Anda di halaman 1dari 16

SURVEILANS KOLERA

A. LATAR BELAKANG
Kolera merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan dehidrasi dan
bahkan kematian jika tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh makan makanan atau air yang
terkontaminasi dengan bakteri yang disebut Vibrio cholera (WebMd,2014). Kolera terjadi
sejak awal tahun 1800-an. Di antara tahun 1832 - 1836 lebih dari 200.000 penduduk
Amerika Utara meninggal pada pandemic kedua dan keempat. Pada pandemic ketujuh
awal tahun 1961 bermula di Indonesia, kemudian menyebar ke Asia Selatan, Timur
Tengah, sebagian Eropah dan Afrika. Pandemic ini disebabkan biotype El Tor (Eugene
dkk, 2004) dalam Amelia (2005)..
Mulai tahun 1991 pandemic ketujuh menyebar ke Peru dan menyebar ke Amerika
Selatan dan Amerika Tengah. Ini kemungkinan terjadi karena tergenangnya air kotor di
dasar kapal yang berlabuh di pelabuhan Lima, mengingat penyakit ini menyebar melalui
air dan tidak adanya pemberian chlorine pada air yang dikonsumsi. Penyakit menular
dengan cepat, dalam 2 tahun lebih 700.000 kasus dan 6.323 kasus meninggal dilaporkan
di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyakit ini mulai jarang di Amerika Utara
sejak pertengahan 1800-an, tetapi focus endemic masih tetap ada di Pantai Gulf Louisiana
dan Texas
Pada tahun 2010 ini dunia dikejutkan dengan adanya wabah cholera yang terjadi
di Haiti semenjak bulan oktober 2010. Sampai 30 nopember 2010 angka resmi korban
jiwa akibat Cholera di Haiti mencapai 1.721 orang. Ini merupakan musibah kedua bagi
Haiti setelah terjadinya musibah gempa bumi 12 Januari 2010. Wabah ini berpusat di
wilayah Lower Artibonite, di utara ibu kota Port-au-Prince. Di kota ini, 750 orang tewas
akibat cholera, sedangkan di ibu kota Haiti, Port-au-Prince, sebanyak 162 orang
meninggal akibat kolera. Kasus itu juga dilaporkan di daerah Dataran Tinggi Tengah
(Central Plateau).
Rumah sakit setempat penuh dengan penderita diare akut, dengan para korban
meninggal disebabkan dehidrasi cepat, yang terkadang hanya dalam tempo beberapa jam,
namun WHO dan PBB belum mengkonfirmasikan bahwa cholera sebagai penyebab
kematian-kematian itu, sementara mereka menunggu hasil-hasil akhir uji laboratorium
atas sampel-sampel yang diambil dari korban yang tewas dan sakit.
Sebelumnya, Dirjen Departemen Kesehatan Haiti, Dr. Gabriel Thimote dan
1

Menteri Kesehatan Alex Larsen mengatakan, uji pendahuluan mengindikasikan cholera.


Di Hinche , bagian tengah Haiti, pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah tentara Nepal
yang telah jadi sasaran desas-desus yang beredar luas bahwa mereka membawa bakteri
penyebab cholera ke Haiti. Misionaris PBB di Haiti, yang membantu negara miskin
Karibia itu melakukan pembangunan kembali setelah gempa yang memporakporandakan
negeri tersebut pada 12 Januari, telah membantah desas-desus bahwa kakus yang berada
di dekat sungai di kamp pasukan pemelihara perdamaian PBB dari Nepal adalah
penyebab wabah kolera. Pusat Pencegahan dan Pemantauan Penyakit AS (CDC) telah
menyatakan pemeriksaan DNA memperlihatkan rangkaian cholera di Haiti berkaitan erat
dengan rangkaian dari Asia Selatan,tetapi CDC belum menunjuk kepada sumber tersebut
atau mengaitkannya secara langsung dengan tentara Nepal, yang dikatakan PBB telah
diperiksa negatif mengenai penyakit itu (Rahayu, 2011).
Republik Demokratik Kongo ( DRC ) telah melaporkan peningkatan tajam dalam
jumlah kasus kolera di daerah konflik bersenjata North Kivu. Menurut laporan, 368 kasus
baru dilaporkan dari minggu (11-17 Juni) serta (25 Juni-1 Juli). Daerah yang paling
terpengaruh termasuk Birambizo, Goma, Karisimbi, Kiroshe, Mutwanga, Mweso dan
Rwanguba. Ada kekhawatiran bahwa situasi keamanan dapat meningkatkan kesulitan
dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan dan bisa meningkatkan jumlah kasus yang
parah dan fatal. Konflik bersenjata saat di North Kivu juga menimbulkan risiko
penyebaran penyakit secara internasional untuk negara-negara tetangga seperti Burundi,
Rwanda, Sudan Selatan dan Uganda. Kivu Utara merupakan salah satu lima provinsi
timur DRC mana kolera adalah endemik. Vibrio cholerae dikonfirmasi di laboratorium
AMI - Kivu sejak 2011.
Departemen Kesehatan di Meksiko melaporkan kasus infeksi Vibrio cholerae
Sejak awal bulan September 2013 dan sampai saat ini total 184 kasus yang dikonfirmasi ,
termasuk satu kematian , kolera akibat Vibrio cholerae O1 Ogawa telah dilaporkan di
negara itu . Dari jumlah tersebut , 160 kasus dari negara bagian Hidalgo , 11 dari negara
bagian Veracruz , sembilan dari negara bagian Meksiko , dua berasal dari Distrik Federal
, dan dua dari negara bagian San Luis Potosi . Pihak berwenang kesehatan Meksiko terus
memperkuat pengawasan dan untuk menjamin ketersediaan dan kualitas pelayanan di unit
medis
Pada 15 Mei 2014, Kementerian Kesehatan Sudan Selatan mengumumkan wabah
kolera di Juba . Kasus ini secara retrospektif diidentifikasi dengan mulai sakit pada
2

