Anda di halaman 1dari 18

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

KOLERA DI PAPUA TERKAIT DENGAN


SANITASI
DISUSUN
O
L
E
H
Riska Viranisa Hrp 143313010018
Siti Hastia 143313010025
Linda Monita 143313010026
Widya Wulandari 143313010051
Debora Natasha S 153313010038

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolera atau Cholerae merupakan penyakit yang menyebar karena sanitasi yang
buruk yang menyebabkan kontaminasi sumber air. Biasanya penduduk yang dominan
terserang penyakit kolera adalah penduduk di pinggiran sungai maupun pantai. Biasanya
karena kerang yang diambil dari perairan pantai yang tercemar oleh kotoran, bisa juga
karena dimakan mentah. Kolera dapat juga ditularkan oleh kerang yang dipanen dari air
yang tercemar karena Vibrio cholerae yang merupakan bagian dari Mikrobiota penghuni
alami perairan pantai. Kolera juga merupakan salah satu penyakit menular. Pada makalah
ini kita akan mempelajari seluk beluk tentang penyakit kolera ini.
Penyakit saluran pencernaan akut yang disebabkan oleh bakteri dan ditandai
gejala dalam bentuknya yang berat dengan onset yang tiba-tiba, diare terus menerus, cair
seperti air cucian beras, tanpa sakit perut, disertai muntah dan mual diawal timbulnya
penyakit. Pada kasus-kasus yang tidak diobati dengan cepat dan tepat dapat terjadi
dehidrasi, asidosis, kolaps, hipoglikemi pada anak serta gagal ginjal. Infeksi tanpa gejala
biasanya lebih sering terjadi dari pada infeksi dengan gejala, terutama infeksi oleh biotipe
El Tor; gejala ringan dengan hanya diare, umum terjadi, terutama dikalangan anak-anak.
Pada kasus berat yang tidak diobati (kolera gravis), kematian bisa terjadi dalam
beberapa jam, dan CFR-nya bisa mencapai 50%. Dengan pengobatan tepat, angka ini
kurang dari 1%. Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi vibrio cholera dari serogrup
O1 atau O139 dari tinja. Jika fasilitas laboratorium tidak tersedia, Cary Blair media
transport dapat digunakan untuk membawa atau menyimpan spesimen apus dubur (Rectal
Swab).
Untuk diagnosa klinis presumtif cepat dapat dilakukan dengan mikroskop medan
gelap atau dengan visualisasi mikroskopik dari gerakan vibrio yang tampak seperti
shooting stars atau bintang jatuh, dihambat dengan antisera serotipe spesifik yang bebas
bahan pengawet. Untuk tujuan epidemiologis, diagnosa presumtif dibuat berdasarkan
adanya kenaikan titer antitoksin dan antibodi spesifik yang bermakna.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang penyakit kolera seperti gejala, penyebab, masa inkubasi,
cara penularan, pengobatan, pencegahan dan pemberantasannya. Dengan itu kita
dapat meningkatkan kebersihan sanitasi lingkungan, khususnya didaerah dekat pantai.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Kolera?
2. Apa penyebab penyakit Kolera?
3. Bagaimana masa inkubasi Kolera?
4. Bagaimana cara penularan Kolera?
5. Apa saja gejala-gejala Kolera?
6. Bagaimana pengobatan Kolera?
7. Bagaimana pencegahan dan pemberantasan Kolera?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN KOLERA


