Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ketidak merataan distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan problematika kompleks


yang selalu menjadi momok dalam pembangunan negara. Pendapatan negara yang tinggi
acapkali tidak dibarengi dengan kesejahteraan yang menyeluruh dari rakyatnya dikarenakan
adanya sebuah ketimpangan pendapatan. Ketika ketimpangan pendapatan pada akhirnya
menjadi jurang pemisah antara golongan borjuis dan proletar, pada akhirnya ketimpangan
tersebut akan menimbulkan masalah-masalah sosial di kalangan masyarakat.

Begitupula dengan kemiskinan, rantai kemiskinan yang seakan tidak pernah putus menjadi
baying-bayang pembangunan negeri ini. Ketika banyak rakyat yang hidup dibawah garis
kemiskinan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka perkembangan suatu
negara akan terhambat.

Untuk itu diperlukan kajian mendalam mengenai konsep distribusi pendapatan dan
kemiskinan, agar nantinya konsep tersebut dapat dikembangkan dan menjadi sebuah dasaran
bagi solusi atas masalah ketimpangan pendapatan dan kemiskinan negeri ini.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah pengertian dan macam-macam dari distribusi pendapatan?


1.2.2 Apakah indikator dari distribusi pendapatan?
1.2.3 Apakah pengertian dan macam-macam dari kemiskinan?
1.2.4 Apakah indikator dari kemiskinan?
1.2.5 Apakah strategi dari pemerataan kemiskinan?
1.2.6 Bagaimanakah pemerataan ketika dibandingkan dengan pembangunan?
1.2.7 Apakah pengertian dari Community Based Development?

1
1.3 Tujuan Pembahasan

1.3.1 Mengetahui apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dan macam-macam
pendapatan
1.3.2 Mengetahui indicator dari distribusi pendapatan
1.3.3 Mengetahui apa yang dimaksud dengan kemiskinan dan macam macam kemiskinan
1.3.4 Mengetahui strategi pemerataan kemiskinan
1.3.5 Mengetahui perbandingan pemerataan dan pembangunan
1.3.6 Mengetahui apa yang dimaksud dengan Community Based Development

2
BAB II

ISI

2.1 DISTRIBUSI PENDAPATAN

2.1.1 PENGERTIAN

Adalah pencerminan merata atau timpangnya pembagian hasil suatu negara di kalangan
penduduknya (Dumairy,1999)

2.2.2 FAKTOR PENYEBAB KETIDAK MERATAAN PENDAPATAN

Menurut Adelman & Morris (1973) terdapat delapan penyebab ketimpangan pendapatan;
sebagai berkut :

1. Pertambahan penduduk yang tinggi akan memicu penurunan pendapatan


perkapita.
2. Inflasi atas pendapatan uang yang bertambah tidak diikuti secara proporsional
oleh pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4. Investasi yang banyak dalam proyek proyek yang padat modal (capital
investment) sehingga presentase pendapatan dari tambahan modal lebih besar daripada
presentase pendapatan yang berasal dari kerja sehingga angka penganguran bertambah
5. Rendahnya mobilitas sosial
6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan
pada harga barang-barang hasil industri guna melndungi usaha- usaha golongan kapitalis
7. Memburuhnya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang berkembang dalam
perdagangan dengan negara -negara maju, sebagai akibat adanya ketidakelastisan
permintaan terhadap barang-barang ekspor NSB.
8. Hancurnya insdustri kerajinan rakyat dan industri rumah tangga.

Adapun dalam upaya pemerataan pendapatan pemerintah, terdapat beberapa hambatan.


Diantaranya:

3
1. Pendanaan yang besar.
Adanya kendala anggaran pada beberapa negara sedang berkembang menjadi kendala
tersendiri dalam upaya pemerataan pendapatan oleh pemerintah.
2. Upaya yang tidak tepat sasaran.
Upaya yang tidak tepat sasaran seringkali menjadi alasan mengapa pemerintah gagal
menjangkau golongan miskin di negara tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh terbatasnya
interaksi antara pedesaan dan sektor sektor informal (yang merupakan intrepretasi
golongan miskin) dengan intitusi intitusi formal, misalnya intitusi keuangan dan
pemerintah terkait.
3. Hambatan politik.
Golongan berpendapat rendah acapkali memiliki kekuatan politik yang lebih kecil
daripada masyarakat dengan penghasilan tinggi. Sementara upaya pengalokasian
pengeluaran tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik suatu negara, sehingga
seringkali politik menjadi hambatan dalam pemerataan pendapatan.

2.2.3 MACAM-MACAM DISTRIBUSI PENDAPATAN

1. Distribusi pendapatan perorangan


Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi
ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan
sumbernya.
Contoh, Tabel 1 di bawah ini yang memperlihatkan distribusi pendapatan yang
walaupun datanya hipotetis, namun biasa ditemui di satu negara berkembang.

Tabel 1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa


Pendapatan – Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)
(unit uang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8

4
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (pendapatan nasional) 100 100 100
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga
termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya =
14/51 = 0,28.

Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau
lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan
berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang
tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan
penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada
kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-
golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah
tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi terbawah pada skala

5
pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang)
dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima 9 persen dari
pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya
menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima)
dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.

2. Distribusi pendapatan fungsional


Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi
(functional or factor share distribution of income)berfokus pada bagian dari pendapatan
nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja,
dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan
persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha
atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan
persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba
(masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal
fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari
segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis
pendekatan fungsional ini.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga
per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor
produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber
dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya
berada pada taraf minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau
pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh,
penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat
upah. Lalu, bila upah ini dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar,
maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut
dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total wage bill).

3. Distribusi pendapatan regional

6
Aspek keadilan dan pemerataan, selain dapat ditinjau berdasarkan distribusi perorangan
dan fungsional, dapat pula ditinjau berdasarkan distribusi regional (antar daerah).
Misalnya untuk kasus Indonesia, distribusi pendapatan antarkabupaten, antar provinsi.
Untuk Indonesia, berdasarkan data yang ada tampak adanya perbedaan tingkat
kesejahteraan antarwilayah/daerah di Indonesia. Beberapa faktor penting yang diduga
sebagai penyebab terjadinya perbedaan pendapatan antarwilayah ini adalah kepemilikan
sumberdaya alam, ketersediaan infrastruktur, dan kualitas sumberdaya manusia.

2.2.4 INDIKATOR DISTRIBUSI PENDAPATAN

1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz yang diambil dari nama seorang ahli statistika Conrad Lorenz, merupakan
metode yang lazim digunakan untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan. Pada
tahun 1905, ia menggambarkan hubungan antara kelompok-kelompok penduduk dan
angka share pendapatan mereka. Selebihnya, lihat pada gambar berikut :
Presentase pendapatan

Garis pemerataan

B Kurva Lorenz

Presentase penerimaan pendapatan

Gambar di atas menunjukan mekanisme kerja kurva tersebut. Jumlah penerima


pendapatan diyatakan pada sumbu horizontal, tidak dalam arti absolute melainkan dalam
presentase kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi terendah
(penduduk yang piling miskin) yang jumlahnya meliputi 20% dari jumlah total penduduk.

7
Pada titik 60 terdapat 60% kelompok bawah, demikian seterusnya samapi pada sumbu
paling ujung yang meliputi 100% atau seluruh populasi atau jumlah penduduk.
Sedangkan sumbu vertikal menyatakan bahwa dari pendapatan total yang diminta oleh
masing-masing presentase kelompok penduduk tersebut. Sumbu terebut juga berakhir
pada titik 100%, sehingga itu berarti bahwa kedua sumbu (vertikal dan horizontal) sama
panjangnya. Gambar ini secara keseluruhan berbentuk bujur sangkar, dan dibelah oleh
sebuah garis diagonal yang ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah (titik asal) menuju
ke sudut kanan atas. Pada setiap titik yang terdapat pada garis diagonal itu, presentase
pendapatan yang di terima persis sama dengan presentase jumlah penerimaannya-
misalnya , titik tengah garis diagonal melambangkan 50% pendapatan yang tepat
didistribusikan untuk 50% dari jumlah penduduk. Dengan kata lain garis diagonal pada
gambar tersebut melambangkan “peranan sempurna” (perfect equality) dalam distribusi
ukuran pendapatan. Masing-masing pendapatan kelompok penerimaan pendapatan
menerima presentase pendapatan total yang sama besarnya; contoh. nya, 40% kelompok
terbawah akan menerima 40% dari pendapatan total, sedangkan 5% kelompok teratas
hanya menerima 5% dari pendapatan total.

Kurva lorenz memperhatikan hubungan kuantitatif aktual antara presentase penerima


pendapatan dengan presentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama,
misalnya, satu tahun. Gambar diatas membuat kurva Lorenz yang menggunakan data
desil (populasi terbagi menjadi sepuluh kelompok) yang terbuat dalam tabel diatas.
Dalam kalimat lain, sumbu horizontal dan sumbu vertikal dibagi menjadi sepuluh bagian
yang sama, sesuai dengan sepuluh kelompok desil. Titik A menunjukan bahwa 20%
kelompok terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 10% pendapatan
total, titik B menunjukan bahwa 40% kelompok terbawah hanya menerima 22% dari
pendapatan total, demikian seterusnya bagi masing-masing 4 kelompok lainnya.
Perhatikan bahwa titik tengah, yang menunjukan 50% penduduk hanya menerima 30%
dari pendapatan total.

Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis
pemerataan sempurna), maka semakin timpang atau tidak merata distribusi

8
pendapatannya. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna (yaitu, apabila hanya
seorang saja yang tidak menerima pendapatan) akan diperhatikan oleh kurva Lorenz yang
berhimpitan dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal disebelah
kanan. Oleh karena itu tidak ada satu Negara pun yang memperlihatkan pemerataan
sempurna atau ketidaksamaan sempurna dalam distribusi pendapatannya, semua kurva
Lorenz dari setiap Negara akan ada di sebelah kanan garis diagonal seperti yang
ditunjukan gambar di atas. Semakin parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan
distribusi pendapatan disuatu Negara, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin
melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah.

2. Koefisien Gini
Kurva Lorenz adalah kurva yang menggambarkan fungsi distribusi pen-dapatan
kumulatif. Jika kurva Lorenz tidak diketahui, maka pengukuran ketimpangan distribusi
pendapatan dapat dilakukan dengan rumus koefisien Gini yang dikembangkan oleh Gini
(1912). Kurva lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase
jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase
pendapatan yang benar benar mereka peroleh dari total pendapatan selama 1 tahun.
Semakin jauh jarak kurva lorenz darii garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan
sempurna) maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya
Nilai gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila nilai gini mendekati satu maka
terjadi ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan. Sedangkan semakin kecil atau
mendekati nol suatu nilai gini maka semakin meratanya distribusi pendapatan aktual dan
pengeluaran konsumsi. Indeks/Rasio Gini merupakan koefisien yang berkisar 0 sampai 1,
yang menjelaskan kadar ketimpangan distribusi pendapatan nasional.
a. Semakin kecil angka ini, semakin merata distribusi pendapatan
b. Semakin besar angka ini, semakin tidak merata distribusi pendapatan

9
Angka Gini ini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz. Semakin kecil
angka ini ditunjukkan kurva lorenz yang mendekati diagonal yang berarti kecil luas area
dan sebaliknya
𝑓𝑖

GC = 1 − ∑(Xi+1 − Xi ) (Yi+1 + Yi ) … …
𝑖=0

GC = Gini Coefficient / Rasio Gini


fi = Proporsi Jumlah Rumah Tangga dalam kelas t
Xi = Proporsi Jumlah Komulatif Rumah Tangga dalam kelas t
Yi = Proporsi Jumlah Komulatif Pendapatan dalam kelas t
Bank dunia mengklasifikasikan ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan:
40 % penduduk berpendapatan terendah Penduduk termiskin
40 % penduduk berpendapatan menengah
20 % penduduk berpendapatan tinggi
3. KLASIFIKASI :
Ketimpangan Parah = distribusi pendapatannya 40 % penduduk berpendapatan rendah
menikmati < 12 % pendapatan nasional

10
Ketimpangan Sedang= distribusi pendapatannya 40 % penduduk berpendapatan rendah
menikmati 12 - 17 % pendapatan nasional
Ketimpangan Lunak (Distribusi Merata) = 40 % penduduk berpendapatan rendah
menikmati > 17 % pendapatan nasional

Hubungan Ketidakmerataan Pendapatan dengan Tingkat Pendapatan diuji dengan


menggunakan Analisis Regresi Kuadratik (quadratic regression analysis); ketimpangan
distribusi pendapatan (diukur dengan angka Indeks Gini) sebagai peubah tidak bebas
(dependent variable) dan pendapatan perkapita sebagai peubah bebas (independent
variable). Hubungan kedua peubah tersebut disederhanakan dalam persamaan regresi
kuadratik berikut ini. Variabel yang digunakan :

𝐼𝐺 = 𝛼 + 𝛽1 (𝑃𝑃) + 𝛽2 (𝑃𝑃)2
dimana:
IG = Nilai Indeks Gini distribusi pendapatan antar rumah tangga
PP = Pendapatan per kapita
α = Konstanta
β1 = Koefisien regresi terhadap peubah pendapatan per kapita
β2 = Koefisien regresi terhadap peubah pendapatan per kapita kuadrat

Dari hasil analisis regresi kuadratik (quadratic regression analysis) didapat persamaan
regresi. Dari persamaan tersebut dihitung titik balik (turning point). Penghitungan titik
balik dilakukan dengan menyelesaikan persamaan yang diperoleh dari turunan pertama
persamaan regresi yang disamakan dengan nol.

𝐼𝐺 = 𝛼 + 𝛽1 (𝑃𝑃) + 𝛽2 (𝑃𝑃)2 − 𝑈

Kita juga dapat menggunakan ukuran ukuran agregat seperti koefisien Gini untuk
mengukur tingkat pemerataan hal-hal lain di luar pendaptan. Telah di ketahui bahwa,
koefisien Gini merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat kriteria yang sangat
dicari, yaitu prinsip anonimitas, indepedensi skala, indepedensi populasi, dan transfer.

11
Prinsip ononimitas (anonymity principle) mengatakan bahwa ukuran ketimpangan
seharusnya tidak tergantung kepada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih
tinggi; dengan kata lain, ukuran tersebut tidak tergantungpada apa yang kita yakini
sebagai manusia yang lebih baik, apakah itu orang kaya atau orang miskin.

Prinsip indepedensi skala (scale independence principle) berarti bahwa ukuran


ketimpangan kita seharusnyatidak tergantung pada ukuran suatu perekonomian atau
Negara, atau cara kita mengukur pendapatannya; dengan kata lain, ukuran ketimpangan
tersebut tidak tergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dalam dolar atau dalam
sen, dalam rupe atau dalam rupiah, atau apakah perekonomian Negara tersebut secara
rata-rata kaya atau miskin, karena jika kita ingin mengukur ketimpangan, kita ingin
mengukur sebaran pendapatan, bukan besarnya (meskipun perlu diingat juga bahwa
besarnya pendapatan juga sangat penting dalam pengukuran kemiskinan).

Prinsip independensi populasi (population independence principle) juga agak mirip


dengan prinsip sebelumnya; prinsip ini menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan
seharusnya tidak didasarkan pada jumlah penerima pedapatan (jumlah penduduk).
Misalnya, perekonomia China tidak boleh dikatakan lebih merata atau lebih timpang
daripada perekonomian Vietnam hanya karena penduduk China lebih banyak. Akhirnya,
koefisiaen Gini juga memenuhi pinsip transfer (transfer principle). yang juga disebut
prinsip Pigou-Dalton, diambil dari nama penemunya ini mengatakan bahwa, dengan
mengasumsikan semua pendapatan yang lain konstan, jika kita mentransfer sejumlah
pendapatan dari orang kayak orang miskin (namun tidak sangat banyak sehingga
mengakibatkan orang miskin itu sekarang justru lebih kaya daripada orang yang awalnya
kaya tadi), maka akan dihasilkan distribusi pendapatan baru yang lebih merata.

Jika kita menyepakati keempat kriteria ini, maka kita akan dapat mengukur koefisien
Gini untuk setian Negara dan mengurutkannya, di mana koefisien Gini yang lebih besar
berarti bahwa distribusi pendapatannya lebih timpang. Namun, angka ini tidak selalu
merupakan solusi yang sempurna, karena dalam teori, koefisien Gini dapat sama persis
untuk dua kurva Lorenz yang saling berpotongan.

12
2.2 KEMISKINAN

2.2.1 PENGERTIAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi


kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif,
sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dan lain lain.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-


hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini
termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak
dibatasi pada bidang ekonomi.
3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di
seluruh dunia.

2.2.2 MACAM KEMISKINAN

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut

13
adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang
kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan


dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari,
dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi kurang
dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari $2/hari."[1] Proporsi
penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari
28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1]Melihat pada periode 1981-2001, persentase
dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang
separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.

Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang
kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan
kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota
dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat
miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini
keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena kebijakan pembangunan yang


belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kemiskinan struktural
dan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan kondisi struktur dan faktor-faktor
adat budaya dari suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang (Sudantoko,
2009:43-46).
Menurut Bank Dunia (World Bank, 2006), ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di
Indonesia :
1.Banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan nasional, yang setara
dengan AS$1,55 per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak
miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan.

14
2.Ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas
kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari
segi pendapatan dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap
pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
3.Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah
merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Banyak penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan nasional
menyembunyikan sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis
kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara
garis kemiskinan AS$1 dan AS$2 per hari, suatu aspek kemiskinan yang luar biasa dan
menentukan di Indonesia.

Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia
pada bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan
penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen),
berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta. Selama periode Maret 2008-
Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta, sementara di
daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang (BPS, 2009).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan pada bulan Maret
2009 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak
1.499.700 orang atau sebesar 11,51 persen terhadap jumlah penduduk seluruhnya.
Kondisi ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang jumlah
penduduk miskinnya sebanyak 1.613.800 orang. Dengan demikian, ada penurunan
jumlah penduduk miskin sebanyak 114.100 orang atau sebesar 1,04 persen. Penurunan
jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengindikasikan bahwa dampak dari
program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah cukup berperan
dalam menurunkan penduduk miskin di daerah ini (BPS Sumut, 2009).
Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yaitu kabupaten Asahan menurut data
demografis berdasarkan data statistik pada tahun 2008, jumlah penduduknya 688.529
jiwa, yang tersebar pada 25 Kecamatan dengan 177 desa dan 27 kelurahan dengan luas

15
wilayah daratan 3.817,5 Km2 , tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Asahan 185 jiwa
per Km2. Sebagian besar penduduk bertempat tinggal di daerah pedesaan yaitu sebesar
70,56 persen (setara dengan 485.826 jiwa) dan sisanya 29,44 persen (setara dengan
202.703 jiwa) tinggal di daerah perkotaan. Jumlah rumah tangga sebanyak 162.093
rumah tangga dan setiap rumah tangga rata-rata dihuni oleh sekitar 4,3 jiwa, sedangkan
laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2000-2008 sebesar 1,76 persen. Dilihat dari
kelompok umur, persentase penduduk usia 0-14 tahun sebesar 35,17 persen (setara
dengan 242.156 jiwa), persentase penduduk usia 15-64 tahun sebesar 60,74 persen (setara
dengan 418.213 jiwa) dan persentase penduduk usia 64 tahun ke atas sebesar 4,09 persen
(setara dengan 28.161 jiwa) yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih besar
dibandingkan penduduk usia non produktif dengan rasio beban ketergantungan sebesar
64,64 artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 65 orang
penduduk usia non produktif (BPS Kab. Asahan, 2008).
Dari perkiraan penduduk miskin di kabupaten Asahan sekitar 102.729 jiwa atau setara
dengan 14,92 persen dari total jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Asahan,
sebagian dari mereka berasal dari kelompok penghasilan rendah yang dalam ekonomi
diterminologikan sebagai orang-orang miskin (Kabar Indonesia, 2008)

2.2.3 INDIKATOR KEMISKINAN

1. Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkatminimum pendapatan yang


dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatu
negara. Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyarakat mengenai garis
kemiskinan (dan juga definisi kemiskinan) lebih tinggi di negara maju daripada di negara
berkembang.

Hampir setiap masyarakat memiliki rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Garis
kemiskinan berguna sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur
rakyat miskin dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya seperti
program peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran untuk menanggulangi
kemiskinan.

16
Garis kemiskinan dibuat untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti jumlah
dan persentase penduduk miskin (headcount index-Po), indeks kedalaman kemiskinan
(poverty gap index-P1), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index-P2).

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi


kebutuhan dasar atau basic needs approach. Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari
dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-
Makanan (GKBM). Dengan rumusan :

GK = GKM + GKNM

GK : garis kemiskinan

GKM : garis kemiskinan makanan

GKNM : garis kemiskinan non makanan

Pertama, Garis Kemiskinan Makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum


makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari.

Paket komodias kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas, yaitu padi-
padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-
buahan, minyak, dan lemak, dll.

Kedua, Garis Kemiskinan Bukan Makanan yakni kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar bukan makanan
diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.

17
Penghitungan Garis Kemiskinan tersebut dilakukan secara terpisah untuk daerah
perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata- rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Selain dari Susenas Modul Konsumsi dan Kor, variabel lain untuk menyusun indikator
kemiskinan diperoleh dari Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD).

2. Indeks Kemiskinan Manusia

Untuk mempermudah perbandingan antar wilayah maupun negara. Untuk melihat


kecenderungan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Sebab tingkatan status kemiskinan
tersebut bisa menjadi alat ukur yang berfungsi sebagai patokan dasar perencanaan jika
dibandingkan antar waktu untuk memberikan gambaran kemajuan setelah suatu periode
atau perbandingan antar wilayah untuk memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan
suatu wilayah relatif terhadap wilayah lain. Untuk it diciptakan sebuah alat bantu
pengukuran bernama Indeks Kemiskinan Manusia.

IKM sendiri merupakan indeks komposit yang mengukur derivasi (keterbelakangan


manusia) dalam tiga dimensi: lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak. IKM
ini mengartikan tingkatan status kemiskinan manusia di suatu wilayah.

Nilai IKM berkisar antara 0-100. Semakin tinggi nilai IKM menunjukkan tingkat/derajat
kemiskinan penduduk disuatu wilayah semakin tinggi. Klasifikasi yang dikeluarkan oleh
UNDP sendiri membagi tingkat-tingkat kemiskinan suatu daerah ke dalam 4 klasifikasi
derajat kemiskinan. Empat klasifikasi tersebut yaitu: klasifikasi rendah dengan nilai IKM
kurang dari 10, klasifikasi menengah rendah dengan nilai IKM 10-25, klasifikasi
menengah tinggi dengan nilai IKM 25-40, dan klasifikasi tinggi dengan nilai IKM lebih
dari 40.

18
BAB III

KESIMPULAN

Distribusi pendapatan adalah pencerminan merata atau timpangnya pembagian hasil


suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy,1999) Distribusi pendapatan terbagi
tiga, yaitu distribusi pendapatan perorangan, distribusi pendapatan fungsional, dan
distribusi pendapatan regional.

Indikator dari distribusi pendapatan dapat berupa sebagai kurva Lorenz dan koefisien
Gini.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Indikator dari kemiskinan dapat berupa garis kemiskinan, dan juga indeks kemiskinan
manusia.

19

Anda mungkin juga menyukai