Anda di halaman 1dari 60

PENELITIAN TINDAKAN KELAS MENGENAI

PROFIL PERILAKU BULLYING DI SMP NEGERI 40 BANDUNG


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekolah sebagai salah satu lembaga yang menyelenggarakan

pendidikan formal mempunyai peranan yang amat penting dalam usaha

mendewasakan anak dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang

berguna. Hal ini berarti sekolah turut pula bertanggungjawab tercapainya

suatu tujuan, yang telah ditetapkan.

Sebagian besar waktu siswa pun dihabiskan di sekolah. Sekolah sudah

seperti menjadi rumah kedua bagi para siswa. Bukankah sudah selayaknya

sekolah menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi peserta didk untuk

belajar dan bermain bersama teman-temannya? Namun dewasa ini kekerasan

yang dilakukan di sekolah masih seringkali terjadi.

Kekerasan yang terjadi di Sekolah dapat dilakukan oleh guru kepada

siswa maupun oleh siswa kepada siswa. Bentuk-bentuk dari kekerasannya

pun bermacam-macam, salah satunya adalah bullying. Terjadinya kekerasan

di sekolah tentunya menimbulkan kerugian bagi banyak pihak terutama bagi

siswa yang menjadi korban itu sendiri. Siswa yang menjadi korban kekerasan

di sekolah bisa mendapatkan dampak negatif baik dari segi fisik, psikis dan

lain sebagainya. Kenyataan ini membuat keamanan dan kenyaman siswa

untuk dapat belajar di sekolah dengan nyaman dan aman menjadi


dipertanyakan. Di satu sisi siswa perlu belajar di sekolah, namun di sisi lain

siswa bisa saja menjadi korban kekerasan di sekolah.

40% remaja mengatakan bahwa perilaku beberapa siswa di sekolah

mereka mengganggu kinerja mereka dan hampir 80% mengatakan adanya

ancaman kekerasan fisik (State of our Nation’s Youth, 2000). Berdasarkan

data Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) dari Januari-Juni 2013

tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak yang terdiri dari: kekerasan

fisik 290 kasus (28%), kekerasan psikis 207 (20%), dan kekerasan seksual

535 kasus (52%). Kasus kekerasan pada anak mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Tahun 2012 terjadi 2.637 kasus, 1.700 diantaranya adalah

kekerasan seksual. Tahun 2011 terjadi 2.508 kasus, 1.075 di antaranya adalah

kekerasan seksual. Pada 2010, terjadi 2.400 kasus, 1.152 di antaranya adalah

kekerasan seksual. Kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan

dan incest (Sumber: kompasiana.com/2013/07/24).

Bullying dan pelecehan seksual menjadi masalah yang seringkali

diabaikan. Padahal dua fenomena tersebut sama-sama dapat mengakibatkan

kekerasan fisik, dan kerusakan nyata untuk korban yang bersifat psikologis

(misalnya, depresi) serta terkait dengan pendidikan (absensi yang buruk atau

bahkan putus sekolah). Salah satu peneliti terkemuka tentang bullying di

Norwegia yaitu John Olweus. Menurut Olweus (1992), seorang siswa

ditindas atau menjadi korban "ketika ia terkena, berulang-ulang dan dari

waktu ke waktu, melakukan tindakan negatif pada bagian dari satu atau lebih

orang lain". Tindakan-tindakan pemaksaan yang negatif, percobaan melukai


atau ketidaknyamanan yang lain. Perilaku bullying dapat bersifat fisik

(memukul, menendang, mendorong, mencekik) atau lisan (nama-panggilan,

mengejek, menggoda berbahaya, ancaman, menyebarkan desas-desus jahat),

yang kedua merupakan bentuk bullying langsung. Bullying memiliki dua efek

jangka pendek dan panjang pada korban. Efek jangka pendek meliputi

ketidakbahagiaan, rasa sakit dan malu, kebingungan, kesedihan, kehilangan

harga diri, kecemasan, rasa tidak aman, dan kehilangan konsentrasi, dan

korban dapat menolak untuk pergi ke sekolah. Beberapa korban

mengemukakan keluhan psikosomatis seperti sakit kepala dan sakit perut;

menderita konsekuensi-perasaan psikologis seperti bodoh, malu, atau tidak

menarik, dan melihat diri mereka sebagai orang gagal. Pengaruh jangka

panjang pada kepribadian dan harga diri.

Hal tersebut tentunya harus menjadi perhatian berbagai pihak, tak

terkecuali guru BK. Guru BK harus memahami terjadinya kekerasan di

sekolah agar dapat melakukan upaya-upaya pencegahan maupun penanganan

terhadap terjadinya kekerasan di sekolah. Dalam Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) ini akan dipaparkan mengenai salah satu bentuk kekerasan yang marak

terjadi di Sekolah yaitu bullying, dalam penelitian ini akan dijelaskan

mengenai profil perilaku bullying di SMP Negeri 40 Bandung Kelas VII dan

VIII beserta bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk

menanggulanginya.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari PTK ini yaitu:

1. Bagaimana gambaran perilaku bullying di SMP Negeri 40 kelas VII dan

VIII?

2. Apa saja upaya yang dapat dilakukan dalam menanggapi permasalahan

bullying yang terjadi SMP Negeri 40 kelas VII dan VIII?

C. Tujuan

Berdasarkan dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari PTK ini yaitu

untuk menggambarkan dan mendeskripsikan:

1. Profil perilaku bullying di SMP Negeri 40 kelas VII dan VIII.

2. Upaya yang dapat dilakukan dalam menanggapi permasalahan bullying

yang terjadi SMP Negeri 40 kelas VII dan VIII.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bermanfaat bagi siswa, guru, sekolah sebagai

berikut :

1. Bagi siswa, dengan mengetahui profil perilaku bulying disekolah, siswa

dapat termotivasi untuk mengurangi dan mencegah perilaku tersebut di

sekolah.

2. Bagi guru, dengan mengetahui profil perilaku bulying siswa SMP Negeri 40

Bandung, guru khususnya guru BK dapat memperkirakan layanan apa yang


dapat diberikan untuk mengurangi dan mencegah perilaku bulying pada

siswa.

3. Bagi sekolah, memberikan masukan bagi sekolah untuk mengurangi dan

mencegah perilaku bulying di sekolah.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian tindakan ini penulis batasi pada “Profil Perilaku

Bulying Siswa SMPN 40 Bandung“, yang berfokus pada data terjadinya

bulying, macam-macam bulying dan lain sebagainya.

G. Definisi Operasional

Dengan berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah, tujuan

dan ruang lingkup penelitian tindakan di atas beberapa istilah yang digunakan

dijabarkan operasionalnya demi kejelasan, ketegasan serta untuk menghindari

salah pemahaman, salah pengertian dalam menginterprestasikan masalah

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Profil merupakan grafik atau ikhtisar yang memberikan fakta tentang

hal-hal khusus (KBBI, 2012: kbbi.web.id/profil).

2. Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

atau rangsangan dari luar (Skinner; Notoatmojo, 2007).

4. Bulying Rigby (2007: 15) mendefinisikan bullying sebagai penekanan

ataau penindasan berulang-ulang, secara psikologis atau fisik terhadap


seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang kurang oleh

orang atau kelompok orang yang lebih.


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Bullying

Secara etimologis, bullying berasal dari kata bully yang diartikan

sebagai penggertak, orang yang menganggu orang yang lemah. Beberapa

istilah dalam bahasa indonesia yang sering kali dipakai masyarakat untuk

menggambarkan fenomena bullying diantaranya adalah penindasan,

penggencetan, perpeloncoan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006

dalam Wideranto, 2012). Sedangkan sejumlah peneliti telah berusaha

mendefinisikan perilaku bullying. Definisi yang dikemukakan oleh para

ahli tersebut adalah sebagai berikut kuat (Fahanshah, 2012):

a. Olweus (1994: 4) mendifinisikan bullying merupakan tindakan negatif

yang dilakukan seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang

dan terjadi dari waktu ke waktu

b. Tattum dan tattum (1993: 4) menjelaskan bahwa bullying adalah

hasrat yang sadar dan disengaja untuk menyakiti dan membuat orang

lain tertekan

c. Rigby (2007: 15) mendefinisikan bullying sebagai penekanan ataau

penindasan berulang-ulang, secara psikologis atau fisik terhadap

seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang kurang oleh

orang atau kelompok orang yang lebih


Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara sadar dan

terencana baik fisik maupun psikologis yang ditujukan untuk menyakiti

dan membuat seseorang tertekan, dapat dilakukan oleh perorangan atau

kelompok. Jika dilihat dari kesehatan mental (Yusuf, 2004), seseorang

yang melakukan bullying merupakan orang-orang yang melakukan agresi

yaitu sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi

melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa atau mendominasi.

Perilaku agresi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fisik, psikis

dan sosial.

B. Bentuk Bullying

Bullying menurut Coloroso (2006: 47-50 dalam Wideranto, 2012)

ada empat jenis, yaitu:

a. Bullying fisik merupakan jenis bullying yang paling nampak dan

paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk bullying lainnya,

namun kejdian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam

bentuk lain. Jenis penindasan secara fisik ini bisa memukul, mencekik,

menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mecakar serta

meludahi anak yang ditintas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta

merusak dan menghancurkan pakaian serta barang-barang miliki anak

tertindas.
b. Bullying verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum

digunakan, baik oleh anak perempuan ataupun laki-laki. Perilaku ini

dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritikan kejam,

penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan seksual,

terror, gosip, dan sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying

dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah

dilakukan dan bullying bentuk verbal menjadi awal dari perilaku

bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju

pada kekerasan lebih lanjut.

c. Bullying relasional adalah pelemahan harga diri korban secara

sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku

ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan

yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan

bahasa tubuh yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung

perilaku bullying yang paling sulit dideteksi dari luar.

d. Bullying elektronik merupakan bentuk perilaku bullying yang

dilakukan pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, hp,

internet, website, email, sms, dan sebagainya. Biasanya ditujukan

untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar,

rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau

menyudutkan.
Selanjutnya Riauskina, Djuwita dan Soesetio (2005 dalam

Wideranto, 2012) mengelompokan perilaku bullying ke dalam lima

kategori, antara lain:

a. Kontak fisik langsung, seperti mendorong, menggigit, memukul,

termasuk memeras dan merusak barang-barang milik orang lain.

b. Kontak verbal langsung, seperti mengancam, mempermalukan,

merendahkan, memaki, menyebarkan gosip, dan sebagainya.

c. Perilaku non-verbal langsung, seperti melihat dengan sinis,

menjulurkan lidah, mengejek/mengancam, biasanya disertai oleh

bullying fisik/verbal.

d. Perilaku non-verbal tidak langsung, seperti mendiamkan seseorang,

memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, dan sebagainya.

e. Pelecehan seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau

verbal

C. Karakteristik pelaku dan korban bullying

Karakteristik pelaku bullying dipengaruhi oleh aspek kognitif, afektif

dan behavioral dalam diri pelaku itu sendiri. Rigby (2002) mengemukakan

beberapa karakteristik pelaku bullying yaitu (Fahanshah, 2012):

a. Tidak matang secara emosional

b. Tidak mampu menjalin hubungan akrab

c. Kurang kepedulian terhadap orang lain

d. Mody dan tidak konsisen


e. Mudah marah dan impulsif

f. Tidak memiliki rasa bersalah atau menyesal

Selain itu Rigby (2002) mengemukakan karakteristik anak yang

biasanya menjadi korban bullying yaitu (Fahanshah, 2012):

a. Pendiam dan sensitif

b. Saat ditantang dan diganggu mudah meneteskan air mata

c. Hanya memiliki sedikit teman (senang menyendiri)

d. Memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri

e. Fisik anak laki-laki korban bullying biasanya lebih lemah

dibandingkan dengan temannya

f. Anak penggelisah, agresif, dan memiliki konsentrasi pun ternyata

berpotensi untuk di bully, mengingat perilaku yang bersangkutan

kerap menyebabkan ketegangan di kelas

D. Ciri-Ciri Bullying

Salah satu peneliti terkemuka di bullying adalah Norwegia John

Olweus. Menurut Olweus (1992), seorang siswa ditindas atau menjadi

korban "ketika ia terkena, berulang-ulang dan dari waktu ke waktu,

melakukan tindakan negatif pada bagian dari satu atau lebih orang lain".

Tindakan-tindakan pemaksaan yang negatif, percobaan melukai atau

ketidaknyamanan yang lain. Perilaku bullying dapat bersifat fisik

(memukul, menendang, mendorong, mencekik) atau lisan (nama-

panggilan, mengejek, menggoda berbahaya, ancaman, menyebarkan desas-


desus jahat), yang kedua merupakan bentuk bullying langsung. Laki-laki

dan perempuan dapat menjadi pengganggu: laki-laki cenderung ke arah

intimidasi langsung, anak perempuan, terhadap intimidasi tidak langsung.

Ini bisa sulit bagi orang tua dan personil sekolah untuk membedakan

antara menggoda normal dan bullying. Roberts dan Morotti (2000)

menyarankan mereka bertanya pada diri sendiri empat pertanyaan utama:

a. Apa sifat dari perilaku tersebut? Apakah sesuai dengan usia? Untuk

siapakah itu diarahkan? Apakah khusus untuk satu jenis kelamin atau

keduanya? Apakah diarahkan rekan-sekitar usia atau mereka yang

lebih muda atau lebih tua? Apa isi dari perilaku?

b. Bagaimana tingkat intensitas perilaku? Apa yang spesifik dari

perilaku? Apakah perilaku verbal, fisik, atau psikologis? Apakah

perilaku yang tampaknya dilakukan dengan cara humoris atau dengan

kemarahan, kekerasan atau niat jahat oleh agen?

c. Pada tingkat apa perilaku terjadi? Apakah ini sering terjadi atau

insiden yang terisolasi? Apakah ada saat-saat ketika perilaku tersebut

terjadi lebih sering daripada yang lain?

d. Bagaimana target perilaku bullying merespon? Apakah target marah

atau tersinggung oleh perilaku? Apakah target memahami perilaku?

Apakah target membalasnya dalam bentuk ke agen? Bagaimana agen

menanggapi upaya target di pertahanan diri terhadap perilaku?

Bullying memiliki dua efek jangka pendek dan panjang pada korban.

Efek jangka pendek meliputi ketidakbahagiaan, rasa sakit dan malu,


kebingungan, kesedihan, kehilangan harga diri, kecemasan, rasa tidak

aman, dan kehilangan konsentrasi, dan korban dapat menolak untuk pergi

ke sekolah. Beberapa korban mengemukakan keluhan psikosomatis seperti

sakit kepala dan sakit perut; menderita konsekuensi-perasaan psikologis

seperti bodoh, malu, atau tidak menarik, dan melihat diri mereka sebagai

orang gagal. Pengaruh jangka panjang pada kepribadian dan harga diri:

Olweus (1993) menemukan bahwa orang dewasa pada usia 23 yang telah

diintimidasi di Kelas 6 sampai 9 lebih tertekan dan memiliki rasa rendah

diri daripada rekan-rekan mereka yang bukan korban.

E. Siapa Pembully dan Mengapa

Keseriusan dan kegunaan bullying yang mereka lakukan umumnya

tergantung pada toleransi sekolah karena perilaku bullying, sikap guru,

penataan istirahat, dan faktor lingkungan lainnya. Selain itu, pengaruh dari

lingkungan rumah awal tidak dapat diremehkan: Bully berasal dari rumah

di mana mereka diperlakukan kasar; dikritik, sarkasme, dan ejekan.

Dengan tidak adanya kehangatan dan pengasuhan, tidak mengejutkan

bahwa mereka datang untuk percaya sangat muda bahwa intimidasi dan

kekerasan adalah cara untuk menghadapi tantangan hidup.

Sayangnya, perilaku bully sering diperkuat oleh orang tua dan teman

sebaya. Orang tua sering membela perilaku anak mereka: "Yang baik

untuk membela diri sendiri." Karena orang tua ini memiliki model perilaku

bullying, mereka merasa sulit untuk menyetujui mereka. Peer juga


cenderung mendukung perilaku bullying: Mereka sering senang dalam

melihat siswa lain menjadi korban dan bahkan dapat mendorong

pengganggu untuk terus melakukannya (Gambar 12,1).

Dalam satu studi, 60 persen dari anak laki-laki di Kelas 6 sampai 9

yang dicirikan sebagai pengganggu oleh para guru dan rekan-rekan telah

dihukum setidaknya satu kejahatan pada usia 24, dibandingkan hanya 23

persen dari nonbully. Tampaknya bahwa sekali respon agresif

berkembang, maka akan berlanjut ke masa dewasa.

Dalam satu studi, 60 persen dari anak laki-laki di Kelas 6 sampai 9

yang dicirikan sebagai pengganggu oleh para guru dan rekan-rekan telah

dihukum setidaknya satu kejahatan pada usia 24, dibandingkan hanya 23

persen dari nonbully. Tampaknya bahwa sekali respon agresif

berkembang, maka akan berlanjut ke masa dewasa.

F. Siapa yang Mendapat Intimidasi dan Mengapa

Karena bullying mempengaruhi sejumlah siswa, sulit untuk bisa

menemukan profil korban yang khas. Hanish dan Guerra meneliti ciri-ciri
anak yang beresiko untuk menjadi korban dan dikelompokkan ke dalam

empat kategori yaitu:

1. Karakteristik demografi. Anak muda lebih rentan menjadi korban

sebayanya dibandingkan dengan anak yang lebih tua karena mereka

belum mengembangkan keterampilan perlindungan. Bullying lebih

sering terjadi di sekolah dasar dan sekolah menengah, tetapi kurang

direncanakan. Anak-anak lebih sedikit menjadi korban, tetapi ketika

mereka melakukan bullying cenderung terus menerus dari waktu ke

waktu. Anak laki-laki lebih mungkin diganggu secara fisik, sedangkan

anak perempuan lebih mungkin untuk digosipkan, ditiadakan, dan

dilecehkan secara seksual.

2. Karakteristik perilaku. Beberapa anak menjadi korban karena mereka

tampaknya tidak mampu membela diri. Mereka mungkin secara fisik

lemah, mudah menyerah pada tuntutan beberapa temannya. Anehnya,

agresivitas juga ditemukan mungkin meningkat jika seorang anak

muda yang ditindas. Perilaku agresif mengganggu dan mengasingkan

orang lain, meninggalkan siswa tanpa dukungan, akan menjadikan

siswa begitu rentan terhadap bully. Siswa yang menarik diri, siswa

pemalu, dan tidak yakin pada diri mereka sendiri, terutama pada yang

lebih tua, juga berisiko menjadi korban.

3. Dinamika kelompok sebaya. Peer menampilkan spektrum reaksi

terhadap bullying, beberapa dari rekan-rekan mereka diperkirakan

melindungi korban bullying kurang dari 15 persen dari insiden.


Bahkan, rekan-rekan lebih cenderung mendorong bullying dan

beberapa anak menjadi pengganggu karena mereka ingin berpengaruh

dan menguasai intimidasi di antara rekan-rekan mereka. Dengan tidak

adanya perlindungan sebaya, korban mungkin diganggu dari waktu ke

waktu sehingga menderita dan konsekuensinya lebih signifikan.

4. Pengaruh Struktur Sekolah. Sayangnya, sekolah sering memberikan

lingkungan yang kondusif untuk bullying. Kurangnya pengawasan

memungkinkan pengganggu menyiksa korban-korban mereka.

Sebagian besar insiden terjadi di lorong-lorong, kelas, dan di taman

bermain. Selain itu, para korban enggan untuk melaporkan pelaku

bully karena takut akan pembalasan. Ini berarti bahwa bullying dapat

terjadi bahkan dalam skala besar tanpa sepengetahuan guru dan

konselor.

G. Korban Berbalik menjadi Agresor

Ketika bullying dilakukan secara intens dan berkelanjutan, tidak

mungkin korban mengabaikan. Banyak korban seperti menarik diri,

depresi, putus sekolah, atau bahkan mencoba bunuh diri, tetapi beberapa

berubah agresif dan dalam kasus yang jarang terjadi, korban melakukan

kekerasan yang lebih berbahaya di sekolah. Hazler dan Carney

mengkategorikan faktor-faktor risiko seperti biologis, psikologis, kognitif

dan lingkungan:
1. Risiko biologis. Pubertas meningkatkan risiko yang mengubah korban

menjadi agresor. Fluktuasi hormon, bersama dengan perubahan fisik

dan psikologis yang cepat, dapat meningkatkan tingkat permusuhan

dan keinginan remaja untuk membalas dendam.

2. Risiko Psikologis dan kognitif. Korban yang mengalami depresi berat

memiliki risiko lebih besar untuk agresi. Korban mungkin memiiki

alasan "hidup ini tidak layak dijalani, jadi apa bedanya jika aku

membunuh diriku sendiri dan orang-orang yang telah menyiksaku?"

Depresi datang dengan kekakuan kognitif: Korban melihat balas

dendam sebagai satu-satunya pilihan.

3. Risiko lingkungan. Keluarga dan rekan memiliki dinamika yang dapat

meningkatkan risiko agresi. Korban dari keluarga yang anggotanya

tidak memiliki keterampilan pemecahan masalah dan tidak tegas, akan

mengalami kesulitan belajar cara-cara alternatif untuk mengatasi

konflik. Isolasi dari rekan-rekan juga meningkatkan risiko korban

berubah melakukan kekerasan.

H. Bullying di Indonesia

National Institute for Children and Human Development (NICHD) memaparkan

hash l surveinya di maja la h Journal of the American Medical Association tahun 2001,

bahwa lebih dad 16 persen siswa sekolah di Amerika Serikat mengaku

mengalami bullying oleh siswa lain. Survei ini dilakukan pada 15.686 siswa

kelas 6 hingga 10 di berbagai sekolah negeri maupun swasta di Amerika


Serikat (Yayasan Sejiwa, 2008: 10). Departemen Kehakiman Amerika

Serikat pada tahun 2001 mengeluarkan hash l statistik yang

mencengangkan bahwa 77% pelajar Amerika Serikat mengalami bullying balk

secara fisik, verbal maupun mental. Ini berarti 1 dari 4 anak di negeri itu telah

terkena bullying. (Yayasan Sejiwa, 2008: 10).

Di Indonesia perilaku bullying juga marak terjadi, Menurut survei yang

dilakukan oleh Latitude News pada 40 negara, bahwa di temukan fakta

seputar bullying. Salah satu faktanya adalah bahwa pelaku bullying

biasanya para siswa atau mahasiswa laki-laki. Sedangkan siswi atau

mahasiswi lebih banyak menggosip ketimbang melakukan aksi

kekerasan dengan fisik. Dari survei tersebut juga terdapat negara-negara

dengan kasus bullying tertinggi di seluruh Dunia. Dan yang parahnya,

Indonesia masuk di urutan ke dua (Yolan, 2012). Di bawah ini

merupakan tabel peristiwa bullying yang ditulis oleh Komnas

perlindungan anak tahun 2003 dan 2007.

Tabel 1. Tempat terjadinya bullying

Kekerasan (bullying) Jumlah Kasus Persentase

Di Sekolah 226 54,20%

Di Luar Sekolah 191 45,80%

Total 417 100%

Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

Tabel 2. Bentuk bullying


Kekerasan (bullying) Jumlah Kasus Persentasi

Kekerasan Fisik 89 21,34%

Kekerasan Seksual 118 28.30%

Kekerasan Psikis 210 50,36%

Total 417 100%

Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

Berikut data terkait bullying yang ditulis oleh Yayasan SEJIWA

a. Data tentang bullying saat Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS)

di Sekolah pada Tahun 2007-2013 (SEJIWA, http://sejiwa.org/). Data

di bawah ini merupakan temuan dari berbagai media massa, ada

kemungkinan kekerasan-kekerasan lainnya terjadi saat MOS namun

tidak terungkap oleh media massa.

1) 2007 : Franky Edward Damar (16) meninggal dunia saat

mengikuti program orientasi siswa baru (semacan ospek) Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Pelayaran Wira Maritim, Jl Manukan

Wasono, Surabaya.

2) 2008 : Agung Bastian Gultom, mahasiswa semester II Sekolah

Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) meninggal akibat dikeroyok oleh

seniornya,.

3) 2009 : M Rajib siswa SMK Pelayaran di kawasan Kampung

Rambutan, Jakarta Timur, menghembuskan nafas terakhir usai

mengikuti MOS yang diselenggarakan di sekolahnya dan selama

3 hari korban tidak pulang ke rumah. Ketika MOS, korban


disuruh jalan kaki berkilo-kilo meter di kawasan Cibubur, Jakarta

Timur dengan membawa tas berisi batu dan perlengkapan salat.

Roy Aditya Perkasa meninggal lantaran kelelahan saat mengikuti

MOS di SMAN 16 Surabaya. Korban mengeluhkan capek dan

stress dalam mempersiapkan tugas-tugas selama MOS.

Wisnu Anjarkusumo (17) tewas mengenaskan, Minggu (27/9)

sekitar pukul 04.00. Di tubuhnya terdapat banyak lebam kebiruan.

Kuku-kuku jari tangan juga membiru. Mahasiswa Sekolah Tinggi

Sandi Negara itu diduga korban kekerasan saat mengikuti

orientasi kampus.

4) 2010 : Zulhaedar (15), salah satu siswa baru Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Sari Buana, tewas setelah diminta berenang

sebagai rangkaian prosesi penerimaan siswa baru saat mengikuti

acara bina akrab di Kolam Pucak, Kabupaten Maros. Korban

memiliki IQ dibawah rata-rata dan orang tua mengakui bahwa

korban tidak dapat berenang, sehingga tidak menuntut pihak

sekolah.

5) 2011 : Calon siswi SMA Negeri 9 Ciputat, Kota Tangerang

Selatan, Banten, Amanda Putri Lubis, (16), Rabu (13/7/2011)

meninggal dunia akibat keletihan mengikuti masa orientasi siswa

(MOS). Amanda dihukum oleh senior karena lupa membawa

name tag dengan diminta membawa beban 2 karung selama 2

hari.
6) 2012 : Kasus SMA Seruni Don Bosco, Pondok Indah, Jakarta,

seorang siswa baru melapor mendapatkan perilaku bullying yang

dilakukan seniornya sepulang masa orientasi siswa (MOS). Dia

dan 6 siswa lainnya dibawa ke suatu tempat dan dipaksa untuk

merokok, menenggak minuman keras, ditutup dengan jaket dan

dipukuli. Tidak ada korban tewas, tetapi berdampak luka fisik

dan trauma, serta pelaku yang masih berada di kelas XII ditahan

oleh Polres Metro Jakarta Selatan.

Irfan (15), seorang siswa baru Sekolah Usaha Perikanan

Menengah Negeri (SUPMN) di Kabupaten Bone, Sulawesi

Selatan meninggal setelah mendapatkan perawatan di Rumah

Sakit Umum Daerah (RSUD) Tenriawaru. Korban diduga sempat

mendapatkan penganiayaan dari para seniornya saat mengikuti

MOS, hingga jatuh sakit, dan akhirnya meninggal.

7) 2013 : Anindya Ayu Puspita, siswi baru SMK N 1 Pandak Bantul,

meninggal karena kelelahan mengikuti rangkaian kegiatan MOS.

Korban dihukum secara fisik oleh senior karena tidak membawa

pakaian olah raga.

I. Intervensi untuk Menghentikan Bullying

Efek bullying serius. Ketika seorang siswa mengeluh tentang ditindas,

konselor harus menyelidiki. Jika bullying terjadi, konselor harus


menyerang masalah pada tiga bagian, bekerja dengan korban, bekerja

dengan bully, dan bekerja pada iklim dan struktur sekolah.

Bekerja dengan korban. Setelah menilai besarnya masalah, tugas

pertama konselor adalah untuk menjamin keamanan korban. Tentu setiap

kejadian yang membahayakan keselamatan siswa atau memiliki potensi

untuk dilakukan harus dilaporkan. Juga tindakan publik dengan tubuh

korban dan bullying tidak akan ditoleransi di sekolah.

Langkah berikutnya adalah membantu korban mengembangkan

keterampilan yang dia butuhkan untuk menghentikan bullying. Misalnya,

bully memilih anak-anak yang terisolasi, yang tidak memiliki teman.

Siswa-siswa ini diganggu karena mereka tidak memiliki keterampilan

sosial. Sebuah intervensi yang baik di sini, adalah melibatkan mereka

dalam kelompok pelatihan keterampilan sosial.

Konselor sekolah juga dapat membantu korban untuk memahami

bahwa reaksi tertentu dapat memperkuat perilaku pelaku yang

mengintimidasi. Jika mereka dapat belajar untuk tidak bereaksi seperti itu,

mungkin hanya masalah waktu sebelum bully bergerak. Role-playing dan

modeling ketegasan adalah cara yang berguna untuk mengajarkan

tanggapan baru untuk masalah bullying. Dalam kasus pelecehan verbal,

korban harus menghadapi pengganggu saja. Korban harus tegas, saya tidak

menyukai apa yang Anda lakukan untuk saya, dan saya ingin

menghentikannya. Jika konfrontasi tidak bekerja, konselor dapat

menyarankan korban pertama yang mencoba untuk mengabaikan


pengganggu dan untuk berjaga-jaga konselor memberitahu bullying harus

meningkat.

Konselor harus ingat bahwa tujuan utama intervensi di sini adalah

untuk memecahkan rasa ketidakberdayaan korban. Korban yang merasa

bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan

penindasan, hal itu beresiko menyakiti diri sendiri atau lainnya

Bekerja dengan bully. Untuk menghentikan bullying, konselor juga harus

bekerja sama dengan para penganiaya itu sendiri. Robert Dan Morotti

(2000) menyarankan lima langkah pendekatan untuk menangani bully:

a. Lakukan kontak yang mengancam dengan pengganggu, setelah belajar

tentang insiden, mencari pengganggu dan mengetahui tentang masalah

antara pengganggu dan korban. Dengan tenang dan menghindari

bahasa yang menyalahkan, lalu menguraikan konsekuensi jika

masalah tidak diselesaikan dan kemudian bertanya apa korban,

pengganggu dan konselor dapat melakukan sesuatu untuk

menghentikan bullying. Intervensi ini dirancang untuk memulai

dialog: Bully jarang memiliki kesempatan untuk menjelaskan tindakan

mereka.

b. Dengarkan dengan seksama apa yang bully katakan. Bully

menjelaskan tingkah lakunya, perhatikan tidak hanya kata-kata tetapi

juga petunjuk tentang dinamika yang mendasari perilaku. Apa proses

kognitif, afektif dan perilaku sedang bekerja? ada petunjuk tentang

kehidupan keluarga bully, keterlibatan orang tua, dan disiplin?


Apakah ada indikasi ketakutan, kemarahan, Isolasi, atau harga diri

rendah? Apa bully mengatakan tentang insiden, itu juga penting,

Apakah dia membenarkan perilaku? Sendiri sampai itu? Yang lebih

penting, emosi apakah yang ditampilkan pengganggu karena ia

menceritakan kejadian tersebut? Ini harus didengarkan dengan hati-

hati dan dilihat, akan membantu konselor menilai penyebab dan

keseriusan dari perilaku dan rencana untuk itu intervensi yang tepat.

c. Buat Peluang untuk bully belajar tentang diri dan berubah. Kunci

untuk mengubah perilaku bully adalah menghilangkan gagasan bahwa

Apakah agresi adalah satu-satunya cara untuk berurusan dengan

rekan-rekan. Bully sering belajar dalam beberapa tahun pertama

kehidupan, agresi yang merupakan sarana yang tepat dalam interaksi.

Di balik agresi biasanya ada kemarahan, sehingga intervensi yang

mungkin dilakukan adalah penempatan dalam program manajemen

kemarahan. Jika AGRESI adalah cara utama pengganggu

berhubungan, program pelatihan keterampilan sosial juga

kemungkinan. Karena kecenderungan sosiopat mereka, beberapa

pengganggu hanya mengubah dengan membayar konsekuensi atas

perilaku mereka. Untuk anak-anak kontrak perilaku yang melibatkan

orang tua dan guru adalah alat yang baik karena orang tua bully

merupakan bagian dari masalah, sangat penting mereka dimasukkan

dalam perumusan dan pelaksanaan kontrak; intervensi ini jauh lebih

mungkin untuk berhasil jika sekolah dan rumah bekerja bersama-sama


untuk mengurangi perilaku bully. Kontrak perilaku harus menguraikan

aturan perilaku, harapan kepatuhan, dan konsekuensi dari

ketidakpatuhan. Konselor harus berhati-hati, untuk bertindak, bukan

sebagai disiplin, tetapi sebagai advokat yang membantu membuat

pengganggu bertanggung jawab atas konsekuensi perilaku nya. Dalam

keadaan ini akan sulit untuk berempati dengan pengganggu, namun

mengingat bahwa perilaku bully adalah gejala nya maka gejolak dapat

membantu.

d. Memberikan perhatian dan dukungan individual. Mengkonseling

pengganggu dalam pengaturan kelompok, dengan peserta lain, hanya

dapat menciptakan tumbal kelompok yang dinamis dan meningkatkan

ikatan anggota di sekitar perilaku menyimpang. Tugas konselor adalah

untuk bekerja secara individual dengan pengganggu dan orang lain

yang ingin melepaskan diri dari kelompok pengganggu sebaya. Anak-

anak ini mungkin takut-pembalasan dan ditolak oleh peer group lain.

e. Menyediakan perawatan jangka panjang dan tindak lanjut. Mengubah

pola perilaku memang tidak mudah, bahkan lebih sulit bagi

pengganggu sekolah yang kembali setiap hari ke lingkungan keluarga

di mana perilaku agresif adalah norma. Mengingat tuntutan yang luar

biasa, konselor sekolah mungkin tergoda untuk menyerah ketika bully

kambuh, tetapi konselor harus ingat bahwa perilaku agresif sangat

mendarah daging, dan konselor harus terus memberikan dukungan dan

dorongan untuk perubahan.


Memodifikasi Struktur dan Iklim Sekolah. Bagian ketiga dalam

perlawanan untuk mencegah intimidasi di sekolah adalah sekolah itu

sendiri. Konselor harus bekerja menuju lingkungan sekolah yang tidak

mendorong bullying. Sikap guru dan anggota staf sekolah lainnya adalah

kunci di sini. Untuk mengubah sikap tersebut, konselor sekolah mungkin

menjalankan pelatihan in-service untuk semua anggota staf. Tujuan dari

pelatihan ini akan menjadi dua kali lipat: pertama, untuk membuat orang

dewasa di sekolah menyadari besarnya perilaku bullying dan korban,

kedua, untuk melibatkan mereka dan orang tua sebanyak mungkin dalam

upaya menciptakan sekolah cerdas untuk menghentikan bullying. Setelah

personil sekolah peka terhadap masalah, konselor dapat memberikan

pedoman untuk mengenali bullying, membedakannya dari gangguan

normal dan campur tangan tepat.

Sekolah juga harus melakukan segala kemungkinan dalam

mengembangkan lingkungan yang hangat. Model sekolah dalam perilaku

positif adalah menjalankan kewenangan dengan cara yang tidak menindas.

Tanda dan poster di seluruh sekolah dapat digunakan untuk mendorong

kepedulian dan penerimaan. Kebijakan sekolah harus dengan jelas

menyatakan konsekuensi untuk perilaku intimidasi, tetapi juga harus

menyatakan bahwa konselor sekolah siap dan bersedia untuk membantu

mengubah perilaku tersebut.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Penelitian Tindakan (action

research) berdasarkan pendekatan naturalistik-kualitatif. Pendekatan ini

memandang kenyataan sebagai suatu yang berdimensi jamak utuh dan

merupakan satu kesatuan.

Karena itu tidak mungkin disusun rancangan penelitian yang terinci.

Rancangan penelitian berlangsung selama proses penelitian berlangsung.

Peneliti dan obyek yang diteliti saling berinteraksi yang proses penelitiannya

dilakukan oleh peneliti (Sebagai salah satu tenaga pengajar di SMP Negeri 40

Bandung), dan berfungsi sebagai alat penelitian. Dengan perkataan lain dalam

penelitian ini tidak ada alat penelitian yang baku yang telah disiapkan

sebelumnya.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di atas peneliti menggunakan jenis

penelitian tindakan (action research).

Dengan kata lain penerapan penelitian tindakan di dalam kelas

diharapkan mampu mendorong guru memiliki kesadaran diri melakukan

refleksi diri atau kritik diri terhadap aktivitas pembelajaran yang

diselenggarakan, (MC. Nift; 1992, Hopkind, 1985). Yaitu guru-siswa proses

pembelajaran selama pembelajaran berlangsung. Kemudian dijadikan bahan


dasar refleksi diri dalam penyusunan rencana tindakan yang akan dilakukan.

Kegiatan ini dilakukan dengan mengikuti alur pokok yaitu :

l. Refleksi awal

2. Perencanaan Tindakan

3. Pelaksanaan Tindakan dan pengamatan

4. RefleksI

B. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti dan praktisi, menerapkan berbagai teori dan teknik

pembelajaran yang relevan dan kreatif. Dalam proses pembelajaran

berlangsung peneliti mencatat temuan-temuan dalam pengamatan yang dipakai

sebagai dasar refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil

refleksi, melandasi upaya perbaikan dan penyempurnaan rencana tindakan

selanjutnya. Melalui tahapan-tahapan sampai tujuan pembelajaran berhasil.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi adalah lokasi situasi sosial terdiri dari tempat, pelaku,

dan kegiatan (Nasution;-S. 1992). Lokasi yang dimaksud meliputi :

1) Aspek tempat : ialah lokasi dimana proses pembelajaran berlangsung yaitu

kelas 7 dan 8, SMP Negeri 40 Bandung, Kota Bandung.

2) Aspek pelaku, ialah peneliti, sebagai guru dan siswa kelas 7 dan 8 yang

terlibat dalam interaksi pembelajaran.


3) Aspek kegiatan ialah layanan untuk mengetahui profil bullying yang terjadi

di kelas 7 dan 8, SMP Negeri 40 Bandung, Kota Bandung, tahun pelajaran

2013/2014.

D. Sumber Data

Sumber data yaitu berupa subyek penelitian yang dapat

memberikan informasi yang dapat membantu perluasan teori (Bagdan and

Biklen, 1990). Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas 7 dan 8,

SMP Negeri 40 Bandung, Kota Bandung. untuk mengetahui profil bullying di

sekolah.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Data penelitian dihimpun berupa : l) dokumentasi, 2) pengamatan,

1. Studi dokumentasi melihat hasil tes-tes harian .tahun pelajaran 2013/2014,

dipergunakan untuk mengetahui profil bullying di sekolah,

2. Observasi yaitu pengamatan langsung pada proses pembelajaran

berlangsung

F. Analisa Data

Analisa data dilakukan secara diskriptif kualitatif berdasarkan hasil

observasi dengan layanan kelompok belajar dengan langkah-langkah sebagai

berikut :
I) Melakukan reduksi yaitu mengecek dan mencatat kembali data-data yang

telah terkumpul.

2) Melakukan interpretasi, yaitu menafsirkan yang diwujudkan dalam bentuk

pernyataan.

3) Melakukan inferensi yaitu menyimpulkan, apakah dalam pembelajaran ada

peningkatan prestasi belajar dibanding sebelum penelitian.

4) Tahap tindak lanjut, yaitu merumuskan langkah-langkah perbaikan siklus

berikutnya atau dalam pelaksanaan di lapangan setelah siklus berakhir

berdasarkan informasi yang telah ditetapkan.

Pengambilan kesimpulan berdasarkan analisis hasil observasi

dalam bentuk interpretasi dalam bentuk pernyataan. Dalam kegiatan analisis

data menggunakan metode pengolahan data dengan rumus :

F
P X100
N

Keterangan :

P = Prosentase

F = Frekuensi dari jawaban alternatif jawaban yang berhubungan dengan

masalah yang ditanyakan.

N = Jumlah seluruh responden yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu.

Secara garis besar sebagai ilustrasi untuk mendapatkan gambaran

yang jelas maka hasil angket dijumlah. Kemudian diolah berdasarkan rumus

prosentase. Besar kecilnya nilai prosentase tersebut diadakan rekapitulasi data

untuk ditentukan rata-rata kelas berdasarkan prosentase data.


Sebagai hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Dilanjutkan

dengan penginterpretasian data, dengan menggunakan tabel kuatilikasi

prosentase yang mengacu pada petunjuk pelaksanaan penilaian di SMK

sebagai berikut:

0 - 20% kurang sekali

21 - 40% kurang

41 - 60% cukup

61 – 80% baik

81 - 100% sangat baik


BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Setelah data terkumpul, kemudian diadakan pengecekan apakah data yang terkumpul sudah lengkap sesuai dengan instrumen

yang diajukan. Maka hasilnya adalah sebagai berikut

Pernyataan Persentase (%) Jawaban


No. 1 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Seringnya di bully 3% 43% 28% 26%
No. 2 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Diejek, Diperolok 7% 10% 16% 66%
No. 3 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Diabaikan teman 69% 16% 7% 7%
No. 4 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Dipukul, Ditendang, Didorong 74% 2% 7% 21%
No. 5 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Digosipkan mengenai hal yang salah 81% 12% 2% 9%
No. 6 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Uang atau barang dirampas 95% 2% 2% 2%
No. 7 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Dipaksa melakukan sesuatu 90% 3% 3% 3%
No. 8 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Dihina/dikomentari mengenai suku bangsa 97% 0% 0% 2%
No. 9 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Penghinaan secara seksual 91% 3% 2% 3%
No. 10 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Di bully dengan cara lain 93% 0% 0% 3%
No. 11 Tidak Di bully Teman Sekelas Kakak Kelas Adik kelas
Murid yang membully 95% 3% 2% 21%
No. 12 Tidak Pernah di bully murid perempuan murid laki-laki keduanya
Pernah di bully oleh teman laki-laki atau perempuan 90% 2% 0% 2%
No. 13 Tidak Pernah di bully 1 murid 2-9 murid lebih dari 10
Banyaknya murid yang membully 79% 14% 3% 2%
No. 14 Tidak Pernah di bully Beberapa Minggu Beberapa bulan Satu Tahun
Intensitas bullying 47% 14% 12% 5%
No. 15 Tidak Pernah di bully Dibully di suatu tempat
Tempat di bully 62% 21% 5% 7%
No. 16 Tidak Pernah di bully Tidak bercerita Bercerita pada seseorang
Menceritakan tentang pembully an pada orang lain 86% 9% 5% 3%
No. 17 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Murid lain mencoba menghentikan bullying 93% 7% 0% 0%
No. 18 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Orang rumah menghubungi pihak sekolah mengenai 47% 50% 2% 0%
bullying
No. 19 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Pikiran dan perasaan kamu ketika melihat bullying 53% 26% 14% 7%
No. 20 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Seringnya membully 41% 41% 14% 5%
No. 21 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Mengejek, mengolok-olok 86% 5% 3% 2%
No. 22 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Mengabaikan teman 33% 22% 43% 17%
No. 23 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Memukul, menendang, mendorong 67% 12% 17% 2%
No. 24 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Menyebarkan rumor/gosip yang salah 90% 9% 0% 2%
No. 25 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Merampas uang atau barang 88% 10% 2% 0%
No. 26 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Mengancam/memaksa sesuatu yang tidak disukai 90%
No. 27 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Memanggil/mengomentari suku bangsanya 98% 2% 0% 0%
No. 28 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Menunjukan penghinaan secara seksual 98% 0% 0% 0%
No. 29 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Membully dengan cara lain 86% 0% 0% 0%
No. 30 Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
Orang rumah berbicara mengenai tindakan bullying 95% 7% 2% 0%
No. 31 Tidak Pernah Hanya sedikit Sedikit Banyak
Pernah berpikir untuk ikut membully murid yang tidak 95% 2% 2% 0%
disukai
No. 32 Tidak Pernah Saya tidak merasa apa- Saya merasa sedikit kasihan Ingin membantu
apa kepadanya
Reaksi saat melihat atau mengetahui ada yang di bully 90% 5% 2% 0%
No. 33 Tidak Pernah Ya, mungkin Saya tidak tahu Tidak, sepertinya
tidak
Merasa takut jika di bully 66% 17% 17% 0%
1. Seringnya di bully

Korban Bullying

3%
26% Tidak Pernah
Sesekali
43%
Kadang-kadang
Sering
28%

2. Diejek, Diperolok

Diejek, Diperolok

7%
10% Tidak Pernah
Sesekali
16%
Kadang-kadang
66%
Sering
3. Diabaikan teman

Diabaikan teman

7%
7% Tidak Pernah
16% Sesekali
Kadang-kadang
69% Sering

4. Dipukul, Ditendang, Didorong

Dipukul, Ditendang, Didorong

21%
Tidak Pernah
Sesekali
7%
2% Kadang-kadang
74% Sering
5. Digosipkan mengenai hal yang salah

Digosipkan Hal Aneh

9%
2%
Tidak Pernah
12%
Sesekali
Kadang-kadang
Sering
81%

6. Uang atau barang dirampas

Uang atau Barang Dirampas

22%%
2%
Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-kadang
Sering
95%
7. Dipaksa melakukan sesuatu

Dipaksa Melakukan Sesuatu

3%
3%3%
Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-kadang
Sering
90%

8. Dihina/dikomentari mengenai suku bangsa

Dihina/dikomentari Terkait Suku


Bangsa

2%
0%
Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-kadang
Sering
97%
9. Dipermalukan, dikomentari dengan penghinaan secara seksual

Dipermalukan, dihina secara seksual

2%
3% 3%
Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-kadang
Sering
91%

10. Di bully dengan cara lain

Dibully dengan cara lain

3%
0%
Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-kadang
Sering
93%
11. Murid yang membully

Murid yang Membully

21%
Tidak Di bully
2%
3% Teman Sekelas
Kakak Kelas
Adik kelas
95%

12. Pernah di bully oleh teman laki-laki atau perempuan

Pernah Dibully oleh Laki-laki atau


Perempuan

2%
0%
2%
Tidak Pernah di bully
murid perempuan
murid laki-laki
keduanya
90%
13. Banyaknya murid yang membully

Banyaknya Siswa yang Membully

2%
3%
14% Tidak Pernah di bully
1 murid
2-9 murid

79%

14. Lamanya bullying

Banyaknya Siswa yang Membully

5%
12% Tidak Pernah di bully
Beberapa Minggu

47% Beberapa bulan


14%
Satu Tahun
15. Dibully di suatu tempat

Tempat di Bully

7%
5%
Tidak Pernah
Sesekali
21%
Kadang-kadang
62%
Sering

16. Menceritakan pem-bully-an pada orang lain

Menceritakan pembully pada orang


lain

5%3%
9% Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-kadang

86% Sering
17. Tempat di Bully

Tempat Di Bully
0%

7%

Tidak Pernah
Sesekali
Kadang-Kadang
Sering

93%

18. Menceritakan pernah di Bully

Menceritakan Bahwa Pernah Dibully


Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
2% 0%

47%

51%
19. Murid lain mencoba menghentikan Bullly

Seberapa Sering Murid lain Mencoba


Menghentikan Bullying
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

5%

13%
41%

41%

20. Orang dewasa menghubungi pihak sekolah

Apakah Orang Dewasa yang Ada Di


Rumah Menghubungi Pihak Sekolah
untuk Menghentikan Bullying?
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
4% 2%
5%

89%
21. Pikiran atau perasaan ketika melihat pembullyian

Pikiran Atau Perasaan Ketika Melihat


Murid yang Dibully
Mungkin itu pantas
Saya tidak merasa apa-apa
Saya merasa sedikit kasihan kepadanya
Saya merasa kasihan kepadanya dan ingin membantunya
15%
28%

37%
20%

22. Intensitas keterlibatan dalam Bullying

Seberapa Sering Terlibat dalam


Tindakan Bullying
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

2%

18%

12%
68%
23. Memanggil dengan sebutan jahat

Memanggil Dengan Sebutan yang


Jahat/Memalukan
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
0% 2%
8%

90%

24. Mengeluarkan orng lain dengan sengaja

Mengeluarkan Seseorang Agar Dia


Tidak Terlibat secara Sengaja
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

2% 0%
10%

88%
25. Memukul, menendang, mendorong dan menggencet seseorang

Memukul, Menendang, Mendorong,


dan Menggencet Seseorang
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

4%2%
0%

94%

26. Menyebarkan rumor yang salah

Menyebarkan Rumor/Gosip yang


Salah Mengenai Dirinya dan
Mencoba Membuat Orang Lain Tidak
Menyukai Dirinya
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
2%0%
0%

98%
27. Mengambil Uang dan Barang orang lain

Mengambil Uang atau Merusak


Barang-barang Milik Dirinya
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
0%
0%0%

100%

28. Mengancam dan memaksa

Mengancam atau Memaksa Dirinya


Untuk Melakukan Sesuatu yang Tidak
Ia Suka
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
0%0%

100%
29. Memanggi dengan panggilan yang jahat

Memanggil Dirinya dengan Panggilan


yang Jahat atau Mengomentari
Ras/Suku Bangsa/Warna Kulitnya
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

7%1% 0%

92%

30. Menghina

Membuli dengan Panggilan yang


Jahat/Memalukan atau
Mengomentari dengan Bahasa
Tubuh yang Menunjukan Penghinaan
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
2%
2% 0%

96%
31. Membully dengan cara lain

Membully dengan Cara Lain (Selain


Yang Disebutkan Diatas)
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

5%2%
0%

93%

32. Orang dewasa mengajak berbicara tentang Bullying

Apakah orang dewasa yang ada di


rumah pernah mengajak berbicara
mengenai tindakan bullying-mu
kepada murid lain di sekolah?
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering
5%
7% 0%

88%
33. Berpikit untuk ikut MemBully

Berpikir untuk Ikut Mem-bully


Ya Ya, mungkin Saya tidak tahu Tidak, sepertinya tidak

14%

14% 48%

24%

34. Reaksi Ketika Melihat ada yang di Bully

Reaksi Ketika Melihat atau


Mengetahui Jika Ada Orang Yang Di
Bully
Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

29%

59%
4%
8%
35. Perasaan takut di Bully

Frekuensi Perasaan Takut Jika DiBully


Tidak Pernah Sesekali Kadang-Kadang Sering

2%
8%

19%

71%
BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. SIMPULAN

Kekerasan remaja khususnya kekerasan dalam bentuk bullying dan pelecehan

seksual, adalah masalah yang sering terjadi di sekolah. Berdasarkan hasil

penelitian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa kelas VII SMPN 40

Bandung tidak pernah menjadi korban bulying, sedangkan pada kelas VIII

sebagian besar siswa menyatakan sesekali menjadi korban bulying.

Adapun bentuk bulying yang paling sering dilakukan adalah berupa kekerasan

verbal seperti diejek dan diperolok serta kekerasan fisik seperti dipukul,

didorong, dan ditendang. Sedangkan orang/pembulinya itu sendiri yang paling

sering adalah teman sekelas dan kaka kelas korban bullying tersebut. Sementara

itu tempat yang paling sering terjadi bullying adalah di kelas yaitu pada saat guru

tidak ada.

Setiap program untuk mencegah kekerasan remaja harus komprehensif dan

kolaboratif. Komprehensif, berarti bahwa program tersebut harus menargetkan

semua siswa dan bahwa program itu harus menyerang inti dari masalah kekerasan

remaja di berbagai bidang dan dengan berbagai metode. Yang paling penting,

program ini harus menawarkan siswa alternatif untuk menghindari kekerasan,

mengembangkan kemampuan yang dapat mengurangi risiko faktor kekerasan.

Komponen penting kedua dari program pencegahan kekerasan di sekolah adalah

keterlibatan keluarga dan masyarakat. Mengembangkan program yang


komprehensif dan melibatkan keluarga serta masyarakat dalam program

membutuhkan banyak waktu dan penuh dengan tantangan. Konselor sekolah

memahami bahwa pencegahan kekerasan adalah landasan dari program

bimbingan perkembangan yang komperehensif.

B. REKOMENDASI

Dilihat dari profil permasalahan bullying di SMP Negeri 40 Bandung kelas

VII dan VIII dapat dilihat bahwa beberapa siswa menjadi pelaku dan beberapa

menjadi korban bullying, dilihat dari kondisi tersebut maka program penanganan

masalah bullying perlu dibuat sebagai salah satu upaya penanganan maupun

pencegahan bullying di Sekolah. "The Search Institute (1997) memberikan daftar

apa yang mereka sebut aset perkembangan, faktor-faktor yang membantu anak-

anak yang agresif dan bengis merespon dengan perilaku yang kurang berisiko.

Aset perkembangan ini adalah kerangka yang berguna untuk merancang program

bimbingan yang komprehensif pada umumnya dan program pencegahan

kekerasan pada khususnya. Semakin banyak aset siswa, semakin kecil

kemungkinan mereka untuk beralih ke kekerasan sebagai sarana ekspresi dan

pemenuhan diri.

Tabel 5.1 Aset Perkembangan


Aset eksternal
Dukungan 1. Dukungan keluarga. Keluarga menyediakan cinta dan
dukungan yang tinggi.
2. Komunikasi keluarga yang positif. Anak muda dan orang
tuanya berkomunikasi secara positif, dan anak muda muda
akan bersedia untuk meminta saran dan nasihat dari orang tua.
3. Hubungan dengan orang dewasa lainnya. Anak muda
menerima dukungan dari tiga atau lebih orang dewasa selain
orangtua.
4. Kepedulian lingkungan. Anak muda mendapatkan kepedulian
dari tetangga.
5. Iklim kepedulian sekolah. Sekolah memberikan kepedulian,
dan lingkungan yang mendukung.
6. Keterlibatan orang tua di sekolah. Orang tua secara aktif
terlibat dalam membantu anak muda
Pemberdaya 7. Nilai-nilai komunitas pemuda, anak muda merasakan bahwa
an orang dewasa mempunyai pengaruh pada nilai komunitas
(Empowerm pemuda.
ent)
8. Pemuda sebagai sumber daya. Para pemuda diberi peran yang
berguna dalam masyarakat.
9. Pelayanan kepada orang lain. Anak muda melayani
masyarakat satu jam atau lebih per minggu.
10. Keselamatan. Anak muda merasa aman di rumah, sekolah, dan
di lingkungan.
Batas-batas 11. Batas-batas keluarga. Keluarga memiliki aturan dan
dan konsekuensi yang jelas dan memonitor keberadaan anak muda.
harapan-
harapan
12. Batas-batas sekolah. Sekolah menyediakan aturan dan
konsekuensi yang jelas.
13. Batas-batas lingkungan sekitar. Tetangga bertanggung jawab
untuk memantau perilaku anak muda.
14. Model peran orang dewasa. Orangtua dan orang dewasa
lainnya merupakan model yang positif, dan perilaku yang
bertanggung jawab.
15. Pengaruh Positif teman sebaya. Teman baik merupakan model
perilaku yang bertanggung jawab anak muda.
16. Harapan yang tinggi. Kedua orang tua dan guru mendorong
anak muda untuk melakukan sesuatu dengan baik.
Penggunaan 17. Kegiatan kreatif. Anak muda menghabiskan tiga atau lebih jam
yang per minggu dalam pelajaran atau praktek dalam musik, teater,
konstruktif atau kesenian lainnya.
dari waktu
18. Program pemuda. Anak muda menghabiskan tiga jam atau
lebih per minggu dalam olahraga, klub, atau organisasi di
sekolah dan / atau masyarakat.
19. Komunitas religius. Anak muda menghabiskan satu jam atau
lebih per minggu dalam kegiatan lembaga keagamaan.
20. Waktu di rumah. Anak muda keluar dengan teman-teman tanpa
kegiatan yang istimewa untuk dilakukan dua malam atau
kurang dari itu per minggu,
Aset Internal
Komitme 1. Motivasi berprestasi. Anak muda termotivasi untuk melakukan
n untuk sesuatu dengan baik di sekolah .
belajar 2. Keterlibatan sekolah. Anak muda aktif terlibat dalam
pembelajaran .
3. Tugas di rumah. Orang muda melakukan setidaknya satu jam
pekerjaan rumah setiap hari.
4. Ikatan sekolah. Orang muda peduli akan sekolahnya .
5. Membaca untuk kesenangan. Anak muda membaca untuk
kesenangan tiga jam atau lebih perminggu.
Nilai 1. Kepedulian. Orang muda menjunjung nilai tinggi untuk
positif membantu orang lain.
2. Kesetaraan dan keadilan sosial. Orang muda memiliki nilai
tinggi terhadap kesetaraan dan keadilan sosial .
3. Integritas. Orang muda bekerja dan berdiri dengan
keyakinannya.
4. Kejujuran. Orang muda berkata jujur meskipun jujur itu
tidaklah mudah.
5. Tanggung Jawab. Orang muda menerima dan mengambil
tanggung jawab dirinya.
6. Menahan. Orang muda memiliki keyakinan akan pentingnya
untuk tidak menggunakan alkohol atau obat berbahaya lainnya.
Kompeten 1. Perencanaan dan pengambilan keputusan. Orang muda tahu
si Sosial bagaimana merencanakan masa depan dan membuat atau
memutuskan pilihan dengan baik dan tepat.
2. Kompetensi interpersonal. Orang muda memiliki rasa empati,
kepekaan, dan persahabatan.
3. Kompetensi budaya. Orang muda tahu dan merasa nyaman
dengan orang-orang dari kultur / latar belakang etnis yang
berbeda.
4. Keterampilan menahan diri. Orang muda dapat menolak
tekanan teman sebaya yang negatif atau pun situasi berbahaya.
5. Penyelesaian konflik secara damai. Orang muda berusaha
untuk menyelesaikan konflik.
Identitas 1. Kekuatan pribadi. Orang muda merasa ia memiliki kontrol atas
positif hal-hal yang terjadi pada dirinya.
2. Harga diri. Orang muda memiliki harga diri yang tinggi.
3. Tujuan . Orang muda mengungkapkan bahwa hidupnya
memiliki tujuan.
4. Pandangan positif tentang masa depan pribadi. Anak muda
optimis tentang masa depan pribadinya.
DAFTAR PUSTAKA

Cowie, H., & Jennifer, D. (2009). Penanganan Kekerasan Di Sekolah. Jakarta:

Indeks.

Ester. (2013). Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. [Online]. Tersedia:

http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-

seksual-anak--579268.html [22 Februari 2014]

Fahanshah, Deviana. (2012). “Profil Bullying Remaja Putri dan Implikasinya Bagi

Program Bimbingan Pribadi Sosial di Sekolah”. Skripsi PPB FIP UPI

Bandung: Tidak Diterbitkan

Gerldard, K. (2012). Konseling Remaja, Interensi Praktis bagi Remaja Beresiko.

Yogyakar\ta: Pustaka Pelajar

Nevid, J.S., et.al. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga

Praptiani, S. (2013). "Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Agresivitas Remaja

Dalam Menghadapi Konflik Sebaya dan Pemaknaan Gender." Jurnal

Sains dan Praktik Psikologi. I (1), 01- 13

Rakhmawati, E. (2013). "Pengaruh Layanan Bimbingan Kelompok Terhadap

Perilaku Bullying Pada Siswa Kelas VII SMP H Isriati Semarang

Tahun Pelajaran 2 2009/2010." Jurnal Penelitian PAUDIA. 2 No. 1

Rigby & Phillip Slee. (1994).

SCHOOL Questionnaires ON bullying and harassment. [Online].

Terdapat:

http://www.decd.sa.gov.au/speced2/files/links/Draft_for_web_School_Que

st.pdf. [1 April 2014].


Sciarra, Daniel T. 2004. School Counseling: Foundation and Contemporary

Issues. Canada: Thomson Brooks/Cole

Smith & Sharp. (1994). School Bullying. London: Routledge

Wideranto, H. (2012). “Teknik Role Playing untuk Mengurangi Perilaku Bullying

Siswa”. Skripsi PPB FIP UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Yayasan Sejiwa. (2008). Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan.

Jakarta: Grasindo.

Yayasan Sejiwa. (2012). Pelatihan. [Online]. Tersedia: http://sejiwa.org/sejiwa-

programme/training/. [22 Februari 2014]

Yayasan Semai Jiwa Aminin (SEJIWA). 2010. Penelitian Mengenai Kekerasan di

Sekolah. (Online). Tersedia: http://sejiwa.org/. [7 April 2014].

Yayasan Semai Jiwa Aminin (SEJIWA). 2013. Data Korban MOS (2007-2013).

(Online). Tersedia: http://sejiwa.org/. [7 April 2014].

Anda mungkin juga menyukai