Anda di halaman 1dari 23

ANTIHIPERTENSI DIRECT VASODILATOR

Oleh: A1-A Farmasi Klinis

I Gst A. A. Cahaya Anjalina Putri 161200010


I Wayan Agus Asista Darma 161200015
K. Sri Satya Haridasami 161200020
Kadek Ayu Sri Purnawati 161200021
Luh Made Anggi Laksemi 161200025
Ni Komang Intan Prima Asri 161200033

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN
MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis sembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan paper
ini yang berjudul “Antihipertensi Direct Vasodilator” tepat waktu. Karya ini
disusun dalam rangka memenuhi salah satu prasyarat dalam menempuh mata
kuliah Farmakologi- Toksikologi yang diampu oleh Ibu Ni Made Oka Dwicandra,
S. Farm., M. Farm., Apt
Dalam penyusunan paper ini, penulis banyak mengalami tantangan dan
hambatan akan tetapi berkat bantuan dari beberapa pihak, tantangan ini dapat
diatasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Ida Ayu Manik Parthasutema, S.Farm., M.Farm. Apt selaku ketua
prodi Farmasi Klinis sekaligus dosen pembimbing penulis;
2. Ni Made Oka Dwicandra, S. Farm., M. Farm., Apt; selaku dosen
pengajar Farmakologi- Toksikologi;
3. Orang tua penulis, yang selalu mendukung dengan baik setiap
kebutuhan dan kegiatan yang penulis lakukan.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari yang sempurna baik
dari segi materi maupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik membangun
sangat diharapkan guna memperbaiki karya ini dan karya penulis berikutnya

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3

2.1 Definisi Hipertensi .........................................................................................3

2.2 Klasifikasi Hipertensi ....................................................................................3

2.3 Gejala Umum Hipertensi ...............................................................................4

2.4 Faktor- Faktor Resiko Hipertensi ..................................................................5

2.5 Pengobatan Hipertensi ...................................................................................6

2.6 Mekanisme Kerja dan Tempat Kerja Obat Vasodilator................................... 8

2.7 Contoh Obat Vasodilator Langsung. .............................................................9

BAB III PENUTUP ...............................................................................................18

3.1 Simpulan ......................................................................................................18

3.2 Saran ............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan pada pola hidup dan pola makan akibat adanya perbaikan tingkat
kehidupan membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit degeneratif
hipertensi (Karyadi, 2002). Tingginya prevalensi hipertensi, maka dibutuhkan
usaha-usaha untuk menekannya. Usaha yang dapat dilakukan
adalah dengan pengobatan yang tepat terhadap hipertensi sehingga tekanan darah
dapat terkontrol dalam batas normal sepanjang waktu (Karyadi, 2002).
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan, apabila hipertensi tidak
diketahui dan tidak dirawat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark
miokardium, stroke, atau gagal ginjal, dengan demikian, pemeriksaan tekanan
darah secara teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi (Price,
2005).
Penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien
dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara perlahan sesuai
dengan umur, kebutuhan dan usia sampai tekanan darahnya terkontrol atau
kembali normal. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam, dan lebih
sering digunakan dalam dosis tunggal karenakepatuhan lebih baik, lebih murah,
dapat mengontrol hipertensi terus menerus dan lancar, dan melindungi pasien
terhadap berbagai resiko dari kematian mendadak, serangan jantung atau stroke
akibat peningkatan tekanan darah mendadak saat bangun tidur. Sekarang terdapat
pula obat yang berisi kombinasi dosis rendah dua obat dari golongan yang
berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektivitas tambahan dan
mengurangi efek sampingnya (Mansjoer et al., 2001).
Masalah dalam penggunaan obat adalah penggunaan obat yang tidak tepat,
tidak efektif, tidak nyaman dan juga tidak ekonomis atau yang lebih populer
dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam
pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Masalah
ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya di rumah sakit, klinik
kesehatan masyarakat, praktek pribadi, maupun di masyarakat luas. Dampak
negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi.

