Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Tinjauan pustaka berisikan tentang uraian sistematis hasil penelitian yang
didapat oleh penelitian terdahulu (studi terdahulu), selain itu berisikan mengenai
stratigrafi dan geologi penelitian yang akan dijelaskan sebagai berikut :
2.1.1 Studi Terdahulu
Ade (2013) dari Program Studi Teknik Perminyakan UPN “Veteran”
Yogyakarta dalam skripsi yang berjudul Sistem Sinergi Operasi Produksi Pada
Sumur Gas Lift X Lapangan Y Area PT Pertamina EP Region Jawa. Penelitian ini
dilakukan untuk mengevaluasi interval dan densitas perforasi dengan menghitung
produktivitas formasi menggunakan Metode Petrobras, menghitung kehilangan
tekanan pada perforasi serta laju produksi yang dihasilkan terhadap densitas
perforasi dengan Metode Carl Granger dan Kermit Brown, kemudian optimasi
produksi pada Continous Gas Lift dengan melakukan penentuan kedalaman titik
injeksi, menghitung kehilangan tekanan pada pipa vertikal dengan metode
Hagedorn and Brown, menentukan laju injeksi gas optimum dengan melakukan
ploting antara kurva IPR dengan kurva outflow untuk setiap harga GLRt asumsi
untuk memperoleh kurva Gas Lift Performance sehingga didapati harga Laju
Produksi Optimum (Qt) dari formasi ke sumur dan Laju Produksi Minyak (Qo).
Dorothea (2011) Program Studi Teknik Perminyakan, Institut Teknologi
Bandung dalam skripsi yang berjudul Optimalisasi Strategi Selang Perforasi
Untuk EDGE Water Reservoir Dengan Permeabilitas Rendah dari. Dalam skripsi
ini di teliti tentang kinerja produksi Lapangan X yang memiliki edge water drive
dengan kemiringan 9 derajat, sifat batuan yang ketat dengan permeabilitas 7 mD
menyebabkan kemungkinan penempatan selang perforasi yang dekat dengan batas
air – minyak. Strategi penempatan selang perforasi untuk semua sumur produksi
yang tepat dapat memaksimalkan produksi minyak, selain itu mengatur produksi
air, dalam bentuk perubahan watercut selama sumur diproduksi.
Eko (2012) dari Program Studi Teknik Perminyakan, Institut Teknologi
Bandung dalam skripsi yang berjudul Evaluasi Perencanaan Dan Hasil Perforasi
Berdasarkan Target Performa Lapangan X. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi perencanaan dan hasil perforasi di Lapangan X sehingga tercapai
target produksi gas dari tiap – tiap sumur. Disain perforasi pada penelitian ini
dilakukan prediksi dengan menggunakan simulasi PROSPER. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat perbaikan diasin perforasi pada lapangan X dengan
mempertimbangkan strategi disain sumur untuk mendukung produksi tanpa
terjadinya pasiran.