tanggal 23 April 2014. Empat kasus telah dikonfirmasi laboratorium mengikuti tes yang
dilakukan oleh laboratorium Research Foundation Afrika Medis di Nairobi , Kenya. Pada
25 Mei 2014 , total kumulatif 586 kasus kolera , termasuk 22 kematian ( 13 di rumah
sakit dan 9 kematian masyarakat ) telah dilaporkan . Sebagian besar kematian yang
dilaporkan di rumah sakit meninggal pada saat kedatangan . Kasus telah dilaporkan dari
delapan dari 15 Payams ( sub - kabupaten ) di Juba county dengan payam paling
terpengaruh menjadi Muniki , akuntansi untuk 25 % dari kasus yang dilaporkan (Peter,
2014).
Berdasarkan berita harian kompas Palu (2010) empat warga Desa Petimbe,
Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, meninggal dunia akibat terkena
penyakit kolera. Kepala Puskesmas Kecamatan Palolo Alexander Kantiadagho yang
dihubungi wartawan dari Palu, Kamis, sebanyak 58 warga lainnya dilaporkan terjangkit
penyakit mematikan itu. Kantiadagho menuturkan, penyebab banyaknya penderita kolera
adalah minimnya kesadaran masyarakat melakukan pola hidup bersih dan sehat.
Masyarakat di RT tersebut hanya mengandalkan sungai kecil untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya, termasuk mencuci makanan.
Penyakit ini paling sering terjadi pada tempat-tempat dengan sanitasi yang buruk,
berkerumun, perang, dan kelaparan. Jika Anda bepergian ke salah satu daerah,
mengetahui fakta-fakta kolera berikut dapat membantu melindungi Anda dan keluarga
Anda.

B. Etiologi
Penyakit Kolera disebabkan oleh infeksi dari bakteri Vibrio cholera. Vibrio
Cholerae merupakan bakteri gram negative, berbentuk batang, biasanya melengkung
seperti koma, panjangnya 1.5-2 m dan lebar 0.3-0.5 m, mempunyai flagella monotrik.
Serotype utama adalah Ogawa dan Inaba.
1. Dua biotipe V. cholerae telah ditetapkan, yaitu klasik dan El Tor.
a. Biotipe El Tor menghasilkan hemolisin,
b. Memberikan hasil yang positif pada uji Voges-Proskauer, dan resisten
terhadap polimiksin B.
2. V. cholera O139 sangat mirip dengan V. cholera O1 biotipe El Tor.
a.

Tidak menghasilkan lipopolisakarida O1 dan tidak mempunyai semua


gen yang diperlukan untuk membuat antigen ini.
3

b. Menghasilkan kapsul polisakarida seperti strain V. cholera non-O1


lainnya, sedangkan V. cholera O1 tidak menghasilkan kapsul.

