Anda di halaman 1dari 12

Pidato Soekarno di PBB

JURNAL REPUBLIK

30 September 1960

Pidato Soekarno di PBB

Hari ini, Soekarno menyampaikan pidato politiknya yang klasik di depan Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa di Lake Succes, New York. Dalam pidato selama sekira 45 menit yang dipenuhi gemuruh
aplaus dan tempik sorak itu, Soekarno membacakan teks pidato yang ia juduli: To Build the World A
New. Hubungan antara Indonesia dengan PBB, diwarnai priode pasang surut, mengikuti langgam politik
Soekarno.

Dengan mengenakan seragam putih-putih, kopiah hitam, dan kacamata baca bertangkai hitam,
Soekarno memulai pidatonya dengan sebuah narasi yang tak tercantum di dalam teks pidato yang sudah
ia persiapkan jauh-jauh hari: “Berbicara di hadapan Anda semua, hati saya bergetar.”

Tetapi beberapa menit kemudian, retorika Soekarno ganti membikin seisi gedung PBB bergetar oleh
sejumlah aplaus dan tepuk tangan. Dukungan berasal dari negara-negara dunia ketiga, yang menyambut
dengan hangat setiap pernyataan Soekarno yang dianggap relevan mewakili sikap dan pandangan
mereka terhadap lembaga PBB itu.

Soekarno memang memanfaatkan jatah pidatonya untuk mengkritik kegagalan PBB sebagai lembaga
dunia dalam mengakomodasi kepentingan semua anggotanya tanpa pandang bulu.

Dengan nada tinggi, Seokarno mengguntur: “Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan
perdamaian den kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation
de l'homme par l'homme et de nation par nation.”

Bagi Soekarno, misi membangun Dunia Baru tak mungkin dipikulkan pada PBB, jika PBB sama sekali
enggan memperbaiki diri dari sejumlah kekeliruannya. Kala PBB didirikan belum banyak bangsa di Asia
yang merdeka. Kini, kata Soekarno, dunia sudah berubah dengan munculnya the new emerging forces—
kekuatan baru dunia ketiga. Karena itu, struktur PBB perlu dirombak. Markas PBB juga mesti
dipindahkan dari New York ke negara yang tak terpengaruh dua blok AS dan Uni Soviet yang tengah
melancarkan perang dingin. Hak veto pada segelintir anggota elit PBB, yang hingga kini masih terus
dipersoalkan, juga dituntut Soekarno untuk dicabut demi keadilan dan persamaan.
PBB mesti memperbaiki dirinya secara radikal. Badan ini , kata Soekarno lagi, “hanya dapat menjadi
efektif bila mengikuti jalannya sejarah dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan
ataupun menghambat jalannya sejarah.”

Dan bagi Soekarno, sejarah sedang bergerak ke arah yang tidak menguntungkan bagi neokolonialisme
dan neoimperialisme. Mengikuti laju sejarah, dengan demikian, sama dengan mendorong laju sejarah
itu lewat upaya melawan dan menentang neokolonialisme dan neoimperialisme secara sungguh-
sungguh.

Dan Soekarno konsisten benar dengan apa yang ia yakini. Empat tahun kemudian, ketika PBB menerima
Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Soekarno meradang. Bagi Soekarno,
Malaysia adalah penjelmaan langsung dari neokolonialisme, dalam hal ini Britania Raya. Soekarno
mengambil langkah politik dramatis: Indonesia keluar sebagai anggota PBB pada 7 Januari 1965!

Gema usulan Soekarno pada pidato saat itu, masih dapat ditelusuri jejaknya dalam perdebatan-
perdebatan di PBB saat ini. Upaya untuk melakukan perubahan fungsi kelembagaan serta isu
pembentukan tatanan dunia baru paska perang dingin, merupakan poin yang kini menjadi agenda
utama lembaga dunia ini.
PEMIKIRAN POLITIK SOEKARNO

PEMIKIRAN POLITIK SOEKARNO

I. PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Soekarno Merupakan Sosok Yang Jasanya Tidak Bisa Dilupakan Begitu Saja Dalam Membangun Negeri
Ini. Peranan Besar Yang Telah Dilakukan Oleh Kedua Orang Ini, Terutama Dalam Hal Memerdekakan
Bangsa Indonesia Dari Belenggu Penjajahan Akan Selalu Terpatri Sebagai Jasa-Jasa Yang Tidak Akan
Tergerus Selamanya Oleh Masa. Memang, Jika Kita Amati. Sosok Kedua Bapak Bangsa Ini Merupakan
Pribadi Yang Unik Satu Sama Lainnya. Pribadi Yang Saling Melengkapi Dan Mengisi Kekurangan-
Kekurangan Yang Ada Diantara Mereka.

