Anda di halaman 1dari 20

Studi Kasus dan Fenomenologi menggunakan pendekatan Kualitatif

A. Konsep Umum Penelitian

Penelitian merupakan bagian yang sangat penting untuk memberikan informasi dan pengetahuan
yang dibutuhkan dalam suatu pemecahan masalah dan pembuat keputusan. Metode penelitian
merupakan sekumpulan kegiatan, prosedur, tata cara atau langkah – langkah ilmiah yang dilakukan
untuk memperoleh data yang valid sebagai alat untuk pemenuhan tujuan penelitian. Metode penelitian
ini dilakukan dengan tujuan dapat mendeskripsikan, membuktikan, mengembangkan, memahami,
memecahkan bahkan mengantisipasi masalah dalam sebuah penelitian. Oleh karena itu, metode
penelitian menjadi sebuah pedoman penting dalam sebuah penelitian. Peneliti akan menganalisis
seluruh data yang diperoleh menggunakan metode penelitian yang dipilih untuk menentukan solusi
dari masalah penelitian. Seiring berkembangnya zaman, metode penelitian juga ikut berkembang,
namun dalam makalah ini kami akan membahas tentang metode penelitian kualitatif.

Dalam berbagai metode penelitian tentunya terdapat teori di dalamnya. Teori secara umum
diartikan sebagai konsep, asumsi, definisi, pendapat, yang didasarkan pada penelitian dan penemuan
yang didukung oleh data dan argumentasi untuk menjelaskan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan merumuskan antar variable. Dapat dikatakan teori merupakan serangkaian proposisi antara
konsep – konsep yang saling berkaitan. Teori juga menjelaskan secara sistematis suatu fenomena
sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep, lalu teori menjelaskan tentang fenomena
tertentu menggunakan cara menentukan sebuah konsep yang berkaitan dengan konsep lainnya dan
juga bentuk hubungan tersebut. Fungsi teori dalam sebuah metode penelitian digunakan untuk
menjelaskan hal terkait atas sikap dan perilaku dalam penelitian yang sedang dilakukan. Perspektif
teori digunakan sebagai panduan umum dalam kegiatan penelitian dimana di dalamnya terkait gender
– ras – kelas dan sebagainya (tergantung variable yang digunakan dalam penelitian tersebut). Dalam
metode penelitian kualitatif tidak selalu menggunakan teori yang terlalu eksplisit. terus terang atau
gamblang. Teori juga bertujuan untuk menemukan suatu hal baru dan dapat digunakan untuk
menyempurnakan penelitian tersebut. Berikut penjelasan dalam konsep umum dalam metode
penelitian kualitatif:

1. Teori ditempatkan pada posisi awal.


Dalam metode penelitian kualitatif, sebuah landasan teori adalah aspek yang membantu
peneliti dalam merancang dan mengembangkan penelitian tersebut. Teori dapat membantu
peneliti dalam menemukan fokus penelitian, menentukan pertanyaan yang nantinya akan
digunakan dalam penelitian, dan juga agar dapat menentukan metode yang tepat dalam
melakukan pengumpulan dan analisa data.
2. Teori ditempatkan pada posisi tengah.
Dalam penelitian kualitatif, teori adalah sebagai hasil akhir. Teori membantu peneliti dalam
memahami konteks dan kompleksitas dari temuan dan juga membantu untuk mengintepretasikan
terhadap temuan tersebut.
3. Teori ditempatkan pada posisi akhir.
Dalam penelitian kualitatif, teori adalah sebagai hasil akhir. Teori membantu peneliti
mengembangkan atau memperbaharui teori yang sudah ada dan bermanfaat dalam pengembangan
teori baru.

Teori dalam penelitian kualitatif bersifat flexible dan dinamis, karena itu dikatakan teori dalam
penelitian kualitatif dapat membantu peneliti untuk mengembangkan bahkan memperbaharui teori
yang sudah ada, dan bermanfaat dalam pengembangan teori baru. Perbedaan antara metode
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif adalah strategi dasar penelitian. Metode kuantitatif
bersifat konfirmasi dan deduktif, sedangkan metode kualitatif bersifat eksploratoris dan induktif.

a) Metode kualitatif lebih kepada menggunakan perspektif emik. Peneliti dalam metode ini
menggunakan cara pengumpulan data, berupa cerita dan para informan, diungkapkan denga
napa adanya sesuai dengan bahasa dan pandangan si informan atau responden. Contoh, ketika
kita melakukan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan cara wawancara, melalui
observasi. Hal inilah yang dimaksud dengan perspektif emik. Dalam penelitian kualitaitf, kita
mengumpulkan data terlebih dahulu baru merumuskan teori.
b) Dalam metode penelitian kualitatif, penggalian data dilakukan dengan cara mengumpulkan
berupa pandangan dari responden dalam bentuk cerita rinci. Kemudian setelah itu, responden
dan peneliti dapat memberi penafsiran atau analisa yang dapat menciptakan konsep sebagai
temuan baru.
c) Penelitian dengan metode kualitatif konsepnya dapat menggunakan hipotesis dan juga dapat
dilakukan walaupun tanpa hipotesis.
d) Metode penelitian kualitatif jika dilihat dari teknik pengumpulan data, mengutamakan teknik
wawancara dan observasi.
e) Metode kualitatif jika dari segi permasalahan dan tujuan penelitian lebih kepada menggali
informasi atau cerita dari responden untuk mengetahui makna, alasan, konsep yang ada dibalik
cerita detail para responden dan latar belakang sosial / perilaku yang diteliti untuk dijadikan
data.
f) Segi teknik dalam metode penelitian, size atau sample diukur berdasarkan jumlah responden.
Jumlah responden akan diketahui pada saat pengumpulan data mengalami kejenuhan.
g) Penelitian kualitatif berproses secara induktif, maksudnya adalah prosesnya diawali dari data
yang detail seperti; Riwayat hidup responden, life story, life cycle, yang berhubungan dengan
topik atau masalah penelitian, tanpa evaluasi atau interpretasi, di kategorikan, di abstraksi serta
terdapat tema, konsep atau teori tersebut sebagai temuan.
h) Sajian data dalam metode kualitatif disajikan dalam bentuk cerita detail sesuai bahasa dan
pandangan responden.
i) Penelitian dengan metode kualitatif tidak perlu definisi operasional, karena tidak perlu
mengukur variable. Operasional yang dimaksud adalah petun juk bagaimana sebuah variable
diukur.
j) Dalam penelitian kualitatif, analisi data dilakukan pada tahap awal turun ke lokasi atau awal
dimulainya penelitian melalui cara mengumpulkan informasi, mereduksi, mengelompokan data
dan sebagainya sampai dapat memberikan interpretasi.
k) Dari segi instrument dalam metode penelitian kualitatif, peneliti lah yang dianggap sebagai
instrument. Alasannya adalah karena peneliti adalah manusia, dimana manusia dapat beradaptasi
dengan para responden yang dimana adalah manusia juga, dan tentunya sesama manusia
melakukan aktivitas yang sama. Hal ini sangat diperlukan dengan tujuan agar sumber data
menjadi lebih terbuka dalam memberikan informasi.
l) Terakhir dari segi kesimpulan. Metode penelitian kualitatif dengan interpretasi data oleh
penelitian melalui pengecekan dan kesepakatan dengan subjek penelitian, karena responden
adalah data yang tepat untuk memberikan penjelasan terhadap data atau informasi yang telah
diungkapkan, kemudian peneliti dapat memberikan penjelasan terhadap data atau informasi
yang telah diungkapkan, memberikan penjelasan terhadap interpretasi yang dibuat dan mengapa
konsep tertentu dipilih. Karena bisa saja konsep tersebut berhubungan atau relate dengan istilah
atau kata yang sering digunakan oleh para koresponden.