C. Transmisi Dan Berbagai Host


Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik.
Meskipun sudah banyak penelitian bersekala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini
tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern. Bakteri Vibrio cholerae
berkembang biak dan menyebar melalui feaces (kotoran) manusia, bila kotoran yang
mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya maka orang lain
yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko terkena penyakit kolera itu juga (Ulfa,
2011)
Kuman Kolera ditularkan kepada orang lain melalui makanan atau minuman yang
telah tercemar oleh kuman ini. Bila jumlah bakteri Kolera mencapai 100 juta, maka
bakteri ini dapat menyebabkan penyakit pada orang yang sehat. Anak-anak lebih peka
pada penyakit ini, dan anak-anak dengan umur 2-4 tahun paling rentan terhadap penyakit
Kolera ini. Secara individu, orang yang bergolongan darah O lebih peka terjangkit oleh
penyakit ini.
Selain itu, orang yang menderita penyakit AIDS, anak-anak yang kekurangan gizi,
orang yang berumur pertengahan lebih mudah terjangkit penyakit Kolera ini sehingga
perlu mendapatkan pertolongan tenaga kesehatan dengan segera. Pembuangan kotoran
manusia dengan tepat dan pemurnian air minum merupakan tindakan yang sangat penting
untuk mengatasi penyakit Kolera ini. Disarankan untuk minum air minum yang sudah
direbus dan menghindari makan sayuran yang belum dimasak agar terhindar dari penyakit
ini. Selain itu, pemberian vaksin Kolera pada daerah endemis sangat penting dan perlu
terus dilakukan ulang setiap 6 bulan (Pramana, 2014).
Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus melepaskan
sejumlah besar cairan yang banyak mengandung garam dan mineral. Karena bakteri
sensitive terhadap asam lambung, maka penderita kekurangan asam lambung cenderung
menderita penyakit ini (DepKes RI, 2007).
Langkah Rasionalisasi Surveilans
D. Dasar Surveilans Kolera
Pada tahun 2012, jumlah global kolera melaporkan kasus menurun pada tahun
2013. Namun selama 2013, wabah kolera masih terpengaruh beberapa benua dan terus
4

menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang serius di antara populasi dunia


berkembang yang tidak memiliki akses yang tepat untuk air yang cukup dan sumber
sanitasi. Pada tahun 2013, 43,6% dari kasus yang dilaporkan dari Afrika sedangkan antara
2001 dan 2009, 93% sampai 98% dari total kasus di seluruh dunia dilaporkan dari benua
itu (WHO.2015).
Pemberian imunisasi dan vaksin merupakan salah satu cara pemerintah untuk
menanggulangi masalah kesehatan yang terjadi karena dalam waktu 46 minggu setelah
imunisasi akan timbul antibodi spesifik yang efektif mencegah penularan penyakit,
sehingga anak tidak mudah tertular infeksi, tidak menderita sakit berat, serta tidak terjadi
wabah dan kematian. Program imunisasi nasional pada anak sangat efektif untuk
mencegah penyakit dan kematian. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran
paradigma sehat bahwa upaya promotif dan preventif merupakan hal terpenting dalam
peningkatan status kesehatan. Salah satu upaya preventif yang bisa dilakukan adalah
meningkatkan cakupan dan kelengkapan imunisasi. Vaksinasi dilakukan secara besarbesaran melalui penyuntikan sehingga penderita kolera akhirnya dapat dibatasi
jumlahnya.
Untuk menuntaskan masalah kesehatan yang terjadi khususnya kematian pada
anak akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi, cakupan dan kelengkapan
imunisasi dasar yang belum mencapai target maka solusi yang harus ditempuh ialah
melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat untuk mencegah dan meningkatkan
status kesehatan dan menata lingkungan sehat secara mandiri dengan anggaran yang kecil
serta mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Dalam upaya promotif
dan preventif masyarakat tidak berperan sebagai objek atau sasaran program melainkan
masyarakat harus dijadikan sebagai subyek yang melaksanakan upaya peningkatan
kesehatan secara mandiri berawal dari pribadi, keluarga dan masyarakat secara luas.
Selain itu, Mengaktifkan program surveilans secara baik, mengutamakan promotif
dan preventif dengan tidak mengabaikan rehabilitatif dan kuratif, menggerakkan lintas
sektor, membina suasana yang kondusif, advokasi, pengorganisasian masyarakat,
pengembangan sumber daya manusia, alokasi dana yang cukup, serta melakukan evaluasi
secara ilmiah dengan melakukan penelitian merupakan alternatif solusi yang bisa
ditempuh untuk menyelamatkan anak Indonesia (Mangarapian, 2014).
Mengembangkan dan melaksanakan strategi perbaikan kondisi air minum dan
kebersihan secara nasional. Pemerintah beserta UNICEF juga memberi wawasan tentang
5

air yang aman melalui program Pembangunan dan Kelangsungan Hidup Anak.
Disamping itu, UNICEF juga membantu gerakan Suplai Air Bersih dan Kebersihan
Dasar. Gerakan ini mencakup rehabilitasi dan konstruksi sumur dangkal, tanki
penampungan air hujan dan sistem pipa gravitasi. Pembangunan toilet, fasilitas mandi
cuci dan pembuangan sampah di sekolah-sekolah, di pusat kesehatan masyarakat dan di
bangunan keagamaan bersama mitra kerjanya, UNICEF juga menyediakan air minum.

