Anda di halaman 1dari 70

Epistemologi Filsafat dan epistemologi Islam

Oleh : Syekhuddin

I. PENDAHULUAN

Sepanjang sejarah manusia senantiasa dihantui oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang diri dan
kehidupannya. Berbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang
sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksi satu dengan yang lainnya.
Perbedaan jawaban yang diajukan menjadikan perbedaan mendasar pada pandangan dan pola hidup
(pandangan dunia dan ideology) manusia sepanjang sejarah. Salah satu perdebatan mendasar dalam
sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan.[1] Perbedaan
pandangan seputar sumber dan asal-usul pengetahuan (atau lebih dikenal dengan epistemologi) inilah
yang kemudian menjadi dasar pemicu perbedaan pandangan dunia dan ideology manusia.[2]

Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruk epistemologi
yang berbeda dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia dalam
kehidupannya. Dibelahan dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno filsafat telah berkembang sebagi suatu
bentuk kreatifitas berpikir manusia dalam memecahkan persoalan kehidupan dengan menggunakan
kekuatan daya nalarnya. Sepanjang sejarah perkembangan filsafat telah banyak jawaban yang diajukan
oleh para filosof mengenai permasalahan-permasalahan mendasar manusia, khusunya persoalan seputar
epistemologi. Berbagai aliran filsafat kemudian bermunculan mewarnai kancah intelektual manusia.
Masing-masing aliran tersebut memberikan formulasi jawaban yang berbeda sebagai produk pemikiran
filsafatnya yang dijadikan acuan bagi penganutnya.

Sementara itu agama juga memberikan formulasi jawaban sendiri, yang tentunya berbeda dengan jawaban
yang telah diajukan oleh filsafat. Terjadinya perbedaan antar filsafat dan agama dalam hal ini adalah
dikarenakan perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh keduanya. Filsafat dalam pengembaraanya
mencari hakekat keberadaan manusia menggunakan kekuatan akal sedangkan agama bersumber pada
kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan oleh para penganutnya.

Islam sebagai agama yang diturunkan untuk menjawab seluruh pertanyaan dan menyelesaikan seluruh
permasalahan hidup manusia. Tentunya juga memberikan formulasi jawaban mengenai permasalahan
epistemologi yang dimana jawaban atas permasalahan tersebut bersumber pada wahyu Allah yang
termaktub dalam Alquran. Ayat-ayat suci Alquran yang memberikan jawaban yang universal terhadap
persoalan kemanusiaan, termasuk diantaranya persoalan epistemologi kemudian dinterpretasikan dengan
pendekatan logis oleh para pemikir muslim yang akhirnya merumuskan sekumpulan teori filsafat Islam.

Berdasarkan asumsi diatas, pada makalah ini singkat ini, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa
permasalahan yaitu:

1. Apa ruang lingkup epistemologi?


2. Bagaimana konsep epistemologi filsafat?

3. Bagaimana konsep epistemologi Islam?

II. PEMBAHASAN

1. A. Ruang Lingkup Epistemologi

Secara etimologi epistemologi berasal bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti teori atau ilmu.[3] Sedangkan secara terminologi epistemologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang hakekat ilmu pengetahuan manusia, khususnya pada empat masalah, yaitu,

1. Sumber-sumber ilmu pengetahuan


2. Alat pencapaian pengetahuan

3. Metode pencapaian pengetahuan

4. Batasan pengetahuan atau klasifikasi pengetahuan.[4]

Epistemologi selain dianggap sebagai cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia.
Juga sering diidentikkan dengan asumsi-asumsi teoritik yang mendasari suatu pendapat ataupun
bangunan pengetahuan manusia.[5] Terjadinya perbedaan pada tataran bangunan pengetahuan sangat
ditentukan oleh perbedaan epistemologi. Secara umum pengetahuan manusia dibagi atas tiga kategori,
yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat dan mistik.[6] Terjadinya perbedaan jenis pengetahuan
manusia ini disebabkan oleh konstruksi epistemologi yang berbeda diantara ketiganya. Bahkan menurut
Murtadha Muthahhari, terjadinya perbedaan ideology dan pandangan dunia disebabkan oleh perbedaan
dalam tataran epistemologi.[7]

Sepanjang sejarah pemikiran manusia telah terjadi perdebatan panjang para filosof mengenai point-point
pembahasan epistemologi. Perdebatan tersebut telah menghasilkan berbagai aliran filsafat dan ideology
yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap permasalahan mengenai pengetahuan dan kehidupan
manusia.

1. B. Epistemologi filsafat

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari tentang teori pengetahuan manusia. Dalam perkembangan filsafat, dalam hal ini filsafat barat
persoalan epistemologi telah menghasilkan empat aliran utama dalam sejarah filsafat Barat yaitu:

1. Rasionalisme

Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai sumber utama
pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran pengetahuan manusia.
[8] Aliran ini biasa dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir barat, diantaranya Rene Descartes,
Spionoza, Leibniz dan Christian Wolf. Meski sebenarnya akar-akar pemikirannya sudah ditemukan dalam
pemikiran para filosof klasik, yaitu Plato dan Aristoteles.[9]

Bagi kelompok rasionalisme sumber pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan)
yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan tersebut menurut Descartes terbagi atas tiga kategori,
yaitu;

 Cogitans atau pemikiran, bahwa secara fitr manusia membawa ide bawaan yang sadar bahwa
dirinya adalah makhluk yang berpikir, dari sinilah keluar statement Descartes yang sangat terkenal,
yaitu cogito ergo sum yaitu aku berpikir maka aku ada.
 Allah Atau deus, manusia secara fitr memiliki ide tentang suatu wujud yang sempurna, dan wujud
yang sempurna itu tak lain adalah Tuhan.

 Extensia atau keluasan , yaitu ide bawaan manusia, materi yang memiliki keluasan dalam ruang.
[10]
Ketiga ide bawaan diatas dijadikan aksioma pengetahuan dalam filsafat rasionalisme yang tidak diragukan
lagi kebenarannya. Dalam metode pencapaian pengetahuan Descartes memperkenalkan metode yang
dikenal dengan metode keraguan (dibium methodicum) yaitu meragukan segala sesuatu termasuk segala
hal yang telah dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.[11] Proses keraguan inilah yan
kemudian akan mengantarkan manusia sampai pada pengetahuan yang valid dan diterima kebenarannya
secara pasti.

Sekalipun rasionalisme sangat menekankan fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti
rasionalisme mengingkari peranan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan
untuk merangsang kerja akal dan memberikan bahan –bahan agar akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk
sampainya manusia pada kebenaran adalah semata-mata dengan akal.[12] Bagi rasionalisme data-data
yang dibawa oleh indera masih belum jelas dan kacau bahkan terkadang menipu. Akallah yang kemudian
mengatur laporan indera tersebut sehingga dapat terbentuk pengetahuan yang benar.

Selain akal bekerja mengolah data-data inderawi akal manusia juga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang realitas yang tak terinderai atau realitas yang abstrak. Oleh karena itu Rasionalisme membagi dua
jenis pengetahuan tentang hak-hak yang kongkret yang kemudian lebih dikenal dengan sains dan
pengetahuan tentang hal-hal yang abstrak yang kemudian lebih dikenal dengan filsafat.[13]

1. Empirisme

Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu empiria yang artinya pengalaman. Berbeda dengan
rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber dan penjamin kepastian suatu kebenaran
pengetahuan manusia. Empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya
sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.[14]

Aliran Empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat diantaranya Francis Bacon, Thomas
Hobbes, David Hume, dan John locke.[15] John Locke memperkenalkan teori tabula rasa sebagai pijakan
aksiomatik dalam teori filsafatnya . menurut teori tersebut pada mulanya manusia lahir dalam keadaan
kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamanlah yang kemudian mengisi jiwa manusia sehingga
memiliki pengetahuan.[16]
Oleh karena itu, empirisme sangat menekankan pengalaman inderawi sebagai satu-satunya jalan dalam
pencapaian pengetahuan bagi manusia. Maka, empirisme sangat menekankan metode eksperimen dalam
proses pencapaian pengetahuan manusia. Seseorang yang tak memiliki satu jenis indera tertentu maka ia
ia tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan yang berhubungan indera tersebut.[17]

Metode verifikatif-induktif merupakan metode yang ditawarkan oleh empirisme dalam menguji keabsahan
suatu pengetahuan manusia.[18] Yaitu dengan melakukan pengujian terhadap pengetahuan manusia
berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang empiris dan menggunakan metode induktif yaitu mengambil
kesimpulan umum dari hal-hal atau fenomena-fenomena yang bersifat khusus.

Karena empirisme hanya membatasi pengetahuan manusia pada aspek inderawi semata maka
pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia hanyalah pengetahuan sains, karena pengetahuan sainslah
yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik. Aliran empirisme inilah yang kemudian berkembang
pada abad 18 di Eropa menjadi aliran Positivisme yang sangat menggaungkan kebenaran ilmiah.