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian dengan mengutamakan penekanan pada proses dan
makna yang tidak diuji, atau diukur dengan setepat-tepatnya dengan data yang berupa data deskriptif.
Terutama berkaitan dengan pola dan tingkah laku manusia (behavior) dan apa yang dibalik tingkah
laku tersebut yang biasanya sulit untuk diukur dengan angka-angka. Karena apa yang kelihatan
menggejala tidak selalu sama dengan apa yang ada di dalam fikiran dan keinginan sebenarnya Pada
penelitian ini mendeskripsikan kejadian yang di dengar, dirasakan dan dibuat dalam pernyataan
naratif atau deskriptif. Jenis penelitian ini berkarakteristik alamiah atau berseting apa adanya dari
fenomena yang terjadi di lapangan yang menitik beratkan pada kualitasnya. Penelitian kualitatif
dapat digolongkan menjadi dua yakni deskriptif analitic (tick description) dan deskriptif-eksplanatif.
Deskriptif rinci (tick description) merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan memahami dan
memaknai subyek serta “memberikan” semua gejala yang tampak dan memaknai apa yang ada
dibalik gejala (noumena).

1. Definisi

Definisi metode penelitian kualitatif para ahli. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai
metodologi yang menyediakan alat-alat dalam memahami arti secara mendalam yang berkaitan
dengan fenomena yang kompleks dan prosesnya dalam praktik kehidupan sosial (Denzin dan
Lincoln dikutip Brady: 2015). Definisi lain juga diutarakan oleh Strauss dan Corbin (2017) bahwa
penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang hasil temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Lebih lanjut, Oun dan Bach (2014) menyebut
metode kualitatif merupakan metode untuk menguji dan menjawab pertanyaan tentang
bagaimana, dimana, apa, kapan, dan mengapa seseorang bertindak dengan cara-cara tertentu pada
permasalahan yang spesifik.

Ada beberapa ciri-ciri atau karakterisktik yang dimiliki oleh penelitian kualitatif. Menurut
Litchman dikutip Putra dan Dwilestari (2016) ada sepuluh ciri-ciri penelitian kualitatif, (1) yaitu
description, understanding, and interpretation, (2) dynamic, (3) no single way of doing something,
(4) inductive thinking, (5) holistic, (6) variety of data in natural setting, (7) role of the researcher.
(8) in-depth study, (9) words, themes, and writing, dan (10) nonliniear. Di sisi lain, Bogdan &
Biklen dikutip Putra dan Dwilestari (2016) menyebut karakteristik penelitian kualitatif adalah
naturalistic, descriptive data, concern with process, inductive, dan meaning.

Pada umumnya, ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam melakukan penelitian
kualitatif. Dalam beberapa referensi, mungkin terdapat sedikit perbedaan tahapan namun pada
dasarnya memliki prosedur yang sama. Menurut Newman (2014) ada beberapa tahapan dalam
melakukan penelitian kualitatif, yaitu: (1) menyeleksi topik, (2) menyempitkan fokus pertanyaan
artinya tahapan ini merupakan langkah krusial yang harus dilakukan agar topik yang masih luas
dapat disempitkan dan lebih terfokus, (3) mendesain penelitian, (4) mengumpulkan data, (5)
menganalisis data, (6) menginterpretasi data, dan (7) publikasi atau memberikan laporan
penelitian kepada orang lain.
2. Jenis-jenis penelitian

Penelitian kualitatif ini juga dibagi-bagi berdasarkan jenis-jenis penelitian, di antaranya


sebagai berikut:

a) Fenomenologi. Penelitian fenomenologi ini artinya peneliti akan melakukan pengumpulan


data melalui observasi partisipan untuk dapat mengetahui fenomena esensial partisipan apa
yang ada di dalam hidupnya atau sepanjang pengalaman hidupnya.
b) Penelitian grounded theory. Jenis penelitian selanjutnya adalah penelitian grounded theory
yang mana peneliti dapat menggeneralisasi apa saja yang ia amati atau ia analisis secara
induktif. Teori abstrak mengenai proses, tindakan, atau interaksi dapat dilakukan dan
didapat berdasarkan pandangan partisipan yang diteliti.
c) Penelitian etnografi. Di dalam penelitian etnografi, peneliti akan melakukan studi terhadap
budaya suatu kelompok dalam kondisi yang alamiah dan dilakukan melalui proses
observasi dan atau wawancara.
d) Penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus di dalam jenis-jenis penelitian kualitatif ini
akan mengenal lebih dalam atau memahami secara mendalam mengenai alasan suatu
fenomena atau kasus tersebut bisa terjadi. Kemudian dari situ akan dikembangkan menjadi
riset selanjutnya. Jenis penelitian ini nantinya akan dijadikan bahan untuk menguji
hipotesis.
e) Penelitian narrative research. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan sebuah studi
terhadap seseorang individu atau lebih untuk mendapatkan data mengenal sejarah
perjalanan kehidupannya yang kemudian disusun menjadi laporan naratif yang kronologis.

