Anda di halaman 1dari 7

AL-‘ALIIM Yang Maha Mengetahui

Kata ‘Alim terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti “menjangkau sesuatu seusai
dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf-huruf “äin”,
“lam”, “mim” dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak
menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” (alamat) yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau
nama jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ïlmu” demikian juga halnya, ia diartikan sebagai suatu
pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai “’’Alim” atau “’Alim” Karena pengetahuan-Nya
yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil apapun.

Dalam Al-Qurán ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan akar kata yang sama dengan Asma’AlHusna
yang dibahas ini. Kata “’Alim” dalam AL-Qurán ditemukan sebanyak 166 kali. Di samping itu terdapat pula sekian
banyak kata “Alim: yang menunjuk kepada Allah SWT, sebagaimana banyak pula yang menunjuk-Nya dengan
menggunakan redaksi “A’lam” (Lebih Mengetahui). Banyaknya ayat serta beraneka ragamnya bentuk yang digunakan itu,
menunjukkan batap luas dan banyak ilmu Allah SWT.

Ilmu-Nya mencakup seluruh wujud. “Ïlmu Tuhanku meliputi segala sesuatu” (Q.s Al-An’am 6:80). “Pada sisi Allah
kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir bijipun
dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)” (Q.s. Al-An’am 6:59).

Segala aktivitas lahir dan bathin manusia diketahui-Nya. “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati”(Q.s. Ghafir 40:19), bahkan jangankan rahasia, yang “lebih tersembunyi dari rahasia”, yakni hal-
hal yang telah dilupakan oleh manusia dan yang berada di bawah sadarnyapun diketahui oleh Allah SWT. “Jika kamu
mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi
(dari rahasia)” (Q.s Thaha 20:19).

Apapun yang terjadi, telah diketahui-Nya sebelum terjadi, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.s. Al-Hadid 57:22).

Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya, “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan
di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (Q.s.
Al-Baqarah 2:255).

Allah “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar manusia melalui upaya mereka dan “mengajar apa yang mereka tidak
diketahui”, tanpa usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya. Begitu informasi-Nya dalam Q.s. Al-Alaq.

Manusia tentu saja dapat meraih ilmu berkat bantuan Allah, bahkan istilah “’Alim” pun dibenarkan Al-Qur’an untuk
disandang manusia (Q.s. Az-Zariyat 51:28) tetapi betapa pun dalam dan luasnya ilmu manusia, terdapat sekian perbedaan
antara ilmunya dan ilmu Allah.

Pertama, dalam hal objek pengetahuan; Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tidak mungkin dapat mendekati
pengetahuan Allah. Pengetahuan mereka hanya bagian kecil dari setets samudera ilmu-Nya. “Tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan seidkit” (Q.s. Al-Isra 17:85). “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk
(menulis)kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Q.s. Al-Kahfi 18:109).

Kedua, kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat mencapai kejelasan ilmu Allah. Pensaksian manusia
yangpaling jelas terhadap sesuatu, hanya bagaikan melihatnya di balik tabir yang halus, tidak dapat menembus objek yang
disaksikan sampai ke batas terakhir.

Ketiga, ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya. Sedangkan ilmu
manusia dihasilkan dari adanya sesuatu. Untuk hal yang ketiga ini, Al-Ghazali member contoh dengan pengetahuan
pemain catir dan pengetahuan pencipta permainan catur. Sang pencipta adalah penyebab adanya catur, sedang keberadaan
catur adalah sebab pengetahuan pemain. Pengetahuan Pencipta mendahului pengetahuan pemain, sedang pengetahuan
pemain diperoleh jauh sesudah pengetahuan pencipta catur. Demikianlah ilmu Allah dan ilmu manusia.

Keempat, ilmu tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui-Nya. Itu berarti tidak ada kebetulan di sisi Allah,
karena pengetaaahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi dan saat kejadiannya sama saja di sisi-Nya.

Kelima, Allah mengetahui tanpa alat, sedang ilmu manusia diraihnya dengan panca indra, akal dan hatinya, dimana
semuanya didahului oleh ketidaktahuan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur dengan menggunakannya
untuk meraih ilmu)”. (Q.s. An-Nahl 16:78).

Keenam, ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya. Tuhanmu sekali-kali tidak lupa. Q.s. Maryam
19:64.

Manusia memperoleh kehormatan karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya. “Dia (Allah) mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman,
‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.s. Al-Baqarah 2:30-31).

