Anda di halaman 1dari 6

FAKTOR - FAKTOR KEWIRAUSAHAAN

Belum ada kesepakatan yang jelas mengapa seseorang memilih untuk berwirausaha
daripada bekerja pada orang lain. Dalam suatu studi yang dilakukan baru – baru ini,
ada empat faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang untuk menjadi
pengusaha. Empat faktor itu adalah: Individu, kultural, masyarakat, dan gabungan
dari ketiga faktor tadi.

Faktor Individual

Banyak ahli yang berpendapat bahwa studi mereka akan membuahkan hasil apabila
sifat wirausahawan dapat diungkap lebih jauh, meskipun faktanya, sifat tersebut
tidak bisa dijadikan indikator dalam mengukur perilaku wirausahawan. Peter
Drucker, adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak percaya bahwa sifat
adalah tolak ukurnya, dan sebaliknya berpendapat bahwa kewirausahaan dapat
diajarkan. Seorang profesor dalam bidang kewirausahaan sependapat dengan hal
ini:

Kepada semua yang tidak takut mengambil risiko, Akan kutunjukkan kepadamu
bagaimana seseorang dapat membenci risiko. Untuk setiap orang yang terlahir
sebagai anak pertama yang sukses dalam wirausaha, akan ada satu satu orang yang
terlahir sebagai anak tunggal atau anak bungsu yang sukses. Dan setiap wirausaha
yang tumbuh dengan mendengarkan pembicaraan orangtuanya yang menjadi
pengusaha, akan ada pengusaha yang tumbuh karena didikan keras orangtuanya,
atau karena tidak mempunyai orangtua.

Namun, banyak yang percaya bahwa para pengusaha memiliki sifat khusus, dimana
sifat ini tidak dapat diajarkan. Seorang enulis dari majalah Business Week tidak
setuju dengan pendapatnya Peter Drucker, ”Mungkin Drucker benar, bahwa sifat –
sifat wirausaha dapat dipelajari, namun tidak demikian dengan jiwa wirausahawan.
Seorang wirausahawan bisa juga adalah seorang manajer, tetapi tidak semua
manajer dapat menjadi wirausahawan.” Ada pengusaha yang berpendapat,

Anda tidak bisa mengajarkan dorongan, initiative, ingenuity, atau individuality. Anda
juga tidak akan bisa mengajarkan pola pikir ataupun sifat. Anda juga tidak bisa
mengajarkan pelajaran memulai sebuah usaha hanya dengan harapan dan
kemampuan berbicara kepada seseorang untuk meminjam uang (berhutang).

Sedangkan seorang yang lain menyatakan, ”Ide – ide yang brilian itu sudah biasa,
namun orang yang bisa menjalankannya sangat jarang.”
Apakah wirausahawan muncul semenjak seseorang lahir ataukah di saat seseorang
tumbuh dewasa, ada beberapa sifat yang memang muncul ketika seseorang
merasakan sukses. Sifat ini, kerap ditemukan dalam beberapa manajer dan
pengusaha yang sukses. Berikut sifat – sifat yang dimaksud:
Rasa antusias dalam berbisnis Para pengusaha harus lebih bersemangat dalam
menjalankan usahanya karena akan ada banyak rintangan yang harus dilalui.
Mereka yang kehilangan semangat dalam bekerja tidak akan sukses. Steven Jobs,
pendiri komputer Apple, mengatakan kalau Apple sukses bukan karena konsep dari
Apple adalah sebuah ide yang brilian, namun karena Apple dibangun dengan ’hati’.
Komitmen inilah yang mendorong seseorang untuk bekerja lebih, hingga akan
mengatakan, ”Aku tidak akan menyerah sebelum sukses!”

Tidak putus asa meskipun gagal Karena akan ada banyak rintangan yang harus
dilalui, seorang pengusaha tidak boleh menyerah begitu saja. Banyak cerita sukses
dari para pengusaha dimana mereka terus bangkit meskipun kegagalan yang diraih
sudah tak dapat dihitung lagi. ”Wirausahawan tidak dapat gagal, mereka hanya
mendapatkan pengalaman pahit.” Mereka paham, bahwa ”kesukaran akan menjadi
peluang baru yang belum terlihat.” Paul Goldin, CEO dari perusahaan Score Board,
mengatakan, ”Jangan takut gagal. Cobalah sampai tujuh, delapan kali.”
Walt Disney pernah bangkrut tiga kali sebelum sukses membuat film pertamanya.
Henry Ford gagal dua kali, dan tidak mungkin bisa sukses apabila tidak bangkit dari
kegagalannya. Joe Namath, pemain sepakbola, menyikapi kegagalan secara positif,
“Aku tidak pernah kalah dalam pertandingan. Aku cuma kadang – kadang kehabisan
waktu saja.”

