Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PNEUMOTHORAX

Oleh:
MIRANDA PUTRI

AKADEMI FISOTERAPI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017

1
2
BAB I
STUDI KASUS

A. Rumusan Masalah
Pasien adalah lelaki berusia 54 tahun. 1 hari lalu pasien tersandung dan
menabrak kepala tempat tidur. menimbulkan trauma pada sisi kiri dada. Pada
saat sampai di UGD, ditemukan adanya fraktur costae dan pneumothoraks.
Tuba dada dimasukkan dengan hasil baik.
Pasien adalah penyandang cacat, akibat cedera musculoskeletal saat
kecelakaan kendaraan bermotor tahun 1969. Pasien perokok dan peminum
alcohol.
Sejak masuk, pasien mendapatkan anelgesik umum karena nyeri dada kiri.
Pada pemeriksaan, pasien sedikit mengantuk namun orientasi baik. Pasien
menunjukkan ketidaknyamanan saat bergerak atau mengambil napas dalam.
Pemeriksaan thoraks menunjukkan emfisema subkutan pada sisi kiri dada
dengan sedikit memar pada lapang lateral sisi kiri dada. pemeriksaan
abdominal tidak dilakukan. Untuk membantu pernapasan dalam dan
mobilitas, pasien diinjeksi bupivacaine pada ruang pleura. Pasien menyatakan
penurunan ketidaknyamanan setelah injeksi bupivacaine.
ABG pH 7.21 PaCO2 70 HCO3– 27 PaO2 55. Pasien dirujuk fisioterapi dada,
incentive spirometer dan salbutamol akibat PPO ringan.
Berdasarkan kasus di atas maka rumusan masalah pada penulisan tugas
makalah adalah “Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada pneumothoraks
dalam kasus tersebut?”
3
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan fisioterapi pada pasien
pneumothoraks.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana mengaplikasikan assessment fisioterapi
pada pasien pneumothoraks.
b. Untuk mengetahui bagaimana mengaplikasikan intervensi fisioterapi
pada pasien pneumothoraks.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi
Paru adalah struktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks,
yang merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat
menahan tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar
toraks dan dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah
secara bergantian meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada.
Ketika kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui trakea
(inspirasi), karena penurunanan tekanan di dalam, dan mengembangkan
paru. Ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula
4
(ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong
udara keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan
normalnya membutuhkan energi; fase ekspirasi normalnya pasif.
Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi
menempati dua pertiganya.
Pleura bagian terluar dari paru-paru dikelilingi oleh membrane
halus, licin, yaitu pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding
interior toraks dan permukaan superior diafragma. Pleura parietalis
melapisi toraks, dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antar kedua
pleura ini terdapat ruang, yang disebut spasium pleura, yang
mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
1. Otot-otot Pernafasan
Menurut Djojodibroto (2009), yang digolongkan ke dalam
struktur pelengkap sistem pernafasan adalah struktur penunjang yang
diperlukan untuk bekerjanya sistem pernafasan tersebut. Struktur
pelengkap itu sendiri terdiri dari costae dan otot, difragma serta
pleura. Dinding dada atau dinding thoraks dibentuk oleh tulang, otot,
serta kulit. Tulang pembentuk dinding thoraks antara lain costae (12
buah), vertebra thoracalis (12 buah), sternum , clavicula dan scapula.
Sementara itu, otot pembatas rongga dada terdiri dari:
a. Otot ekstremitas superior
1) Musculus pectoralis major
2) Musculus pectoralis minor
3) Musculus serratus anterior
4) Musculus subclavius
b. Otot anterolateral abdominal
1) Musculus abdominal oblicus externus
2) Musculus rectus abdominis
c. Otot thorax intrinsik
1) Musculus intercostalis externa
2) Musculus intercostalis interna
5
3) Musculus sternalis
4) Musculus thoracis transversus
Selain sebagai pembentuk dinding dada, otot skelet juga berfungsi
sebagai otot pernafasan. Menurut kegunaannya, otot-otot pernafasan
dibedakan menjadi otot untuk inspirasi, dimana otot inspirasi terbagi
menjadi otot inspirasi utama dan tambahan, serta otot untuk ekspirasi
tambahan.
a. Otot inspirasi utama (principal) yaitu :
1) Musculus intercostalis externa
2) Musculus intercartilaginus parasternal
3) Otot diafragma.
b. Otot inspirasi tambahan (accessory respiratory muscle) sering
juga disebut sebagai otot bantu nafas terdiri dari:
1) Musculus sternocleidomastoideus
2) Musculus scalenus anterior
3) Musculus scalenus medius
4) Musculus scalenus posterior
Saat pernafasan biasa (quiet breathing), untuk ekspirasi tidak
diperlukan kegiatan otot, cukup dengan daya elastis paru saja udara
di dalam paru akan keluar saat ekspirasi berlangsung. Namun, ketika
seseorang mengalami serangan asma, seringkali diperlukan active
breathing, dimana dalam keadaan ini untuk ekspirasi diperlukan
kontribusi kerja otot-otot seperti:
1) Musculus intercostalis interna
2) Musculus intercartilagius parasternal
3) Musculus rectus abdominis
4) Musculus oblique abdominus externus
Otot -otot untuk ekspirasi juga berperan untuk mengatur
pernafasan saat berbicara, menyanyi, batuk, bersin, dan untuk
mengedan saat buang air besar serta saat persalinan.
6

