Anda di halaman 1dari 4

Kesombongan Seruni si

Kunang-kunang
Dahulu kala kunang Kunang adalah hewan yang paling
disayangi di hutan Varow. Tubuhnya kecil, indah, dan dapat
mengeluarkan cahaya di malam hari sehingga penduduk di
hutan Varow yang rata rata adalah perempuan sangat memuja
dan menyukai binatang kecil kunang-kunang.
Seiring berjalannya waktu, perangai kunang kunang sebagai
hewan yang asal mulanya sederhana dan ramah berubah
menjadi pongah dan suka marah serta menjelek jelekkan hewan
lain. Seperti pada suatu siang yang cerah di musim semi,
kunang-kunang sedang bersama penghuni hutan yang lain.
“Wah, udara yang cerah, tetapi rusak karena kehadiran seekor
ulat di bungaku yang indah ini”, kata kunang-kunang pada
temannya seekor kunang-kunang juga. Ulat yang diejek oleh
kunang-kunang hanya tertawa dalam hati sambil berdiam di
ujung bunga matahari yang tumbuh di ujung sebuah padang
rumput hutan Varow itu.
“Kenalkan aku Fika, ulat biasa yang baru datang karena tertiup
angin ke Hutan Varow ini,” kata ulat itu kepada Seruni sang
kunang-kunang primadona dan temannya.
“Aih, siapa yang mau berkenalan denganmu ulat jelek?” kata
Seruni pada Fika. “Aku tak sudi melihatmu, engkau merusak
pemandangan indahku hari ini. Kenapa engkau tidak pergi aja
jauh-jauh dari hutan ini?” tanya Seruni pada Fikal setengah
menghardik.
Fika yang mendengar hardikan Seruni sang kunang-kunang,
hanya bisa terdiam sedih sambil memandang Seruni sang
kunang-kunang, ”Maafkan aku apabila bentuk rupaku merusak
suasana hatimu wahai kunang yang indah, aku baru di hutan
ini. Jadi, aku tidak tau harus pergi ke mana lagi,. Hanya di
sinilah aku menetap setelah tertiup angin,” kata Fika sedih
kepada Seruni.
“Huh, itu hanya alasanmu saja ulat jelek,” kata Seruni kepada
Fika sang ulat kecil. Ini adalah wilayah kekuasaanku. Siapa yang
tidak mengenal dan menyukai kunang-kunang seperti kami jika
diibandingkan dengan engkau yang jelek itu?” kata Seruni
kepada Fika sambil tetap mengejeknya.
“Baiklah,” jawab Fika sedih, “aku akan pergi mencari tempat
baru apabila kehadiranku di sini mengganggumu, wahai
Kunang-kunang.”
Dengan sedih dan sabar Fika berjalan perlahan lahan melalui
daun bunga matahari lalu menuju daunnya dan pergi perlahan
lahan dari satu bunga dan daun ke bungan dan daun lainnya.
“ Ha… ha… ha… akhirnya dia pergi juga,” kata Seruni pada
temannya puas.
Dia semakin merasa sombong dan pongah karena berhasil
mengusir seekor ulat jelek yang mengganggu pemandangan di
wilayah tinggalnya. “Yuk teman-teman kita pergi bermain lagi,”
ajak Seruni pada teman-temannya.
Sementara itu Fika yang memulai perjalanannya terseok-seok
tak tentu arah untuk mengisi pertu dan mencari daerah baru
yang dapat dia tempati tanpa ganguan dari binatang lain . Dia
masih merasa asing dengan Hutan Varow ini, Baru 3 hari Fika
terdampar oleh angin di sini.
“Dimanakah aku dapat mencari tempat tinggal yang baru?”
tanya Fika dalam hatinya.
Tak berapa lama kemudian Fika melihat tanaman meranggas
semacam daun arbei di suatu kebun yang sudah tak terurus lagi
dengan bunga lili di samping tanaman arbei itu. Dengan
gembira dan perlahan lahan Fika pun menuju ke daun arbei itu.
”Mungkin ini cocok untuk tempat tinggalku. Lagi pula, di sini
sangat sepi. Semoga aku dapat tinggal dengan tenang di sini,”
kata Fika dalam hati. Semenjak hari itu, Fika tinggal di daun
arbei itu. Ingin rasanya Fika memperoleh teman seperti dirinya
yaitu seekor ulat juga.
Pada suatu hari, Fika merasakan sakit seluruh tubuhnya. Nafsu
makannya pun semakin berkurang. Fika pun heran akan
keadaannya ini. Tak berapa lama kemudian, dia merasa banyak
benang tumbuh dari tubuhnya, kemudian dia pun merasa mulai
mudah mengantuk tiap harinya.
Fika memilih tempat di sudut daun arbei untuk tidur. Tak
berasa, tubuhnya telah menjadi kepompong. Setelah 1 bulan
lamanya, Fika pun terbangun dari tidur panjangnya.
Kepompong itu telah terbuka, lalu keluarlah Fika dari tempat
tidurnya.
“Hoam…,” Fika menguap, “aduh, aku tertidur terlalu lama.
Heeiii… mengapa tubuhku menjadi ringan?”
Fika segera berlari menuju air di daun untuk mengaca dirinya.
Sangat terkejutlah dia, melihat perubahan dirinya yang
sekarang. Dia sudah menjadi seekor kupu yang memiliki sayap
aneka warna, indah sekali. Fika pun dengan bercucuran air
mata bahagia segera mencoba terbang.
Oh, ternyata aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang dapat
terbang. Terima kasih Tuhan, aku dapat terbang dan menikmati
indahnya hutan ini tanpa harus berjalan lagi.”
Tiba tiba, ketika sedang bergembira, Fika bertemu dengan
Seruni dan teman-temannya, Fika segera menyapa mereka.
“ Hai, Kunang-kunang apa kabar?” tanya Fika ramah.
Seruni terkejut melihat seekor kupu-kupu yang indah sedang
menyapanya, dengan ketus dia menjawab, “Hai siapa dikau?
Aku belum pernah melihat binatang sepertimu.”
Sejujurnya Seruni mengagumi keindahan sayap sang kupu-
kupu. Fika segera menjawab, “Hai, aku Fika si ulat yang dulu
kamu usir. Masih ingatkah kau?”
Seruni sangat terkejut mendengarnya. Dengan tidak percaya
dia memandang Fika. Dengan segera dia mengejek kembali,
“Tidak mungkin itu engkau, ulat menjadi kupu-kupu. Sudahlah
sana pergi, dasar tukang bohong,” kata Seruni sambil pergi
dengan teman-temannya memandang sinis kepada Fika, sang
kupu-kupu. Fika pun pasrah dan pergi. Dia tidak ingin
memperpanjang masalah dengan Seruni, sang kunang-kunang.
Semenjak Fika menjadi kupu-kupu, tersiarlah kabar ada
biantang yang lebih indah daripada kunang-kunang. Dialah
Fika, sang kupu-kupu. Semenjak itulah kupu-kupu lebih
terkenal daripada kunang-kunang, sehingga Seruni sang
kunang-kunang sangat malu dengan kesombongan dirinya
sendiri.
Sejak saat itu, kunang-kunang dapat kita jumpai pada malam
hari saja karena pada siang hari dia merasa malu bertemu
dengan kupu kupu.

Anda mungkin juga menyukai