Anda di halaman 1dari 24

RASIONALISME DAN EMPIRISISME DALAM FILSAFAT

MATEMATIKA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat dan Ilmu
Matematika
Dosen : Prof. Wahyudin

Oleh:
Rahman Dani (17102009)

M Yusuf F (17102028)
Sri Rahayu S (17102033)
Resya M (17102017)

PROGRAM STUDI MEGISTER PENDIDIKAN


MATEMATIKA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (STKIP) SILIWANGI BANDUNG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Matematika dalam perkembangannya sampai tingkatan tertentu memiliki
keterkaitan dengan filsafat. Penjelasan mengenai makna kehidupan dan bagaimana
seharusnya kita menjalaninya merupakan masalah yang klasik, yang hingga
sekarang susah untuk ditetapkan filsafat mana yang paling benar yang seharusnya
kita anut. Para filsuf tersebut menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga
menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Antara aliran atau paham yang satu dan
yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar
sama. Meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru
dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh
filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan persoalan yang sedang kita hadapi.
Dalam memahami filsafat sesungguhnya menelusuri dan mengkaji suatu pemikiran
mendasar dan tertua yang mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistem filsafat
berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir filsafat.
Ada kalanya kita harus mengenal aliran-aliran dan beberapa tokoh filsuf dalam
matematika yang mencetuskan aliran tersebut. Seperti aliran Rasionalisme,
Empirisisme dan sebagainya. Pengetahuan seperti ini harus dikaji lebih mendalam.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan menuangkannya ke dalam
makalah yang berjudul “ Rasionalisme dan Empirisisme dalam Filsafat
Matematika”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya
maka rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan rasionalisme?
2. Apa yang dimaksud dengan empirisisme?
3. Apa persamaan dan perbedaan antara rasionalisme dan empirisme?
4. Bagaimana filsafat matematika rasionalisme plato dan empirisisme
aristoteles?
5. Bagaimana pandangan imanuel kant dan john stuart mill terhadap
rasionalisme dan empirisisme?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka
tujuan pada makalah ini adalah untuk mengetahui dan menelaah:
1. Pengertian rasionalisme.
2. Pengertian empirisisme.
3. Persamaan dan perbedaan antara rasionalisme dan empirisme.
4. Filsafat matematika rasionalisme plato dan empirisisme aristoteles.
5. Pandangan imanuel kant dan john stuart mill terhadap rasionalisme dan
empirisisme.
BAB II
PEMBAHASAN

Di sepanjang sejarah para filsuf tertarik secara khusus kepada matematika.


Sebuah kisah, pada gerbang akademi plato tertera pesan “Barang siapa awam
geometri dilarang masuk”.
Filsafat platonik memandang matematika sebagai pelatihan yang tepat
untuk memahami alam semesta sejati, bukan sebagaimana alam semesta yang
tampak. Plato tiba pada pandangan-pandangan demikian dengan merenungkan
tempat matematika dalam pengumpulan pengetahuan rasional.
Pada masa itu, pengelompokan institusi-institusi akademi secara ekstensif.
Tokoh-tokoh seperti Rene Descartes, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Blaise Pascal
merupakan tokoh matematikawan dan juga merupaka filsuf. Pada masa kini pun
kita mengenal Bernard Bolzano, Bertrand Russel, Alfred North Whitehead, David
Hilbert, Gottlob Frege, Alonzo Church, Kurt Godel, dan Alfred Tarski. Sampai
baru-baru ini banyak setiap filsuf menyadari nilai penting matematika dan memiliki
ketertarikan profesional terhadapnya.