Gambar 2.1 Otot pernafasan (sumber: Anonim , 2015)

2. Otot-otot Regio Servikal


Otot-otot regio servikal terdiri atas kelompok otot bagian anterior,
posterior dan bagian lateral.
a. Bagian Anterior
Pada bagian anterior, terdapat otot prevertebralis servikal dan otot
hyoid.
1) Otot Prevertebralis Servikal
Otot prevertebralis terdiri atas otot longus colli dan longus
capitis, serta otot rectus capitis anterior dan otot rectus
capitis lateralis. Otot longus colli dan longus capitis berjalan
vertikal ke atas di depan vertebra, longus colli berasal dari
T3 bagian atas sampai pada C1 (atlas) dan longus capitis
berasal dari cervical bawah ke os occipital.
2) Otot rectus capitis berjalan secara oblique ke atas dari atlas
ke tengkorak, rectus capitis anterior berjalan ke arah medial
dan rectus capitis lateralis berjalan ke arah lateral. Kecuali
otot longus colli, otot-otot tersebut di atas berperan dalam
gerak fleksi kepala dan leher ketika otot-otot sisi kiri dan sisi
kanan bekerja bersama-sama. Pada aksi yang terpisah, otot-
7
otot tersebut berfungsi dalam gerak fleksi kepala dan leher ke
arah lateral atau rotasi pada sisi yang berlawanan. Otot
longus colli hanya bekerja pada leher dan bekerja aktif pada
fleksi yang ditahan, lateral fleksi yang ditahan dan rotasi
pada sisi yang sama. Otot ini juga menstabilisasi leher
selama batuk, bicara dan menelan (Hibsat, 2010).
3) Otot Hyoid
Otot ini dikenal juga sebagai otot yang berbentuk tali. Otot
hyoid adalah otot-otot bagian anterior yang kecil pada regio
servikal. Otot ini terdiri atas otot suprahydois dan 4 otot
infrahyidois. Otot Hyoid berperan di dalam gerak fleksi
kepala dan leher. Otot tersebut merupakan otot-otot utama
dalam fase-fase menelan, tetapi berkontraksi pada fleksi
servikal melawan tahanan (Hibsat, 2010).

Gambar 2.2 Otot Leher Bagian Anterior


(Sumber : Netter, 2013)

b. Bagian Posterior
8
Pada bagian posterior servikal terdapat otot splenius capitis dan
cervicis, group otot suboccipitalis, erector spine, serta otot
semispinalis cervicis dan capitis.
1) Otot Splenius Capitis dan Cervicis
Kedua otot ini terdiri atas ikatan serabut paralel, berjalan keluar
dan ke atas dari perlekatannya di bawah ke arah sentral atau
medial sampai perlekatannya di atas lebih ke arah lateral. Otot
splenius capitis jauh lebih besar daripada splenius cervicis.
Ketika sisi kiri dan kanan berkontraksi secara bersaman, kedua
otot tersebut berperan dalam gerak ekstensi dan hiperekstensi
kepala serta leher. Kedua otot ini juga membantu menopang
kepala dan postur tegak. Jika satu sisi berkontraksi sendiri dapat
menghasilkan fleksi kepala, lateral fleksi leher dan juga rotasi
leher pada sisi yang sama. Otot-otot ini dapat dipalpasi pada
posterior leher tepatnya dibagian lateral dari upper trapezius dan
bagian posterior dari sternocleidomastoid di atas levator
scapula. Otot ini khususnya berkontraksi jika kepala ekstensi
melawan tahanan dalam posisi tengkurap dan kedua shoulder
rileks, tetapi hal ini sulit diidentifikasi (Hibsat, 2010).
2) Group Otot Suboccipitalis
Group otot ini terdiri dari 4 otot yang pendek yang terletak pada
bagian belakang bawah dari tengkorak (os occipital) dan 2
vertebra bagian atas. Group otot ini mencakup obliques capitis
superior dan inferior, serta rectus capitis posterior major dan
minor. Aksi atau kerja otot secara bersamaan pada kedua sisi
menghasilkan ekstensi dan hiperekstensi kepala. Ketika satu sisi
bekerja sendiri maka terjadi lateral fleksi kepala atau rotasi
kepala ke sisi yang sama (Hibsat, 2010).
3) Erector Spine
Otot ini dikenal sebagai massa otot yang besar dan terbagi ke
dalam 3 cabang yaitu otot iliocostalis, longissimus, dan otot
spinalis. Khusus regio cervical hanya terdapat otot iliocostalis
dan otot longissimus. Otot iliocostalis terdiri dari bagian lumbal,
9
thorakal dan servikal. Pada regio servikal, otot iliocostalis
cervicis melekat pada processus transversus C4 kemudian
bersambung pada regio thoracal dengan nama iliocostalis
thoracal. Otot longisimus terdiri dari 3 bagian yang berbeda
yaitu longissimus thoracis, longissimus cervicis dan longissimus
capitis. Longissimus cervicis adalah otot yang kecil dan terletak
agak dekat dengan spine; melekat dari processus transversus
vertebra thorakal atas sampai pada proseccus transversus
vertebra servikal bawah. Longissimus capitis adalah otot yang
tipis dan melekat dari vertebra servikal pada 2/3 bagian bawah
servikal, kemudian berjalan ke luar dan ke atas pada processus
mastoideus os temporalis. Otot erector spine pada regio cervical
jika berkontraksi secara bersamaan pada kedua sisi akan
menghasilkan gerakan ekstensi kepala. Jika hanya berkontraksi
pada satu sisi, khususnya yang berhubungan dengan otot bagian
lateral dan anterior pada sisi yang sama maka akan
menghasilkan gerakan lateral fleksi (Hibsat, 2010).
4) Otot Semispinalis Cervicis dan Capitis
Otot ini terletak dekat dengan vertebra pada bagian dalam dari
erector spine. Bagian thorakal dan servikal terdiri dari bundel-
bundel serabut otot yang kecil yang berjalan ke arah medial dan
ke atas sampai beberapa processus vertebra di atasnya. Bagian
bawah semispinalis capitis melekat dari vertebra thorakal bagian
atas dan berjalan sedikit ke medial, tetapi bundel-bundel
serabutnya pada regio servikal berjalan vertikal ke os occipital.
Ketika kedua sisi otot-otot serabut tersebut berkontraksi secara
bersamaan maka akan menghasilkan ekstensi servikal. Dan
ketika hanya satu sisi berkontraksi maka akan menghasilkan
lateral fleksi dan rotasi pada sisi yang berlawanan (Hibsat,
2010).
10