Penyakit kolera adalah penyakit yang menginfeksi saluran usus bersifat akut yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan
enterotoksin (racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea) disertai
muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya beberapa hari
kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi.
Penyakit kolera pertama ditemukan di India pada awal 1000 Masehi, kolera
adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah penyakit empedu.
Pada tahun 1854, Dr John Snow melakukan sebuah penelitian di London yang
menunjukkan sumber utama dari penyakit yang mengakibatkan sekitar 500 kematian
setiap 10 hari, dalam penelitiannya tersebut mengungkap penyebab terjadinya penyebaran
penyakit kolera. Penyebaran tersebut terjadi dari salah satu sumber air utama bagi warga
London yang disebut “Pompa Broad Street”, Meskipun Dr Snow tidak menemukan
penyebab pastinya namun Dia telah menunjukkan bagaimana penyakit tersebut dapat
menyebar dan bagaimana untuk menghentikan penyebarannya.
Gejala-gejala yang timbul akibat bakteri Vibrio cholerae diantaranya adalah
diare, perut keram, mual, muntah, serta dehidrasi. Beberapa dari penderita yang terkena
penyakit kolera akan mengalami diare dan dehidrasi yang begitu parah sehingga dapat
menyebabkan kematian pada penderitanya. Kematian akibat penyakit kolera biasanya
lebih sering diakibatkan oleh dehidrasi, kondisi tersebut yang apabila tidak dilakukan
perawatan yang serius akan berdampak terjadinya risiko kematian yang tinggi pada
penderitanya.
Sebuah epidemi penyakit kolera pernah terjadi di negara Haiti, sebelumnya
negara ini tidak pernah mengalami wabah kolera dalam kurun waktu 50 tahun, Bakteri
Vibrio cholerae berkembang pada tahun 2010 setelah gempa besar yang menghancurkan
fasilitas sanitasi dan air serta fasilitas makanan dan pengobatan dinegara tersebut. Akibat
kejadian tersebut bakteri Vibrio cholerae akhirnya telah mencemari sumber air utama,
yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya epidemi penyakit kolera yang menelan lebih
dari 4.100 kematian pada Februari 2011.
Dalam sebuah penelitian lain, menunjukan bahwa terdapat beberapa bukti Bakteri
Vibrio cholerae dapat bertahan hidup di air asin, bakteri tersebut dapat hidup didalam
tubuh kerang dan tiram mentah. Hal ini yang menjadi penyebab bahwa memakan kerang
dan tiram yang masih mentah dianggap sebagai faktor utama penyebab penularan
penyakit kolera.
Apabila dehidrasi tidak segera ditangani, maka akan berlanjut kearah hipovolemik
dan asidosis metabolik dalam waktu yang relatif singkat dan dapat menyebabkan
kematian bila penanganan tidak segera dilakukan. Pemberian air minum biasa tidak akan
banyak membantu, Penderita (pasien) kolera membutuhkan infus cairan gula (Dextrose)
dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus yang di mix keduanya (Dextrose
Saline).
Ada dua jenis umum Vibrio cholerae:
1. Vibrio cholera serogrup O1 non-bakteri
2. Vibrio cholera serogrup O1.

Dalam kebanyakan kasus, Vibrio cholerae serogrup O1 adalah jenis Vibrio


cholerae yang menyebabkan kolera. Vibrio cholera serogrup O139, sebuah Vibrio
cholerae serogrup O1 non-bakteri, adalah penyebab lain dari kolera. Ada sekitar 70
spesies lain dari Vibrio cholera serogrup O1 non-bakteri, namun spesies lainnya jarang
menyebabkan diare.

2.2 KASUS KOLERA DI AFRIKA SELATAN

A. CONTOH KASUS
Penyakit kolera sejak awal April hingga awal Agustus 2008 di Kabupaten Paniai
dan Kabupaten Nabire Provinsi Papua telah menelan korban 105 penderita meninggal.
Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI melaporkan kondisi masyarakat daerah pedalaman Papua yang masih jauh
dari hidup dan perilaku sehat seperti minum air mentah, buang air besar tidak pada
tempatnya seperti di kebun atau sungai serta terbiasa mencium dan menyentuh penderita
yang meninggal akibatnya penyakit kolera sangat cepat menular, menyebar, dan
mewabah ke daerah-daerah sekitarnya hingga akhirnya menimbulkan KLB kolera.

Tabel 1. Distribusi kolera menurut jenis kelamin dan usia.

