MATEMATIKA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat dan Ilmu
Matematika
Dosen : Prof. Wahyudin
Oleh:
Rahman Dani (17102009)
M Yusuf F (17102028)
Sri Rahayu S (17102033)
Resya M (17102017)
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka
tujuan pada makalah ini adalah untuk mengetahui dan menelaah:
1. Pengertian rasionalisme.
2. Pengertian empirisisme.
3. Persamaan dan perbedaan antara rasionalisme dan empirisme.
4. Filsafat matematika rasionalisme plato dan empirisisme aristoteles.
5. Pandangan imanuel kant dan john stuart mill terhadap rasionalisme dan
empirisisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RASIONALISME
Rasionalisme adalah satu aliran filsafat yang dapat dianggap sebagai upaya
untuk memperluas metodologi yang dipersepsi dari matematika ke seluruh ilmu
pengetahuan. Para rasionalis terkesan dengan fondasi kokoh yang dimiliki
matematika yang dilandaskan pada rasionalitas murni. Sains, etika dan sebagainya
harus pula dikembangkan dengan memberikan demonstrasi-demonstrasi ketat dari
penalaran semata bagi pernyataan-pernyataannya. pandangan ini dapat ditelusuri ke
Plato dan bertahan pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 dalam tulisan tulisan
Descrates, Baruch Spinoza dan Leibniz.
Secara etimologis menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata
bahasa Inggris rationalims, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari
bahasa Latin ratio yang berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang
bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan aksioma dasar yang
dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut
anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia
mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak
menciptakannya, tetapi mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya
sudah ada “ di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip,
maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip
itu tidak ada, orang tidak mungkinkan dapat menggambarkannya. Prinsip
dianggap sebagai sesuatu yang a priori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan
dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila
ditinjau dari prinsip tersebut. Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh
banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap
dalam satu koridor yang sama.
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis seperti Plato
sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme‟ atau „platonisme‟ ,
René Descartes (1590 – 1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern.
Semboyannya yang terkenal adalah “cotigo ergo sum” (saya bepikir, jadi saya
ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J. Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723
– 1790), Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza.
Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke 18 nama-nama seperti
Voltaire, Diderot dan D‟Alembert adalah para pengusungnya.
Dalam aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal lah yang mememnuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum
dan yang perlu mutlak. Berikut adalah tokoh-tokoh yang ada pada aliran
rasionalisme yaitu:
1. Rene Descartes (1596-1650)
Yang memberi alas kepada aliran ini rasionalisme ini ada Rene Descartes Atau
Cartesius (1596-1650) yang juga disebut ”Bapa Filsafat Modern”. Semula ia belajar
pada sekolah Yesuit dan kemudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu
alam. Baru pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya.
Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu Ilahi, yang isinya
memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa
bandingnya, serta harus disusun oleh satu orang sebagai satu bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai
yang benar adalah apa yang jels dan terpilah (clear and distinctly), artinya, bahwa
gagasan-gagasan/ide-ide seharusnya dapat dibedakan dengen presis dari gagasan-
gagasan atau ide-ide yang lain. Bukanlah maksud Descartes untuk mendirikan
filsafatnya diatas asas yang logis abstrak, sebab ia memperhatikan sekali kepada
realitas yang ada. Sedang asa yang pertama adalah suatu dalil yang eksistensial.
Ilmu pasti menjadi suatu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang
maju. Sekalipun demikian ilmu pasti bukanlah metode yang sebenarnya bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling
jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sndiri adalah lebih umum. Segala
gagasan yang kita kenal dari kebiasaan dan perwarisan atau dari kecenderungan,
baru bernilai. Jikalau secara metodis diperkembangkan dari instuisi yang murni.
Kebenaran memang ada, dan kebenaran dapat dikenal, asal jiwa kita berusaha
untuk membebaskan diri dari isinya yang semula. Meniadakan jalan dari luar ke
dalam dan mulai lagi dengan jalan dari dalam ke luar. Seperti yang dikemukakan
diatas yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-
pilah.
Sebagai contoh kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat
pakaiannya, dll. Apa yang kita duga, kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita
ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita yang terdapati di dalam rasio atau
akal. Descartes diharukan oleh ketidak pastian yang terdapat pada zaman itu.
Pemikiran skolastik, seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana
harus menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan Positif yang dihadapinya. Ternyata
bahwa wibawa Aristoteles yang terdapat di dalam skolastik itu menghambat ilmu
pengetahuan. Juga bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renaissance, yang
sering saling bertentangan, tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu
pengetahuan tadi. Pada waktu itu pemikiran orang masih terlalui dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan. Seolah-olah Descartes merasa terdorong untuk membebaskan
diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan filsafati yang ada pada
zamannya. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia harus memiliki suatu pangkal
pemikiran yang pasti. Pangkal pemikiran yang pasti itu menurut dia adalah melalui
keragu-raguan.
Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku
meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-
ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo
sum).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang
pertama (primum philosophicum). Aku berada karena aku berpikir. Jadi aku adalah
suatu yang berpikir cogito (aku berpikir) adalah pasti, sebab cogito “jelas dan
terpilah-pilah”.
Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan terpilah-pilah adalah pengertian
“Allah” sebagai tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau berada dimana-
mana/ di dalam roh kita ada suatu pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya.
Oleh karena kita sendiri adalah makhluk yang terbatas. Maka tidak mungkin bahwa
pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya itu adalah hasil pemikiran kita
sendiri.
Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan yang tidak
dapat mati. Jika memiliki pemikiran sebagai sifat asasinya. Tubuh memiliki sifat
asasiya keluasan.
Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupan, sehingga
tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipikirkan seperti
itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah.
Yang disebut Modus (Jamak Modi) adalah segala sifat substansi yang tidak
mutlak perlu dan yang dapat berubah. Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Jelas
juga bahwa roh atau jiwa memiliki sebagai sifat asasinya pemikiran
(cogitation), dan memiliki sebagai modinya pikiran-pikiran individual, gagasan-
gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya
berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang sifat asasi benda
adalah keluasan. Manusia bukanlah tujuan penciptaan dan juga bukan menjadi
pusatnya. Umat manusia mewujudkan suatu organisme yang besar, sedang
perorangan adalah bagian dari keseluruhan. Oleh karena itu jika perlu, perorangan
harus mau berkorban demi kebaikan keseluruhan umat manusia.
Arti Descartes terletak di sini, bahwa ia telah memberi suatu arah yang pasti
kepada pemikiran modern, yang menjadikan orang dapat mengerti aliran-aliran
filsafat yang timbul kemudian daripada dia, yaitu idealisme dan positivisme.
4. Spinoza (1632-1677 M)
Didalam etikanya Spinoza mulai dengan menguraikn hal afek-afek atau
perasaan-perasaan. Segala perasaan atau afek lainnya diturunkan dari ketiga
perasaan. Pertama-tama yang diturunkan dari rasa gilang adalah kasih (amor),
sedang yang dirutunkan dari rasa sedih adalah kebencian (odium). Lebih kemudian
diturunkan lagi rasa kagum (admiratio) dari pada kasih dan penghinaan
(conteniptus) dari pada kebencian.
Latar belakang pemikran Spinoza ini adalah pengertian aktivitas. Aktivitaslah
yang dapat membawanya kepada kesempurnaan. Tujuan pengenalan segala
perasaan tadi adalah untuk menguasainya. Barang siapa mengenal akan segala
perasannya, ia akan melihat gejala-gejala, perasaan-perasaan itu dalam
hubungannya sehingga ia juga akan menguasainya. Di dalam perealisasian diri
dalam kasih yang akali inilah manusia berusaha menuju kepada Allah (amor Dei
intellectualis).
Ajaran Spinoza di bidang metafisika menunjukkan kepada suatu ajaran Monistis
yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan, mewujudkan
suatu substansi tunggal. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal
memiliki suatu subyek tunggal dan suatu predikat tunggal, sehingga harus
disimpulkan, bahwa segala hubungan dan kejamakan adalah semu.
B. EMPIRISME
Empirisme secara etimologis menurut Bagus (2002) berasal dari kata bahasa
Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani
έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman
dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut Lacey (2000)
berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filasuf yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri,
dan mengecilkah peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani,
Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, Empirisme
adalah lawan Rasionalisme.
Filsafat Empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran
positivisme logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan
tetapi teori makna dari empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran. Materi sebagai gelombang pengalaman
kesadaran. Materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan
kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori yang kedua yaitu teori pengetahuan. Menurut orang rasionalis ada
bebreapa kebenaran umum. Seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-
dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu
benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang
diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolah pendapat itu. Tidak ada
kemampuan intuisi rasional, semua kebenaran yang disebut tdai adalah kebenaran
yang diperoleh lewat obeservasi jadi ia kebenaran a poseriori.
Diantara tokoh dan pengikut aliran Empirisme adalah Francis Bacon, Thomas
Hobbes, John Lock dan lainnya.
1. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diterima orang melalui persentuah inderawi dengan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah
dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya kita sudah terlalu lama dipengaruhi
oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Itu tidak benar,
haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit mengelompokkan, itulah tugas
ilmu pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan yaitu:
1. Rasionalisme adalah satu aliran filsafat yang dapat dianggap sebagai upaya
untuk memperluas metodologi yang dipersepsi dari matematika ke seluruh
ilmu pengetahuan. Para rasionalis terkesan dengan fondasi kokoh yang
dimiliki matematika yang dilandaskan pada rasionalitas murni. Sains, etika
dan sebagainya harus pula dikembangkan dengan memberikan demonstrasi-
demonstrasi ketat dari penalaran semata bagi pernyataan-pernyataannya.
pandangan ini dapat ditelusuri ke Plato dan bertahan pada abad ke-17 dan
awal abad ke-18 dalam tulisan tulisan Descrates, Baruch Spinoza dan
Leibniz. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis
seperti Plato sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme‟
atau „platonisme‟ , René Descartes (1590 – 1650) yang juga dinyatakan
sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah “cotigo
ergo sum” (saya bepikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J.
Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723 – 1790), Gottfried Wilhelm von
Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Perkembangan pengetahuan
mulai pesat pada abad ke 18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan
D‟Alembert adalah para pengusungnya.
2. Empirisime yaitu suatu pandangan bahwa pengalaman inderawi, dan
bukanlah penalaran murni, yang merupakan sumber bagi pengetahuan.
Pandangan ini dapat ditelusuri ke Aristoteles. Dilanjutkan oleh para penulis
lainnya seperti John Locke, George Barkeley, David Hume, dan John Stuart
Mill. Tradisi empirisisme diwariskan kepada para penganut positivisme
logis dan tokoh-tokoh lingkaran Vienna, termasuk Moritz Schick, Rudolf
Carnap dan A. J. Ayer, dan bermuara saat ini dalam karya Bas van Fraassen
dan W. V. O. Quine.