Anda di halaman 1dari 12

Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Kementerian Pekerjaan Umum

Pengembangan Transportasi Ramah Lingkungan dalam konteks


Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim1

Paper disampaikan oleh :

Imam Santoso Ernawi


Direktur Jenderal Penataan Ruang

1. Sektor Transportasi : Pendorong Utama Kegiatan Sosial-Ekonomi, Kontributor


Emisi Karbon
Peran sektor transportasi dalam menjamin terjadinya aliran pergerakan orang dan
barang serta aliran sistem produksi dan distribusi secara nasional sangat vital.
Namun, perhatian pada sektor transportasi saat ini tidak hanya diorientasikan untuk
menjamin mobilitas penduduk, melainkan juga untuk peningkatan kualitas hidup,
kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan.Terlebih bahwa sektor
transportasi pun tidak dapat dilepaskan dari berbagai tantangan terkait dengan
perubahan iklim yang telah menjadi hot global issue sejak dua dekade terakhir.

Pada tahun 2005, sektor transportasi bertanggungjawab atas 20.7% dari keseluruhan
emisi CO2 Indonesia ke atmosfir. Dalam kelompok sektor energi, transportasi
menduduki urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 23% dari emisi total, dibawah
sektor industri (37%) dan sektor pembangkit listrik (27%), namun berada diatas sektor
permukiman (9%) dan lain-lain (4%). Angka ini menunjukkan posisi penting sektor
transportasi relatif terhadap sektor lainnya dalam konteks mitigasi perubahan iklim.

Apabila dilihat lebih jauh, 90.7% emisi karbon dilepaskan dari sektor transportasi
jalan, jauh berada diatas emisi transportasi lainnya : transportasi air (6.9%),
transportasi udara (2.4%) dan kereta api (0.1%). Fakta ini menunjukkan adanya
ketergantungan yang sangat besar dalam pilihan moda transportasi masyarakat pada
kendaraan bermotor pribadi untuk menunjang kegiatan sosial-ekonominya, khususnya
di kota-kota metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang.
Menurut estimasi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, pertumbuhan emisi gas-gas
rumah kaca yang bersumber dari transportasi jalan mencapai 8 hingga 10% (lihat
ICCSR, 2010).

1
Paper disampaikan dalam rangka International Symposium on Environmentally Friendly
Road and Transport in Climate Change, Sanur Paradise Hotel, Bali, 14 – 15 Oktober
2010.

1
Pada skala internal kota, ketidaktersediaan transportasi publik yang layak serta
pemanfaatan ruang yang secara fisik tidak tertata dengan baik merupakan dua faktor
utama penyebab tingginya emisi karbon. Dalam skala yang lebih luas, prasarana
transportasi kereta api dan laut yang terbatas, mendorong jatuhnya pilihan pada
moda transportasi darat yang konsumsi energi per kapita dan/atau produksinya lebih
tinggi. Sistem produksi wilayah yang terlalu terkonsentrasi pada kota-kota besar,
sebagai simpul-simpul utama kegiatan produktif, pun memiliki andil dalam
pergerakan orang dan barang (logistik) yang tidak efisien. Secara singkat, pada
berbagai aras spasial, persoalan sistem transportasi terkait erat dengan fenomena
urbanisasi.

2. Urbanisasi sebagai Faktor Utama Pembangkit Pergerakan Orang dan Barang


Dewasa ini, Indonesia telah memasuki era kota. Sejak tahun 2008 yang lalu, untuk
pertama kalinya jumlah penduduk perkotaan sama besarnya dengan jumlah penduduk
perdesaan dan, untuk ke depan, jumlah tersebut akan terus menggelembung.
Berbagai tantangan yang harus dihadapi dipastikan akan semakin berat, salah satunya
adalah pelayanan sistem transportasi yang handal, karena kota pada dasarnya
merupakan ”space of flows” atau ruang-ruang pengaliran yang utama.

Catatan statistik menunjukkan bahwa sejak 1970, jumlah penduduk perkotaan


Indonesia meningkat dari 17.4% (1970), menjadi 22.3% (1980), 30.9% (1990), 43.99%
(2002) dan, akhirnya, 50.5% (2008). Artinya dalam tempo 40 tahun, fenomena
urbanisasi telah menyebabkan penduduk perkotaan bertambah tiga kali lipat.

Dengan skenario laju urbanisasi moderat sebesar 1.5%, dibawah estimasi ISET sebesar
3.3% per tahun (ISET, 2009), maka prosentase penduduk perkotaan akan mencapai
56.05% (2015), lalu 60.39% (2020) hingga mencapai 65.05% (2025). Sebaliknya jumlah
penduduk perdesaan akan terus mengalami penurunan dari 43.95% (2015) menjadi
39.61% (2020) dan, akhirnya, 34.95% (2025).

Secara garis besar, fenomena urbanisasi di Indonesia terjadi melalui 4 (empat)


proses berikut yang berlangsung secara paralel, yakni: pertama, pemadatan kota
(urban densification) yang lazimnya terjadi di kota-kota ’tua’; kedua,
pembengkakan kawasan pinggiran (sub-urbanisation) yang secara fisik biasanya tidak
tertata dengan baik (urban sprawling); ketiga, migrasi dari desa ke kota yang
semakin intensif karena kota-kota tidak pernah berhenti menjadi daya tarik bagi
masyarakat perdesaan, khususnya karena alasan ekonomi (kebutuhan atas lapangan
kerja dan kesejahteraan) serta alasan sosial (ketersediaan berbagai fasilitas
pelayanan perkotaan);serta keempat, pemekaran kota-kota baru yang banyak
terjadi di era otonomi daerah, sehingga mempercepat terjadinya mutasi guna lahan
dari lahan tidak terbangun (sawah, ladang, semak) menjadi lahan-lahan terbangun
2
(komersial, permukiman, dan industri) .

2
Dalam satu dekade terakhir (1998-2008) telah terbentuk 31 kota baru secara nasional atau
terjadi penambahan sebesar 50% dari kota-kota yang ada sebelumnya. Pada saat ini,
Indonesia memiliki tidak kurang dari 92 kota otonom.

2
90
YEAR PERDESAAN PERKOTAAN 82.6
Perdesaan
(% pddk) (% pddk) 80 77.73
Perkotaan
1970 82.6 17.4
69.1
70
1980 77.73 22.27 64.09
65.05
60.39

1990 69.1 30.9 60 56.01 56.05

52.03
1995 64.09 35.91 50 48.3
51.7

2002 56.01 43.99 47.97

40 43.99 43.95

2005 51.7 48.3 39.61


34.95
35.91
30
2010 47.97 52.03 30.9
2008
2015 43.95 56.05 20 22.27
(penduduk perkotaan
2020 39.61 60.39 17.4
mencapai 50.5%)
10
2025 34.96 65.05
0

70

80

90

95

02

10

15

20

25
05
19

20
19

20

20
19

20

20
19

20
Gambar 1. Perkembangan Pertumbuhan Penduduk Perkotaan dan Perdesaan

Perkembangan kota-kota di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh pola Amerika :


rumah besar (landed housing) yang seringkali berada di kawasan peripheri, kendaraan
pribadi (mobil) yang menawarkan « freedom of movement », serta ketersediaan jalan
(khususnya jalan tol, dimana jarak geografis terpangkas oleh jarak waktu) (lihat
Graham & Marvin, 2001 ; Veron, 2006). Pola ini memicu terjadinya penjalaran
perkembangan kota secara horizontal ke segala arah (urban sprawling), membentuk
kota-kota yang bukan saja boros energi, tapi juga polutif.

Fenomena lain yang kini mulai banyak dibicarakan di dunia, termasuk di Indonesia,
adalah mengenai perkembangan kawasan megapolitan. Sebagai sebuah fenomena
perkotaan, maka ‘megapolitan’ telah dimulai prosesnya sejak tahun 1980-an di
berbagai belahan dunia, yang diawali dengan proses metropolisasi. Metropolisasi
ditandai dengan masuknya investasi global yang berlangsung cepat, dahsyat dan
bergelombang yang mengakibatkan perubahan struktur kegiatan sosial-ekonomi yang
mengarah pada pertumbuhan sektor tersier. Dispersi unit-unit produksi dan
sentralisasi fungsi-fungsi strategis yang tidak lagi dikontrol sepenuhnya oleh
pemerintah setempat, melainkan oleh swasta asing.

Dalam 30 tahun terakhir, kawasan megapolitan di Asia (misalnya Tokyo, Seoul,


Manilla, Bombay, Jakarta, Osaka-Kobe, New Delhi, Kalkutta, Shanghai, Dhaka dan
Karachi) menunjukkan perkembangan yang jauh lebih pesat dibandingkan kawasan di
benua lain. Di Indonesia, saat ini, dengan terbangunnya jalan bebas hambatan
Jakarta – Bandung, maka kedua metropolitan utama ini bukan hanya akan menyatu
secara fisik, namun juga secara sosial-ekonomi. Dampaknya, emisi yang dikeluarkan
pada koridor Jakarta – Bandung diperkirakan meningkat 25% pasca pembangunan tol
Cipularang tersebut. Ke depan, kawasan megapolitan baru akan terus bermunculan di
Indonesia, seperti Surabaya dan Medan. Keduanya dapat belajar dari pengalaman
Jakarta dan Bandung yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan pencemaran
udara dari kegiatan transportasi.

3
Dari uraian singkat diatas, urbanisasi yang dicirikan dengan pertambahan populasi
secara konstan jelas merupakan fenomena yang tidak sederhana implikasinya bagi
Indonesia. Tidak lain karena proses ini melahirkan berbagai permasalahan
pembangunan perkotaan yang semakin kompleks, termasuk didalam pelayanan sistem
transportasi yang handal namun sekaligus ramah lingkungan. Salah satu persoalan
yang kini semakin pelik diatasi adalah kemacetan, bukan hanya dalam jaringan jalan
perkotaan namun juga dalam jaringan jalan antar-kota.

3. Kemacetan : Konsentrasi Emisi Karbon di Ruang-ruang Perkotaan


Kemacetan memberikan kontribusi yang besar terhadap angka emisi karbon di
kawasan perkotaan serta meningkatkan temperatur lokal, menjadikannya sebagai
« urban heat island ». Secara teoritis, kemacetan dicirikan oleh arus yang tidak
stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang
panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada
persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan. Kemacetan merupakan bentuk
eksternalitas negatif ketika ruang-ruang pengaliran tidak sinkron dengan ruang-ruang
kegiatan.

Kemacetan yang akut dipicu oleh dua kondisi yang berjalan paralel, namun dengan
laju yang berbeda. Disatu sisi, panjang jalan relatif stagnan : tingkat pertambahan
jalan 1%/tahun pada kawasan perkotaan, dalam banyak hal terkendala oleh
pembebasan lahan, sementara pemeliharaan jalan sangat minim akibat dana yang
terbatas. Di sisi lain, jumlah kendaraan bermotor meningkat tajam bukan hanya di
kota-kota besar, namun juga pada kawasan perdesaan di Indonesia. Laju
pertambahan kendaraan bermotor mencapai 11%/tahun, seiring dengan peningkatan
PDB/kapita Indonesia sebesar 4,5%/tahun, terhitung sejak era krisis ekonomi 1997.
Lebih jauh, WHO memberikan indikasi bahwa kemacetan bertanggungjawab atas 70%
dari pencemaran udara di kota-kota besar yang berasal dari emisi bergerak alias
kendaraan bermotor. Pada masa yang akan datang, tanpa penanganan yang tepat,
kontribusi tersebut dapat lebih besar lagi, karena setiap 5 – 7 tahun, jumlah
kendaraan bermotor di Asia bertambah dua kali lipat (lihat ADB, 2007).

Sesungguhnya, anatomi kemacetan di kota-kota Indonesia sangatlah kompleks. Satu


faktor bertautan dengan faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut seringkali tampak
sederhana (misal : genangan air, pengguna jalan yang berlindung dibawah underpass
saat hujan, keluar-masuk kendaraan dari area parkir restoran, perlintasan sebidang,
perilaku berkendara yang buruk, dsb.), namun secara keseluruhan, efek yang
ditimbulkan bersifat kumulatif. Jakarta adalah contoh yang lengkap untuk memahami
anatomi kemacetan sebagaimana diperlihatkan dalam Diagram berikut:

4
Gambar 2. Anatomi Kemacetan

4. Pengembangan Konsep Transportasi Ramah Lingkungan untuk Mitigasi dan


Adaptasi Perubahan Iklim

Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dari Sektor Transportasi


Selanjutnya didalam ICCSR (2010), telah dijelaskan 3 (tiga) strategi utama yang perlu
dilakukan serta instrumen yang dapat diterapkan dalam rangka pengurangan emisi
karbon dari sektor transportasi adalah sebagai berikut :

Tabel 1
Strategi Utama dalam Pengurangan Emisi Karbon dari Sektor Transportasi

Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3


Pengurangan/Penghindaran Pengalihan (Shift) Peningkatan Sistem Eksisting
(Reduce/Avoid) (Improve)

(1) Sistem penataan ruang (1) Penyediaan prasarana dan (1) Penggunaan bahan bakar non-
terpadu dengan sistem sarana transportasi publik polutif (gas, listrik, dsb)
transportasi (misal : compact yang handal (busway, tram,
city) metro, dsb)

(2) Penerapan sistem logistik (2) Penerapan sistem Non (2) Kontrol emisi yang ketat
modern Motorized Transportation (pemeriksaan rutin & wajib)

(3) Perilaku perjalanan (travel (3) Kampanye publik dan (3) Penerapan program “Car
demand management) edukasi masyarakat labeling”

5
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
Pengurangan/Penghindaran Pengalihan (Shift) Peningkatan Sistem Eksisting
(Reduce/Avoid) (Improve)

(4) Penerapan pajak kemacetan (4) Penerapan sistem “Smart


Traffic” untuk kelancaran arus
lalu lintas

(5) Manajemen perparkiran (5) Pelatihan mengenai praktek


berkendara yan baik (Smart
Driving)

(6) Penerapan pajak kendaraan


dan pajak jalan (road pricing)

(7) Program hari bebas kendaraan


(Car Free Days)

Sumber : ICCSR (2010), dikembangkan

Beberapa dari instrumen diatas terkait erat dengan domain penataan ruang yang
akan dipaparkan lebih jauh dalam makalah ini. Instrumen dimaksud adalah : (1)
sistem penataan ruang yang terpadu dengan sistem transportasi, (2) penerapan
sistem non motorized transport (penyediaan jalur sepeda, jalur pedestrian dan
ruang-ruang publik), dan (3) manajemen perparkiran.

Upaya Pengurangan/Penghindaran Emisi dari Sektor Transportasi


Pertama, penataan sistem kota-kota yang terpadu dengan sistem transportasi.
Melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah
ditetapkan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang didalamnya terdapat kota-kota
PKN, PKW dan PKL. Melalui KSN, khususnya yang terkait dengan potensi ekonomi,
maka “gula-gula kesejahteraan” diharapkan dapat terdistribusi secara lebih merata,
serta pemanfaatan sumberdaya diharapkan dapat bekerja secara lebih efisien. Sistem
kota-kota akan diikat oleh jaringan transportasi antar-kota yang pada gilirannya,
jaringan tersebut akan membentuk struktur ruang yang mantap. Struktur dimaksud
diharapkan melepaskan emisi karbon yang rendah, karena adanya peningkatan
efisiensi pergerakan.

Disinilah peran penataan ruang, melalui instrumen rencana tata ruang pada berbagai
aras spasial (RTRWN, RTR Pulau, RTR Provinsi, RTR Kawasan Strategis hingga RTR
Kabupaten/Kota), sangatlah penting untuk memandu perencanaan dan pembangunan
sektoral, termasuk transportasi. Secara sistematis, sistem transportasi nasional
disusun secara berjenjang dan komplementer dalam wadah rencana-rencana tadi,
sebagai bentuk kebijakan publik yang memiliki kekuatan hukum (statutory plans).

Kedua, pada skala internal kota, di awal abad ke-21, pemikiran untuk mengurangi
konsumsi energi terus dikembangkan. Para pakar dan praktisi berupaya untuk
menterjemahkan konsep-konsep bernuansa ‘hijau’ secara lebih pragmatis dan
operasional. Oleh karenanya telah diperkenalkan konsep-konsep seperti smart
growth, green cities, compact city, ecological cities, ecological space, green

6
infrastructure, hingga intelligent urbanism. Konsep-konsep ini pada dasarnya
berupaya mengkombinasikan variabel transportasi, hunian (settlements hingga
neighborhood), pejalan kaki (pedestrian), dan iklim. Konsep ini juga menekankan
keseimbangan antara lingkungan alami dan artifisial, serta antara fungsi, perilaku,
dan estetika, sehingga perancangan kota tidak hanya bersifat fisik.

Sumber : K. Williamson, 2003

Gambar 3. Infrastruktur Hijau

Brown (2005) memberikan ilustrasi mengenai ciri kota berkelanjutan, dimana salah
satunya adalah adanya sistem jaringan transportasi yang tersusun dengan baik dan
efisien, menyatu dengan sistem kegiatan masyarakat perkotaan (termasuk yang
mendorong penggunaan sarana transportasi publik serta pengembangan jalur-jalur
sepeda dan pejalan kaki). Contoh lainnya adalah compact city yang sebetulnya
bukanlah ide baru apabila mengacu pada praktek yang terjadi di kota-kota Eropa.
Permukiman penduduk dilayani dengan « jalan-jalan vertikal », menurut istilah Le
Corbusier, dalam bangunan gedung tinggi yang memuat ribuan hunian/apartemen.

Bagi negara maju tentunya konsep-konsep ini bukan sekedar kosakata baru atau
buzzwords, karena kota-kota Eropa dan Amerika Utara telah berupaya menerapkan
konsep diatas secara kreatif, konsisten dan bertahap.

Lebih lanjut bahwa kota-kota Indonesia dalam perencanaan kotanya, juga harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut : penggunaan lahan campuran (mixed land-
use) yang diatur melalui instrumen peraturan zonasi, pengembangan kawasan dengan
kepadatan tinggi yang hemat konsumsi lahan, pengembangan jalur-jalur pedestrian,
pemanfaatan sarana transportasi publik yang bersifat inter-moda (dan mengurangi
lalu lintas kendaraan bermotor/auto-traffic), dan peran masyarakat yang aktif
sebagai mitra sekaligus kontrol sosial bagi pemerintah.

7
Ketiga, berkaitan dengan ruang terbuka hijau (RTH). Sejak beberapa tahun terakhir
Pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar untuk perwujudannya di kota-
kota Indonesia. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, misalnya, menetapkan
secara preskriptif bahwa 30% dari setiap wilayah kota dan kabupaten harus memuat
unsur RTH, baik yang bersifat publik (20%) maupun private (10%). Hal ini mengingat
fakta bahwa dalam 30 tahun terakhir, telah terjadi penurunan luasan RTH yang
sangat signifikan hampir di seluruh kota-kota utama Indonesia (Jakarta, Surabaya,
Medan dan Bandung), yakni dari sekitar 35% pada awal tahun 1970-an menjadi kurang
dari 10% dewasa ini.

RTH sebagai infrastruktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka pada
kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan vegetasi guna mendukung manfaat
ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi
(kesejahteraan) bagi warga kota. RTH selain itu memiliki fungsi vital untuk
mengendalikan iklim mikro3 sekaligus mengurangi konsentrasi gas-gas pencemar
udara, disamping fungsi estetika (townscape) dan fungsi sosial (rekreasi, interaksi,
olahraga, dan sebagainya).

Dalam rangka perwujudan RTH tersebut, salah satu konsep yang dapat dikembangkan
dalam jaringan sistem transportasi nasional, khususnya pada kawasan perkotaan
adalah pemanfaatan lahan-lahan tidur (vacant land) serta lahan-lahan sisi jalan (tol)
dan sisi jalan kereta api, sehingga membentuk « green corridor » atau « linear
parks » yang akan sangat besar kontribusinya dalam proses disipasi konsentrasi
karbon.

Upaya Pengalihan Transportasi


Sejak beberapa tahun terakhir, upaya pengurangan ketergantungan pada motorized
transport telah dilakukan di berbagai negara maju, seperti Perancis dan Kanada.
Kota-kota besar di Perancis, yang terinspirasi oleh keberhasilan program ”VeloV” di
Lyon, telah menyediakan jalur dan terminal sepeda di seluruh pelosok kota. Lyon
metropolitan berhasil membangun jaringan layanan yang efisien dan terpadu dengan
moda transportasi lainnya (bus kota, tram, metro, dan kereta api), dengan pusat-
pusat kegiatan perkantoran dan komersial (seperti shopping malls). Program ini
berhasil membentuk koneksi yang erat antara ruang terbuka (open spaces) dan ruang
alami (natural areas) dalam bentuk linear parks di sepanjang sungai/kanal, lahan
basah, dan taman kota. Kemacetan dan emisi karbon berhasil dikurangi secara
signifikan.

Di kota Montreal – Kanada, pengurangan ketergantungan pada kendaraan bermotor


merupakan tema sentral dari « transportation plan » yang disusun melalui

3
Sehubungan dengan fungsi ekologi, dapat dicatat bahwa lahan seluas 1600 m2, yang
mempunyai pohon berdiameter batang 10 cm mampu menyuplai oksigen (O2) sebesar
14,000 liter/jam. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2 yang setara
dengan CO2 yang dihembutkan oleh nafas 200 orang manusia dalam waktu yang sama.

8
pendekatan kolaboratif. Rencana ini menekankan pentingnya pengembangan « public
transit » dan mempromosikan mobilitas penduduk yang sifatnya « aktif » (Brown,
2005).

Sementara kota-kota di Belanda telah sejak lama menjadikan non-motorized


transport (NMT) sebagai moda pergerakan yang bukan saja efektif, namun efisien
dalam konsumsi energi dan sesuai dengan prilaku hidup sehat. Kota-kota di Belanda
dirancang dengan daya tampung penduduk terbatas (antara 50,000 – 200,000 jiwa).
Hanya beberapa kota saja yang berpenduduk diatas 500,000 jiwa, misal Amsterdam,
Rotterdam dan Den Haag. Dengan populasi yang dikendalikan, dimensi kota dapat
dipertahankan dalam jarak cycling distance yang ideal (3-5 km) ke pusat-pusat
kegiatan perkotaan. Jalur-jalur pedestrian dibangun sebagai alternatif sirkulasi jarak
dekat, khususnya di pusat-pusat kegiatan komersial serta di area-area turistik.
Penerapan NMT tentunya banyak dipengaruhi oleh topografi kota-kota Belanda yang
relatif datar.

Pengalaman kota-kota di kedua negara maju tersebut tentunya sangat menarik,bukan


sekedar wacana, namun sangat cocok diterapkan untuk kota-kota PKL dan PKW di
Indonesia dengan penduduk dibawah 1,000,000 jiwa, seperti Balikpapan, Solo,
Pangkal Pinang, Manado, Malang, dsb. Pengalaman kota-kota metropolitan seperti
Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, menunjukkan bahwa populasi yang semakin
besar, membuat kota semakin sulit untuk dikendalikan. Penyediaan prasarana dan
sarana transportasi pun semakin sulit untuk mengejar demand yang tumbuh secara
eksponensial.

Upaya Manajemen Perparkiran


Kasus terakhir berkaitan dengan manajemen perparkiran di kota-kota besar yang
memberikan kontribusi dalam menjaga kelancaran mobilitas penduduk dalam kota.
Pemanfaatan ruang untuk parkir masuk dalam arena kompetisi ruang perkotaan yang
semakin langka dan mahal. Berbagai kota di dunia telah mengembangkan beberapa
konsep, seperti vertical parking (termasuk dengan memanfaatkan underground space
technology) hingga riverside parking (sekaligus sebagai tanggul sungai yang berfungsi
juga sebagai proteksi banjir).

Secara normatif, UU No. 26/2007 memberikan dasar pengaturan bagi pemanfaatan


ruang bawah tanah, sebagai langkah antisipasi semakin sulitnya menemukan lahan
untuk pelayanan umum di kawasan perkotaan. Selain itu, pengaturan parkir secara
lebih rinci akan diatur melalui ketentuan pelengkap rencana tata ruang dalam bentuk
peraturan zonasi perkotaan yang payung hukumnya telah dijelaskan dalam PP No.
15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Upaya Adaptasi pada Sektor Transportasi


Upaya yang dilakukan seyogyanya tidak hanya difokuskan pada aspek mitigasi, namun
juga adaptasi sektor transportasi terhadap dampak perubahan iklim. Dalam kaitan
ini, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan. Sebuah studi yang

9
dilakukan oleh UNDP (2007) menunjukkan bahwa 42 juta penduduk Indonesia – sekitar
18% dari total penduduk Indonesia – tinggal di dataran rendah (low lying areas)
dengan ketinggian kurang dari 10 meter diatas permukaan laut. Sementara itu,
laporan ICCSR (2010) menyebutkan bahwa kenaikan muka air laut di wilayah
Indonesia diperkirakan pada kisaran 0,6 – 0,8 cm per tahun. Secara keseluruhan,
tidak kurang dari 60 kota-kota penting di kawasan pesisir pun memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi.

Gambar 4. Kenaikan Muka Air Laut pada Kawasan Pesisir Indonesia


Sumber : ICCSR (2010)

Jalan dan jembatan, sebagai infrastruktur primer yang menghubungkan kota-kota


pantai di pulau-pulau besar, khususnya di pantai Timur Sumatera, pantai Utara Jawa,
pantai Selatan Kalimantan, pantai Barat Sulawesi, akan berada dalam ancaman
kenaikan muka air laut. Perlindungan terhadap asset-asset infrastruktur nasional
tersebut (melalui upaya peninggian, pembangunan tanggul, pembangunan dan
pemeliharaan saluran drainase, dsb.) perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap
sejak saat ini untuk mempertahankan masa layannya. Namun, studi yang lebih presisi
pada tingkat Provinsi/Kabupaten perlu dilakukan terlebih dahulu untuk
mengklasifikasi tingkat risiko sistem transportasi terhadap kenaikan muka air laut.

5. Penutup

« Semua yang mengalir adalah sehat », demikian pepatah kuno yang masih relevan
hingga era kontemporer dewasa ini. Upaya pengendalian emisi karbon dari aktivitas
transportasi perlu dilakukan secara paralel dan koheren melalui strategi
pengurangan, pengalihan, hingga peningkatan sistem eksisting. Tujuannya mencakup
3 (tiga) hal : mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor, mengurangi
jarak tempuh pergerakan, dan mengurangi konsumsi bahan bakar untuk aktivitas
transportasi (lihat Wachter et.al, 2009).

10
Pendekatan business-as-usual tidak akan kompatibel dengan berbagai tantangan
perubahan iklim yang sangat luas dan kompleks. Tantangan tersebut sama sekali
tidak ringan untuk dijawab dan tidak ada jalan pintas untuk mengatasinya.Untuk itu,
dalam melayani sistem internal perkotaan maupun sistem antar kota, maka sistem
transportasi di Indonesia perlu dikembangkan secara lebih cerdas dan inovatif,
diantaranya melalui konsep green transportation yang harus diintegrasikan dengan
konsep green cities.

Keduanya dikembangkan untuk mencapai visi keberlanjutan. Kita dapat belajar dari
statement yang diungkapkan oleh Cleveland (2008) dalam Bentley White Paper
mengenai visi keberlanjutan.

”(Sustainability) is not a problem that we’ll solve and then move on – it will
require constant, continuing and unrelenting attention. The issues and
challenges surrounding sustainability are broad, complex, and interrelated.”
A.B. Cleveland (2008).

Kini saatnya kita memikirkan bagaimana konsep yang baik tersebut dapat disesuaikan
dengan konteks Indonesia serta direalisasikan secara konkrit. Kini saatnya kolaborasi
yang intensif dibangun antara para perencana kota dan ahli/profesional di bidang
transportasi, dalam upaya mewujudkan sistem transportasi yang ramah lingkungan
sebagai pembentuk struktur kota dan sistem kota-kota yang produktif, sejahtera dan
berkualitas bagi penduduknya. Kemauan politik yang kuat, kebijakan yang tepat serta
partisipasi yang luas dan saling menguatkan merupakan kunci dari keberhasilan dalam
upaya dimaksud.

Untuk itu, kontribusi penataan ruang dalam pengembangan sistem transportasi ramah
lingkungan dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup
setidaknya 2 (dua) hal berikut :

· Mendorong terwujudnya komunikasi yang intensif dan kontributif antara


para pemangku kepentingan yang bersifat multi-aktor dan multi-sektor pada
berbagai tingkatan melalui proses fasilitasi. Upaya fasilitasi tersebut sangat
esensial dalam proses perumusan visi, kebijakan, strategi hingga sinkronisasi
program dengan perspektif jangka menengah hingga panjang ;

· Mendorong kanalisasi kebijakan, strategi dan program aksi yang konkrit


melalui instrumen rencana tata ruang, baik yang bersifat administratif (RTRW
Nasional, RTRW Provinsi, hingga RTRW kabupaten/kota) maupun fungsional
(RTR kawasan metropolitan dan kawasan strategis lainnya), sebagai
produk/agregat kesepakatan para pemangku kepentingan tadi yang bersifat
mengikat.

11
Daftar Pustaka

ADB (2007), Climate Change ADB Programs : Strengthening Mitigation and Adaptation in
Asia and the Pacific, Publication Stock No. 110207.
Brown, D. (2005), The Influence of Sustainable Development on Urban Planning with
Special Reference to Montreal, Colloque Internationale Jacques Quartier, Lyon,
December 2005, 19p.
Cleveland, Jr. A.B. (2008), Sustaining Infrastructure, A Bentley White Paper, Bentley’s
Applied Research Group, May 2008, 20p.
Ernawi, I.S. – Dirjen Penataan Ruang, Dep. PU (2008), Permukiman Masa Depan : Adopsi
Konsep Permukiman Ramah Lingkungan untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklim, Kolokium dan Sarasehan Penajaman Program Litbang Permukiman T.A 2009,
Reposisi Peran Litbang dalam Meningkatkan Kinerja Infrastruktur Permukiman dalam
rangka Efisiensi Sumberdaya Alam dan Mengurangi Pemanasan Global, Puslitbangkim,
Bandung, 14 – 15 Mei 2008, 13p.
Graham, S. & Marvin, S. (2001), Splintering Urbanism : Networked infrastructures,
technological mobilities and the urban condition, Routledge, London, 479p.
Institut for Social and Environmental Transition (ISET) (2009), Responding to the Urban
Climate Challenge, Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN),
November 2009, 52p.
Juergensmeyer, J.C. & Roberts, T.E. (2003), Land-use Planning and Development
Regulation Law, Hornbook Series, Thomson-West, USA.

Kirmanto, Dj. – Menteri Pekerjaan Umum RI (2008), Penanganan Megapolitan Jakarta dalam
Tantangan Pembangunan Berkelanjutan, Keynote Speech dalam Megacity Workshop
dengan tema Persiapan untuk 30 Juta Penduduk : Membentuk Megacity yang
Berkelanjutan, LAPI – ITB, PT. Holcim Indonesia dan SwissContact, Jakarta, Juni 2008,
17p.
Ministry of Environment – Republic of Indonesia, Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR), Transportation Sector, March 2010, 18p
Veron, J. (2006), L’urbanisation du monde, Collection repères, la Découverte, Paris, 122p
Wachter, S. (dir.) et al, (2009), Dictionnaire de l’aménagement du territoire : Etat des
lieux et prospective, Belin, Paris, 318p
Williamson, K. (2003), Growing With Green Infrastructure, Heritage Conservancy,
Doylestown PA, USA, 20p. www.heritageconservancy.org

12

Anda mungkin juga menyukai