LP Fraktur Humerus
LP Fraktur Humerus
“FRAKTUR HUMERUS”
Di Ruang 20 RSUD dr.SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh :
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR HUMERUS
A. DEFINISI
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang,
ulna dan radius.
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada
tulang humerus.
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah mekanisme
trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat
terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda
motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri
pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat
dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.
B. ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma dapat bersifat:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang meny ebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat meny ebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang
C. KLASIFIKASI
1. Fraktur suprakondilar humerus
a. Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi,
lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini menyebabkan fraktur pada
suprakondilar, fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi
keanterior dari fragmen proksimalnya.
b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam keadaan fleksi,
sedang lengan bawah dalam keadaan pronasi. Hal ini megakibatkan
fragmen distal humerus mengalami dislokasi keposterior dari fragmen
proksimalnya.
Hal ini akan menyebabkan komplikasi jika terjadi penekanan pada arteri
brakialis yang disebut dengan iskemia volkmanss. Timbulnya sakit,
denyut arteri radialis berkurang, pucat, rasa kesemutan, dan kelumpuhan.
2. Fraktur interkondilar humerus
Pada fraktur ini bentuk garis patah yang terjadi berupa bentuk huruf Y atau
T. Nampak didaerah sibu tampak jejas pembengkakan, kubiti varus atau
kubiti valgus.
3. Fraktur batang humerus
Biasanya terjadi pada penderita dewasa, terjadinya karena trauma
langsung yang menyebabkan garis patah transversal atau kominutif.
Terjadi functio laesa lengan atas yang cedera, untuk menggunakan siku
harus dibantu oleh tangan yang sehat
4. Fraktur kolum humerus
Sering terjadi pada wanita tua karena osteoporosis. Biasanya berupa
fraktur impaksi. Ditandai dengan sakit didaerah bahu tetapi fungsi lengan
masih baik karena fraktur impaksi merupakan fraktur yang stabil.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini
merupakan dasar penyembuhan tulang
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum tanda dan gejala fraktur yang terjadi biasanya seperti menurut
M. Clevo & Margareth, tahun 2012 :
1. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambanh rasa nyeri.
Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri
2. Bengkak dan nyeri tekan: edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi
seperti :
i. Rotasi pemendekan tulang
ii. Penekanan tulang
4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstermitas yang tidak alami
5. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
6. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
7. Tenderness/keempukan
8. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
9. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
10. Pergerakan abnormal
11. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
12. Krepitas
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.
2. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan
siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat
membantu pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur
patologis harus diingat. CT-scan, bone-scan dan MRI jarang diindikasikan,
kecuali pada kasus dengan kemungkinan fraktur patologis.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks.
H. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat ditangani
secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi,
pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai
300 masih dapat ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya
pada patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti
dengan fiksasi interna.
Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban pada
lengan dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis tengah.
Hanging cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan siku
fleksi 90° dan bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar leher
pasien. Cast (pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut
pendek (short cast) dari bahu hingga siku atau functional polypropylene
brace selama ± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan
pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi aktif
ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami union
sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami
union, hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami
konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien
harus dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus
dilakukan operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi
konservatif:
a. Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan
pada fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi
relatif karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada
saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah
diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas.
Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma.
Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami union.
b. Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint
memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih
kecil daripada hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan
collar dan cuff. Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut fraktur
shaft humerus dengan pemendekan minimal dan untuk jenis fraktur
oblik pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan penggunaan
hanging arm cast. Kerugian coaptation splint meliputi iritasi aksilla,
bulkiness dan berpotensial slippage. Splint seringkali diganti dengan
fuctional brace pada 1-2 minggu pasca trauma.
c. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak
dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi
pilihan. Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang
minimal atau fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan
reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2
minggu pasca trauma.
d. Shoulder spica cast
Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan abduksi
dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi kesulitan
aplikasi cast, berat cast dan bulkiness, iritasi kulit, ketidaknyamanan
dan kesusahan memposisikan ektremitas atas.
e. Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan
mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada
sendi yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu
pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau coaptation
splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini meliputi
cedera massif jaringan lunak, pasien yang tidak dapat dipercaya dan
ketidakmampuan untuk mempertahankan asseptabilitas reduksi. Collar
dan cuff dapat digunakan untuk menopang lengan bawah; aplikasi sling
dapat menghasilkan angulasi varus (kearah midline).
2. Tindakan operatif
Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman,
membosankan dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan
hal ini kadang-kadang cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang
perlu diingat bahwa tingkat komplikasi setelah internal fiksasi pada
humerus tinggi dan sebagian besar fraktur humerus mengalami union tanpa
tindakan operatif.
Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan, diantaranya:
Cedera multiple berat
Fraktur terbuka
Fraktur segmental
Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
Fraktur patologis
Siku melayang (floating elbow) – pada fraktur lengan bawah
(antebrachi) dan humerus tidak stabil bersamaan
Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
Non-union
I. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
1. Kerusakan arteri: pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cianosis bagian distal, hematoma yang lebar
dan dingin pada ekstermitas
2. Kompartement syndrom
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang,
saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
3. Fat embolism syndrom
Yang paling sering terjadi pada fraktur tulang panjang. Terjadi karena sel-
sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk kealiran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, tachypnea, demam
4. Infeksi: jika sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
5. Avaskuler nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang
6. Shock: karena kehilangan banyak darah
1. Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung karena penurunan suplai darah ke tulang.
2. Nonunion
Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Ditandai dengan
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthritis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Penyembuhan tulang yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimmobilisasi yang baik.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien dan isi identitasnya yang meliputi:
nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, dan tanggal
pengkajian serta siapa yang bertanggung jawab terhadap klien
2. Keluhan utama
Penderita biasanya mengeluh nyeri.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang apa pernah
mengalami tindakan operasi apa tidak.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka (pre/post
op).
c. Riwayat kesehatan keluarga
Didalam anggota keluara tidak / ada yang pernah mengalami penyakit
fraktur / penyakit menular.
4. Keadaan umum
Kesadaran: compos mentis, somnolen, apatis, sopor koma dan koma dan
apakah klien paham tentang penyakitnya.
5. Pengkajian Kebutuhan Dasar
a. Rasa nyaman/nyeri
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi),
tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
b. Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c. Kebersihan Perorangan
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri.
d. Cairan
Perdarahan dapat terjadi pada klien fraktur sehingga dapat
menyebabkan resiko terjadi kekurangan cairan.
e. Aktivitas dan Latihan
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena dimana Aktifitas dan
latihan mengalami perubahan/gangguan akibat adanya luka sehingga
perlu dibantu.
f. Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
g. Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
h. Neurosensory
Biasanya klien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan
jaringan lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke dalam
jaringan.
Gejala : Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan.
i. Keamanan
Tanda dan gejala : laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan local
j. Seksualitas
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
k. Keseimbangan dan Peningkatan Hubungan Resiko serta Interaksi
Sosial
Psikologis : gelisah, sedih, terkadang merasa kurang sempurna.
Sosiologis : komunikasi lancar/tidak lancar, komunikasi
verbsl/nonverbal dengan orang terdekat/keluarga, spiritual tak/dibantu
dalam beribadah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme
otot sekunder.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas
jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
3. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi pada lengan atas.
4. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan
penurunan kekuatan lengan atas.
5. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée
luka operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan
menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin
timbul secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu
program latihan.
Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan
merangsang pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat
pathogen dan infeksi yang terjadi.
Adi Mahartha Gde Rastu, Dkk. 2013. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14484&val=9
70diakses senin 28-12-2-15 (12:20)
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta
Mansjoer Arif, dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Smeltzer. 2001 .Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and Suddarth. Jakarta: EGC