Anda di halaman 1dari 4

HUKUM JUAL BELI MAYAT

DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM

DISUSUN OLEH:

ARDO NIKO 15130117

UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA


TAHUN AJARAN 2015
Jual beli janazah dalam pandangan fikih islam
Pendahuluan

Manusia diciptakan oleh tuhan dengan sesempurna mungkin karena predikatnya


sebagai kholifah di muka bumi. Kemuliayaan itu disokong dengan akal budi tinggi manusia
yang walau sampai meninggal dunia sekalipun, akan selalu dihormati. Seiring perkembangan
ilmu pengetahuan manusia sendiri, manusia menciptakan beragam eksperimen guna
meningkatkan kualitas hidup. Semisal dalam dunia medis yang berkembang pesat sampai
dunia medis kehilangan akal budi tinggi sebagai menusia. Dunia memandang dunia sebagai
tempat eksperimen demi enovasi dunia medis. Manusia tak luput dari eksperimen. Manusia
yang sudah menjadi mayat kemudian dibedah, organ mereka diambil, atau diperjual belikan.

Dalam kasus jul beli janazah ini ada beberapa kasus yang patut untuk dibahas, yaitu,
penjualan janazah utuh, dan penjualan organ janazah. Untuk masalah yang pertama, penjual
terkadang dari pihak ahli waris, dan terkadang pihak rumah sakit yang mendapatkan janazah
tanpa identitas. Sedangkan masalah yang kedua, penjual bisa dari ahli waris, atau dari pihak
rumah sakit yang mendapati janazah tanpa identitas, atau dari janazah sendiri yang sebelum
meninggal mewasiatkan anggota badannya untuk dijual. Dan untuk menjawab hal ini, kita
akan menggunakan dua pendekatan, pertama, mencari dasar hukum dalam literatur fikih
klasik, dan kedua dengan pendekatan nalar fikih islam, atau usul fikih dengan melihat
beberapa perspektif.
RUKUN JUAL BELI

Abu Zakariyaal Anshari (w.925 H ) dalam Fathul Wahab mneyebutkan rukun rukun dalam
jual beli ada enam yaitu:

1. Penjual dan pembeli (‘aqid). Dalam hal ini ulama memberikan beberapa kriteria untuk
‘aqid, yaitu, sah tasaruf, maka akad anak kecil, orang gila tidak sah. Dan tidak ada
paksaan.
2. Barang yang diperjual belikan (ma’qud). Kriteria sahnya barang yang diperjual
belikan adalah:

a. Barangnya harus suci. Tidak sah menjual barang najis, atau mutanajis tapi tidak
bisa disucikan.
b. Bermanfaat dalam pandangan syariat islam. Baik kemanfaatya tersebut seketika
atau tidak. Maka memperjual belikan ular, kelalawar tidak sah.
c. Bisa untuk diserahterimakan Maka tidak sah menjual barang yang hilang, atau
menjual sebagian dari barang yang kalau dipisah menyebabkan barang itu rusak,
contoh menjual sepotong baju hanya bagian kanan saja.
d. Milik penjual sendiri. Sah menjual barang yang disangka milik orang lain, padahal
miliknya sendiri.

3. Shighot
4. Ijab-qobul
5. Tidak disela-sela dengan perkataan lain.
6. sepakat dalam makna transaksi.Kalau penjual mengatakan seribu,tetapi pembeli
memahami dengan satu juta, maka akadnya tidak sah.
7. Tidak ada ta’liq, menggantungkan akad. Semisal, barang ini saya jual kalau hujan
turun, maka transaksi seperti ini tidak sah.

JUAL BELI JANAZAH

Dalam litertur fikih klasik jual beli janazah masuk dalam katagori akad fasidah dan
haram. Dikatakan fasidah atau akad/traksaksi yang batal, tidak sah karena dalam persyaratan
Mabi’,petama, barang yang dijual harus milik dari penjual. Sedangkan dalam kasus jual beli
janazah ini, tidak ada yang berhak menjadi pemilik janazah, karena manusia dalam hal ini
manusia bebas dan tidak bisa diperjual belikan.

Posisi ahli waris memang sering disalah gunakan dalam penjualan janazah, dengan
statusnya sebagai ahli waris kemudian menjual janazah. Hal ini tidak bisa dibenarkan. Ahli
waris tidak bisa memposisikan diri sebagai penjual karena porsi ahli waris terhadap jenazah
hanya dalam tarap mendapatkan hak harta warisan saja, sedangkan jasad jenazah tidak masuk
dalam harta yang diwariskan.

Sedangkan pihak rumah sakit ketika mendapati janazah tanpa identitas tidak bisa
dengan serta merta menjual jenazah tersebut, karena pihak rumah sakit tidak bisa memiliki
hak akan jenazah tersebut sehingga akad yang terjadi tidak sah. Namun, ironisnya hal ini
sering kita dengar pihak rumah sakit menjual janazah tanpa identitas tersebut. Disampinag
tidak sesuai dengan hukum islam maupun hukum negara, mereka telah mendai etika sebagai
seorang dokter.
Sedangkan dalam kasus penjualan organ manusia, sama halnya dengan penjualan
tubuh janazah secara utuh. Baik yang menjual orangnya sendiri ketika masih hidup maupun
orang lain, semisal pihak keluarga atau pihak rumah sakit.

DILEMA JUAL BELI JANAZAH

Namun, hukum haram tersebut tidak serta merta bisa meminimalisir penjualan
janazah di Indonesia. Disamping ilmu pengetahuan yang terus berkembang, maka tidak ada
salahnya kita mencoba memakai pendekatan kritik nalar hukum islam (usul fiqh) yang selama
ini kurang mendapat perhatian di dunia pesantren.

Beberapa konsep yang bisa dipakai:

1. ‫ عامة كانت او خاصة‬،‫الحاجة قد نزلت منزلة الضرورة‬

(kebutuhan terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan khusus


maupun kebutuhan umum). Dengan artian, hajah dalam kondisi tertentu bias
menjadikan hal-hal yang dilarang menjadi diperbolehkan. Terbukti, banyak transaksi-
transaksi yang awalnya dilarang, karena ada factor hajah kemudian diperbolehkan.
Namun, al Zarkasi mengingatkan bahwa hajah yang ada dalam kaidah ini adalah
hajah yang sudah mendekati dharurat. Semisal jualah (transaksi berupa kesanggupan
untuk memberikan komisi tertentu bagi mereka yang sanggup melakukan
pekerjaajan), melihat lawan jenis karena ada transaksi.

2. Kaidah ini senada dengan kaidah ‫الضرورة تبيح المخظورات‬

(dhorurat bias membolehkan hal-hal yang dilarang). Dari kedua kaidah fiqhiyah ini,
bias diambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan jual beli janazah bias menjadi
diperbolehkan. Karena ada factor hajah dari para sarjana kedokteran atau karena ingin
menyelamatkan nyawa orang yang hidupnya lebih berguna dari yang lain.

Anda mungkin juga menyukai