JENIS USIA HASIL USAP DUBUR TOTAL

KELAMIN V. cholerae (+) V. cholerae (-)

LAKI-LAKI 10 bln – 11 thn 1 4 5

12 thn – 50 thn 2 2 4

PEREMPUAN 10 bln – 11 thn 2 5 7

12 bln – 50 thn 6 5 11

JUMLAH 11 16 21

B. Cara pengumpulan data penyakit kolera


Ada dua sumber data dan metode pengumpulan data, dua hal tersebut yaitu :
1. Data primer
Data primer diperoleh dengan melakukan penyelidikan epidemiologi melalui
wawancara dari rumah ke rumah terhadap kasus/keluarganya, daerah sekitar rumah
penderita dan Kepala Desa melalui formulir pelacakan kasus dan wawancara
mendalam.
Data penelitian yang diperoleh melalui
 Observasi
Pengamatan melibatkan semua indera (penglihatan, pendengaran, penciuman,
pembau, perasa). Pencatatan hasil dapat dilakukan dengan bantuan alat rekam
elektronik
 Wawancara
Pengambilan data melalui wawancara /secara lisan langsung dengan
sumberdatanya, baik melalui tatap muka atau lewat telephone, teleconference.
Jawaban responden direkam dan dirangkum sendiri oleh peneliti.
 Dokumentasi
Pengambilan data melalui dokumen tertulis mamupun elektronik dari
lembaga/institusi. Dokumen diperlukan untuk mendukung kelengkapan data yang
lain.
 Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden.
Jawaban responden atas semua pertanyaan dalam kuesioner kemudian
dicatat/direkam
2. Data sekunder
Data dalam laporan ini diperoleh informasi dari masyarakat, dan data
dari penyelidikan epidemiologi di wilayah tersebut.
Data yang diperoleh dari sumber kedua, dokumentasi lembaga seperti :
 Biro pusat statistik (BPS)
 Rumah sakit
 Lembaga /institusi
Dalam pengumpulan data penelitian membutuhkan suatu instrumen. Instrumen ini
dibutuhkan untuk pengambilan data untuk penelitian baik penelitian kualitatif maupun
penelitian kuantitatif. Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah.
C. Analisis penyakit kolera
Menurut tim kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire, penyebaran kolera ke
desa-desa melalui makanan, minuman, dan sumber air yang terkontaminasi dapat terjadi
karena makanan/minuman dimasak kurang matang atau sengaja dimakan mentah
misalnya sayuran tanpa dicuci terlebih dahulu, makanan/alat-alat makan dihinggapi lalat
yang memindahkan bibit penyakit, tidak cuci tangan sebelum makan, buang air besar
sembarangan atau tidak pada tempatnya, misalnya di kali atau di kebun, makanan/alat-
alat makan disediakan oleh orang yang mengandung bibit penyakitnya, Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya bakteri E. coli dan V. cholera yang bersumber dari tinja. Bakteri
ini banyak hidup di permukaan air yang terkontaminasi oleh tinja5,11 sehingga air
memegang peran utama dalam kejadian luar biasa, penularan terutama di daerah
pedesaan tempat kolera berjangkit sebagai endemik.
2.3 PENYEBAB KOLERA

Penyebab kolera adalah bakteri bernama Vibrio cholerae. Bakteri kolera


memproduksi CTX atau racun berpotensi kuat di usus kecil. Dinding usus yang ditempeli
CTX akan mengganggu aliran mineral sodium dan klorida hingga akhirnya menyebabkan
tubuh mengeluarkan air dalam jumlah besar (diare) dan berakibat kepada kekurangan
elektrolit dan cairan. Ada dua siklus kehidupan yang berbeda pada bakteri kolera, yaitu di
dalam tubuh manusia & lingkungan. Bakteri kolera di tubuh manusia ditularkan melalui
tinja yang mengandung bakteri. Bakteri kolera bisa berkembang biak dengan subur jika
persediaan air dan makanan telah terkontaminasi dengan tinja tersebut.
Sumber-sumber infeksi kolera bisa dari faktor makanan dan terpapar air yang
mengandung bakteri. Faktor-faktor yang paling umum adalah sebagai berikut.