Percaya Diri Para pengusaha percaya dengan kemampuan dan konsep bisnis
mereka. Mereka percaya bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan apa yang mereka mulai. Rasa percaya diri ini, bukan hanya omong
kosong belaka. Banyak dari mereka yang memiliki pengetahuan tentang pasar dan
industri. Tak jarang dari mereka yang melakukan berbagai investigasi untuk mencari
informasi. Bukanlah hal yang aneh apabila seorang pengusaha belajar dari usaha
orang lain. Mereka pun mengembangkan usahanya sembari bekerja dari orang lain.
Dengan demikian, mereka akan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman untuk
belajar dari kesalahan orang lain pula. Seorang pengusaha yang sukses mengatakan,
”Lebih baik saya belajar mengendarai motor dengan menggunakan motor orang lain
daripada milik saya sendiri.”

Tekad yang kuat Hampir setiap pengusaha mempunyai motivasi dan tekad yang
kuat untuk mencapai sukses. Jon. P.Goodman, direktur Universitas Kewirausahaan
California Selatan, berpendapat bahwa tekad merupakan kunci penting untuk
meraih kesuksesan karena pengusaha yang sukses tidak terbelenggu oleh takdir.
Para pengusaha percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan mereka disebabkan oleh
diri sendiri. Kualitas diri ini juga disebut sebagai internal locus of control. Seseorang
yang percaya bahwa takdir, ekonomi, dan faktor – faktor eksternal lainnya
merupakan kunci kesuksesan tidak cocok menjadi pengusaha.

Pengolahan Risiko Dalam kacamata orang awam, para pengusaha umumnya


adalah orang – orang yang mudah mengambil risiko, itupun dalam jumlah yang
sangat besar. Hal ini tidak selamanya benar. Pertama, seperti yang dikatakan diatas,
mereka bekerja terlebih dahulu secara penuh, atau paruh waktu. Lalu kemudian
memulai bisnisnya secara perlahan, hingga akhirnya sampai pada puncak
kesuksesan.
Para pengusaha juga memandang risiko secara berbeda dari yang lain. Seorang
penulis majalah Business Week menggunakan contoh Chuck Yeager, seorang pilot
dan Scott Schmidt, penemu ski ekstrim. Kemampuan Yeager untuk mengemudikan
kokpit selama bertahun – tahun membuatnya melihat risiko dalam sudut pandang
yang berbeda.
Ski ekstrim Scott Schmidt terbang dengan ketinggian lebih dari 60 kaki. Publik
menilai dia sangat ceroboh dari video – video loncatan hebatnya. Dalam setiap
loncatan, dia mengukur secara teliti bagaimana saat loncat dan saat mendaratnya.
Oleh karenanya, Schmidt tidak menganggap dirinya seorang maniak loncat yang
ceroboh, namun seorang pemain ski yang handal.
Lane Nemeth, penemu Discovery Toys, mengatakan bahwa para pengusaha melihat
risiko dalam sudut pandang yang berbeda. Ketika dia memulai perusahaannya
dengan uang $50.000, dia melihat uang itu dan menanyakan pada dirinya sendiri,
”Bagaimana kalau aku gagal?” Namun, saat itulah terakhir kalinya dia berpikir kalau
dia akan gagal.

Melihat perubahan sebagai peluang Oleh orang awam, perubahan merupakan


sesuatu yang mengerikan dan harus dihindari. Para pengusaha melihatnya sebagai
sesuatu yang normal dan perlu. Mereka mencari perubahan, dan menjawab
perubaan itu, kemudian mencari peluang, dan akhirnya menciptakan inovasi.

Toleransi akan Ambiguitas Hidup seorang pengusaha sangatlah tidak terstruktur.