1. Kritisisme

Ketika terjadi pertarungan filsafat antara aliran rasionalisme dan empirisme mengenai dasar pengetahuan
manusia. Immanuel Kant seorang filosof Jerman kemudian mencoba melakukan upaya menyelesaikan
perbedaan tajam antara kedua aliran tersebut.[19] Pada mulanya Kant mengikuti aliran rasionalisme,
kemudian menurut pengakuannya sendiri ia kemudian terjaga dari mimpi rasionalismenya setelah
membaca buku David Hume. Tetapi kemudian ia tetap berpendapat bahwa empirisme tidak bisa ia terima
begitu saja karena akan membawa keraguan pada akal. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat mencapai
kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian kebenaran akal, itulah
sebabnya aliran filsafatnya sering disebut dengan filsafat kritisisme.[20]

Dalam filsafat kritisisme, Kant menganggap bahwa pengalaman dan akal manusia sama-sama dapat
digunakan dalam mencapai pengetahuan manusia. Selanjutnya Kant membagi tahapan pencapaian
pengetahuan manusia menjadi tingkatan, yaitu;

 Tahap pencapaian inderawi

Tahapan pertama dalam proses pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap
realitas eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau gejala yang
tampak saja yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan
bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran manusia.[21]

 Tahap akal budi

Bersamaan dengan pencapaian inderawi secara spontan bekerjalah akal budi manusia. Tugas akal budi
manusia adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi. Dalam hal ini akal budi manusia
bekerja dengan bantuan daya fantasinya. Pengetahuan akal budi baru bisa diperoleh ketika terjadi sintesis
antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai oleh Kant dengan “kategori”
yakni ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologi dalam diri manusia untuk menyusun pengetahuan.
[22]

 Tahap rasio/intelek

Menurut Kant, yang dimaksud dengan rasio/intelek adalah kemampuan asasi yang menciptakan
pengertian-pengertian umum dan mutlak.[23] Pada tahapan ini, proses pengetahuan manusia telah sampai
pada kaidah-kaidah asasi yang tidak bisa lagi diruntut dan bersifat mutlak Kant menyebutnya dengan idea
transendental. Tugas idea transendental ini ialah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada
tingkatan dibawahnya.[24]

Menurut Kant idea transendental ini merupakan idea bawaan yang merupakan postulat atau aksioma-
aksioma epistemologi yang berada diluar jangkauan pembuktian empiris teoritis.[25] Idea transendental ini
terbagi tiga, yaitu;

 idea psikis yaitu merupakan gagasan-gagasan mutlak yang mendasari segala gejala yang bersifat
batiniah.
 idea Kosmologis, yaitu idea yang menyatukan seluruh gagasan-gagasan yang bersifat lahiriah.

 idea teologis yaitu gagasan yang mendasari seluruh gejala baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah, yaitu yang terdapat dalam suatu pribadi yang mutlak, yakni Tuhan.[26]

1. Intuisionalisme
Dalam perkembangan selanjutnya epistemologi filsafat Barat kemudian dilengkapi dengan munculnya
aliran intuisionalisme yang dipelopori oleh Henry Bergson. Bagi Bergson indera dan akal manusia sama-
sama terbatas dalam memahami realitas secara keseluruhan. Berdasarkan kelemahan akal dan indera
tersebut kemudian Henry Bergson kemudian mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh
manusia, yaitu intuisi.[27]

Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperoleh melalui pengamatan
langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah suatu objek melainkan hakekat keberadaan dari suatu objek
tersebut.[28] Bagi Bergson ada dua cara dalam proses pencapaian pengetahuan, yaitu analisis dan intuisi.
Analisis ialah aktifitas intelektual dalam mengenali objek dengan observasi bergerak mengairi objek atau
dengan melakukan pemisahan terhadap bagian-bagian konstituen objek. Analisis bekerja menuju sebuah
gerneralisasi abstrak yang kemudian melenyapkan keunikan suatu objek.

Sedangkan intuisi menurut Bergson adalah semacam rasio yang mana peneliti menempatkan dirinya
dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik dalam objek tersebut. Berpikir secara intuitif berarti
berpikir dalam durasi. Durasi dalam hal ini dipahami sebagi waktu dalam gerak yang berkelanjutan dan
bukan waktu yang kemudian terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis.
Bagi Bergson hanya intuisilah yang mampu menangkap fenomena dalam durasi dan realitas
sesungguhnya adalah durasi, yaitu realitas yang tidak statis melainkan senantiasa dalam proses evolusi
kemenjadian.[29]

Henry Berson membagi pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan mengenai (knowledge about) dan
pengetahuan “tentang” (knowledge of) pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau
pengetahuan simbolis yang didapat dari metode analisis dan pengetahuan kedua disebut dengan
pengetahuan intuitif karena diperoleh secara langsung melalui intuisi.[30]

C. Epistemologi Islam

Berbicara mengenai epistemologi Islam, kita dapat mendekatinya dengan melakukan pengkajian terhadap
pendapat para pemikir islam mengenai konsep-konsep epistemologi yang digali dari nash-nash islam
berdasarkan konsepsi pemikiran mereka berdasarkan ruang lingkup epistemologi yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Mengenai sumber-sumber pengetahuan yang merupakan bahasan pertama dalam epistemologi, para
filosof Islam menganggap bahwa realitas tidak hanya terbatas pada realitas yang bersifat fisik melainkan
juga mengakui realitas yang bersifat non fisik. Oleh karena itu dalam epistemologi Islam kita mengenal
realitas non fisik baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni yang dibahas oleh
para pemikir.[31]

Menurut Jalaluddin Rakhmat, secara epistemologi Alquran memperkenalkan empat sumber pengetahuan
manusia yaitu;

1. Alquran dan sunnah


2. Alam semesta

3. Diri manusia

4. Sejarah.[32]

Mengenai alat pencapaian pengetahuan secara umum para pemikir Islam sepakat bahwa ada tiga alat
epistemologi yang dimiliki oleh manusia dalam mencapai pengetahuan. Yaitu Indera, Akal dan Hati. Ketiga
alat epistemologi ini kemudian menghasilkan tiga metode dalam pencapaian pengetahuan yaitu:

1. Metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat atau disebut juga metode
bayani yang menggunakan indera sebagai pirantinya.
2. Metode deduksi logis atau demonstrative (burhani) dengan menggunkan akal.

3. Metode intuitif atau irfani dengan menggunakan hati.[33]

Metode observasi ditujukan untuk melakukan pengkajian terhadap objek-objek yang bersifat inderawi dan
menghasilkan pengetahuan sains, dalam istilah Muhammad Baqir Shadr metode ini juga disebut dengan
teori disposesi.[34] Sedangkan metode demonstrative ditujukan untuk memahami realitas-realitas imajinal
manusia dan melahirkan ilmu-ilmu murni berupa logika, filsafat dan matematika. Selanjutnya metode intuitif
digunakan untuk memahami secara langsung realitas metafisis yang bersifat hudhuri dalam jiwa manusia.
Dan menghasilkan pengetahuan mistik.[35]
Berbicara mengenai titik tekan penggunaan metode demonstrative dan intuitif dalam proses pencapaian
pengetahuan manusia para filosof Muslim kemudian berbeda pendapat. Dalam sejarah filsafat Islam
secara umum filsafat Islam terbagi ketiga aliran besar yaitu:

1. Aliran paripatetik atau masysya’iyah

Secara harfiah paripatetik atau masysya’iyah berarti jalan modar-mandir. Penggunaan istilah ini disebutkan
merujuk pada Plato yang mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya dengan berjalan-jalan. Penamaan
aliran ini sangat jelas terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang dibangun oleh Aristoteles dan Plato.
Meskipun banyak melakukan revisi terhadap pemikiran Yunani aliran ini dibangun atas dasar
Aristotellanisme dan Neo Platonis.[36]

Aliran paripatetik dinisbatkan kepada tokoh-tokoh filosof Islam generasi awal diantaranya al-Farabi dan
Ibnu Sinaa. Aliran ini sangat menekankan metode diskursif-demonstratif dengan menekankan pada aspek
rasionalitas manusia.[37]

1. Aliran iluminasi atau hikmah isyraqiyah

Aliran iluminasi menurut berbagai sumber didasarkan pada ajaran Plato. Aliran ini dinisbatkan kepada
seorang filosof – sufi Islam yaitu Syiihabuddin Suhrawardi al-Maqtul. Secara epistemologi aliran ini sangat
menekankan perolehan kebenaran lewat pengalaman intuitif dan kemudian mengelaborasi dan
memverifikasinya secara logis.[38]

Mengenai proses mendapatkan pengetahuan, yang dalam bahasa iluminasi disebut juga dengan
pencerahan (isyraq) menurut Syuhrawardi ada empat tahapan yang dilalui yaitu:

 Tahap pertama adalah pembebasan diri dari kecenderungan-kecendrungan duniawi untuk


menerima pengalaman Ilahi
 Tahap iluminasi, yaitu tahapan dimana manusia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan
serta mendapatkan apa yang disebutkan dengan cahaya ilham.

 Tahap diskursif, dimana pengetahuan yang didapatkan dengan pencerahan kemudian dikonstuksi
lewat premis-premis yang didasarkan pada logika diskursif.