 Makan kerang mentah atau yang tidak dimasak dengan matang, atau makanan laut
lainnya yang berasal dari lokasi tertentu.
 Tumbuhnya bakteri kolera di daerah kolera mewabah bisa melalui nasi dan milet
yang terkontaminasi setelah dimasak dan didiamkan di suhu ruangan selama beberapa
jam.
 Bakteri kolera bisa bertahan di air untuk jangka waktu yang lama dan mencemari
sumur-sumur yang digunakan oleh masyarakat umum.
 Infeksi kolera bisa bersumber dari sayuran dan buah-buahan mentah yang tidak
dikupas. Lahan pertanian yang terkontaminasi oleh pemupukan yang tidak baik atau
air untuk pengairan yang mengandung sampah.
 Lingkungan padat penduduk yang tidak memiliki sanitasi memadai.

2.3. MASA INKUBASI KOLERA


Gejala dimulai dalam 1-3 hari setelah terinfeksi bakteri, bervariasi mulai dari
diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare berat-yang bisa berakibat fatal.Beberapa
orang yang terinfeksi, tidak menunjukkan gejala.Penyakit biasanya dimulai dengan diare
encer seperti air yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit dan muntah-muntah.Pada
kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan cairan sampai 1 liter dalam 1 jam.
Kehilangan cairan dan garam yang berlebihan menyebabkan dehidrasi disertai rasa haus
yang hebat, kram otot, lemah dan penurunan produksi air kemih.
Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan mata menjadi cekung
dan kulit jari-jari tangan menjadi keriput.Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume
darah dan peningkatan konsentrasi garam bisa menyebabkan gagal ginjal, syok dan
koma.Gejala biasanya menghilang dalam 3-6 hari. Kebanyakan penderita akan terbebas
dari organisme ini dalam waktu 2 minggu, tetapi beberapa diantara penderita menjadi
pembawa dari bakteri ini.
Diare cair dan muntah timbul sesudah masa inkubasi 6 jam sampai 72 jam (rata-
rata 2-3 hari) kadang-kadang sampai 7 hari. Kolera dimulai dengan awitan diare berair
tanpa rasa nyeri (tenesmus) dengan tiba-tiba yang mungkin cepat menjadi sangat banyak
dan sering langsung disertai muntah. Feses memiliki penampakan yang khas yaitu cairan
agak keruhdengan lendir, tidak ada darah dan berbau agak amis. Kolera dijuluki air
cucian beras (rise water stool) karena kemiripannya dengan air yang telah digunakan
untuk mencuci beras.

2.4. CARA PENULARAN KOLERA

Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun kondisi


penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kesehatan. Bakteri Vibrio cholerae
berkembang biak dan menyebar melalui feces (kotoran) manusia. Bila kotoran yang
mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya, maka orang lain
yang melakukan kontak dengan air tersebut beresiko terkena penyakit kolera itu juga.
Misalnya cuci tangan yang tidak bersih lalu makan, mencuci sayuran atau makanan
dengan air yang mengandung bakteri kolera, makan ikan yang hidup di air terkontaminasi
bakteri kolera, bahkan air tersebut (seperti di sungai) dijadikan air minum oleh orang lain
yang bermukim disekitarnya. Hal ini akan semakin meningkatkan resiko terjadinya
penyakit kolera. Dalam situasi adanya wabah (epidemic), biasanya tinja orang yang telah
terinfeksi menjadi sumber kontaminasi. Penyakit ini dapat menyebar dengan cepat di
tempat yang tidak mempunyai penanganan pembuangan kotoran (sewage) dan
pengolahan air minum yang memadai. Pada saat wabah kolera (El Tor) skala besar terjadi
di Amerika Latin pada tahun 1991, penularan yang cepat dari kolera terjadi melalui air
yang tercemar karena sistem PAM perkotaan yang tidak baik, air permukaan yang
tercemar, serta sistem penyimpanan air di rumah tangga yang kurang baik. Makanan dan
minuman pada saat itu diolah dengan air yang tercemar dan di jual oleh pedagang kaki
lima, bahkan es dan air minum yang dikemaspun juga tercemar oleh Vibrio cholerae.
Biji-bijian yang dimasak dengan saus pada saat wabah itu terbukti berperan sebagai
media penularan kolera.