1
Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang tidak rasional
dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya peningkatan
efek samping obat, meningkatkan kegagalan pengobatan, dan meningkatkan
resistensi antimikroba
Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III), di
Amerika paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka,
dan hanya 31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah dibawah
140/90 mmHg. Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan kesehatan yang lebih
rendah, jumlah pasien yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi
dan yang tidak mematuhi minum obat kemungkinan lebih besar

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan diatas dapat dirumuskan
permasalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Hipertensi?
2. Bagaimanakah Klasifikasi dari Hipertensi?
3. Bagaimanakah Gejala Umum dari Hipertensi?
4. Apa sajakah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi?
5. Bagaimanakah Pengobatan dari Hipertensi?
6. Bagaimanakah Mekanisme Kerja dan Tempat Kerja Obat Vasodilator?
7. Apa sajakah Contoh Obat Vasodilator Langsung dan Bagaimanakah
Efek Farmakokinetika, Toksisitas serta Penggunaan Secara Klinis?
1.3.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui:
1. Mengetahui definisi dari Hipertensi.
2. Mengetahui Klasifikasi dari Hipertensi.
3. Mengetahui Gejala Umum dari Hipertensi.
4. Mengetahui Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi.
5. Mengetahui Pengobatan dari Hipertensi.
6. Mengetahui Mekanisme Kerja dan Tempat Kerja Obat Vasodilator.
7. Mengetahui Contoh Obat Vasodilator Langsung dan Efek
Farmakokinetika, Toksisitas serta Penggunaan Secara Klinis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Hipertensi


Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang
persisten. Batasan hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Penentuan klasifikasi ini didasarkan atas
rata-rata dua kali pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk. Pasien yang
memiliki tekanan darah dalam golongan prehipertensi memiliki resiko dua kali
lebih besar untuk mengalami hipertensi (Chobanian et al, 2003).
Tekanan darah terhadap dinding arteri elastis dapat diukur dengan suatu alat
pengukur khusus, yakni manometer air raksa, tensi yang diperoleh biasanya
dinyatakan sebagai mm Hg (air raksa). Tekanan darah sistolik adalah tekanan
pada dinding arteri sewaktu jantung menguncup (sistole) dan tekanan darah
diastolik bila jantung sudah mengendur kembali (diastole) (Tjay and Rahardja,
2002).

2.2. Klasifikasi Hipertensi


The Seventh Report of the Joint National Commite on Prevention Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) yaitu suatu badan
penelitian di Amerika Serikat, menentukan klasifikasi tekanan darah orang
dewasa umur lebih dari 18 tahun yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan DarahKlasifikasi Tekanan Darah Untuk Usia 18
Tahun Atau Lebih Berdasarkan JNC VII, 2003
Klasifikasi Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Tahap 1 140 – 159 Atau 90 – 99
hipertensi
Tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 110
hipertensi

3
Klasifikasi etiologi hipertensi :
1) Hipertensi esensial (primer atau idiopatik)
Hipertensi esensial (primer atau idiopatik) adalah hipertensi tanpa kelainan
dasar patologi yang jelas.
Lebih kurang dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya
multifaktor meliputi genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi :
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan antara lain: diet, kebiasaan merokok, stres
emosi,obesitas dan lain-lain (Gunawan et al., 2007).
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi pada 5 - 10% kasus hipertensi. Termasuk dalam
kelompok hipertensi sekunder antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal
(hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan
(konstrasepsi hormonal, kontikosteroid, simpatomimetik amin, kokain,
siklosporin, eritropoetin,dan lain-lain) (Gunawan et al., 2007).

2.3.Gejala Umum Hipertensi


Hipertensi tidak memberikan gejala khas, ada beberapa gejala :
1) Nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur (nyeri ini biasanya hilang
setelah bangun)
2) Pengukuran tekanan darahnya tinggi (diatas normal 120-140/80-90 mm
Hg) (Tjay and Rahardja, 2002).
Diagnosis hipertensi tergantung pada pengukuran tekanan darah dan bukan
pada gejala yang dilaporkan pasien. Pada kenyataan hipertensi lazimnya tanpa
gejala (asimtomatis) sampai segera terjadi kerusakan organ akhir secara jelas atau
bahkan telah terjadi kerusakan tersebut (Katzung, 2001). Sering dikatakan bahwa
gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala, kelelahan dan
epitaksis. Tetapi pasien dengan nyeri kepala pagi hari (yang bisa membangunkan
pasien) bisa menderita hipertensi penyerta (Chung and Edward, 1995).

4
Gejala hipertensi pada kebanyakan pasien adalah tidak adanya gejala khusus.
Tanda hipertensi adalah pada tekanan darahnya yaitu kategori prehipertensi atau
hipertensi (Dipiro et al, 2005).
Gejala hipertensi antara lain sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing,
wajah kemerahan dan kelelahan, yang bisa saja terjadi baik pada penderita
hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah normal. Jika
hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala sebagai
berikut: sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan
kabur yang terjadi karena adanya kerusakan otak, mata, jantung dan ginjal

2.4. Faktor- Faktor Resiko Hipertensi


1) Faktor yang tidak bisa di modifikasi
a) Usia lanjut (usia lebih dari 60 tahun)
b) Keturunan/faktor genetik
c) Jenis kelamin
2) Faktor yang bisa dimodifikasi
a) Garam
Garam merupakan hal yang besifat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume
darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat.
Juga memperkuat efek vasokonstriksi nor adrenalin.
b) Drop (liquorice)
Sejenis gula-gula yang dibuat dari Succus liquiritiae mengandung asam
glizirinat dengan khasiat retensi air, yang dapat meningkatkan tekanan
darah bila dimakan dalam jumlah besar.
c) Stres (ketegangan emosional)
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara akibat
pelepasan adrenalin dan nor-adrenalin (hormon stres), yang bersifat
vasokonstriktif. Tekanan darah meningkat pula pada waktu ketegangan
fisik.

5
d) Merokok
Nikotin dalam rokok berkhasiat sebagai vasokonstriktif dan
meningkatkan tekanan darah. Merokok memperkuat efek buruk
hipertensi terhadap sistem pembuluh darah.
e) Pil anti hamil
Mengandung hormon wanita estrogen, yang juga bersifat retensi garam
dan air yang dapat meningkatkan tekanan darah.
f) Hormon pria dan kortikosteroid
Hormon pria dan kortikosteroid juga berkhasiat retensi air. Setelah
penggunaan hormon ini dihentikan pada umumnya tekanan darah
menurun dan menjadi normal kembali.
g) Kehamilan
Yang terkenal adalah kenaikan tekanan darah yang dapat terjadi selama
kehamilan. Mekanisme hipertensi ini serupa dengan proses ginjal, bila
uterus diregangkan terlampau banyak (oleh janin) dan menerima kurang
darah, maka dilepaskannya zat–zat yang meningkatkan tekanan darah
(Tjay and Rahardja, 2002).
Faktor-faktor lain yang bisa dimodifikasi antara lain tekanan darah, tidak
adanya aktifitas (inaktivitas), kelainan metabolik (diabetes mellitus, lipid darah,
asam urat dan obesitas).

2.5. Pengobatan Hipertensi


Tujuan pengobatan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler akibat tekanan darah tinggai dengan cara–cara seminimal mungkin
mengganggu kualitas hidup pasien. Hal ini dilakukan dengan mencapai dan
mempertahankan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg sambil mengedalikan
faktor resiko kardiovaskular lainnya.
Penyakit hipertensi umumnya tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikendalikan. Upaya pengendalian tersebut diantaranya adalah mengatur diet,
menjaga berat badan, menurunkan stres, melakukan olah raga, memakai obat –
obatnya (Soeharto, 2001).

6
Hipertensi mungkin dapat diturunkan dengan terapi tanpa obat (non
farmakoterapi) atau terapi dengan obat (farmakoterapi). Sebaiknya
dipertimbangkan untuk terapi tanpa obat terlebih dahulu sebelum diberikan terapi
dengan obat. Terapi menggunakan obat diberikan jika pasien membutuhkannya.
1) Pengobatan secara non farmakologis
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya
hidup (life style modification) berupa diet rendah garam, berhenti merokok,
mengurangi konsumsi alkohol, aktivitas fisik yang teratur dan penurunan
berat badan bagi pasien dengan berat badan berlebih. Selain dapat
menurunkan tekanan darah, perubahan gaya hidup juga terbukti
meningkatkan efektifitas obat antihipertensi dan menurunkan resiko
kardiovaskuler (Gunawan et al., 2007).
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan hipertensi ringan
atau memperingankan hipertensi meliputi penurunan berat badan, diet garam,
diet lemak, berhenti merokok, membatasi minum kopi, membatasi minum
alkohol, cukup istirahat dan tidur, olah raga yang cukup bertenaga dan
menghindari stress.
2) Pengobatan secara farmakologis
Pemilihan obat didasarkan pada tingkat tekanan darah, kerusakan organ
dan tingkat keparahan serta adanya penyakit lain. Monoterapi digunakan
untuk beberapa pasien dengan hipertensi sedang (yang telah terbukti adalah
thiazide dan Beta bloker). Kesuksesan pengobatan menuntut kepatuhan
terhadap instruksi diet dan penggunaan obat yang dianjurkan (Katzung,
2001).
Pengobatan dengan antihipertensi harus selalu dimulai dengan dosis
rendah agar tekanan darah jangan menurun atau terlalu drastis dengan
mendadak. Kemudian, setiap 1-2 minggu dosis berangsur-angsur dinaikkan
sampai tercapai efek yang diinginkan (metode: start low, go slow). Begitu
pula penghentian harus secaraberangsur pula (Tjay and Rahardja, 2002).
Terdapat enam golongan antihipertensi : diuretika, penghambat
adrenergik, vasodilator, CCB (Calciun Channel Blocker), ACEI (Angiotensin

7
Converting Enzym Inhibitor) dan ARB ( Angiotensin Receptor Blocker)
(Ganiswarna, 2007).

2.6. Mekanisme Kerja dan Tempat Kerja Obat Vasodilator


Vasodilator adalah golongan obat yang berfungsi untuk membuka atau
melebarkan pembuluh darah. Obat ini bekerja pada otot dinding pembuluh darah
(arteri dan vena) dengan mencegah otot tersebut berkonstraksi sehingga rongga
pembuluh darah akan melebar.
Setelah diberikan obat golongan vasodilator, aliran darah menjadi lebih
lancar melalui rongga pembuluh darah. Jantung tidak terlalu susah memompa
darah ke seluruh tubuh sehingga tekanan darah juga akan menurun. Dapat dilihat
pada bagan dibawah ini:
Vasodilatasi Langsung

Nitrovasodilators melepaskan nitric oxide (NO)

aktivasi guanylate cyclase

[cGMP]

stimulasi dari cGMP-dependent kinase dan penurunan


sitosolik [Ca + 2]

relaksasi otot polos vaskular

Semua vasodilator yang digunakan untuk hipertensi merelaksasi otot polos


arteriol, sehingga dapat menurunkan tahanan vascular sistemik. Natrium
nitroprusside juga dapat merelaksasikan vena. Penurunanan tahanan arteri dan
penurunan rata-rata tekanan darah arteri menimbulkan respons kompensasi,
dilakukan oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis, sama halnya renin,
angiotensin, dan aldosterone. Respon-respon kompensasi tersebut melawan efek

8
antihipertensi vasodilator. Karena reflex simpatis tetap utuh, tetapi vasodilator
tidak dapat menyebabkan hipotensi ortostatik atau disfungsi seksual. Vasodilator
bekerja dengan baik dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain yang
melawan respons kompensasi kardiovaskular. (Katzung, 2001)

2.7. Contoh Obat Vasodilator Langsung


Contoh Obat Vasodilator langsung serta efek farmakokinetik, toksisitas dan
penggunan secara klinis diantaranya:
1. Hydralazine

Hydralazine, suatu turunan hydrazine, mendilatasi arteriol dan bukan vena.


Mekanisme kerja dari obat hydralazine yaitu secara langsung melemaskan otot
polos arteriolar dengan cara: masuk dalam konsentrasi kalsium intraselular -
menghambat pelepasan Ca2+ yang diinduksi oleh IP3 dari tempat penyimpanan
intraselular di arteri yang menyebabkan kontraksi yang berkurang. Kemudian
memberikan signal pelebaran arteri dengan membuka konduktansi tinggi
saluran Ca2+ aktif K+ yang terdesentralisasi. Lalu NO memediasi vasodilatasi.
Hydralazine-induced vasodilation dikaitkan dengan stimulasi kuat dari sistem
saraf simpatik yang menghasilkan peningkatan SDM dan kontraktilitas,
peningkatan aktivitas renin plasma dan retensi cairan; semua efek ini
cenderung melawan efek antihipertensi hidralazine. Karena pelebaran arteriol
superior melalui vena, hipotensi postural dan impotensi tidak umum terjadi.

9
Hydralazine telah tersedia selama bertahun-tahun, meskipun pada mulanya
diduga tidak efektif karena cepat terjadi takifilaksis terhadap efek-efek
hipertensi. Sekarang telah diketahui manfaat dari kombinasi terapi, dan
hydralazine dapat digunakan dengan lebih efektif, terutama pada hipertensi
yang parah.
Farmakokonetika :
Hydralazine diabsorbsi dengan baik dan dengan cepat dimetabolisme oleh hati
selama lintas-pertama, sehingga biavailabilitasnya rendah (rata-rata 25%) dan
bervariasi di antara individu. Hydralazine dimetabolisme sebagian dengan
asetilasi pada suatu kecepatan yang bersifat bimodal dalam distribusinya di
dalam populasi. Sebagai akibatnya, individu yang merupakan asetilator cepat
mempunyai metabolism lintas-pertama lebih besar, biovailabilitas rendah, dan
manfaat antihipertensinya menjadi lebih kecil pada dosis yang digunakan bila
dibandingkan dengan asetilator lambat. Waktu paruh Hydralazine dalam
rentang dua sampai dengan empat jam; akan terapi, efek vaskularnya lebih
panjang daripada konsentrasinya di dalam darah-sebuah pengamatan konsisten
dengan bukti eksperimental dari bentuk ikatan yang sangat kuat pada jaringan
vascular.
Toksisitas:
Efek samping Hydralazine yang paling sering adalah sakit kepala, mual,
anoreksia, palpitasi, berkeringat dan flushing. Pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik, reflex takikardi dan stimulasi simpatis dapat menyebabkan
angina atau aritmia iskemik. Dengn dosis 400 mg/hari atau lebih, terdapat 10-
20% insiden terutama pada pasien yang merupakan asetilator lambat-sindroma
arthralgia, myalgia, ruam-ruam pada kulit, dan demam yang menyerupai lupus
ertematosus. Sindroma tersebut tidak dihubungkan dengan terjadinya
kerusakan ginjal dan membalik dengan penghentian Hydralazine. Neuropati
perifer dan demam obat adalah efek samping lain yang serius, tetapi tidak
lazim.
Penggunaan Secara Klinis:
Hidralazin biasanya digunakan sebagai obat kedua atau ketiga setelah
diuretic dan β blocker karena takifilaksis akibat retensi cairan dan reflex

10
simpatis akan mengurangi efek anti hipertensinya. β blocker dapat mengatasi
retensi cairan oleh diuretic dan menghambat reflex takikardia. Dosis
pemberiannya 25-100 mg dua kali sehari. Untuk hipertensi darurat seperti
pada glomerulo nefritis akut dan eklampsia, dapat juga diberikan secara i.m.
atau i.v. dengan dosis 20-40 mg. Dosis maksimal per hari 200 mg/hari kecuali
untuk individu dengan asetilator cepat, dosis maksimum 300 mg/hari dapat
digunakan. Dosis untuk asetilator lambat adalah 2 mg/kg/hari dan asetilator
cepat adalah 30 mg/kg/hari (Shepherd, et al., 1981).
2. Minoxidil

Minoxidil merupakan vasodilator oral yang sangat bermanfaat. Efeknya terjadi


sebagai akibat dari pembukaan kanal kalium pada membrane otot polos oleh
monoxidil sulfate, suatu metabolit aktif. Efek tersebut menstabilkan membrane
pada potensial rihat dan membuat sdikit mungkin kontraksi. Seperti
hydralazine, minoxidil mendilatasi arteriol dan bukan vena. Karena efek
antihipertensinya yang sangat kuat, minoxidil seyogyanya menggantikan
hydralazine bilamana dosis maksimal dari yang disebut terakhir tidak efektif
atau untuk digunakan pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dan hipertensi
parah, yaitu merekea yang tidak memberi respons hydralazine dengan baik.
Farmakokinetika:
Minoxidil diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan dimetabolisme,
terutama dengan konjugasi di dalam hati. Minoxidil tidak terikat pada protein.
Waktu paruhnya rata-rata empat jam, akan tetapi, efek hipotensinya pada dosis
tunggal bertahan lebih dari 24 jam, sehingga diduga mencermikan tetap
terdapatnya metabolit aktif, minoxidil sulfate.
Toksisitas:
Terjadi takikardi, palpitasi, angina, dan edema bilamana dosis penyakat β dan
diuretic tidak memadai. Sakit kepala, berkeringatm dan hipertrikosis, yang

11
terutama merupakan sesuatu yang mengganggu pada wanita, relative sering
terjadi. Minoxidil menggambarkan bagaimana toksisitas pada satu orang dapat
menjadi terapi bagi orang lain.Minoxidil topical (sebagai Rogaine) sekarang
digunakan sebagai stimulasi untuk menumbuhkan rambut pada penyembuhan
kebotakan.
Penggunaan Secara Klinis
Minoxidil untuk hipertensi hanya tersedia untuk pemberian oral. Pada
umumnya, penggunaan pada pasien diawali dengan 5 atau 10 mg/hari dalam
dua dosis, dan dosis harian kemudian ditingkatkan bertahap menjadi 40
mg/hari. Dosis yang lebih tinggi sampai dengan 80 mg/hari pernah digunkan
untuk mengobati hipertensi parah.
Bahkan lebih dari hydralazine, penggunaan minoxidil dihubungkan dengan
terjadinya stimulasi reflex simpatis dan retensi ntrium dan cairan. Minoxidil
harus digunakan dalam kombinsi dengan suatu penyakit β dan suatu diuretic
loop.

3. Natrium Nitroprusside

Natrium nitroprusside merupakan vasodilator parenteral yang sangat kuat yang


digunakan dalam pengobatan kedaruratan hipertensi seperti juga dengan
pengobatan gagal jantung parah. Nitroprusside dapat melebarkan pembuluh
darah arteri dan vena, menyebabkan penurunan tahanan vascular perifer dan
venous return. Efek tersebut terjadi sebagai hasil dari aktivasi guanylyl cyclace,
baik dengan cara rilis nitric oxide atau dengan cara stimulasi langsung enzyme
tersebut. Hasilnya adalah peningkatan cGMP intraseluler yang merelaksasi otot
polos vaskuler.

12
Apabila tidak terdapat gagal jantung, tekanan darah menurun, sebagai akibat
penurunan tahanan vaskular, sedangkan curah jantung tidak berubah atau
sedikit menurun. Pada pasien-pasien dengan gagal jantung dan curah jantung
rendah, curah meningkat sebagai akibat penurunan afterload.
Farmakokinetika:
Nitroprusside merupakan besi yang kompleks, kelompok cyanide, dan sebuah
gugus nitroso. Nitroprusside segera dimetabolisme dengan cara ambilan ke
dalam sel-sel darah merah dengan pembebasan cyanide. Selanjutnya cyanide
dimetabolisme oleh enzyme mitokondrial rhodanase, dengan bantuan donor
sulfur, ke thiocyanate. Thiocyanate didistribusi ke dalam cairan ekstraseluler
dan dieliminasi dengan lambat oleh ginjal.
Toksisitas:
Toksisitas paling serius berkaitan dengan terjadinya akumulasi cyanide:
asidosis metabolik, aritmia, hipotensi berlebihan, dan yang dapat menyebabkan
kematian. Pada beberapa kasus, toksisitas terjadi setelah pemberian
nitroprusside dosis rendah, menimbulkan dugaan adanya kelemahan pada
metabolisme cyanide. Pemberian natrium thiosulfat sebagai donor sulfur dapat
mempermudah metabolism cyanide. Hydroxocobolamin berikatan dengan
cyanide membentuk cyanocobalamin yang tidak toksik. Keduanya dianjurkan
penggunaannya sebagai profilaksis atau pengobatan pada keracunan cyanide
selama infuse nitroprusside. Dapat terjadi akumulasi thiocyanate pada
pemberian nitroprusside jangka panjang, biasanya seminggu atau lebih, khusus
pada pasien dengan insufiensi ginjal sehingga tidak dapat mengekskresi
thiocyanate secara normal. Manifestasi toksisitas thiocyanate adalah
kelemahan, disorientasi, psikosis, spasme otot, serta konvulsi, diagnosisnya
ditegagkan dengan konsentrasinya di dalam serum yang lebih dari 10 mg/dL.
Jarang terjadi, hipotiroidisme lambat, sebagai akibat dari hambatan ambilan
thiocyanate iodide oleh tiroid. Dilaporkan juga terjadinya methemoglobinemia
selama infuse nitroprusside.
Penggunaan Secara Klinis:
Nitroprusside secara cepat menurunkan tekanan darah dan efeknya menghilang
dalam 1-10 menit setelah penghentian obat. Obat diberikan dengan cara infus

13
intravena. Natrium nitroprusside di dalam air bersifat sensitive terhadap cahaya
dan oleh karenannya harus segera diberikan pada setiap kali penggunaan dan
dibalut dengan timah tak tembus cahaya (opaque foil). Larutan infuse
seharusnya diganti setelah beberapa jam. Dosis diberikan mulai pada 0,5
µg/kg/menit dan dapat dinaikkan sampai dengan 10 µg/kg/ menit sesuai
kebutuhan untuk mengontrol tekanan darah. Kecapatan infuse yang lebih
tinggi, apabila diberikan selama lebih dari satu jam, dapat menyebabkan
toksisitas. Karena efikasi dan mula kerjanya yang cepat, obat tersebut
seyogyanya diberikan dengan pompa infuse dan tekanan darah arteri secara
terus menerus dipantau melalui rekaman intra-arterial.
4. Diazoxide

Secara kimiawi menyerupai diuretik thiazide, tetapi tanpa aktivitas diuretic.


Diazoxide berikatan dengan albumin serum dan jaringan vaskular. Diazoxide
tidak mengalami perubahan dalam metabolisme dan ekskresi;. jalur
metabolisnya tidak diketahui secara jelas. Waktu-paruhnya sekitar 24 jam,
tetapi hubungan antara konsentrasi di dalam darah dengan reaksi hipotensi
tidak diketahui. Efek penurunan tekanan darah setelah injeksi cepat menjadi
mantap dalam lima menit dan berakhir pada 4-12 jam. Pada awalnya diduga
pemberian dengan cara injeksi cepat dapat menyebabkan terjadinya kejenuhan
pada protein plasma sehingga jumlah obat (dalam bentuk) dapat mencapai
jaringan vaskular, tetapi pendapat tersebut tidak lagi lazim diterima. Pada
kenyataan tekanan darah diturunkan dengan infus yang konstan, walaupun
tingkat penurunan pada suatu dosis total ternyata lebih besar pada pemberian
dengan cepat.
Farmakokinetik:
Toksisitas diazoxide yang paling bermakna adalah hipotensi berlebihan yang
merupakan akibat dari saran penggunaan dosis tetap 300 mg pada semua

14
pasien. Hipotensi tersebut dapat menyebabkan stroke dan infarktus
miokardium. Respon refleks simpatis dapat memicu terjadinya angina,
iskemia berfakta EKG dan gagal jantung pada pasien dengan penyakit jantung
iskemia, oleh karenanya, diazoxide seyogyanya dihindarkan.
Diazoxide menghambat rilis insulin dari pankreas diduga dengan cara
membuka kanal kalium di dalam membran sel β dan diazoxide digunakan
untuk pengobatan hipoglikemia pada insulinoma. kadang-kadang
hiperglikemia menyulitkan penggunaan diazoxide, khususnya pada orang
dengan insufiensi ginjal.
Berlawanan dengan diuretik thiazide, diazoxide menyebabkan retensi air dan
garam. Bagaimanapun, karena obat tersebut hanya digunakan dalam jangka
pendek, keadaan tersebut jarang menjadi masalah.
Toksisitas:
Saat pertama kali dipasarkan, disarankan pemberian dosis 300 mg dengan
injeksi cepat. Hipotensi berlebihan dapat dihindari dengan mengawali
pemberian pada dosis rendah (50-150 mg) jika diperlukan, dapat diulangi
pemberian dosis 150 mg setiap lima menit sehingga dicapai penurunan
tekanan darah pada tingkat yang dikehendaki. Hampir semua pasien merespon
secara maksimum pada tiga atau empat dosis. Alternatifnya, diazoxide dapat
diberikan dengan infus intravena pada kecepatan 15-30 mg/menit. Pada
penurunan ikatan protein, dapat terjadi hipotensi setelah pemberian diazoxide
dengan dosis yang lebih rendah pada pasien dengan gagal ginjal kronis, dan
pada pasien-pasien tersebut seyogyanya diberikan diazoxide dengan dosis
yang lebih rendah. Diazoxide dapat menyebabkan efek hipotensi yang lebih
besar jika sebelumnya pasien sudah mendapatkan penyakat-β untuk mencegah
reflek takikardi dan hal tersebut dihubungkan dengan peningkatan curah
jantung.

15
5. Alprosstadil IV

Alprosstadil IV merupakan obat golongan Vasodilator yang mempunyai efek


merelaksasi otot polos arterial , menghasilkan vasodilatasi, menghambat agregasi
tombrosit ( prostaglandin Ei)
Farmakokinetik:
Waktu 5-10 menit, durasi : < 1 jam, pengikatan protein : 81%, onset tindakan :
cepat, metabolisme terjadi terutama di paru-paru melalui oksidasi enzimatik (
kadar plasma mungkin lebih tinggi pada penyakit paru), metabolik : metabolik
prostanoid (tidak aktif ), ekskresi pada urin (90%) dalam 24 jam jumlah kecil
melalui paru-paru
Toksisitas:
Biasanya pada bayi dengan penyakit jantung bawaan yang diobati dengan
alprosstadil menyebabkan apnea, demam, kemerah pada kulit, hipotensi,
brakikardi, takikardi, diare dan kejang sedangkan pada orang dewasa
mengalami sakit kepala, kemerahan pada kulit, hipotensi, diare, dan nyeri
serta pembengkakan ditempat infus
Penggunaan Secara Klinis:
Dosis pada anak : IV solution 500 mcg/ml, Untuk mempertahankan patensi
duktus arteriosus diberikan pada anak < dari 28 hari : 0,05-0,1 mcg/kg/menit
IV dosis awal biasanya pemeliharaan diantaranya berkisar dari 0,01 sampai
0,4 mcg/kg/menit sebaiknya diberikan melalui vena besar secara alternatif,
lakukan melalui kateter arteri umbilical, kurangi tingkat infus untuk
memberikan dosis rendah mungkin yang mempertahankan respon efek
biasanya efektif pada 0,01 – 0,05 mg/kg/min

16
6. Papaverine

Papaverine merupakan turunan sintetik dari opium yang bekerja pada otot
polos spasmolitik melali penghambatan oksidatif fosforilasi dan gangguan
dengan ca++ selama kontraksi otot sebagi juga peningkatan Camp dari
penghambatan siklik nukleotida phosphodiesterase : paling menonjol efek
Pada pembuluh darah, termasuk koroner otak, paru, gastrointestinal,
sphincter, relaksasi dan periver arteri Menekan rangsangan otot jantung
Farmakokinetik:
Onset dalam waktu cepat, durasi obat selama 12 jam jika melalui oral,
mengikat protein : 90%, waktu eliminasi setengah obat 0,5- 1,5 jam di
metabolisme hati melalui glukuronidasi dan ekskresi pada urine
Toksisitas:
Dosis parenteral tinggi dapat menyebabkan aritmia jantung. Injeksi intravena
dapat menyebabkan priapisim terkait dosis dan vibrosis local yang telah
dilaporkan setelah terapi jangka panjang efek lainnya dapat menyebabkan
gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, sakit kepala, kantuk, ruam
kulit, berkeringat dan hipotensi ortostatik dan pusing.
Penggunaan Secara Klinis:
Pada sediaan larutan injeksi 30mg/ml, Untuk pengobatan Kejang Arterial
(dosis dewasa ) formulasi oral pelepasan yang berkelanjutan : 150 mg PO
setiap 8-12jam atau 300ml/oral setiap 12 jam, Pada larutan injeksi : 30-65mg
(sampai 120mg jika diperlukan IV/IM boleh diulangi setiap 3jam.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang
persisten. Batasan hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Yang dapat diklasifikasikan menjadi 2
menurut etiologi yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder, Dimana
hipertensi tidak memberikan gejala khas tetapi ada beberapa gejala seperti
nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur dan hasil pengukuran tekanan
darah yang tinggi
Faktor-faktor resiko hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu factor yang tidak
bias dimodifikasi dan factor yang dapat dimodifikasi serta Tujuan pengobatan
hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler akibat
tekanan darah tinggai dengan cara–cara seminimal mungkin mengganggu
kualitas hidup pasien, Pengobatan hipertensi dengan 2 cara yaitu pengobatan
farmakologi dan pengobatan non-farmakologi.
Vasodilator adalah golongan obat yang berfungsi untuk membuka atau
melebarkan pembuluh darah. Obat ini bekerja pada otot dinding pembuluh
darah (arteri dan vena) dengan mencegah otot tersebut berkonstraksi sehingga
rongga pembuluh darah akan melebar, beberapa contoh obat dari golongan
vasodilator seperti hydralazine, minoxidil, natrium nitroprusside, diazoxide,
Alprosstadil IV, Papaverine

3.2. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan makalah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya lebih dapat dipertanggung
jawabkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Mansjoer. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Chobanian, et al. 2003. The seventh report od joint national committee (JNC).

Chung, Edward. K. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler. Edisi III.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Dipiro, J. T., et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook. Sixth Edition. The Mc.

Graw Hill Company. USA.

Ganiswara, V. H .S.,dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Jakarta: Bagain

Farmakologi FK UI.

Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Universitas Indonesia.

Jakarta, hal. 375

Karyadi, E. 2002, Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat dan Jantung

Koroner. Jakarta: Intisari Mediatama.

Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba

Medika.

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol. 2.

Jakarta: EGC.

19
Puspitawati, Puput. 2009. “Kajian Ketepatan Pemilihan dan Dosis Obat

Antihipertensi Pada Penderita Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rsud

Kota Salatiga Tahun 2008”. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Pandey, Ranjit. 2013. ANTIHYPERTENSIVE DRUGS. Nepal.

Shepherd, A. M. et al., 1981. Plasma Concentration and Acetylator Phenotype

Determine Response to Oral Hydralazine. American Heart

Association, Volume III, pp. 579-585.

Soeharto, I. 2001. Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Jantung Koroner.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sweetman, S.C. 2009, Martindale The Complete Drug Reference 36th Ed.

Pharmaceutical Press, London, P 2183 dan 2191.

Tjay dan Rahardja. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek

Sampingnya, Edisi V. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia.

20

Anda mungkin juga menyukai