2.1.2 Sejarah Perusahaan


Pertamina (2006) menyatakan bahwa Standard Oil of New Jersey memulai
aktivitas industrinya di Indonesia melalui The American Petroleum
Company yang berada di negeri Belanda, tepatnya pada tanggal 24 april 1912. Hal
ini dilakukan dengan membentuk Nederlandsche Koloniale Petroleum
Maatschappji (KPVM) untuk usahanya di Indonesia dan Koloniale Petroleum
Verkoop (KPVM) untuk pemasarannya. NKPM dan KPVM pun sempat beberapa
kali berubah nama, hingga akhirnya pada tahun 1961 NKPM dan KPVM dilebur
menjadi satu dengan nama PTSI atau lebih sering kita kenal dengan sebutan PT
Stanvac Indonesia.
Perusahaan Amerika ini memulai operasinya di Sumatera Selatan pada
tahun 1916, dan dalam sekejap perusahaan ini mampu menjadi perusahaan ini
mampu menjadi perusahaan yang sangat dikenal masyarakat luas dikarenakan
mampu memproduksi minyak hingga 10.000- 20.000 bbl per hari. Itu semua
terjadi karena ditemukannya ladang minyak di daerah Talang Akar tepatnya pada
sumur Talang Akar - 6 di kedalaman 2000 ft pada tahun 1922.
Pada pengembangan selanjutnya, stanvac juga menemukan ladang minyak
di Pendopo pada tahun 1927, lalu diikuti dengan penemuan ladang minyak lain
seperti di Jirak pada tahun 1930, Benakat pada tahun 1933, lalu disusul dengan
Raja dan Betun pada tahun 1936 dan terakhir yaitu Karan, Deras, Tanim, Arab,
Kruh dan Kaya di tahun 1950.
Pada tanggal 25 september 1963, dilakukan persetujuan antara PN
PERMINA (yang sekarang kita kenal PT PERTAMINA) dengan PT
Stanvac Indonesia (PTSI) yang berisikan tentang ditunjuknya PTSI sebagai salah
satu kontraktor dalam usaha produksi minyak. Pada tahun 1966, pimpinan PTSI di
Sumatera Selatan dan Sumatera Tengah sepenuhnya dipegang oleh putera
Indonesia. Di tahun yang sama tepatnya pada tanggal 23 November dicapailah
persetujuan untuk merubah bidang usaha PTSI yang pada awalnya merupakan
perusahaan di bidang eksplorasi, produksi dan penyulingan menjadi perusahaan di
bidang eksplorasi dan produksi saja.
Pada tahun 1980 dilakukan perluasan eksplorasi di daerah Bungur
Kabupaten Musi Rawas dan Sukaraja Muara Enim. Usaha untuk meningkatkan
jumlah produksi juga terus dilakukan pada tahun 1981 dengan melakukan
pemboran di beberapa daerah bagi hasil yaitu Tabunan, Marga Rimba Asam
Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin.
Berdasarkan pasal 3 kontrak karya dan Undang-Undang no.14 tahun 1963
pada tanggal 28 November 1983, pengoperasian dan pengolahan lapangan minyak
“old area”, Pendopo diserahkan kepada PT PERTAMINA setelah lebih dari
setengah abad dikelolah oleh pihak asing. Dalam pengelolaannya dipimpin oleh
kepala Lapangan Pendopo yang berkantor di Pendopo dan merupakan bagian dari
Pertamina UEP II Sumbangsel yang berkantor di Plaju.
Pada tanggal 16 September 1993 struktur pengelolaan milik beberapa
pengusaha migas di Pendopo diserahkan kepada PT Ustraindo dalam
bentuk Technical Asistance contrac (TAC). Struktur yang dikelola PT Ustraindo
di antaranya Jirak, Betun, Sukaraja dan Talang Akar. Pada bulan September 1995
pengelolaannya di kembalikan kepada PT PERTAMINA dalam bentuk organisasi
“Asset Prabumulih Barat”. Bulan April 2002 terjadi perubahan organisasi menjadi
“Area Operasi Barat” dan sekarang menjadi “PT Pertamina EP Asset 2 Field
Pendopo”.
2.1.3 Struktur Organisasi
Pertamina (2016) menyatakan PT Pertamina EP Asset 2 Region Field
Pendopo dikepalai oleh seorang Field Manager ini bertanggung jawab langsung
kepada Vice President Region Sumatera di Prabumulih. Struktur oraganisasi
setiap perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya. Adapun susunan organisasi
perusahaan di PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Struktur Organisasi PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo


(Arsip PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo, 2016)

Dibawah Pendopo Field Manager terdapat bagian yang mempunyai tugas


dan wewenang dibidangnya masing-masing yakni :
1. HSSE (Health, Safety, Security and Environment), yang bertugas mengawasi
semua kegiatan agar sesuai dengan aspek keselamatan yang ada
2. Sekretaris, bertanggung jawab atas kegiatan Administrasi, Pelaporan Data
Perusahaan hingga resume Data Perusahaan
3. Fungsi Petroleum Engineering, bertanggung jawab dalam kegiatan pengeboran
dan melakukan analisa kandungan minyak mentah serta cadangan minyak pada
sumur bor.
4. Fungsi Operation Planning, bertanggung jawab dalam kegiatan pengolahan
data produksi dan pemonitoran anggaran belanja tahunan perusahaan.
5. Fungsi Workover & Wellservice, bertanggung jawab untuk melakukan
perawatan sumur-sumur produksi.
6. Fungsi Production Operation, bertanggung jawab dalam kegiatan Operasional
pengolahan dan produksi minyak mentah mulai dari keluar sumur produksi
hingga pendistribusiannya ke RU III Plaju.
7. Gas Production, bertanggung jawab dalam kegiatan Operasional dan Produksi
Gas mulai dari keluar dari sumur produksi sampai dengan pendistribusiannya
ke suatu perusahaan yang membutuhkannya.
8. Bagian RAM, bertanggung jawab dalam hal perawatan dan pemeliharaan
semua peralatan-peralatan produksi, seperti sistem pemompaan dan sistem
perpipaan.
9. Human Resource (HR), bertanggung jawab dalam pengelolaan dan
pengembangan sumber daya manusia.
10. Finance, bertanggung Jawab dalam keuangan perusahaan.
11. Legal & Relation, memiliki tugas dan kewenangan dalam hal Handling Legal
Contract, Procurements, Tender dan Litigation
12. SCM (Supply Chain Management & General Support), bertanggung jawab
atas pembelian atau masuknya suatu peralatan yang baru dari kerja sama
dengan perusahaan asing ataupun lokal .

2.1.4 Wilayah Kerja


Field Pendopo yang dikenal juga dengan Area Operasi Barat (AOB) secara
geografis terletak antara koordinat 3°15´47,58´´ LS - 103°49´19,59´´ BT. Bila
dilihat dari kota terdekat, lebih kurang 150 km arah barat daya Pelembang dan 60
km dari Kotamadya Prabumulih.
Gambar 2.2 Peta Wilayah Kerja PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo
(Arsip PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo, 2016)

Wilayah Kerja PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo secara


administratif masuk dalam 5 kabupaten dan 1 kotamadya yang meliputi :
1. Kabupaten Muara Enim (Timur)
2. Kabupaten Musi Rawas (Barat dan Selatan)
3. Kabupaten Musi Banyuasin (Utara)
4. Kabupaten Pali (Pusat)
5. Kotamadya Palembang (Metering Station)
6. Kabupaten Ogan Ilir (Jalur Pipa)

2.1.5 Geologi dan Stratigrafi


Pertamina (2016), menyatakan secara umum daerah cekungan Sumatera
Selatan dapat dibagi menjadi tiga cekungan, yaitu :
a. Cekungan Jambi, yaitu daerah Palembang bagian Utara
b. Cekungan Palembang Tengah, termasuk lapangan Pendopo
c. Cekungan Palembang bagian Selatan
Cekungan –cekungan tersebut sebagian besar dibatasi oleh sesar
Lematang, sesar Muara Tembesi, dan sesar di daerah bukit Pendopo desa Talang
Jawa.
2.1.5.1 Geologi
Menurut Sekunder (1998), secara struktural Cekungan Sumatera Selatan
dapat dibagi menjadi sub Cekungan Jambi dan sub Cekungan Palembang. Kedua
sub cekungan ini dibatasi oleh sesar- sesar utama yang berakar dalam dan
berhubungan dengan bantuan dasar. Sesar yang paling menonjol adalah sesar
Lematang berarah barat laut-tenggara dan sesar kikim dengan arah utara-selatan.
Bentuk struktur yang saat ini terlihat di kedua cekungan (Jambi dan Sumatera
Selatan) adalah akibat dari aktivitas tektonik Tersier Pulau Sumatera yang dapat
dibagi menjadi beberapa periode tektonik. Batas-batas selatan oleh Tinggian
Lampung, sebelah barat oleh Bukit
Barisan, sebelah utara oleh Pegunungan Tiga Puluh dan sebelah timur oleh
daratan Sunda. Struktur geologi yang mempengaruhi terbentuknya perangkap
hidrokarbon sebagian besar merupakan antiklinal, patahan yang berorientasi barat
laut tenggara sebagai akibat gaya kompresi. Pada cekungan Sumatera Selatan,
minyak dan gas terperangkap pada lapisan batu pasir, batu gamping dan granit
wash ataupun basement fracture yang berasosiasi dengan sesar geser yang
berorientasi dari barat daya-timur laut.

2.1.5.2 Stratigrafi
M YEARS
EPOCH
PERIOD

TIME IN

S TRATIGRAP HIC S E IS M I C DEPOS ITIONAL TECTO NIC


GROUP NO MENCLATURE ENVIRO NMENT S UMMARY
FORMATION
HOL
Q PLE. BROWN
BRADED FLUVIAL Primary traps
PLIO.

U KASAI formed
PINK
PALEMBANG

L DELTAICS
MUARA ENIM GREEN 5
Widespread
compression
U
AIR BENAKAT
SHALLOW
MARINE
10

GREEN
MIOCENE

Basin sag st age 15


MARINE
TERTIARY

G U M A I

L
20
BLUE
BRF YELLOW SHALLOW MARINE
TELISA

TAF - TRM DELTAICS Lat e Graben fill


GREEN
25
U TAF - GRM
OLIGOCENE

BLUE
Graben fill
L A F BRADED FLUVIAL Localized uplift
And erosion
ALLUVIAL FAN
30
L

? Rift ing begin 35


U
EOCENE

M
40

RED

PRE-TER TIARY
B AS EMEN T

Gambar 2.3 Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan


(Arsip PT Pertamina EP Asset 2 Field Pendopo, 2016)
Pertamina (2016) menyatakan Lapisan statigrafi pada cekungan Sumatera
Selatan adalah formasi batuan yang ditembus waktu pemboran pada struktur
Abab yang termasuk ke dalam wilayah Pendopo.
Berikut hasil eksplorasi statigrafi Struktur Abab dari atas ke bawah adalah
sebagai berikut :
a. Formasi Kasai (KAF)
Terdiri dari batu pasir kasar unconsolidated, lempung berwarna hijau abuu-
abu,kerikil, lempung, batu apung, tufa konkresi vulkanik dengan kedalaman lebih
kurang 200 m.
b. Formasi Muara Enim (MEF)
Terdiri dari lempung pasiran, pasir dan lapisan batubara yang berselang-selang
dengan lanau dan lempung dari kedalaman 200 - 360 m.
c. Formasi Air Benakat (ABF)
Terdiri dari batu pasir selang-seling dengan serpih atau lempung kelabu tua
dengan sisipan batubara, kedalamannya 360 - 1135 m.
d. Formasi Baturaja (BRF)
Formasi Baturaja diendapkan selaras diatas Formasi Talang Akar. Terdiri dari
selang seling batugamping tebal Mudstone – Wackstone dibagian atas dan
Wackstone – Packstone dibagian bawah dengan serpih sisipan tipis batupasir dan
batubara dibagian bawah. Beberapa lapisan batugamping dibagian bawah
menunjukkan indikasi hidrokarbon dan maksimum gas yang cukup tinggi.
e. Formasi Talang Akar (TAF)
Terdiri dari shale yang berwarna coklat muda karbonat berselang-seling
dengan batu gamping berwarna coklat, batu pasir gampingan, batu lempung,
sisipan batubara dan batu pasir yang mengandung gas. Kedalaman lapisan Talang
Akar mencapai 2400 m.
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Definisi Perforasi
Menurut Sukandarrumidi (2013), Perforasi (perforating) adalah proses
pelubangan dinding sumur (casing, lapisan semen dan formasi) sehingga sumur
dapat berkomunikasi dengan formasi. Minyak atau gas bumi dapat mengalir ke
dalam sumur melalui lubang perforasi ini. Perforating gun yang berisi beberapa
shaped-charges diturunkan ke dalam sumur sampai ke kedalaman formasi yang
dituju. Shaped-charges ini kemudian diledakan dan menghasilkan semacam
semburan jet campuran fluida cair dan gas dari bahan metal bertekanan tinggi dan
kecepatan tinggi yang mampu menembus casing baja dan lapisan semen.
Perforasi dilakukan setelah maupun sebelum dilakukannya kegiatan
squezee cementing pada zona sebelumnya yang sudah tidak produktif lagi,
tergantung dari tujuan perforasi itu sendiri (menambah zona produksi secara
comingle maupun single layer). Setelah kegiatan perforasi dilakukan maka
dilakukan test produksi untuk mengetahui potensi dari reservoirnya. Sehingga
didapatkan hasil yang lebih konklusif. Biasanya setelah dilakukan test produksi
akan dilakukan well testing untuk mengetahui kemampuan dari sumur tersebut,
yang mana hasil tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan perlu tidaknya
dilakukan stimulasi.

Gambar 2.4 Kegiatan Perforasi (Bommer, 2008)


Gambar A perforating gun berisi shape charges diturunkan kedalam sumur
sampai ke formasi yang dituju; Gambar B Shape charge diledakkan membuat
beberapa lubang di casing dan lapisan semen; Gambar C Fluida formasi mengalir
melalui lubang perforasi ini naik ke permukaan.

2.2.2 Jenis Perforasi


Menurut Bommer (2008), dalam pelaksanaan perforasi terdapat jenis-jenis
perforasi yang biasa dilakukan di lapangan yang dipilih sesuai dengan kondisi
sumur yang akan diperforasi serta ketersediaan biaya di lapangan.
Adapun jenis perforasi yang biasa digunakan di lapangan yaitu sebagai
berikut :
1. Casing Gun, dimana gun diturunkan dengan wireline di dalam casing (tanpa
tubing), kemudian wireline dialiri arus listrik untuk mengaktifkan detonator pada
gun. Biasanya pada teknik ini dilakukan pada kondisi sumur overbalance. Pada
casing gun, Casing Collar Locator (CCL) akan mendeteksi casing collar untuk
mempermudah mengetahui letak zona perforasi.
Ciri – ciri dari casing gun adalah sebagai berikut :
a. Diameter gun lebih besar, kemampuan penetrasi yang lebih dalam
b. SPF (Shoot per Feet) bisa lebih banyak
c. Sulit dilakukan pada kondisi sumur yang underbalance
d. Debris gun (sisa perforating gun) tidak mengotori lubang sumur karena debris
tertampung dalam silinder pembawa gun
2. Enerjet (Thru Tubing Perforator), pada teknik ini perforasi dilakukan juga
menggunakan wireline sebagai penghantarnya tetapi bedanya rangkaian tubing
sudah terpasang di dalam lubang sumur. Alat dari jenis ini ukurannya lebih kecil
karena nantinya alat tersebut akan dimasukkan ke dalam tubing dan tidak
menggunakan selongsong besi.
Ciri – ciri enerjet adalah sebagai berikut :
a. Diameter gun lebih kecil dari inside diameter tubing, kemampuan penetrasi
lubang terbatas
b. Dapat dilakukan pada kondisi sumur yang underbalance
c. Sumur dapat langsung di produksi setelah perforating
3. Tubing Conveyed Perforator (TCP), yaitu teknik perforasi yang berbeda dari
teknik yang lain. Gun diturunkan dengan tubing dimana gun cariernya berbentuk
sama seperti casing gun. Untuk mengaktifkan detonator pada tubing conveyed
perforator dapat menggunakan dua cara yaitu dengan cara hydraulic ataupun
dengan cara mekanikal. Pada Tubing Conveyed Perforator juga tidak
menggunakan wireline lagi. Proses perforasi dilakukan dengan menjatuhkan Bar
(dropped bar) ke dalam string untuk memecahkan break glass dan memicu
detonator, berbeda dengan jenis perforasi lainnya.
Ciri – ciri dari tubing conveyed perforator adalah sebagai berikut :
a. Mempunyai keuntungan seperti casing gun, yaitu diameter gun lebih besar,
debris tidak jatuh ke lubang sumur.
b. Bisa dilakukan pada sumur dengan kondisi underbalance
c. Sumur dapat langsung di produksi setelah di perforating

2.2.3 Teknik Perforasi


Menurut Bommer (2008), ada dua macam teknik perforasi yang umum,
yaitu perforasi overbalance dan perforasi underbalance.
1. Perforasi Underbalance, pada kondisi ini dimana tekanan hidrostatik (Ph) lebih
kecil dibandingkan tekanan formasi (Pf). Sehingga nantinya saat selesai
dilakukannya perforasi fluida dari formasi dapat langsung mengalir (flowing) ke
dalam tubing produksi. Dimana aliran ini akan membersihkan lubang perforasi
dari pecahan batuan, semen dan padatan lumpur pemboran. Menggunakan kondisi
underbalance juga untuk menghindari terjadinya filtrasi (masuknya fluida ke
dalam formasi) yang dapat terjadi pada kondisi overbalance.
2. Perforasi Overbalance, pada kondisi ini tekanan hidrostatik (Ph) lebih besar
dibandingkan dengan tekanan formasi (Pf). Biasanya sumur dengan kondisi ini
menggunakan teknik perforasi casing gun atau dengan menggunakan wireline.
Karena pada saat selesai perforasi tidak terjadinya aliran dari formasi ke lubang
sumur yang juga dengan keadaan belum terpasangnya tubing produksi. Dengan
menggunakan kondisi perforasi overbalance kemungkinan akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan yaitu seperti lubang hasil perforasi akan tersumbat oleh
partikel-partikel, seperti lumpur dan serpih pecahan batuan sebagai akibat aliran
fluida pemboran dari lubang sumur ke dalam formasi pada saat pelubangan. Hal
ini terjadi karena tekanan hidrostatik lebih tinggi dari tekanan formasi, sehingga
pada saat sumur diproduksikan, aliran fluida akan terhalang oleh partikel
padatan yang menyumbat lubang perforasi.

2.2.4 Sistem Firing Perforating Gun


Menurut Norman (2001), sistem firing perforating gun secara prinsip
dibagi menjadi 3 macam yaitu sebagai berikut :
1. Electrical, terdapat pada semua sistem wire gun, thru tubing dan casing gun.
Arus listrik dialirkan melalui wireline (conductor line) untuk mengaktifkan
detonator yang akan meledakkan gun melalui prima cord.
2. Mechanical, terdapat pada sistem TCP gun. Detonator diaktifkan dengan
pukulan bar yang dijatuhkan dari permukaan, membakar prima cord dan
selanjutnya meledakkan gun. Sistem dop bar ini hanya digunakan untuk sumur
vertikal atau sumur dengan kemiringan kecil yang memungkinkan bar bisa
sampai ke perforating gun.
3. Hydraulic, terdapat pada sitem TCP gun. Detonator diaktifkan dengan tekanan
tubing. Dilakukan untuk sumur dengan kemiringan besar sehingga drop bar
akan sulit mencapai top gun. Selalu di lengkapi dengan TDF (time delay
firing), artinya ada tenggang waktu antara pemberian tekanan di tubing sampai
detonator aktif. Tenggang waktu ini digunakan untuk memberi kesempatan
tekanan tubing di bleed off sampai tekanan hydrostatis diatas gun menjadi
underbalance. Dalam hal ini media untuk pressure up tubing adalah fluida yang
ringan (Nitrogen, diesel oil atau low density formasi). Perlu diketahui juga
sistem hydrauling firing ini juga digunakan untuk back up mechanical firing
jika drop bar gagal mengaktifkan detonator.

2.2.5 Well Logging


Menurut Nugrahanti (2010), pengukuran well logging dilakukan guna
mengetahui keadaan atau sifat batuan yang ditembus sumur yang di bor. Caranya
adalah sejenis alat dimasukkan kedalam sumur menggunakan kabel. Alat ini
dilengkapi dengan transmitter (pemancar) dan receiver (penerima). Alat ini akan
merekam sifat batuan yang dilewati. Sifat yang direkam sesuai alat yang dipasang
dan dapat berupa sifat listrik (electric), sifat perambatan bunyi (acaustic), sifat
radioaktif (radioactive), dan lain – lain.
Pekerjaan logging tersebut dapat dilakukan pada waktu pemboran dan
setelah sumur tersebut berproduksi, sehingga dapat digolongkan menjadi dua
macam well logging, yang meliputi :
1. Perekaman data dilakukan pada waktu pemboran sumur
2. Perekaman dilakukan setelah penyelesaian sumur (didalam periode produksi)
Tabel 2.1 Kegiatan well logging menurut Nugrahanti (2010)
No. Sumur Pemboran (Open Hole Sumur Produksi (Cased Hole
Logging) Logging)
1 Geological sample log, merekam Tidak bisa
data serbuk bor
2 Mud log, merekam indikasi Tidak bisa
hudrokarbon dalam lumpur
3 Mechanical type log, merekam Tidak bisa
penetration rate
4 Wireline well logging, merekam Bisa
sifat formasi menggunakan alat
pengukur (sonde) yang diturunkan
ke dalam sumur menggunakan kabel
(wireline)
5 SP Log, Resistivity Log Gamma Ray Log, Neutron Log,
Sonic Log, Thermal Decay Time
Log, Cement Bond Log, Temperatur
Log, Production Log, dll.

Berdasarkan tabel diatas, terdapat berbagai macam pengukuran Logging


berdasarkan beberapa parameter yang meliputi sifat kelistrikan, sifat perambatan
bunyi, sifat pengukur radioaktif batuan dan jenis logging yang lainnya. Hasil
rekaman dari metode –metode logging diatas dapat di proses dan dapat di baca
secara langsung. Penggunaan data well logging dapat digunakan sebagai
parameter untuk memperhitungkan cadangan (hidrocarbon reserve), perhitungan
resistivitas, perhitungan porositas, perhitungan saturasi air, pengukuran salinitas
formasi, perkiraan ada tidaknya gas, perkiraan ada tidaknya rekahan dan lain –
lain.

Anda mungkin juga menyukai