Tidak ada yang menetapkan jadwal dan proses langkah demi langkah. Tidak ada
yang menentukan berapa persentase kesuksesan. Banyak faktor – faktor yang tidak
bisa diukur seperti ekonomi, cuaca, dan perubahan keiingan konsumen yang
seringkali membawa dampak yang drastis dalam usaha. Hidup seorang pengusaha
bisa dikatakan hidup yang penuh dengan ambiguitas, tidak jelas. Namun, pengusaha
yang sukses merasa nyaman dengan semua itu.

Perlunya Inisiatif dan Pencapaian Hampir setiap orang percaya bahwa pengusaha
yang sukses mengambil inisiatif penuh dalam situasi dimana yang lain tidak akan
maju. Keinginan para pengusaha untuk bertindak sesuai dengan ide mereka
terkadang sering mengaburkan pandangan mereka yang bukan pengusaha. Banyak
orang yang mempunyai ide brilian, namun ide – ide ini tidak pernah direalisasikan.
Para pengusaha bertindak berdasarkan idealis mereka untuk mencapai sebuah hasil,
sebuah pencapaian. Pencapaian itu kemudian diubah menjadi dorongan dan
inisiatif.

Detil, dan perfeksionisme Sebagian besar para pengusaha perfeksionis. Segala


sesuatunya dilakukan dengan sempurna, baik produk maupun servis. Namun, hal ini
kerap kali menjadi sumber frustasi pekerja yang bukan perfeksionis. Oleh
karenanya, para pekerja kerap melihat para pengusaha sebagai orang yang sulit.

Persepsi akan Menghabiskan Waktu Para pengusaha sadar bahwa waktu bergulir
secara cepat dan, mereka pun menjadi orang yang tidak sabaran. Karena hal inilah,
segala sesuatunya tidak pernah selesai dengan cepat dan mulailah masuk ke dalam
krisis. Orang – orang yang tidak terbiasa akan merasa risih dengan hal ini.

Kreativitas Salah satu alasan para pengusaha sukses adalah karena mereka
mempunyai imajinasi dan rencana – rencana lain. Mereka memiliki kemampuan
untuk melihat peluang lebih dari apa yang orang awam lihat. Nolan Bushnell
membuat video game konsol rumahan dan Chuck E, percaya bahwa kreasi hanyalah
sesuatu yang standar dalam sebuah bisnis. Sebagai contoh, Bushnell pernah bekerja
di taman bermain saat masih kuliah. Di sinilah dia mendapatkan ide untuk membuat
video game rumahan. Dia percaya, para pengusaha harus tahu apa yang konsumen
inginkan, bahkan sebelum mereka sadar bahwa mereka menginginkannya, dan
secepat mungkin.

Kemampuan untuk melihat secara garis besar Para pengusaha seringkali melihat
sesuatu secara holistik, mereka dapat melihat garis besar ketika yang lain hanya
melihat bagian dari garis tersebut. Berdasarkan sebuah studi, seorang pengusaha
menjalankan usahanya dengan mencari informasi yang lebih banyak tentang
lingkungan kerjanya dibanding mereka yang tidak sukses. Dengan proses ini,
pengusaha melihat lingkungan kerja secara keseluruhan, dan membuat rancangan
kerja untuk memperbesar aktivitas usahanya.

Faktor – Faktor yang Memotivasi Meskipun banyak orang yang percaya bahwa
para pengusaha termotivasi oleh uang, banyak faktor yang sebenarnya lebih penting,
seperti perlunya mencapai sebuah hasil yang maksimal (pencapaian) seperti yang
telah ditunjukkan diatas. Sebuah keinginan untuk mandiri lebih penting
dibandingkan motivasi akan uang itu sendiri. Para pengusaha pada awalnya
memulai usahanya karena tidak ingin memiliki bos / atasan. Setidaknya, 3.000
pengusaha mengidentifikasi beberapa faktor dibawah ini sebagai alasan mengapa
mereka berwirausaha:

Menggunakan ketrampilan dan kemampuan diri sendiri


Mendapatkan kontrol dalam hidup mereka
Ingin menghadiahkan sesuatu bagi keluarganya
Karena dia suka akan tantangan
Untuk hidup bebas dimana diri sendirilah yang menentukan

Sedangkan faktor yang lainnya adalah: ingin diakui, ingin mendapatkan hadiah dan
penghargaan, dan ingin memuaskan hasrat dan ekspektasi diri.
Kepercayaan Diri Konsep kepercayaan diri mempengaruhi keinginan seseorang.
Kepercayaan diri didefinisikan sebagai kepercayaan seseorang dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Kepercayaan diri yang kuat dan akurat sangat diperlukan untuk
mengembangkan seluruh aspek kemanusiaan, termasuk inisiatif dan ketekunan.
Oleh karenanya, seseorang yang percaya bahwa dia akan sukses sebagai pengusaha
akan meraih impiannya.