Gambar 2.3 Otot Leher Bagian Posterior


(Sumber : Netter, 2013)
c. Bagian Lateral
Pada bagian lateral servikal, terdiri atas otot scalenus anterior,
posterior dan medius, serta otot sternocleidomastoid.
1) Otot Scalenus Anterior, Posterior dan Medius
a. Otot Sternocleidomastoid
Otot ini terdiri dari 2 caput, satu caput dari puncak sternum
dan satu caput lainnya dari puncak klavikula, sekitar dua inci
ke lateral dari kosta satu. Kedua caput otot ini menyatu dan
melekat pada tulang tengkorak tepat di bawah dan di
belakang telinga.
Aksi otot pada kedua sisi secara bersamaan akan
menghasilkan fleksi kepala dan leher. Aksi otot pada satu sisi
akan menghasilkan fleksi kepala dan lateral fleksi leher, juga
menghasilkan rotasi pada sisi yang berlawanan. Otot ini
mudah dipalpasi pada sisi leher tepat dibawah telinga ke
depan leher pada salah satu sisi dari sternoclavicular joint
(Hibsat, 2010).
11

Gambar 2.5 Otot Leher Bagian Lateral


(Sumber : Netter, 2013)

B. Patofisiologi
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung
oleh jaringan ikat,pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah
bening, rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri
atas pleura parietalis yang melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan
kartilago, diapragma dan menyusup kedalam pleura dan tidak sinsitif
terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-20ml) dan
berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura.
Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas.
1. Pneumotorak Spontan Primer
Pneumotorak spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong
udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara petologis membuktikan
bahwa pasien pneumotorak spontan yang parunya dipesersi tampak
adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla.
Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pelura
fibrotik yang menebal sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan
sebagian lagi oleh jaraingan paru emfisematus. Blab terbentuk dari
12
suatu alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam
lapisan tipis pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk
kista. Mekanisme pembentukan bulla/blab belum jelas , banyak
pendapat mengatakan terjadainya kerusakan bagian apeks paru akibat
tekanan pleura lebih negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi
apabila dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks
paru. Observasi klinik yangdilakukan pada pasien pneumotorak
spontan primer ternyata mendapatkan pneumotorak lebih banyak
dijumpai pada pasien pria berbadan kkurus dan tinggi. Kelainan
intrinsik jaringan konetif mempunyai kecenderungan terbentuknya
blab atau bulla yang meningkat.
Blab atau bulla yang pecah masih belum jelas hubungan dengan
aktivitas yang berlebihan,karena pada orang-orang yang tanpa
aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak. Pecahnya alveoli
juga dikatakan berhubungan dengan obstruksi check-valve pada
saluran napas dapat diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain :
infeksi atau infeksi tidak nyata yang menimbulkan suatu penumpukan
mukus dalam bronkial.
2. Pneumotorak Spontan Sekunder
Disebutkann bahwa terjadinya pneumotorak iniadalah akibat
pecahnya blab viseralis atau bulla pneumotorak dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang medasarinya. Patogenesis
penumotorak ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrosis
kistik, TB paru, penyakit-penyakit paru infiltra lainnya (misalnya
pneumotoral supuratif, penumonia carinci)
Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya karena
adanya penyakit yang mendasarinya.
C. Patoanatomi
Bagian pneumotoraks akan tampak ruang atau celah, rata dan paru
yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru akan kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk
lobuler yang sesuai dengan lobus paru.
13
Adakalanya rongga ini sangat sempit sehingga hampir tidak
tampak seperti massa yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak
berkaitan dengan berat ringan sesak nafas yang dikeluhkan.
Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pandorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah
terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
ini:
– Pneumomediastinum, Terdapat ruang atau celah pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai ke apeks.

– Emfisema subkutan dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah


kulit.

– Bila ada cairan di rongga pleura, akan tampak permukaan cairan


sebagai garis datar di atas diafragma.
Pada pneumotoraks udara bebas dalam rongga pleura lebih
cenderung berkumpul pada bagian atas sisi lateral.