Vibrio cholerae yang dibawa oleh penjamah makanan dapat mencemari makanan,
yang apabila tidak disimpan dalam lemari es dalam suhu yang tepat dapat meningkatkan
jumlah kuman berlipat ganda dalam waktu 8-12 jam. Sayuran dan buah-buahan yang
dicuci dan dibasahi dengan air limbah yang tidak diolah, juga menjadi media penularan.
Bakteri kolera juga dapat hidup di lingkungan air payau dan perairan pesisir. Kerang-
kerangan (shellfish) yang dimakan mentah juga dapat menjadi sumber kolera. Seperti di
Amerika Serikat, kasus sporadis kolera timbul karena mengkonsumsi seafood mentah
atau setengah matang yang ditangkap dari perairan yang tidak tercemar. Sebagai contoh,
kasus kolera yang muncul di Louisiana dan Texas menyerang orang-orang yang
mengkonsumsi kerang yang diambil dari pantai dan muara sungai yang diketahui sebagai
reservoir alami dari Vibrio cholera (O1 serotipe Inaba), muara sungai yang tidak
terkontaminasi oleh air limbah. Biasanya penyakit kolera secara langsung tidak menular
dari orang ke orang. Oleh karena itu, kontak biasa dengan penderita tidak merupakan
resiko penularan.

2.5 GEJALA-GEJALA KOLERA

Tidak semua penderita kolera memiliki gejala, sehingga tidak sadar bahwa
mereka telah terinfeksi Vibrio cholerae atau bakteri kolera. Dari seluruh orang yang
terinfeksi kolera, hanya 10 persen di antaranya yang menunjukkan gejala. Walau tidak
memiliki gejala, penderita kolera masih bisa menularkan kepada orang lain melalui air
yang terkontaminasi akibat bakteri kolera yang menyebar melalui tinja selama 1-2 pekan.
Kolera yang telah menyebabkan gejala selama beberapa jam bisa mengakibatkan
dehidrasi atau tubuh kekurangan cairan. Dehidrasi parah terjadi jika tubuh kehilangan
cairan lebih dari 10 persen total berat tubuh. Selain itu perlu diketahui bahwa diare akibat
kolera bisa menyebabkan hilangnya cairan tubuh dengan cepat, yaitu sekitar 1 liter per
jam, dan muncul secara tiba-tiba. Orang yang terjangkit bakteri kolera akan merasa mual
dan muntah selama beberapa jam pada tahap awal terinfeksi. Sulit untuk membedakan
diare akibat kolera atau penyakit lain, namun biasanya diare akibat kolera menyebabkan
pasien terlihat tampak pucat. Ada beberapa gejala kolera seperti berikut ini.

1. Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus.
2. Feces atau kotoran (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan
putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi seperti
manis yang menusuk.
3. Feces (tinja) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan
mengeluarkan gumpalan-gumpalan berkali-kali & dalam jumlah yang cukup banyak.
4. Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita tidaklah
merasakan mual sebelumnya.
5. Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeriyang hebat.
6. Banyaknya cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dengan tanda-
tandanya seperti ; detak jantung cepat, mulut kering, lemah fisik, dan kematian.
2.6. PENGOBATAN KOLERA

Penderita kolera harus ditangani dengan cepat dan tepat, terutama memberikan
pengganti cairan tubuh yang hilang (Dehidrasi). Pemberian cairan bisa dilakukan melalui
oral dengan pemberian cairan oralit dan melalui infus intravena (pada kasus yang parah).
Pemberian elektrolit cairan tubuh dilakukan selama 1-5 hari tanpa pemberian antibiotik.
Penggunaan antibiotik dilakukan setelah 5 hari hari atau setelah meredanya muntah-
muntah. Antibiotik yang biasa digunakan yakni tetrasiklin, trimethoprhim.