 Tahap keempat ialah tahapan pembahasan dan penulisan.[39]


1. Teosofi Transendental atau hikmah muta’alliyan

Teosofi Transendental merupakan aliran filsafat Islam yang didirikan oleh Mulla Shadra dalam merumuskan
alirannya berusaha memadukan konsep-konsep pemikiran Islam yang telah dibangun sebelumnya, yaitu
pemikiran kalam, paripatetik, ilmunisasi dan sufisme.[40]

Secara epistemologi teosofi transendental menekankan tiga prinsip utama dalam perolehan ilmu
pengetahuan yaitu, intuisi intelektual atau isyraq, pembuktian rasional secara Deduktif-silogistik, dan
syariat.[41] Dalam hal ini nash Alquran, dan hadis. Sehingga filsafat hikmah atau xteosofi transcendental
adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam
bentuk argumentasi yang rasional dan didasarkan pada nash-nash Islam.[42]

Klasifikasi pengetahuan dalam pandangan pemikir muslim, khususnya pemikir ilmunisasi dan teosofi
transendental secara umum terbagi dua yaitu:

 Ilmu hushuli (knowledge by represence) yaitu pengetahuan manusia yang masih menggunakan
perantara dimana antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui mengalami
keterpisahan.
 Ilmu hudhuri (knowledge by presence) yaitu pengetahuan manusia yang tidak menggunakan
perantara dimana objek pengetahuan hadir dalam jiwa manusia sebagai subjek yang mengetahui.
[43]

1. III. PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam makalah ini penulis berkesimpulan:

1. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang teori pengetahuan, yang
ruang lingkupnya terdiri dari sumber-sumber pengetahuan, alat pencapaian pengetahuan, metode
pencapaian pengetahuan dan klasifikasi pengetahuan.
2. Epistemologi filsafat dalam hal ini barat terbagi kedalam empat aliran utama yaitu:

 rasionalisme yang sangat menekankan fungsi rasio dalam proses pencapaian pengetahuan
manusia
 empirisme yang mengutamakan pengalaman manusia sebagai sumber pengetahuan

 kritisisme yang menggabungkan epistemologi rasionalisme dan empirisme dalam proses


pencapaian pengetahuan.

 intuisionalisme yang sangat menekankan peranan intuisi manusia dalam mencapai


kebenaran pengetahuan.

3. Epistemologi Islam meyakini realitas fisik dan non fisik sebagai sumber pengetahuan. Serta
penggunaan indera, akal dan hati sebagai alat dengan menggunakan metode observasi,
demonstrative dan intuitif dalam proses pencapaian pengetahuan.

4. Dalam persoalan metode pencapaian pengetahuan epistemologi Islam terbagi kedalam tiga aliran
filsafat, yaitu paripatetik, iluminasi dan teosofi transendental.

5. Secara umum klasifikasi pengetahuan dalam Islam terbagi dua yaitu: ilmu hushuli dan ilmu hudhuri.

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahrial, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung: teraju 2002

——————Muhammad Iqbal. Bandung : Teraju. 2003

Ammar, Hasan Abu, Ringkasan Logika Muslim Jakarta: Yayasan al-Muntazhar 1992

Bagir, Haedar, Buku Saku Filsafat Islam. Bandung : Arasy 2005

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997

Kartanegara, Mulyadi, Panorama Filsafat Islam. Bandung : Mizan 2002

Kosmic, Manual Training Pencerahan . Jakarta : Kosmic 2002

Muslih. Muhammad, Filsafat Ilmu. Yogyakarta Belukar


Muthahhari, Murtada, Masysla-ye Syenikh diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan judul
mengenal epistemologi, Jakarta : Lentera Basritama 2001

————————- Man and Universe diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Manusia Dan Alam
Semesta. 2002

Poedjawijatna, IR. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Jakarta : Rineka Cipta. 1997

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif. Bandung : Mizan. 2004

Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna Diterjemahkan oleh Muhammad Nur Mufid Bandung : Mizan. 1994

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2001

[1]Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1994) h. 25

[2] Lihat Murtadha Muthahhari, Mas’ala-ye Syenokh, Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih
dengan Judul Mengenal Epistemologi, (Cet. I; lentera, 2001) h. 17-22

[3] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu (Cet. II; Yogyakarta: Belukar. 2005) h. 20

[4] Kosmic. Manual Training Filsafat, (Jakarta: Kosmic. 2002) H. 76

[5] Ibid

[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. (Cet. IX ; Bandung : remaja Rosdakarya. 2001), h. 23

[7] Murtadha Muthahhari, op.cit., h. 19

[8] Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. (Cet. I ; Bandung : Teraju.2002). h. 43

[9] Muhammad Muslih., op.cit., h. 49-50


[10] Kosmic., op.cit., h. 124

[11] Donny Gahrial Adian., op.cit., h. 45

[12] Ahmad Tafsir., op.cit., h. 25

[13]Kosmic., op.cit., h. 125

[14] Donny Gahrial Adian., op.cit., h. 48

[15] Lihat Ir. Poedjawijatna, PembimbingKearah Alam Filsafat. (Cet. X ; Jakarta: Roneka Cipta. 1997). h.
103-106

[16] Ahmad Tafsir., op.cit., h. 24

[17] Muhammad Baqir Shadr, op.cit., h. 33

[18] Donny Gahrial Adian., loc.cit

[19] Ir. Poedjawijatna., op.cit., h. 107

[20] Ibid

[21] Muhammad Muslih., op.cit., h. 63

[22] Ibid., h. 64

[23] Ibid

[24] Kosmic., op.cit., h. 134

[25] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama. (Jakarta ; Logos Wacana ilmu. 1997), h. 170

[26] Muhammad Muslih., op.cit., h. 65

[27] Ahmad Tafsir., op.cit., h. 27


[28] Muhammad Muslih., op.cit., h. 70

[29] Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Cet. I ; Bandung : Teraju, 2003) h. 46-47

[30] Muhammad Muslih, loc.cit

[31] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam,. (Cet. I ; Bandung : Mizan. 2002). h. 58

[32] Lihat. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif. (Cet. XII ; Bandung : Mizan. 2004) h. 203-205. Lihat juga
Murtadha Muthahhari, Man and Universe diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul manusiadan Alam
semesta. (Cet. II; Jakarta : Lentera Basritama. 2002) h. 47-48

[33] Mulyadi Kartanegara., op.cit., h. 63

[34] Lihat Muhammad Baqir Shadr., op.cit., h. 36-37

[35] Kosmic., op.cit., h. 203

[36] Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam. (Cet. I ; Bandung : Arasy. 2005) h. 85

[37] Ibid., h. 103

[38] Ibid., h. 138

[39] Lihat Ibid., h. 13-1398

[40] Kosmic. Op.cit. h. 233

[41] Haidar Baqir. Op.cit. h. 171

[42] Kosmic. Op.cit. h. 234

[43] Hasan Abu Ammar, Ringkasan Logika Muslim. (Cet. I ; Jakarta : yayasan al- Muntazhar, 1992), 14
MENUJU INTEGRASI ILMU-ILMU KEISLAMAN DENGAN ILMU-ILMU UMUM

Oleh: Syekhuddin

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan
intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global
yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat
Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan
menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu
memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]

Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap
sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu
pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt,
kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan
sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya
memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang
digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang
merugikan manusia.[2]

Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses
pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan
demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia
dan bukan sebaliknya.[3]

Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum
dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan
interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan
dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.

Buka masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi
ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]

B . Permasalahan

Permasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menyatukan ilmu-ilmu
keislaman dengan ilmu-ilmu umum.

II. PEMBAHASAN

Sebelum sampai kepada pembahasan penyatuan /integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum,
maka akan dibahas terlebih dahulu tentang : Alquran dan ilmu pengetahuan, rekonstruksi sains Islam,
suatu integrasi ilmu pengetahuan Islam dan umum.

A. Alquran dan Ilmu Pengetahuan ( Sains )

Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara
yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga
menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.

Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang
beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu,
bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk
membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia diketahuinya.[5]
Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah
menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmu>d Abdul Wahab Fayid mengatakan
bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya
itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan
yang rasional.[6]

Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu
pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua
bersumber dari al-Qur’an al-Karim. Namun Imam Al-Sy>athibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-
Gazali.[7]

Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai
dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan
menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang
lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu
pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang
bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[8]

Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar
untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma
Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma
Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong
munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat
dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide
normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka
bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan
kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori
ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.[9]

B. Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam


Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum.
Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan.

Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks
Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari
adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan
yang berlabel agama di bawah naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah
DEPDIKNAS.

Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan
integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis yang
menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah
menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun
untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai
sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan gugatan dari
masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.[10]

Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat
Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences (al-ulu>m al-kauniyyah) menjadi terpisah dan tidak
bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash.
Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal
menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biru>ni (w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn
Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang
perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak
mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang
ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada
sekarang.[11]

Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal
diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Ha>tim an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-
Khayyami (w.1123) yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad al-Syarif
al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi.
Pada periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ada beberapa faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:

1. Agama Islam sebagai motivasi.


2. Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.

3. Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Didirikannya akademi, Laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.

5. Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.

6. Pandangan Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar.

7. Penguasaan terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani.

Pada periode klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu
pengetahuan yang bersumber dari Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam
dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.[12]

Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran,
produktivitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi sebaliknya, warisan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia
baru melalui pintu gerbang renaissance, dan reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu
pengetahuan dalam Islam.

Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam,
sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur
ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian muncullah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum.
Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir
bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu Ilmu
pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan
Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu
pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik
dalam pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan.
Dengan rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan
Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara fungsional
(fungsional Corelation)[13]

C. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islaman dengan Umum

Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam
sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan
ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua
bidang ilmu tersebut.

Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu
pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai
pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan
pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus
bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen.
Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya ( Geosentrisme) didasarkan pada
informasi Bibel.[14]

Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi
pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai
sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam
ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler.[15] Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis
membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan
realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan
didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).

- Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat
melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang
absah adalah empiris (pengalaman).

- Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai
ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular,
menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.[16]

Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan
kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya
“islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen
memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label
“Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan
utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-
sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian
banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa
disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin
Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan
akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari
kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide “Islamisasi
ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema
ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.

Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika
Serikat, Isma>’il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan
pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan
iman.

Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini
diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang
didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah
objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung
dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam ( rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi
non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan
ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip–prinsip tanpa mengacu pada
pendekatan teologi normatif.

Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu
pengetahuan, sebagai berikut:

1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan
mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang
inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci
(baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena
di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh
corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.

3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan
empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri
mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan
sarat makna-makna atau nilai.

4. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau
metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan
empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.[17]

Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.

Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek
agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari
Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja.
Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat,
geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa
rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan
Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif,
progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah
adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afga>ni menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.

Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang
berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu
pengetahuan.[18]

Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan
Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia ( other worldly asceticisme ).[19] Model integrasi adalah
menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan
qauniyah dapat dipakai.[20]

Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam
tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.

Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:

(1) Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan
temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan
kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk
menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada
kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[21]

(2) Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo
mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu
qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu
nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora
(ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).[22]

Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi
Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena
itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh
Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani
manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora,
maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri …. maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[23]

Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan
antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi
menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.

- Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa
ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.

- Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan
berat sebelah.

- Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan
kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan
yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan
yang melekat pada diri sendiri.[24]

Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara


keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan
mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai
sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi
yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal,
sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[25]

Contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-
teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil
(al-Mud{a>rabah) dan kerja sama (al-Musya>rakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika
agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti
agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang
humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi,
antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
seterusnya.[26]

Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara
keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi
pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan
integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum
juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak
persamaan, baik metode pendekatan ( approach) dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan
memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling
bekerja sama tanpa saling mengalahkan.

Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke
dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.

- Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang
timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt.
baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang
terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai
pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki
oleh Allah swt.

- Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha
yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang
diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial ( sunnatullah). Karena itu tidak menafikan
Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

- Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian
manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan
teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.

BAB III. KESIMPULAN

1. Alquran diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil,
juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Sejak kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah
pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler.

3. Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan
Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak
dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.

4. Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada
3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.

5. Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-
interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif , Cet.I,


Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006

_______, Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi , Cet I; Yogyakarta: Penerbit SUKA
Press, 2007.

Arief, Armai. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press, 2005.

Azra, Azyumardi. Reintegrasi Ilmu-Ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi , Bandung: Mizan,
2005.

Bagir, Zainal Abidin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi , Bandung: Mizan, 2005
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Madinah Al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li
Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.

Fayid, Syeikh Mahmud Abdul Wahab, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al-Falasany,
“Pendidikan Dalam Alquran”, Semarang: Penerbit CV. Wicaksana, 1989.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Cet. II, Jakarta; Penerbit: Teraju, 2005.

Said, Nurman. dkk, Sinergi Agama dan Sains, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran, Cet. I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, Jakarta: Gramedia, 1986.

[1] Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Cet; Jakarta: CRSD Press, 2005), h.124.

[2] Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (ed) (Cet I; Makassar:
Alauddin Press, 2005), h. xxxvi.

[3] Ibid., h.xxxvii

[4] Prof.DR.H.M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi , (Cet I;
Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007), h. 33.

[5] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd
Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H), h. 1079.

[6] Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al.Falasany,
“Pendidikan Dalam Alquran” Semarang: Penerbit CV.Wicaksana, 1989), h. 23-24.

[7] Dr.M.Quraish shihab, Membumikan Alquran, (Cet I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992) h .41

[8] Ibid.,
[9] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Cet. II, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005), h.25-26.

[10] M. Shaleh Putuhena, Ke Arah Rekonstruksi Sains Islam, Nurman Said, Wahyuddin Hakim, Muhammad
Sabri, op.cit, h.107

[11] Prof. Dr.H.M. Amin Abdullah, dkk, op.cit; h. 27.

[12] M.Shaleh Putuhena, op.cit., h. 107.

[13] Ibid., h. 119.

[14] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral , Sosial dan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
3.

[15] Prof.DR. Moh. Natsir Mahmud, Landasan Paradigmalik Islamisasi Ilmu Pengetahuan , Nurman Said,
Wahyuddin Halim Muhammad Sabri, (ed), Op.cit; h. 129.

[16] Lihat Ibid., h. 129-133.

[17] Ibid., h. 134.

[18] Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam Zainal Abidin Bagir (ed) Integrasi Ilmu dan Agama,
Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005) h. 206- 211.

[19] Kuntowijoyo, op.cit., h. 57-58.

[20] Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama . Pengalaman UIN Malang. Zainal Abidin
Bagir, (ed), op,cit, h.49 – 50.

[21] Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi , (bandung: Mizan, 2005) h,
50-51.

[22] Kuntowijoyo, op.cit; h. 51.

[23] Prof.DR.M.Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif ,


(Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006), h. VII-VIII.
[24] Ibid., h. 219 – 223.

[25] Kuntowijoyo, op.cit., h. 62.

[26] Prof.Dr. M.Amin Abdullah, op.cit, h. 105.

LOGIKA INFERENSIAL

Posted: September 22, 2009 by syekhu in MAKALAH


Tag:agama, budaya, filsafat, ilmu, inferensial, islam, logika, nilai, paradigma

LOGIKA INFERENSIAL

Oleh: Syekhuddin

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat merupakan akar dari seluruh ilmu yang ada, dari hasil pemikiran-pemikiran filsafat itulah muncul
teori-teori yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kelimuan dan teknologi di jagat raya ini.

Kita sudah begitu sering berfikir, rasa-rasanya berfikir begitu mudah. semenjak kita sudah biasa
melakukannya. Setiap hari kita sudah berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog dengan orang lain,
bicara, menulis, membaca suatu uraian, mengkaji suatu tulisan, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan
mencoba menarik kesimpulan-kesimpulan dari hal-hal yang kita lihat dan kita dengar. Terus menerus
seringkali hampir tidak kita sadari.

Namun bila kita selidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus dipraktekkan sungguh-sungguh ternyata
bahwa berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir
seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran
tidak menyambung. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan
cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang
terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang
tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan
pribadi atau kelompok/ golongan.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan “Logika Inferensi” dapat dirumuskan,
sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian logika inferensi?

2. Bagaimana sejarah logika?

II. LOGIKA

A. Pengertian

Logic (logika) berasal dari kata logos (Bhs. Yunani) yang artinya kata (word) atau apa yang diucapkan,[1]
kemudian berubah menjadi studi sistem preskriptif dari argumen dan penalaran ( reasoning), yaitu sistem
yang menjadi acuan bagaimana manusia harus berfikir. Logika dapat dikatakan sebagai bentuk penarikan
kesimpulan, apakah sesuatu atau argumen itu absah ( valid) atau sebagai pendapat yang keliru (fallacious).
[2]

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, logika berarti; [1] pengetahuan tentang kaidah berfikir, [2] jalan
fikiran yang masuk akal.[3] Inferensi berarti simpulan; yang disimpulkan.[4] Oleh karena demikian, logika
inferensial dapat didefinisikan sebagai “berfikir dengan akal yang sehat untuk memperoleh kesimpulan”.
Contohnya, ketika seseorang menghadapi sebuah persoalan yang memerlukan jalan keluar (pemecahan),
lalu persoalan tersebut ia fikirkan dengan menggunakan akal yang sehat, kemudian dari hasil berfikir itu ia
mendapatkan sebuah simpulan pemecahan dari persoalan tersebut.

M. Taib Thahir Abd. Muin mengemukakan bahwa ilmu manthiq (logika) menurut bahasa ialah bertutur
benar. Adapun definisinya bermacam-macam, namun kesimpulannya sama, antara lain; [1] ilmu tentang
undang-undang berfikir, [2] ilmu untuk mencari dalil, [3] ilmu untuk menggerakkan fikiran kepada jalan yang
lurus dalam memperoleh suatu kebenaran, [4] ilmu yang membahas tentang undang-undang yang umum
untuk fikiran, [5] alat yang merupakan undang-undang berfikir dan bila undang ini dipelihara dan
diperhatikan, maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari fikiran-fikiran yang salah.[5]

B. Sejarah Ringkas Logika

W. Poespoprodjo dalam bukunya yang berjudul Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu ,
membagi sejarah logika,[6] sebagai berikut:

1. Dunia Yunani Tua

Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340-265) disebutkan bahwa tokoh Stoa adalah yang
pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran
dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam
realitas. Tetapi kaum sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara eksplisit.
Gorgias (±483-375) dari Lionti (Sicilia), mempersoalkan masalah pikiran dan bahasa, masalah
penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang
ditangkap pikiran?

Sokrates (470-399) dengan metodenya, mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan
contoh dan peristiwa konkrit untuk kemudian dicari ciri umumnya. Plato, yang nama aslinya Aristokles,
(428-347) mengumumkan metode Sokrates tersebut sehingga menjadi teori ide, yakni teori dinge an sich
versi Plato. Sedangkan oleh Aristoteles, dikembangkan menjadi teori tentang ilmu. Menurut Plato, ide
adalah bentuk “mulajadi” atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa,
sedangkan benda individual duniawi hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna yang disebut
ectypa. Gagasan Plato ini banyak memberikan dasar terhadap perkembangan logika, lebih-lebih yang
bertalian dengan ideogenesis dan penggunaan bahasa dalam pemikiran. Namun demikian, logikè
epistèmè (logika ilmiyah) sesungguhnya baru dapat dikatan terwujud berkat karya Aristoteles.

Sesudah Aristoteles, Theoprastus mengembangkan teori logika Aristoteles, dan kaum Stoa
mengembangkan teori logika dengan menggarap masalah bentuk argument disjungtif dan hipotesis serta
beberapa segi masalah bahasa. Chrysippus yang Stoa mengembangkan logika proposisi dan mengajukan
bentuk-bentuk berfikir yang sistematis.
Galenus, Alexander Aphrodisiens, dan Sextus Empiricus mengadakan sistematisasi logika dengan
mengikuti cara geometri, yakni metode ilmu ukur. Galenus sangat berpengaruh karena tuntutannya yang
sangat ketat aksiomatisasi logika. Karya utama Galenus berjudul Logika Ordini Geometrico Demonstrata .
Tapi impian Galenus hanya terlaksana jauh kemudian. Yakni di akhir abad XVII melalui karya saceheri
yang berjudul Logica Demonstrativa.

Kemudian muncullah zaman dekadensi logika. Salama ini logika mmengembang karena menyertai
perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari betapa berseluk beluknya kegiatan berpikir yang
langkahnya mesti dipertanggungjawabkan. Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka
logika juga merosot. Tetapi beberapa karya pantas mendapat perhatian kita, yakni Eisagogen dari
Porphyrios, kemudian komentar-komentar dari Boethius dan Fons Scientiae (Sumber Ilmu) karya Johannes
Damascenus.[7]

2. Logika Abad Pertengahan

Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan logika hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul
Kategoriai dan Peri Hermenias. Karya tersebut ditambah dengan karya Phorphyrios yang bernama
Eisagogen dan traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian, masalah metode debat, silogisme
kategoris hipotesis, yang biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat karya Aristoteles
lainnya dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru.[8] Logika lama dan logika baru kemudian
disebut logika antik untuk membedakan diri dari logika terministis atau logika modern, disebut juga logika
suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para filosof Arab.[9] Di dalam logika ini di ditunjuk pentingnya
pendalaman tentang suposisi untuk menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term
sebagai symbol tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya Petrus Hispanus,
William dari Ockham.

Thomas Aquinas dkk., mengusahakan sistimatisasi dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha
mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad XIII-XV berkembanglah logika seperti yang sudah
disebutkan di atas, disebut logika modern. Tokohnya adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham,
dan Raimon Lullus yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars Magna, yakni semacam Al-jabar
pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Abad pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang sangat penting bagi perkembangan logika. Karya
Boethius yang orisinal dibidang silogisme hipotesis, berpengaruh bagi perkembangan teori konsekwensi
yang merupakan salah satu hasil terpenting bagi perkembangan logika di abad pertengahan. Kemudian
dapat dicatat juga teori tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari
semiotika matematika di zaman ini. Selanjutnya diskusi tentang universalia, munculnya logika hubungan,
penyempurnaan teori silogisme, penggarapan logika modal, dan lain-lain penyempurnaan terknis.[10]

3. Logika Dunia Modern

Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga dilanjutkan oleh sebagian pemikir,
tetapi dengan tekanan-tekanan yang berbeda. Thomas Hobbes, (1632-1704) dalam karyanya Leviatham
(1651) dan John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human
Understanding (1690). Meskipun mengikuti tradisi aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya sangat dikuasai paham
nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-
operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam
pengalaman.

Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistik dan menunjukkan tanda-tanda
induktif berhadapan dengan dua bentuk metode pemikiran lainnya, yakni logika fisika induktif murni
sebagaimana terpapar dalam karya Francis Bacon, Novum Organum (London, 1620) serta matematika
deduktif murni sebagaimana terurai di dalam karya Rene Descartes, Discors The La Methode (1637).

Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang direncanakan Francis Bacon, didasarkan pada
pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan
sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.[11]

4. Logika di India

Di Asia hanya India yang sudah mengembangkan logika secara formal sejak masa lalunya. Logika lahir
dari Sri Gautama yang harus sering berdebat melawan golongan Hindu fanatic yang menyerang aliran
kesusilaan yang diajarkannya. Dengan sistematis logika dipaparkannya dalam Nyaya-Sutra sehingga
mencapai taraf perkembangan ilmu. Nyaya-Sutra mendapat komentar dari Prasastapada, yang kemudian
disempurnakan oleh pengikut-pengikut Buddha lainnya.
Logika terus sebagai metode berdebat, dan mengundang banyak komentar dari orang-orang seperti
Uddyotakara, Vacaspati Misra, Mazdab Nyaya, Kumarila Bhatta, Mazdab Mimamza Dharmakirti, seorang
Buddhis Udayana, Bhagavata, dan lain-lain.[12]

C. Logika Formal dan Logika Material

Setelah pengetahuan logika makin ramai dibicarakan orang maka logika artificialis dibedakan orang
menjadi dua macam, yaitu logika formal dan logika material.[13]

Logika formal mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati, agar
orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung
pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis
yang sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan
yang sebenarnya.[14]

Logika material mempelajari sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses
terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan. Logika material inilah yang
menjadi sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenal ( kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan
(wetenschapsleer).[15]

Logika formal dinamakan orang juga logika minor, sedang logika material dinamakan sebagai logika mayor.
Dan apa yang disebut dengan logika formal sekarang ini ialah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-
kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.[16]

D. Positivistic Logic

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme)
adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis
berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat
memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau
tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto
Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah
salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap
skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu
pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut
paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang “makna yang dapat
dibuktikan”, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya
jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua
bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan
masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme
Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang “makna
yang dapat dibuktikan” seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk
eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya:
tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah
yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang
berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan
tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der
Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori
syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat
dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara
pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari
pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-
apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum
ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh,
psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan
sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui
penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.[17]

E. Mathematical Logic

Logika matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika dan matematika. Logika matematika
mempelajari tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke dalam ruang lingkup matematika. Logika
matematika juga memiliki kaitan erat dengan ilmu komputer dan logika filsafat. Lebih dari itu, logika
matematika kadang dianggap sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia.

Logika matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian yang berbeda. Yang
pertama adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam matematika dan penalaran matematika.
Sedangkan yang kedua, sebaliknya, adalah aplikasi dari teknik-teknik matematika ke dalam representasi
dan analisis logika formal. Bisa dikatakan bahwa logika matematika menyatukan kekuatan ekspresi dari
logika formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal ( formal proof system). Penggunaan
matematika dalam hubungannya dengan logika dan filsafat dimulai pada zaman Yunani kuno.

Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para matematikawan barat di
antaranya adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun
1700, percobaan-percobaan untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan memakai simbol-
simbol dan aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz dan Lambert. Akan
tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan mereka sangat sedikit dan jarang sekali ditemukan, yang karena
itu tidak terlalu diketahui oleh publik.[18]

F. Postmodern Logic

Istilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Kendati sampai saat ini
belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak
orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa
sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois Lyotard, salah satu
contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul
The Post-Modern Condition sebagai kritikan atas karya The Grand Narrative yang dianggap sebagai
dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.

Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan
dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam
menentukan kebenaran berfikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak
jelas akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.

Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti
Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil
mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan,
postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam
Theories of Modernity and Post-Modernity- nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua
kelompok tadi tentang memahami Post-modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat
berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradok, sedang yang lain menganggap bahwa
postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk
jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya
postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism
Reaction, Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua
pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif
tadi.

Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethics berpendapat, kata “post” dalam istilah
tadi bukan berartikan “setelah” (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di
atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman
modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis
adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka. Asas pemikiran
postmdernisme sebagaimana berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan
berakhir pada empat pola pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme.
Tidak terkecuali dengan postmodernisme.[19]

G. Pragmatic Logic
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini
sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian
pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria
kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme
benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori
dapat diaplikasikan).

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau
teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi
manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya,
yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal
abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian
dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

H. Transendental Logic

Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran
yang mengatasi batas pengalaman.[20]

III. KESIMPULAN

Dari uraian pembahasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa dalam menghasilkan kesimpulan
dari hasil pemikiran diperlukan metode, strategi dan pendekatan-pendakatan yang terkonstruk agar
inferensinya lebih baik.

Berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama
dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak
menyambung tidak menyekrup. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang
kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-
kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap
segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh
rasa perasaan pribadi atau kelompok / golongan.
Jadi jelasnya berfilsafat tidak hanya sekedar berfikir mendalam namun ada aturan-aturan atau prosedur
yang harus dijadikan sebagai syarat agar dapat dikatakan berfilsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, et al.. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2005 M.

Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat. Cet. IX; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1992 M.

Muin, M. Taib Thahir Abd. Ilmu Manthiq (Logika). Cet. IV; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1993 M.

Poespoprodjo, W.. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika,
1999 M.

WP, Santika. Logika Digital. Bandung: Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, 2007 M.

Faby, Larsa Pranenza Rahila http://www.informatika.org/~rinaldi/Matdis/2007-


2008/Makalah/MakalahIF2153-0708-001.pdf

Luthfi, Muchtar. http://jurnalislam.net/id

http://www.parapemikir.com/articles/6472/1/Logika/Page1.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis

[1]Dr. Mohd Shabry AR., dalam seminar mata kuliah Filsafat Ilmu pada hari Rabu, 05 Oktober 2008 yang
lalu menjelaskan bahwa sebenarnya arti asal kata logos adalah Tuhan pencipta word.

[2]Santika WP, Logika Digital, (Bandung: Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, 2007
M.), h. 2.

[3]Hasan Alwi, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2005 M.), h.
680.
[4]Ibid., h. 432

[5]M. Taib Thahir Abd. Muin, Ilmu Manthiq (Logika), (Cet. IV; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1993 M.), h. 16-17.

[6]W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika,
1999 M.), h. 41.

[7]Ibid., h. 42-43.

[8]Menurut buku Richard B. Angel yang berjudul “ Reasoning and Logic”, Aristoteles sendiri meninggalkan
enam buah buku khusus yang membicarakan ilmu logika ini yang oleh murid-muridnya diberi nama
“Organon”. Keenam buku tersebut adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae
(Mengenai keputusan-keputusan) Analitica Priora (mengenai silogisme) Analitica Posteriora (Mengenai
pembuktian) Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan
berfikir). http://www.parapemikir.com/articles/6472/1/Logika/Page1.html

[9]Di dunia Islam, ilmu logika ini tidak diterima begitu saja dengan mulus, tapi direspon dengan berbagai
macam pendapat oleh tokoh-tokoh Islam terkemuka. Al-H{a>fiz} Ibnu S{ala>h} dan Ima>m Nawawi
misalnya, mereka sangat menentang penggunaan ilmu logika. Penentangan mereka itu bukan hanya
sebatas menentang tidak setuju atau tidak sepakat tapi jauh lebih keras dari itu. Penentangan mereka
sampai kepada mengharamkan ilmu logika untuk digunakan di dalam dunia Islam. Namun demikian,
sebagian besar dari mereka (Jumhu>r Ulama) membolehkan mempelajari ilmu logika dengan syarat orang-
orang yang akan mempelajarinya sudah kokoh iman dan cukup akalnya. Selain penolakan yang tegas
serupa di atas, di antara mereka ada juga yang malah menganjurkannya, seperti Al-Gaza>liy, Al-Fara>biy,
Al-Kindiy dan lain-lain. Al-Kindiy bukan hanya menganjurkan tapi malah mempelajari dan sekaligus
menyelidiki logika yunani secara khusus, bahkan Al-Fara>biy melakukannya lebih mendalam lagi dari apa
yang sudah dilakukan oleh Al-Kindiy. http://www.parapemikir.com/articles/6472/1/Logika/Page1.html

[10]W. Poespoprodjo, op. cit., h. 43.

[11]Ibid., h. 44.

[12]Ibid., h. 56.
[13]Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, (Cet. IX; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1992 M.), h. 20-21.

[14]Ibid.

[15]Ibid.

[16]Ibid.

[17]http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis

[18]Larsa Pranenza Rahila Faby, http://www.informatika.org/~rinaldi/Matdis/2007-


2008/Makalah/MakalahIF2153-0708-001.pdf

[19]Muchtar Luthfi, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama di Universitas Imam Khomeini Qom,
Republik Islam Iran. Lihat, http://jurnalislam.net/id

[20]http://www.ebonk.org/blog/archives/2005/06/27/logika/

ISLAM SEBAGAI ADIKUASA; FAKTOR-FAKTOR PENYOKONG

Posted: September 22, 2009 by syekhu in MAKALAH


Tag:adikuasa, agama, budaya, filsafat, ilmu, islam, nilai

ISLAM SEBAGAI ADIKUASA; FAKTOR-FAKTOR PENYOKONG

Oleh : Syekhuddin

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Ilmu merupakan salah satu dari sekian pengetahuan, dan kadang-kadang disebut juga dengan nama
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) karena metode untuk memperolehnya dilakukan melalui metode
ilmiah.
Perkembangan ilmu telah mengalami dekade yang ditandai oleh ketidak pastian. Penemuan-penemuan
yang telah terjadi bukan saja menghasilkan kepuasan dan keasyikan, melainkan membawa juga
konsekwensi dasyat dalam kehidupan manusia. Penemuan yang dihasilkan bertumpu pada kreativitas
manusia, suatu kemampuan yang unik bagi makhluk manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Untuk mengetahui apa sesungguhnya ilmu itu harus melalui filsafat ilmu. Dengan demikian setiap ilmuan
merasa sangat penting untuk mendalami filsafat ilmu untuk mengenal hakekat ilmu yang dimilikinya.

Ketika Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan
batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat, maka semenjak itu refleksi filsafat
mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Lahirlah cabang filsafat yang disebut sebagai
Filsafat Pengetahuan. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata-cara untuk
menggunakan sarana-sarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah.

Karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of know ledge maka lahirlah Filsafat Ilmu
sebagai penerusan pengembangan Filsafat Pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
menempatkan objek sasarannya: ilmu (pengetahuan).

Ajaran Islam melalui Al-Qur’an telah memberikan landasan untuk membentuk konsep Filsafat Ilmu.
Sehingga ketika Filsafat Ilmu yang berlandaskan ajaran Islam (Al-Qur’an) berhasil diwujudkan, tidaklah
salah jika diberi predikat islami atau Qur’ani sehingga menjadi Filsafat Islami atau Filsafat Qur’ani.

Adapun Filsafat Ilmu tanpa melandaskan diri pada konsep Agama atau bahkan dipisahkan dari dimensi
keimanan menurut ajaran Islam, dalam bahasa lain Filsafat Ilmu ini disebut Filsafat Ilmu sekuler yang
berpijak pada pandangan sekularisme.

B. Rumusan Masalah

Setelah penulis mengemukakan beberapa persolan latar belakang diatas maka dapat kami tulis beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :

1. Pengertian Filsafat Ilmu


2. Objek Telaah Filsafat Ilmu
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat Ilmu

Sebelum penulis mengemukakan Filsafat Ilmu terlebih dahulu dikemukakan pengertian Filsafat. Adapun
pengertian Filsafat sebagai berikut:

Istilah “Filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Philoshophy (Inggris),
Philoshophia (Latin), Philoshophie (Jerman, Belanda, Prancis). Semua istilah itu bersumber dari Yunani
Philoshophia. Istilah Yunani Philein berarti “mencintai”, sedang philos berarti “Teman”. Selanjutnya istilah
sophos berarti “bijaksana”, sedangkan sophia berarti “kebijaksanaan”.[1]

Adapun pengertian Filsafat menurut para Filosof antara lain : Konsep Rene Descartes.

Menurut Rene Descartes, filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan, dimana Tuhan, alam dan
manusia menjadi pokok penyelidikannya.[2]

Konsep Francis Bacon

Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat mengenai semua
pengetahuan sebagai bidangnya.[3]

Adapun pengertian filsafat ilmu terdapat berbagai pendapat sehingga sulit untuk memberikan suatu
batasan yang positif. Misalnya perbedaan pendapat antara Ernest Nagel dengan Stephen Toulmin tentang
apakah filsafat ilmu merupakan suatu studi scientific achievement in vivo atau studi tentang masalah-
masalah mengenai penjelasan (problems of explanaton).

Ada beberapa titik pandang (view points) untuk menetapkan dasar pemahaman terhadap filsafat ilmu
sebagai berikut :

Pertama menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world-views yang konsisten dengan, dan
pada beberapa pengertian didasarkan atas, teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini,
merupakan tugas dari filusuf ilmu (philosopher of science) untuk mengelaborasikan implikasi yang lebih
luas dari ilmu.

Pandangan kedua menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presuppositions dan
predispositions dari para ilmuan. Filusuf ilmu mungkin mengemukakan bahwa para ilmuan menduga
(presuppose) alam tidak berubah-ubah, dan terdapat suatu keteraturan di alam sehingga gejala-gejala
alam yang tidak begitu kompleks cukup didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin tidak
menutup keinginan-keinginan deterministik para ilmuan lebih daripada hukum-hukum statistik, atau
pandangan mekanistik lebih daripada penjelasan teologis. Pandangan ini cenderung mengasimilasikan
filsafat ilmu dengan sosiologi.

Pandangan ketiga mengemukakan bahwa filsafat ilmu itu adalah suatu disiplin yang di dalamnya konsep-
konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan. Hal ini berarti memberikan kejelasan
tentang makna dari berbagai konsep seperti partikel, gelombang, potensial dan komplek di dalam
pemanfaatan ilmiahnya. Akan tetapi, Gilbert Ryle telah menunjukkan terdapat sesuatu yang pretensius
(pretentious) tentang pandangan ini mengenai filsafat ilmu sehingga para ilmuan memerlukan filsafat ilmu
untuk menjelaskan kepada mereka makna dari konsep-konsep ilmiah.

Filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat
ilmu ditumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
sesungguhnya merupakan penyelidikan lainjutan. Akan tetapi, yang perlu untuk dipahami adalah bahwa
filsafat ilmu itu pada dasarnya science of science.[4]

B. Objek Telaah Filsafat Ilmu

Ilmu pengetahuan selalu memperbarui diri seiring dengan perkembangan zaman, dan itu berlangsung
menurut hukum kemajuan.[5] Sampai saat ini, ilmu dianggap masih dalam keadaan antara kurang dan
lengkap, antara keliru dan benar, antara terpencar dan padu dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah aneh
dalam kaedah ilmu pengetahuan bila ia mengalami goyah setelah pasti atau roboh setelah diyakini.

Pada mulanya ilmu bersifat perkiraan kemudian meningkat menjadi menyakinkan. Para peneliti masih terus
melakukan eksperimen-eksperimennya terhadap pelbagai kaidah ilmu pengetahuan, yang selama
berabad-abad dianggap sebagai kebenaran yang tak perlu dipersoalkan lagi.[6] Para peneliti akan memulai
usaha penelitian baru untuk menemukan kaedah-kaedah ilmu yang baru yang diharapkan akan menjadi
hukum-hukum atau teori-teori yang akan berlaku di zaman yang akan datang.[7]

Pada masa yang lalu ilmu pengetahuan identik dengan filsafat, sehingga pembatasannya bergantung pada
sistem filsafat yang dianutnya. Perkembangan filsafat dapat mengantarkan suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan itu tumbuh dengan subur serta bercabang dengan mekar.
Selanjutnya masing-masing cabang melepaskan diri dari batas filsafatnya dan berkembang mandiri yang
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri.

Setelah dilakukan gerakan demitologisasi yang di pelopori para filusuf pra-socrates, filsafat dengan
kemampuan rasionalitasnya setapak demi setapak telah mencapai puncak perkembangannya
sebagaimana ditunjukkan melalui Socrates, Plato dan Aristoteles. Semenjak itu filsafat yang semula
bercorak metologik berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang. Hal
tersebut terbukti dengan pernyataan Aristoteles bahwa filsafat sebagai semua kegiatan yang dapat
dipertanggung jawabkan secara akaliah, dan membaginya menjadi ilmu pengetahuan Poietis (terapan),
ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoritik. Ilmu
pengetahuan inilah yang dianggap sebagai yang terpenting dan membaginya menjadi ilmu alam, ilmu pasti
dan filsafat pertama yang selanjutnyanya dikenal sebagai metafisika.

Setelah refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian maka lahirlah cabang
filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, dimana komponen-komponen pendukungnya yakni
logika, filsafat bahasa, matematika, dan metodologi. Dari cabang filsafat ini dijelaskan sumber dan sarana
serta tata cara untuk menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam konteks
pengetahuan ilmiah ini, maka lahirlah cabang filsafat yang disebut filsafat ilmu sebagai penerusan atau
pengembangan filsafat pengetahuan.

Objek Telaah filsafat ilmu dalam bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya mencakup dua pokok
bahasan, yaitu: pertama, membahas “sifat pengetahuan ilmiah”, dan kedua menelaah “cara-cara
mengusahakan pengetahuan ilmiah”.[8] Pokok bahasan yang pertama erat hubungannya dengan filsafat
pengetahuan (epistemologi), yang secara umum menyelidiki syarat-syarat dan bentuk-bentuk pengetahuan
manusia. Pada pokok bahasan kedua, terkait dengan cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah,
filsafat ilmu berhubungan erat dengan logika serta metodologi, dan kadang-kadang pengertian filsafat ilmu
ditumbuhkan dengan metodologi.

Filsafat ilmu dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keragaman, serta hubungan
diantara segenap ilmu. Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan,
kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.

2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori serta metode-metode
yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti dalam
kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok ilmu tehnik dan sebagainya[9].

Filsafat ilmu dapat pula dikelompokkan berdasarkan model pendekatan, yaitu :

1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pikiran kefilsafatan yang melatarbelakangi
pengetahuan normatif dunia ilmu. Pada kajian ini dunia ilmu bertemu dengan dunia filsafat. Jadi filsafat
ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat melainkan dari dunia ilmu. Dengan kata lain filsafat ilmu
terapan merupakan deskripsi pengetahuan normatif. Filsafat ilmu terapan sebagai pengetahuan normatif
mencakup :

a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekat keilmuan.

b. Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.

c. Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.

d. Serangkaian nilai yang bersifat etis yang terkait dengan pola pikir dengan model praktek yang khusus,
misalnya: etika profesi.

2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan dengan menelaah secara kritis dan
eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya
pengetahuan normatif yang baru. Bila filsafat ilmu terapan berangkat dari kajian filosof terhadap asumsi-
asumsi dasar yang ada dalam ilmu, misalnya terkait dengan anggapan dasar tentang “realitas” dalam ilmu-
ilmu khusus dan konsekuensinya pada pemahaman terhadap “realitas” secara keseluruhan.

Adapun mengenai bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang
menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu. Paling sedikit ada tiga aspek dari suatu filsafat ilmu:
ontologis, epistemologis, dan akiologis.[10]

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan
pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, paham dualisme, pluralisme dengan
berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan
keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana yang ada sebagaimana menifestasi
kebenaran yang kita cari.

Berlainan dengan agama, atau bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya
kepada kejadian yang bersifat empiris ini. Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan
yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat
disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, dimana obyek-obyek yang berbeda di luar jangkauan manusia
tidak termasuk ke dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu
yakni orientasi kepada empiris.

Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai
pengetahuan ilmiah. Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses
yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu
dengan buah pemikiran yang lainnya.[11]

Epistemologi berusaha untuk memaparkan dan menjawab problem-problem yang muncul dalam area
tertentu, misalnya: positivisme logis. Semua epistemologi meletakkan beberapa oposisi sebagai penyusun
teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkan yang memungkinkan bagi suatu pengetahuan.
Axiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai
kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik ataupun fisik-material.

Filsafat ilmu dalam perkembangannya juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan
ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap
bukan saja kemanfaatan, tetapi juga arti maknanya terhadap kehidupan umat manusia.

Salah satu pertanyaan Einstein; mengapa ilmu yang amat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat
hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita?. Kalau kita mengkaji
pertanyaan ini, maka masalahnya terletak dalam hakekat ilmu itu sendiri. Seperti dicanangkan oleh Francis
Bacon berabad abad yang silam: Pengetahuan adalah kekuasaan. Apakah kekuasaan itu akan merupakan
berkah atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada orang yang menggunakan kekuasaan
tersebut. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik
pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap.[12]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dari itu kami dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

- Yang dimaksud filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-
cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penyelidikan lanjutan.

- Objek Telaah filsafat ilmu dalam bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya mencakup dua
pokok bahasan, yaitu: pertama, membahas “sifat pengetahuan ilmiah”, dan kedua menelaah “cara-cara
mengusahakan pengetahuan ilmiah”.

Pengertian dan objek telaah filsafat yang ada di atas memberikan kita wawasan yang cukup luas sehingga
membuat kita akan selalu berpikir untuk melanjutkan para filosof-filosof yang telah lalu.
DAFTAR PUSTAKA

Beerling dkk, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islam World, vol. 3 (New York: Oxford University
Press, 1995), h. 328

Suriasumantri, S. Jujun, Ilmu dalam Perspektif. Cet. XIII, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia 1997).

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Cet. V (Bandung: Mizan 1993).

Al-Aqqad, Mahmud, Abbas, Filsafat Al-Qur’an. Cet. II, (Jakarta: Pustaka Firdaus Tahun 1996).

Musa, Yusuf, Al-Qur’an dan Filsafat, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang 1998).

I Setiawan, I Made Putrawan, Conny R, Semiawan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Cet. IV. (Bandung:
Remaja Rosda Karya Tahun 1999).

Asmoro, Achmadi, Filsafat Umum, Cet. II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada tahun 1997).

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Cet. I (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta 2001)

[1]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Cet.,I, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2001), h. 18.

[2]Acmadi Asmoro, Filsafat Umum, (Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 3.

[3]Ibid.

[4]Semiawan R. Conny, Putrawan Made, I dan Setiawan, I, TH., Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, (Cet.
IV, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1999), h. 55.

[5]Abbas Mahmud Al-Aqqad, Filsafat Qur’an, (Cet. II, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996), h. 11.

[6]Ibid.
[7]Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1988), h. 66.

[8] Yusuf Musa, Ibid, h.78

[9] Beerling dkk, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islam World, vol. 3 (New York: Oxford University
Press, 1995), h. 328

[10]Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Cet. V, Bandung : Mizan, 1993), h. 32.

[11]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Cet. XIII, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 1997), h. 9.

[12]Jujun S. Suriasumantri, Ibid. h. 35.


ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

(Matarantai Peradaban yang Nyaris Terabaikan)

Oleh: SYEKHUDDIN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada, ilmu.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad saw. ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup
dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat
pada, masyarakat Arab masa itu. Kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang, yang mengubah
masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.

Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu,tumbuh bersamaan dengan
munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah saw.menerima, wahyu pertama, yang mula-mula
diperintahkan kepadanya adalah “membaca”.[1]

Jibril memerintahkan Muhammad:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan” QS. al-’Alaq (96): 1[2]

Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu
tersebut. Dari kata iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.[3] Wahyu pertama,
itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil
bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.

Selanjutnya, ada juga. ayat lain yang menyatakan:


“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima. pelaiaran” QS.
(al-Zumar (39): 9[4]

Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu,
antara lain: “Menuntut Ilmu wajib atas tiap-tiap muslim”(11R. Ibnu ‘Abdil Bar.Dari Anas)[5]

Dengan demikian, Alquran dan Hadis kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh
urnat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan
peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah:

Pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin terdapat dalam Alquran. Dan sejauh
pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran.,yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang
memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna
secara lebih mendalarn, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu.

Kedua, Alquran dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan
kebajikan dan keutamaan menuntut ihnu; pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan
bermuara pada penegasan Tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan
Alquran dan Sunnah merupakan dasar pernbangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya,
Alqur’an dan Sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivifas intelektual dalarn konformitas.
[6]

Dengan semangat Islam yang besar menuntut ilmu, menjadikan kaum muslim memburu ilmu-ilmu
pengetahuan dan berbagai negara dan peradaban dunia diantaranya ilmu pengetahuan Yunani dan India,
namun bukan berarti ilmu pengetahuan Islam belum bekembang sebelum pengadopsian ilmu dari dunia
luar. Setelah berinteraksi ilmu islam dengan ilmu pengetahuan yang lain maka munculah ilmuwan-ilmuwan
baru dari kalangan kaum muslim. seperd Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan yang lainnya.
Seiring dengan perkembangan ilmu penetahuan dan munculnya ilmuwan menjadikan peradaban Islam
menjadi pusat peradaban terutama, di masa pemerintahan Daulah Umaiyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah.
Peradaban inilah yang menjadi cikal bakal perkembangan renaisans di dunia barat.