DEFINISI KASUS
E. Definisi Kasus Kolera
Kolera adalah penyakit Re-Emergin yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae
. Meskipun sejumlah besar orang yang terinfeksi mengalami gejala hanya ringan dan
tidak memerlukan perhatian medis atau bahkan tidak ada gejala sama sekali. Namun,
cholera dalam banyak kasus menyebabkan diare akut, yang pada gilirannya menyebabkan
dehidrasi progresif dan yang paling parah kasus kematian. Bahkan , kolera masih
merupakan ancaman global bagi kesehatan masyarakat terutama di negara-negara di mana
infrastruktur untuk menyediakan akses ke air bersih dan sanitasi dasar berkembang
kurang . Data terbaru yang disediakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menunjukkan pada fakta bahwa lebih dari 220 000 kasus telah dilaporkan di seluruh
dunia pada tahun 2009, dengan sekitar 5000 korban dengan Case fatality Rate sebesar
2.24%. Namun, angka-angka ini mungkin bahkan serius dan tidak dapat diremehkan ,
karena masih kurangnya pelaporan, kurangnya pengawasan dan inkonsistensi dalam
definisi kasus (Bertuzzo dkk, 2011).
F. Gambaran Klinik
Diare cair dan muntah timbul sesudah masa inkubasi 6 jam sampai 72 jam (ratarata 2-3 hari) kadang-kadang sampai 7 hari. Kolera dimulai dengan awitan diare berair
tanpa rasa nyeri (tenesmus) dengan tiba-tiba yang mungkin cepat menjadi sangat banyak
dan sering langsung disertai muntah. Feses memiliki penampakan yang khas yaitu cairan
agak keruh dengan lendir, tidak ada darah dan berbau agak amis. Kolera di juluki air
cucian beras (rise water stool) karena kemiripannya dengan air yang telah digunakan
untuk mencuci beras. nyeri abdominal di daerah umbilikal sering terjadi. Pada kasuskasus berat sering dijumpai muntah-muntah, biasanya timbul setelah awitan diare kurang
lebih 25 % penderita anak-anak mengalami peningkatan suhu rektum (38-39C), pada
saat dirawat atau pada 24 jam pertama perawatan gejala klinisnya sesuai dengan
6

penurunan volume cairan, pada kehilangan 3-5 % BB normal, mulai timbul rasa haus.
Kehilangan 5-8 %, hipotensi postural, kelemahan, takikardia dan penurunan
turgor kulit, di atas 10% BB atau lebih merupakan diare masif, dimana terdapat dehidrasi
berat dan kolaps peredaran darah, dengan tanda-tanda tekanan darah menurun (hipotensi)
dan nadi lemah dan sering tak terukur, pernafasan cepat dan dalam, oliguria, mata
cekung pada bayi, ubun-ubun cekung, kulit terasa dingin dan lembab disertai turgor yang
buruk, kulit menjadi keriput, terjadi sianosis dan nyeri kejang pada otot-otot anggota
gerak, terutama pada bagian betis. Penderita tampak gelisah, disertai letargi, somnolent
dan koma. Pengeluaran tinja dapat berlangsung hingga 7 hari. Manifestasi selanjutnya
tergantung pada pengobatan-pengobatan pengganti yang memadai atau tidak.
Komplikasi biasanya disebabkan karena penurunan volume cairan dan elektrolit.
Komplikasi dapat dihindari dan proses dapat dibatasi apabila diobati dengan cairan dan
garam yang menandai. Tanda awal penyembuhan biasanya adalah kembalinya pigmen
empedu di dalam tinja. Pada umumnya diare akan cepat berhenti.