Faktor Kultural

Sebuah penemuan yang sangat umum apabila kebudayaan dan etnik dapat
merepresentasikan sebuah jaringan usaha, yang tentunya, orang – orang yang
tergabung didalamnya merupakan pengusaha. Namun, kecenderungan kultur ini
masih belum jelas, karena setiap individu dalam suatu kelompok budaya tidak
semuanya menjadi pengusaha dengan alasan yang sama.
Efek dari kultur dan sifat etnis ini mungkin terangkai, karena menurut berbagai
studi, kebudayaan yang berbeda memiliki nilai dan kepercayaan yang berbeda pula.
Sebagai contoh, di Jepang dikenal ada sebuah pencapaian kultur dimana seseorang
harus terus berusaha sampai mereka sukses. Faktur lain yang penting adalah
bagaimana kultur tersebut memiliki internal locus of control atau tidak. Sebagai
contoh, kultur di Amerika mendukung adanya internal locus, sedangkan di Rusia
tidak.
Kultur juga mempengaruhi status kewirausahaan. Sebuah studi di Kanada,
menyatakan bahwa orang India melihat kewirausahaan sebagai sesuatu yang positif,
sedangkan orang – orang Haiti melihatnya sebagai kerjaan rendahan. Ekspektasi
kultural merupakan penghalang untuk seorang Wanita bernama Puerto Rican di
Washington, D.C. Ketika dia ingin memulai usahanya, kakaknya menyuruhnya untuk
segera menikah saja.

Faktor Masyarakat

Dalam semua lingkungan sosial, ada orang yang tidak ingin menjadi pengusaha,
tetapi karena situasi dan kondisi, mereka terpaksa menjadi pengusaha. Para pekerja
di Amerika dapat dikategorikan dalam grup ini. Hal ini disebabkan karena
perubahan pangsa pasar. Para imigran di berbagai negara mencoba jalan ini apabila
kemampuan berbahasa dan ketrampilan mereka tidak sesuai. Ini disebut sebagai
adaptasi. Sebuah studi faktor – faktor etnokultural menyatakan bahwa tidak semua
pengusaha muncul lewat kelompok masyarakat yang menghargai kewirausahaan.
Mereka memilih untuk berwirausaha karena ada tekanan, dan juga merupakan
asimilasi sosial.

Kombinasi dari Ketiga Faktor

Karena ketekunan sangatlah sulit untuk diraih pada usia yang dewasa, sebaiknya
jiwa kewirausahaan ditanamkan pada anak – anak. Sebuah studi di sebuah TK
mengindikasikan bahwa setiap satu dari empat anak yang ada menunjukkan sifat
kewirausahaan. Setelah beranjak ke usia remaja, hanya 3 persen dari mereka yang
masih mempertahankan sifat tersebut. Pelajaran di sekolah tidak mengajarkan sifat
kewirausahaan, dan pada nyatanya lebih ke pengajaran teori dan individu.
Kreativitas dan kemampuan anak – anak pun menjadi berkurang, padahal
kreativitas itulah yang menjadi senjata utama dari pengusaha.
Wilson Harrell, seorang konsultan bisnis, merekomendasikan para orang tua untuk
tidak memberikan uang saku kepada anaknya secara cuma – cuma. Contohnya, di
umur 6 tahun, Harrell memiliki stan lemon. Stan lemon itu disuplai oleh ayahnya,
mulai dari lemon, gla, dsb. sedangkan Harrell yang bekerja. Di akhir bulan, semua
profit dibagi rata. Dia percaya, bahwa pelajaran ini akan mengajarkan anak untuk
bertanggungjawab dan menunjukkan kepada mereka tentang pentingnya berusaha.
Sebagai hasilnya, anak belajar bagaimana integritas bukanlah sebuah putih di atas
kertas, melainkan sebuah jalan hidup.

Referensi
jurnal Leo-Paul Dana "The Origins of Self-Employment in Ethnocultural
Communities: Distinguishing Between Orthodox Entrepreneurship and Reactionary
Enterprise"

Anda mungkin juga menyukai