Anda di halaman 1dari 64

SIX SIGMA, LEAN DAN THEORY OF CONSTRAINT

Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah


Metode Manajemen Pelayanan Bidang Kesehatan

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IV
AJ PEMINATAN AKK-3

DINA MAYASARI 101611123058


RATIH CAHYANING TYAS 101611123064
EFVINA GOEMAWATI 101611123070

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

i
DAFTAR ISI

Sampul Depan ........................................................................................................ i


Daftar isi ................................................................................................................ ii
Daftar Tabel .......................................................................................................... iv
Daftar Gambar ..........................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................... 1
1.3 Manfaat ................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Six Sigma ................................................................................................ 3
2.1.1 Konsep dan Definisi Six Sigma ..................................................... 3
2.1.2 Tujuan Six Sigma ........................................................................... 9
2.1.3 Target Six Sigma ............................................................................ 9
2.1.4 Prinsip Six Sigma ......................................................................... 10
2.1.5 Metodologi DMAIC ................................................................... 10
2.2 Lean ...................................................................................................... 27
2.2.1 Konsep dan Definisi Lean .......................................................... 27
2.2.2 Tujuan Lean ................................................................................ 30
2.2.3 Prinsip Lean ................................................................................ 30
2.2.4 Aplikasi Lean .............................................................................. 31
2.3 Theory of Constraint (TOC) ................................................................. 31
2.3.1 Konsep dan Definisi TOC .......................................................... 31
2.3.2 Jenis Kendala .............................................................................. 32
2.4 Kerangka konsep ................................................................................. 34

BAB III LANGKAH PENGUKURAN DAN APLIKASI DI M. EXCEL


3.1 Langkah Pengukuran Six Sigma ........................................................... 35
3.2 Langkah Pengukuran Lean ................................................................... 46
3.3 Langkah Pengukuran TOC .................................................................. 41

ii
3.4 Aplikasi Pengukuran Six Sigma, Lean, dan TOC ................................ 53

KESIMPULAN ................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 59

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Korelasi DPOM dengan tingkat Six Sigma ........................................... 9


Tabel 3.1 Analisis dengan FMEA ........................................................................ 40
Tabel 3.2 perbaikan dengan sikap kerja ............................................................... 42

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus DMAIC ........................................................................... 11


Gambar 2.2 Konsep Lean .............................................................................. 27
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Theory of Constraint...................................... 34
Gambar 3.1 Keterkaitan Waste dengan Man, Machine, Material .................. 48
Gambar 3.2 Flow Chart Theory of Constrain ................................................. 54

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sesuai dengan perkembangan zaman, kemampuan analisis terutama pada
bidang manajemen dan penilaian mulai banyak bermunculan. Dengan
kemampuan yang digunakan untuk menganalisis hambatan dan peluang dari
produk yang dihasilkan diharapkan dapat membuat suatu organisasi dapat
bertahan dan semakin berkembang sesuai dengan target yang diinginkan dan
sesuai dengan tujuan organisasi.
Beberapa cara yang dapat digunakan antara lain Six Sigma, Lean dan
Constraint Management yang digunakan untuk memberikan solusi peningkatan
standar proses internal perusahaan yang bertujuan untuk meminimalisasi defect
atau nonconforming sehingga trend kegagalan produk menurun untuk tiap
periodenya, dan permasalahan yang berhubungan dengan waste.
Untuk itu melalui makalah ini, penulis bermaksud menjelaskan lebih dalam
mengenai metode penilaian sebuah organisasi dengan menggunakan metode Six
Sigma, Lean dan Constraint Management.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Six Sigma, Lean dan Constraint Management.
2. Untuk mengetahui fungsi Six Sigma, Lean dan Constraint Management.
3. Untuk mengetahui aplikasi penggunaan Six Sigma, Lean dan Constraint
Management.
4. Untuk mengetahui konsep Six Sigma, Lean dan Constraint Management.
5. Untuk mengetahui langkah pengukuran Six Sigma, Lean dan Constraint
Management.

1
1.3 Manfaat
1. Bagi penyusun
Makalah ini dapat menambah wawasan mengenai Six Sigma, Lean dan
Constraint Management
2. Bagi pembaca
Makalah ini dapat digunakan sebagai referensi media pembelajaran dan
aplikasi pembelajaran untuk mengetahui performance suatu organisasi atau
perusahaan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Six Sigma


2.1.1 Konsep dan Definisi Six Sigma
Konsep Six Sigma adalah apabila produk diproses pada tingkat
kualitas Six Sigma, maka perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan
per sejuta kesempatan atau mengharapkan 00,999% dari apa yang
diharapkan oleh pelanggan.
Six Sigma dijadikan alat ukur untuk menciptakan metode atau
strategi yang tepat dalam proses transaksi antara pihak produsen dan
pelanggan. Six Sigma juga menerapkan strategi atau terobosan dalam
perusahaan yang memungkinkan perusahaan tersebut dapat maju dan
meningkat pesat tingkat produktivitasnya (Gaspersz, 2002). Terdapat
enam aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six
Sigma, yaitu:
1) Identifikasi produk
2) Identifikasi pelanggan
3) Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan
4) Definisi proses
5) Hindarkan kesalahan dalam proses dan hilangkan pemborosan (waste)
6) Tingkatkan proses secara terus-menerus
Ada beberapa istilah yang perlu dipahami sebelumnya. Beberapa
istilah tersebut dikemukakan dalam Pedoman Implementasi Program Six
Sigma (Gaspersz, 2002).
a. Black Belt
Black Belt merupakan pimpinan tim yang bertanggung jawab untuk
pengukuran, analisis, peningkatan dan pengendalian proses-proses
kunci yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dan/atau
pertumbuhan produktifitas. Black Belt adalah orang yang menempati
posisi pemimpin paruh waktu.
b. Green Belt

3
Green Belt serupa dengan Black Belt, kecuali posisinya tidak paruh
waktu. Peran Green Belt adalah berpartisipasi pada proyek Six Sigma
yang ditangani oleh Black Belt dalam konteks tanggung jawab yang
telah ada pada mereka. Mempelajari metodologi Six Sigma untuk
dapat diaplikasikan pada proyek tertentu yang berskala kecil,
melanjutkan mempelajari dan memperaktekkan metode dan alat Six
Sigma setelah proyek Six Sigma berakhir.
c. Master Black Belt
Master Black Belt adalah guru yang melatih Black Belt yang
menangani sekitar 20-30 orang Black Belt, sekaligus mentor atau
konsultan proyek Six Sigma yang sedang ditangani oleh Black Belt.
d. Champion
Champion adalah individu yang berada pada manajemen yang
memahami Six Sigma dan bertanggung jawab untuk
keberhasilandariSix Sigma.
e. Critical to Quality (CTQ)
CTQ merupakan atribut-atribut yang sangat penting untuk
diperhatikan karena terkait langsung dengan kebutuhan dan kepuasan
pelanggan.
f. Defect
Defectdidefinisikan sebagai kegagalan untuk memberikan apa yang
diinginkan oleh pelanggan.
g. Defect Per Million Opportunities (DPMO)
DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan
kualitas Six Sigmayang menunjukan kegagalan per sejuta peluang.
Artinya dalam satu unit produk tunggal terdapat rata-rata kesempatan
untuk dari suatu karakteristik CTQ (Critical to Quality) adalah hanya
3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) bukan berarti bahwa
terjadi 3,4 jenis kecacatan dari sejuta output yang diproduksi.

4
h. Variation
Variationadalah apa yang pelanggan lihat dan rasakan dalam proses
transaksi antara pemasok dan pelanggan itu. Semakin kecil variasi
maka akan semakin disukai karena menunjukan konsistensi dalam
kualitas.
i. Define, Measure, Analyze, Improve and Control (DMAIC)
DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju
targetSix Sigma. DMAIC dilakukansecara sistematik, berdasarkan
ilmu pengetahuan dan fakta.
j. Failure, Mode and Effect Analyze (FMEA)
FMEA adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan
mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure modes). Suatu
mode kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam
kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi diluar batas spesifikasi
yang telah ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang
menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu.
k. Project Team Member
Anggota tim proyeksiSix Sigmaharus menerima pelatihan dasar
tentang metode dan alat Six Sigmaagar mampu menerapkannya dalam
proyek spesifik atau proyek pendukung yang melintasi fungsi (lintas
fungsi) dalam organisasi dibawah petunjuk Black Belts anggota tim
proyek dapat mengumpulkan dan menganalisis data, juga membantu
mempertahankan hasil yang telah dicapai melalui proyek Six
Sigmaitu.
Ukuran-ukuran dalam Six Sigma berkaitan dengan defect (cacat).
Ukuran akhir yang ingin diketahui adalah level sigma atau sigma quality
level. Berikut ini adalah ukuran-ukuran Six Sigma menurut Welch J.F
(2000) yang pada akhirnya diketahui level sigma:
a. Unit (U)
Jumlah part, sub-assy atau sistem yang diukur atau diperiksa.
Sebuah item yang sedang diproses, atau produk atau jasa akhir yang

5
sedang dikirim kepada pelanggan sebuah mobil, pinjaman hipotek,
hotel stay, bank statement dan sebagainya.
b. Defect (cacat)
Segala sesuatu yang membuat customer tidak puas. Kegagalan
untuk memenuhi persyaratan pelanggan/kinerja standar seperti mesin
bocor, penundaan dalam closing pinjaman hipotek, hapusnya
reservasi, statement error dan sebagainya.
c. Defective (D)
Semua unit yang berisi sebuah defect. Dengan demikian, sebuah
mobil dengan sembarang defect, secara teknik sama defect dengan
sebuah mobil dengan 15 defect.
d. Opportunity (OP)
Karakteristik yang diperiksa atau diukur, dalam hal ini yang
digunakan adalah Critical to Quality (CTQ) karena sebagian besar
produk atau jasa memiliki cacat. Jumlah peluang cacat pada sebuah
mobil, misalnya mungkin lebih dari 100. Ada tiga langkah utama
dalam menentukan jumlah opportunity yaitu:
- Membuat daftar pendahuluan dari jenis cacat.
- Menentukan yang mana actual defect, kritis bagi konsumen dan
spesifik.
- Periksalah jumlah peluang yang diusulkan terhadap standar.

e. Defect Per Unit (DPU)


Ukuran ini merefleksikan jumlah rata-rata dari defect, semua
jenis, terhadap jumlah total unit dari unit yang dijadikan sampel.

𝐷
𝐷𝑃𝑈 =
𝑈

𝑇𝑂𝑃 = 𝑈 𝑥 𝑂𝑃

6
f. Defect Per Opportunity (DPO)
Menunjukan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam
sebuah kelompok.

𝐷 𝐷
𝐷𝑃𝑂 = =
𝑇𝑂𝑃 𝑈 𝑥 𝑂𝑃

g. Defect Per Million Opportunity (DPMO)


Kebanyakan ukuran-ukuran peluang defect diterjemahkan
kedalam format DPMO, yang mengidentifikasikan berapa banyak
defect akan muncul jika ada satu juta peluang dalam lingkungan
pemanufakturan secara khusus, DPMO seringkali disebut “PPM”,
singkatan dari “parts per million”

𝐷𝑃𝑀𝑂 = 𝐷𝑃𝑂 𝑥 1.000.000

Menurut Gasperz (2011) Six Sigma memiliki dua arti penting yaitu:
a. Six Sigma sebagai Filosofi Manajemen
Six Sigma merupakan kegiatan yang dilakukan oleh semua
anggota perusahaan, menjadi budaya dan sesuai dengan visi dan misi
perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi proses bisnis
dan memuaskan proses bisnis dan memuaskan pelanggan, sehingga
dapat meningkatkan nilai perusahaan.Strategi penerapan Six Sigma
yang diciptakan oleh Dr. Mikel Harry dan Richard Schroeder disebut
sebagai The Six Sigma Breakthrough Strategy. Strategi ini merupakan
metode sistematis yang menggunakan pengumpulan data dan analisis
statistik untuk menentukan sumber-sumber variasi dan cara-cara
untuk menghilangkannya.

7
b. Six Sigma sebagai Sistem Pengukuran
Six Sigma dalam statistik dikenal sebagai standar deviasi yang
menyatakan nilai simpangan terhadap nilai tengah.Six Sigma dikenal
sebagai sistem pengukuran menggunakan Defect per Million
Opportunities (DPMO) sebagai satuan pengukuran. DPMO
merupakan ukuran yang baik bagi kualitas produk ataupun proses,
karena berkorelasi langsung dengan cacat, biaya, dan waktu yang
terbuang. Dengan menggunakan tabel konversi ppm dan sigma pada
lampiran, akan dapat diketahui tingkat sigma. Cara menentukan
DPMO adalah sebagai berikut:
1) Defect per Unit

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛
𝐷𝑃𝑈 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖

2) Defect per Opportunities

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛
𝐷𝑃𝑂 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑥 𝑃𝑒𝑙𝑢𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛

3) Defect per Million Opportunities:

𝐷𝑃𝑀𝑂 = 𝐷𝑃𝑂 𝑥 106

8
Selain menggunakan lampiran sebagai acuan mencari tingkat sigma,
maka korelasi antara DPMO dengan tingkat sigma dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Tabel 2.1 Korelasi DPOM dengan tingkat sigma
Yield DPMO Sigma
(Probabilitas tanpa (defect per million
cacat) opportunity)
30,9% 690.000 1
69,2% 308.000 2
93,3% 66.800 3
99,4% 6.120 4
99,89% 320 5
99,9997% 3,4 6

2.1.2 Tujuan Six Sigma


Tujuan dari program peningkatan Six Sigma dapat dipandang
menjadi dua kategori, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum dari Six Sigma ini adalah untuk memperbaiki sistem manajemen
suatu perusahaan atau instasi lain yang terkait dengan pelanggan.
Sedangkan tujuan khusus dari Six Sigma ini adalah untuk memperbaiki
proses produksi yang difokuskan pada usaha untuk mengurangi varian
proses sekaligus mengurangi cacat, sedemikian sehingga dapat mencapai
3,4 DPMO. Potensi untuk timbul kecacatan memang selalu ada, karena
tidak ada proses yang sempurna.

2.1.3 Target Six Sigma


Menurut Adhania (2008), tiga bidang utama yang menjadi target
usaha Six Sigma diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Six Sigma selalu berprinsip mengedepankan pelanggan
2. Six Sigma berusaha untuk mengurangi waste. Artinya, Six Sigma
mengarahkan perusahaan atau instansi untuk berusaha melakukan
tindakan-tindakan yang efektif dan efisien agar tidak membuang hal-
hal yang seharusnya lebih bermanfaat
3. Six Sigma berusaha untuk mengurangi jumlah cacat barang atau
jasa.Usaha-usaha tersebut jika diimplementasikan dengan sebenar-
9
benarnya oleh perusahaan, akan menghasilkan peningkatan biaya
yang sangat signifikan bagi perusahaan tersebut, dan juga berpeluang
besar untuk menjaga stabilitas keharmonisan hubungan dengan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta
menjadikan perusahaan tersebut mampu bersaing dengan perusahaan
produksi lainnya yang pada akhirnya dapat meningkatkan reputasi
perusahaan.

2.1.4 Prinsip Six Sigma


Six Sigma sebagai manajemen kualitas modern didasari oleh tiga
prinsip dasar antara lain:
1. Fokus pada pelanggan
2. Partisipasi dan kerja sama semua individu di dalam perusahaan
3. Fokus pada proses yang didukung oleh perbaikan dan pembelajaran
secara terus menerus
Sejumlah kesalahan dan cacat produksi ditoleransi dan dikendalikan
oleh inspeksi pasca produksi. Dengan fokus yang sungguh-sunggu pada
kualitas, maka sebuah organisasi akan secara aktif berusaha untuk
membangun kualitas dan mengintegrasikannya ke dalam proses-proses
kerja dengan cara menimba ilmu serta pengalaman dari para
karyawannya, dan terus memperbaiki semua sisi organisasi.

2.1.5 Metodologi DMAIC (Define, Measure, Analysis, Improve, Control)


Aplikasi Six Sigma berfokus pada cacat dan variasi, dimulai dengan
mengidentifikasi unsur–unsur kritis terhadap kualitas (Critical to
Quality/CTQ) dari suatu proses. Six Sigma menganalisa kemampuan
prosesdan bertujuan menstabilkannya dengan cara mengurangi atau
menghilangkan variasi–variasi.Langkah mengurangi cacat dan variasi
dilakukan secara sistematis dengan mendefinisikan,mengukur,
menganalisa, memperbaiki, dan mengendalikannya. Langkah sistematis
dalam Six Sigma dikenal dengan metode DMAIC. TimSix Sigma didalam

10
menyelesaikan proyek yangspesifik untuk dapat meraih level Six Sigma
perlu berpedoman pada 5 fase pada DMAIC tersebut.
Metodologi DMAIC digunakan pada saat sebuah perusahaan sudah
terdapat sebuah produk jadi atau produk yang masih dalam tahap proses,
namun belum mencapai spesifikasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Berikut adalah penjelasan dari metodologi DMAIC:
1. Define, menentukan tujuan proyek dan ekspektasi pelanggan
2. Measure, mengukur proses untuk dapat menentukan kinerja
sekarang atau sebelum mengalami perbaikan
3. Analysis, menganalisa dan menetukan akar permasalahan dari suatu
cacat atau kegagalan
4. Improve, memperbaiki proses menghilangkan atau mengurangi
jumlah cacat atau kegagalan
5. Control, mengawasi kinerja proses yang akan datang setelah
mengalami perbaikan
Ada lima tahap atau langkah dasar dalam menerapkan strategiSix
Sigmaini yaitu Define-Measure–Analyze-Improve-Control (DMAIC),
dimana tahapannya merupakan tahapan yang berulang atau membentuk
siklus peningkatan kualitas dengan Six Sigma. Siklus DMAIC dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus DMAIC

11
Adapun pendapat Siklus DMAIC Gaspersz (2007) adalah sebagai
berikut :
1. Define
Define merupakan langkah pertama dalam pendekatan Six Sigma. Langkah
ini mengidentifikasi masalah penting dalam proses yang sedang
berlangsung.Dalam tahapan ini memerlukan pendefinisian terhadap
beberapa hal yang terkait dengan (Gasperz , 2002):
a. Kriteria Pemilihan Proyek
Pemilihan proyek yang terbaik adalah berdasarkan identifikasi
proyek yang terbaik sepadan dengan kebutuhan, kapabilitas dan
tujuan organisasi yang sekarang, serta memenuhi:
• Kriteria manfaat bisnis atau hasil-hasil, meliputi dampak pada
pelanggan eksternal dan kebutuhan mereka, dampak pada strategi
bisnis dan posisi persaingan, dampak pada kompetisi inti, dampak
pada keuangan organisasi, urutan kepentingan, kecenderungan,
sekuens dan saling ketergantungan.
• Kriteria kelayakan, meliputi sumber daya yang dibutuhkan,
keahlian yang tersedia, kompleksitas, kemungkinan berhasil,
fasilitas pendukung.
• Kriteria dampak pada organisasi, meliputi manfaat pembelajaran
dan manfaat lintas fungsi.
b. Mendefinisikan peran-peran orang yang terlibat dalam proyek Six
Sigma. Terdapat beberapa orang atau kelompok dengan peran genetic
serta gelar yang dipakai dalam proyek Six Sigma.
• Dewan Kepemimpinan (Dewan Kualitas)
Merupakan orang-orang yang berada pada posisi manajemen
puncak (top management) dari organisasi.Peran dewan kualitas
ini adalah:
a) Menetapkan visi, peran dan infrastruktur dari Six Sigma.
b) Memilih proyek spesifikasi Six Sigma dan mengalokasi
sumber daya.

12
c) Meninjau ulang secara periodik tentang kemajuan dari
berbagai proyek Six Sigma dan menawarkan bantuan dan ide
untuk menghindari terjadinya overlapping pada proyek Six
Sigma.
d) Berperan secara individual sebagai sponsor dari proyek Six
Sigma.
e) Membantu mengkuatifikasi dampak dari usaha Six Sigma
kepada orang yang berada ditingkat bawah dalam organisasi.
f) Menilai kemajuan serta mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan dalam usaha Six Sigma.
g) Membagi dan menyebarluaskan praktik terbaik dari Six
Sigma keseluruh organisasi serta kepada pemasok kunci dan
pelanggan utama.
h) Membantu mengatasi hambatan dalam organisasi yang
berdampak negatif terhadap proyek Six Sigma.
i) Menetapkan pelajaran yang dipelajari dari Six Sigma pada
manajemen organisasi.
• Champion
Merupakan pemimpin dari startegi unti bisnis (strategic business
unit leader), pemimpin tim manajemen proyek yang berada di
lokasi pembangunan proyek, atau kepala dari fungsi utama dari
organisasi.Peran dari Champion adalah:
a) Mengidentifikasi jalur implementasi Six Sigma keseluruh
organisasi.
b) Menetapkan dan memelihara atau mempertahankan sasaran
yang luas untuk proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang
berada dibawah tanggung jawab dan wewenangnya termasuk
menciptakan proyek Six Sigma yang rasional dan menjamin
agar proyek Six Sigma itu selaras dengan prioritas bisnis.
c) Menyetujui perubahan dalam atau lingkup dari proyek-
proyek Six Sigma, apabila diperlukan.

13
d) Mengembangkan rencana pelatihan komprehensif untuk
implementasi Six Sigma.
e) Menemukan dan menegosiasikan sumber daya untuk
implementasi Six Sigma.
f) Memberi pengakuan dan penghargaan.
g) Mewakili tim untuk bertemu dengan kualitas atau Senior
Champion dan bertindak sebagai penasihat tim itu.
h) Membantu mengatasi isu dan tumpeng tindih yang
meningkat diantara diantara tim atau dengan orang diluar
tim.
i) Bekerjasama dengan pemilik proses agar menjamin
konsistensi perhatian pada proyek Six Sigma.
j) Menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui
peningkatan proses pada tugas manajemen.
• Master Black Belt
Merupakan individu yang dipilih oleh Champion untuk bertindak
sebagai tenaga ahli atau konsultan dalam perusahaan untuk
menumbuhkembangan dan menyebarluaskan pengetahuan
strategis yang bersifat terobosan-terobosan Six Sigma keseluruh
organisasi. Peran dari Master Black Belt yaitu:
a) Bekerjasama dengan Champion.
b) Mengembangkan dan menyebarluaskan bahan pelatihan
tentang Six Sigma keberbagai tingkat dalam organisasi.
c) Membantu dalam mengidentifikasi proyek Six Sigma.
d) Melatih dan mendukung Black Belts dalam pekerjaan Six
Sigma.
e) Berpartisipasi dalam peninjauan ulang proyek Six Sigma
serta memberikan bantuan berupa keahlian teknis.
f) Mengambil tanggungjawab kepemimpinan dalam program
utama.

14
g) Memudahkan atau menyediakan fasilitas untuk
penyebarluasan praktik terbaik berdasarkan Six Sigma
keseluruh organisasi.
• Black Belt
Merupakan orang yang memiliki posisi pada tingkat unit bisnis
untuk menetapkan teknik Six Sigma serta bertanggungjawab
untuk mengeksekusi proyek aplikasi Six Sigma dan
merealisasikan manfaat-manfaat yang telah menjadi target. Peran
Black Belts adalah:
a) Merangsang pemikiran Champion.
b) Mengidentifikasi hambatan yang ada dalam proyek Six
Sigma.
c) Memimpin dan mengarahkan tim dalam megeksekusi proyek
Six Sigma.
d) Melaporkan kemajuan kepada pihak yang berwenang.
e) Membantu Champion, apabila diperlukan.
f) Mendefinisikan dan membantu orang lain dalam penggunaan
alat Six Sigma yang sesuai, teknik manajemen tim dan
pertemuan.
g) Menyiapkan penilaian proyek secara terperinci selama tahap
pengukuran.
h) Mempertahankan jadwal proyek dan menjaga kemajuan
proyek menuju solusi akhir dan hasil.
i) Memperoleh masukan dari operator Supervisor lini pertama
dan pemimpin tim.
j) Mengelola resiko proyek Six Sigma.
k) Mendukung transformasi dari solusi baru atau proses baru
menuju operasional yang berlangsung terus-menerus, serta
bekerjasama dengan Manager fungsional atau memilih
proses yang bertanggung jawab terhadap proses secara
keseluruhan yang berada dibawah wewenang pemilik proses,

15
mendokumentasikan hasil akhir dan menciptakan
“storyboard” (peta kemajuan) dari proyek.
• Green Belt
Merupakan individu yang bekerja paruh waktu dalam area
spesifik atau mengambil tanggungjawab proyek kecil dalam
lingkup proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black Belts. Peran
dari Green Belts adalah:
a) Berpartisipasi pada proyek Six Sigma yang ditangani oleh
Black Belts dalam konteks tanggungjawab yang telah ada
pada mereka.
b) Mempelajari metodologi Six Sigma untuk dapat
diaplikasikan pada proyek tertentu berskala kecil.
c) Melanjutkan mempelajari dan mempraktekan metode dan
alat Six Sigma setelah proyek Six Sigma berakhir.
• Project Team Member
Anggota tim proyek Six Sigma harus menerima pelatihan dasar
tentang metode dan alat Six Sigma.

c. Mendefinisikan proses kunci beserta pelanggan dari proyek Six Sigma


Setiap proyek Six Sigma yang telah ditentukan, haruslah
mendefinisikan proses kunci, proses beserta interaksinya, serta
pelanggan yang terlibat dalam setiap proses. Dalam pengukuran ini
menggunakan metode SIPOC (Suppliers, Inputs, Processes, Outputs,
Customers), yaitu:
• Suppliers, merupakan kelompok orang yang memberikan
informasi kunci, material atau sumber daya lain kepada proses.
• Input, merupakan segala hal yang diberikan oleh suppliers pada
proses.
• Processes, merupakan langkahtransformasi untuk menambah
nilai pada inputs.
• Outputs, merupakan produk berupa barang atau jasa dari suatu
proses.
16
• Customers, merupakan kelompok orang yang menerima outputs.
d. Mendefinisikan dengan Diagram SIPOC
Menurut (Mustofa, 2012), diagram SIPOC merupakan suatu
diagram yang menggambarkan sebuah proses mayor yang meliputi
Supplier, Input, Process, Output dan Customer. Diagram ini biasa
digunakan untuk menunjukan aktifitas mayor atau subproses dalam
sebuah bisnis bersama-sama dengan kerangka kerja dari proses
tersebut. Diagram ini juga digunakan untuk membantu menentukan
batasan-batasan dan elemen-elemen kritis dari sebuah proses tanpa
menjadi begitu detail sehingga kehilangan gambar besar. Diagram
SIPOC biasa digunakan pada tahap proses define.

e. Adapun cara dalam mendefinisikan masalah adalah dengan membuat


fishbond/pohon masalah/ why why analysis kemudian digunakan untuk
menentukan prioritas masalah. Sumber penyebab masalah kualitas yang
ditemukan berdasarkan prinsip 7M, yaitu: (Gaspersz, 2002)
• Manpower (tenaga kerja)
Berkaitan dengan kekurangan dalam pengetahuan, kekurangan
dalam keterampilan dasar yang berkaitan dengan mental dan
fisik, kelelahan, stres, ketidakpedulian, dan lain-lain.

17
• Machines (mesin dan peralatan)
Berkaitan dengan tidak ada sistem perawatan preventif terhadap
mesin produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain tidak sesuai
dengan spesifikasi tugas, tidak dikalibrasi, terlalu complicated,
terlalu panas, dan lain-lain.
• Methods (metode kerja)
Berkaitan dengan tidak adanya prosedur dan metode kerja yang
benar, tidak jelas, tidak diketahui, tidak terstandarisasi, tidak
cocok, dan lain-lain.
• Materials (bahan baku dan bahan penolong)
Berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku
dan bahan penolong yang ditetapkan, ketiadaan penanganan yang
efektif terhadap bahan baku dan bahan penolong itu, dan lain-lain.
• Media/Environment
Berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak
memperhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan dan
keselamatan kerja, lingkungan kerja yang kondusif, kekurangan
dalam lampu penerangan, ventilasi yang buruk, kebisingan yang
berlebihan, dan lain-lain.
• Motivation (motivasi)
Berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang benar dan
professional, yang dalam hal ini disebabkan oleh sistem balas jasa
dan penghargaan yang tidak adil kepada tenaga kerja.
• Money (keuangan)
Berkaitan dengan ketiadaan dukungan finansial (keuangan) yang
mantap guna memperlancar proyek peningkatan Six Sigma yang
ditetapkan.

18
2. Measure
Measure merupakan tindak lanjut dari langkah Define dan merupakan
sebuah jembatan untuk langkah berikutnya yaitu Analyze.
Measuremerupakan langkah tradisional yang kedua dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 2 hal pokok yang harus
dilakukan, yaitu:
a. Memilih atau menentukan karakteristik (CTQ)
Kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari
pelanggan. Pada umumnya karakteristik kualitas yang sesuai dalam
pengukuran kualitas akan berbeda untuk setiap perusahaan, tetapi
pada umumnya karakteristik yang dipertimbangkan dalam
pengukuran kualitas adalah sebagai berikut:
• Kualitas produk, mencakup:
a) Kinerja (performance), berkaitan dengan aspek fungsional
dari produk tersebut.
b) Features, berkaitan dengan pilihan dan pengembangannya.
c) Keandalan (realibility), berkaitan dengan tingkat kegagalan
dalam penggunaan produk itu.
d) Serviceability, berkaitan dengan kemudahan dan ongkos
perbaikan.

19
e) Conformance (konformansi), berkaitan dengan tingkat
kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan
sebelumnya keinginan pelanggan.
f) Durability, berkaitan dengan daya tahan atau masa pakai dari
produk itu.
g) Aesthectics (Estetika), berkaitan dengan desain dan
pembungkusan atau kemasan dari produk itu.
h) Perceived Quality (kualitas yang dirasakan), bersifat
subyektif, berkaitan dengan perasaan pelanggan dalam
mengkonsumsi produk itu seperti meningkatkan
• Dukungan Purna Jual, mencakup:
a) Kesempatan penyerahan, berkaitan dengan lamanya waktu
antara waktu pelanggan memesan produk dan waktu
penyerahan produk itu.
b) Konsistensi, berkaitan dengan kemampuan memenuhi jadwal
yang dijanjikan
c) Tingkat pemenuhan pemesanan, berkaitan dengan
kelengkapan dari pemesanan yang dikirim.
d) Informasi berkaitan dengan status pemesanan.
e) Tanggapan dalam keadaan darurat berkaitan dengan
kemampuan menangani permintaan non-standar yang bersifat
tiba-tiba.
f) Kebijakan pengembalian, berkaitan dengan prosedur
menangani barang rusak yang dikembalikan pelanggan.
• Interaksi antara karyawan (pekerja) dan pelanggan, mencakup:
a) Ketetapan waktu yang berkaitan dengan kecepatan
memberikan tanggapan terhadap keperluan pelanggan.
b) Penampilan karyawan yang berkaitan dengan kebersihan dan
kecocokan dalam berpakaian.
c) Kesopanan dan tanggapan terhadap keluhan, berkaitan dengan
bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan masalah yang
diajukan pelanggan.

20
b. Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output
Karena proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang ditetapkan
akan difokuskan pada upaya peningkatan kualitas menuju ke arah zero
defect sehingga memberikan kepuasan total kepada pelanggan, maka
sebelum proyek dimulai, kita harus mengetahui tingkat kinerja yang
sekarang atau dalam terminologi Six Sigma disebut sebagai baseline
kinerja, sehingga kemajuan peningkatan yang dicapai setelah
memulai proyek Six Sigma dapat diukur selama berlangsungnya
proyek Six Sigma.
Baseline kinerja dalam Six Sigma ditetapkan dengan
menggunakan satuan pengukuran DPMO (Defect per Million
Opportunities) dan tingkat kapabilitas Sigma(Sigma Level). Ada 3
baseline kinerja:
• Pengukuran baseline kinerja pada proses
Pengukuran ini biasa dilakukan apabila suatu proses terdiri dari
beberapa sub-proses. Pengukuran kinerja pada tingkat proses
akan memberikan gambaran yang jelas tentang segala sesuatu
yang terjadi dalam sub-proses, yang biasanya masalah-masalah
kualitas tidak tampak apabila pengukuran kinerja itu hanya
dilakukan pada tingkat output.
• Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output
Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output dilakukan secara
langsung pada produk akhir yang akan diserahkan kepada
pelanggan. Pengukuran pada tingkat output ini dimaksudkan
untuk mengetahui sejauh manaoutput akhir tersebut dapat
memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan sebelum produk
tersebut diserahkan kepada pelanggan.
• Pengukuran baseline kinerja pada tingkat outcome
Pengukuran ini dilakukan secara langsung pada pelanggan yang
menerima output dari suatu proses.

21
3. Analysis
Langkah ini mulai masuk kedalam hal-hal detail, meningkatkan
pemahaman terhadap proses dan masalah, serta mengidentifikasi akar
masalah. Pada langkah ini, pendekatan Six Sigma menerapkan statistical
tool untuk memvalidasi akar permasalahan, dalam tahap analysis
merupakan tahapan menguraikan, membandingkan, dan mengkaji hasil
ddari tahap measure. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui
seberapa baik proses yang berlangsung dan mengidentifikasi akar
permasalahan yang mungkin menjadi penyebab timbulnya variasi dalam
proses.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan pada tahap ini, yaitu:
a. Menentukan stabilitas dan kemampuan (kapabilitas) proses
Proses industri dipandang sebagai proses peningkatan terus-
menerus (continious improvement) yang dimulai dari sederet siklus
sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk (barang atau
jasa), pengembangan produk, proses produksi atau operasi, sampai
kepada distribusi kepada pelanggan. Pemahaman kepada proses
industri yang diperlukan adalah memahami bagaimana suatu proses
itu bervariasi dari waktu ke waktu dalam menghasilkan produk
(statistical thinking), sehingga dapat diambil tindakan yang tepat
untuk meningkatkan kerja dari proses industri itu menuju tingkat
kegagalan nol (zero defect) dengan menggunakan alat-alat bantuan
statistika (statistical tool).
Variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem industri
sehingga menimbulkan perbedaan kualitas pada produksi yang
dihasilkan. Ada dua sumber atau penyebab timbulnya variasi, yaitu:
• Variasi penyebab khusus (special causes variation)
Adalah kejadian-kejadian diluar sistem industri yang
mempengaruhi variasi dalam sistem industri itu.
• Variasi penyebab umum (common causes variation)

22
Adalah faktor-faktor didalam sistem industri atau yang melekat
dalam proses industri yang menyebabkan timbulnya variasi
dalam sistem industri serta hasil-hasilnya.
b. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab masalah kualitas
Proyek Six Sigma membutuhkan:
• Identifikasi masalah secara cepat.
• Menemukan sumber masalah dan akar penyebab dari masalah
kualitas ini.
• Mengajukan solusi masalah kualitas yang efektif dan efisien.

4. Improve
Selama tahap ini, diuraikan ide-ide perbaikan atau solusi-solusi yang
mungkin untuk dilaksanakan. Improve yang dilakukan seperti
mengembangkan ide untuk meniadakan akar masalah, mengadakan
pengujian dan mengukur hasil. Pada langkah ini ditetapkan suatu rencana
tindakan untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Rencana
tersebut mendeskripsikan tentang sumber daya serta prioritas atau
alternatif yang dilakukan. Dalam proses improve menggunakan diagram
sebab akibat dengan metode 5W+1H yang diterapkan pada sebab-sebab
berikut:
a. Manusia, dimana peningkatan keterampilan kerja karyawan dengan
mengambil sampel karyawan bagian produksi.
b. Bahan yang terdiri dari penyeleksian bahan baku input harus sesuai
dengan standar perusahaan.
c. Lingkungan, dimana lingkungan tempat perusahaan beroperasi dan
sebagai kantor harus mendukung untuk diadakannya produksi.
d. Peralatan, dimana pemeliharaan mesin dan mengganti mesin yang
sudah tidak layak jalan atau digunakan.
e. Metode kerja, penerapan metode kerja dengan pengendalian mutu
terpadu dengan menggunakan metode Six Sigma untuk penetapan
tingkat pencapaian kualitas yang dapat memuaskan pelanggan.

23
f. Pengukuran, dimana pengukuran menggunakan metode Six Sigma yaitu
dengan dilakukan tiap proses produksi.
g. Karakteristik kualitas, yaitu produk dengan kualitas baik dengan tingkat
kerusakan produk lebih sedikit, sehingga pencapaian kepuasan
konsumen terpenuhi.
Dengan penjabaran diagram tulang ikan atau diagram Ishikawa
diatas, maka langkah berikutnya adalah penerapan dengan menggunakan
metode 5W+1H, yaitu:
a. Apa (what) apa yang menjadi target utama dengan menetapkan
penyebab yang paling utama yang dapat diperbaiki.
b. Mengapa (why) adalah mengapa rencana tindakan itu diperlukan
dengan mencari alasan dan membandingkan antara produk yang bagus
dengan produk yang cacat atau rusak.
c. Dimana (where) adalah dimana rencana itu akan dilaksanakan.
d. Bilamana (when) adalah bilamana aktifitas rencana tindakan itu akan
terbaik untuk dilaksanakan.
e. Siapa (who) adalah siapa yang akan mengerjakan aktifitas rencana
tindakan itu, yaitu dengan mengidentifikasi struktur organisasi untuk
menentukan jabatan atau posisi yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan langkah perbaikan.
f. Bagaimana (how) adalah bagaimana langkah-langkah dalam penerapan
tindakan peningkatan itu.
Selain menggunakan 5W+1H, juga bisa menggunakan sikap kerja
5S dan penataan tata letak kantor. Sikap 5S dirancang untuk
menghilangkan pemborosan dan merupakan suatu gerakan yang
merupakan kebulatan tekad untuk mengadakan penataan, pembersihan,
memelihara kondisi yang mantap dan memelihara kebiasaan yang
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik (Osada, 2002).

24
Berikut ini sikap kerja dalam penerapan 5S:
a. Seiri (Pemilahan)
Aktivitas mengatur segala sesuatu, memilih sesuai dengan aturan atau
prinsip tertentu atau dapat dikatakan bahwa pemilahan adalah seni
membuang barang.
b. Seiton (Penataan)
Menyimpan barang di tempat yang tepat atau dalam tata letak yang
benar dengan memperhatikan efisiensi, kualitas dan keamanan serta
mencari cara penyimpanan yang optimal sehingga dapat digunakan
dalam keadaan mendadak karena dapat menghilangkan proses
pencarian.
c. Seiso (Pembersihan)
Seiso berati membuang sampah, kotoran dan benda-benda asing seta
membersihkan segala sesuatu.
d. Seiketsu (Pemantapan)
Pemantapan terus menerus dan secara berulang-ulang memelihara
pemilahan, penataan dan pembersihan.
e. Shitsuke (Pembiasaan)
Pembiasaan adalah melakukan pekerjaan berulang-ulang sehingga
secara alami kita dapat melakukannya dengan benar. Jika kita ingin
melakukan pekerjaan secara efisien dan tanpa kesalahan maka kita
harus melakukannya setiap hari.
Tata ruang kantor adalah penentuan mengenai kebutuhan-kebutuhan
ruang dan tentang penggunaannya secara terperinci dari ruangan tersebut
untuk menyiapkan suatu susunan yang praktis dari faktor-faktor fisik yang
dianggap perlu bagi pelaksanaan kerja perkantoran dengan biaya yang
layak (Terry dalam The Liang Gie, 1988). Apabila dirinci maka manfaat
tata ruang kantor antara lain adalah:
a. Mencegah penghamburan tenaga dan waktu para pegawai karena
prosedur kerja dapat dipersingkat.
b. Menjamin kelancaran proses pekerjaan yang bersangkutan.
c. Memungkinkan pemakaian ruang kerja secara efisien.

25
d. Mencegah para pegawai di bagian lain terganggu oleh publik yang akan
menemui suatu bagian tertentu, atau oleh suara bising lainnya.
e. Menciptakan kenyamaan bekerja bagi para pegawai.
f. Memberikan kesan yang baik terhadap para pengunjung.
g. Mengusahakan adanya keleluasaan bagi:
1) Gerakan pegawai yang sedang bekerja.
2) Kemungkinan pemanfaatan ruangan bagi keperluan lain pada waktu
waktu tertentu.
5. Control
Sebagai bagian dari pendekatan Six Sigma, perlu adanya pengawasan
untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang diinginkan sedang dalam proses
pencapaian. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menilai dan
membandingkan hasil dari analysis dengan standar. Hasil peningkatan
kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktik-praktik terbaik
yang sukses dalam peningkatan proses distandarisasikan dan
disebarluaskan, prosedur didokumentasikan dan dijadikan sebagai
pedoman standar, serta kepemilikan atau tanggungjawab ditransfer dari
tim kepada pemilik atau penanggungjawab proses (Gasperz, 2002).
Terdapat dua alasan dalam melakukan standarisasi, yaitu:
a. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak
distandarisasi, terdapat kemungkinan bahwa setelah periode waktu
tertentu, manajemen dan karyawan akan menggunakan kembali cara
kerja yang lama sehingga memunculkan kembali masalah yang telah
terselesaikan itu.
b. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak
distandarisasikan dan didokumentasikan, maka terjadi kemungkinan
setelah periode waktu tertentu apabila terjadi pergantian manajemen
dan karyawan, orang baru akan menggunakan cara kerja yang akan
memunculkan kembali masalah yang sudah pernah terselesaikan oleh
manajemen dan karyawan terdahulu.

26
2.2 Lean
2.2.1 Konsep dan Definisi Lean
Konsep Lean Process atau Lean berakar dari konsep sistem
manajemen Toyota yang dikembangkan dan diperluas, sistem
manajemen Toyota ditunjukan dalam bagan berikut:

Gambar 2.2 Konsep Lean

Dari bagan di atas tampak bahwa sistem manajemen Toyota


bertujuan untuk mencapai QCD (Quality, Cost, Delivery) melalui
memperpendek aliran produksi dan eliminasi pemborosan. Lean
dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan
sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan
(waste) atau beberapa aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-
value-adding activities) melalui peningkatan terus-menerus secara
radikal (radical continuous improvement) dengan cara mengalirkan
produk dan informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari
pelanggan internal dan eksternal untuk mengejar keunggulan dan
kesempurnaan.
APICS Dictionary (2005) mendefinisikan Lean sebagai suatu
filosofi bisnis yang berlandaskan pada minimasi penggunaan
27
sumber-sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai aktivitas
perusahaan. Lean berfokus pada idetifikasi dan eliminasi aktivitas-
aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-adding activities) dalam
desain, produksi (untuk bidang manufaktur) atau operasi (untuk
bidang jasa), dan supply chain management, yang berkaitan
langsung dengan pelanggan.
Menurut Pusporini (2009) Lean adalah suatu upaya terus-
menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan
meningkatkan nilai tambah (value added) produk (barang dan/atau
jasa) agar memberikan nilai kepada pelanggan (customer value).
Untuk Lean yang diterapkan pada keseluruhan perusahaan disebut
sebagai Lean Enterprise .Sedangkan Lean yang diterapkan pada
manufacturing industry disebut sebagai Lean Manufacturing.
Berdasarkan perspektif Lean, semua jenis pemborosan (waste)
yang terdapat sepanjang proses value stream, yang
mentransformasikan input menjadi output, harus dihilangkan guna
meningkatkan nilai produk (barang dan/atau jasa) dan selanjutnya
meningkatkan customer value. Pada dasarnya dikenal dua kategori
utama pemborosan, yaitu Type One Waste dan Type Two Waste.
Type One Waste adalah aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai
tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang
value stream, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat
dihindarkan karena berbagai alasan. Dalam jangka panjang Type
One Waste harus dapat dihilangkan atau dikurangi.Type Two Waste
merupakan aktivitasyang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat
dihilangkan dengan segera.Type Two Waste ini sering disebut
sebagai Waste, karena benar-benar merupakan pemborosan yang
harus dapat diidentifikasi dan dihilangkan dengan segera.

28
Terdapat sembilan jenis pemborosan (waste) yang selalu ada
dalam bisnis dan industi, disingkat E-DOWNTIME, yaitu:
1. E = Environmental, Health and Safety (EHS)
Jenis pemborosan yang terjadi karena kelalaian dalam
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
EHS.
2. D = Defects
Jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau
kegagalan produk (barang dan/atau jasa).
3. O = Overproduction
Jenis pemborosan yang terjadi karena produksi melebihi
kualitas yang dipesan oleh pelanggan.
4. W = Waiting
Jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu.
5. N = Not utilizing employees knowledge, skills dan abilities
Jenis pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang
terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan, keterampilan,
dan kemampuan karyawan secara optimum.
6. T = Transportation
Jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang
berlebihan sepanjang proses value stream.
7. I = Inventories
Jenis pemborosan yang terjadi karena inventories yang
berlebihan.
8. M = Motion
Jenis pemborosan yang terjadi karena pergerakan yang
lebih banyak daripada yang seharusnya sepanjang proses value
steram.
9. E = Excess Processing
Jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah
proses yang lebih panjang daripada yang seharusnya sepanjang
proses value stream.

29
2.2.2 Tujuan Lean
Tujuan utamaLean adalah meningkatkan terus-menerus customer
value melalui peningkatan terus-menerus rasio antara nilai tambah
terhadap waste (the value-towaste ratio).

2.2.3 Prinsip Lean


Terdapat lima prinsip dasar Lean antara lain:
1) Mengidentifikasi nilai produk (barang atau jasa) berdasarkan
perspektif pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk
(barang atau jasa) berkualitas superior, dengan harga yang kompetitif
dan penyerahan yang tepat waktu.
2) Mengidentifikasi value streamprocess mapping (pemetaan proses
pada value stream) untuk setiap produk.
3) Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua
aktivitas sepanjang proses value stream.
4) Mengorganisasikan agar material, informasi dan produk mengalir
secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan
sistem tarik (pull system).
5) Terus-menerus mencari berbagai teknik dan alat peningkatan
(improvement tools and technique) untuk mencapai keunggulan dan
peningkatan terus-menerus.
Menurut (Gaspersz, 2012) Persyaratan dan landasan bagi
perusahaan untuk menyebarkan lean production meliputi:
1) Kombinasikan berfikir lean dengan strategi bisnis
2) Integrasikan dengan para penyalur (supplier) dan pelanggan
(customer)
3) Komitmen manajemen
4) Keterlibatan semua staff

30
2.2.4 Aplikasi Lean
Ada beberapa aplikasi yang bisa diterapkan pada suatu sistem yang
menjalankan lean, adalah sebagai berikut:
1) Mengurangi ukuran lot produksi
2) Mengurangi waktu set up
3) Fokus pada pemasok tunggal
4) Menjalankan kegiatan pemeliharaan preventif (preventive
maintenance)
5) Penurunan cycle time
6) Mengurangi persediaan (stock) untuk mengekpos manufaktur,
distribusi dan masalah penjadwalan.
7) Menggunakan peralatan yang baru atau teknologi.
8) Menggunakan teknik change over cepat.
9) Continous atau one pieces flow.
10) Produksi menggunakan sistem tarik atau kanban.
11) Menghapus kemacetan (bottleneck).
12) Menggunakan teknik pemeriksaan kesalahan atau pokayoke, dan
13) Menghilangkan waste.

2.3 Theory of Constraints (TOC)


2.3.1 Konsep dan DefinisiTheory of Constraints (TOC)
Menurut Cox dan Scheier (2010) Theory Of Constraints (TOC) atau
Teori Kendala merupakan filosofi manajemen sistem yang
dikembangkan oleh Eliyahu M. Goldratt sejak awal 1980-an. TOC
didefinisikan sebagai suatu pendekatan ke arah peningkatan proses yang
berfokus pada elemen-elemen yang membatasi kinerja untuk
meningkatkan output.
Render dan Heizer (2005),”Theory of Constraints is the body of
knowledge that deals with anything that limits organization’s ability to
achieve its goals”. TOC merupakan filosofi terus-menerus yang berfokus
pada identifikasi atas kendala untuk mencapai tujuan organisasi (Tersine,
2004).

31
Penerapan TOC lebih terfokus pada pengelolaan operasi yang
terpusat pada kendala yang muncul sebagai kunci dalam meningkatkan
kinerja sistem produksi yang nantinya dapat berpengaruh terhadap
profitabilitas secara keseluruhan.

2.3.2 Jenis Kendala


Menurut Hansen dan Mowen, jenis kendala dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Berdasarkan asalnya:
1) Kendala internal (internal constraint) adalah faktor-faktor yang
membatasi perusahaan yang berasal dari dalam perusahaan,
misalnya keterbatasan jam mesin. Kendala internal harus
dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan throughput
semaksimal mungkin tanpa meningkatkan persediaan dan biaya
operasional.
2) Kendala eksternal (external constraint) adalah faktor-faktor
yang membatasi perusahaan yang berasal dari luar perusahaan,
misalnya permintaan pasar atau kuantitas bahan baku yang
tersedia dari pemasok. Kendala eksternal yang berupa volume
produk yang dapat dijual, dapat diatasi dengan menemukan
pasar, meningkatkan permintaan pasar ataupun dengan
mengembangkan produk baru.
b. Berdasarkan sifatnya:
1) Kendala mengikat (binding constraint) adalah kendala yang
terdapat pada sumber daya yang telah dimanfaatkan
sepenuhnya.
2) Kendala tidak mengikat atau kendur (loose constraint) adalah
kendala yang terdapat pada sumber daya yang terbatas yang
tidak dimanfaatkan sepenuhnya.

32
Selain yang telah disebutkan di atas, Kaplan dan Atkinson (1998)
membagi kendala menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Kendala sumber daya (resource constraint)
Kendala ini berupa kemampuan faktor input produksi, misalnya
bahan baku, tenaga kerja dam mesin.
b. Kendala pasar (market resource)
Kendala yang merupakan tingkat minimal dan maksimal dari
penjualan yang mungkin selama dalam periode perencanaan
c. Kendala keseimbangan (balanced constraint)
Diidentifikasi sebagai produksi dalam siklus produksi.
Menurut Dettmer (2000) mengklasifikasikan kendala menjadi dua,
antara lain:
a. Kendala fisik
Kendala fisik terdiri dari alat, fasilitas, material dan sumber daya
manusia.
b. Kendala kebijakan
Kendala kebijakan terdiri dari hukum dan peraturan. Kebijakan
seringkali menyebabkan munculnya kendala fisik.
Theory of Constraint (TOC) mengakui bahwa kinerja setiap
perusahaan dibatasi oleh kendala-kendalanya, yang kemudian
mengembangkan pendekatan kendala untuk mendukung tujuan, yaitu
kemajuan terus-menerus suatu perusahaan (continious improvement).
Teori ini memfokuskan diri pada tiga ukuran yaitu:
a. Throughput, adalah suatu ukuran dimana suatu perusahaan
menghasilkan uang melalui penjualan.
b. Persediaan, adalah semua dana yang dikeluarkan perusahaan untuk
mengubah bahan baku mentah melalui throughput. Bahan
persediaan dalam TOC merupakan semua aktiva yang dimiliki dan
terrsedia secara potensial untuk penjualan.
c. Biaya-biaya operasional, yang dikeluarkan perusahaan untuk
mengubah persediaan menjadi throughput. Biaya operasi ini terjadi
untuk mendukung dan mengoptimalkan throughput dalam kendala.

33
Berdasarkan ketiga ukuran ini, tujuan manajemen dapat dinyatakan
sebagai meningkatkan throughput, meminimalkan persediaan dan
menurunkan beban operasi.Dengan meningkatkan throughput,
meminimalkan persediaan, dan menurunkan beban operasi akan
membawa dampak terhadap meningkatnya kinerja keuangan seperti:
1. Laba
2. Return on Investment
3. Cash flow

2.4 Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep TOC


Dari Kerangka konsep tersebut dapat diketahui bahwa pengukuran lean
dan six sigma termasuk kedalam langkah dari TOC yaitu pada langkah ke 2
dan ke 3, dalam langkah tersebut dijelaskan bahwa sasaran lean dan six sigma
adalah untuk meningkatkan kecepatan produksi dan mengurangi waste yang
telah diidentifikasi sebelumnya.

34
BAB III
LANGKAH PENGUKURAN DAN APLIKASI PENGUKURAN DI
MICROSOFT EXCEL

3.1 Langkah Pengukuran Six Sigma


Dalam Six Sigma ada siklus 5 fase DMAIC (Define, Measure, Analyze,
Improve, Control) yaitu proses peningkatan terus menerus menuju target six
sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik berdasarkan pengetahuan dan
fakta. DMAIC merupakan suatu proses closed–loop yang menghilangkan
langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada
pengukuran–pengukuran baru dan menerapkan teknologi untuk peningkatan
kualitas menuju target six sigma.
Kasus RS. X adalah salah satu rumah sakit rehabilitasi di Indonesia yang
memiliki target capaian ±50 pasien setiap harinya. Target capaian ini sebagai
evaluasi tingkat pengunjung setiap tiga bulannya. Dari survey pelanggan yang
telah dilakukan didapatkan indeks kepuasan pelanggan sebesar 81-82% dimana
masih belum sesuai dengan Standard Pelayanan Minimal-Rumah Sakit (SPM-
RS). Untuk meningkatkan kepuasan pelanggan tersebut diperlukan upaya
peningkatan kualitas pelayanan dengan menggunakan metode Six Sigma.

1. Define
Define merupakan pemilihan masalah yang harus diatasi, menemukan
kesempatan untuk melakukan perbaikan, serta pemahaman proses-proses
yang terlibat dan kebutuhan pelanggan melalui perspektif tingkat tinggi.
Pada tahapan ini dilakukan pendefinisian atribut-atribut kepuasan
konsumen terhadap pelayanan yang dirasakan dan pengujian terhadap
atribut-atribut kepuasan konsumen dengan 5 dimensi kualitas yang terdiri
23 atribut. Pada survey pendahuluan dengann jumlah minimal 30 orang ini
maka distribusi skor (nilai) akan lebih mendekati kurve normal
menggunakan kuisioner (Singarimbum & Effendi, 1987). Kuesioner
tersebut diuji kelayakan dengan uji validitas pada persepsi pelanggan dari
setiap atribut memiliki nilai yang melebihi 0,361 (r tabel), dan pada harapan

35
pelanggan dari setiap atribut memiliki nilai yang melebihi 0,361 (r tabel),
sehingga dapat dinyatakan bahwa setiap butir pernyataan yang ada dalam
kuesioner adalah valid. Uji reliabilitas pada persepsi dan harapan pelanggan
dapat diketahui bahwa nilai r hitung untuk setiap atribut ≥ 0.7 maka dapat
disimpulkan bahwa semua atribut dalam kuesioner adalah relibael.

2. Measure
Measure merupakan tindak lanjut logis terhadap langkah Define dan
merupakan sebuah jembatan untuk langkah berikutnya. Pada tahapan ini
dilakukan pengukuran dengan analisis Gap dan analisis kapabilitas proses.
a. Analisis GAP
Setelah dilakukan rekapitulasi terhadap seluruh kuesioner, selanjutnya
dilakukan analisis perhitungan GAP setiap atribut. GAP diperhitungkan
dari selisih antara persepsi dan harapan pelanggan. GAP antara persepsi
dan harapan pelanggan terhadap proses pelayanan di PKJ RS. X .
Hasilnya semua atribut memiliki nilai GAP negative terutama pada
atribut pegawai menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga pasien,
ruang administrasi yang bersih dan tertata rapi dengan, dan kemampuan
pegawai dalam menjawab pertanyaan keluarga pasien, sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam proses pelayanan yang diberikan oleh pihak
pegawai dan tenaga medis di PKJ kepada pelanggan masih belum sesuai
dengan harapan atau keinginan dari pelanggan dan perlu untuk
dilakukan perbaikan.
b. Kapabilitas Proses
Perhitungan kapabilitas proses dilakukan untuk mengetahui sampai
berapakah nilai sigma dari pelayanan tersebut. Nilai sigma dihitung
pada atribut yang memiliki nilai GAP terbesar (paling negatif), dimana
konversi DPMO ke nilai sigma berdasarkan Motorola’s 6-Sigma
Process. Dalam menentukan nilai kapabilitas proses dilakukan
penyebaran dengan membentuk 20 subgroup dimana setiap subgroup
terdiri dari 5 responden. Banyaknya CTQ didapatkan dari jumlah
ketidakpuasan maksimal yang mungkin terjadi dari setiap subgroup,

36
dimana setiap subgroup terdiri dari 5 responden sehingga jumlah CTQ
proses adalah 5. Kapabilitas proses untuk atribut paling negatif dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Yield DPMO
(Probabilitas tanpa (defect per million Sigma
cacat) opportunity)
30,9% 690.000 1
69,2% 308.000 2
93,3% 66.800 3
99,4% 6.120 4
99,89% 320 5
99,9997% 3,4 6

Dari perhitungan kapabilitas proses diatas dapat diketahui bahwa nilai


kapabilitas proses terbesar adalah kemampuan pegawai administrasi dengan
nilai sigma sebesar 2.62σ, dilanjutkan pada proses komunikasi pegawai
dengan nilai sigma sebesar 2.45σ, dan proses yang memiliki kapabilitas
proses terendah adalah kebersihan dan kerapihan ruang administrasi dengan
37
nilai sigma sebesar 1.91σ. Dari ketiga nilai sigma tersebut dapat
disimpulkan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pihak RS masih belum
maksimal karena nilai sigma masih jauh dari harapan yaitu sebesar 6σ.

3. Analyze
Pada tahap ini dilakukan identifikasi sumber-sumber dan akar penyebab
permasalahan yang terjadi pada pelayanan pasien rawat jalan dengan
menggunakan FMEA. Pengukuran dilakukan dengan menghitung nilai RPN
dari ketiga atribut yang memiliki nilai Gap negatif tertinggi. Failure Mode
and Effect Analysis (FMEA) merupakan suatu prosedur terstruktur untuk
mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure
mode) atau bisa dikatakan mengidentifikasi sumber-sumber dan akar
penyebab dari suatu masalah kualitas. Dalam melakukan analisis dengan
menggunakan FMEA ada tiga faktor yang diolah meliputi:
a. Severity (S)
Severity adalah langkah pertama untuk menganalisis resiko yaitu
menghitung seberapa serius kondisi yang diakibatkan jika terjadi
kegagalan.
b. Occurance (O)
Occurance adalah frekuensi terjadinya penyebab dan modus kegagalan
selama masa penggunaan jasa.
c. Detection (D)
Detection merupakan tingkat kemampuan mendeteksi kegagalan
sebelum efek kegagalan tersebut benar-benar terjadi.
Risk Priority Number (RPN) merupakan produk matematis dari
keseriusan effect (Severity), kemungkinan terjadinya cause akan
menimbulkan kegagalan yang berhubungan dengan effect (Occurance), dan
kemampuan untuk mendeteksi kegagalan sebelum terjadi pada kegagalan
(Detection).

𝑅𝑃𝑁 = 𝑆 𝑥 𝑂 𝑥 𝐷

S = Severity

38
O = Occurance
D = Detection
RPN ini digunakan untuk memprioritaskan tindakan. Semakin besar
nilai RPN, semakin besar pula perhatian yang diberikan. RPN berkisar
antara 1-1000.Setelah diketahui nilai sigma dari atribut yang memiliki nilai
GAP terbesar, selanjutnya adalah melakukan analisis dengan meranking
GAP tersebut untuk mengetahui nilai sigma terendah yang menimbulkan
ketidakpuasan pelanggan. Analisis FMEA dapat dilihat dari tabel berikut:

39
Tabel 3.1 Analisis dengan FMEA
Penyebab
Dimensi CTQ S O Kontrol Sekarang D RPN Rekomendasi Kontrol
Ketidakpuasan
Proporsi pengunjung Loket pendaftaran
Pihak keluarga sabar untuk
dan pegawai tidak 3 melayani dari jam 4 24
menunggu dilayani
berimbang 07.30-14.00
Pelayanan dilakukan
Jam pelayanan 2 dari jam 07.30-16.00 12 Pegawa tidak tergesa-gesa saat
3
pasien terbatas kecuali loket melayani pasien
pendaftaran
Pegawai
Komunikasi Keluarga pasien lebih aktif
membiasakan untuk
pegawai Keluarga pasien untuk bertanya jika ada
3 memulai obrolan 12
Empathy dengan 2 kurangkomunikatif / 2 sesuatu yang kurang
dengan keluarga
keluarga pasif dimengerti atau kurang
pasien
pasien dipahami
Pengunjung mengetahui
Pasien yang kurang Memberikan nomor
3 1 6 nomor antrian keberapa dan
disiplin dalam antrian
banyak antrian yang ada
antrian
Menyediakan
Pasien sabar untuk menunggu
ruang tunggu
18 giliran untukdipanggil oleh
yang sesuai 3
pegawai disetiap layanan
dengan jumlah
pengunjung

40
Penyebab
Dimensi CTQ S O Kontrol Sekarang D RPN Rekomendasi Kontrol
Ketidakpuasan
Tersedia ruang
Ruangan administrasi Tata letak ruangan di tinjau
6 klinik kesehatan jiwa 90
berukuran 3m x 3m 5 ulang agar pelayanan lebih
dengan luas yang
Ruang efektif dan efisien
minim
administrasi
Tangibles Disediakan 5 meja Setiap pegawai memiliki meja
yang bersih 3 Ruangan
6 kerja untuk setiap 3 48 kerja sendiri dan diberikan
dan tertata digunakan oleh 5
pegawai yang saling jarak antar meja kerja
rapi orang pegawai
berdekatan
Banyaknya Berkas ditata dengan Memaksimalkan almari arsip
3 3
tumpukan berkas- ditumpuk vertikal 27 yang ada di ruang administrasi
berkas pasien diatas meja
Ada beberapa pegawai Diadakan sosialisasi dan
Dilakukan evaluasi
yang tidak memahami 2 evaluasi kinerja pegawai
Kemampuan 4 terhadap pelayanan 16
tentang prosedur setiap bulan untuk menunjang
pegawai setiap 6 bulan sekali
dalam RS (apabila ada kelancaran dalam melayani
Assurances dalam
2 prosedur baru) pelanggan
menjawab
Pegawai
pertanyaan Bahasa yang Pegawai menggunakan bahasa
menggunakan
keluarga disampaikan kurang 3 12 yang komunikatif sehingga
bahasa yang 2
pasien komunikatif dimengerti oleh pelanggan
dimengerti oleh
keluarga pasien

41
4. Improve
Setelah mengetahui permasalahan yang terjadi, kami menentukan
solusi untuk memperbaikinya, Rekomendasi perbaikan untuk nilai
kapabilitas proses terendah dan nilai RPN tertinggi dilakukan pada dimensi
Tangibles dengan atribut kebersihan dan kerapihan ruang administrasi. Pada
tahap ini diberikan usulan-usulan perbaikan yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan kapabilitas pelayanan di rumah sakit. Improve dilakukan
dengan menggunakan sikap kerja 5S dan analisis tata letak (layout) kantor.
Sikap kerja 5S dilakukan dengan memberikan rekomendasi dalam menata
dan merapikan meja kerja kantor. Sedangkan tata letak (layout) kantor
dilakukan dengan mengatur tata letak meja kerja dikantor.
a. Sikap Kerja 5S
Dengan menggunakan metode ini diharapakan kebersihan dan
kerapihan ruang administrasi bisa terwujud dengan baik sehingga tidak
terjadi ketidakpuasan pelanggan karena ruang administrasi yang kurang
besih ataupun kurang rapi. Langkah perbaikan dengan menggunakan
sikap kerja 5S dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel. 3.2 Perbaikan dengan sikap kerja 5S


Sikap Kerja
No Kegiatan
5S
1. Seiri Melakukan pemilahan dengan mengelompokkan peralatan dan
(Pemilahan) berkas berdasarakan meja kerja yang ada diruang administrasi.
- Meja asuhan keperawatan: Buku ketaatan kontrol, Buku Waktu
Tunggu PKJ, Alat Tulis Kantor (ATK) seperti stapler, stampel,
tipe-x, bolpoint, tinta
- Meja penerima pasien: ATK (stapler, stampel, tipe-x, bolpoint,
tinta), Microphone untuk melakukan panggilan kepada pasien,
form penerima pasien.
- Meja pelaporan kunjungan: Dokumen Rekam Medis, komputer,
printer.
- Meja Dokumen Rekam Medis: dokumen Rekam Medis, ATK
(stapler, stampel, tipe-x, bolpoint, tinta, alat untuk membuat
lubang pada kertas)
- Meja komputer: Komputer, printer
- Lemari ATK: ATK yang digunakan oleh pegawai di simpan
dalam lemari ini
42
- Meja tempat buku dan berkas PKJ: buku, telephone, dan berkas-
berkas PKJ

2. Seiton Penataan dilakukan dengan merapikan dan menata berkas dan


(Penataan) peralatan yang ada di ruang administrasi. Salah satunya dengan
menyediakan almari untuk penyimpanan ATK dengan memberi
tanda disetiap rak sesuai dengan pengelompokkannya. Dalam ruang
administrasi ATK merupakan peralatan yang banyak digunakan oleh
pegawai. Selain itu berkas dan peralatan bisa ditata berdasarakan
pada tahap pemilahan sehingga tidak ada pencarian terhadap berkas
ataupun peralatan apabila membutuhkannya.
3. Seiso Pembersihan dilakukan dengan membersihkan tempat yang jarang
(Pembersihan) diperhatikan oleh orang seperti meja pelaporan kunjungan dan meja
peralatan. Kedua meja tersebut berada di sudut ruang sehingga
kurang diperhatikan oleh pengunjung. Untuk itu pembersihan ruang
agar difokuskan di kedua meja tesebut. Selain itu pembersihan
dilakukan agar ruangan terbebas dari debu dan kotoran atau barang
asing untuk memperoleh tempat kerja yang lebih bersih.
4. Seiketsu Pemantapan dilakukan dengan memelihara barang dengan teratur,
(Pemantapan) rapi dan bersih. Berikut kegiatan yang dilakukan pada tahap
pemantapan:
- Adanya tanda atau petunjuk Ruang Administrasi
- Adanya jadwal pergantian pegawai apabila ada pegawai yang
sedang mengambil jam istirahat
- Adanya daftar dokter yang hadir pada hari tersebut
- Dilakukan pelabelan terhadap beberapa berkas dan peralatan
antara lain: stempel, buku waktu tunggu PKJ, buku ketaatan
kontrol, pelabelan terhadap almari ATK
5. Shitsuke Pembiasaan dilakukan dengan menetapkan 1 hari kerja sebagai hari
(Pembiasaan) 5S, dimana pegawai pada hari tersebut diharuskan untuk menerapkan
sikap kerja 5S.

b. Tata Letak Layout Kantor


Rekomendasi perbaikan dilakukan dengan melakukan analisis
tata letak (layout) di ruang administrasi. Hal ini bertujuan agar pegawai
merasa nyaman dan tidak mudah capek saat bekerja. Selain itu analisis
dilakukan agar tidak terjadi perpindahan berkas secara bolak-balik
sehingga diharapkan arus perpindahan berkas menjadi lebih sederhana.
Tata letak ruang administrasi saat ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Sedangkan rekomendasi perbaikan yang diberikan dapat dilihat pada
Gambar 2.

43
Selain berdasarkan derajat kedekatan aktivitas dalam menyusun
rekomendasi layout, ada beberapa pertimbangan lain dalam merancang
rekomendasi tersebut. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain:
1) Meja penerima pasien dan meja asuhan keperawatan didekatkan
dengan pintu masuk maupun pintu keluar dikarenakan kegiatan
utamanya berhubungan langsung dengan pasien dan keluarga
pasien sehingga proses pergantian pasien cepat.
2) Dengan meja komputer dan meja pelapor kunjungan berada di
belakang, maka pegawai akan lebih merasa nyaman karena
pegawai tidak terkena cahaya matahari secara berlebihan yang
dapat menyilaukan mata.
3) Arus pegawai menjadi lancar karena tidak lagi terganggu oleh
pengunjung yang sedang melakukan verifikasi di meja penerima
pasien maupun melakukan asuhan keperawatan.
Selain berdasarkan derajat kedekatan aktivitas dalam menyusun
rekomendasi layout, ada beberapa pertimbangan lain dalam merancang
rekomendasi tersebut. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain:
1) Meja penerima pasien dan meja asuhan keperawatan didekatkan
dengan pintu masuk maupun pintu keluar dikarenakan kegiatan
utamanya berhubungan langsung dengan pasien dan keluarga
pasien sehingga proses pergantian pasien cepat.
2) Dengan meja komputer dan meja pelapor kunjungan berada di
belakang, maka pegawai akan lebih merasa nyaman karena
pegawai tidak terkena cahaya matahari secara berlebihan yang
dapat menyilaukan mata.

44
3) Arus pegawai menjadi lancar karena tidak lagi terganggu oleh
pengunjung yang sedang melakukan verifikasi di meja penerima
pasien maupun melakukan asuhan keperawatan.

5. Control
Perlu adanya pengawasan untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang
diinginkan sedang dalam proses pencapaian. Tahap kontrol dapat dilakukan
melalui pengawasan proses dengan menggunakan Standard Operation
Procedure (SOP) dan melakukan penilaian serta membandingkan dengan
SOP yang telah dibuat. Dengan adanya standarisasi dan didokumentasikan,
maka kemungkinan bahwa setelah periode waktu tertentu, manajemen dan
karyawan tidak akan menggunakan kembali cara kerja yang lama sehingga
tidak akan memunculkan kembali masalah yang telah terselesaikan.
Tujuan tahap Control adalah untuk melengkapi semua kerja proyek
dan menyampaikan hasil proses perbaikan kepada up management dan
memastikan bahwa setiap orang bekerja telah dilatih untuk melakukan
prosedur perbaikan yang baru. Tahapan pada Control :
a. Mengadakan pemantauan terhadap hasil implementasi
b. Mendokumentasikan standard operating procedure baru
c. Membuat rencana pengendalian proses
d. Membuat peta perjalanan/ histori proyek
e. Melakukan proses transisi dan pengalihan tanggung jawab pada pemilik
proses
f. Melakukan peninjauan ulang tahap control
Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a. Hasil implementasi secara menyeluruh
Data chart sebelum dan sesudah proyek yang menunjukkan
adanya perbaikan, rencana pengendalian proses lanjutan
b. Dokumentasi dan pengukuran untuk mempersiapkan tindakan lanjutan
yang akan diambil
Dokumentasi proses yang telah diperbaiki, prosedur yang
digunakan untuk memonitor proses, prosedur yang akan

45
mempertahankan proses tetap dalam keadaan yang baik dan
dokumenkan peta proses.

c. Bukti
Dokumentasi orang-orang yang terlibat dalam proyek, pemilik
proses, pelajaran yang bisa diambil dari proyek, peluang baru yang
teridentifikasi dari proyek.

3.2 Langkah Pengukuran Lean


Beberapa langkah yang dilakukan dalam proses lean thinking adalah
sebagai berikut (Hines dan Taylor,2000):
1) Understanding waste
Pada langkah ini, pemborosan harus diketahui. Prinsip yang digunakan
adalah pemilahan aktivitas-aktivitas menjadi tiga jenis, yaitu value adding,
non valueadding, serta necessary but non-value adding.
2) Setting the direction
Pada tahap ini, ditentukan arah dan tujuan dari perbaikan. Arah berupa alat
ukur keberhasilan, target keberhasilan untuk setiap alat ukur, pendefinisian
proses-proses inti, serta proses yang membutuhkan pemetaan secara detail.
3) Understanding the big picture
Pada tahap ini keinginan konsumen, aliran fisik serta aliran informasi dari
proses pemenuhan konsumen harus diketahui.
4) Detailed mapping
Pada tahap ini dilakukan pemetaan secara detail.
5) Getting suppliers and customers involved
Implementasi lean thinking harus melibatkan supplier dan pelanggan dalam
inisiatif perbaikan.
6) Checking the plan fits the direction and ensuring buy-in.
Pada tahap ini, dilakukan pengecekan kesesuaian antara arah yang dituju
dengan rencana awal. Konsep lean tidak hanya diterapkan di sektor
manufaktur, tetapi juga dapat diterapkan pada sektor non-manufaktur.
Pada perhitungan Matriks Lean kita harus melakukan hal sebagai berikut:

46
1) Process Cycle Efficiency
Untuk melakukan penerapan lean pada suatu sistem produksi, hal
pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pengukuran metrik lean.
Pengukuran metrik lean ini akan memberikan gambaran awal mengenai
kondisi perusahaan sebelum diterapkan lean dan bila lean telah diterapkan
maka akan terlihat perubahan pada nilai yang baik pada metrik-metrik ini.
Salah satu metrik lean yang pelu diukur antara lain Efisiensi Siklus Proses
(Process Cycle Efficiency) (Batubara, 2012).
Efisiensi siklus proses adalah suatu cara dengan melakukan
pengukuran untuk melihat ke-efisienan suatu pabrik, karena dengan
menggunakan metrik ini dapat dilihat bagaimana persentasi antara waktu
proses terhadap waktu keseluran produksi yang dilakukan oleh pabrik.
Suatu proses dapat dikatakan Lean jika nilai PCE > 30% (Gasperz,
2011).Rumus untuk menghitung efisiensi siklus proses adalah:

𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝐴𝑑𝑑𝑒𝑑 𝑇𝑖𝑚𝑒


𝑃𝑟𝑜𝑐𝑒𝑠𝑠 𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒 𝐸𝑓𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑦 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑒𝑎𝑑 𝑇𝑖𝑚𝑒

Value-added time adalah waktu melakukan proses yang memberikan


nilai tambah kepada produk sedangkan total lead time adalah waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan proses dari awal sampai akhir yaitu ketika
barang dipesan sampai dengan barang dikirim kepada pelanggan (Gasperz,
2011).
Lead time adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
memberikan produk atau jasa kepada pelanggan sejak permintaan diterima.
Memahami apa yang menyebabkan lead time menjadi panjang yang berarti
terdapat proses yang berjalan dengan lambat, akan sangat memudahkan
pada saat menganalisa keadaan perusahaan dan memikirkan solusi yang
tepat untuk diterapkan (Gasperz, 2011).
2) Seven Waste Relationship
Semua jenis waste bersifat interdependent dan berpengaruh terhadap
jenis lain. Rawabdeh (2005) berkeyakinan bahwa semua jenis dari waste

47
adalah saling mempengaruhi dalam artian selain memberi pengaruh
terhadap yang jenis waste lainnya, ia juga secara simultan dipengaruhi oleh
jenis waste yang lain. Lebih jauh, Rawabdeh (2005) juga membuat model
dasar kategorisasi dan keterkaitan antar waste berdasarkan hubungannya
dengan manusia, mesin dan material. Berikut adalah gambar keterkaitan
antara manusia, mesin dan materia:

Gambar 3.1 Keterkaitan waste dengan Man, Machine, Material

Sepanjang tahun 1990-an dan awal 2000an beberapa metode dan


kerangka kerja terkait permasalahan seputar waste telah dikembangkan
(Gaspersz, 2012). Beberapa diantaranya adalah practical program of
revolution in factories (PPORF) oleh Kobayasi, pendekatan perbaikan
terus-menerus atau kaizen oleh Imai, holistic framework oleh Lim dan
rekan-rekanya, penggunaan 5S secara praktis untuk pengurangan waste oleh
O’hEocha dan lain-lain (Rawabdeh, 2005). Meskipun demikian,
pendekatan-pendekatan tersebut tidak memberikan perhatian yang cukup
terhadap hubungan antara jenis waste. Oleh karena itu diperlukan suatu alat
eliminasi waste yang cukup komprehensif yang dapat memberikan analisa
yang memadai untuk menentukan strategi eliminasi waste tanpa
memberikan pengaruh negatif pada waste jenis lain (Rawabdeh, 2005).
Kasus RS. X ingin menilai waste yang menyebabkan beberapa
masalah dalam pelayanan pasien yang dilakukan pada petugas bagian poli

48
jiwa. Adapun waste yang di nilai adalah Komunikasi keluarga, cara
berhubungan dengan keluarga pasien, kesesuaian dengan pelayanan,
ketepatan resep, kemampuan menjawab pasien dan sebagainya. Berikut
langkahnya:

1. Tulis identitas responden yang akan dinilai sesuai dengan waste


Dalam contoh diatas didapatkan ada 10 responden dari tenaga
kesehatan di Poli Jiwa.

49
2. Identifikasi waste yang ada
Ada 9 waste yang diidentifikasi pada pelayanan di Poli Jiwa

WASTE YANG DIIDENTIFIKASI

3. Dari masing-masing waste di ukur secara kualitatif

PENGUKURA
N

50
4. Pengukuran kuantitatif dari hasil kualitatif yang telah di ukur

PENGUKURAN
KUANTITATIF

Pengukuran kuantitatif dapat dilakukan dengan cara memberikan


skor pada masing masing variable. Pemberian scoring ini dapat dengan
menggunakan skala likert. untuk klasifikasi nya:
Tidak pernah :1
Jarang :2
Kadang-kadang :3
Sering :4
Untuk mengkategorikan bisa menggunakan formulasi “IF “ dengan
rumus yaitu:
=IF(I6="TidakPernah";1;IF(I6="Jarang";2;IF(I6="Kadang";3;IF(I6="Serin
g";4))))
Sehingga didapatkan score seperti gambar di atas pada masing-
masing variable waste yang di ukur.

51
5. Hitung total score pada masing-masing responden
Waste yang telah diberi skor maka hitung total skor pada masing-
masing responden.

TOTAL
SCORE

6. Buat kriteria waste dari total score yang ada

KRITERIA
WASTE

52
Dari hasil total scoringnya dapat dikategorikan waste dalam bentuk
kualitatif, kategorinya sebagai berikut:
Baik : 8-14
Sedang : 15-20
Jelek : 21-26
Sangat jelek : 27-32
Untuk mengkategorikan, bisa menggunakan formulasi “IF “ dengan
rumus yaitu:
=IF(Y6<14;"Baik";IF(Y6<=20;"Sedang";IF(Y6<=26;"Jelek";IF(Y6<=3
2;"Sangat Jelek"))))
Sehingga didapatkan kategori seperti gambar di atas pada masing-
masing variable waste.

3.3 Langkah Pengukuran Theory of Constraint


Dalam mengimplementasikan ide-ide sebagai solusi dari suatu
permasalahan, Goldratt mengembangkan 5 (lima) langkah yang berurutan
supaya proses perbaikan lebih fokus dan berakibat lebih baik bagi sistem.
Langkah pengukuran tersebut adalah:
1) Identifikasi konstrain sistem (identifying the constraint).
Mengidentifikasi bagian system manakah yang paling lemah kemudian
melihat kelemahanya apakah kelemahan fisik atau kebijakan. Walaupun
mungkin ada banyak kendala dalam suatu waktu, biasanya hanya sedikit
kendala yang sesungguhnya dalam sistem itu.
2) Eksploitasi konstrain (exploiting the constraint).
Menentukancara menghilangkan atau mengelola constraint dengan
mempertimbangkan perubahan dengan biaya yang paling rendah.
3) Subordinasi sumber lainnya (subordinating the remainingresources).
Setelah menemukan konstrain dan telah diputuskan bagaimana
mengelola konstrain tersebut maka harus mengevaluasi apakah kostrain
tersebut masih menjadi kostrain pada performansi sistem atau tidak. Jika
tidak maka akan menuju ke langkah kelima, tetapi jika ya maka akan
menuju ke langkah keempat.

53
4) Evaluasi konstrain (Elevating the constraint).
Jika langkah ini dilakukan, maka langkah kedua dan ketiga tidak
berhasil menangani konstrain. Maka harus ada perubahan besar dalam
sistem, seperti reorganisasi, perbaikan modal, atau modifikasi substansi
system.
5) Mengulangi proses keseluruhan (repeating the process).
Jika langkah ketiga dan keempat telah berhasil dilakukan maka akan
mengulangi lagi dari langkah pertama. Proses ini akan berputar sebagai
siklus. Tetap waspada bahwa suatu solusi dapat menimbulkan konstrain
baru perlu dilakukan.

Gambar 3.2 Flow Chart Theory of Constraint


(Tersine, 1994)

54
• Aplikasi Pengukuran Theory of Constraint:
Sebelum melakukan pengukuran di Microsoft Excel terlebih dahulu
harus mengetahui langkah pengukuran TOC sebagai berikut:
a. Identifikasi
Setelah dilakukan pengamatan secara terus menerus diketahui
bahwa penyebab terjadinya penumpukan pasien di loket administrasi
poli adalah karena kinerja pegawai administrasi yang bermasalah.

Berikut ini adalah kendala yang ada di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang 2016 terkait dengan kinerja pegawai administrasi:
No Kendala
1 Papan petunjuk yang tidak jelas untuk alur pelayanan
2 Proses administrasi yang kurang cepat
3 Tidak melakukan pencatatan rekam medik secara lengkap
4 Pengorganisasian rekam medis tidak sesuai nomor
5 Lembar rekam medis tercecer
6 Tenaga Medis dan Pegawai berpenampilan tidak rapi
7 Dokter tidak memberikan waktu pelayanan yang cukup pada pasien
8 Mengobrol terlalu lama saat bekerja
9 Bermain Handphone saat jam kerja

b. Eksploitasi
Dilakukan pencarian informasi secara lebih mendalam dengan
memberikan kuisioner kepada pegawai administrasi poli kebidanan.
Skala likert
1 2 3 4 5
No Pernyataan TPD JD C SD PD
Papan petunjuk yang tidak jelas untuk alur
1 pelayanan
2 Proses administrasi yang kurang cepat
3 Tidak melakukan pencatatan rekam medik secara
lengkap
4 Pengorganisasian rekam medis tidak sesuai nomor
5 Lembar rekam medis tercecer
Tenaga Medis dan Pegawai berpenampilan tidak
6 rapi
Dokter tidak memberikan waktu pelayanan yang
7 cukup pada pasien
8 Mengobrol terlalu lama saat bekerja
9 Bermain Handphone saat jam kerja
55
KETERANGAN
TPD : TIDAK PERNAH DILAKUKAN
JD : JARANG DILAKUKAN
C : CUKUP
SD : SERING DILAKUKAN
PD : PASTI DILAKUKAN

c. Subordinate
Pada tahap ini ditemukanlah kendala yang paling dominan dan
dilakukan evaluasi apakah kendala tersebut mempengaruhi performa
atau tidak.
d. Elevate
Melakukan perbaikan atas kendala yang telah dilakukan
e. Repeating the process
Memantau proses produksi yang sudah dibenahi dan memulai
mewaspadai konstrain baru yang mungkin muncul akibat solusi.

• Berikut tahapan aplikasi pada Microsoft Excel:


1. Membuat rekapan atas kuisioner yang telah disebarkan pada Microsoft
Excel

2. Masukkan data responden


3. Lakukan perhitungan pada hasil kuisioner yang di dapat meliputi; total
poin, mean, median, modus, min, dan max.

56
4. Tentukan kriteria berdasarkan total poin dari masing-masing
responden.

5. Lakukan analisis terhadap data yang ada


6. Tentukan kendala yang paling dominan dan merencanakan solusi.
Berdasarkan data yang ada, kendala yang paling dominan adalah proses
administraasi kurang cepat dan mengobrol terlalu lama saat bekerjasaat
bekerja. Solusi yang tepat yaitu dengan menambah kompetensi dari
tenaga administrasi dan memberikan sanksi tegas apabila pada saat jam
kerja pegawai mengopersaikan handphone.

57
KESIMPULAN

Konsep Six Sigma adalah apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six
Sigma, maka perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan
atau mengharapkan 00,999% dari apa yang diharapkan oleh pelanggan. Six Sigma
dijadikan alat ukur untuk menciptakan metode atau strategi yang tepat dalam proses
transaksi antara pihak produsen dan pelanggan. Six Sigma juga menerapkan strategi
atau terobosan dalam perusahaan yang memungkinkan perusahaan tersebut dapat
maju dan meningkat pesat tingkat produktivitasnya (Gaspersz, 2002).
Lean dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan sistematik
untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau beberapa
aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value-adding activities) melalui
peningkatan terus-menerus secara radikal (radical continuous improvement)
dengan cara mengalirkan produk dan informasi menggunakan sistem tarik (pull
system) dari pelanggan internal dan eksternal untuk mengejar keunggulan dan
kesempurnaan.
Sedangkan penerapan TOC lebih terfokus pada pengelolaan operasi yang
terpusat pada kendala yang muncul sebagai kunci dalam meningkatkan kinerja
sistem produksi yang nantinya dapat berpengaruh terhadap profitabilitas secara
keseluruhan.

58
DAFTAR PUSTAKA

Cox, J., & Schleier, J. (2010). Theory of Constraint Handbook.New York:


McGraw Hill.

Goldratt, E. M. 1990. The Theory of Constraints. Croton-on-Hudson, N.Y: North


River Press

Hansen, Don R. and Mowen, Maryanne M. 2015. Cornerstones of Cost


Management. 3rd edn. South Western USA: Cengange Learning.

Heizer, J. and Render, B. 2005. Operations Management. 7th edn. Upper-Saddle


Rover, N.J: Pearson-Prentice Hall

http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5705/3/T1_212013705_Full%20t
ext.pdf diakses pada tanggal 8 Oktober 2016

https://www.tutorialspoint.com/six_sigma/six_sigma_tutorial.pdf diakses pada


tanggal 9 Oktober 2016

http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/5707/Bab%
202.pdf?sequence=9 diakses pada tanggal 9 Oktober 2016

http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_d015_034179_chapter3.pdf diakses
pada tanggal 8 Oktober 2016

Tersine, Richard J. 1994. Principles of Inventory and Materials Management. North


Holland: Prentice Hall Internaional.

Vanany, I., et al. 2007. APLIKASI SIX SIGMA PADA PRODUK CLEAR FILE DI
PERUSAHAAN STATIONARY. Jurnal Teknik Industri Vol. 9, No. 1 (27-36)

59

Anda mungkin juga menyukai