D. Patomekanika
Paru-paru yang tidak dapat meregang dan menjadi kolaps.Terjadi
perubahan sifat mekanik paru dan dinding dada, yang menyebabkan
gerakan pada dinding dada tidak maksimal dan mengurangi
compliance paru dan dinding dada. Hal ini mengakibatkan penurunan
efisiensi bernapas, pengurangan tekanan respirasi statis maksimum dan
berkurangnya volume paru. Selain itu, penurunan kemampuan untuk
menghela napas, batuk yang tidak efektif dan hipersekresi mukus.
Pada waktu ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga
tekanan intra pleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun
di bronchus sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus.
E. Standar Fisioterapi Pada Kasus
Proses fisioterapi merupakan suatu proses yang mempunyai
tahapan melalui pengkajian, anamnesa, pemeriksaan, analisis problem,
14
diagnosa fisioterapi, rencana pelaksanaan, rencana evaluasi,
pelaksanaan dan dokumentasi.
1. Asesmen Fsioterapi
a. Anamnesa, dapat dilakukan secara autoanamnesis maupun
heteroanamnesis.
1) Identitas Pasien
Meliputi data-data penderita seperti nama, umur, jenis
kelamin,tempat tanggal lahir, agama, status perkawinan,
pekerjaan dan alamat.
2) Riwayat Penyakit
a) Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan
atau yang paling berat sehingga mendorong pasien atau
keluarga pasien datang berobat atau mencari pertolongan
medis. Berikut merupakan problem fisioterapi pada
kasus respirasi atau kardiovaskilar, yaitu :
(1). Sesak (posisi tertentu, aktivitas, dan terus menerus)
(2). Nyeri dada (nyeri tekan atau saat inspirasi)
(3). Sputum (cairan, kental, berbusa, berwarna, dan
jumlah)
(4). Mengi
(5) batuk (basah, kering, spastik)
Setiap keluhan ditanyakan pula dalam beberapa hal
sebagai berikut :
(1) durasi (sejak kapan, dan berapa lama gejala tersebut
muncul)
(2) Keparahan
(3) Pola (setiap hari atau terkadang saja)
(4) Faktor-faktor penyerta baik yang memicu ataupun yang
mengurangi gejala tersebut muncul.

b). Riwayat Penyakit Sekarang


15
Tahanan anamnesa bagian inilah yang paling untuk
menegakkan diagnosis. Terdapat 4 unsur utama dalam
anamnesis riwayat penyakit sekarang, yaitu kronologis
atau perjalanan penyakit, gambaran atau deskripsi
keluhan utama, keluhan atau gejala penyerta, dan usaha
berobat.
c). Riwayat Penyakit Dahulu
Mendapatkan informasi tentang riwayat penyakit yang
pernah dialami yang tidak berkesinambungan dengan
munculnya keluhan sekarang.
d). Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga merupakan riwayat pasien
secara finansial, aktivitas dan lingkungan sekitar pasien
sebelumnya.

3) Tanda Vital dan Keadaan Umum


a) Tekanan Darah
Pengukuran dilakukan dengan sphygmomanometer dan
stetoskop.Caranya dengan melilitkan manset pada
lengan atas kemudian stetoskop, kira-kira 1 inchi dari
fossa cubiti, kemudian stetoskop diletakkan pada
antebrachii sedikit medial.Manset dipompa hingga nadi
tak teraba lagi, kemudian manset dikempiskan
perlahan-lahan.Pulse pertama sistolik, pulse terakhir
diastolik. Pada waktu ventrikel berkonstraksi, darah
akan dipompakan ke seluruh tubuh, tekanan aliran
darah pada saat itu disebut tekanan darah sistolik. Pada
saat ventrikel sedang rileks, darah dari atrium masuk ke
ventrikel, tekanan aliran darah pada waktu ventrikel
sedang rileks disebut tekanan darah diastolik.
b) Denyut Nadi
Pengukuran dilakukan dengan cara palpasi pada arteri
16
radialis dihitung dalam 15 detik, hasilnya dikali 4 untuk
paisen rawat jalan, 30 detik, hasilnya dikali 2 untuk
pasien rawat inap dan dihitung 60 detik penuh (1 menit)
untuk pasien ICU. Denyut nadi rata-rata usia produktif
normal 60-80 x/ menit. Takikardi jika > 100 x/menit
dan Bradikardi jika < 60 x/menit. Lokasinya antara lain
arteri radialis, arteri brachialis, arteri karotis komunis
eksternal dan arteri temporalis.
c) Frekuensi Pernapasan
Pengukuran pernafasan dilakukan dengan cara
meletakkan selembar kertas diatas abdomen pasien dan
memperhatikan naik-turun kertas tersebut selama 15
detik, hasilnya dikali 4 untuk paisen rawat jalan, 30
detik, hasilnya dikali 2 untuk pasien rawat inap dan full
dihitung 60 detik (1 menit) untuk pasien ICU.
Frekuensi pernapasan normal rata-rata usia produktif
normal 16-20 x/ menit.
d) Suhu Badan
Pengukuran dilakukan dengan termometer. Lokasi
pemeriksaan suhu tubuh dapat dilakukan pada bagian:
(1). Mulut (oral), tidak boleh dilakukan pada anak/bayi
(2). Anus (rectal), tidak boleh dilakukan pada klien dengan diare
(3). Ketiak (aksila)
(4). Telinga (timpani/aural/otic)
(5). Dahi (arteri temporalis).
Dengan hasil sebagai berikut:
(a). Hipotermia (<35° C)
(b). Normal (35-37° C)
(c). Pireksia/febris (37-41,1° C)
(d). Hipertermia (>41,1° C)
e) Tinggi Badan
Dilakukan dengan timbangan dalam satuan ukur kilogram
17
atau dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk mengetahui

kategori berat badan pasien dengan rumus sebagaiberikut:

Dengan keterangan kategori sebagai berikut:

Resiko Penyakit
Kategori IMT (Kg/m2)
Penyerta

Underweight <18,5 Rendah

Normal 18,5 – 24,9 Rata-rata

Overweight 25,0 – 29,9 Meningkat

Obese I 30,0 – 34,9 Meningkat Sedang

Obese II 35,0 – 39,9 Parah

Obese III >40,0 Sangat Parah

Tabel 2.2: Tabel kategori IMT secara Internasional


(sumber: Modul Pemeriksaan Fisioterapi, 2014)

f) Tingkat Kesadaran
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan
untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam
kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal
yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil
pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang
angka 1 – 6 tergantung responnya.
Motor (respon motorik) :
(1) : Mengikuti perintah
(2) :Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
18
(3) :Withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) :Flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku
diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(5) :Extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di
sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi
rangsang nyeri).
(6) :tidak ada respon
Kesimpulan:
1.Baik: 13-15
2.Sedang: 8 - 12
3. Berat :< 7
b. Inspeksi
Inspeksi berguna untuk menilai betuk dan simetrisitas dada,
pola dan ketenang respirasi, dan ada/tidaknya syanosis.
Inspeksi dilakukan dengan cara pengamatan untuk melihat
keadaan umum pasien, deformitas, gerakan napas, ekspansi thoraks
dan spasme otot pernapasan. Ekspansi thoraks dilihat dari dimensi
anterior, lateral, dan posterior.
c. Palpasi
Palpasi merupakan pemeriksaan dengan cara meraba,
menyentuh, atau menekan daerah yang diperiksa dengan tangan
pemeriksa. Tujuan palpasi adalah untuk menegaskan hasil
pemeriksaan inspeksi dan mengetahui adanya nyeri tekan, suhu
tubuh, kesimetrisan gerak dan ekspansi thoraks, dan menafsirkan
keadaan di dalam paru dengan fremitus suara
1) Pemeriksaan Gerak Nafas
Dilakukan dengan meletakkan tangan di atas dada dan
perut.Pasien bernapas biasa dan terapis merasakan gerakan
napas pasien, apakah pasien menggunakan pola napas thorakal
atau abdominal.
2) Pemeriksaan Fremitus
Pemeriksaan ini bertujuan untuk merasakan getaran
dinding dada pasien saat mengucapkan kata bernada sengau,
19
misalnya “99” (dilafalkan ninety nine).Pemeriksaan dilakukan
dengan meletakkan kedua telapak tangan terapis di dinding dada
pasien dengan kontak penuh sementara pasien mengucapkan
“99”.
Tangan terapis bergerak untuk merasakan getaran dinding
dada. Getaran fremitus yang sama pada kedua sisi menunjukkan
kondisi normal. Fremitus yang berkurang pada satu sisi dada
menunjukkan adanya kantung udara pada saluran
pernapasan.Sementara getaran yang bertambah menunjukkan
adanya sekresi pada saluran pernapasan.
d. Perkusi
Perkusi dilakukan dengan menggunakan jari tengah terapis
pada intercosta os.Dengan mengetukan jari tengah terapis dengan
jari yang lainnya.Normal dinding thoraks saat diperkusi sonor dan
hipersonor menandakan adanya pemadatan pada jaringan paru dan
penimbunan pada rongga thoraks.
e. Auskultasi
(1) Auskultasi Paru Depan
(a) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau
dipinggang dan berhadapan dengan pemeriksa.
(b) Tempelkan stetoskop pada dinding dada
(c) Mintalah pasien menarik napas pelan-pelan dengan mulut
terbuka.
(d) Dengarkan satu periode inspirasi dan ekspirasi.
(e) Mulailah dari depan diatas klavikula kiri dan teruskan
kesisi dinding dada kanan.
(f) Selanjutnya geser kebawah 2-3 cm dan seterusnya, sampai
ke dada bagian bawah.
(g) Mintalah pasien mengangkat lengannya untuk
pemeriksaan di daerah aksila kanan dan kiri.
(h) Bandingkan suara napas kanan dan kiri, serta dengarkan
adanya suara napas tambahan.
(2) Auskultasi Paru Belakang
20
(a) Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau di
pinggang dan membelakangi pemeriksa.
(b) Tempelkan kepala stetoskop pada supraskapula dada
belakang kiri dan dengarkan dengan seksama, kemudian
lanjutkan kebagian dada kanan. Selanjutnya geser
kebawah 2- 3 cm dan seterusnya, sampai kedada bagian
bawah.
(c) Mintalah pasien mengangkat lengan nya untuk auskultasi
pada aksila posterior kanan dan kiri.
(d) Bandingkanlah getaran suara kanan dan kiri, dengarkan
adanya suara napas tambahan.
f. Pengukuran Ekspansi Thoraks
Ekspansi Thoraks dapat diukur dengan menggunakan
midline yang dilingkari pada:
(1)Regio dada atas (kartilago costae 4), biasanya sekitar 2-3 cm.
(2)Regio dada tengah (kartilago costae 7), biasanya sekitar 3-5 cm.
(3)Regio dada bawah (kartilago costae 9), biasanya sekitar 5-7 cm.
(4)Pengukuran diambil pada saat inspirasi maksimal dan ekspirasi
maksimal.
Selisih antara inspirasi dan ekspirasi menunjukkan
ukuran ekspansi thoraks.
g. Pemeriksaan Sesak
Alat: Skala borg yang di modifikasi. Skala berupa garis
vertikal yang diberi nilai 0 sampai 10 dan tiap nilai mempunyai
deskripsi verbal untuk membantu penderita menderajatkan
intensitas sesak dari derajat ringan sampai berat.
Prosedur: beri penjelasan kepada pasien tentang kuisioner skala
borg, lalu tanyakan dimana level sesak yang dirasakan pasien saat ini,
saat melakukan aktivitas. Terpis menandai nilai yang telah ditunjuk oleh
pasien pada lembar pengukuran sesak (lembar skala borg).
PERINGKAT INTENSITAS