3. Data kualitatif

Data kualitatif berbentuk deskriptif, berupa kata-kata lisan atau tulisan tentang tingkah laku
manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan, 1984). Data kualitatif dapat dipilah menjadi tiga
jenis (Patton, 1990):

a) Hasil pengamatan: uraian rinci tentang situasi, kejadian, interaksi, dan tingkah laku yang
diamati di lapangan.
b) Hasil pembicaraan: kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang pengalaman, sikap,
keyakinan, dan pemikiran mereka dalam kesempatan wawancara mendalam
c) Bahan tertulis: petikan atau keseluruhan dokumen, surat-menyurat, rekaman, dan kasus
sejarah.

Terdapat perbedaan-perbedaan antara data kualitatif dan data kuantitatif (Sitorus, 1998):

a) Data kualitatif adalah data mentah dari dunia empiris. Data kualitatif itu berujud uraian terinci,
kutipan langsung, dan dokumentasi kasus. Data ini dikumpulkan sebagai suatu cerita terbuka
(open-ended narrative) , tanpa mencoba mencocokkan suatu gejala dengan kategori baku yang
telah ditetapkan sebelumnya, sebagaimana jawaban pertanyaan dalam kuesioner.
b) Data kualitatif adalah tangkapan atas perkataan subyek penelitian dalam bahasanya sendiri.
Pengalaman orang diterangkan secara mendalam, menurut makna kehidupan, pengalaman, dan
interaksi sosial dari subyek penelitian sendiri. Dengan demikian peneliti dapat memahami
masyarakat menurut pengertian mereka sendiri. Hal ini berbeda dari penelitian kuantitatif,
yang membakukan pengalaman responden ke dalam kategori-kategori baku peneliti sendiri.
c) Data kualitatif bersifat mendalam dan rinci, sehingga juga bersifat panjang-lebar. Akibatnya
analisis data kualitatif bersifat spesifik, terutama untuk meringkas data dan menyatukannya
dalam suatu alur analisis yang mudah dipahami pihak lain. Sifat data ini berbeda dari data
kuantitatif yang relatif lebih sistematis, ter bakukan, dan mudah disajikan dalam format
ringkas.
B. KARAKTERISTIK METODE KUALITATIF
1. Karakteristik Metode Kualitatif

Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan


dan menganalisis data yang bersifat deskriptif atau kualitatif. Metode ini bertujuan untuk
memahami fenomena yang kompleks dengan melibatkan pengamatan, wawancara,
analisis dokumen, atau teknik lainnya. Berikut adalah beberapa karakteristik umum
metode kualitatif:

a) Pendekatan deskriptif: Metode kualitatif berfokus pada pemahaman mendalam


tentang konteks, proses, dan makna dari suatu fenomena. Data yang dikumpulkan
didasarkan pada pengamatan langsung, wawancara, atau analisis kualitatif dokumen.
b) Subyektivitas: Peneliti sebagai alat utama dalam mengumpulkan dan menganalisis
data. Subyektivitas peneliti dapat mempengaruhi interpretasi dan analisis data,
sehingga penting untuk mempertimbangkan peran peneliti dalam penelitian
kualitatif.
c) Fleksibilitas: Metode kualitatif memberikan fleksibilitas kepada peneliti untuk
menyesuaikan metode dan pendekatan yang digunakan sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Peneliti dapat mengubah arah penelitian atau fokus analisis seiring dengan
perkembangan penelitian.
d)Data yang kaya dan mendalam: Metode kualitatif menghasilkan data yang kaya dan
mendalam tentang fenomena yang diteliti. Data tersebut memungkinkan analisis
yang mendalam dan pemahaman yang lebih baik tentang konteks dan kompleksitas
fenomena.
e) Penggunaan sampel kecil: Metode kualitatif sering menggunakan sampel kecil yang
dipilih dengan tujuan tertentu, seperti informan kunci atau kasus yang representatif.
Fokusnya bukan pada generalisasi statistik, tetapi pada pemahaman mendalam
tentang kasus-kasus yang dipilih.
f) Analisis induktif: Metode kualitatif cenderung menggunakan analisis induktif, di
mana temuan dan pola ditemukan dari data yang dikumpulkan, bukan dari hipotesis
atau teori yang telah ditetapkan sebelumnya. Analisis dilakukan melalui koding,
pengelompokkan, dan identifikasi tema atau pola yang muncul dari data.
g) Konteks yang penting: Metode kualitatif mempertimbangkan konteks sosial, budaya,
dan historis yang mempengaruhi fenomena yang diteliti. Konteks ini penting untuk
memahami makna dan interpretasi yang diberikan oleh individu atau kelompok yang
terlibat dalam penelitian.
h) Validitas dan kepercayaan: Metode kualitatif menekankan validitas dan kepercayaan
data melalui langkah-langkah seperti triangulasi, pemilihan informan yang
representatif, reflektivitas, dan penggunaan teknik verifikasi oleh pihak lain.

Dalam kombinasi dengan metode kuantitatif, metode kualitatif dapat memberikan


wawasan yang komprehensif dan pemahaman yang lebih mendalam tentang
fenomena yang diteliti.

2. Ciri Ciri Metode Kualitatif

Berikut adalah beberapa ciri-ciri umum metode kualitatif:

1. Fokus pada pemahaman mendalam: Metode kualitatif bertujuan untuk memahami


fenomena secara mendalam, dengan mengeksplorasi konteks, makna, dan perspektif yang
terlibat. Metode ini lebih berorientasi pada bagaimana dan mengapa suatu fenomena
terjadi, daripada pada pengukuran atau generalisasi statistik.
2. Pendekatan deskriptif: Metode kualitatif berfokus pada deskripsi yang rinci dan
mendalam tentang fenomena yang diteliti. Peneliti menggunakan pengamatan,
wawancara, analisis dokumen, atau teknik lainnya untuk mengumpulkan data yang kaya
dan terperinci.
3. Fleksibilitas: Metode kualitatif memberikan fleksibilitas kepada peneliti untuk
menyesuaikan pendekatan, metode, dan desain penelitian sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi penelitian. Peneliti dapat mengubah arah penelitian, menyesuaikan pertanyaan
penelitian, atau memperdalam analisis berdasarkan perkembangan dalam penelitian.
4. Data berbasis teks: Metode kualitatif mengumpulkan data berbasis teks, seperti
transkrip wawancara, catatan lapangan, dokumen tertulis, atau rekaman audio/video. Data
ini kemudian dianalisis secara kualitatif, melalui proses koding, pengelompokkan, dan
interpretasi.
5. Subjektivitas peneliti: Peneliti adalah alat utama dalam metode kualitatif, dan
subjektivitas peneliti diakui sebagai bagian dari proses penelitian. Peneliti membawa dan
merefleksikan perspektif, pengalaman, dan pemahaman mereka ke dalam interpretasi dan
analisis data.
6. Sampling sambil berjalan: Metode kualitatif sering menggunakan sampling sambil
berjalan (purposive sampling) untuk memilih partisipan atau kasus yang relevan dengan
penelitian. Sampling ini didasarkan pada pertimbangan teoritis dan tujuan penelitian,
bukan representasi statistik.
7. Analisis induktif: Metode kualitatif cenderung menggunakan analisis induktif, di mana
temuan dan pola ditemukan dari data yang dikumpulkan. Peneliti menganalisis data
secara mendalam, mengidentifikasi tema, kategori, atau pola yang muncul dari data, dan
membangun pemahaman teoritis dari temuan tersebut.
8. Konteks penting: Metode kualitatif memperhatikan konteks sosial, budaya, dan
historis yang mempengaruhi fenomena yang diteliti. Konteks ini dianggap penting untuk
memahami makna dan interpretasi yang diberikan oleh individu atau kelompok yang
terlibat dalam penelitian.
9. Validitas dan kepercayaan: Metode kualitatif menekankan validitas dan kepercayaan
data melalui langkah-langkah seperti triangulasi, reflektivitas, konfirmabilitas, dan
kehadiran pihak lain yang memverifikasi temuan atau analisis.

Ciri-ciri ini memberikan kerangka kerja dalam melaksanakan penelitian kualitatif dan
membedakannya dari metode penelitian kuantitatif yang lebih berfokus pada pengukuran
dan generalisasi statistik.
C. Prosedur Desain Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan yang mendalam untuk memahami fenomena
sosial dan manusia. Desain penelitian kualitatif yang tepat memerlukan perencanaan yang cermat
dan pemahaman yang mendalam tentang metodologi yang digunakan. Dalam makalah ini, akan
dibahas prosedur desain penelitian kualitatif yang meliputi beberapa tahapan utama. Setiap kegiatan
penelitian pastinya harus selalu mengikuti suatu proses secara bertahap. (Creswell, 2008) telah
menyajikan tahapan khusus penelitian kualitatif diantaranya yaitu :
1. Identifikasi masalah
Peneliti harus memulai apa yang menjadi sasaran penelitian, artinya menyangkut spesifikasi
isu/fenomena yang hendak dipelajari/diteliti.
2. Literature riview (penelusuran pustaka)
Bagian ini peneliti harus mencari bahan atau sumber bacaan yang terkait fenomena yang akan
diteliti, sehingga peneliti harus dapat menemukan kebaruan (novelty) atau kelebihan dari
penelitianya dengan penelitian sebelumnya.
3. Menentukan tujuan penelitian
Peneliti harus mengidentifikasi maksud/tujuan utama dari penelitiannya.
Pengumpulan data;
Peneliti harus memperhatikan dalam memilih dan menentukan objek/partisipan yang potensial,
guna menjangkau kemampuan partisipan untuk terlibat secara aktif dalam penelitian.
Analisis dan interpretasi data (interpretation)
Data yang telah diperoleh oleh peneliti kemudian dianalisis atau ditafsirkan sehingga
menghasilkan gagasan atau teori baru.
Pelaporan
Peneliti membuat laporan hasil penelitiannya dengan corak deskripsi, karena menggunkan metode
kualitatif sehingga membutuhkan penggambaran secara luas dalam laporannya dan harus
memposisikan pembaca seolah-olah sebagai orang yang terlibat dalam penelitian (Sugiarto, 2015)
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif perlu diperhatikan, sebab kualitas riset sangat
tergantung dari kualitas dan kelengkapan data yang telah didapatkan. Pertanyaan yang selalu
diperhatikan dalam pengumpulan data adalah apa, dimana, kapan, dan bagaimana. Penelitian
kualitatif biasanya bertumpu pada trianggulasi data yang diperoleh dari tiga metode yaitu interview,
participant observation, dan analisis dokumen (document record) (Marshall, & Rossman, 1999).

Jurnal 1

A. Pendahuluan
Papalia, Old, dan Feldman (2012) menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah fokus
ketertarikan seksual, romantis, dan kasih sayang yang konsisten kepada jenis kelamin
yang sama, sedangkan gay adalah sebutan untuk pria yang memiliki homoseksualitas
pria. Pendapat yang selaras pun dikemukakan oleh Nevid, Rathus, dan Greene (2005)
menyatakan bahwa homoseksual adalah kecenderungan orientasi seksual yang ditandai
dengan minat erotis dan keinginan untuk membangun hubungan romantis terhadap
sesama jenis kelaminnya.
Papalia, Old, dan Feldman (2011) menjelaskan bahwa faktor pembentuk
homoseksualitas adalah hubungan pola asuh yang terganggu seperti dorongan orangtua
terhadap perilaku lintas-gender dan tidak biasa, imitasi orangtua homoseksual, peluang
untuk belajar melalui rayuan oleh homoseksual.

Dewasa ini, gay menjadi hal yang wajar menurut sudut pandangan masyarakat Barat
yang dibuktikan dengan disahkannya pernikahan sesama jenis pada tanggal
26 Juni 2015 oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Disamping itu, pada Desember
1973, jauh sebelum disahkannya pernikahan sesama jenis, Dewan Pengawas Asosiasi
Psikiater Amerika menghapuskan gay (homoseksualitas) dari tatanan resmi gangguan
kejiwaan, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Second Edition”
(DSM-II). Para ahli menemukan bahwa homoseksualitas tidak memenuhi krtiteria untuk
dianggap sebagai suatu penyakit jiwa. Sarwono (2013) menyebutkan homoseksualitas
telah dimasukkan ke dalam gangguan mental di DSM-1 pada tahun 1952 sebagai
gangguan kepribadian sosiopath, dikarenakan dianggap melanggar norma masyarakat.
DSM-II yang diterbitkan pada tahun 1968, menjadikan homoseksualitas sebagai daftar
kelainan seksual, namun tidak dimasukkan sebagai gangguan kepribadian. Pada PPDGJ
pun homoseksualitas sudah dihapuskan sejak tahun 1983 pada PPDGJ II. Hingga pada
revisi terakhirnya, yakni PPDGJ yang diterbitkan tahun 1993, homoseksualitas dikatakan
sebagai sesuatu yang normal (PPDGJ III).

Menurut buku pedoman gangguan kejiwaan, baik DSM maupun PPDGJ, kaum
homoseksual khususnya kaum gay merupakan hal yang normal, namun dengan populasi
Indonesia yang sebagian besar beragama. Pandangan negatif yang dimiliki oleh
masyarakat dikarenakan homoseksual merupakan perilaku yang menyimpang dari norma
sosial (Azizah, 2013). Pendapat ini diperkuat oleh sebuah survey yang dilakukan oleh
Pew Research Center pada tahun 2007 (Samodra, 2013) menunjukkan bahwa hanya 3%
responden dari Indonesia yang mendukung homoseksualitas, sisanya menolak keras.

Penolakan masyarakat ini membuat kaum gay melakukan perkumpulan secara tidak
terang-terangan dan kesulitan membuka diri. Proses “membuka diri” ternyata terkait
dengan kemampuan penyesuaian psikologis dalam dirinya. Semakin yakin akan identitas
mereka sebagai gay maka semakin baik kesehatan mentalnya serta semakin tinggi rasa
percaya diri atau penerimaan diri mereka dan mampu melakukan penyesuaian diri yang
baik dalam kehidupannya.

Papu (2002) menjelaskan gay setelah mengidentifikasi diri sebagai homoseksual akan
melakukan pengungkapan diri yang dikenal dengan istilah coming out. Coming out
adalah pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Paul (dalam Maulana,
2012) pun menegaskan bahwa coming out adalah suatu penegaskan bahwa identitas
seksual sebagai homoseksual terhadap diri dan orang lain yang mengandung risiko
bahaya. Adanya risiko ini membuat gay untuk siap menerima label dari individu lain
perihal identitas seksual sebagai homoseksual. Pendapat ini selaras dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Johnson (dalam Gainau, 2009) yang menunjukkan bahwa
individu yang mampu membuka diri akan dapat mengungkapkan diri dengan tepat.

Kenyataannya, tidak semua kaum gay tidak diterima oleh masyarakat, seperti contoh
penulis terkenal Dede Oetomo dan perancang busana Oscar Lawalata. Contoh kasus
tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua kasus homoseksual ditolak oleh masyarakat,
tetapi juga tidak semua bisa diterima. Penerimaan masyarakat terhadap kaum
homoseksual, khususnya gay, tergantung pada kemampuan individu tersebut dalam
menyesuaikan diri secara sosial. Agar tetap diterima masyarakat, kaum gay cenderung
menutup diri bahkan berusaha menutupi jati dirinya dengan berpura pura tidak
mengalami keabnormalan.

Penelitian yang khusus menggali mengenai homoseksualitas cukup sulit dikarenakan


norma agama yang berkembang dan mengakibatkan masyarakat untuk enggan
membahas homoseksual karena dosa (Anderson, 2003). Penelitian dengan pendekatan
fenomenologis ini bertujuan untuk memahami dan mengeksplorasi pengalaman pria
homoseksual menuju coming out. Penelitian ini berusaha memahami pengalaman
pencetus subjek menjadi gay, relasi subjek dengan lingkungan sosialnya, dampak yang
mungkin muncul dari kondisi orientasi seksualnya dalam lingkungan sosial, serta cara
subjek menghadapi kondisi orientasi seksualnya.

Metode

Studi fenomenologis dalam penelitian ini secara khusus menacu pada pendekatan
Interpretative Phenomenolgical Analysis (IPA). IPA merupakan suatu metode
pendekatan fenomenologis yang sistematis untuk memahami makna dari pengalaman
individu dalam sebuah konteks secara lebih mendalam. Pada penelitian ini, peneliti akan
memaparkan deskripsi mengenai proses analisis secara lebih rinci, sistematis, dan
mendalam. Metode pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi.

Fokus penelitian ini adalah mengetahui pengalaman gay menuju coming out. Fokus
penelitian ini dapat digali berdasarkan aspek yang telah dirumuskan yaitu penampilan
nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi.

Pemilihan subjek penelitian ini adalah metode sampel bola salju (snowball). Subjek
penelitian ditentukan berdasarkan sampel teoretis yang sesuai dengan tujuan penelitian
dan pengalaman subjek selama menjadi seorang gay beberapa kriteria subjek diantaranya
sebagai berikut: (1) Jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang laki-laki yang
memiliki ketertarikan orientasi seksual dengan laki-laki (gay); (2) Mengidentifikasikan
dirinya menjadi seorang gay minimal 1 tahun.; (3) Subjek sudah mengungkapkan dirinya
sebagai gay pada minimal satu anggota keluarga dan lingkungan sekitar.

Hasil dan pembahasan


Hasil penelitian ini menunjukkan adanya beberapa unit pengalaman sebagai berikut:

Faktor pendukung menjadi gay


Mulanya ketiga subjek mengidentifikasi diri mereka menyukai sesama jenis. Ketiga
subjek mulai mengidentifikasi sejak remaja. Menurut Santrock (2012) masa remaja
adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, serta
masa mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seksual. Pendapat Santrock sesuai
dengan realita yang dihadapi oleh ketiga subjek. Subjek O yang merasakan ketertarikan
seksual pada laki-laki semenjak SMP pada teman sekolahnya, subjek B tertarik melihat
laki-laki yang lebih dewasa dan berbulu, serta subjek S yang terangsang secara seksual
pada pemain laki-laki telenovela. Selain itu, masa remaja yang merupakan masa fantasi
seksual pun dirasakan oleh subjek O yang mengalami mimpi basah berasama dengan
laki- laki. Berbeda dengan subjek S mengidentifikasi dirinya memiliki kenyamanan
bermain dengan perempuan dan memainkan permainan perempuan sehingga kurang
menghabiskan waktu bermain dengan laki-laki.

Ketiga subjek tidak memiliki kedekatan dengan ayah, ayah subjek B dan S sudah
meninggal sejak kedua subjek usia kanak-kanak, sedangkan subjek O tidak memilik
kelekatan dengan ayah dan cenderung membenci ayah. Menurut Freud (dalam Hidayana
dkk, 2004) sebagai anak laki-laki, sudah seharusnya mengimitasi secara kuat dengan
ayahnya dan memilih kualitas kepribadian yang dimiliki ayah sebagai laki-laki. Menurut
Bandura (dalam Cervone& Pervin, 2012) individu dapat belajar hanya dengan mengamati
perilaku individu lain. Individu yang diamati disebut model. Pembelajaran observasional
ini dikenal dengan pemodelan. Bandura menyampaikan bahwa individu dapat
membentuk representasi mental internal pada perilaku yang telah diobservasi, kemudian
dapat mempergunakan representasi mental tersebut pada lain waktu. Contohnya individu
dapat belajar apakah jenis perilaku diterima dan tidak diterima dalam latar sosial yang
berbeda mengamati perilaku-perilaku dari individu lain. Konsep “imitasi” umumnya
meimplikasikan penggandaan sebenarnya, namun pada pemodelan individu akan
mempelajari aturan secara umum dengan mengamati individu lain dan selanjutnya dapat
menggunakan aturan tersebut untuk mengarahkan diri ke beragam jenis perilaku di masa
yang akan datang.

Imitasi terhadap perilaku ibu pun dialami oleh subjek B yang memiliki kedekatan dengan
ibu. Meskipun subjek B tidak memiliki konflik dengan ayah seperti yang dialami oleh
subjek O, namun subjek B sudah tidak memiliki ayah sejak subjek B berusia 4 tahun,
sehingga tidak ada sosok ayah yang dapat diimitasi untuk mencerminkan kualitas
kepribadian laki-laki. Imitasi kepribadian berpindah pada ibu yang tercermin pada
perilaku subjek B yang mengikuti ibunya menggunakan kosmetik. Subjek O yang
membenci sosok ayah dan merasa iba terhadap ibu sehingga subjek O kurang dapat
mengimitasi kualitas kepribadian yang dimiliki oleh ayah, sehingga subjek O lebih dapat
mengimitasi kualitas kepribadian ibu.

Setelah mengidentifikasi sebagai penyuka sesama jenis, ketiga subjek mengalami konflik
internal dikarenakan menyukai sesama jenis adalah hal yang tidak wajar dalam
masyarakat seperti perasaan berdosa dan rasa bersalah. Perasaan ini menimbulkan
kebingungan identitas pada diri ketiga subjek sehingga ketiga subjek berusaha untuk
mencari pemahaman mengenai orientasi seksualnya, baik melalui ilmiah maupun agama.
Namun, ketiga subjek tidak berusaha untuk meninjau ulang hasil temuan pemahamannya
pada individu yang lebih ahli sehingga pemahaman yang dimiliki keliru. Pemahaman
yang keliru contohnya dalam hal agama dan hukum ini memperkuat persepsi ketiga
subjek untuk mengidentifikasi diri sebagai homoseksual.

Ketiga subjek pun memiliki hambatan untuk menjadi heteroseksual. Ketiga subjek
ditemukan memiliki ketidakmampuan dalam mengontrol dorongan seksual.
Subjek B mengalami kesulitan mengontrol untuk tidak melakukan onani selama kurang
dari 6 bulan dan berhubungan dengan gay menjadikannya faktor sulit untuk merubah
kebiasaan homoseksual. Begitu pun dengan subjek S yang berusaha tidak berhubungan
dengan gay melalui akun palsu yang dibuat tidak dapat mengontrol dorongan untuk
kembali berhubungan dengan gay. Subjek O yang merasakan kenikmatan tersendiri
bersetubuh dengan laki-laki pun merasa tak kuasa menahan dorongan seksual dan
mempertahankan bersama dengan laki-laki. Selaras dengan subjek O, subjek B pun tidak
berniat untuk menjadi heteroseksual dan tetap mempertahankan menjadi homoseksual.
Ketidakmampuan subjek S dalam mengontrol dorongan seksual dikarenakan persepsi
kebutuhan seksual yang harus terpenuhi sehingga menjadikan subjek S seolah tak
berdaya mengontrol dorongan seksual.

Pengalaman coming out

Pengalaman berikutnya setelah ketiga subjek mengidentifikasi diri sebagai homoseksual


dan mengetahui potensi faktor penyebab menjadi homoseksual, ketiga subjek mengalami
proses pembentukan identitas hingga akhirnya memutuskan untuk coming out atau
mendeklarasikan dirinya sebagai homoseksual pada keluarga dan lingkungan sekitar.

Pembentukan identitas homoseksual pada subjek O tidak terlepas dari pengalaman subjek
O berelasi romantis dengan perempuan dan laki-laki. Terdapat perbedaan yang signifikan
pada area afektif antara laki-laki dan perempuan, subjek O lebih merasakan ketergugahan
seksual lebih pada laki-laki dibandingkan perempuan. Subjek B yang merasa lebih
feminin pun merasakan mendapat dukungan teman sebaya untuk lebih nyaman dengan
diri sekarang dan tidak mendengarkan pendapat individu lain untuk berubah
menunjukkan sifat maskulinitas. Hasil penelitian yang dilakukan Dewi (2014)
menyatakan bahwa teman sebaya yang tidak mengolok-ngolok membuat individu berani
menerima dan mengungkapkan identitas seksualnya. Dukungan teman sebaya yang
didapat subjek B pun selaras dengan persepsi subjek O bahwa homoseksualitas adalah
sama dengan heteroseksualitas. Persepsi diterima oleh lingkungan ini berdampak pada
perasaan bangga terhadap seksualitas yang dirasakan oleh subjek B. Cukup berbeda
dengan subjek O dan subjek B yang memiliki persepsi positif terhadap homoseksualitas,
subjek S mengalami pembentukan identitas homoseksual karena coba-coba membuat
akun media sosial palsu sebagai bentuk pelampiasan dari konflik keluarga karena
keluarga tidak memberikan perhatian dan bimbingan yang cukup sebagai kebutuhan dasar
pada subjek S. Aktivitas membuat akun media sosial palsu yang dilakukan oleh subjek S
merupakan reinforcement perilaku homoseksual yang datang di saat yang tidak tepat.

Pengalaman ketiga subjek untuk menetapkan identitas sebagai homoseksual


dipengaruhi oleh faktor keluarga, tidak dapat mencintai perempuan, dan sudah cukup
puas menerima kondisi diri sebagai homoseksual. Pembentukan identitas ini
mempengaruhi individu untuk dapat membuka dirinya pada keluarga dan lingkungan.
Ketiga subjek memutuskan untuk coming out setelah adanya perubahan pola pikir setelah
menerima kondisi diri sebagai homoseksual. Pengalaman yang dialami ketiga subjek
tidak berhenti sampai pada keputusannya untuk mendeklarasikan diri sebagai
homoseksual, namun ketiga subjek harus menghadapi realita bahwa ketiga subjek adalah
makhluk sosial yang berinteraksi dengan banyak individu lain di luar diri. Realita sosial
yang dihadapkan pada keputusan ketiga subjek untuk coming out memberikan berbagai
reaksi yang berbeda.

Persepsi terhadap reaksi lingkungan

Ketiga subjek memiliki persepsi diterima dan ditolak oleh masyarakat. Reaksi lingkungan
yang dialami oleh ketiga subjek menimbulkan tekanan tersendiri bagi subjek. Stressor
lingkungan yang dapat ditemui pada ketiga subjek adalah bullying. Selain menyadari
adanya bullying, ketiga subjek pun menyadari bahwa keluarga pun ikut merasakan
tekanan dari lingkungan. Persepsi terhadap reaksi lingkungan disadari oleh ketiga subjek
bahwa tidak semua masyarakat dapat menerima keberadaan homoseksual, namun tidak
semua pun menolak keberadaan homoseksual. Keluarga sebagai lingkungan terkecil
belum dapat menerima keberadaan anggota keluarga dengan kondisi homoseksual,
sedangkan keberagaman respon yang diberikan lingkungan menyebabkan kecemasan
pada ketiga subjek untuk dapat mawas diri dalam bermasyarakat dalam lingkungan.
Persepsi terhadap lingkungan merupakan stressor bagi ketiga subjek dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Stressor yang dihadapi oleh ketiga subjek mengarahkan ketiga
subjek untuk dapat mengatasi stres demi dapat bertahan dalam masyarakat.

Coping stress

Slamet dan Markam (2008) menjelaskan sepanjang masa perkembangan dari lahir hingga
dewasa, kebutuhan-kebutuhan individu tidak selalu dapat terpenuhi dengan lancar.
Hambatan pun seringkali terjadi dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif, dan keinginan,
dan bila tidak terpenuhi maka dapat menimbulkan stres. Individu bereaksi secara berbeda
terhadap stres tergantung berbagai faktor psikologis seperti cara individu memaknai
peristiwa yang menimbulkan stres tersebut. Salah satu cara mengatasi stres adalah
dengan mekanisme pertahanan diri seperti yang dilakukan oleh ketiga subjek.
Mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh ketiga subjek adalah rasionalisasi,
denial, proyeksi, dan represi.

Coping stress yang lain dilakukan oleh ketiga subjek adalah penyangkalan. Menurut
Lazarus dan Folman (Nevid dkk, 2005) penyangkalan merupakan suatu contoh coping
yang berfokus pada emosi. Pada coping yang berfokus pada emosi, individu akan
berusaha segera mengurangi dampak stressor dengan menyangkal

adanya stressor atau menarik diri dari situasi.

Menurut Taylor (2009) beberapa individu akan mengatasi stres dengan cara menghindar
atau melawan stress secara aktif seperti yang dilakukan ketiga subjek yang melakukan
approach coping. Coping ini adalah usaha yang dilakukan ketiga subjek dalam
menghadapi stres dengan cara melawan stressor atau memberikan perilaku aktif untuk
mengurangi tekanan stressor. Menurut Taylor (2009) coping yang berfokus pada masalah
melibatkan usaha yang lebih berguna untuk mengatasi kondisi stres yang berbahaya,
mengancam, atau menantang individu.

Usaha lain yang dilakukan ketiga subjek adalah dengan mengalihkan stressor seperti
dengan bekerja, mempersiapkan hari tua, dan menulis buku harian. Menurut Taylor
(2009) beberapa individu akan mengatasi stress dengan cara menghindar atau melawan
stress secara aktif seperti yang dilakukan ketiga subjek yang melakukan avoidant coping.
Usaha ketiga subjek dalam mengatasi stres dengan cara menghindari stressor. McDavitt
dkk (2010) menjelaskan kaum homoseksual memiliki kecenderungan untuk mengabaikan
pernyataan yang memprovokasi mereka. Penelitian yang dilakukan Mohr dan Fassinger
(2003) menjelaskan bahwa sikap menghindar terutama sikap pada orientasi seksual
dipengaruhi oleh pola asuh orangtua mengenai model kelekatan yang dibangun, perlu
diingat bahwa ketiga subjek tidak memiliki kelekatan dengan sosok ayah.

Ketiga subjek pun sepemahaman untuk tidak membuka diri bagi individu yang jelas
menolak homoseksualitas untuk mencegah terjadinya konflik. Subjek B pun belum
coming out pada ibunya karena belum siap dengan potensi stressor yang akan terjadi,
sedangkan subjek S jelas menyembunyikan identitas pada heteroseksual karena
menganggap bahwa bila ingin berteman bisa berfokus pada individunya saja, bukan pada
seksualitasnya sehingga subjek S tidak perlu membuka dirinya sebagai homoseksual.
Subjek B dan S memiliki pendapat untuk menghindari perbedaan pendapat guna
meminimalisir potensi terjadinya konflik. Subjek O, dengan yakin bahwa tidak
membutuhkan dukungan sosial untuk bertahan sebagai homoseksual di tengah
masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh McDavitt dkk (2010) pun menyatakan bahwa
kaum homoseksual akan menetapkan beberapa perilaku untuk melindungi diri dari
heteroseksual. Penelitian tersebut mengadaptasi pembatasan keadaan untuk
mendeskripsikan perilaku melindungi diri seperti berhenti berbicara pada individu yang
jelas menolak kebaradaan homoseksual atau mengambil langkah aktif untuk menjauhi
mereka daripada berteman dengan mereka. Pernyataan ini sesuai dengan usaha subjek S
untuk memutuskan kontak dengan teman lama, membatasi pergaulan dan memfokuskan
untuk berkomunikasi dengan kaum homoseksual