2.7. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KOLERA


A. PENCEGAHAN KOLERA
Untuk waspada terhadap penyakit kolera, hendaknya dilakukan tindakan preventif,
karena penyakit ini tidak dapat disepelekan akibatnya. Adapun tindakan pencegahan
yang dimaksud melalui cara :

1. Pemberian imunisasi vaksin hidup (strain CVD 103 HgR/orachel/mutacel) dan


vaksin mati (Dukoral, SBL).
2. Melakukan pengawasan penderita kolera baik menggunakan laporan kepada
instansi kesehatan, melakukan isolasi pada pasien kolera berat.
3. Lakukan manejemen kontak terhadap penderita penyakit kolera maupun makanan
dan minuman yang diasup.
4. Pemurnian air minum.
5. Menyediakan pembuangan feses yang tepat dan jauh dari lingkungan padat
penduduk.

Pencegahan penyakit kolera pun dapat dilakukan dengan pembiasaan hidup sehat, yakni :

1. Menciptakan kebiasaan cuci tangan sebelum makan ataupun sebelum masak.


2. Pastikanlah makanan dan minuman yang diasup steril dari bakteri.
3. Minimalisirlah makanan setengah matang apalagi jenis kerang-kerangan. Menu
sayuran disertai buah-buahan yang sehat lebih diutamakan.
4. Hindari konsumsi jajanan di pinggir jalan yang sering dihinggapi lalat dan tidak
terjamin kebersihannya.