0 Tidak Sesak Sama Sekali

0,5 Sesak Sangat Ringan Sekali


21
1 Sesak Sangat Ringan

2 Sesak Ringan

3 Sesak Sedang

4 Sesak Kadang Berat

5 Sesak Berat

7 Sesak Sangat Berat

Sesak Sangat Berat Sekali, Hampir


10
Maksimal

h. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus respirasi Pneumothorax adalah
Foto Rotgen, Foto polos pada dada biasanya memunculkan
kemungkinan adanya Pneumothorax. Foto dada PA dan lateral
membanru melihat lokasi lesi dan bentuk abses paru.
i. Pemeriksaan Kogntif, Intrapersonal dan Interpersonal
1) Pemeriksaan Kemampuan Kognitif
Pasien memahami dan mengerti instruksi yang diberikan
oleh terapis.
2) Pemeriksaan Kemampuan Interpersonal
Pasien mempunyai kemauan untuk menjalani terapi.
3) Pemeriksaan Kemampuan Interpersonal
Pasien didukung penuh oleh keluarga dalam menjalani
terapi.
2. Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi didapat dari hasil assessment yang
dilakukan terhadap pasien. Problematik yang ditemukan antara lain:
a. Sesak nafas
b. Nyerigerakabduksi shoulder
c. Spasme m. Upper trapezius kiri, m. Pectoralis Major kanan, dan m.
Sterrnocleidomastoideuskanandankiri
d. Keterbatasanekspansi lower thorax
22
3. Diagnosa Fisioterapi
Adanya gangguan fungsional pengembangan dada karna colaps paru
akibat pnumothorax

4. Rencana Program Fisioterapi


a. Tujuan jangka pendek :
1) Menghilangkan sesak nafas
2) Mengurangi nyerigerak
3) Mengurangispasme
4) Meningkatkan ekspansi thorax bawah
5) Meningkatkan kekuatan otot
b. Tujuan jangka panjang
Memperbaiki postur ke arah normal

c. Modalitas alternative
b) Control Breathing
c) Deep Breathing
d) Segmental Breathing
e) Chest Mobility
f) Treadmill

1) Modalitas terpilih

Modalitas terpilih
a. Control Breathing
Tujuan : Rileksasi dan mengatur pola pernapasan normal
Frekuensi : 3-5 kali seminggu
Intensitas : 3-4 kali repetisi
Time : 10menit
b. Deep Breathing
Tujuan : Meningkatkan volume paru, mencegah
kolapsnya paru, meningkatkan pengembangan
toraks.
Frekuwensi : 3-5 kali seminggu
Intensitas : 6 kali repetisi
Time : 10 menit
c. Segmental Breathing
Tujuan : Meningkatkan pengembangan toraks pada area
tertentu
Frekuensi : 3-5 kali seminggu
Intensitas : 5-10 kali repetisi
Time : 3 menit
d. Chest Mobilisasi
23
Tujuan : Meningkatkan fleksibilitas dan daya tahan otot
pernapasan, mengurangi spasme otot-otot
pernapasan
Frekuensi : 3x seminggu
Intensitas : 5-10 kali repetisi
Time : 3 menit
5. Rencana Evaluasi
1) Evaluasi sesaat (setelah terapi)
a) Sesak nafas (dengan skala borg)
2) Evaluasiperiodik (setelah 3x terapi)
a) Sesak nafas (dengan skala Borg)
b) Spasme m. Upper trapezius kiri, m. Pectoralis Major kanan, dan
m. Sterrnocleidomastoideus kanan dan kiri
c) Ekspansi sangkar thorax
3) Evaluasi kumulatif (setelah 6 kali terapi)
a) Spasme m. Upper trapezius kiri, m. Pectoralis Major kanan, dan
m. Sterrnocleidomastoideus kanan dan kiri
b) Protaksi bahu, skoliosis, kifosis dan forwardhead
a. Prognosis
Quo ad functionam : Baik

2. Pelaksanaan Program Fisioterapi (Intervensi)


Pelaksanaan program fisioterapi berdasarkan rencana yang sudah
disusun yang meliputi :
a. Implementasi progam
1) Prosedur
a) Deep Breathing
(1) Persiapan pasien :
Pasien diposisikan duduk dengan badan tegak, kedua
tangan rileks
(2) Persiapan alat : -
(3) Pelaksanaan :
Pasien diinstruksikan untuk mengambil nafas pelan dan
dalam melalui hidung, keluarkan udara pelan-pelan melalui
mulut dengan dibantu oleh otot-otot perut. Minta pasien
untuk merasakan sampai seakan-akan paru menjadi kosong
24
udara. Istirahat sebentar, kemudian ulangi prosedur diatas
beberapa kali.
b) Segmental Breathing
(1) Persiapan pasien :
Posisikan pasien senyaman mungkin, dilakukan dengan
posisi tidur.
(2) Persiapan alat : -
(3) Pelaksanaan :
Tangan terapis berada pada area yang ingin dikembangan,
minta pasien untuk menarik nafas, dengan
mengkosentrasikan area yang dipegang terapis, saat pasien
menghembuskan nafas, terapis memberi tekanan pada area
tersebut.
c) Chest Mobilisasi
(1) Persiapan pasien :
Pasien diposisikan duduk.
(2) Persiapan alat : -
(3) Pelaksanaan :
Pasien diinstruksikan untuk mengangkat kedua
tangannya lurus ke atas selama inspirasi, saat ekspirasi
minta pasien untuk membawa tangannya kekaki.
a. Home program
Pasien diminta untuk tetap rutin melakukan latihan
chest mobilisasi seperti yang telah diajarkan oleh
terapis
Frekuensi : 2 kali sehari
Intensitas : 5-10 kali repetisi
Time : 3 menit

BAB III
SIMULASI STATUS KLINIK
25

Nama Mahasiswa Miranda Putri Nama Pasien Tn.X


NIM No RM
Nama Fisioterapis Usia 54th
Tanggal Jenis Kelamin L/P
Waktu Perawatan Ranap/Rajal
Alasan rujukan (centang semua kriteria)
Kedaruratan klinis Instabilitas Kardiorespirasi v EWT
Penurunan Kesadaran Disfungsi Ginjal Perdarahan
Masalah Pernapasan v Gangguan Metabolis/Elektrolit Efek Samping Obat
Kecemasan Lain-lain (sebutkan) : penurunan ketidaknyamanan
Tanda Vital (Diperiksa oleh Fisioterapis)
RR________, Sp O2________%, O2 Flow__________, BP______/______,
Temp_______˚C, HR________, Ritme denyut nadi/jantung:
Tingkat Kesadaran Sadar Merespon Suara Merespon Nyeri Tidak merespon
Early Warning Triggers: RR_____, BP_____, HR_____, Kesadaran_____, Urine_____
TOTAL EWT 0 1 2 3
Pemeriksaan Kondisi Fisik (SOAP)
Subyektifitas: Keluhan Utama = ketidaknyamanan saat bergerak atau
mengambil napas dalam.
Pencetus Gejala fraktur costae
Qualitas Gejala Strong
Radiasi/Perluasan Gejala
Skala Gejala
Time/Waktu Munculnya Gejala
Riwayat Penyakit
1 hari lalu pasien tersandung dan menabrak kepala tempat tidur. menimbulkan trauma pada
sisi kiri dada. Pada saat sampai di UGD, ditemukan adanya fraktur costae dan
pneumothoraks. Tuba dada dimasukkan dengan hasil baik. Sejak masuk, pasien
mendapatkan anelgesik umum karena nyeri dada kiri.

Obyektifitas : Asesmen Fisik


26
Airway Sendiri/Mampu Terganggu v Tracheostomy

Breathing Air Entry: Usaha Pernapasan:

O2 therapy:

Mampu mengeluarkan sputum: Ya/Tidak

Circulation Warna dan suhu kulit:


Capillary Refill (detik): JVP (cm):
Pulsasi perifer Ada Lemah Hilang
Oedema:

Disability Kecemasan Orientasi baik


Ya/Tidak
Waktu Place Person
Nyeri____/10/___ Site: Asuransi Ya/Tidak
Nausea/Emesis Ya/Tidak Gula darah _________mmols
Masalah Emosional &/Psikologis:

Exposure Abdomen:
Thorax:
Urine Output:
Fluid Balance:
Other losses:
Bowel Function:
27
Peripheral IVC PICC Central NGT IDC
Lines
Other:

Data penunjang
ABG pH: 7,35-7,45 ABG: pH ___7.21____,
pCo2: 35-45 mmHg pCO2 __70_____,
pO2 : 75-100 mmHg pO2 ___55____,
SaO2: 95-99% SaO2 _______,
HCO3 : 22-26 mEq/l HCO3- _______
Umum Na: 135-145 mEq/l Umum: Na ______,
K: 3.5-5.0 mEq/l K ______,
Urea 8-25 mg/100 ml Urea ______,
Mg 1.5-2.0 mEq/l Mg ______
Ca : 8.2 -10.2 mg/dl Ca ______,
Bilirubin : <1.0 mg/100 ml Bilirubin ______,
BNP < 100 pg/ml BNP _______,
Albumin 3.5-5.5 gr/100 ml Albumin ______,
Lactat: 6-16 mg/dl Lactate _______
Lipid Triglycerides: 50-150 mg/dL Lipid Trigliserida _______
Total cholesterol: 3-5.5 mmol/L Total cholesterol ________
(HDL): 40-80 mg/dL HDL ________,
(LDL): 85-125 mg/dL LDL ________,
Ginjal BUN 8-25 mg/100 ml Ginjal BUN ________,
Creatinin : 0.6-1.3 mg/100 ml Creatinine _______,
Asam urat : 3.0-7.0 mg/100 ml Asam urat ________,
Enzim Jantung Troponin T <0.1 ng/ml Enzim Jantung Troponin T ________,
CPK total < 100 U/l CPK total ________,
CRP <10 mg/l CRP ________,
FBC Hb 12-17 g/dl FBC Hb ______,
Pletelets 150 juta - 450 juta/ mm Platelets ______
WCC 4-11 x 109/l WCC ______,
Neutrophils 54-75% Neutrophils ______,
Clotting INR 10-14 detik Clotting INR _______,
APTT 20-35 detik APTT _______
Kesan lab darah
Radiologi CXR CT USS MRI ECHO Other:
Analisa Data /Kesan:
pH dibawah normal, banyak mengandung CO2 dan kurangnya O2, pasien sesak nafas
menunjukan gejala pneumothorax
28
Status Dokumentasi Resusitasi (Lingkari)
Batasan lain:
CPR No CPR MET No MET Tak terdokumen