Dalam meneladani sifat Al’Alim, manusia hendaknya terus menerus berupaya menambah ilmunya. Rasul Saw setelah
diperintahkan pada wahyu pertama untuk membaca, diperintahkan juga untuk berdoa. “(Bermohonlah wahai Muhammad)
Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.s. Thaha 20:114).

Dalam upaya tersebut manusia dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi yang dianugerahkan
Allah kepadanya – mata, telinga, akal dan kalbu – untuk meraih sebanyak mungkin ilmu yang bermanfaat, bukan hanya
menyangkut “seluruh benda-benda” –yakni “seluruh alam raya” – yang telah dianugerahkan Allah potensi untuk
mengetahuinya sejak kelahiran manusia pertama, tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris yang hanya dapat diraih
dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang hakiki tentang sesuatu adalah pengetahuan yang menimbulkan
dampak dalam kehidupan. Karena itu Ja’far Ash-Shadiq misalnya menggarisbawahi bahwa, “pengetahuan, bukanlah apa
yang diperoleh melalui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah cahaya yang dinampakkan Tuhan ke dalam hati orang-
orang yang dikehendaki-Nya”

Pengetahuan atau mengetahui sesuatu nenurut Rasul Saw bukan hanya terbatas sampai pada kemampuan
mengekpresikannya dalam bentuk kata tetapi ada pula yang menyentuh hati sehingga melahirkan amal-amal yang sesuai
dengan petunjuk-petunjuk Ilahi. Pengetahuan dalam arti yang kedua inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesadaran
akan jati diri manusia sebagai makhluk yang dhaif di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Ilmu seseorang harus membawanya kepada iman, selanjutnya ini mengantarnya kepada keikhlasan dan ketundukan
kepada Allah. “Supaya orang-orang yang yang mempunyai ilmu mengetahui bahwa dia (Al-Qur’an) adalah benar-benar
dari Tuhanmu, lalu mereka beriman, kemudian hati mereka tunduk kepada-Nya” (Q.s. Al-Haj 22:54). Demikian terlihat,
ilmu mengantar kepada iman dan iman menghasilkan ketundukan kepada Allah SWT. “Sesungguhnya orang-orang yang
diberi pengetahuan sebelumnya apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud. Mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti terlaksana’, dan mereka
menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu”. (Q.s. Al-Isra 17:107-108-109).

Ilmu juga harus mengantar ilmuwan kepada amal dan karya-karya nyata bermanfaat. Rasul Saw berdoa memohon
perlindungan Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari diri (perut) yang
tidak kenyang dan dari doa yang tidak diterima” (H.R. Muslim).

Setiap ilmuwan dituntut untuk memberi nilai-nilai spiritual bagi ilmu yang diraihnya, sejak motivasi hingga tujuan dan
pemanfaatannya. Memang boleh jadi tidak berbeda cara dan alat-alat meraih ilmu antara seorang dengan yang lain,
hakekat ilmiahpun yang mereka raih tidak berbeda karena cara, alat dan hakekat ilmiah bersifat universal dan bebas nilai;
tetapi motivasi, tujuan dan pemanfaatan ilmu, bagi ilmuwan yang meneladani Allah dalam sifat-Nya, tidaklah bebas nilai,
ia harus “Bismi Rabbika”.

“Siapa yang mencari ilmu untuk memamerkan diri/menunjukkan kebolehan di hadapan cendekiawan, atau untuk
berbantah-bantahan dengan yang jahil, maka dia di neraka” (Q.s. At-Thabarany dari Ummi Salamah).

Tidak etis melupakan peranan Allah atau menutup-nutupinya dalam setiap peristiwa alam, apalagi mengingkarinya.
Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya atau karena unsur ini dan kondisi itu, -kalaupun
harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak mengingatkan peranan Allah, karena yang demikian dapat merupakan
salah satu bentuk kedurhakaan terhadap Allah. Hukum sebab dan akibat, jangan pisahkan ia dari penyebab pertamanya
yakni Allah SWT, karena jika dipisahkan, ia merupakan pengingkaran dan kekufuran paling sedikit dalam arti mengkufuri
nikmat-Nya.

Suatu ketika Rasulullah Saw mengimani sahabat-sahabat beliau shalat subuh di Hudaibiyah, setelah pada malamnya hujan
turun. Seusai shalat beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda, “Tahukah kamu apa yang dikatakan Tuhan
(Pemelihara) kamu?”. Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”, “Allah berfirman – sabda Rasul
menjelaskan – ‘pagi (ini) ada hamba-Ku yang percaya pada-Ku dan kafir dan ada juga yang kafir pada-Ku dan percaya
(pada selain-Ku). Adapun yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan atas anugerah Allah dan rahmat-Nya, maka
itulah yang percaya pada-Ku serta kafir terhadap bintang’, sedangkan yang berkata, “kami memperoleh curahan hujan
oleh bintang ini dan itu, maka itulah yang kafir pada-ku dan percaya pada bintang”. (H.R. Al-Bukhari melalui Zaid bin
Khalid Al-Juhani).
Al-Khabir

"Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi Dia mencapai segala indera. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-
An’am: 103)

Al-Khabir berasal dari akar kata kha-ba-ra, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan
kelemahlembutan. Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55 kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi
yang digandengkan dengan Asma’ul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim al-Khabiir, Al-Lathiif al-Khabiir, Al-Khabiir al-
Bashiir, dan Al-Aliim al-Khabiir.

Dalam Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Alim dengan Al-Khabir itu terjemahannya sama, yaitu
Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan arti yang signifikan. Al-Alim mencakup pengetahuan
Allah tentang sesuatu dari sisi-Nya, sementara Al-Khabir adalah pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu yang
diketahui. Jika yang pertama (Al-Alim) tekanannya lebih kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabir)
justru yang menjadi titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, di mana manusia tidak bisa mengetahui secara pasti,
maka rangkaian sifat Allah yang digunakan untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut
ini: “Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Demikian juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang hanya Dia yang
mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Alii al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Lain halnya ketika al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat atau adzab, rangkaian kata yaang
dipakai adalah Al-Hakiim al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu,
maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata. Jika Allah menimpakan
suatu?kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia
mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian
hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 16-18).

Rangkaian kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku makhluq-Nya yang
menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan
di bumi; bagi-Nya segala puji di akherat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang
merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS.
Saba: 1-2).

Pasangan lainnya adalah Al-Lathiif al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat
rahasia, sehingga indera biasa tak bakal mengetahuinya. Allah berfirman: “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia
mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 103).

Rangkaian terakhir adalah Al-Khabiir al-Bashiir, yang dipakai al-Qur’an untuk menggambarkan pengetahuan Allah
tentang segala kebutuhan hamba-hamba-Nya. Allah berfirman: “Sekiranya Allah melapangkan rezeki bagi hamba-hamba-
Nya, niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya sesuai dengan ukuran yang di-
kehendaki-Nya; terhadap hamba-hamba-Nya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).
As-Sami’