Faktor pendukung individu menjadi homoseksual adalah pola asuh yang salah pada
keluarga, tidak adanya role model untuk mengimitasi kualitas kepribadian pria, serta
pemahaman yang kurang tepat mengenai seksualitas. Pembentukan identitas yang
dialami ketiga subjek memutuskan untuk coming out setelah adanya perubahan pola
pikir setelah menerima kondisi diri sebagai homoseksual.Persepsi terhadap reaksi
lingkungan merupakan stressor bagi ketiga subjek dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Stressor yang dihadapi oleh ketiga subjek mengarahkan ketiga subjek untuk dapat
mengatasi stres demi dapat bertahan dalam masyarakat.Persepsi subjek terhadap reaksi
lingkungan mendorong subjek untuk melakukan coping stress atau cara mengatasi
tekanan yang dihadapi. Coping stress yang dilakukan ketiga subjek diantaranya
mekanisme pertahanan diri, menghindar, mengalihkan perhatian, menyembunyikan
identitas, dan membatasi pergaulan sebagai usaha untuk berinteraksi dengan masyarakat.
FENOMENOLOGI ORANG TUA DALAM MEMILIH JURUSAN TERHADAP ANAK
DI SEKOLAH (STUDI KASUS DI SMA NEGERI 2 PONOROGO)

Latar belakang

Penelitian ini tentang fenomenologi orang tua dalam pemilihan jurusan terhadap anak di sekolah
(studi kasus di SMA Negeri 2 Ponorogo). Menurut KI Hajar Dewantara "Pendidikan adalah
suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya adalah bahwa pendidikan
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup setingi-tingginya."(Hasbulloh,
2012:06). Membahas tentang SMA tidak lepas dari pemilihan jurusan, biasanya jurusan yang ada
adalah Ilmu Penetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa serta Agama.
Namun di sekolah SMA Negeri 2 Ponorogo hanya memiliki pilihan jurusan IPA atau IPS. SMA
Negeri 2 Ponorogi merupakan salah satu sekolah unggulan di Ponorogo. Pengambilan keputusan
dalam pemilihan jurusan dibutuhkan peran orang tua, karena rentang umur siswa SMA adalah
16-18 tahun dimana emosi anak bisa dikatakan labil, sehingga tidak mudah dalam memilih
jurusan.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan prespektif teori fenomenologi
Alfred Schutz. Perspektif yang digunakan yaitu fenomenologi A. Schutz dengan fokus teori
because of motive dan in order to motive. Teori in digunakan untuk melihat motif orang tua
dalam pemilihan jurusa di sekolah terhadap anak. Subyek penelitian ini yaitu orang tua/wali
murid SMA 2 Ponorogo.

Hasil dan Pembahasan

Tindakan pemilihan jurusan dapat dipahami ketika dapat melihat motif pemilihan jurusan
ini. Schutz mengungkapkan adanya dua motif yang dilakukan oleh aktor dalam melakukan
tindakan sosial yaitu motif sebab (because of motive) dan motif tujuan (in order to motive). Motif
sebab (because of motive) adalah motif yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan serta
motif ini merujuk pada konteks situasi di masa lampau. Sedangkan motif tujuan (in order to
motive) adalah motif tujuan yang ingin di capai dalam melakukan tindakan. Motif tujuan ini
merajuk pada suatu keadaan atau situasi di masa yang akan datang.

Because of motive atau motif sebab ini merupakan alasan individu melakukan tindakan
yang merujuk pada pengalaman masa lalu yang dijadikan petunjuk untuk mencapai tujuan.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa motif atau alasan memilih jurusan IPA atau IPS. Faktor
lingkungan keluarga, keluarga memiliki pengaruh yang besar untuk mempengaruhi anak dalam
memilih jurusan selain profesi orang tua dan latar belakang Pendidikan orang tua. Keluarga
menjadi panutan untuk anak bertindak. Dalam hal ini, memilih jurusan IPA merupakan
ketertarikan atas dasar sugesti dari lingkungan keluarga. Faktor lingkungan masyarakat, opini
publik menjadi salah satu pertimbangan yang mempengaruhi seseorang dalam memilih sebuah
keputusan. Solidaritas pertemanan sesama wali murid muncul kebiasaan saling memberikan
informasi, pengertian, manfaat serta tujuan dalam memilih jurusan tersebut.

In order to motiv atau motif tujuan dalam penelitian ini adalah meraih kesuksesan,
dengan memilih jurusan yang tepat dapat membuka jalan untuk mencapai kesuksesan. Maka dari
itu orang tua ikut andil dalam memilihkan jurusan. Eksistensi di lingkungan masyarakat, Selain
untuk membantu anak dalam meraih kesuksesan. Tindakan ini memunculkan keinginan
memperlihatkan bahwa keluarganya berpendidikan dan dapat meraih kesuksesan dengan jurusan
yang dipilihkan tersebut. Ada kebahagian tersendiri yang dirasakan oleh orang tua jika
lingkungan sekitar mengakui eksistensinya.
Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan adalah Penjurusan juga dimaksudkan sebagai upaya untuk
memperkenalkan dan mengarahkan peserta didik sesuai minat dan akademiknya. peran serta
orang tua sangatlah membantu dalam pemilihan jurusan karena pengambilan keputusan ini
mengantarkan ke masa depan. Keputusan ini merupakan awal dari meraih kesuksesan. Dalam
pengambilan keputusan dipengaruhi oleh motif-motif sebab maupun tujuan yang ingin diraih.
Selain itu orang tua juga menciptakan pemaknaan tersendiri tentang jurusan IPA dan IPS.
Penelitian ini menunjukan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi orang tua memilih
jurusan. Faktor lingkungan keluarga yang mempengaruhi orang tua dalam memilih jurusan ialah
latar belakang keluarga, sedangkan faktor lingkungan masyarakat yaitu minimnya informasi
tentang penjurusan bagi beberapa orang tua yang akan membantu anaknya memilih jurusan.
Membuat orang tua mencari informasi melalui teman di lingkungan sekitar rumah, sekolah, serta
opini tentang penjurusan yang berkembang di masyarakat. Selain itu terdapat tujuan yang yang
diharapkan oleh orang tua yaitu, meraih kesuksesan dan eksistensi di lingkungan masyarakat.
Dalam penelitian ini, makna pemilihan juurusan IPA dan IPS yang dimaknai oleh orang tua
bergantung pada pengalaman orang-orang terdahulu seperti keluarga ataupun teman.
Pengetahuan yang didapatkan juga berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.
Tingkat pendidikan individu juga akan mempengaruhi proses pemaknaan terhadap orang tua
dalam pemilihan jurusan terhadap anaknya di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai