Anda di halaman 1dari 5

Antara Struktur dan Insting: Perbandingan Dengan Pandangan Erich Fromm

Pelbagai penelitian dan pandangan Erich Fromm1 tentang akar kekerasan, bermaksud
membuktikan bahwa kekerasan adalah hasil dari patologi karakter manusia dan masyarakat,
dan patologi karakter tersebut berakar dari sistem dan struktur tertentu dalam masyarakat, yang
mempengaruhi individu sekaligus membentuk watak dominan suatu masyarakat. Pandangan
ini merupakan reaksi dari analisis terkenal yang dikedepankan oleh Konrad Lorenz (seorang
ahli perilaku binatang terutama ikan dan burung, yang kemudian menganalisis perilaku
manusia) dalam bukunya berjudul On Agression. Karya Lorenz dalam buku tersebut, yang
kemudian diikuti secara luas oleh banyak pemikir sesudahnya, mempunyai tesis pokok bahwa
perilaku agresif manusia yang diwujudkan dalam peperangan, kejahatan, perkelahian, dan
segala macam perilaku sadistik dan destruktif (dengan demikian termasuk terorisme),
mempunyai akar terdalam yang terletak pada insting bawaan yang terprogram secara
filogenetik.2
Karya Lorenz tersebut dikritik oleh Erich Fromm. Menurut Fromm, agresi pada
binatang tidak dapat disamakan dengan agresi pada manusia, baik secara individual, apalagi
secara sosial. Lorenz tidak mampu membedakan antara agresi defensif yang merupakan
mekanisme hewan yang mencari mangsa atau membela diri untuk bertahan hidup, dengan
agresi sadistik, yaitu agresi yang khas pada manusia yang mempunyai akal budi dan kebebasan.
Agresi sadistik tersebut berkembang seiring peradaban manusia, dan berfungsi untuk mencapai
kesenangan atau kenikmatan tertentu. Dengan ini, Erich Fromm membuktikan bahwa sebab
pelbagai destruktivitas dan agresi dalam peradaban manusia, bukan terutama berakar pada
naluri instingtif, melainkan bersumber pada karakter atau watak. Sistem watak adalah bentuk

1
Erich Pinchas Fromm, lahir 23 Maret 1900 di kota Frankfurt am Maim, Jerman. Anak tunggal dari ayahnya
Naphtali Fromm dan ibunya Rosa Krause. Pada masa remaja, ia dituntun untuk menjadi Rabbi Yahudi oleh
ayahnya. Ia belajar pada rabi-rabi terkenal pada masa itu, seperti Rabi Dr. Nehemia Anton Nobel dan Rabi Dr.
Salman Baruch Rabikow. Lewat Nobel, Fromm diperkenalkan dengan seorang filsuf Yahudi neo-Kantian yaitu
H. Cohen, juga dengan sejumlah pemikir Yahudi. Pada tahun 1918, Erich memilih studi hukum di Universitas
Frankfurt dan meninggalkan impian menjadi sarjana Talmud. Pada tahun 1919, ia belajar psikologi, filsafat dan
terutama sosiologi di Universitas Heidelberg, dan menyelesaikan tesis doktoralnya di bawah bimbingan Prof.
Alfred Weber (adik kandung Max Weber). Pada tahun 1926, ia berkenalan dengan ilmu psikoanalisis melalui
Frieda Reichmann (yang kemudian menjadi istrinya selama enam tahun, sekaligus sahabatnya sepanjang hidup).
Pada tahun 1929, ia mendirikan “Lembaga Psikoanalisis Frankfurt”. Ia kemudian menggabungkan pelbagai
pandangan Freud dan Marx, dan menghasilkan suatu ilmu baru yang dinamakan sebagai “psikologi sosial yang
analitis”. Pada tahun 1933, karena keganasan Hitler, ia pindah ke Amerika Serikat, mengajar pada Chicago
Psychoanalytic Institute. Pada tahun 1941, ia menerbitkan karangannya yang pertama dalam bahasa Inggris yaitu
Escape From Freedom, yang membuat namanya segera terkenal di Amerika, disusul dengan pelbagai karya
penting lainnya. Tahun 1973, ia kembali ke Eropa, menetap di Locarno, Swiss. Fromm meninggal dunia pada
tanggal 18 Maret 1980 karena serangan jantung. Bdk. Agus Cremers, (Ed.), Masyarakat Bebas Agresivitas: Bunga
Rampai Karya Erich Fromm (Maumere: Ledalero, 2004), hlm. 3-139.
2
Erich Fromm, Akar Kekerasan, penerj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xvi.
yang agak tetap, di mana energi manusia disusun secara struktural dalam proses berelasi
dengan orang lain dan dalam proses mengasimilasi alam.
Karakter atau watak tersebut bukan merupakan bawaan alamiah, melainkan merupakan
hasil bentukan yang kompleks dari pengalaman, struktur masyarakat, pendidikan, dll, sehingga
destruktivitas pada manusia bukan merupakan bawaan instingtif, melainkan persoalan patologi
dalam karakter manusia. Patologi ini dinamakannya sebagai “patologi narsisme”. Narsisme
dipahami dalam dua pengertian, yaitu narsisme individual dan narsisme sosial atau kelompok.
Baik narsisme kelompok atau individual, terdapat dua pembagian khusus menurut Fromm,
yaitu narsisme yang baik dan narsisme yang jahat. Narsisme yang baik adalah kebanggaan
seseorang atau kelompok terhadap prestasi atau hasil karyanya atau kelompoknya sendiri, yang
diseimbangkan dengan minatnya terhadap proses kerja dan bahan yang ia gunakan untuk
bekerja. Karenanya, banyak orang yang narsistis tetapi sangat kreatif. Sementara itu, narsisme
yang jahat adalah narsisme, di mana obyeknya bukan pada apa yang ia atau kelompoknya
capai, melainkan pada apa yang ia atau kelompoknya miliki yaitu kekayaannya,
ketampanannya, prestasi masa lampau, perasaan superioritas etnis atau agama, dll. Ini yang
dinamakan sebagai “patologi narsisme”, dan patologi narsisme tersebut marupakan akar
destruktivitas manusia.3
Akibat yang berbahaya dari patologi narsisme ini adalah distorsi terhadap penilaian
rasional, di mana penilaian seseorang akan penuh dengan standar ganda dan prasangka bias,
seperti pemabuk yang mempunyai perasaan euforis di atas segala-galanya, namun berbicara
serba dangkal dan tidak punya arti dengan cara yang seakan mengagumkan dan menarik.
Dalam patologi narsisme individual, distorsi yang parah tersebut tampak dalam reaksi
emosional yang berlebihan terhadap kritik, karena kritik dianggap sebagai serangan terhadap
seluruh kepribadiannya, tidak peduli kalau kritik tersebut sangat rasional. Ia bisa menjadi
sangat depresif, atau memberikan reaksi yang sangat agresif dengan menghancurkan para
pengkritik atau yang didefinisikan secara sewenang-wenang sebagai pengganggu (seperti
Stalin, Hitler, Caligula, atau Nero). Sementara itu, patologi narsisme sosial atau kelompok,
adalah keyakinan bahwa kelompok mereka lebih benar dan paling unggul dari yang lain,
sehingga apa pun yang mengganggu narsisme tersebut, akan dihilangkan dengan pelbagai cara,
walau gambaran tersebut palsu adanya. Contoh patologi narsisme kelompok yang
dikedepankan Fromm adalah patologi rasial di Jerman, di mana seseorang merasa bahwa
meskipun ia miskin dan tak berbudaya, ia adalah orang yang paling penting karena merupakan

3
Bdk. Erich Fromm, “Indvidual and Social Narcisism”, dalam Agus Cremers, op. cit., hlm. 349-351.
anggota kelompok yang paling hebat di dunia yaitu orang yang mempunyai ras Arya, misalnya,
yang menyebabkan mereka mudah diprovokasi untuk menghancurkan ras lain.4 Menurut
Fromm, pengalaman akan perasaan memiliki kekuasaan mutlak ini, sebenarnya berangkat dari
perasaan ketakberdayaan untuk menciptakan sesuatu yang hidup dan kreatif, yang
menyebabkan mereka ingin menghancurkannya, karena pengalaman menghancurkan sesuatu
yang hidup dianggap sebagai suatu mukjizat yang sama besarnya dengan menciptakannya.
Perasaan superior tersebut harus dibuktikan secara faktual, sehingga orang Jerman dengan ras
Arya, mendukung sekaligus melaksanakan pembantaian terhadap orang Yahudi.5
Untuk membuktikan bahwa patologi narsisme sebagai bagian dari patologi watak
manusia yang dibentuk secara sosial, Fromm menggunakan hasil penelitian dari Ruth Benedict,
Margareth Mead, G. P. Murdock, C.M. Turnbull tentang tiga puluh suku bangsa primitif yang
mempunyai sistem tertentu dalam keseluruhan dinamika masyarakatnya. Berdasarkan
penelitian mereka, Fromm membagi masyarakat ke dalam tiga sistem masyarakat, yaitu
masyarakat yang mengafirmasi kehidupan (suku Semang, Mbutu, Eskimo Kutub Utara, atau
Suku Aranda), masyarakat yang agresif yang non-destruktif (suku Manu, Samoa, Inka, atau
Indian Crow), dan masyarakat yang destruktif (Suku Dobu, Haida, Aztek, Witoto, atau
Ganda).6 Dengan penelitian ini, dibuktikan bahwa watak agresif, sering dibentuk oleh struktur
dalam masyarakat. Jadi, pandangan bahwa agresi bersifat bawaan atau instingtif, lemah secara
ilmiah.
Selanjutnya, menurut Fromm, dalam wilayah dan dengan tujuan privat, patologi
narsisme tersebut tidak mempunyai akibat yang terlalu berbahaya bagi masyarakat. Seorang
individu yang berkata kepada yang lain bahwa ia dan kelurganya adalah orang yang paling
hebat, bersih, sopan, suci, baik, sementara yang lain bodoh, kotor, tidak bertanggung jawab,
kafir, atau culas, akan mudah ditertawakan atau dianggap tidak waras. Namun, bila narsisme
tersebut telah mengendap pada struktur kesadaran masyarakat, maka efek destruktif akan
mudah dibangkitkan oleh tokoh narsis tertentu yang dengan fanatik berbicara atas nama
simbol-simbol narsisme kelompok; bahwa agama, bangsa, suku atau ras sendiri yang hebat dan
benar. Dengan itu, narsisme kelompok dibangkitkan oleh pembicara fanatik tersebut, yang
dapat menimbulkan efek destrutif yang luas, walaupun tentu saja pandangan atau tindakan itu
tidak disukai oleh kelompok lain yang dihina.7

4
Bdk. ibid., hlm. 351-352.
5
Bdk. Erich Fromm, On The Theory and Strategy of Peace” dalam ibid., hlm. 374.
6
Bdk. Erich Fromm, “Aggressiveness in Primitive Cultures: Analysis of Thirty Primitive Tribes”, dalam
ibid., hlm. 377-390.
7
Bdk. Erich Fromm, “Indvidual and Social Narcisism”, dalam ibid., hlm. 353.
Karena itu, tampak bahwa persoalan agresivitas, destruktivitas, sadisme dan
peperangan, tidak dapat dirujuk pada persoalan insting manusia. Insting manusia kurang
berkembang dibandingkan binatang. Justru perang, misalnya, meningkat intensitas dan kualitas
destruktifnya seiring dengan tingkat peradaban.8 Agresivitas, merujuk pada Fromm,
merupakan akibat dari patologi watak manusia yang dinamakannya sebagai “patologi
narsisme”, yang disebabkan oleh struktur dan sistem tertentu dalam masyarakat. Patologi
narsisme tersebut, dalam wilayah privat atau individual bisa mendatangkan pertentangan dan
konflik antar pribadi. Namun, yang menentukan apakah patologi narsisme tersebut
mendatangkan efek destruktif yang massif adalah struktur karakter tertentu dalam masyarakat
yang secara implisit mempunyai patologi narsisme. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keseluruhan pandangan Fromm menegaskan bahwa sistem dan kerakter serta struktur
masyarakat adalah sebab utama dari pelbagai tindakan destruktif dengan efeknya yang masif:
jadi merupakan sebab dari pelbagai tragedi peradaban.
Selain sebagai sumber yang menyebabkan pelbagai tindakan destruktif, sistem tertentu
dari masyarakat yang eksploitatif juga dapat menyebabkan reaksi destruktif. Di sini terjadi
lingkaran setan kekerasan dan agresi, di mana kebudayaan tertentu yang merasa superior dan
melaksanakan agresi terhadap orang atau kebudayaan lain, justru membangkitkan agresi pada
orang atau kebudayaan lain. Destruktivitas atau agresi terhadap orang atau kebudayaan lain,
tidak selamanya dengan kekerasan langsung, melainkan dengan eksploitasi dalam pelbagai
bentuknya. Karenanya, Fromm menegaskan: “...Bentuk agresi jahat – sadisme dan nekrofilia -
tidak bersifat bawaan.... Eksploitasi dan manipulasi menimbulkan kejenuhan dan
ketidakberdayaan, keduanya mengerdilkan manusia, dan semua hal yang mengerdilkan
manusia, justru akan menjadikannya sebagai orang sadis dan destruktif”.9 Di sini, struktur dan
sistem masyarakat berfungsi sebagai sebab, juga sebagai akibat pelbagai efek destruktif dalam
peradaban.
Penekanan pada struktur (watak sosial) dalam keseluruhan penelitian Fromm,
mengafirmasi pandangan Baudrillard tentang sebab dari terorisme yaitu sebagai persoalan
struktur masyarakat (global). Perbedaannya terletak pada konteks persoalan dan obyek, di
mana Fromm meneliti persoalan agresi secara keseluruhan, sementara pandangan Baudrillard
dikedepankannya dalam konteks agresi yang khusus yaitu persoalan terorisme. Selanjutnya,

8
Penelitian Fromm bahwa perang meningkat intensitasnya seiring dengan perkembangan dan tingkat
peradaban, sejalan dengan pandangan pemikir lain, seperti John Galtung. Bdk. Johan Galtung, The True Worlds:
A Transnational Perspective (New York: The Free Press, 1980), hlm. 1. Bdk. juga dalam I. Marsana Windhu, op.
cit., hlm. 4.
9
Erich Fromm, Akar Kekerasan, op. cit., hlm. 648-649.
Erich Fromm meneliti persoalan struktur pada masyarakat secara keseluruhan (baik primitif
maupun modern), sementara pandangan Baudrillard secara khusus berkaitan dengan struktur
masyarakat pascakapitalisme. Konteks pandangan Fromm juga adalah struktur psikososial,
sementara Baudrillard menekankan struktur tatanan masyarakat global, dengan perkembangan
teknologi, pasar dan turisme dan perkembangan informasinya. Namun, keduanya mempunyai
esensi pandangan yang sama tentang kekerasan sebagai sebab dari struktur tertentu dalam
tatanan masyarakat, melebihi sebab-sebab lainnya.
Selanjutnya, satu hal penting yang tidak menjadi obyek perhatian Baudrillard adalah
analisa tentang sistem atau struktur budaya dari singularitas yang terdesak, yang melakukan
aksi teror. Dalam konteks ini, pandangan Fromm relevan, sebagai refleksi dua arah, baik
terhadap (karakter) struktur global, maupun terhadap karakter singularitas yang melakukan
aksi teror. Bila gaya bahasa Fromm dipakai dalam kerangka pandangan Baudrillard, maka
dapat dikatakan bahwa karakter (struktural) masyarakat global yang mengalami patologi
narsisme tersebut (dalam bentuk hegemoni pasar, sistem teknologi, turisme dan sistem
informasi), juga menimbulkan reaksi yang keras dari singularitas yang tereksploitasi. Namun,
melampaui Baudrillard, kerangka pandangan Fromm mempunyai konsekuensi lanjutan yaitu
bahwa reaksi destruktif dari singularitas (yang melakukan aksi terorisme tersebut),
mengandaikan terdapat patologi narsisme sosial tertentu secara inheren dalam singularitas itu
sendiri. Di sini, patologi narsisme sosial bersifat dua arah, baik berasal dari sistem global, juga
dari singularitas yang terdesak. Karenanya, pandangan Fromm, selain sebagai afirmasi, juga
sekaligus melengkapi pandangan Baudrillard.
Dengan keseluruhan pembahasan pandangan Fromm di atas, dapat disimpulkan bahwa
kekerasan dan agresi dalam peradaban, selalu disebabkan oleh patologi narsisme tertentu dalam
struktur (watak atau tatanan sosial) dari sebuah kelompok atau masyarakat. Sistem atau struktur
masyarakat tersebut, yang dipicu oleh pelbagai sebab, di satu sisi menghasilkan teror dan
kekerasan. Di sisi lain, sistem dan struktur yang patologis tersebut menghasilkan reaksi yang
juga berupa teror dan kekerasan. Dalam konteks terorisme, maka dapat dikatakan bahwa sebab
utama dari aksi terorisme adalah struktur masyarakat global yang eksploitatif, yang secara
inheren mengandung “patologi narsisme” dalam istilah Erich Fromm, yang juga
membangkitkan patologi narsisme kelompok-kelompok lain, termasuk para teroris. Di sini,
tetap relevan bahwa sistem global adalah sebab utama dari aksi terorisme, melebihi sebab-
sebab lain. Dalam konteks ini pula dapat dipahami pandangan Baudrillard dalam gaya
bahasanya yang khas bahwa terorisme adalah “kejayaan globalisasi yang berperang melawan
dirinya sendiri”.

Anda mungkin juga menyukai