujian Hipotesis  Kesimpulan Hukum/Teori/Prinsip 
Pengamatan  Hipotesis.
Dengan proses deduktif seperti ini, seorang peneliti kuantitatif akan bekerja di suatu sitem yang tertutup
(closed system) di mana proses penelitian berjalan secara linear, algoritmik, dan output penelitian telah
ditentukan sebelumnya.
Dengan logika berpikir seperti di atas, maka kita bisa mengerti bila jumlah bab dalam skripsi/tesis/disertasi
adalah lima. Lima bab tersebut biasanya seperti berikut (tanpa menutup kemungkinan adanya variasi dari
masing-masing perguruan tinggi).
Bab I : Permasalahan Penelitian
A : Latar Belakang
B : Pokok Permasalahan
C : Tujuan Penelitian
D : Manfaat Penelitian
Bab II : Kerangka Teoritik
A : Definisi Variabel-variabel
B : Definisi Operasional Variabel
C : Indikator
D : Model Penelitian
E : Pertanyaan Penelitian/Hipotesis
Bab III : Metodologi
A : Metode, Jenis dan Pendekatan
B : Populasi-Sampel
C : Instrumentasi
D : Analisis Data
Bab IV : Analisis Data Temuan
A : Deskripsi tentang Objek/Subjek Penelitian
B : Temuan dan Analisis
Bab V : Kesimpulan & Saran
A : Kesimpulan
B : Saran
Tetapi, sebagai catatan terakhir, perlu disinggung sedikit tentang desain penelitian kuantitatif. Tidak seperti
desain penelitian kualitatif yang bersifat “longgar” dan ‘fleksibel”, desain penelitian kuantitatif sangat bersifat
“kaku” dalam arti tidak mudah dirubah begitu selesai dibuat. Variabel-variabelnya jelas dan ditentukan
dengan sangat hati-hati. Metodologinya di rancang sampai ke detil-detil terkecil. Tetapi isi desainnya sama
saja dengan penelitian kualitatif (pokok permasalahan, kerangka teori, dan metodologi). Ingat dalam
penelitian kualitatif, digunakan istilah “fokus”.
Karena itu, peneliti kuantitatif dituntut berpikir tajam dan spesifik sejak awal. Kesalahan kecil saja bisa
mempengaruhi seluruh proses penelitian. Kadangkala peneliti kuantitatif harus menghabiskan waktu
berbulan-bulan sebelum desain penelitiannya disetujui oleh dosen pembimbing untuk dilaksanakan di
lapangan.
Masalah Populasi dan Sampel dalam Penelitian Kualitatif
Populasi di dalam penelitian kualitatif tidak dijadikan tujuan generalisasi dari temuan penelitian. Populasi
dalam konotasi kuantitas (keseluruhan objek yang diteliti) tidak dikenal/diperlukan dalam penelitian
kualitatif.
Istilah sampel (sampling) di dalam penelitian kualitatif masih dapat digunakan, misalnya sampel purposif,
sampel internal (internal sampling), dan sampel waktu (time sampling). Sampel purposif adalah sampel yang
“secara sengaja” dipilih oleh peneliti, karena sampel ini dianggap memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat
memperkaya data penelitian. Sampel internal adalah keputusan yang diambil oleh peneliti tentang siapa yang
perlu diwawancarai, kapan melakukan observasi, atau dokumen apa atau sebanyak apa dokumen yang perlu
dikaji. Sementara itu, sampel waktu (time sampling) adalah waktu-waktu tertentu yang sengaja dipilih
peneliti untuk mengumpulkan data. Waktu di sini boleh hari minggu ke-berapa, bulan apa, atau tahun berapa.
Instrumen dalam Penelitian Kualitatif
Satu-satunya instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti mungkin
menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data seperti tape recorder, video kaset, atau kamera.
Tetapi kegunaan atau pemanfaatan alat-alat ini sangat tergantung pada peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai
instrumen (disebut “Paricipant-Observer”) di samping memiliki kelebihan-kelebihan, juga mengandung
beberapa kelemahan. Kelebihannya antara lain, pertama, peneliti dapat langsung melihat, merasakan, dan
mengalami apa yang terjadi pada subjek yang ditelitinya. Dengan demikian, peneliti akan lambat laut
“memahami” makna-makna apa saja yang tersembunyi di balik realita yang kasat mata (verstehen). Ini
adalah salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian kualitatif.
Kedua, peneliti akan mampu menentukan kapan penyimpulan data telah mencukupi, data telah jenuh, dan
penelitian dihentikan. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dibatasi oleh instrumen (misalnya
kuesioner) yang sengaja membatasi penelitian pada variabel-variabel tertentu saja. Ketiga, peneliti dapat
langsung melakukan pengumpulan data, menganalisanya, melakukan refleksi secara terus menerus, dan
secara gradual “membangun” pemahaman yang tuntas tentang sesuatu hal. Ingat, dalam penelitian kualitatif,
peneliti memang “mengkonstruksi” realitas yang tersembunyi (tacit) di dalam masyarakat.
Sementara beberapa kelemahan peneliti sebagai instrumen adalah pertama, sungguh tidak mudah menjaga
obyektivitas dan netralitas peneliti sebagai peneliti. Keterlibatan subjek memang bagus dalam penelitian
kualitatif, tetapi jika tidak hati-hati, peneliti akan secara tidak sadar mencampuradukkan antara data
lapangan hasil observasi dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Kedua, pengumpulan data dengan cara menggunakan peneliti sebagai instrumen utama ini sangat
dipengaruhi oleh kemampuan peneliti dalam menulis, menganalisis, dan melaporkan hasil penelitian.
Peneliti juga harus memiliki sensitifitas/kepekaan dan “insight” (wawasan) untuk menangkap simbol-simbol
dan makna-makna yang tersembunyi. Lyotard (1989) mengatakan “lantaran pengalaman belajar ini sifatnya
sangat pribadi, peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya dalam bentuk tertulis”.
Ketiga, peneliti harus memiliki cukup kesabaran untuk mengikuti dan mencatat perubahan-perubahan yang
terjadi pada subjek yang ditelitinya. Dalam penelitian kuantitatif, penelitian dianggap selesai jika kesimpulan
telah diambil dan hipotesis telah diketahui statusnya, diterima atau ditolak.
Tetapi peneliti kualitatif harus siap dengan hasil penelitian yang bersifat plural (beragam), sering tidak
terduga sebelumnya, dan sulit ditentukan kapan selesainya. Ancar-ancar waktu tentu bisa dibuat, tetapi
ketepatan jadwal (waktu) dalam penelitian kualitatif tidak mungkin dicapai seperti dalam penelitian
kuantitatif. (@TM)
Report this ad

Report this ad

BAGIKAN INI:

 Twitter
 Facebook
 Google

TINGGALKAN BALASAN

Report this ad

BERLANGGANAN

 Entries (RSS)

 Comments (RSS)
ARSIP

 Januari 2018

 Desember 2017

 November 2017

 Oktober 2017

 September 2017

 Agustus 2017

 Juli 2017

 Juni 2017

 Mei 2017

 April 2017

 Maret 2017

 Februari 2017

 Januari 2017

 Desember 2016
 November 2016

Anda mungkin juga menyukai