G. Diagnosis
Dalam menegakan suatu diagnosis kolera meliputi gejala klinis, pemeriksaan fisik
,reaksi aglutinasi dengan anti serum spesifik dan kultur bakteriologis. Menegakkan
diagnosis penyakit kolera yang berat terutama diderah endemik tidaklah sukar. Kesukaran
menegakkan diagnosis biasanya terjadi pada kasus-kasus yang ringan dan sedang,
terutama di luar endemi atau epidemi.
1. Gejala klinik
Kolera yang tipik dan berat dapat dikenal dengan adanya berak-berak yang
sering tanpa mulas diikuti dengan muntah-muntah tanpa mual, cairan tinja berupa air
cucian beras, suhu tubuh yang tetap normal atau menurun dan cepat bertambah
buruknya keadaan pasien dengan gejala-gejala akibat dehidrasi, renjatan sirkulasi dan
asidosis yang jelas.
2. Pemeriksaan Fisik
Adanya tanda-tanda dehidrasi yaitu keadaan turgor kulit, mata cekung, Ubun ubun
besar yang cekung, mulut kering,denyut nadi lemah atau tiada, takikardi, kulit dingin,
sianosis, selaput lendir kering dan kehilangan berat badan
3. Kultur Bakteriologis
Diagnosis pasti kolera tergantung dari keberhasilan mengisolasi V. Kolera 01
7

dari tinja penderita penanaman pada media seletif agar gelatin tiosulfat-sitrat-empedusukrosa (TCBS) dan TTGA. Tampak pada TCBS organisme V. Kolera menonjol
sebagai koloni besar, kuning halus berlatar belakang medium hijau kebiruan. Pada
TTGA koloni kecil, opak dengan zone pengkabutan sekelilingnya.
4. Reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik
Yaitu melalui penentuan antibodi-antibodi vibriosidal, aglutinasi dan
penetralisasi toksin, titer memuncrat dan ke 3 antibodi tersebut akan terjadi 7-14 hari
setelah awitan penyakit-titer antibodi vibriosidal dan aglutinasi akan kembali pada
kadar awal dalam waktu 8-12 minggu setelah awitan penyakit, sedangkan titer
antitoksin akan tetap tinggi hingga 12-18 bulan. Kenaikan sebesar 4x atau lebih
selama masa penyakit akut atau penurunan titer selama masa penyembuhan.
5. Pemeriksaan darah
Pada darah lengkap ditemukan angka leukosit yang meninggi yang
menunjukkan adanya suatu proses infeksi, pemeriksaan terhadap pH, bikarbonat
didalam plasma yang menurun, dan pemeriksaan elektrolit untuk menentukan
gangguan keseimbangan asam basa.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kolera adalah diare sekretoris lainnya dengan gambaran
klinis yang mirip dengan kolera ialah diare yang disebabkan oleh enterotoxigenic E.
Coli (ETEC), Shigella, salmonela. Dapat dibedakan berdasarkan simtom, gejala
klinis dan sifat tinja yaitu berdasarkan tabel 2 Gray dkk, 1979.

Tabel 1. Simtom, gejala klinis dan sifat tinja


E. coli
enterotoksigenik

E. coli
enteroinvasif

Salmonella

Shigella

V.
cholerae

Jarang

Jarang

+
Tenesmus
Kolik
Pusing

Simtom dan
gejala

Rotavirus

Mual dan
muntah
Panas

Dari
permulaan
+

Sakit

Tenesmus

Kadang-kadang

Sering distensi
abdomen

Gejala lain

+
Tenesmus
Tenesmus
Kolik
Kolik
Pusing
Bakteriemia, tokHipotensi
semia
sistemik

Kolik

Dapat ada
kejang

Sifat tinja :
- Volume

Sedang

Banyak

Sedikit

Sedikit

Sedikit

- Frekuensi

Sampai
10/ lebih

Sering

Sering

Sering

Sering
sekali

Sangat
banyak
Hampir
terus

Konsistensi
- Mukus

Berair

Berair

Kental

Berlendir

Kental

Berair

Jarang

Sering

Flacks

- Darah

+
Kadangkadang

- Bau

Bau tinja

Tidak
spesifik

Bau telur

Tak
berbau

Tidak berwarna

Hijau

Hijau

Hijau

- Warna
- Leukosit

Hijau
kuning
-

Sering

- Sifat lain

Anyir

Tinja
seperti
air
cucian
beras

H. Uji laboratorium diagnostic


a.

Spesimen
Spesimen untuk biakan terdiri dari bintik-bintik mucus yang berasal dari feses

b.

Sediaan Apus
Gambaran mikroskopis sediaan apus yang diambil dari sampel feses tidak khas.
Mikroskopis lapangan-gelap atau kontras fase dapat menunjukkan adanya vibrio yang
bergerak cepat.
9

c.