A. RASIONALISME
Rasionalisme adalah satu aliran filsafat yang dapat dianggap sebagai upaya
untuk memperluas metodologi yang dipersepsi dari matematika ke seluruh ilmu
pengetahuan. Para rasionalis terkesan dengan fondasi kokoh yang dimiliki
matematika yang dilandaskan pada rasionalitas murni. Sains, etika dan sebagainya
harus pula dikembangkan dengan memberikan demonstrasi-demonstrasi ketat dari
penalaran semata bagi pernyataan-pernyataannya. pandangan ini dapat ditelusuri ke
Plato dan bertahan pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 dalam tulisan tulisan
Descrates, Baruch Spinoza dan Leibniz.
Secara etimologis menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata
bahasa Inggris rationalims, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari
bahasa Latin ratio yang berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang
bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan aksioma dasar yang
dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut
anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia
mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak
menciptakannya, tetapi mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya
sudah ada “ di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip,
maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip
itu tidak ada, orang tidak mungkinkan dapat menggambarkannya. Prinsip
dianggap sebagai sesuatu yang a priori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan
dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila
ditinjau dari prinsip tersebut. Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh
banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap
dalam satu koridor yang sama.
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis seperti Plato
sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme‟ atau „platonisme‟ ,
René Descartes (1590 – 1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern.
Semboyannya yang terkenal adalah “cotigo ergo sum” (saya bepikir, jadi saya
ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J. Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723
– 1790), Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza.
Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke 18 nama-nama seperti
Voltaire, Diderot dan D‟Alembert adalah para pengusungnya.
Dalam aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal lah yang mememnuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum
dan yang perlu mutlak. Berikut adalah tokoh-tokoh yang ada pada aliran
rasionalisme yaitu:
1. Rene Descartes (1596-1650)
Yang memberi alas kepada aliran ini rasionalisme ini ada Rene Descartes Atau
Cartesius (1596-1650) yang juga disebut ”Bapa Filsafat Modern”. Semula ia belajar
pada sekolah Yesuit dan kemudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu
alam. Baru pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya.
Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu Ilahi, yang isinya
memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa
bandingnya, serta harus disusun oleh satu orang sebagai satu bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai
yang benar adalah apa yang jels dan terpilah (clear and distinctly), artinya, bahwa
gagasan-gagasan/ide-ide seharusnya dapat dibedakan dengen presis dari gagasan-
gagasan atau ide-ide yang lain. Bukanlah maksud Descartes untuk mendirikan
filsafatnya diatas asas yang logis abstrak, sebab ia memperhatikan sekali kepada
realitas yang ada. Sedang asa yang pertama adalah suatu dalil yang eksistensial.
Ilmu pasti menjadi suatu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang
maju. Sekalipun demikian ilmu pasti bukanlah metode yang sebenarnya bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling
jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sndiri adalah lebih umum. Segala
gagasan yang kita kenal dari kebiasaan dan perwarisan atau dari kecenderungan,
baru bernilai. Jikalau secara metodis diperkembangkan dari instuisi yang murni.
Kebenaran memang ada, dan kebenaran dapat dikenal, asal jiwa kita berusaha
untuk membebaskan diri dari isinya yang semula. Meniadakan jalan dari luar ke
dalam dan mulai lagi dengan jalan dari dalam ke luar. Seperti yang dikemukakan
diatas yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-
pilah.
Sebagai contoh kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat
pakaiannya, dll. Apa yang kita duga, kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita
ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita yang terdapati di dalam rasio atau
akal. Descartes diharukan oleh ketidak pastian yang terdapat pada zaman itu.
Pemikiran skolastik, seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana
harus menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan Positif yang dihadapinya. Ternyata
bahwa wibawa Aristoteles yang terdapat di dalam skolastik itu menghambat ilmu
pengetahuan. Juga bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renaissance, yang
sering saling bertentangan, tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu
pengetahuan tadi. Pada waktu itu pemikiran orang masih terlalui dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan. Seolah-olah Descartes merasa terdorong untuk membebaskan
diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan filsafati yang ada pada
zamannya. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia harus memiliki suatu pangkal
pemikiran yang pasti. Pangkal pemikiran yang pasti itu menurut dia adalah melalui
keragu-raguan.
Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku
meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-
ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo
sum).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang
pertama (primum philosophicum). Aku berada karena aku berpikir. Jadi aku adalah
suatu yang berpikir cogito (aku berpikir) adalah pasti, sebab cogito “jelas dan
terpilah-pilah”.
Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan terpilah-pilah adalah pengertian
“Allah” sebagai tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau berada dimana-
mana/ di dalam roh kita ada suatu pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya.
Oleh karena kita sendiri adalah makhluk yang terbatas. Maka tidak mungkin bahwa
pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya itu adalah hasil pemikiran kita
sendiri.
Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan yang tidak
dapat mati. Jika memiliki pemikiran sebagai sifat asasinya. Tubuh memiliki sifat
asasiya keluasan.
Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupan, sehingga
tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipikirkan seperti
itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah.
Yang disebut Modus (Jamak Modi) adalah segala sifat substansi yang tidak
mutlak perlu dan yang dapat berubah. Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Jelas
juga bahwa roh atau jiwa memiliki sebagai sifat asasinya pemikiran
(cogitation), dan memiliki sebagai modinya pikiran-pikiran individual, gagasan-
gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya
berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang sifat asasi benda
adalah keluasan. Manusia bukanlah tujuan penciptaan dan juga bukan menjadi
pusatnya. Umat manusia mewujudkan suatu organisme yang besar, sedang
perorangan adalah bagian dari keseluruhan. Oleh karena itu jika perlu, perorangan
harus mau berkorban demi kebaikan keseluruhan umat manusia.
Arti Descartes terletak di sini, bahwa ia telah memberi suatu arah yang pasti
kepada pemikiran modern, yang menjadikan orang dapat mengerti aliran-aliran
filsafat yang timbul kemudian daripada dia, yaitu idealisme dan positivisme.

2. Gootfried Eihelm von Leibniz


Gootfried Eihelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada
tahun 1716 M. Ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan , dan sejarawan.
Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam
konsep monad.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza,
alam sesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara
substansi pada Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederahana
dapat dirumuskan ”sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus
mempunyai alasan untuk setiap yang dicintai-Nya. Leibniz berpendapat bahwa
substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi
itu monad. Setiap monad berbeda dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu
yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah
Pencipta monad-monad itu.

3. Blaise Pascal (1623-1662 M)


Orang ketiga yang kita bicarakan adalah Blaise Pascal (1623-1662). Yang
adalah seorang ahli ilmu pasti, ahli ilmu alam dan seorang filsuf. Ia berusaha untuk
membela agama kristen, yang mendapat serangan-serangan hebat karena pemikiran
modern ini. Di satu pihak ia sama halnya dengan Descartes, mencintai ilmu pasti
dan ilmu alam, akan tetapi di lain pihak ia menampakan perbedaan dengan
Descartes. Perbedaannya terletak pada pengertian tentang sifat ilmu alam jauh
melebihi Descartes. Ia menerima serta menerapkan metode induktif seperti yang
dipakai di dalam ilmu alah. Ilmu pasti bukan suatu ilmu yang metodenya harus
ditiru oleh seorang filsuf. Sebab seorang filsuf pertama-tama harus menyelami
keadaan manusia yang konkrit dihadapi, orang demi orang, bahwa realitas itu pada
hakekatnya adalah suatu rahasia.
Filsafat pascal mewujudkan suatu dialog diantara manusia yang konkrit dengan
Allah. Di dalam relitas hidup manusia terdapat tiga macam tertib, yaitu : tertib
bendawi, tertib rohani, dan tertib kasih. Pengetahuan didapatkan dari pengamatan
di dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa
yang obyektif. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gamabaran inderawi.
Kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih
tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.

4. Spinoza (1632-1677 M)
Didalam etikanya Spinoza mulai dengan menguraikn hal afek-afek atau
perasaan-perasaan. Segala perasaan atau afek lainnya diturunkan dari ketiga
perasaan. Pertama-tama yang diturunkan dari rasa gilang adalah kasih (amor),
sedang yang dirutunkan dari rasa sedih adalah kebencian (odium). Lebih kemudian
diturunkan lagi rasa kagum (admiratio) dari pada kasih dan penghinaan
(conteniptus) dari pada kebencian.
Latar belakang pemikran Spinoza ini adalah pengertian aktivitas. Aktivitaslah
yang dapat membawanya kepada kesempurnaan. Tujuan pengenalan segala
perasaan tadi adalah untuk menguasainya. Barang siapa mengenal akan segala
perasannya, ia akan melihat gejala-gejala, perasaan-perasaan itu dalam
hubungannya sehingga ia juga akan menguasainya. Di dalam perealisasian diri
dalam kasih yang akali inilah manusia berusaha menuju kepada Allah (amor Dei
intellectualis).
Ajaran Spinoza di bidang metafisika menunjukkan kepada suatu ajaran Monistis
yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan, mewujudkan
suatu substansi tunggal. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal
memiliki suatu subyek tunggal dan suatu predikat tunggal, sehingga harus
disimpulkan, bahwa segala hubungan dan kejamakan adalah semu.

B. EMPIRISME
Empirisme secara etimologis menurut Bagus (2002) berasal dari kata bahasa
Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani
έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman
dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut Lacey (2000)
berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filasuf yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri,
dan mengecilkah peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani,
Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, Empirisme
adalah lawan Rasionalisme.
Filsafat Empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran
positivisme logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan
tetapi teori makna dari empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran. Materi sebagai gelombang pengalaman
kesadaran. Materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan
kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori yang kedua yaitu teori pengetahuan. Menurut orang rasionalis ada
bebreapa kebenaran umum. Seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-
dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu
benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang
diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolah pendapat itu. Tidak ada
kemampuan intuisi rasional, semua kebenaran yang disebut tdai adalah kebenaran
yang diperoleh lewat obeservasi jadi ia kebenaran a poseriori.
Diantara tokoh dan pengikut aliran Empirisme adalah Francis Bacon, Thomas
Hobbes, John Lock dan lainnya.
1. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diterima orang melalui persentuah inderawi dengan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah
dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya kita sudah terlalu lama dipengaruhi
oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Itu tidak benar,
haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit mengelompokkan, itulah tugas
ilmu pengetahuan.

2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)


Menurut Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai
permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah
yang merupakan kebenaran. Pengetahuan interlektual (rasio) tidak lain hanyalah
merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.
Pengikut aliran Empirisme yang lain diantaranya : John Locke (1632-1704 M),
David Hume (1711-1776 M), Georger Berkeley (1665 – 1753 M).

3. John Locke (1632-1704 M)


Ia adalah filosuf Inggris yang banyak mempelajarai agama Kristen. Filsafat
Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang
diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descaretes.
Ia juga menolak metoda deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason).
Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan
metode induksi.
Buku Locke, Essay Concerming Human Understanding (1689 M), ditulis
berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini
berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea untuk konsep tentang sesuatu yang
berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang
diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate ide; termasuk
apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and Distinict Idea. Adequate idea dari
Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan)
itu tidak ada. Inilah argumennya.
a. Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada.
Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti
ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini.
Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana
pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan
kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian
asli
b. Persetujuan uum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat
disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru saya jaidkan alasan
untuk mengatakan ia tidak ada
c. Persetujuan umum membuktinkan adanya innate idea
d. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah meungkin diakui dan sekaligus juga
tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya
jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada
e. Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide yang
innate itu tidak ada padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapnya substansi ialah pengertian tentang
obyek sebagai idea tentang obyek itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan
masukan dari indera. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan bahwa idea
itu adalah substansi obyek, substansi kita tidak tahu.
Persoalan substansi agaknya adalah persoalan metafisika sepanjang masa;
Berkeley dan Hume masih juga membicarakannya.
4. David Hume (1711-1776 M)
Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic, skeptic tingkat tertinggi.
Ia dibicarakan di sini sebagai seorang skeptis, dan terutama sebagai seorang
empiris. Menurut Bertrans Russel, yang tidak dapat diragukan lagi pada Hume ialah
seorang skeptis.
Buku Hume, Treatise of Human Nature (1739 M), ditulisnya tatkala ia masih
muda, yaitu tatakala ia berumur dua puluh tahunan bagian awal. Buku itu tidak
banyak menarik perhatian orang, karenanya Hume pindah ke subyek lain, lalu ia
menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia
menulis buku yang memang terkenal. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Baik buku Treatise maupun buku Enquirykedua-duanya
menggunakan metoda Empirisme, sama dengan John Locke. Sementara Locke
hanya sampai pada idea yang kabur yang tidak jelas berbasi pada sensasi
(khususnya tentang substansi dan Tuhan), Hume lebih kejam.

5. Herbert Spencer (1820-1903 M)


Filsafat Herbet Spencer berpusat pada teori evolusi.sembilan tahun sebelum
terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859 M), Spencer
sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas
dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat
mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Secara prinsip pengenalan kita
hanya menyangkit relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala ada
sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the great unknowable).
Akhirnya Spencer mengatakan : idea-idea keilmuan pada akhirnya adalah
penyajian realistis yang tidak dapat dipahami”. Inilah yang dimaksud dengan the
great unknowable, teka-teki besar.

C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA RASIONALISME DAN


EMPIRISME
Terdapat dua aspek umum dalam realisme yang digambarkan dengan
melihat pada realisme mengenai dunia keseharian dari obyek makroskopik beserta
sifat- sifatnya. Aspek pertama, yaitu terdapat sebuah klaim tentang dimensi
eksistensi suatu obyek yang nyata (terlihat). Sementara itu, aspek yang kedua dari
realisme tentang dunia keseharian dari obyek makroskopis beserta sifat-sifatnya
memiliki dimensi kebebasan dalam hal kepercayaan yang dianut seseorang, bahasa
yang digunakan, skema konseptual, dan sebagainya (realisme generik).
Sifat dan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dari paham
realisme merupakan issu-issu yang hangat diperdebatkan dalam metafisik
kontemporer mengenai berbagai obyek dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Hume (1999) di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip pertautan
ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada
di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan, misalnya
apabila kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita
juga berpikir tentang adanya jendeka, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran
rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderwi sebelumnya. Ketiga, prinsip
sebab- akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit
akibatnya. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi
pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat a priori
seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun
menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan
kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Perbedaan antara rasionalisme dengan empiris secara umum adalah kalau pada
aliran rasionalisme pengetahuan itu berupa a priori, bersumber dari penalaran dan
pembuktian-pembuktian pada logika dan matematika melalui deduksi, sedangkan
pada aliran empirisisme pengetahuan bersumber pada pengalaman , terutama pada
pengetahuan dalam pembuktian- pembutiannya melalui eksperimentasi,
observasi, dan induksi.
Perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisisme oleh Immanuel Kant
diambil jalan tengahnya, yaitu Immanuel Kant mengajukan sintesis a priori.
Menurutnya pengetahuan yang benar bersumber rasio dan empiris yang sekaligus
bersifat a priori dan a posteriori. Sebagai gambaran, kita melihat suatu benda
dikarenakan mata kita melihat ke arah benda tersebut (rasionalisme) dan benda
tersebut memantulkan sinar ke mata kita (empirisme).
Menurut Edward (1967) secara terminologi rasionalisme dipandang sebagai
aliran yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengalaman inderawi.
Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua
pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan
yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat
menurunkan kebenaran dari diri sendiri, yaitu atas dasar asas-asas petama yang
pasti.
Menurut Kattsoff (2004) rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman,
melainkan hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Karenanya aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesehatan terletak pada ide, dan
bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai
ide yang sesuai dengan atau dengan yang menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan
akal saja.
Persamaan antara rasionalisme dan empirisme adalah rasio dan indra
manusia sama-sama berperan dalam pembentukan pengetahuan.

D. FILSAFAT MATEMATIKA RASIONALISME PLATO DAN


EMPIRISISME ARISTOTELES
1. Rasionalisme Plato
Rasionalisme sesungguhnya telah muncul dalam pemikiran-
pemikiran plato. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa
yang disebut sebagai efisteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah,
sesuai dengan ide-ide abadi. Oleh karena itu, apa yang kita tangkap melalui
panca indra hanya merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi.
Hanya ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Segala hal lain
hanya tiruan dan karena itu tidak nyata dan tidak sempurna. Dengan kata
lain, manusia mengenal dan mengetahui bayangan itu melalui ide abadi.
Maka pengetahuan bagi plato, adalah hasil ingatan yang melekat pada
manusia. Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah
diketahui dalam ide abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan
terpendam dalam benak manusia. Dengan demikian, untuk mengetahui
sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu, dan berarti untuk sampai pada
pengetahuan sejati, kita hanya mengandalkan akal budi yang sudah
mengenal ide abadi.
2. Empirisme Aristoteles
Empirisme sebagai suatu aliran dalam filsafat ilrnu merupakan lawan
dari rasionalme. Empirisme menjadikan pengalaman indra (emperia)
sebagai sumber kebenaran. Menurut Aristoteles, ilmu didapat dari hasil
kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak dan berubah.
Kemudian secara bertahap sampai pada kebenaran yang bersifat
“universal”. Dalam arti inilah Aristoteles dapat disebut sebagai salah
seorang eksponen empirisme, malah pada tahap awalnya.
Sebagian besar dari apa yang dikatakan oleh Aristoteles, salah seorang
murid plato, tentang matematika adalah polemik terhadap pandangan-
pandangan plato, dan tidak banyak konsesus diantara para pakar tentang
pernyataan-pernyataan positif yang diungkapkanya.

Filsafat Arostoteles tentang matematika bertumpu pada penolakan


terhadap suatu dunia yang tersendiri. Aristoteles menerima eksistensi
bentuk-bentuk, atau universal-universal, tetapi dia berpandangan bahwa
semua itu tidak terpisah dari objek-objek individual yang mewakili bentuk-
bentuk.
Salah satu masalah bagi Aristoteles adalah bahwa jika kita ingin
menolak bentuk-bentuk platonik, maka apakah alasan untuk meyakini
keberadaan objek-objek matematis? Apakah sifat dari objek-objek
matematis (jika objek-objek itu ada), dan yang terpenting, untuk apakah kita
memerlukan objek-objek matematis? Apakah yang objek-objek itu bantu
jelaskan, dan apakah yang diterangkan oleh objek-objek itu?
Penjelasan Aristoteles tentang objek-objek matematis sesuai dengan
penjelasanya tentang bentuk-bentuk. Dia meyakini bahwa objek-objek
matematis “ada dalam objek-objek yang tampak” tidak terpisah darinya.
Namun demikian, tidak banyak konsensus mengenai apa sebenarnya yang
dimaksudkanya. Tentang geometri, aristoteles tampak memandang objek-
objek fisik memuat permukaan, garis, titik yang dipelajari dalam
matematika.
Terdapat dua interpretasi untuk pandangan Aristoteles tentang
matematika. Interpretasi yang pertama membahas objek-objek matematis
secara serius, dan kurang lebih secara harfiah. Berdasarkan interpretasi ini,
Aristoteles mempostulasikan suatu kemampuan abstraksi dimana objek-
objek diciptakan, atau, jika tidak demikian, diperoleh atau dipahami, dengan
cara merenungkan objek-objek fisik. Interpretasi yang kedua untuk
pernyataan-pernyataan Aristoteles tentang matematika meninggalkan
abstraksi ontologis, dan oleh karena itu menolak realisme dalam ontologi.
Tidak seperti pandangan plato, dua interpretasi untuk pandangan Aristoteleh
memaknai bahasa dinamis yang khas dalam geometri. Karena geometri
berkaitan dengan objek-objek fisik atau abstraksi-abstraksi langsung dari
objek-objek fisik, maka wacana tentang, misalnya, “mempersegikan dan
menerapkan dan menjumlahkan dan semuanya” menjadi wajar.

3. Pengaruh aliran Rasionalisme dan Empirisisme Terhadap Perkembangan


Filsafat Matematika
Filsafat matematika lahir di Yunani Kuno yang ditemukan dan
dikembangkan oleh para filsuf seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan juga
oleh beberapa filsuf pra- Socrates, masalah filsafat matematika ini masih
menjadi kajian filsuf-filsuf masa kini.
Pada abad ke-18 muncul salah seorang filsuf, yaitu Immanuel Kant
(Shapiro:2000) yang termotivasi oleh perselisihan antara rasionalisme
dan empirisisme yang mengungkapkan bahwa kebenaran-kebenaran
dari geometri, aritmetika, dan aljabar bersifat „sintetik a priori’, yang
berdasarkan pada ‘intuisi’. Selain Kant, muncul juga filsuf lain, yaitu John
Struat Mill yang dalam pandangannya bahwa matematika dan logika
berhubungan dengan perkara-perkara fakta. Mill menolak eksistnsi objek-
objek abstrak, dan dia berupaya membangun geometri pada observasi.
Pengertian dari filsafat matematika adalah suatu filosopi yang
menjelaskan kedua sifat fakta dan entitas matematika, dan cara di mana kita
memiliki pengetahuan tentang keduanya. Tujuan filsafat matematika
adalah untuk memberikan penjelasan tentang sifat dan metodologi
matematika dan untuk memahami tempat matematika dalam kehidupan
kita.
Menurut David Ross filsafat matematika adalah suatu studi filsafat
tentang konsep-konsep dan metode-metode matematika. Metode-metode
ini dikhususkan pada bilangan-bilangan, objek geometri dan konsep-
konsep matematika lainnya. Di antara ilmu-ilmu pengetahuan, matematika
mempunyai sebuah hubungan yang unik ke filsafat, karena jaman dahulu,
ahli filsafat sudah banyak berusaha untuk mengabdikan dalam
menjelaskan sifat alami matematika.
Pada jaman Yunani, filsafat pada matematika sangat dipengaruhi oleh
studi mereka yaitu geometri, sedangkan pada abad 20, filsafat matematika
menyangkut hubungan antara logika dan matematika dan ditandai dengan
minat yang dominan dalam logika formal, teori himpunan, dan isu-isu
mendasar.
Menurut Aristoteles (Annas:1976), menyatakan bahwa obyek
matematika seperti segitiga dan lingkaran adalah abstraksi dari percobaan,
yaitu dari interaksi kita dengan berbagai benda-benda yang kira-kira
berbentuk bulat yang membentuk konsep bola yang sempurna. Penalaran
tentang bola secara umum bermuara pada penalaran tentang bidang spesifik
yang kami temui, yaitu dengan sengaja kita mengabaikan fitur seperti
ukuran, berat, dan material. Disiplin inilah perilaku yang memastikan
bahwa kesimpulan secara umum, dan meskipun lingkungan bola yang
dijumpai dalam pengalaman kita tidak sempurna. Teori filosopis ini
contoh awal pemicu ketegangan antara Plato dan Aristoteles yang
memberikan keutamaan kepada konsep-konsep abstrak, dan orang-orang
yang memberikan keutamaan kepada pengalaman. Hal ini telah
membentuk dasar bagi perbedaan secara umum antara rasionalis dan
empiris antara filsuf awal modern, ini sebagai alasan pertama mengambil
matematika dan 'ide-ide bawaan' sebagai paradigma pengetahuan, dan yang
kedua mendasarkan perhitungan mereka tentang pengetahuan dalam ilmu-
ilmu empiris.
Berdasarkan pertentangan dan persamaan antara rasionalisme dan
empirisme memotivasi berkembanganya para filsuf dibidang matematika
sampai kini dengan berbagai alasannya dan juga berkembang berbagai
paham lainnya dalam filsafat matematika.

4. Dampak aliran Rasionalisme dan Empirisisme Terhadap Perkembangan


Ilmu Matematika

Menurut Kartasasmita dan Wahyudin (2009) Matematika dalam hal


ini geometri sudah mulai dikembangkan pada zaman Yunani klasik
sepanjang tahun 600 sampai 300 S.M., tetapi kenyataannya sejarah
matematika sendiri dimulai jauh sebelum itu. Matematika yang paling
kuno menurut Friberg (1981) adalah Plimpton 322 (Babel matematika c
1900 SM) di Moskow Mathematical Papyrus (matematika Mesir sekitar
1850 SM), dan Rhind Mathematical Papyrus (matematika Mesir sekitar
1650 SM), elanjutnya menurut Sitorus (1990) perkembangan matematika
tumbuh di pantai-pantai Asia kecil di Gerik dan Itali ditemukan oleh
seorang sudagar kaya dari Mesir, yaitu Thales ( 640 – 546 BC), ia
mempelajari Matematika mesir dan mengagumi piramida kemudian
menghitung tinggi piramida dengan bantuan bayangannya. Thales
mengambil sebuah tongkat, misalnya PQ, ia membuat lingkaran pusat P
jari-jari sama dengan PQ. Pada saat itu Thales melakukannya di pagi
hari yang cerah, sehingga bayangan Q jatuh tepat pada tepi lingkaran atau
bayangan PQ=PR, pada saat itu pula bayangan T jatuh di titik S,
sehingga KS dapat diukur. Berarti MS=TM=t tinggi piramida. Sebut MK
= AB = a (setengah alas piramida) dapat diukur. KS = b dapat diukur.
Jadi t = a + b. demikian metoda bayangan dari Thales. Thales adalah orang
pertama yang namanya dikaitkan dengan suatu penemuan, yakni dalil
Thales. Dalil Thales tersebut adalah garis-garis sejajar akan memotong
dua garis atas perbandingan-perbandingan seharga, misalnya AP : PB =
DQ : QC. Dalil ini masih dipelajari di SMP atau di SMA sekarang ini,
selain itu juga Thales orang pertama yang menemukan sifat-sifat geometri
seperti berikut ini:
1. Diameter membagi dua sama besar suatu lingkaran
2. Sudut alas suatu segitiga sama kaki, sama besar
3. Sudut siku yang dibentuk dua garis berpotongan tegaklurus sama besar
4. Dua segitiga kongruen jika dua sudut dan satu kaki yang
bersesuaian dari sudut itu, sama besar
Walaupun teori ini sederhana menurut kita sekarang, tetapi Thales
orang pertama yang menyusun teori ini bukan hanya berdasarkan
pengalaman (empiris) tetapi juga berdasarkan pemikiran yang logis (rasio).
Salah seorang yang mengembangkan matematika di Eropah pada
Abad 17 adalah Galileo Galilei, ia mengamati lampu gantung di Gereja
Pisa dan mendapatkan bahwa periode ayunan lampu tidak tergantung pada
panjang busur ayunannya dan membuktikan bahwa periode ayunan tidak
tergantung kepada beban bandulnya, dan penemuan lainnya yaitu bahwa
kecepatan benda jatuh tidak tergantung pada berat benda itu. Penemuan
Galileo ini memberi pandangan baru terhadap ilmu pengetahuan yaitu
keselarasan antara ekspeimen dengan teori.
Perkembangan cabang-cabang matematika mulai zaman sebelum
Masehi sampai sekarang seperti aritmetika, geometri kalkulus, aljabar,
statistik dan analisis beserta pembuktian-pembuktian yang telah
ditemukan oleh para ahli matematika dapat kita pelajari sampai sekarang.
Apabila kita mengkaji baik teori maupun bukti- bukti dari teorema-teorema
cabang-cabang matematika tersebut maka ini tidak terlepas dari
penemuan-penemuan para akhli matematika dan filsafat matematika
beserta paham yang dianutnya dalam hal ini adalah paham rasionalisme dan
empirisisme.
E. PANDANGAN IMANUEL KANT DAN JOHN STUART MILL
TERHADAP RASIONALISME DAN EMPIRISISME
Pada abad ke-17, tuntutan perkembangan ilmu fisika yang pesat memaksa
lahirnya cabang baru dan rekonsepsi konsep tradisional Matematika terkait analisis
hubungan geometri dengan aljabar dan aritmatika serta pengembangan kalkulus
untuk studi tentang gravitasi dan gerak. Hal ini karena konsep matematika terdahulu
tidak mampu menjelaskan tentang kontinuitas, turunan, dan limit.
Di masa itu, terdapat dua aliran filsafat yang berkembang: (1) rasionalisme,
yang mempercayai bahwa ilmu pengetahuan bersumber pada nalar seperti
Descartes, Baruch Spinoza, dan Leibniz penerus dari plato; dan (2) empirisme, yang
meyakini bahwa ilmu pengetahuan bersumber pada pengalaman inderawi seperti
john locke, George Berkeley, dan Thomas Reid.
Kaum rasionalis percaya bahwa semua pengetahuan harus didasarkan
penalaran. Para rasionalis sangat mengagumi matematika. Menurut kaum
rasionalis daya pikir manusia merupakan alat yang tangguh untuk penalaran secara
matematis menuju ke konklusi a priori tentang dunia fisik.. Rasionalis mempelajari
tentang ketidakcocokan objek-objek inderawi dan pasangan-pasangan
matematisnya. Sementara, menurut mereka yang menganut empirisme,
melandaskan pengetahuan pada pengalaman panca indera. Para empiris cenderung
tidak mengindahkan matematika, karena matematika tidak cocok dengan kerangka
pengumpulan pengetahuan mereka. Matematika menurut kaum empiris diperoleh
dari pengalaman. Pandangan terhadap suatu objek merupakan presepsi kita. Ide
matematis diperoleh dari sifat-sifat objek yang tampak, menurut empiris
mempelajari tentang kecocokan antara objek-objek fisik yang tampak dan
pasangan-pasangan matematisnya.
Pandangan dua aliran tersebut mengerucut tentang matematika berhubungan
dengan besaran-besaran fisik atau objek-objek yang diperluas. Mereka sepakat
bahwa setelah ide-ide relevan didapat maka perolehan pengetahuan matematis
bersifat independen dari sebarang pengetahuan lebih lanjut. Kebenaran matematis
adalah a priori atau tidak terikat dengan pengalaman. Perbedaan utamanya terletak
pada sejauh mana pengalaman inderawi diperlukan untuk memperoleh atau
memahani ide-ide yang relevan.
Pada abad 18 diawali dengan Immanuel Kant, seorang filsuf, menjelaskan
kemestian matematika dan sifat a priori dari kebenaran matematis, sambil
menjelaskan kedudukan mate,atika dalam sain-sain empirik, khususnya
aplikabilitas matematika pada dunia fisik. Seseorang yang memahami suatu konsep
berada pada posisi untuk melakukan analisis konseptual dan menemukan
komponen-komponen dari konsep tersebut. Analisis konseptual mengungkap apa
yang telah implisit dalam konsep-konsep, sehingga tidak menghasilkan
pengetahuan baru tentang dunia. Kant memandang hampir semua pernyataan
matematis adalah sintetik hanya beberapa yang analitik. Suatu pernyataan
matematika yang dapat dibuktikan kebenarannya menggunakan nalar disebut
bersifat analitik. Sedangkan, bila tidak, disebut sintetik.
Kant meyakini pernyataan-pernyataan sintetik a priori adalah mungkin dan
terdapat kebenaran a priori yang tidak mendasar pada analisis konseptual. Dengan
menggunakan intuisi, kebenaran dari suatu pernyataan sintetik dapat ditentukan.
Terdapat dua sifat intuisi: (1) tunggal yaitu cara untuk merepresentasikan objek-
objek individual; serta (2) menghasilkan pengetahuan yang segera karena terikat
dengan persepsi inderawi. Artinya, intuisi adalah fenomena terkait objek yang
keberadaannya dideteksi oleh panca indera. Dengan menggunakan intuisi,
kebenaran dari suatu pernyataan sintetik dapat ditentukan. Kant berpendapatbahwa
analisi konseptual tidak menghasilkan pengetahuan baru, melainkan hanya
mengungkap apa yang implisit di dalam konsep-konsep. Intuisi menampilkan
konsep-konsep objek yang sedang dikaji. Teori Kant ini menjadi jembatan yang
menyatukan antara paham rasional dan empiris yang saat itu bertentangan.
Seorang empiris radikal bernama John Mill, mengembangkan pemahaman
dengan menganggap matematika bersifat empiris. Mill menentang pandangan Kant
bahwa matematika bersifat a priori dengan keyakinan bahwa manusia merupakan
bagian dari alam dan karenanya tidak mungkin suatu pengetahuan bersifat a priori.
Mill terkenal dengan pandangannya bahwa tidak semua pernyataan matematika
adalah mutlak benar. Meski begitu, pada aritmatika, Mill menerima pandangan
bahwa hasiljumlah-hasiljumlah aritmatika sederhana adalah bersifat mesti, tetapi
hanya dalam artian bahwa kita tidak dapat membayangkansegala sesuatu sebagai
tidak demikian.
Menurut Mill, pernyataan-pernyataan matematika yang lazim adalah
generalisasi-generalisasi , pernyataan ini juga merangkumkan pengalaman. Mill
hanya mengkaji tentang geometri, aritmatika dan aljabar, bukan cabang-cabang
matematika tingkat tinggi. Ini merupakan kelemahan dari mill.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan yaitu:
1. Rasionalisme adalah satu aliran filsafat yang dapat dianggap sebagai upaya
untuk memperluas metodologi yang dipersepsi dari matematika ke seluruh
ilmu pengetahuan. Para rasionalis terkesan dengan fondasi kokoh yang
dimiliki matematika yang dilandaskan pada rasionalitas murni. Sains, etika
dan sebagainya harus pula dikembangkan dengan memberikan demonstrasi-
demonstrasi ketat dari penalaran semata bagi pernyataan-pernyataannya.
pandangan ini dapat ditelusuri ke Plato dan bertahan pada abad ke-17 dan
awal abad ke-18 dalam tulisan tulisan Descrates, Baruch Spinoza dan
Leibniz. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis
seperti Plato sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme‟
atau „platonisme‟ , René Descartes (1590 – 1650) yang juga dinyatakan
sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah “cotigo
ergo sum” (saya bepikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J.
Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723 – 1790), Gottfried Wilhelm von
Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Perkembangan pengetahuan
mulai pesat pada abad ke 18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan
D‟Alembert adalah para pengusungnya.
2. Empirisime yaitu suatu pandangan bahwa pengalaman inderawi, dan
bukanlah penalaran murni, yang merupakan sumber bagi pengetahuan.
Pandangan ini dapat ditelusuri ke Aristoteles. Dilanjutkan oleh para penulis
lainnya seperti John Locke, George Barkeley, David Hume, dan John Stuart
Mill. Tradisi empirisisme diwariskan kepada para penganut positivisme
logis dan tokoh-tokoh lingkaran Vienna, termasuk Moritz Schick, Rudolf
Carnap dan A. J. Ayer, dan bermuara saat ini dalam karya Bas van Fraassen
dan W. V. O. Quine.

Anda mungkin juga menyukai