Sebagai Sosok Yang Memiliki Label Penggerak Massa, Soekarno Memiliki Peranan Sebagai Pemain Depan
Yang Dengan Jelas Terlihat Bagaimana Pola Pikir Dan Cara Berbicaranya Ketika Berada Di Depan Podium
Untuk Berpidato. Soekarno Adalah Singa Podium Yang Berjuluk “Penyambung Solidaritas Rakyat”. Ia
Memainkan Peran Dalam Menyampaikan Pesan Persatuan Dan Kesatuan Untuk Tercapainya Indonesia
Merdeka.

1.2 Rumusan Masalah

· Biografi Soekarno

· Pemikiran Soekarno

II. PEMBAHASAN

1. Biografi Soekarno

Ir. Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota
Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang
Bekerja Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama Hindu.
Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan Studi Di Sekolah
Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi
Di Singaraja, Bali.

Dalam Usia Kanak-Kanak, Soekarno Tinggal Dan Diasuh Oleh Kakeknya. Raden Hardjokromo Di Tulung
Agung, Jawa Timur. Kakeknya Adalah Seorang Pedagang Batik, Yang Secara Tidak Langsung Membantu
Penghidupan Dari Kedua Orang Tua Soekarno Yang Pada Waktu Itu Tidak Memiliki Penghasilan Yang
Cukup Untuk Menghidupi Dirinya Dan Kakaknya. Kecintaan Soekarno Terhadap Wayang Kulit, Mulai
Tumbuh Selama Tinggal Bersama Kakeknya. Ia Sering Kali Menonton Wayang Kulit Sampai Larut Malam.
Kesenangannya Menonton Wayang Membuatnya Terkesan Dengan Tokoh Bima Dibandingkan Dengan
Tokoh Lain.

Tokoh Bima Juga Memiliki Pengaruh Yang Besar Dalam Sikap Dan Pandangan Politiknya Kelak. Sikap
Nonkooperasi Terhadap Musuh-Musuhnya, Kaum Imperialis Maupun Kaum Kapitalis, Serta
Kesediaannya Dalam Waktu Bersamaan Berkompromi Dengan Sesama Rekan Perjuangannya Meskipun
Berpeda Pandangan Praktis Dapat Dikatakan Berasal Dari Bima.

Di Tulung Agung, Ia Pertama Kali Masuk Sekolah. Tetapi Ia Kurang Mempergunakan Kesempatan Sebaik
Mungkin Untuk Belajar. Hal Ini Disebabkan Ia Lebih Sering Melamun Tentang Kisah Perang Bharata
Yudha. Namun, Sisi Keingintahuan Yang Besar Dan Minatnya Terhadap Pengetahuan Sudah Mulai
Tumbuh Pada Saat Ini. Berkat Sifat Keingintahuan Yang Dimiliki Olehnya, Soekarno Memiliki Wawasan
Yang Lebih Luas Daripada Teman-Teman Sebayanya.

Tidak Lama Kemudian, Setelah Kedua Orang Tuanya Pindah Ke Sidoarjo Dan Mendapat Jabatan Sebagai
Kepala Eerste Klasse School Di Mojokerto. Di Sini, Kepandaiannya Mulai Terlihat Dengan Jelas. Mungkin
Ini Disebabkan Oleh Profesi Ayahnya Yang Juga Seorang Guru Sehingga Dapat Mengawasi Kegiatan
Belajar Mengajar Anaknya Secara Langsung. Kemudian, Raden Sukemi Memasukkan Soekarno Ke
Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah Tersebut Didirikan Guna Memenuhi Kebutuhan Anak-Anak
Pekerja Di Pabrik Gula.

Selama Bersekolah Di Sini. Soekarno Merasakan Adanya Diskriminasi Yang Diberlakukan Kepada
Kaumnya. Hanya Bumiputera Tertentu Yang Mendapatkan Kesempatan Untuk Mendapatkan Hak
Istimewa Itu. Mereka Yang Bukan Anak Pejabat Hanya Bisa Masuk Ketika Ada Izin Khusus Dari Residen
Dan Memenuhi Syarat-Syarat Tertentu. Sebelum Ia Menginjakkan Kaki Di Tempat Tersebut, Pada Tahun
1913, Soekarno Harus Mengorbankan Waktunya Untuk Memperdalam Bahasa Belanda Pada Juffrow
M.P De La Riviera, Guru Bahasa Belanda Di ELS. Selama Bersekolah Di ELS Soekarno Juga Mengalami
Cinta Pertama Kepada Seorang Gadis Belanda Yang Bernama, Rikameelhuysen. Tetapi, Hubungan
Mereka Berdua Ditentang Oleh Ayah Sang Gadis Karena Melihat Kedudukan Soekarno Yang Hanya
Merupakan Pribumi. Meskipun, Akhirnya Hubungan Itu Putus Dan Soekarno Dihina. Ia Tidak Marah
Karena Menganggap Hal Itu Sudah Biasa.

Pribadi Soekarno, Selain Banyak Mendapatkan Pendidikan Di ELS. Ia Juga Mendapatkan Pendidikan Dari
Ayahnya Dengan Keras, Penuh Disiplin, Tetapi Di Sisi Lain Mengajarkan Untuk Mencintai Makhluk Tak
Berdaya. Sedangkan Dari Ibunya, Idayu, Ia Mendapatkan Pengaruh Mistik Dari Pemikiran Hindu Dan Sifat
Yang Lemah Lembut Serta Kasih Sayang. Dari Pembantunya Sarinah, Sebagaimana Diungkapkan Oleh
Soekarno Sendiri, Ia Memperoleh Pengaruh Kemanusiaan Dan Sikap Emansipasif. Ia Amat Terkesan Dan
Mengagumi Sikap Perempuan Tersebut. Meskipun Ia Hanya Seorang Pembantu, Di Mata Soekarno Ia
Adalah Perempuan Bijaksana Dan Berbudi Luhur.

Setelah Menyelesaikan ELS Di Mojokerto, Pada Tahun 1915, Sukarno Ingin Melanjutkan Pelajarannya Di
Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno Diterima Sebagai Siswa HBS, Ayahnya Menggunakan
Pengaruh Kawannya Untuk Memasukkan Ke Sekolah Tertinggi Yang Ada Di Jawa Timur Tersebut. Melalui
Jasa Baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno Akhirnya Diterima Di Sana. Bahkan Tokoh Gerakan Massa
Nasionalis Islam Itu Memberikan Pondokan Di Kediamannya, Walaupun Ia Tidak Mendapatkan Kamar
Yang Baik. Ia Menempati Sebuah Kamar Yang Gelap Tanpa Jendela Dan Daun Pintu. Sebagai Penerangan
Lampu Pijar Yang Menyala Sepanjang Hari. Tetapi Ia Menerima Kenyataan Tersebut Tanpa Menggerutu.
Karena Memang Tidak Ada Kamar Lagi Dan Hanya Itulah Satu-Satunya Kamar Yang Belum Terisi Dan
Soekarno Menjadi Penghuninya. Tetapi Yang Penting Bagi Ayahnya Adalah Anaknya Dapat Tinggal Satu
Atap Dengan “Raja Jawa” Yang Tak Bermahkota.

Alasan Dari Sukemi Untuk Menitipkan Soekarno Kepada Tjokrominoto Dijelaskan Oleh Soekarno Dalam
Buku Biografinya Yang Ditulis Oleh Cindy Adams (1966), Sebagaimana Yang Diungkap Oleh Soekarno:
“Tjokro Adalah Pemimpin Baik Dari Orang Jawa. Sungguhpun Engkau Akan Mendapat Pendidikan
Belanda, Aku Tidak Ingin Darah Dagingku Menjadi Kebarat-Baratan. Karena Itu Kukirim Kepada Tjokro
Orang Yang Dijuluki Belanda Sebagai Raja Jawa Yang Tidak Dinobatkan. Aku Tidak Ingin Melupakan,
Bahwa Warisanmu Adalah Untuk Menjadi Karna Kedua.”

Selama Berada Di Surabaya, Soekarno Banyak Mendapatkan Pengaruh Pemikiran Barat Yang Modern.
Perpisahan Dengan Orang Tua Dan Lingkungan Desanya Juga Memberikan Pengaruh Postitif Bagi
Dirinya. Soekarno Berada Di Surabaya Selama Lima Tahun. Selama Itu Ia Tinggal Di Rumah Tjokrominoto.
Di Tempat Itulah Pendidikan Politik Soekarno Dimulai Dengan Interaksi Dengan Berbagai Pemahaman
Pemikiran Yang Ada Disana. Soekarno Juga Berkenalan Dengan Orang-Orang Beraliran Sosialis, Seperti
Alimin, Muso, Dan Dharsono Yang Juga Mendapat Kedudukan Penting Dalam Kepengurusan Sarekat
Islam Maupun Di Dalam Keanggotaan Indische School Democratische Vereeniging (ISDV).

Sebagai Remaja Yang Gelisah, Ia Menyalurkan Aspirasinya Melalui Suratkabar Milik Sarekat Islam,
Oetoesan Hindia. Ia Menuangkan Pemikiran Dengan Nama Samaran ‘Bima”. Menurut Pengakuannya,
Penggunaan Nama Samaran Itu Dimaksudkan Agar Ia Tidak Dimarahi Oleh Ayahnya. Sebab Ayahnya
Akan Marah Apabila Mengetahui Anaknya Membahayakan Masa Depannya Sendiri. Memang Kata-Kata
Yang Digunakan Soekarno Cukup Tajam Seperti “Hancurkan Segera Kapitalisme Yang Dibantu Oleh
Budaknya, Imperialisme. Dengan Kekuatan Islam, Insya Allah Itu Segera Dilaksanakan.” Di Samping Itu,
Soekarno Juga Aktif Dan Melibatkan Dirinya Dalam Organisasi Pemuda Tri Koro Darmo Cabang Surabaya,
Yang Dibentuk Pada 1915 Sebagai Bagian Dari Organisasi Budi Oetomo. Kemudian Berganti Nama
Menjadi Jong Java Pada 1918.

Setelah Menyelesaikan Pendidikannya Di HBS Pada 10 Juni 1921. Soekarno Beserta Istrinya, Siti Oetari
Tjokrominoto, Puteri Tjokrominoto Yang Dinikahi Olehnya Pada 1920 Atau 1921, Meninggalkan
Surabaya Menuju Bandung. Disana Ia Bersama Istrinya Berdiam Di Kediaman Haji Sanusi, Anggota
Sarekat Islam Dan Juga Kawan Akrab Tjokrominoto. Di Tempat Itu Pula Soekarno Pertama Kali Bertemu
Dengan Inggit Garnasih, Isteri Haji Sanusi. Kota Bandung Mempunyai Iklim Ideologis Yang Khas Jika
Dibandingkan Dengan Kota-Kota Lain. Jika Sarekat Islam Berpusat Di Surabaya, Maka Semarang Dikenal
Sebagai Pusat Pemikiran Marxisme. Kedua Kota Ini Saling Mempengaruhi Dan Saling Berebut Pengaruh.

Tetapi Bandung Justru Bandung Menampilkan Watak Yang Berlainan Dengan Kedua Kedua Kota Di Atas.
Sebab Di Kota Bandung Telah Berkembang Sebuah Pemikiran Bahwa Tujuan Pergerakan Adalah
Kemerdekaan Penuh Bagi Indonesia. Gagasan-Gagasan Ini Dikembangkan Oleh Para Pemimpin Indische
Partij Yang Akhirnya Mempengaruhi Pemikiran-Pemikiran Selanjutnya. Akhirnya Kota Bandung
Menampilkan Diri Sebagai Pusat Pemikiran Nasionalis Sekuler.

Di Kota Ini, Soekarno Berkenalan Dengan Tokoh-Tokoh Nasionalis Sekuler, Seperti, E.F.E Douwes Dekker,
Dr. Tjipto Mangunkusumo Dan Ki Hajar Dewantara. Perkenalan Ini Telah Membawa Nuansa Baru Dalam
Berpikir Soekarno. Seperti Halnya Dalam Pendekatan Yang Diperkenalkan Oleh Douwes Dekker Dalam
Mendekati Situasi Hindia Belanda Dan Bagaimana Cara Mengubahnya Amat Menarik Perhatian
Soekarno. Pemikiran Yang Diperkenalkan Tersebut Terlihat Berbeda Dari Pemikiran Sebelumnya Didapat
Dari Tokoh-Tokoh Yang Ditemuinya.

Dengan Bertemunya Berbagai Tokoh Yang Memiliki Berbagai Aliran Pemikiran Tentunya Membuat
Pikiran Soekarno Semakin Tersusun Secara Teratur. Di Samping Itu Kesaksiaannya Terlihat Di Depan
Matanya. Soekarno Melihat Di Lingkungan Tjokrominoto Senantiasa Timbul Pertentangan Antara
Golongan Kanan (Tjokrominoto) Dengan Golongan Kiri (Semaun-Darsono) Dalam Sentral Serikat Islam
Yang Berkedudukan Di Surabaya. Pertikaian Yang Memuncak Tersebut Berakhir Dengan Terpecahnya
Sarekat Islam Menjadi Dua Bagian, Yakni Sarekat Islam Putih Dan Merah. Sarekat Islam Merah, Akhirnya
Merubah Dirinya Menjadi Sarekat Rakyat.

Jiwa Patriotisme Soekarno Tidak Hanya Dibentuk Melalui Figur Seorang Tjokrominoto. Sebagaimana
Diungkapkan Oleh Bob Hering, Bahwa Adanya Interaksi Antara Soekarno Dan Para Pengikut Aliran
Marxis Seperti Muso, Alimin, Dan Semaun. Juga Para Orang-Orang Sosialisme Radikal Belanda, Seperti
Coos Hartogh, Henk Sneevliet, Dan Aser Baars. Memang Jika Penulis Pahami, Pengaruh Nasionalisme,
Islam, Dan Marxisme-Sosialisme Sudah Memiliki Andil Yang Besar Pada Diri Soekarno Bahkan Pada Saat
Dia Muda. Secara Jelas, Ini Dibentuk Dari Keberadaan Soekarno Yang Pada Mulanya Mendapatkan
Pendidikan Politik Di Surabaya.

Pada Tahun 1926, Soekarno Mendirikan Algemene Studie Club Di Bandung. Organisasi Ini Merupakan
Cikal Bakal Dari Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Didirikan Olehnya Pada Tahun 1927. Aktivitas
Soekarno Di PNI Menyebabkan Dirinya Ditangkap Oleh Belanda Pada Bulan Desember 1929, Dan
Memunculkan Pledoi Atau Pembelaannya Yang Fenomenal Dengan Judul Indonesia Menggugat, Hingga
Dibebaskan Kembali Pada Tanggal 31 Desember 1931.

Pada Bulan Juli 1932, Soekarno Bergabung Dengan Partai Indonesia (Partindo), Yang Merupakan
Pecahan Dari PNI. Akibatnya, Soekarno Kembali Ditangkap Pada Bulan Agustus 1933, Dan Diasingkan Ke
Flores. Disini, Soekarno Hampir Hilang Dan Terlupakan Oleh Tokoh-Tokoh Nasional. Namun, Semangat
Dan Api Perjuangan Yang Tidak Pernah Padam Senantiasa Membuat Soekarno Tetap Tegar Dalam
Menghadapi Hambatan Dalam Perjuangan. Ini Terbukti Melalui Suratnya Kepada Seorang Guru
Persatuan Islam Bernama Ahmad Hassan.

Selama Menjadi Presiden, Soekarno Banyak Memberikan Gagasan-Gagasan Di Dunia Internasional.


Keprihatinannya Terhadap Nasib Bangsa Asia-Afrika, Masih Belum Merdeka, Belum Mempunyai Hak
Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri, Menyebabkan Presiden Soekarno, Pada Tahun 1955, Mengambil
Inisiatif Untuk Mengadakan Konferensi Asia-Afrika Di Bandung Dan Menghasilkan Dasa Sila Bandung.
Tujuan Dari KAA Adalah Untuk Menentang Tindakan Imperialisme Dan Kolonialisme Yang Terjadi Di
Dunia Yang Notabenenya Banyak Dilakukan Oleh Negara-Negara Barat.

Setelah ‘Bercerai’ Dengan Mohammad Hatta, Pada Tahun 1955. Masa-Masa Kesuraman Pemerintahan
Soekarno Sudah Mulai Tampak. Ditambah Dengan Keadaan Politik Dalam Negeri Yang Sudah Mulai Tidak
Stabil Akibat Adanya Pemeberontakan Separatis Yang Terjadi Di Seluruh Plosok Indonesia. Dan Berpucak
Pada Pemberontakkan G 30 S/ PKI, Membuat Soekarno Di Dalam Masa Jabatannya Tidak Bisa Memenuhi
Cita-Cita Bangsa Indonesia Yang Makmur Dan Sejahtera. Akibat Selanjutnya, Soekarno Terpaksa Dicabut
Masa Jabatannya Oleh MPRS Setelah Pidato Pertanggungjawabannya Ditolak.

2. Pemikiran Soekarno

Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno Mendapat Kehormatan Untuk Menyampaikan Pidato Di
Depan Kongres Amerika Serikat Dalam Rangka Kunjungan Resminya Ke Negeri Tersebut. Sebagaimana
Dilaporkan Dalam Halaman Pertama New York Times Pada Hari Berikutnya, Dalam Pidato Itu Dengan
Gigih Soekarno Menyerang Kolonialisme. Perjuangan Dan Pengorbanan Yang Telah Kami Lakukan Demi
Pembebasan Rakyat Kami Dari Belenggu Kolonialisme,” Kata Bung Karno, “Telah Berlangsung Dari
Generasi Ke Generasi Selama Berabad-Abad.” Tetapi, Tambahnya, Perjuangan Itu Masih Belum Selesai.
“Bagaimana Perjuangan Itu Bisa Dikatakan Selesai Jika Jutaan Manusia Di Asia Maupun Afrika Masih
Berada Di Bawah Dominasi Kolonial, Masih Belum Bisa Menikmatikemerdekaan.

Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan
Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di
Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran
Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato
Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada
Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak.
Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan
Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut
Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme
Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.

· Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme

Salah Satu Tulisan Pokok Yang Biasanya Diacu Untuk Menunjukkan Sikap Dan Pemikiran Soekarno Dalam
Menentang Kolonialisme Adalah Tulisannya Yang Terkenal Yang Berjudul Nasionalisme, Islam Dan
Marxisme”. Dalam Tulisan Yang Aslinya Dimuat Secara Berseri Di Jurnal Indonesia Muda Tahun 1926 Itu,
Sikap Antikolonialisme Tersebut Tampak Jelas Sekali. Menurut Soekarno, Yang Pertama-Tama Perlu
Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa Para Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk
Menjalankan Suatu Kewajiban Luhur Tertentu. Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang
Keroncong Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.

Sebagai Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi, Soekarno Percaya, Kolonialisme Erat Terkait
Dengan Kapitalisme, Yakni Suatu Sistem Ekonomi Yang Dikelola Oleh Sekelompok Kecil Pemilik Modal
Yang Tujuan Pokoknya Adalah Memaksimalisasi Keuntungan. Dalam Upaya Memaksimalisasi
Keuntungan Itu, Kaum Kapitalis Tak Segan-Segan Untuk Mengeksploitasi Orang Lain. Melalui
Kolonialisme Para Kapitalis Eropa Memeras Tenaga Dan Kekayaan Alam Rakyat Negeri-Negeri Terjajah
Demi Keuntungan Mereka. Melalui Kolonialisme Inilah Di Asia Dan Afrika, Termasuk Indonesia,
Kapitalisme Mendorong Terjadinya Apa Yang Ia Sebut Sebagai Exploitation De L’homme Par L’homme
Atau Eksploitasi Manusia Oleh Manusia Lain.

Soekarno Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur Masyarakat Yang
Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme Itu Mendorong Imperialisme, Baik
Imperialisme Politik Maupun Imperialisme Ekonomi. Tetapi Soekarno Muda Tak Ingin Menyamakan
Begitu Saja Imperialisme Dengan Pemerintah Kolonial. Imperialisme.

· Anti-Elitisme

Selain Kolonialisme Dan Imperialisme, Di Mata Soekarno Ada Tantangan Besar Lain Yang Tak Kalah
Pentingnya Untuk Dilawan, Yakni Elitisme. Elitisme Mendorong Sekelompok Orang Merasa Diri Memiliki
Status Sosial-Politik Yang Lebih Tinggi Daripada Orang-Orang Lain, Terutama Rakyat Kebanyakan.

Elitisme Ini Tak Kalah Bahayanya, Menurut Soekarno, Karena Melalui Sistem Feodal Yang Ada Ia Bisa
Dipraktikkan Oleh Tokoh-Tokoh Pribumi Terhadap Rakyat Negeri Sendiri. Kalau Dibiarkan, Sikap Ini Tidak
Hanya Bisa Memecah-Belah Masyarakat Terjajah, Tetapi Juga Memungkinkan Lestarinya Sistem Kolonial
Maupun Sikap-Sikap Imperialis Yang Sedang Mau Dilawan Itu. Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi
Penghambat Sikap-Sikap Demokratis Dalam Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan Bagi Indonesia
Merdeka.

Soekarno Melihat Bahwa Kecenderungan Elitisme Itu Tercermin Kuat Dalam Struktur Bahasa Jawa Yang
Dengan Pola “Kromo” Dan “Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat. Untuk
Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi Demikian Itu, Dalam Rapat Tahunan Jong Java Di
Surabaya Pada Bulan Februari 1921, Soekarno Berpidato Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat
Bahwa Ia Menimbulkan Keributan Dan Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih
Besar Dalam Rangka Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam Proses
Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme. Dalam Kaitan Dengan
Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme “Menolak Tiap Tindak Borjuisme” Yang,
Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari Kepincangan Yang Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan
Bahwa Orang Tidak Seharusnya Berpandangan Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh
Ruth Mcvey, Bagi Soekarno Rakyat Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam Pemikiran
Marx,” Dalam Arti Bahwa Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang Ini Lemah Dan Terampas
Hak-Haknya, Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan Dalam Gelora Revolusi, Akan Mampu Mengubah
Dunia.”

Langkah-Langkah Apa Yang Diusulkan Oleh Soekarno Untuk Melawan Kolonialisme, Imperialisme Serta
Elitisme Itu? Pertama-Tama Ia Mengusulkan Ditempuhnya Jalan Nonkooperasi. Bahkan Sejak Tahun
1923 Soekarno Sudah Mulai Mengambil Langkah Nonkooperasi Itu, Yakni Ketika Ia Sama Sekali Menolak
Kerja Sama Dengan Pemerintah Kolonial. Dalam Kaitan Dengan Ini Ia Kembali Mengingatkan Bahwa
Motivasi Utama Kolonialisme Oleh Orang Eropa Adalah Motivasi Ekonomi. Oleh Karena Itu Mereka Tak
Akan Dengan Sukarela Melepaskan Koloninya.

Langkah Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme Dan
Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis Pergerakan. Dalam Serial Tulisan
Nasionalisme, Islam Dan Marxisme Ia Menyatakan Bahwa Sebagai Bagian Dari Upaya Melawan
Penjajahan Itu Tiga Kelompok Utama Dalam Perjuangan Kemerdekaan Di Indonesia-Yakni Para Pejuang
Nasionalis, Islam Dan Marxis-Hendaknya Bersatu. Dalam Persatuan Itu Nanti Mereka Akan Mampu
Bekerja Sama Demi Terciptanya Kemerdekaan Indonesia. “Bahtera Yang Akan Membawa Kita Kepada
Indonesia Merdeka,” Ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”

Seruan-Seruan Soekarno Itu Pada Tanggal 4 Juli 1927 Dilanjutkan Dengan Pendirian Partai Nasional
Indonesia (PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya Dicanangkan Untuk “Mencapai Kemerdekaan
Indonesia.” Guna Memberi Semangat Kepada Para Aktivis Pergerakan, Pada Tahun 1928 Ia Menulis
Artikel Berjudul Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan Bahwa Sekarang Ini Pemerintah Kolonial
Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya Pergerakan Nasional Yang Mengancam Kekuasaannya. Ketika
Pada Tanggal 29 Desember 1929 Soekarno Ditangkap Dan Pada Tanggal 29 Agustus 1930 Disidangkan
Oleh Pemerintah Kolonial, Soekarno Justru Memanfaatkan Kesempatan Di Persidangan Itu. Dalam
Pleidoinya Yang Terkenal Berjudul Indonesia Menggugat Dengan Tegas Ia Menyatakan Perlawanannya
Terhadap Kolonialisme. Dan Tak Lama Setelah Dibebaskan Dari Penjara Pada Tanggal 31 Desember 1931
Ia Bergabung Dengan Partai Indonesia (Partindo), Yakni Partai Berhaluan Nonkooperasi Yang Dibentuk
Pada Tahun 1931 Untuk Menggantikan PNI Yang Telah Dibubarkan Oleh Pemerintah Kolonial.

Hal Ini Tampak Misalnya Ketika Ia Mendirikan PNI. Di Satu Pihak Memang Dengan Jelas Digariskan
Bahwa Tujuan Utama PNI Adalah Mencapai Indonesia Merdeka. Tetapi Di Lain Pihak Cita-Cita
Kemerdekaan Itu Tidak Disertai Hasrat Untuk Mengubah Sistem Politik Yang Dilaksanakan Oleh
Pemerintah Kolonial Dengan Sistem Politik Yang Sama Sekali Baru. Alih-Alih Perubahan Total, Soekarno-
Sebagaimana Banyak Aktivis Pergerakan Waktu Itu-Berkeinginan Bahwa Negeri Yang Merdeka Itu Nanti
Akan Ditopang Oleh Sistem Yang Mirip Dengan Sistem Yang Menopangnya Saat Terjajah. Hanya Elitenya
Akan Diganti Dengan Elite Baru, Yakni Elite Pribumi.

Berhubungan Dengan Sikap Anti-Elitismenya Perlu Dilihat Bahwa Meskipun Dalam Pidato Dan Tulisan-
Tulisannya Soekarno Tampak Melawan Elitisme, Tetapi Sebenarnya Bisa Diragukan Apakah Ia
Sepenuhnya Demikian. Hal Ini Tampak Misalnya Dalam Pidato Yang Ia Sampaikan Pada Tanggal

26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak
Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia
Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan
Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama
Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak
Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah
Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat
Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang
Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di
Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya
Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite
Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang
Diperoleh Seseorang.

Jika Soekarno Tampak Terpisah Dari Rakyat, Sebenarnya Ia Tidak Sendirian. Banyak Tokoh Elite
Perjuangan Pada Zamannya Juga Demikian. Ketika Membubarkan PNI Pada Tanggal 25 April 1931,
Misalnya, Para Pemimpin Partai Itu Tidak Banyak Berkonsultasi Dengan Rakyat Kebanyakan Yang
Menjadi Anggotanya. Akibatnya Rakyat Menjadi Kecewa, Membentuk Apa Yang Disebut “Golongan
Merdeka,” Dan Memperjuangkan Pentingnya Pendidikan Rakyat.

Bahkan Pada Masa Revolusi Sendiri Bisa Dipertanyakan Apakah Sebenarnya Rakyat Yang Ikut Gigih
Bertempur Dan Berkorban Mempertahankan Kemerdekaan Itu Mendapat Kesempatan Yang Maksimal
Dalam Menentukan Arah Revolusi. Dalam Tulisannya Mengenai Pola Hubungan Antara Elite Dan Rakyat
Pada Zaman Revolusi, Barbara Harvey Menyatakan Bahwa Hubungan Itu Tidak Hanya Amat Lemah,
Tetapi Juga Berakibat Cukup Fatal Bagi Revolusi Kemerdekaan Itu Sendiri. Lemahnya Hubungan Antara
Para Pemimpin Nasional Di Tingkat Pusat Dengan Rakyat Di Desa-Desa, Menurut Dia, “Merupakan
Faktor Utama Bagi Gagalnya Elite Kepemimpinan Untuk Menggalang Dan Mengarahkan Kekuatan Rakyat
Demi Terwujudnya Tujuan-Tujuan Revolusi.”

Dengan Kata Lain, Sebenarnya Rakyat Tidak Sepenuhnya Dilibatkan Dalam Proses Bernegara. Jika Ini
Benar, Mungkin Tak Terlalu Mengherankan Jika PKI-Meskipun Pada Tahun 1948 Ditekan Besar-Besaran
Setelah Peristiwa Madiun-Dalam Waktu Singkat Berkembang Pesat Pengikutnya. Ini Antara Lain Karena
Di Dalam PKI Banyak Rakyat Merasakan Bahwa Justru Dalam Partai Yang Menekankan Antikemapanan
(Baca: Anti-Elite Metropolitan) Itu Kepentingan Dan Cita-Cita Mereka Mendapat Tempatnya. Dalam
Pemilu 1955 PKI Bahkan Berhasil Memperoleh Suara Terbanyak Keempat.

Dengan Sedikit Meminjam Seruan Bung Karno Yang Terkenal, Sekarang Ini Kita Perlu “Membangun
Dunia Baru.” Tetapi Upaya Untuk Membangun Dunia Yang Baru Itu Kiranya Harus Dimulai Dengan
Terlebih Dahulu “Membangun Indonesia Baru.” Dan Upaya Membangun Indonesia Baru Itu Mungkin
Harus Dimulai Dengan Membangun Elite Politik Yang Benar-Benar Lahir Dari Kalangan Rakyat Dan
Memperjuangkan Kepentingan Rakyat. Dalam Indonesia Yang Baru Itu Diharapkan Tiada Lagi-Kalaupun
Ada Kecil Peranannya-Kelompok Elite Yang Hanya Sibuk Berebut Kekuasaan Dan Pengaruh.

Hal Ini Bisa Terjadi Jika Para Aktivis Muda Reformasi Sekarang Ini Tidak Enggan Untuk Belajar Dari Para
Aktivis Pergerakan Generasi Tahun 1920-An. Di Satu Pihak Meneruskan Sikap Militan Generasi Itu Dalam
Memperjuangkan Cita-Cita Bersama Dan Rela Berkurban Demi Cita-Cita Itu. Di Lain Pihak Menolak
Kecenderungan Untuk Mewarisi Sistem Pemerintahan Sebelumnya, Yakni Kecenderungan Untuk
Mengganti Elite Lama Dengan Elite Yang Baru Tetapi Yang Pola Dan Orientasi Politiknya Tetap Sama.
Dengan Demikian Akan Bisa Diharapkan Lahirnya Elite Politik Yang Benar-Benar Berorientasi Pada
Semakin Terwujudnya Demokrasi.
III. PENUTUP

Kesimpulan

· Ir. Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota
Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang
Bekerja Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama Hindu.
Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan Studi Di Sekolah
Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi
Di Singaraja, Bali.

· Soekarno Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur Masyarakat
Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme Itu Mendorong Imperialisme, Baik
Imperialisme Politik Maupun Imperialisme Ekonomi. Tetapi Soekarno Tak Ingin Menyamakan Begitu Saja
Imperialisme Dengan Pemerintah Kolonial. Imperialisme.

· Menurut Soekarno, Yang Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa Para
Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban Luhur Tertentu. Mereka
Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari
Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.Sebagai Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi.

· Langkah Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme Dan
Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis Pergerakan.

· Dengan Pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya Dicanangkan
Untuk “Mencapai Kemerdekaan Indonesia.” Guna Memberi Semangat Kepada Para Aktivis Pergerakan,
Pada Tahun 1928 Ia Menulis Artikel Berjudul Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan Bahwa
Sekarang Ini Pemerintah Kolonial Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya Pergerakan Nasional Yang
Mengancam Kekuasaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Hering Bob, Soekarno Architect Of A Nation, Kit Publisher, Amsterdam, 2001

Soekarno Founding Father Of Indonesia 1901-1945, Kit Publisher, Amsterdam, 2001

Katoppo, Aristides, 80 Tahun Bung Karno, Kintamani Offset, Jakarta, 1982

Kasenda, Peter, Soekarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010

Anda mungkin juga menyukai