Biakan
Pertumbuhan bakteri ini berlangsung cepat pada agar pepton, pada agar darah dengan
pH hamper 9, atau pada agar TCBS dan koloni yang khas dapat dilihat dalam waktu
18 jam. Untuk pengayaannya, beberapa tetes feses dapat diinkubasi selama 6-8 jam
dalam kaldu taurokolat pepton (pH 8,0-9,0); organism dari biakan ini dapat diberi
pewarnaan atau dilakukan pembiakan lebih lanjut.

d.

Uji spesifik
Organisme V. cholerae dapat diidentifikasikan lebih lanjut dengan uji aglutinasi
mikroskopik yang menggunakan antiserum anti-O grup 1 dan pola reaksi biokimia.

I. Klasifikasi Kasus
Adapun dalam klasifikasi kasus kolera, penulis tidak menemukan secara teori.
J. Konfirmasi Kasus Berat
Infeksi tanpa gejala biasanya lebih sering terjadi daripada infeksi dengan gejala,
terutama infeksi oleh biotipe El Tor; gejala ringan dengan hanya diare, umum terjadi,
terutama dikalangan anak-anak. Pada kasus berat yang tidak diobati (kolera gravis),
kematian bisa terjadi dalam beberapa jam, dan CFR-nya bisa mencapai 50 %. Dengan
pengobatan tepat, angka ini kurang dari 1 %.
Risiko terjadinya KLB sangat tinggi di daerah di suatu daerah endemis kolera,
apabila didaerah tersebut orang berkumpul bersama dalam jumlah besar tanpa
penanganan makanan yang baik serta tanpa tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai.
Oleh karena itu, setiap kejadian yang di indikasi terdapat wabah kolera waji di Laporkan
kepada instansi kesehatan setempat: (umumnya Laporan kasus kolera diwajibkan)
K. Kemungkinan Komplikasi Kasus Kolera
Kolera bisa menjadi fatal. Dalam kasus-kasus kolera parah, hilangnya cairan
tubuh dengan cepat bisa menyebabkan kematian dalam dua atau tiga jam saja. Dalam
kasus yang kurang berbahaya, orang yang tidak mendapat penanganan medis bisa
meninggal karena dehidrasi dan shock dalam waktu 18 jam sampai beberapa hari setelah
terkena gejala kolera pertama. Meskipun shock dan dehidrasi parah adalah komplikasi
kolera yang paling mematikan, masalah masalah lain juga bisa muncul, misalnya: Kadar
gula darah rendah (hipoglikemia).
Anak-anak memiliki risiko paling tinggi terkena komplikasi, yang bisa
menyebabkan kejang, pingsan, bahkan kematian. Tingkat potasium rendah (hipokalemia).
10

Penderita kolera kehilangan banyak jumlah mineral, termasuk potasium selama mereka
buang-buang air. Tingkat potasium yang rendah akan mengganggu jantung dan fungsi
saraf dan kondisi ini mengancam keselamatan jiwa. Gagal ginjal. Ketika ginjal
kehilangan kemampuan untuk menyaring, kelebihan cairan, elektrolit dan hasil buangan
lainnya menumpuk di tubuh ini adalah kondisi yang membahayakan jiwa mengancam
keselamatan. Pada penderita kolera, gagal ginjal seringkali disertai dengan shock (Dok
Digital, 2014).
Sehingga, perawatan di rumah sakit dengan memperlakukan kewaspadan enterik
di perlukan untuk pasien berat; isolasi ketat tidak diperlukan. Untuk penderita yang tidak
begitu berat, dapat di perlakukan sebagai penderita rawat jalan, diberi rehidrasi oral dan
antibiotika yang tepat. Ruang perawatan kolera yang penuh sesak dengan penderita dapat
di operasikan tanpa perlu khawatir dapat menimbulkan ancaman penularan kepada
petugas kesehatan dan pengunjung asalkan prosedur cuci tangan secara efektif serta
prosedur kebersihan perorangan di laksanakan dengan baik. Pemberantasan terhadap lalat
juga perlu dilakukan.

L. Konfirmasi Kasus Kematian Kolera


Pengobatan terhadap pasien kolera berupa tatalaksana pencegahan dehidrasi dan
pemberian antibiotika secara selektif sesuai dengan etiologi, biasanya ditangani pertama
oleh pihak puskesmas. Pasien di rujuk ke RS apabila diperlukan penanganan lebih lanjut
pada suspek kolera kemudian isolasi pasien di RS. Sehingga konfirmasi adanya kematian
akibat kolera dapat diperoleh dari rumah sakit rujukan tersebut.