B. PEMBERANTASAN KOLERA

1. Tindakan pencegahan Pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell,
yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah
maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan
perlindungan parsial (50%) dalam jangka waktu yang pendek (3 – 6 bulan) di
daerah endemis tinggi tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi
asimptomatik, oleh karena itu pemberian imunisasi tidak direkomendasikan. Dua
jenis Vaksin oral yang memberikan perlindungan cukup bermakna untuk
beberapa bulan terhadap kolera yang disebabkan oleh strain O1, kini tersedia di
banyak negara. Pertama adalah vaksin hidup (strain CVD 103 – HgR, dosis
tunggal tersedia dengan nama dagang Orachol® di Eropa dan Mutacol di Kanada,
SSV1); yang lainnya adalah vaksin mati yang mengandung vibrio yang
diinaktivasi ditambah dengan sub unit B dari toksin kolera, diberikan dalam 2
dosis (Dukoral, SBL). Sampai dengan akhir tahun 1999, vaksin-vaksin ini belum
mendapat lisensi di AS.
2. Pengawasan penderita, kontak atau lingkungan sekitarnya
a. Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus kolera umumnya
diwajibkan sesuai dengan Peraturan Kesehatan Internasional (International
Health Regulation,1969).
b. Disinfeksi serentak : Dilakukan terhadap tinja dan muntahan serta bahan-
bahan dari kain (linen, seperti sprei, sarung bantal dan lain-lain) serta barang-
barang lain yang digunakan oleh penderita, dengan cara di panaskan, diberi
asam karbol atau disinfektan lain. Masyarakat yang memiliki sistem
pembuangan kotoran dan limbah yang modern dan tepat, tinja dapat langsung
dibuang ke dalam saluran pembuangan tanpa perlu dilakukan disinfeksi
sebelumnya. Pembersihan menyeluruh
c. Karantina :Tidak diperlukan.
d. Manajemen kontak : Lakukan survei terhadap orang yang minum dan
mengkonsumsi makanan yang sama dengan penderita kolera, selama 5 hari
setelah kontak terakhir. Jika terbukti kemungkinan adanya penularan
sekunder didalam rumah tangga, anggota rumah tangga sebaiknya di beri
pengobatan kemoprofilaksis; untuk orang dewasa adalah tetrasiklin (500 mg 4
kali sehari) atau doksisiklin (dosis tunggal 300 mg) selama 3 hari, kecuali
untuk strain lokal yang diketahui atau diduga resisten terhadap tetrasiklin.
Anak-anak juga bisa diberikan tetrasiklin (50mg/kg/hari dibagi ke dalam 4
dosis) atau doksisiklin (dosis tunggal 6 mg/kg) selama 3 hari, dengan
pemberian tetrasiklin dalam waktu yang singkat, tidak akan terjadi noda pada
gigi.
e. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan investigasi
terhadap kemungkinan sumber infeksi berasal dari air minum dan makanan
yang terkontaminasi. Makanan yang dikonsumsi 5 hari sebelum sakit harus di
tanyakan. Pencarian dengan cara mengkultur tinja untuk kasus-kasus yang
tidak dilaporan hanya disarankan dilakukan terhadap anggota rumah tangga
atau terhadap orang-orang yang kemungkinan terpajan dengan satu sumber
(Common source) didaerah yang sebelumnya tidak terinfeksi.
f. Pengobatan spesifik : Ada tiga cara pengobatan bagi penderita Kolera : 1).
Terapi rehidrasi agresif.
3. Pengobatan untuk komplikasi. Dasar dari terapi kolera adalah rehidrasi agresif
melalui oral dan intravena yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan cairan
dan elektrolit, juga untuk mengganti cairan akibat diare berat yang sedang
berlangsung. Antibiotika yang tepat adalah terapi tambahan yang sangat penting
terhadap pemberian cairan, karena pemberian antibiotika dapat mengurangi
volume dan lamanya diare dan dengan cepat mengurangi ekskresi dari vibrio
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penularan sekunder. Akhirnya pada
saat terapi rehidrasi cukup efektif, dan penderita tertolong dari renjatan
hipovolemik dan tertolong dari dehidrasi berat, penderita dapat mengalami
komplikasi seperti hipoglikemi yang harus di ketahui dan di obati dengan segera
natrium asetat dan 8 gr glukosa/L) dan “Larutan Dacca” (5 g NaCL, 4 gr
NaHCO3, dan 1 g KCL/L), yang dapat dibuat ditempat pada keadaan darurat.
Penggantian cairan awal sebaiknya diberikan 30ml/kg BB pada jam pertama
untuk bayi dan pada 30 menit pertama untuk penderita berusia diatas 1 tahun, dan
sesudahnya pasien harus di nilai kembali. Sesudah dilakukan koreksi terhadap
sistem cairan tubuh yang kolaps, kebanyakan penderita cukup diberikan rehidrasi
oral untuk melengkapi penggantian 10 % defisit awal cairan dan untuk mengganti
cairan hilang yang sedang berlangsung.
Antibiotika yang tepat dapat memperpendek lamanya diare, mengurangi volume
larutan rehidrasi yang dibutuhkan dan memperpendek ekskresi vibrio melalui
tinja. Orang dewasa diberi tetrasiklin 500 mg 4 kali sehari dan anak anak 12.5
mg/kg 4 kali sehari selama 3 hari. Pada saat Strain V. cholerae yang resisten
terhadap tetrasiklin sering ditemukan, maka pengobatan dilakukan dengan
pemberian antimikroba alternatif yaitu TMP-SMX (320 mg trimethoprim dan
1600 mg sulfamethoxazol dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8 mg/kg
trimethoprim dan 40 mg/kg sulfamethoxazol sehari dibagi dalam 2 dosis untuk
anak-anak, selama 3 hari); furazolidon (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa
dan 1.25 mg/kg 4 kali sehari untuk anak-anak, selama 3 hari); atau eritromisin
(250 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan 10 mg/kg 3 kali sehari untuk anak-
anak selama 3 hari). Siprofloksasin, 250 mg sekali sehari selama 3 hari, juga
merupakan regimen yang baik untuk orang dewasa. V. cholerae strain O139
resisten terhadap TMP-SMX. Oleh karena ditemukan strain O139 atau O1 yang
mungkin resisten terhadap salah satu dari antimikroba ini, maka informasi tentang
sensitivitas dari strain lokal terhadap obat-obatan ini perlu diketahui, jika fasilitas
untuk itu tersedia, informasi ini digunakan sebagai pedoman pemilihan terapi
antibiotika yang tepat.

