Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae merupakan cendawan berupa khamir (yeast) sejati
tergolong eukariot mempunyai potensi kemampuan yang tinggi sebagai
imunostimulan, dan bagian yang bermanfaat tersebut adalah dinding selnya.
Saccharomyces cerevisiae secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk
bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya.
Berkembang biak dengan membelah diri melalui “budding cell”. Reproduksinya
dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrien yang tersedia bagi
pertumbuhan sel.
Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan fermentasi telah
lama dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai produk makanan dan sudah banyak
digunakan sebagai probiotik (Agawane & Lonkar, 2004). Yiannikouris et al., (2006)
juga melaporkan bahwa β-D-glucans pada dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat
aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus.
Ternak domba yang diberikan ransum dengan pencampuran S. cerevisiae
dengan Bioplus dapat meningkatkan bobot badan serta menurunkan konversi pakan
(Ratnaningsih, 2000) dan hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang positif
yaitu dengan dosis 4 g/hari (1 g S. cerevisiae ekuivalen mengandung 14 x 1010
koloni) menghasilkan konversi pakan sebesar 6 kg/kg pertambahan bobot badan,
namun tidak semua isolat S. cerevisiae dapat digunakan sebagai probiotik, karena
harus melalui beberapa macam seleksi dan dari sejumlah khamir tersebut hanya
sedikit yang dapat digunakan.

Mineral
Mineral dikenal sebagai bahan anorganik atau kadar abu. Bahan-bahan
organik terbakar, akan tetapi zat anorganik tidak karena itu disebut sebagai abu.
Mineral merupakan unsur kimia selain karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen yang
dibutuhkan oleh tubuh. Mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur di
dalam tubuh. Unsur natrium, kalium, kalsium, magnesium dan fosfor terdapat dalam
tubuh dengan jumlah yang cukup besar maka dikenal sebagai unsur mineral makro.
Unsur mineral lain yaitu besi, iodium, tembaga, dan seng terdapat dalam jumlah kecil
dalam tubuh karena itu disebut trace element atau mineral mikro (Winarno, 2008).

Tabel 1. Kebutuhan dan Keracunan Mineral


Unsur Jenis ternak Kebutuhan mg/kg Keracunan mg/kg
ransum ransum
Cu Sapi 5-7 115
Domba 10 -
Co Sapi 0,05-0,07 60
Domba 0,08 120
I Ternak besar 0,1 -
Mn Sapi 16-25 2000
Zn Sapi 9 900- >1200
Domba 18-22 1000
Se Sapi 0,1 3-4
Domba 0,1 10
Sumber: Tillman et al. (1986)
Unsur mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh yang terdapat
dalam jumlah besar. Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100
mg/hari. Mineral mikro merupakan mineral yang terdapat di dalam tubuh dalam
jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat dalam sistem biologis. Kebutuhan tubuh
akan mineral mikro kurang dari 100 mg/hari. Mineral mikro memegang peranan
penting untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan dan reproduksi.

Tabel 2. Unsur-unsur Mineral yang Esensial dan Kadarnya dalam Tubuh


Makro Unsur % Mikro Unsur mg/kg
Kalsium (Ca) 1,5 Besi (Fe) 20-80
Fosfor (P) 1,0 Seng (Zn) 10-50
Kalium (K) 0,2 Tembaga (Cu) 1,5
Natrium (Na) 0,16 Mangan (Mn) 0,2-0,5
Khlor (Cl) 0,11 Yodium (I) 0,3-0,6
Sulfur (S) 0,15 Kobalt (Co) 0,02-0,1
Magnesium (Mg) 0,04 Molibdum (Mo) 1,4
Selenium (Se) 1,7
Khromium (Cr) 0,08
Sumber: Tillman et al. (1986)

Defisiensi mineral mikro dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan,


pertumbuhan terganggu, cepat kurus, gangguan reproduksi bahkan dapat
menyebabkan ternak mati.
Tanin
Tanin merupakan salah satu senyawa sekunder yang terdapat pada lebih dari
135 spesies tanaman di Indonesia. Tanin dapat digunakan sebagai penyamak, bahan
pengawet, bahan pewarna, obat tradisional dan bahan perekat (Susanti, 2000). Tanin
diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin
terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin
dan epikatekin (Hedqvist, 2004). Tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika
terhidrolisis menghasilkan suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Ada beberapa
teori yang menjelaskan fungsi alami tanin pada tumbuhan yaitu salah satunya untuk
menjaga dari serangan serangga dan hewan herbivora.
Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena berperan menurunkan
kualitas bahan melalui pembentukan ikatan kompleks dengan protein. Ikatan antara
tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu dicerna oleh sel tubuh.
Keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin akan menyebabkan terjadinya
pengendapan protein. Selain membentuk kompleks dengan protein bahan pangan,
tanin juga akan berikatan dengan protein mukosa sehingga mempengaruhi daya
penyerapannya terhadap protein. Dampak antinutrisi tanin pada ternak ruminansia
berawal dari proses mastikasi, selanjutnya tanin akan berikatan dengan protein saliva
sehingga menurunkan palatabilitas pakan, akibatnya konsumsi pakan menurun.
Setelah tanin masuk ke dalam rumen (pH 6,3-7) senyawa tersebut akan membentuk
ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, dan pektin),
mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen.

Rumput Raja (Pennisetum hybrid)


Rumput Raja dapat dapat tumbuh di dataran rendah dengan tinggi (50- 1200
mdpl). Batang yang digunakan untuk stek sebaiknya yang berumur cukup tua yaitu
yang sudah berumur bulan, panjang stek kira-kira 25-30 cm dan memiliki dua mata
tunas. Rumput Raja memiliki batang yang keras dengan daun berbulu kasar serta
memiliki bercak berwarna hijau muda.
Tabel 3. Kandungan nutrien rumput Raja (Pennisetum hybrid)
Kandungan Nutrien (%)
Bahan Kering 21,2
Protein Kasar 13,5
TDN (Total Digestible Nutrient) 54
Serat Kasar 34,1
Sumber : Hendrawan, 2002

Penanaman rumput raja menggunakan stek harus diperhatikan yaitu tunas


jangan sampai terbalik. Stek dapat langsung ditancapkan setengahnya ke dalam tanah
tegak lurus atau miring dengan jarak tanamnya 1 x 1 m, untuk penanaman dengan
menggunakan sobekan rumpun, perlu dibuat lubang sedalam 20 cm (Rukmana,
2005). Waktu tanam yang baik adalah pada awal sampai pertengahan musim hujan.
Produksi hijauan rumput Raja dua kali lipat dari produksi rumput Gajah yaitu
mencapai 200-250 ton rumput segar/hektar/tahun.

Daun Mimba (Azadirachta indica)


Tanaman mimba (Azadirachta indica) termasuk ke dalam anggota famili
Meliacea. Tanaman ini biasanya dikenal dengan sebutan “Neem tree’. Tanaman ini
merupakan tanaman tahunan yang berbentuk pohon dan dapat mancapai ketinggian
20 m. Daun mimba berupa daun majemuk, letak anak daun berhadapan dengan
jumlah 9-17, berwarna hijau, anak daun berujung runcing dengan bagian tepinya
bergerigi serta permukaan daun bagian atas mengkilat.
Menurut Sukrasno dan Tim Lentera (2003) pengelompokkan mimba sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Rutales
Suku : Meliaceae
Marga : Azadirachta
Jenis : Azadirachta indica A. Juss
Mimba dikenal dengan berbagai nama. Wilayah pasunda (Sunda) mimba
lebih dikenal dengan nama nimbi. Masyarakat Bali dan Nusa Tenggara mimba
dikenal dengan nama intaran.
Ekstrak mimba dikenal memiliki sifat hambat makan terhadap lebih dari 80
spesies serangga. Mimba mengandung bahan aktif azadirachtin (C35H44O16). Mimba
dapat mempengaruhi proses fisiologi atau pertumbuhan serangga. Mimba dapat pula
mengakibatkan kemandulan pada organism sasaran. Tanaman ini berfungsi sebagai
pohon pelindung atau penahan angin.
Mimba mempunyai akar tunggang. Perbanyakan tanaman dilakukan melalui
biji. Mimba dapat tumbuh baik di daerah panas dengan ketinggian 1-700 m dpl dan
tahan cekaman air. Di daerah yang banyak hujan bagian vegetatif sangat subur, tetapi
sulit untuk menghasilkan biji (generatif) (Kardinan, 2002).

Gaplek
Secara tradisional gaplek dibuat di Indonesia terutama oleh suku Jawa. Ubi
kayu yang sudah dikupas kulitnya dibelah menjadi dua atau empat bagian kemudian
dijemur. Proses penjemuran dapat dilakukan dengan cara menyebar bahan di atas
atap, di atas tanah atau digantung. Inti dari proses pengolahan ubi kayu menjadi
gaplek adalah menggunakan teknologi pengeringan.
Gaplek mempunyai kandungan gizi yang sangat kurang terutama dalam hal
protein. Untuk melengkapi kandungan gizi yang kurang tersebut perlu dilakukan
substitusi dengan bahan makanan lain yang kaya protein (Hidayat et al., (2000).
Untuk dapat disimpan lama singkong dipotong menjadi 2 sampai 4 bagian
dan dijemur, dengan demikian kandungan airnya rendah dan tahan lebih lama.
Singkong yang telah dikeringkan ini disebut gaplek dan dapat dipakai dalam ransum
makanan hewan memamah biak.
Gaplek dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk unggas (ayam), babi
dan ruminansia. Tepung gaplek mengandung kurang lebih 13% air, 2,6% PK, 78,4%
BETN, 3,6% SK, 1,1% LK, dan 1,4% abu. Kadar air protein dapat dicerna adalah
kira-kira 2,1% (Lubis, 1992).
Monensin
Monensin adalah senyawa aktif yang bersifat biologis yang dihasilkan oleh
Streptomyces cinnamonensis (Holzer et al., 1979). Monensin termasuk senyawa
polyether monocarboxylic ionophore. Monensin dianggap sebagai garam natrium
dan menghambat pertumbuhan organisme gram positif.
Menurut Davis & Erhart (1976), monensin memperbaiki efisiensi
penggunaan makanan melalui beberapa mekanisme: 1) perubahan produksi asam
dalam rumen, 2) perubahan konsumsi, 3) perubahan produksi gas dalam rumen, 4)
perubahan kecernaan, 5) perubahan penggunaan protein, 6) perubahan kapasitas
rumen dan laju pengosongan rumen.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa monensin memperbaiki efisiensi
fermentasi rumen melalui peningkatan produksi asam propionat dan penurunan
produksi asam asetat dan butirat. Perubahan asam rumen ini merupakan perubahan
yang diinginkan dalam produksi ruminansia pedaging karena asam propionat lebih
efisien penggunaannya dibandingkan dengan asam asetat atau butirat. Beberapa
faktor yang menyebabkan propionat lebih efisien: 1) produksi propionat lebih efisien
dibandingkan dengan produksi asetat, 2) propionat lebih efisien digunakan oleh
jaringan, 3) propionat lebih fleksibel dibandingkan dengan asetat sebagai sumber
energi, yaitu melalui siklus glukoneogenesis (Holzer, 1979).
Adaptasi ternak terhadap monensin berpengaruh terhadap tingkat konsumsi.
Pada ternak sapi yang mendapat monensin tanpa diberikan waktu untuk beradaptasi,
konsumsinya menurun sampai 16%. Setelah adaptasi, penurunan konsumsi hanya 5-
6% untuk ransum biji-bijian dan 3% hijauan.

Rumen
Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan
dan mencampur pakan hasil fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah
anaerobik dan hanya mikroorganisme yang paling sesuai dapat hidup di dalamnya.
Tekanan osmosis dalam rumen serupa dengan tekanan aliran darah dan suhunya 38-
42°C. Cairan rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH
tetap pada nilai 6,8. Volume rumen pada ternak dewasa mempunyai proporsi lebih
besar daripada bobot badan, volume untuk ternak ruminansia kecil adalah 10 liter
atau lebih. Rumen pada ternak muda belum berkembang dan masih didominasi oleh
abomasum. Perkembangan bakteri rumen terjadi karena adanya kontaminasi dari
lingkungan dan kontak langsung induknya, sehingga dengan demikian
perkembangan populasi bakteri rumen akan terus meningkat seiring bertambahnya
umur ternak. Mikroba rumen dan induk semang (ternak) hidup secara simbiosis.
Secara umum terdapat empat jenis mikroorganisme rumen, yaitu bakteri (10 10-
1011 sel/ml), protozoa (104-106/ml, fungi anaerob (103-105 zoospora/ml), dan bakteriofag
(108-109 /ml). Bakteri mendegradasi selulosa, hemiselulosa, pati, protein dan sangat
sedikit jumlah minyak untuk menghasilkan VFA dan protein mikroba di dalam rumen.
Protozoa mencerna karbohidrat dan protein. Fungi memiliki peran dalam fermentasi
rumen yaitu sebagai pencerna pakan berserat karena fungi membentuk koloni pada
jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman,
sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen (Kamra, 2005).
Protozoa memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri.
Ukuran tubuh protozoa lebih besar sehingga total biomassanya hampir sama dengan
bakteri (McDonald et al., 2002). Protozoa bersifat fagosit aktif (pemangsa/predator)
terhadap bakteri rumen terutama bakteri amilolitik. Bakteri amilolitik menempel granula
pati dan sifat makan protozoa yang menelan partikel-partikel pati sehingga bakteri
amilolitik ikut termakan bersama granula pati (Subrata et al., 2005). Produksi H2 dari
hasil fermentasi akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk diubah menjadi gas
metana (CH4). Hal ini akan merugikan karena pembentukan gas metana merupakan
proses pemborosan yang dapat mengurangi 6-10% gross energi dari pakan ketika
diutilisasi oleh ternak ruminansia (Jayanegara, 2008a) yang seharusnya dapat dikonversi
dalam pembentukan produk fermentasi.
Keberadaan protozoa dalam rumen cukup penting, namun tidak mutlak dan
cenderung merugikan sehingga perlu adanya proses defaunasi (proses penghilangan
protozoa dari dalam rumen). Proses defaunasi berkaitan dengan peningkatan total bakteri
terutama amilolitik dan proteksi protein dari degradasi protozoa sehingga
memungkinkan meningkatnya penyediaan energi dan protein untuk ternak (Subrata et al.,
2005). Defaunasi menyebabkan turunnya mekanisme simbiosis antara metanogen
dengan protozoa, sehingga hanya sedikit hidrogen yang dapat dikonversikan menjadi gas
metana (Takahashi, 2006).
Produksi Gas Metana
Pada sektor peternakan, gas metana (CH 4) yang dibentuk merupakan hasil
fermentasi anaerob karbohidrat struktural maupun non struktural oleh metanogen
(mikroba penghasil gas metana) di dalam rumen ternak ruminansia dan selanjutnya
dikeluarkan ke atmosfer melalui proses eruktasi. Pembentukan gas metana di dalam
rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan.
Pada prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui
reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba
metanogenik menurut jalur reaksi seperti berikut:
CO2 + 4H2 ===> CH4 + 2H2O ; ΔG0 = – 32,75 kJ/mol H2
Pembentukan gas metana melalui jalur metanogenesis rumen berpengaruh
besar terhadap pembentukan produk-produk akhir fementasi di rumen terutama
berpengaruh terhadap jumlah mol ATP yang terbentuk yang selanjutnya berpengaruh
terhadap efisiensi produksi mikrobial rumen (Pinares-Patino et al., 2001).
Populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas
metana, artinya produksi gas metana berkurang apabila populasi protozoa rumen
menurun. Dengan demikian, emisi gas metana dapat dikurangi dengan memberikan
zat defaunator seperti tanin. Penurunan populasi protozoa dapat meningkatkan
aktivitas bakteri amilolitik di dalam rumen, sehingga menghasilkan lebih banyak
asam propionat dan lebih sedikit gas metana. Dengan demikian, defaunasi
memberikan harapan untuk menurunkan kontribusi gas metana dari ternak
ruminansia terhadap akumulasi gas rumah kaca antara lain berdasarkan sifat toksik
terhadap bakteri metanogen, sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti

senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh (McDonald et al., 2002).

Metode in Vitro Ruminansia


Menurut Hungate (1966), metode in vitro adalah proses metabolisme yang
terjadi di luar tubuh ternak. Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi
di dalam tubuh ternak yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan
abomasum. pH retikulo-rumen biasanya berkisar antara 5,5-7,0 dan bervariasi
dengan rasio pemberian konsentrat.
Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in vivo agar dapat
menghasilkan pola yang sama, sehingga nilai yang didapat juga mendekati sistem in
vivo. Metode in vitro menurut Tilley & Terry (1963) adalah metode yang
menyamakan kondisi lingkungan sama dengan kondisi di dalam rumen.
Komposisi nutrisi bahan pakan pada umumnya ditentukan terutama oleh
analisis kimia, namun hal ini tidak memberikan informasi yang cukup untuk
menentukan nilai nutrisi bahan pakan yang sebenarnya. Sistem pengukuran gas
secara in vitro membantu untuk mengukur nilai nutrisi suatu bahan pakan dan
keakuratannya telah divalidasi dalam berbagai eksperimen.
Produksi gas merupakan hasil fermentasi di dalam rumen dan dapat
menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Produksi gas yang
semakin tinggi menunjukkan bahan pakan semakin baik dalam arti kecernaannya
tinggi. Produksi gas dalam fermentasi secara umum proporsional terhadap hasil
metabolisme mikroba, sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi kecernaan.
Teknik in vitro produksi gas memiliki beberapa keunggulan dibandingan
metode in vitro lainnya yang didasarkan pada pengukuran residu. Produksi gas
mencerminkan semua nutrient yang dapat difermentasi baik yang larut maupun yang
tidak larut.
Menke & Steingass (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
produksi gas adalah jumlah substrat, kandungan air, sampel, ukuran partikel, ternak
donor, tekanan atmosfer, dan preservasi cairan rumen.
Tingkat degradasi bahan pakan yang diberikan sangat tergantung pada
komposisi fisik dan kimia bahan pakan yang akan didegradasi, aktivitas mikroba
rumen, dan ada tidaknya faktor-faktor pembatas seperti senyawa antinutrisi. Setiap
bahan pakan yang berbeda komposisi fisik dan kimia akan memberikan nilai
degradasi bahan kering dan produk fermentasi yang berbeda pula, tergantung pula
oleh daya adaptasi mikroba rumen terhadap substrat yang masuk ke rumen, sehingga
mikroba dapat bertahan hidup dan menunjang pertumbuhannya.

Anda mungkin juga menyukai