M. Kegagalan Pengobatan.
Kegagalan dalam perlakuan atau pengobatan penyakit Kolera dapat diminimalisir
dengan pengobatan yang memadai dan spesifik seperti tiga cara pengobatan bagi
penderita Kolera :
1. Terapi rehidrasi agresif : Dasar dari terapi kolera adalah rehidrasi agresif
melalui oral dan intravena yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan
cairan dan elektrolit, juga untuk mengganti cairan akibat diare berat yang
sedang berlangsung.
2. Pemberian antibiotika yang efektif : pemberian antibiotika dapat mengurangi
volume dan lamanya diare dan dengan cepat mengurangi ekskresi dari vibrio
11

sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penularan sekunder. Akhirnya


pada saat terapi rehidrasi cukup efektif, dan penderita tertolong dari renjatan
hipovolemik dan tertolong dari dehidrasi berat, penderita dapat mengalami
komplikasi seperti hipoglikemi yang harus di ketahui dan di obati dengan
segera. Jika hal diatas dilakukan dengan baik maka angka kematian (CFR)
bahkan pada ledakan KLB di negara berkembang dapat ditekan dibawah 1 %.
Antibiotika

yang

tepat

dapat

memperpendek

lamanya

diare,

mengurangi volume larutan rehidrasi yang dibutuhkan dan memperpendek


ekskresi vibrio melalui tinja. Orang dewasa diberi tetrasiklin 500 mg 4 kali
sehari dan anak anak 12.5 mg/kg 4 kali sehari selama 3 hari. Pada saat Strain
V. cholerae yang resisten terhadap tetrasiklin sering ditemukan, maka
pengobatan dilakukan dengan pemberian antimikroba alternatif yaitu TMPSMX (320 mg trimethoprim dan 1600 mg sulfamethoxazol dua kali sehari
untuk orang dewasa dan 8 mg/kg trimethoprim dan 40 mg/kg sulfamethoxazol
sehari dibagi dalam 2 dosis untuk anak-anak, selama 3 hari); furazolidon (100
mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan 1.25 mg/kg 4 kali sehari untuk anakanak, selama 3 hari); atau eritromisin (250 mg 4 kali sehari untuk orang
dewasa dan 10 mg/kg 3 kali sehari untuk anak-anak selama 3 hari).
Siprofloksasin, 250 mg sekali sehari selama 3 hari, juga merupakan regimen
yang baik untuk orang dewasa. V. cholerae strain O139 resisten terhadap
TMP-SMX. Oleh karena ditemukan strain O139 atau O1 yang mungkin
resisten terhadap salah satu dari antimikroba ini, maka informasi tentang
sensitivitas dari strain lokal terhadap obat-obatan ini perlu diketahui, jika
fasilitas untuk itu tersedia, informasi ini digunakan sebagai pedoman
pemilihan terapi antibiotika yang tepat

3. Pengobatan untuk komplikasi : Untuk memperbaiki dehidrasi, asidosis dan


hipokalemia pada penderita dengan dehidrasi ringan hingga sedang cukup
dengan hanya memberikan larutan rehidrasi oral (Oralit) yang mengandung
glukosa 20g/l (atau sukrosa 40 gr/l atau dengan air tajin 50g/L), NaCl (3.5
g/L), KCl (1.5 g/L); dan trisodium sitrat dihidrat (2.9 g/L) atau NaHCO3 (2.5
g/L). Kehilangan cairan pada penderita dengan dehidrasi ringan hingga sedang
di perbaiki dengan rehidrasi oral sebagai pengganti cairan, diberikan lebih dari
12

4 – 6 jam, agar jumlah yang diberikan dapat mengganti cairan yang
diperkirakan hilang (kira-kira 5 % dari berat badan untuk dehidrasi ringan dan
7 % pada dehidrasi sedang). Kehilangan cairan yang berlangsung terus dapat
digantikan dengan memberikan, selama lebih dari 4 jam, cairan per oral
sebanyak 1.5 kali dari volume tinja yang hilang selama 4 jam sebelumnya.
Penderita yang menderita renjatan sebaiknya diberi rehidrasi intra vena
cepat dengan larutan multielektrolit seimbang yang mengandung kira-kira 130
mEq/L Na+, 25 - 48 mEq/L bikarbonat, asetat atau ion laktat, dan 10-15
mEq/L K+. Larutan yang sangat bermanfaat antara lain Ringer’s laktat
atau Larutan Pengobatan Diare dari WHO (4 gr NaCl, 1 g KCl, 6.5 gr natrium
asetat dan 8 gr glukosa/L) dan “Larutan Dacca” (5 g NaCL, 4 gr
NaHCO3, dan 1 g KCL/L), yang dapat dibuat ditempat pada keadaan darurat.
Penggantian cairan awal sebaiknya diberikan 30ml/kg BB pada jam pertama
untuk bayi dan pada 30 menit pertama untuk penderita berusia diatas 1 tahun,
dan sesudahnya pasien harus di nilai kembali. Sesudah dilakukan koreksi
terhadap sistem cairan tubuh yang kolaps, kebanyakan penderita cukup
diberikan rehidrasi oral untuk melengkapi penggantian 10 % defisit awal
cairan dan untuk mengganti cairan hilang yang sedang berlangsung.

Tipe Surveilans Yang Direkomendasi

N. Tipe Surveilans Yang Direkomendasi


1. Melakukan penyelidikan epidemiologi di lokasi munculnya wabah dan Pencarian
kasus baru bila ada, sehingga dapat membantu menetapkan masalah kesehatan
prioritas dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan.
2. Spesimen: Pengambilan sample tinja (untuk kasus diare berdarah & suspek kolera) &
kirim ke lab Provinsi
Koordinasi lintas program atau lintas sektor terkait sesuai dengan prosedur dan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
Rekomendasi Elemen Data Minimum

O. Rekomendasi Elemen Data Minimum


Data yang dilaporkan dapat ditampilkan dengan berbagai kategori misalnya jenis
13

kelamin, tempat, golongan umur, gejala klinik, hasil diagnosis laboratorium baik makro
(pemeriksaan bau, bentuk, dan warna feces) maupun mikro (pemeriksaan leukosit,
eritrosit, lemak, lender dan menyatakan positif-negatif mengandung bakteri vibrio.C),
penyebab, dsb.
Rekomendasi Analisis Data

P. Rekomendasi Analisis Data


Adapun laporan data penyakit kolera dapat diperoleh dan ditampilkan dalam
bentuk :
1. Teks
Penyajian hasil data survey penyakit kolera dari variabel-variabel terkait
sudah pasti dapat dituangkan dalam bentuk tulisan atau uraian dalam bentuk
kalimat-kalimat
2. Tabel
Pada umumnya penyakit kebanyakan ditampilkan dalam bentuk data
kuantitatif yang pula dapat dihitung frekuensinya, sehingga cara yang terbaik
untuk menampilkan data kasus penyakit ialah dalam bentuk distribusi frekuensi
yang biasa diperlihatkan dalam bentuk tabel. Begitupula pada laporan data kasus
kolera, berbagai variabel dapat dikorelasikan dengan kasus kolera. Sehingga
dengan menggunakan tabel, dapat menjelaskan keterkaitan satu variabel atau lebih
secara baik dengan kasus kolera.
3. Grafik
Data yang ditampilkan dalam bentuk grafik merupakan hal yang sangat
berguna. Grafik tersebut biasanya dibuat untuk periode 12 bulan, melihat fase
inkubasi penyakit seperti pada kasus kolera (rata-rata 2-3 hari) atau dalam bentuk
kesepakatan instansi kesehatan.
4. Map Diagram
Kolera terjadi sejak awal tahun 1800-an. Di antara tahun 1832 - 1836 lebih
dari 200.000 penduduk Amerika Utara meninggal pada pandemic kedua dan
keempat. Pada pandemic ketujuh awal tahun 1961 bermula di Indonesia,
kemudian menyebar ke Asia Selatan, Timur Tengah, sebagian Eropah dan Afrika
pandemic dan sebagainya. Sehingga dengan distribusi geografis penderita bisa
digambarkan dengan melihat map diagram.
14

Prinsip Penggunaan Data Untuk Kebijakan

Q. Prinsip Penggunaan Data Untuk Kebijakan


Seperti halnya peristiwa besar dalam sejarah epidemiologi dan kesehatan
masyarakat. Hasil riset Snow telah memberikan informasi yang bermanfaat kepada
otoritas di London bahwa agen penyebab epidemi kolera terletak pada air yang
terkontaminasi feses sehingga perlu untuk menghentikan epidemic sebagai suatu peran
preventif.
Dengan dilaksanakannya surveilans epidemiologi pada kolera, diharapkan mampu
mendeteksi kecenderungan (trend) perubahan kejadian penyakit kolera, dapat mendeteksi
kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) atau epidemic, dapat memperkirakan
tentang besarnya morbiditas dan mortalitas, dapat dimanfaatkan untuk perbaikan system
pelayanan kesehatan (Health Care Provider) terutama dibidang klinik, serta
memungkinkan para petugas kesehatan untuk bekerja lebih terarah pada kegiatan yang
lebih produktif.
Aspek Khusus

15

16

Anda mungkin juga menyukai