As-Sami’ (‫ )السَّمِ يع‬adalah salah satu Asma’ullah al-Husna. Allah l menyebut nama-Nya yang Agung ini dalam beberapa
ayat Al-Qur’an semisal dalam firman-Nya:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (perkaranya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Mujadilah:1)
Rasulullah n juga menyebut nama Rabbnya dalam beberapa haditsnya sebagaimana dalam riwayat berikut.
Dari Abu Musa al-Asy’ari z, ia berkata:
ِ ‫ كنَّا َم َع النَّبِي‬n ‫علَ ْونَا َكب َّْرنَا فَقَا َل النَّبِي‬ َ ‫سف ٍَر فَكنَّا إِذَا‬
َ ‫ فِي‬n ‫ي‬ َ ‫يرا ث َّم أَت َى‬
َّ َ‫عل‬ ً ‫ص‬ َ َ‫ص َّم َو ََل غَائِبًا َولَك ِْن تَدْعون‬
ِ َ‫سمِ يعًا ب‬ َ َ ‫علَى أ َ ْنفسِك ْم فَإِنَّك ْم ََل تَدْعونَ أ‬ َ ‫اربَعوا‬ْ ‫أَي َها النَّاس‬
َ ‫علَى َك ِل َم ٍة ه‬
‫ِي‬ َ َ‫وز ْال َجنَّ ِة أ َ ْو قَا َل أ َ ََل أَدلك‬ َّ ‫َّللاِ بْنَ قَي ٍْس ق ْل ََل َح ْو َل َو ََل ق َّوة َ ِإ ََّل ِب‬
ِ ‫اَّللِ فَإِنَّ َها َك ْن ٌز مِ ْن كن‬ َّ ‫َوأَنَا أَقول فِي نَ ْفسِي ََل َح ْو َل َو ََل ق َّوة َ ِإ ََّل ِب‬
َ ‫اَّللِ فَقَا َل يَا‬
َّ َ‫ع ْبد‬
َّ ْ
َّ ِ‫وز ال َجنَّ ِة ََل َح ْو َل َو ََل ق َّوة َ إَِل ب‬
ِ‫اَّلل‬ ِ ‫ َك ْن ٌز مِ ْن كن‬.
“Ketika kami safar bersama Rasulullah, jika kami menaiki jalanan menanjak, maka kami mengucapkan takbir.1 Beliau
berkata, ‘Wahai manusia kasihilah diri kalian, karena kalian tidak menyeru Dzat yang tuli atau jauh. Akan tetapi, Ia Maha
Mendengar dan Maha Melihat.’ Lalu beliau n mendatangiku, sementara aku sedang berucap dalam hatiku, ‘La haula wala
Quwwata illa billah.’ Beliau pun berkata, ‘Wahai Abdullah bin Qais (Abu Musa), ucapkan La haula wala quwwata illa
billah. Sesungguhnya hal itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga’, atau beliau berkata, ‘Tidakkah kamu
mau saya tunjuki salah satu harta kekayaan di surga? (Yakni) la haula wala quwwata illa billah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari
no. 5905)
As-Sa’di t mengatakan bahwa di antara asma’ul husna-Nya adalah as-Sami’, yaitu yang mendengar segala suara dengan
berbagai bahasa dan beragam kebutuhan. Yang rahasia bagi-Nya adalah nyata, yang jauh bagi-Nya adalah dekat. (Tafsir
Asma’ullah al-Husna)
Pendengaran Allah l ada dua macam:
Pertama: pendengaran-Nya yang umum terhadap seluruh suara yang lahir dan batin, yang tersembunyi dan yang jelas,
sehingga Allah l meliputinya seluruhnya secara sempurna.
Kedua: pendengaran yang khusus, yaitu pendengaran beserta ijabah dari-Nya. Pendengaran bagi orang-orang yang berdoa
kepada-Nya serta hamba-hamba yang beribadah kepada-Nya. Maka Allah l akan mengijabahi mereka dan memberi
mereka pahala seperti dalam firman-Nya:

“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami telah mengikuti rasul, karena itu
masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (Ali Imran: 35)
dan firman-Nya melalui lisan Ibrahim q, kekasih-Nya:

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku,
benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim: 39)
Termasuk dalam hal ini ucapan seorang yang shalat, “Sami’allahu liman hamidah” (yakni Allah l mendengar dan
mengijabahi orang yang memuji-Nya). (Tafsir Asma’llahul Husna karya as-Sa’di dan Syarah Nuniyyah karya al-Harras)
Al-Harras t menjelaskan bahwa makna as-Sami’ adalah yang mendengar seluruh suara yang tersembunyi atau yang
terang-terangan sehingga tidak ada yang tersembunyi sedikit pun darinya. Bagaimanapun tersembunyinya seluruh suara,
bagi pendengaran-Nya jauh dekat sama saja. Pendengaran-Nya mendengar setiap suara, tidak tersamar baginya dan tidak
tercampur.
Dalam hadits Abu Hurairah z, ia mengatakan bahwa Nabi n membaca ayat ini:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa’:58)
Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat, lalu beliau meletakkan ibu jarinya pada telinganya dan jari
telunjuknya pada matanya.” (Sahih, HR. Abu Dawud, “Kitab as-Sunnah Bab fil Jahmiyyah”. Disahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albani)
Makna hadits ini adalah Allah l mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan mata. Hadits ini menjadi bantahan
terhadap aliran Mu’tazilah dan sebagian aliran Asy’ariyyah yang meyakini bahwa pendengaran Allah l artinya
pengetahuan Allah l terhadap sesuatu yang terdengar, sedangkan penglihatan Allah l artinya pengetahuan-Nya terhadap
sesuatu yang dapat dilihat. Tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan penafsiran yang salah. Karena masing-masing
dari pendengaran dan penglihatan adalah makna yang lebih dari sekadar pengetahuan. Bisa jadi ada pengetahuan tanpa
penglihatan dan pendengaran. Seorang yang buta mengetahui adanya langit, sementara itu ia tidak melihatnya. Demikian
pula orang tuli mengetahui adanya suara, sementara itu ia tidak mendengarnya. Lebih aneh lagi pendapat kelompok
Asy’ariyah yang berpandangan bahwa setiap pendengaran dan penglihatan terkait dengan semua yang ada. Bagaimana
bisa dikatakan bahwa pendengaran terkait dengan sesuatu yang tidak didengar seperti orang atau warna? Bagaimana pula
penglihatan terkait dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat semacam suara-suara yang terdengar oleh telinga? (Syarah
Nuniyyah)
Dengan demikian, kita harus mengimani nama Allah l, as-Sami’ yang berarti Maha Mendengar serta sifat pendengaran
Allah Mahaluas. Tidak ada suara apa pun dan di mana pun kecuali Allah l mendengarnya dengan jelas. Makna ini harus
benar-benar kita sadari sebagaimana Aisyah x, istri Nabi n dan ibu kaum mukminin, sangat merasakan makna tersebut.
Perhatikan penuturannya terkait dengan kisah seorang wanita yang mengadukan suaminya kepada Rasulullah n, Khaulah
bintu Tsa’labah x mengadukan kejelekan akhlak suaminya yang sampai mengharamkan istrinya terhadap dirinya sehingga
Allah l menurunkan ayat:

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (perkaranya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Mujadalah: 1)
Aisyah x bertutur:
‫ت ْالم َجا ِدلَة إِلَى النَّبِ ِى‬ َ ‫ ا َ ْل َح ْمد َِّللِ الَّذِى َو ِس َع‬n ‫ع َّز َو َج َّل )( إِلَى آخِ ِر ْاْليَ ِة‬
ْ َ ‫س ْمعه األ‬
ِ ‫ص َواتَ لَقَ ْد َجا َء‬ ِ ‫ت َك ِلمه َوأَنَا فِى نَاحِ يَ ِة ْالبَ ْي‬.
َّ ‫ت َما أ َ ْس َمع َما ت َقول فَأ َ ْنزَ َل‬
َ ‫َّللا‬
“Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala suara. Sungguh telah datang wanita kepada Nabi
mengeluhkan dan berbicara dengannya, sedangkan saya (saat itu) di salah satu sisi rumah. Saya tidak mendengar apa yang
dia ucapkan. Lalu Allah turunkan firman-Nya: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan tentang suaminya.’ (al-Mujadilah: 1)” (HR. al-Bukhari secara mu’allaq [tanpa menyebutkan sanadnya dari awal]
dan Ahmad)

Buah Mengimani Nama Allah l, as-Sami’


Dengan mengimani nama Allah l, as-Sami’, kita semakin mengenal keagungan Allah k yang Mahasempurna sifat-Nya.
Pada saat yang sama, kita sangat mengetahui kelemahan pendengaran kita yang terbatas dan mengetahui kelemahan
sesembahan selain Allah l yang tidak mampu mendengar. Oleh karena itu, sesembahan selain Allah l dilarang diibadahi
seperti nasihat Nabi Ibrahim q kepada ayahnya:

Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar,
tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?” (Maryam: 42)
Allah l juga berfirman:
Al - Bashir Yang Maha Melihat
Al-Bashir berasal dari kata ba-sha-ra, yang arti harfiahnya adalah “melihat”. Dalam pengertian yang lebih luas, bashara
bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip dalam al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada
para terpidana dan petugas di lingkungan penjara dengan mengatakan: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah),” (QS. Yusuf: 108)

Arti lain, seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin. Ada pula yang menyebutnya
dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang telah memiliki bashirah akan mampu melihat hal-hal yang
ghaib. Ketika melihat sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan mata batinnya
yang dapat menembus batas ruang dan waktu.

Bashirah dalam pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa
berusaha mendekat atau melakukan taqarrub kepada Allah. Salah satu hamba-Nya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah
adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Telah diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami.” (Al-Israa: 1).

“Tanda-tanda Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung, atau tersembunyi. Nabi
Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam
ghaib dibuka sehingga tidak ada lagi pembatas yang mengantarai Rasulullah saw dengan alam ghaib. Dengan begitu,
peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang jelas di hadapannya.

Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga
dikaruniakan kepada para hamba-Nya yang senantiasa taqarrub kepada-Nya. Dalam hadits Qudsi Allah berfirman:

“Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan sebagai
tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti Ku-kabulkan. Jika
meminta perlindungan, maka pasti Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Sebagai hamba Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan diawasi Allah. Bagi-Nya, tiada
tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat.
Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan
mudharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang
mengawasi kita. Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera meninggalkannya.

Anda mungkin juga menyukai