4. Penanggulangan wabah
a. Berikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di daerah risiko tinggi
untuk segera mencari pengobatan bila sakit.
b. Sediakan fasilitas pengobatan yang efektif.
c. Lakukan tindakan darurat untuk menjamin tersediaanya fasilitas air minum
yang aman. Lakukan klorinasi pada sistem penyediaan air bagi masyarakat,
walaupun diketahui bahwa sumber air ini tidak terkontaminasi. Lakukan
klorinasi atau masaklah air yang akan di minum, dan air yang akan dipakai
untuk mencuci alat-alat masak dan alat-alat untuk menyimpan makanan
kecuali jika tersedia air yang telah di klorinasi dengan baik dan terlindungi
dari kontaminasi.
d. Lakukan pengawasan terhadap cara-cara pengolahan makanan dan minuman
yang sehat. Setelah diolah dan dimasak dengan benar, lindungi makanan
tersebut dari kontaminasi oleh lalat dan penanganan yang tidak saniter;
makanan sisa sebaiknya dipanaskan sebelum dikonsumsi. Orang yang
menderita diare sebaiknya tidak menjamah atau menyediakan makanan dan
minuman untuk orang lain. Makanan yang disediakan pada upacara
pemakaman korban kolera mungkin tercemar dan selama wabah
berlangsung makanan ditempat seperti ini sebaiknya dihindari.
e. Lakukan investigasi dengan sungguh-sungguh dengan desain sede- mikian
rupa untuk menemukan media dan lingkungan yang memungkinkan
terjadinya penularan menurut variable orang, tempat dan waktu serta buatlah
rencana penanggulangan yang memadai.
f. Sediakan fasilitas pembuangan sampah dan limbah domestik sesuai dengan
syarat kesehatan.
g. Pemberian imunisasi dengan suntikan vaksin kolera Whole cell tidak di
anjurkan.
h. Pada saat situasi wabah relatif mulai tenang, vaksin kolera oral dapat
diberikan sebagai tambahan terhadap upaya penanggulangan wabah kolera..
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kolera adalah suatu penyakit akut yang menyerang saluran pencernaan yang
disebabkan oleh kelompok enterotoksin yang dihasilkan oleh vibrio Kolera yang ditandai
dengan diare cairringan, diare cair berat dengan muntah yang dengan cepat dapat
menimbulkan syok hipovolemik, asidosis metabolik dan tidak jarang menimbulkan
kematian. Penyebab kolera adalah bakteri bernama Vibrio cholerae. Bakteri kolera
memproduksi CTX atau racun berpotensi kuat di usus kecil. Dinding usus yang ditempeli
CTX akan mengganggu aliran mineral sodium dan klorida hingga akhirnya menyebabkan
tubuh mengeluarkan air dalam jumlah besar (diare) dan berakibat kepada kekurangan
elektrolit dan cairan. Penularan biasanya melalui feses si penderita, bias juga makanan
yang terkontaminasi oleh bakteri kolera. Gejalanya seperti diare yang sangat encer, tinja
seperti air cucian beras yang berbau busuk, terjadi muntah setelah diare, kejang otot perut
dan dehidrasi. Untuk pencegahan biasanya dilakukan pemberian vaksin. Sedangkan
untuk pemberantasan dilakukan tindakan pencegahan terlebih dahulu seperti pemberian
vaksin, dan melakukan pengawasan terhadap penderita, kontak atau lingkungan
sekitarnya.
3.2. Saran

 Untuk masyarakat

Sebaiknya memperhatikan tempat pembuangan tinja pada tempatnya, menutup


makanan bila belum di makan,dan menghindari makanan setengah matang baik
sayuran,daging, dan makanan laut.

 Untuk Mahasiswa/Mahasiswi
Tingkatkan pengetahuan kita tentang penyakit kolera & penyakit menular lainnya.
Agar kita dapat memberi tahu pada masyarakat sekitar.
BAB IV

REFERENSI

Permenkes No. 1501 Tahun 2010 Algoritma Diagnosis Penyakit dan Respons Serta Definisi
Kasus Penyakit

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jakarta: EGC.
Abdurahmat, Asep S. 2010. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Gorontalo: UNG
Abdul M. I, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara; Jakarta Barat
Budiyanto, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI ; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai