Health Technology Assessment Indonesia H PDF
Health Technology Assessment Indonesia H PDF
Pencegahan Thalassemia
[Hasil kajian HTA tahun 2009]
Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010
PANEL AHLI
1. DR. Dr. Tubagus Djumhana Atmakusumah, SpPD – KHOM
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
Subbagian Hematologi Onkologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM
Jakarta
2
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
3
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Kajian HTA
PENCEGAHAN THALASSEMIA
A. Latar Belakang
Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen tunggal (single
gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran penyakit ini mulai dari
Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah
sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan
Pasifik dan Indonesia.1,2 Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk thalassemia,
dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%.3 World Health Organization (WHO)
pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi
4,5% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot).4 Dari jumlah
tersebut sebanyak 80-90 juta adalah pembawa sifat thalassemia dan sisanya adalah
pembawa sifat thalassemia , jenis lain pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS,
HbO, dan lain-lain. Saat ini sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan
ini.5
Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan.
Angka pembawa sifat thalassemia- adalah 3-5%, bahkan di beberapa daerah mencapai 10%,6
sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-36%.7 Berdasarkan hasil penelitian di
atas dan dengan memperhitungkan angka kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia,
diperkirakan jumlah pasien thalassemia baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi,
yakni sekitar 2.500 anak. Sementara itu, biaya pengobatan suportif seperti transfusi darah dan
kelasi besi seumur hidup pada seorang pasien thalassemia sangat besar, yakni berkisar 200-300
juta rupiah/anak/tahun, diluar biaya pengobatan jika terjadi komplikasi. Selain itu, beban psikologis
juga menjadi hal yang harus ditanggung oleh pasien dan keluarganya.
Sampai saat ini, thalassemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan satu-satunya bagi
pasien adalah dengan melakukan transfusi darah rata-rata sebulan sekali seumur hidupnya, di
samping terapi kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat transfusi
darah rutin. Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan
lainnya umumnya muncul pada dekade kedua, tetapi dengan tatalaksana yang baik usia pasien
dapat diperpanjang. Data Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-
RSCM, mencatat usia tertua pasien mencapai 40 tahun dan bisa berkeluarga serta memiliki
keturunan. Jumlah pasien yang terdaftar di Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan
4
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan bulan Agustus 2009 mencapai 1.494 pasien dengan
rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat setiap
tahunnya mencapai 100 orang/tahun.
Banyak studi menunjukkan bahwa program pencegahan thalassemia akan lebih
menguntungkan daripada mengobati penderita yang terus bertambah.8,9 Berdasarkan gambaran
masalah di atas, maka program pengelolaan penyakit thalassemia seharusnya lebih ditujukan
kepada pencegahan lahirnya pasien thalassemia mayor. Salah satu caranya ialah melalui
skrining thalassemia terutama pada pasangan usia subur yang dilanjutkan dengan diagnosis
pranatal. Biaya pemeriksaan skrining thalassemia sekitar 350-400 ribu rupiah/orang. Jumlah ini
tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penanganan satu orang pasien selama
setahun. Jika penanganan seorang pasien sekitar 300 juta rupiah maka biaya tersebut setara
dengan biaya pemeriksaan skrining thalassemia untuk sekitar 750 orang. Lebih lanjut WHO
menyatakan besarnya biaya tahunan program nasional pencegahan thalassemia sama dengan
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk penanganan medis 1 orang pasien selama 1 tahun.10 Biaya
program pencegahan thalassemia ini relatif konstan, sementara biaya penanganan medis
cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Sayangnya, meskipun dampak ekonomi dan
psikososial yang diakibatkannya cukup berat, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional dalam
hal pencegahan thalassemia di Indonesia. Bagaimana bentuk program pencegahan, metode
skrining yang tepat guna dan mampu laksana, serta implikasi sosio-etiko-legalnya di Indonesia
memerlukan kajian ilmiah yang berbasis bukti dari pengalaman berbagai negara di dunia.
B. Tujuan Pengkajian
Pengkajian ini bertujuan untuk :
a. Tersusunnya rekomendasi teknik dan metode skrining thalassemia β homozigot dan β-HbE
yang tepat guna dan mampu laksana di Indonesia
b. Tersusunnya rekomendasi kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pencegahan
thalassemia β homozigot dan β-HbE di Indonesia
c. Tersusunnya rekomendasi solusi implikasi sosio-ekonomi-etiko-legal, asuransi dan agama
skrining thalassemia β homozigot dan β-HbE di Indonesia
C. Metode Pengkajian
1. Metode Pencarian Literatur
Penelusuran artikel dilakukan melalui kepustakaan elektronik dengan mengambil
database PUBMED dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan adalah : thalassemia
5
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
2. Patogenesis
Penyakit ini diturunkan mengikuti kaidah Mendel dan merupakan kelainan mutasi gen
tunggal (single gen mutation) terbanyak di dunia. Menurut defek yang terjadi, ditemukan
6
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
beberapa jenis thalassemia, namun tipe yang paling sering, dengan tanda klinis yang umumnya
berat adalah thalassemia (kelainan pada rantai ) dan thalassemia (kelainan pada rantai ).
a. Thalassemia β
Thalassemia β adalah hasil lebih dari 150 mutasi dari rantai globin β, baik berupa
hilangnya rantai β (thalassemia β0) atau berkurangnya rantai β (thalassemia β+). Keadaan ini
menyebabkan ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang mengakibatkan berlebihnya rantai
α sehingga terjadi presipitasi prekursor eritrosit, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan
sel darah merah di sumsum tulang dan perifer. Keseluruhan proses tersebut mengakibatkan
terjadinya anemia yang parah, yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan produksi
eritropoetin dan ekspansi sumsum tulang yang tidak efektif, deformitas tulang, pembesaran
limpa dan hati, serta hambatan pertumbuhan.12 Perjalanan penyakit selanjutnya tergantung
apakah pasien mendapat transfusi yang memadai atau tidak. Bila diberikan transfusi yang
adekuat, pasien dapat tumbuh dan kembang dengan normal tanpa kelainan klinis. Komplikasi
dapat muncul pada akhir dekade pertama sebagai akibat dari penumpukan zat besi akibat
transfusi berulang. Penumpukan zat besi ini dapat diatasi dengan pemberian kelasi besi. 1 Di
akhir dekade ke-2 kehidupan, komplikasi pada jantung mulai muncul dan kematian dapat terjadi
akibat timbunan zat besi pada jantung (cardiac siderosis). Selain itu pasien juga rawan terkena
infeksi yang ditularkan melalui darah yang ditransfusi seperti infeksi hepatitis dan HIV. 1
Thalassemia β mayor adalah thalassemia dengan gejala klinis yang paling berat. Bentuk
yang lebih ringan, dimana gejala klinis baru muncul pada usia yang lebih tua dan pasien tidak
memerlukan transfusi atau jarang memerlukan transfusi disebut thalassemia intermedia.
Sementara individu yang merupakan karier disebut thalassemia minor, dimana pasien tidak
menunjukkan gejala klinis dan kelainan baru diketahui melalui pemeriksaan hematologi berupa
anemia hipokrom mikrositer dan peningkatan kadar Hb A2.1,12
b. Thalassemia α
Karena rantai α juga terdapat pada Hb F (fetal haemoglobin) dan Hb A (adult
haemoglobin), maka penyakit ini dapat terjadi pada masa janin dan usia dewasa. Lebih lanjut,
kelebihan rantai γ dan β tidak langsung mengalami presipitasi di sumsum tulang seperti rantai
α, namun memproduksi tetramer yang tidak stabil γ4 (Hb Bart’s) dan β4 (Hb H). Komponen
genetik thalassemia α lebih kompleks dari thalassemia , dimana komposisinya bisa berupa αα/
αα, -/αα (hilangnya kedua α gen pada kromosom, disebut thalassemia α0), - α/αα (hilangnya
salah satu gen α, disebut thalassemia α+). Biasanya hilangnya gen α ini terjadi karena delesi,
walaupun dapat juga akibat mutasi seperti pada thalassemia β.13
7
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
3. Diagnosis
Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan laboratorium.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis thalassemia meliputi
pemeriksaan darah tepi lengkap (complete blood count/CBC), khususnya nilai eritrosit rerata
seperti MCV (mean corpuscular volume), MCH (mean corpuscular haemoglobin), MCHC (mean
corpuscular haemoglobin concentration) dan RDW (red blood cell distribution width). Selain itu
perlu dievaluasi sediaan apus darah tepi, badan inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang
meliputi pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar HbA2, HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan
cadangan besi tubuh berupa pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total iron binding
capacity (TIBC). Komite International untuk Standardisasi Panel Ahli Thalassemia dan abnormal
Hemoglobin pada tahun 1975 merekomendasikan uji preliminari meliputi pemeriksaan darah
lengkap yang diikuti dengan elektroforesis pada pH 9.2, uji solubilitas dan sikling serta uji
kuantitatif HbA2 dan HbF. Bila ditemukan hemoglobin yang abnormal, uji lanjutan untuk
menentukan Hb varian dengan elektroforesis pada pH 6,0-6,2; pemisahan rantai globin dan
isoelectric focusing (IEF).14
5. Penatalaksanaan
Tatalaksana thalassemia mayor adalah transfusi sel darah merah secara reguler untuk
menjaga kadar Hb tetap > 9 g/dl, diiringi dengan terapi kelasi besi intensif parenteral
menggunakan deferoxamine. Splenektomi dipertimbangkan bila kebutuhan transfusi meningkat
melewati batas yang diharapkan. Pasien thalassemia juga memerlukan suplemen asam folat
yang dibutuhkan untuk eritropoesis, imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan Hemophilus
8
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
influenzae B, pemberian penisilin untuk profilaksis dan vaksinasi hepatitis B. Intervensi terhadap
defisiensi endokrin akibat penumpukan zat besi dan komplikasi lainnya diintervensi tergantung
kasus.3
6. Pencegahan Thalassemia
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir
dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu
secara retrospektif dan prospektif.1,7 Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan
penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia
mayor. Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk
mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk
pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat,
skrining (carrier testing), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.7
a. Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat
penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit
yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya
yang cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula
pengetahuan tentang gejala awal thalassemia. Media massa harus dapat berperan lebih aktif
dalam menyebarluaskan informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit
diturunkan dan cara pencegahannya.7
Program pencegahan thalassemia harus melibatkan banyak pihak terkait. Sekitar
10% dari total anggaran program harus dialokasikan untuk penyediaan materi edukasi
dan pelatihan tenaga kesehatan. 15
b. Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani dan tempat yang
memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada populasi (skrining prospektif)
dikombinasikan dengan diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara
dramatis.3
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada
suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk
mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikan kemungkinan
mendapat anak dengan thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk
9
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
16
Gambar 1. Algoritma skrining thalassemia
10
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
c. Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier
dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining dan
harus mampu menginformasikan pada peserta skirining bila mereka teridentifikasi karier
dan implikasinya. Prinsip dasar dalam konseling adalah bahwa masing-masing individu
atau pasangan memiliki hak otonomi untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapat
informasi akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal yang harus
diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri yang
mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal. Informasi tertulis harus
tersedia, dan catatan medis untuk pilihan konseling harus tersimpan. Pemberian informasi
pada pasangan ini sangat penting karena memiliki implikasi moral dan psikologi ketika
pasangan karier dihadapkan pada pilihan setelah dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang
tersedia tidak mudah, dan mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda -beda.
Tanggung jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat dan
komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan pilihan yang paling
mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing. 15
d. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada
wanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut
teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada
janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. Saat ini, program
ini hanya ditujukan pada thalassemia β+ dan βO yang tergantung transfusi dan sindroma Hb
Bart’s hydrops.1
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan.1,3 Metode yang
digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel
janin dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
11
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga ahli, pengambilan sampel
dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih dini,3 yaitu pada usia gestasi 9 minggu.1
Namun WHO menganjurkan biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada
usia kurang dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh prosedur pengambilan
sampel janin harus dilakukan oleh ahli fetomaternal dengan panduan USG kualitas tinggi.
Risiko terjadinya abortus pada biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli.15
Sedangkan tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion, umumnya efektif
dilakukan pada usia kehamilan > 14 minggu. Hal ini dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin
yang baru lepas dalam jumlah cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah,
namun mempunyai kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah janin (fetal nucleated
red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari darah perifer ibu.3 DNA janin dianalisis dengan
metode polymerase chain reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan
Southern blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction fragmen length
polymorphism (RFLP) analysis. Seiring dengan munculnya trauma akibat terminasi kehamilan
pada ibu hamil dengan janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang
dikembangkan diagnosis pranatal untuk thalassemia β sebelum terjadinya implantasi janin
dengan polar body analysis.1
Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari usia gestasi. Pada
umumnya dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan medisinalis. Dengan standar prosedur
yang sesuai, kedua metode ini, baik operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang
baik dalam pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan seringkali
mendasarkan pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia gestasi kurang dari 13 minggu,
metode standar pengakhiran kehamilan adalah ―suction method ―. Setelah 14 minggu, aborsi
dilakukan dengan induksi prostaglandin.15 Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah
kombinasi antara medisinalis dan cara operatif.
E. Hasil Pengkajian
1. Teknik dan Metode Skrining
a. Skrining Karier
1) Pemeriksaan nilai eritrosit rerata (NER)
Hasil skrining terhadap 795 orang menunjukkan bahwa pengidap thalassemia α,
thalassemia β dan Hb lepore semuanya menunjukkan nilai MCV < 76 fL, dan MCH < 25 pg,
yang mengindikasikan bahwa kedua nilai tersebut dapat digunakan untuk uji saring awal
12
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
thalassemia.17,18 Pada skrining massal terhadap 289.763 pelajar yang dilakukan Silvestroni dan
Bianco (1983) menunjukkan bahwa uji saring 2 tahap dengan melihat morfologi darah tepi dan
uji fragilitas osmotik sel darah merah 1 tabung yang diikuti dengan pemeriksaan indeks eritrosit
dan analisis hemoglobin dapat mendeteksi thalassemia non-α sampai 99,65%.19
Penelitian Maheswari (1999) terhadap 1.286 wanita yang melakukan pemeriksaan
antenatal menyatakan bahwa angka sensitivitas dan spesivisitas dari nilai MCV dan MCH
dalam identifikasi karier thalassemia berturut-turut adalah 98 % dan 92%. MCV dan MCH harus
dipakai bersamaan karena bila hanya salah satu yang digunakan hasil sensitivitas dan
spesifisitasnya rendah.20 Demikian juga penelitian Rathod dkk (2007) menunjukkan
penggunaan MCV dan MCH dengan cell counter dapat digunakan dalam deteksi karier β
thalassemia.21
Galanello dkk (1979) menganjurkan nilai MCV < 79 fL dan MCH < 27 pg sebagai nilai
ambang (cut-off) untuk uji saring awal thalassemia β (lihat tabel 1).22
22
Tabel 1. Nilai MCV dan MCH pada uji saring awal thalassemia β
Sementara penelitian Rogers dkk (1995) menyebutkan nilai cut off untuk skrining
antenatal thalassemia β pada wanita hamil adalah MCH < 27 pg dan MCV < 85 fl, dimana nilai
MCH lebih superior daripada MCV.23
2) Elektroforesis Hemoglobin
Peningkatan kadar HbA2 merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis karier
thalassemia.20 Subyek skrining yang positif dalam skrining awal dengan nilai eritrosit rerata
dikonfirmasi dengan penilaian kadar HbA2. Beberapa metode dapat digunakan, seperti
kromatografi mikrokolum (microcolum chromatography), High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dan capillary iso-electrofocusing.20,24,25 Diagnosis ditegakkan bila kadar
HbA2 > 3,5%.20
13
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
3) Analisis DNA
Saxena dkk (1998) melaporkan hasil analisis mutasi DNA dengan menggunakan
metode Amplification Refractory Mutation System (ARMS) pada diagnosis pranatal terhadap
415 kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa ARMS dapat mengkonfirmasi diagnosis pada
98,3% kasus. Pemeriksaan ini relatif murah dan dapat digunakan untuk diagnosis pranatal.17
b. Diagnosis Pranatal
Sumber sampel DNA diambil dengan beberapa cara yaitu dengan metode
amniosentesis pada usia gestasi setelah 15 minggu atau dengan pengambilan biopsi vili
khorialis (chorionic villus samples/ CVS) pada usia gestasi setelah 10-12 minggu.20 Saat ini,
biopsi vili khorialis masih merupakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk
pengambilan sampel analisis DNA pada trimester pertama kehamilan.16, 20 Penelitian Rosatelli
dkk pada populasi di Italia menunjukkan, diseksi yang hati-hati dan pemisahan jaringan desidua
ibu dengan bantuan mikroskop fase kontras memperlihatkan tidak ada misdiagnosis untuk
thalassemia β dengan metode pengambilan sampel biopsi vili khorialis ini.26 Penelitian Jackson
dkk (1992) yang membandingkan metode transervikal dan transabdominal dalam biopsi vili
khorialis pada 3.999 wanita hamil usia gestasi 7 sampai 12 minggu menunjukkan bahwa kedua
cara memiliki tingkat keamanan yang sama untuk diagnosis prenatal pada trimester pertama
kehamilan.18 Sementara penelitian Lau dkk di Cina yang melakukan biopsi vili khorialis terhadap
1.355 kehamilan melaporkan bahwa bila dilakukan oleh tenaga ahli, biopsi vili khorialis
transabdominal adalah prosedur invasif yang aman dan akurat. 27
The Cochrane Library melakukan kajian sistematik terhadap 16 studi RCT
menyimpulkan bahwa amniosentesis dini pada usia gestasi 9 – 14 minggu (early
amniocentesis) bukan merupakan pilihan yang aman dibandingkan amniosentesis pada
trimester kedua (usia gestasi 17 minggu) sebab meningkatkan keguguran (7.6% vs 5.9%; RR
1.29; 95% IK 1.03 - 1.61) dan terdapat insidens talipes yang lebih tinggi dibandingkan CVS (RR
4.61; 95% IK 1.82 - 11.66). Tabor (1986) melakukan studi terhadap 4.606 wanita pada populasi
risiko rendah mendapatkan bahwa amniosentesis pada trimester kedua meningkatkan
keguguran spontan sebesar 2.1%, sementara tanpa intervensi persentase keguguran sebesar
1.3%.28
Kelemahan utama dari amniosentesis trimester kedua adalah bahwa hasil akhir
biasanya hanya dapat diketahui setelah usia gestasi 17 minggu. Lamanya masa tunggu untuk
mendapatkan diagnosis merupakan hal yang sangat berat bagi pasangan, terutama karena
kebanyakan dokter kandungan enggan untuk menawarkan terminasi bedah pada usia
14
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
kehamilan lanjut. Pilihan untuk diagnosis pada usia gestasi sebelum 17 minggu yaitu CVS dan
amniosentesis dini.28
Rueangchainkhom W, et al (2008) menemukan bahwa CVS dapat menjadi alternatif
untuk diagnosis pranatal dari berbagai kelainan sitogenetik dan skrining thalassemia di
Thailand. Meskipun tingkat kegagalan kultur jaringan dan kontaminasi oleh sel ibu lebih besar
daripada amniosentesis, namun CVS dapat dikerjakan lebih awal daripada amniosentesis dan
hal ini menguntungkan untuk deteksi kelainan genetik tertentu. Transabdominal CVS yang
dikerjakan oleh tenaga medis berpengalaman merupakan prosedur alternatif untuk diagnosis
pranatal thalassemia pada usia gestasi awal.29
15
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
8
Tabel 2. Tahapan program pengendalian thalassemia di Cyprus
Di Cyprus, edukasi masyarakat dilakukan melalui media massa, sekolah dan lembaga
swadaya masyarakat. Pelajaran tentang thalassemia diajarkan di sekolah dan Departemen
Pendidikan memasukkannya dalam kurikulum sekolah menengah. Pihak Gereja berpartisipasi
dengan mensyaratkan adanya sertifikat pranikah yang menandai bahwa pasangan yang akan
menikah telah melakukan skrining dan telah mendapat cukup informasi tentang thalassemia. 8
Partisipasi masyarakat telah menjadi bagian yang integral dalam program ini. Organisasi
perkumpulan pasien dan orangtua pasien dibentuk dan berperan serta dalam implementasi
program, pengumpulan dana, membantu promosi dan edukasi diantaranya dengan
menyelenggarakan ―pekan thalassemia‖, serta saling memberi dukungan moral diantara
keluarga pasien.8
Di negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas, salah satu kunci
keberhasilan program pencegahan thalassemia adalah pelaksanaan program yang melibatkan
sarana pelayanan primer untuk skrining dan konseling dengan pendekatan holistik melalui
edukasi masyarakat, surveilans, dan perkembangan bentuk layanan untuk mengakomodasi
kebutuhan populasi yang berisiko thalassemia dengan memperhatikan nilai sosio-etiko-legal
setempat seperti yang dilakukan di Iran.33 Sejak tahun 1991, pencegahan penyakit tidak
menular telah dimasukkan dalam program kesehatan primer, dan departemen pengendalian
penyakit tidak menular—termasuk penyakit genetik—telah dibentuk di bawah Kementrian
Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran.34 Lima tahun sejak program pencegahan dicanangkan
tahun 1996, skrining yang disertai dengan konseling genetik telah dilakukan atas 2,7 juta
pasangan dan mampu menjaring lebih dari 10.000 pasangan yang berisiko memiliki anak
dengan thalassemia mayor. Pelaksanaan program ini mampu menurunkan kelahiran bayi
dengan thalassemia mayor.32
16
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Dengan jumlah pasien thalassemia β mayor sekitar 20.000 orang, 3,75 juta karier,35 dan
frekuensi karier yang bervariasi di berbagai wilayah (dapat mencapai 10% di beberapa
provinsi), pemerintah Iran mewajibkan skrining thalassemia dalam pemeriksaan kesehatan
pranikah (premarital blood test). Skrining dan konseling dilakukan di layanan kesehatan primer
yang menyediakan layanan diagnostik genetik, konseling genetik dan surveilans. Tim konseling
genetik di layanan primer terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan tersedia di tiap kota. Sarana
laboratorium milik swasta dan pemerintah diperlengkap untuk dapat mendeteksi dini
thalassemia dengan protokol standar dan akreditasi nasional. Edukasi pada masyarakat
dilakukan melalui pemberian informasi tentang thalassemia di sekolah menengah dan instansi
militer.16,35
Di Iran, tiap pasangan yang akan menikah harus menjalani skrining pranikah di
laboratorium setempat. Nilai eritrosit rerata (NER) calon mempelai pria diperiksa terlebih
dahulu, bila hasilnya mencurigakan, barulah calon mempelai wanita diperiksa. Bila keduanya
mencurigakan, dilakukan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin, dan bila positif karier maka
dilakukan konseling genetik. Setelah mendapatkan konseling genetik, pasangan diberikan
kebebasan untuk menentukan pilihan. Bila pasangan yang berisiko memilih untuk melanjutkan
pernikahan, diagnosis pranatal menjadi opsi yang dapat dipilih selanjutnya sebelum memiliki
anak. Apabila hasil konsepsi terdiagnosis thalassemia mayor, maka aborsi terapeutik boleh
dilakukan sebelum usia janin 16 minggu.16,35 Algoritma skrining thalassemia yang dikerjakan di
Iran dapat dilihat pada gambar 2.35
17
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
35
Gambar 2. Algoritma skrining thalassemia di Iran
Hasil dari program skrining meningkatkan deteksi prevalens pasangan karier dari
3,0/1.000 menjadi 4,5/1.000 dan sampai tahun 2000, angka kelahiran bayi dengan thalassemia
mayor telah turun sampai 30%.32 Dengan menerapkan program skrining, prevalensi kelahiran
bayi dengan thalassemia β homozigot menurun dari 0,253 untuk setiap 100 kelahiran di tahun
1.995 menjadi 0,082 untuk setiap 100 kelahiran pada tahun 2004.35
Di Thailand, dengan hampir 40% populasi potensial mengalami mutasi dan kelainan
hemoglobin, program pencegahan thalassemia ditujukan untuk mengendalikan 3 kasus utama
thalassemia berat yaitu Hb Bart’s hydrops fetalis, thalassemia β mayor dan thalassemia β-HbE,
dengan melakukan skrining karier, menawarkan diagnosis pranatal pada janin yang berisiko
dan memberikan pilihan aborsi terapeutik bagi janin yang terdiagnosis thalassemia mayor.36
18
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
19
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
b. Analisis Biaya
Angastiniotis dkk (1984) melaporkan biaya pencegahan thalassemia di Cyprus selama
tahun 1984 yang melibatkan skrining terhadap 14.430 orang, dan 183 kasus diagnosis pranatal
berjumlah kira-kira sebesar US $ 66.000. Sementara total biaya yang dibutuhkan untuk terapi
pasien thalassemia mayor pada tahun yang sama adalah US $ 420.300.8
Penelitian Ginsberg dkk (1998) di Israel menyebutkan bahwa biaya yang dibutuhkan
untuk terapi pasien thalassemia mayor selama hidupnya (asumsi usia harapan hidup 30 tahun)
adalah sebesar US $ 284.154 /orang. Biaya tersebut terdiri dari biaya transfusi (33,1%), biaya
terapi kelasi besi (22,1%), dan sisanya (44,8%) adalah biaya untuk perawatan di rumah sakit,
biaya rawat jalan, biaya operasi, biaya laboratorium, biaya jasa konsultasi dan biaya lainnya
yang diperlukan, sesuai dengan standar prosedur dari rumah sakit setempat (Sharai Zedek
Medical Center dan Hadassah-Ein Kerem Universitas Hospital, Yerusalem). Sementara itu
program skrining nasional diperkirakan sebesar US$ 900.197 dan diharapkan dapat mencegah
kelahiran bayi thalassemia mayor sebanyak 13,4 orang, atau sekitar $ 67.369/kelahiran. Rasio
biaya yang dibutuhkan antara pengobatan dan pencegahan adalah 4.22:1, dimana pencegahan
thalassemia lebih cost-effective dibanding pengobatan.9
20
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
16
Tabel 3 Beberapa pilihan bagi karier
Sesudah menikah 4. Memutuskan untuk tidak mempunyai anak (sering dipilih pada kasus berat
(lebih sering terjadi) dimana diagnosis pranatal mustahil dilakukan)
5. Mengambil risiko tetap memiliki anak (paling sering dipilih)
6. Melakukan diagnosis pranatal (paling sering dipilih)
7. Melakukan inseminasi buatan dengan bantuan donor (AID : Artificial
Insemination by Donor; sangat jarang dipilih) atau bentuk prosedur reproduksi
bantuan lainnya.
8. Memilih berpisah dan mengganti pasangan (sangat jarang dipilih)
Sesudah kelahiran anak Sama dengan pilihan 1-8 diatas, disertai dengan kondisi :
dengan thalassemia 9. Menerima keadaan dan merawat anak dengan thalassemia (sering terjadi)
10. Menerima keadaan anak namun menolak penatalaksanaan selanjutnya
(kadang terjadi)
11. Menolak keadaan anak (dapat terjadi)
21
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Pakistan, tindakan diagnosis pranatal untuk skrining thalassemia β pertama kali diperkenalkan
pada bulan Mei 1994. Ulama setempat memfatwakan bahwa pengakhiran kehamilan pada janin
yang terdiagnosis mengidap thalassemia mayor diizinkan sebelum usia 120 hari (usia gestasi
17 minggu).39
Pengalaman program pencegahan di Iran menunjukkan efektivitas program skrining
yang didukung oleh penyesuaian kebijakan yang memerhatikan aspirasi populasi yang
diskrining. Ketika skrining pasangan pranikah digulirkan pada tahun 1997, pengakhiran
kehamilan dilarang, sehingga pasangan yang akan menikah hanya mempunyai pilihan yang
terbatas yaitu tetap melanjutkan kehamilan, menunda pernikahan atau menunda memiliki anak,
atau memutuskan hubungan /bercerai dan mencari pasangan lain. Hal tersebut menimbulkan
dilema dan akhirnya mendorong adanya diskusi di kalangan ulama yang kemudian
memfatwakan izin untuk melakukan pengakhiran kehamilan sebelum usia gestasi 15-16 minggu
dihitung dari waktu haid terakhir, bila janin yang dikandung terdiagnosis mengidap thalassemia
mayor.16,40
F. Diskusi
Informasi dasar tentang frekuensi dan heterogenitas gen thalassemia pada populasi
target adalah persyaratan utama sebelum menentukan strategi, teknik dan metode skrining
dalam mengidentifikasi karier. Selain itu, fasilitas teknis, infrastruktur dan ketersediaan biaya
juga harus menjadi pertimbangan.18
Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas, berikut beberapa hal yang dapat diterapkan
dalam program pencegahan thalassemia di Indonesia :
22
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Elektroforesis Hb Kadar Hb A2
Otomatik
Hb S, C, E
D Punjab Ferritin
O Arab
Lepore dll
Meningkat Normal Defisiensi besi
Koreksi
Thal δβ Interaksi Thal β defisiensi besi
HPFH Hb varian homozigot
dengan
Thal β, δβ
Thal β trait
HPFH Thal α trait
Hb A2 normal thal β
DNA
41
Gambar 3. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia
23
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
2
Gambar 4. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia
Mengingat ketersediaan sarana, prasarana dan sumber daya di Indonesia, maka teknik
dan metode skrining yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah sebagai berikut :
24
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Tabel 4 Teknik dan metode skrining laboratorium thalassemia β homozigot dan β-HbE di Indonesia
25
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
26
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Komponen uji saring pertama diagnosis laboratorium thalassemia adalah nilai MCV kurang
dari 80 fL dan MCH kurang dari 27 pg.
Individu yang memiliki nilai MCV < 80 fL, MCH < 27 pg dengan Hb normal dicurigai sebagai
thalassemia, pemeriksaan Hb typing dilakukan untuk menegakkan diagnosis jenis
thalassemia.
Pada individu yang memiliki nilai MCV < 80 fL, MCH < 27 pg, dengan Hb rendah tanpa
adanya tanda infeksi/radang dan tampilan klinis baik, harus dipastikan bukan suatu anemia
defisiensi besi.
Penyingkiran diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan dengan pemberian suplementasi
zat besi selama 2 minggu. Bila kadar Hb meningkat kurang lebih 1 g/dL maka dianggap
anemia defisiensi besi dan diterapi sesuai protokol terapi anemia defisiensi besi.
Bila anemia defisiensi besi dapat disingkirkan, namun Hb tetap rendah, maka dilakukan
pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis untuk diagnosis thalassemia. Bila
pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis tidak konklusif, maka dilakukan
analisis DNA.
a. Edukasi Masyarakat
Edukasi masyarakat merupakan langkah awal dalam program pencegahan
8
thalassemia. Tanpa diawali edukasi masyarakat yang optimal, skrining thalassemia akan
menimbulkan keresahan di masyarakat yang mengakibatkan stigmatisasi terhadap karier atau
pasien dan berlanjut pada adanya diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan serta asuransi
kesehatan, seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat di mana skrining terhadap penyakit
sickle cell diwajibkan oleh pemerintah.16
Untuk jangka pendek, edukasi berupa konseling dan pemberian informasi pada populasi
yang menjadi sasaran skrining. Sementara rencana jangka panjangnya, edukasi ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan (awareness) masyarakat terhadap penyakit
thalassemia dengan memasukkan materi tentang thalassemia kedalam kurikulum pendidikan
tingkat sekolah menengah, penyebaran informasi melalui media massa, jaringan internet,
brosur dan pamflet, serta menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati hari thalassemia
sedunia yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.
b. Target populasi
27
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
Pada kehamilan, skrining utama ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali kunjungan.
Jika ibu merupakan pengidap atau karier thalassemia, maka skrining kemudian dilanjutkan
pada ayah janin dengan teknik yang sama. Jika ayah janin normal maka skrining janin (pranatal
diagnosis) tidak disarankan. Jika ayah janin merupakan pengidap atau karier thalassemia maka
disarankan melakukan konseling genetik dan jika diperlukan skrining pada janin (pranatal
diagnosis).42
c. Konseling
Konseling terdiri dari informasi medis, informasi masalah genetika, dan langkah atau
tindak lanjut hasil skrining. Konseling tersedia mulai skrining level II dan level diatasnya, yaitu
setelah diagnosis thalassemia dapat ditegakkan.
1) Informed Consent
Informed consent berisi penjelasan tentang thalassemia, manfaat dan implikasi skrining
serta tanda persetujuan dari calon yang akan dilakukan skrining.
2) Konselor
Konselor adalah orang yang sudah mendapatkan pelatihan serta mendapatkan sertifikat
melakukan konseling, bisa dokter/tenaga kesehatan lain, sesuai dengan kompetensi dirinya.
28
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
29
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
minggu.15 Meskipun begitu, bila kehamilan dengan bayi thalassemia mayor dipertahankan,
diagnosis pranatal bermanfaat bagi pasangan suami istri sebagai bahan pertimbangan pilihan
reproduksi berikutnya.
30
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
b. Teknik dan metode uji saring thalassemia β dan thalassemia β-HbE di Indonesia
disesuaikan dengan ketersediaan sarana, prasarana dan sumber daya manusia.
(Rekomendasi C). Algoritma alur diagnosis laboratorium thalassemia terlampir.
31
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
4. Rekomendasi solusi implikasi psiko-sosial, ekonomi dan etiko-legal terhadap hasil skrining
32
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
33
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
DAFTAR PUSTAKA
1 th
Weatherall, DJ. The Thalassemias. Williams Hematology. 6 edition. Mc-Graw Hill, November 2000.
2
Langlois S, Ford JC, Chitayat D. Carrier Screening for Thalassemia and Hemoglobinopathies in Canada. Joint
SOGC–CCMG Clinical Practice Guideline 2008; 218: 950-959.
3 rd
Forget, BG. Thalassemia Syndromes in : Hoffman Hematology, basic principles and practice. 3 edition. Churchill
Livingstone 2000.
4
World Health Organization/Thalassaemia International Federation. Prosiding dari: Joint meeting on the prevention
and control of haemoglobinopathies. Nicosia-Cyprus: World Health Organization/Thalassaemia International
Federation, 1994:20.
5
Weatherall DJ, Clegg JB. Inherited haemoglobin disorders: an increasing global health problem. Bull World Hlth
Org. 2001;79:704-12.
6
Sofro ASM. Molecular pathology of beta-thalassemia in Indonesia. South East Asian J Trop Med Public Health
1995;26:221-2214.
7
Lanni F, Gani RA, Widuri, Rochdiyat W, Verawaty B, Sukmawati, dkk. β-thalassemia and hemoglobin-E traits in
Yogyakarta population. Dipresentasikan pada 11th International Conference on Thalassaemia and
Haemoglobinophaties & 13rd International TIF Conference for Thalassaemia patients and parents. Singapore; 8-11
Oktober 2008.
8
Angastiniotis M, Kyriakidou S, Hadjiminas M. How thalassaemia was controlled in Cyprus. World Health Forum
1986, 7: 291-297
9
Ginsberg G, Tulchinsky T, Filon D, Goldfarb A, Abramov L, Rachmilevitz EA. Cost-benefit analysis of a national
thalassemia prevention programme in Israel. J Med Screen 1998;5: 120-126.
10
Eleftheriou A. About Thalassemia. Thalassemia International Federation Publication (4). Nicosia-Cyprus; 2003.
11
Weatheral DJ and Clegg JB, 1981. The Thalassemia Syndromes (3th ed). Blackwell Scientific Publ. Oxford.
12
Weatherall DJ.Fortnightly Review : Thalassemia. BMJ 1997; 314:1675.
13
Marengo-Rowe AJ, MD. He thalassemias and related disorders. Baylor University Medical Center. 2007;20:27-31
14
Clarke GM, Higgins TN. Laboratory Investigation of Hemoglobinopathies and Thalassemias: Review and Update.
Clinical Chemistry 46:8(B) 1284–1290 (2000)
15
WHO. Guidelines for the control of haemoglobin disorder. Geneva 1994.
16
Renzo Galanello (co-ordinating editor). Prevention of Thalassaemias and other haemoglobin disorders. Nicosia:
Thalassemia International Federation; 2003.
17
Health Technology Assessment Unit Ministry of Health Malaysia. Maternal Screening for Foetal Abnormality.2003.
18
Jackson LG, Zachary JM, Fowler SE, Desnick RJ, Golbus MS, Ledbetter DH, Mahoney MJ, Pergament E, Simpson
JL, Black S, et al. A randomized comparison of transcervical and transabdominal chorionic-villus sampling. The
U.S. National Institute of Child Health and Human Development Chorionic-Villus Sampling and Amniocentesis
Study Group. N Engl J Med. 1992 Aug 27;327(9):636-8.
19
Silvestroni E., Bianco I et al. A highly cost effective method of mass screening for Thalassemia. Br Med J (Clin Res
Ed) 1983 Mar 26;286(6370):1007-9.
20
Maheshwari M, Menon PSN. et al. Carrier screening and pre-natal diagnosis of beta-Thalassemia. Indian
Pediatrics 1999;36: 1119-1125
21
Rathod DA, Kaur A, Patel V, Patel K, Kabrawala R,Viral Patel,et al. Usefulness of Cell Counter–Based Parameters
and Formulas in Detection of β-Thalassemia Trait in Areas of High Prevalence. Am J Clin Pathol 2007;128:585-589
22
Galanello R, Melis MA, Ruggeri R, Addis M, Scalas MT, Maccioni L, Furbetta M, Angius A, Tuveri T, Cao A. Beta 0
thalassemia trait in Sardinia. Hemoglobin. 1979; 3: 33–46.
23
Rogers M, Phelan L, Bain L. Screening criteria for thalassaemia trait in pregnant women. J Clin Pathol
1995;48:1054-1056.
24
Giordano PC. Carrier diagnostics and prevention of hemoglobinopathies using High-Performance Liquid
st
Chromatography. 1 ed. USA : Bio-Rad Laboratories; 2006.
34
HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia
25 st
Giordano PC. Carrier diagnostics and prevention of hemoglobinopathies using capillary electrophoresis. 1 ed.
France : Laboratories Sebia; 2007.
26
Rosatelli M.C., Tuveri T., Scalas M.T., et al: "Molecular screening and foetal diagnosis of β thalassaemia in the
Italian population". Human Genetics 1992, 89:585-9
27
Lau KT, Leung YT, Fung YT, Chan LW, Sahota DS, Leung NT. Outcome of 1,355 consecutive transabdominal
chorionic villus samplings in 1,351 patients. Chin Med J (Engl). 2005 Oct 20;118(20):1675-81.
28
Alfirevic Z, Mujezinovic F, Sundberg K. Amniocentesis and chorionic villus sampling for prenatal diagnosis
(Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2003, Issue 3. Art. No.: CD003252. DOI:
10.1002/14651858.CD003252.
29
Rueangchainikhom W, Sarapak S and Orungrote N. Chorionic Villus Sampling for Early Prenatal Diagnosis at
Bhumibol Adulyadej Hospital. J Med Asoc Thai 2008; 91 (1): 1-6.
30
Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S. Diagnosis and management of thalassemia : Thailand as a model. In :
Major hematologic disease in the developing world—New aspect of diagnosis and management of thalassemia,
malaria, anemia and acute leukemia. Hematology 2001. p.483-488
31
Arnold C, Allison S. Darr A. Lesson from thalassemia screening in Iran. BMJ 2004:329 : 1115-1117
32
Samavat A, Modell B. Iranian national thalassaemia screening programme. BMJ 2004:329 : 1134-1137
33
Christianson A, Streetly A, Darr A. Lessons from thalassaemia screening in Iran Screening programmes must
consider societal values. BMJ 2004;329:1115–7.
34
Ahmed S , Saleem M, Modell B, Petrou M. Screening extended families for genetic hemoglobin disorders in
pakistan. N Engl J Med Oktober 2002; 347(15):1162-1168.
35
Karimi M, Jamalian N, Yarmohammadi H, Askarnejad A, Afrasiabi A, Hashemi A. Premarital screening for b-
thalassaemia in Southern Iran: options for improving the programme. J Med Screen 2007;14:62–66.
36
Ratanasiri T, Charoenthong R, Komwilaisak Y, Fucharoen S, Wongkham J, et al. Prenatal Prevention for Severe
Thalassemia Disease at Srinagarind Hospital. J Med Assoc Thai 2006; 89 (Suppl 4): S87-93.
37
Ridolfi F, Ermis H, Has R, Kokrek A, Gedikoglu G. Prevention of homozygous beta thalassemia by carrier
screening in pregnancy. Haema 2002;5(3): 242-245.
38
Wagner, JE. Practical and Ethical Issues with Genetic Screening. Hematology 2005;498-502.
39
Ahmed S, Saleem M, Sultana N, Raashid Y, Waqar A, Anwar M, Modell B, Karamat KA, Petrou M. Pranatal
diagnosis of beta-thalassaemia in Pakistan: experience in a Muslim country. Prenat Diagn. 2000 May;20(5):378-
383.
40
Haddow, JE. Couple screening to avoid thalassemia: successful in Iran and instructive for us all. J Med Screen
2005;12:55–56.
41
Lafferty JD, Crowther MA, Ali MA, Levine M. The evaluation of various mathematical RBC indices and their efficacy
in discriminating between thalassemic and non-thalassemic microcytosis. Am J Clin Pathol. 1996 Aug;106(2):201-5.
42
Rogers M, Phelan L, Bain B. Screening criteria for thalassemia β trait in pregnant women. J Clin Pathol 1995;
48:1054-1056.
43
Zeuner D, Ades AE, Karnon J, Brown J, Dezateux C, Anionwu AE. Antenatal and neonatal haemoglobinopathy
screening in the UK: review and economic analysis. Health Technol Assess 1999;3(11).
44
Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009. Pasal 75-76.
35