Intervensi Fisioterapi
Rencana Terapi
a) Control Breathing
b) Deep Breathing
c) Segmental Breathing
d) Chest Mobility
e) Treadmill

Penatalaksanaan Intervensi
a. Control Breathing
Tujuan : Rileksasi dan mengatur pola pernapasan normal
Frekuensi : 3-5 kali seminggu
Intensitas : 3-4 kali repetisi
Time : 10 menit
b. Deep Breathing
Tujuan : Meningkatkan volume paru, mencegah kolapsnya paru, meningkatkan
pengembangan toraks.
Frekuwensi : 3-5 kali seminggu
Intensitas : 6 kali repetisi
Time : 10 menit
c. Segmental Breathing
Tujuan : Meningkatkan pengembangan toraks pada area tertentu
Frekuensi : 3-5 kali seminggu
Intensitas : 5-10 kali repetisi
Time : 3 menit
d. Chest Mobilisasi
Tujuan : Meningkatkan fleksibilitas dan daya tahan otot pernapasan, mengurangi spasme
otot-otot pernapasan
Frekuensi : 3x seminggu
29
Intensitas : 5-10 kali repetisi
Time : 3 menit

Evaluasi:

Fisioterapis: Tanda Tangan:

BAB IV

A. KESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh
udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
30
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada
saat proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan
adanya sesak napas dan nyeri dada. Berdasarkan penyebabnya,
pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik.
Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik.

B. SARAN
1. Untuk pasien dan keluarga pasien
Pasien disarankan untuk melakukan latihan secara rutin sesuai yang
diberikan oleh fisioterapis dan pihak keluarga diharapkan selalu
mengingatkan serta mendukung pasien dalam melakukan latihan dan
menjalankan terapi.

2. Untuk institusi pendidikan


Diharapkan dapat menjadi referensi

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham, Louis Solomon; Terjemahan Ortopedi dan Fraktur


Sistem
Apley ; edisi ke-7, WidyaMedika, Jakarta, 2000, hal. 287.
Webber, 1998; . Pneumothorax. In: Murray JF &Nadel JA (eds).
Textbook of
Respiratory Medicine. Philadelphia: WB Saunders Co. 1998: 174559.
Seaton, 2000; Muscle Testing Technique of Manual Examination;
Sixth edition,
Saunders Company, Philadelpia, 2000, hal 4-6.
31
Alsegaf,2004; Kamus Kedokteran; Edisi ke 29, Buku Kedokteran
EGC, Jakarta,
2004, hal 842.
Garrison, S. J; Dasar-dasar terapi dan Rehabilitasi Fisik;Hipokrates,
Jakarta, 2001,
hal 154-158.
Gartland; Fundamentals of Orthopedics; WB Saunders company,
Philadelphia,
2001.
Hudaya Prasetya; Dokumentasi Persiapan Praktek Profesional
Fisioterapi;
Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi, Surakarta, 2002.
Kapandji, I. A; The Physiologi of the Joint; Fifth edition, Churchill
Livingstone,
Melbourne dan New York, 2000, hal 2-14, 64-72.
Kisner, Carolyne and Lyyn, Colby; Therapeutic Exercise Foundation
and
Techniques; 3rd edition, F. A. Davis Company, Philadelphia, 2000.
Low, John et all; Electrotherapy Explained, 3rd edition, Oxford
Aukland Boston
Johaneburg, Melbourne dan New Delhi, 2000.
Roper, 2002; Spontaneous pneumothorax following thoracic
irradiation. Chest
2002; 88(5): 7038.
R. Putz and R. Pabst; Atlas Anatomi Manusia Sobota Anatomi, Edisi 2,
Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2000.
Sjamsuhidajat R, Wim de Jong; Buku Ajar Ilmu Bedah; edisi kedua,
Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004. hal. 840.
Milland.E.Knapp, 2000; Pleural Diseases. In: Fishman AP (ed).
Pulmonary
Diseases and Disorders. Toronto: McGraw-Hill Book Company. 1980:
137280.
WibowoSuryatenggara; PneumotoraksDalam: Simposium Darurat
Gawat
Paru. Jakarta, 1983: 1322.
Webber, 1998; . Pneumothorax. In: Murray JF &Nadel JA (eds).
Textbook
of Respiratory Medicine. Philadelphia: WB Saunders Co. 1998:
174559.

Anda mungkin juga menyukai