Pengertian Sai
Sa’i adalah berjalan dimulai dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan sebaliknya,
sebanyak 7 (tujuh) kali, yang berakhir di bukit Marwah (perjalanan dari bukit Shafa
ke bukit Marwah dihitung satu kali dan juga dari bukit Marwah ke Shafa dihitung satu
kali). Bagi yang uzur boleh menggunakan kursi roda.
B. Proses Melaksanakan Sai
Pada mulanya, hendaknya Sa’i dimulai dengan langkah-langkah biasa, sampai dekat
dengan tanda pertama berwarna hijau, kira-kira sejauh enam hasta. Dari tempat itu,
hendaknya jamaah haji mempercepat langkah atau berlari-lari kecil sehingga sampai
di tanda hijau yang kedua, kemudian dari sana berjalan kembali dengan langkah-
langkah biasa.
Apabila telah sampai di bukit Marwah, hendaknya menaiki bukit Marwah seperti
yang dilakukan ketika di bukit Safa. Setelah itu menghadap ke arah Shafa dan berdoa
seperti sebelumnya. Dengan demikian, jamaah haji telah selesai melakukan satu kali
lintasan Sa’i. jika telah kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Begitulah
selanjutnya sampai tujuh kali lintasan.
Dengan selesainya tujuh kali lintasan itu, maka jamaah haji telah menyelesaikan dua
hal, yakni thawaf qudum dan sa’i. Jika jamaah haji memulai Sa’inya dari Marwah,
sa’i dianggap sah akan tetapi harus menambah satu perjalanan lagi sehingga berakhir
di Marwah.
Adapun persyaratan bersuci dari hadats besar maupun kecil ketika mengerjakan sa’i,
hukumnya mustahab (dianjurkan) dan bukan wajib seperti dalam mengerjakan thawaf.
Jamaah haji yang melakukan sai tidak wajib suci dari hadats besar atau kecil, tetapi
disunnahkan suci dari hadats besar atau kecil.
Bagi laki-laki disunahkan lari-lari kecil antara dua pilar/lampu hijau. Sedangkan bagi
perempuan tidak disunahkan, cukup mempercepat langkahnya.
Ketika Sai tidak dianjurkan mengangkat kedua tangan sambil takbir menghadap
kabah waktu sai. Yang dianjurkan adalah mengangkat kedua tangan untuk berdoa
sambil menghadap kabah.
C. Kedudukan Sa’i
Secara umum ibadah sa’i adalah merupakan rukun haji, dimana ibadah haji tidak
sah tanpa mengerjakan sa’i. Namun ada juga sebagian ulama yang memposisikan
sa’i bukan sebagai rukun haji tetapi sebagai wajib haji.
1. Rukun Haji
Jumhur ulama diantaranya mazhab AlMalikiyah, Asy Syafi’iyah dan
AlHanabilah sepakat menempatkan sa’i sebagai salah satu rukun dalam manasik
haji dan juga rukun dalam ibadah umrah, dimana rangkaian ibadah haji dan
umrah itu tidak sah tanpa adanya sa’i. Aisyah dan Urwah bin Az Zubair
Radhiyallahuanhuma termasuk di antara kedua shahabat nabi yang mendukung
hal ini.
2. Wajib Haji
2. Niat
Berniat untuk melakukan sa’i adalah termasuk sunnah menurut jumhur
ulama. Sedangkan mazhab Al Malikiyah menyebutkan bahwa berniat termasuk
syarat sa’i. Kalau dikatakan bahwa berniat sa’i itu hukumnya sunnah, maka
bila seseorang secara tidak sengaja berjalan antara Shafa dan Marwah tanpa
berniat melakukan sa’i, lalu tiba-tiba dia ingin menjadikan langkah langkahnya
yang sudah dilakukan tadi sebagai ibadah sa’i, hukumnya sudah dianggap sah.
Dan ini merupakan keluasan syariat Islam. Sebagaimana tidak ada syarat niat
ketika wuquf di Arafah.
3. Mengusap Hajar Aswad Sebelumnya
Disunnahkan sebelum memulai sa’i untuk mengusap hajar aswad sebelumnya,
setelah mengerjakan shalat sunnah tawaf dua rakaat. Namun kesunnahan ini
hanya berlaku manakala mengusap hajar aswad itu dimungkinkan atau tidak
ada halangan. Di masa lalu hal seperti itu masih dimungkinkan, karena
jumlah jamaah haji tidak terlalu membeludak.
Namun di masa sekarang ini, dengan jumlah 3 juta jamaah haji, nyaris
mustahil hal itu dilakukan oleh semua orang dalam waktu yang hampir
bersamaan. Maka sebagai gantinya, tidak perlu mengusap secara langsung,
cukup dengan melambaikan tangan saja dari kejauhan, yaitu dari atas Shafa.
4. Suci Dari Hadats
Disunnahkan ketika melakukan sa’i dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats
kecil atau hadats besar. Dasarnya dalah sabda Nabi SAW :
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW berkata kepadanya
ketika mendapat haidh (saat haji),”Kerjakan semuanya sebagaimana
orang orang mengerjakan haji, namun jangan lakukan thawaf di Ka’bah
hingga kamu suci. (HR. Bukhari)
Hadits ini hanya menyebutkan bahwa bagi wanita yang sedang mendapat haidh
tidak boleh melakukan thawaf, namun hadits ini tidak menyebutkan larangan
untuk melakukan sa’i. Sehingga sa’i tetap boleh dilakukan oleh orang yang
berhadats.
5. Naik ke Atas Bukit
Bagi laki laki disunnahkan untuk naik ke atas bukit Shafa dan Marwah dan
saat di atas lalu menghadap ke kiblat, namun bagi perempuan tidak
disunnahkan. Al Imam An Nawawi menyebutkan bahwa setidaknya naik
setinggi tubuhnya, meski tidak sampai ke atas puncaknya.
Di masa lalu hal ini masih terasa berat karena Shafa dan Marwah memang masih
berbentuk bukit. Namun di masa sekarang ini, keduanya sudah tidak lagi
berbentuk bukit, kecuali hanya gundukan batu buatan yang tingginya tidak
seberapa.
Apalagi bila saat melakukan sa’i dikerjakan di lantai dua dua atau tiga, kita
sama sekali sudah tidak lagi melihat gundukan batu batuannya. Maka di
masa sekarang ini, sunnahnya hanya menghadap ke kiblat atau ke ka’bah saja.
6. Berlari Kecil Pada Bagian Tertentu
Disunnahkan untuk berlari kecil pada bagian tertentu, khusus bagi laki laki
dan tidak bagi perempuan. Kesunnahannya menurut jumhur ulama adalah pergi
dan pulang, yaitu dari Shafa menuju Marwah atau pun dari Marwah menuju
Shafa. Namun menurut Mazhab Al Malikyah, kesunnahannya hanya sebatas
dari Shafa ke Marwah, sedangkan kembali dari Marwah ke Shafa tidak
merupakan sunnah.
Di masa sekarang ini, bagian tertentu itu ditandai dengan lampu berwarna
hijau sejauh beberapa meter. Sepanjang beberapa meter itu, gerakan sa’i
yang hanya dengan berjalan kaki biasa kemudian disunnahkan untuk diubah
menjadi berlari lari kecil, hingga batas lampu hijau itu selesai, kembali lagi
dengan berjalan biasa.
7. AlIdhthiba’
1. Berjual-Beli
Di masa sekarang ini tidak terbayang orang melakukan Jual beli ketika sedang
melaksanakan ibadah sa’i, karena secara fisik, semua tempat sa’i sekarang ini
telah dijadikan satu tempat khusus, tidak ada pasar atau warung tempat
berjualan.
Namun di masa lalu, tempat untuk melakukan sa’i memang melewati para
pedagang, dimana orang biasa berjual beli. Maka sangat dimungkinkan orang-
orang yang sedang melaksanakan sa’i berhenti sejenak sekedar untuk berbelanja.
Dan hal itu termasuk di antara larangan sa’i yang banyak disebutkan oleh para ulama
di masa lalu.
2. Menunda Sa’i
Kecuali bila terputusnya karena ada keharusan untuk mengerjakan shalat fardhu
yang sudah waktunya untuk dikerjakan. Hal ini tidak membatalkan sa’i dan
tidak perlu mengulanginya dari awal.
Adapun hal-hal yang dibolehkan dalam sa’i adalah semua hal yang dibolehkan
dalam thawaf, seperti berbicara, makan dan minum.
Dalam kitab Akhbaru Makkah karya Abul Walid Muhammad bin Abdullah Al
Azraqi, disebutkan bahwa jarak antara Shafa dan Marwah kurang lebih 766,5
dzira’ atau setara dengan 383,25 meter. Dan kalau tujuh putaran berarti setara dengan
2.687,5 meter.
Ahmad Sarwat. 2011. Seri Fiqih Kehidupan (6) Haji. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing
Prof. Dr. Nasarudin Umar, M.A. 2010. Haji & Umroh. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.