B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pemahaman kita, maka, penulis merumuskan beberapa, permasalahan sebagai
berikut ini:

1. Bagaimana sejarah sainpainya ilmu dan filsafat Yunani ke dunia Islam?

2. Bagaimana perkembangan ihnu pada masa Islam klasik?

3. Bagaimana perkembangan iltnu pada masa kejayaan Islam?

4. Bagaimana masa keruntuhan tradisi keilmuan dalarn Islam?

5. Bagaimana peralihan ilmu ke dunia Barat?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyampaian Ilmu dan Filsafat Yunani ke Dunia Islam

Pengalihan pengetahuan ilmiah dan Filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyempian serta
pengintegrasian. pengetahuan itu oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam
sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu kebudayaan asing dapat diterima sedemikian
rupa oleh kebudayaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan
pemahaman filosofisnya.[7]

Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia, Islam, pada dasamya. terdapat upaya rekonsiliasi dalam
arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda, bahkan seringkali ekstrim antara
pandangan filsafat Yunani, seperti filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan dalam
Islam yang seringkah menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh kongkret dapat disebutkan bahwa
Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya
mazhab eklektisisme. Al-Farabi, alam hal ini, memiliki sikap yang jeias karena ia percaya pada kesatuan
filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi tujuan
mereka adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan para filosof Muslim mulai dari Al-Kindi sarnpai Ibn Rusyd
terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relatif
baru dan menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan
penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak diragukan,lagi upaya rekonsiliasi oleh para
filosof Muslim ini menghasilkan aktivitas dan ikatan yang kuat antara. filsafat Arab dan filsafat Yunani.[8]

Selanjutnya, ketika berbicara tentang proses penyampaian ilmu. dan filsafat Yunani ke dunia Islam, kita
harus melihat sisi lain yang juga. menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan. Sisi lain itu adalah aktivitas pentejermahan. Menurut C. A. Qadir, proses penterjemahan
penafsiran buku buku Yunani di negeri-negeri Arab dimulai jauh sebelum lahirnya agama. Islam atau
penaklukan Timur Dekat oleh bangsa Arab pada tahun 641 M.[9] Jauh sebelurn umat Islam dapat
menaklukkan daerah-daerah di Timur Dekat, pada saat itu Suriah merupakan tempat bertemunya dua
kekuasaan dunia, Romawi dan Persia. Atas dasar itu, bangsa Suriah disebut-sebut memainkan peran
penting dalam penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat. Di kalahgan umat Kristen Suriah,
terutama kaum Nestorian, ihnu pengetahuan Yunani dipelajari dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah
mereka. Walaupun tujuan utama sekolah-sekolah tersebut menyebarluaskan pengetahuan Injil, namun
pengetahuan ilmiah, seperti kedokteran, banyak diminati oleh para pelajar. Sayangnya, pihak gereja
memandang ilmu kedokteran itu sebagai ihnu sekular dan dengan demikian posisinya lebih rendah dari
pada ilmu pengobatan spiritual yang merupakan hak istimewa para pendeta.[10]

Selain itu, pada masa. ini juga didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Ariokh, Ephesus, clan
Iskandariah, di mana. buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, terutama Siriani, bahkan setelah pusat-pusat itu ditaklukkan oleh umat Islam, pengaruh pemikiran
Yunani tetap mendalam dan meluas. Pada masa ini juga didapati seorang tokoh Kristen bernama
Nestorius, yang melakukan dekontruksi atas pemaharnan teologi kalangan Kristen konservatif ortodoks,
setelah ia terpengaruh oleh alam pikiran Yunani tersebut. Ia bersama pengikutnya kemudian hijrah ke
Suriah dan melanjutkan kegiatan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Kegiatan ini pada gilirannya
menghasilkan terjemahan karya filosof Yunam seperh Phorphyrius, di antaranya adalah Isagoge,
Categories, Hermeneutica, dan Analytica Priori. Pusat-pusat ilmu pengetahuan yang dipimpin oleh umat
Kristen ini, terus berkembang dengan bebasnya sampai mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, tetapi juga
membuktikan. kecintaan umat Islam terhadap ihnu pengetahuan dan sikap hormat mereka kepada
ilmuwan, tanpa memandang agama mereka.[11]
B. Perkembangan Ilmu pada Masa Islam Klasik

Sebagaimaha telah disinggung di atas bahwa pentingnya ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh Islam
sejak awal, mulai masa Nabi sampai dengan Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu
berkembang dengan pesat seiring dengan tantangan zaman.

Di masa Rasululah dan khulafaurrasiyidin ilmu pengetahuan peradaban berkembang, di berbagai bidang
seperti pemerintahan, perindusrtian, ekonomi (transaksi/ Muarnalah), pendidikan, kesehatan dan lain-lain
Raulullah di masa pernerintahan beliaulah kepala negara dari Daulah Islam yang berpusat di madinah. Dan
setelah Beliau yaitu di masa sahabat berlaku system ke khilafahan. Sistem. pemerintahan Islam yang
diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem. Khilafah. Di dalam sistem Khilafah inilah Khalifah
diangkat metalui bailat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Raulullah untuk memerintah sesuai dangan
wahyu Allah yang turunkan. [12]

Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan … QS. al-
Maidah(5): 48

Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakanpya dan
berlindunga kepadanya.(H.R. Muslim).

System Khilafah ini berbeda, dari system pernerintahan lainnya, system ini bukanlah system kemjaan,
system kekaisaran, federasi, ataupun republick. Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan
struktur semua sistern yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kerniripan dalam sebagian
penwnpakannya. Sumktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh
Rasulultah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam di sana.
Sftuktur negara Khilafah adalah sbuktur yang telah dijalankan oleh Yhulafaur Rasyidin setelah Fmulullah
saw. wafat.[13]

Dengan penelitian dan pendalarnan terhadap nash-nash yang berkaitan dengan suuktur negara itu,
jelaslah bahwa sftuktur negara Khilafah dalmn bidang pernerintahan clan administrasinya adalah sebagai
berikut: I . Khalifah, 2. Para Mu’6win at-Tafwfdh (Wuzard’ at-Tafwfdh), 3. Wuzard’at-Tanfidz, 4. Para Wali, 5.
Amir al-Jihdd, 6.Keamanan Dalarn Negeri, 7. Urusan Luar Negeri, 8. Industri, 9. Peradilan, 10. Mashdlih
an-Nds (Kernaslahatan Urnum) 11. Baitul Mal, 12. Lembaga. Informasi, 13. Majelis Umat (SyUra dan
MuhaSabah).[14]

Rasulullah saw. pernah memerintahakan pendirian industri manjaniq(senjata pelontar) dan dababah
(semacam tank dati kayu). Al-Baihaqi telah menyebutkan riwayat dalarn Sunan al-Baihaqi dari Abu
Ubaidah ra. Yana berkata: ” Kernudian Rasulullah saw. Mengepung penduduk Thaif dan menggempurnya.
dengan manjaniq selarna, 15 hari…”[15] hal ini menenclakan perkembangan ilmu. di bidang industri
terutarna, masalah persenjataan. Hal ini berdasar pada firman Allah SWT.:

Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi… Qs. al-Anfal(8): 60

Dalam masalah pendidikan , Rasulullah saw. menetapkan tebusan orang-orang kafir yang menjadi
tawanan perang Badar dengan mengajari 10 orang anak-anak kaum Muslim(membaca dan menulis). Hal
ini menggantikan harta tebusan yang termasuk ghanimah dan menjadi milik kaum Muslim.[16] Dan
sebagimana, diketahui bersama bahwa Al-Qur’an dan Sunnalah sebagai sumber ilmu, dan tidak hanya itu
pun Al-Qur’an dapat juga menjadi obat bagi penyakit fisik atau psikis. Dalam al-Qur’an di jelaskan bahwa
madu juga merupakan obat yang paling bagus. Dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Menjelaskan tentang
habba saudah yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit kecuali maut, larangan mencapur
makanan yang manis dan asin yang menjadi sumber penyakit, anjuran makan makanan yang halal lagi
baik, makan bila lapar dan berhenti sebelum kenyang, anjuran menutup wadah air di malam hari karena
Allah menurunkan penyakit pada malam haridan masih banyak yang lainya.

Dalam riwayat menurut Wadiyah Ibn Atha : “di madinah terdapatiga oang guru yang mengajar anak-anak,
khalifah Umar memberikan nafkah kepada tiaptiap mereka lima belas dinar setiap bulan (63,75 g emas).”
Dana ini diambil dari Baitul Mal (kas Negara. Demilianlag bukti atas perhatian para sahabat erhadap ilmu
pengetahuan.[17]

Demikianlah sekelumit ilmu. pengetahuan di masa Rasulullah dan sahabat yang nyaris atau bahkan ingin
dihapus, dari sejarah oleh sebagian para sejarawan yang tidak senang kepada Islam. Menjadikan kaum
intelektual Muslim kekinian lebih mengenal peradaban duma barat karena adanya kebohongan dalam
penulisan seJarah, di sampmg sebagian kaurn Muslim tidak tahu akan sejarah peraclabannya sendiri juga
ada yang lebih bangga mempelajari i1mu dan peradaban barat dan merasa malu ketika mempelajari ilmu
dan peradaban Islam, yang sebenarnya dijadikan inspirasi bagi ilmuwan Barat meraih kegemilangan ilmu
penetahuannya yang diawali dengan masa Renaissan.

Selanjutnya, satu hal yang patut dicatat dalam kaitannya dengan., perkembangan ilmu dalam Islam adalah
peristiwa Fitnah al-Kubra, yang ternyata tidak hanya membawa konsekuensi logis dari segi politis seperti
yang dipahami selarna ini tapi ternyata juga membawa perubahan besar bagi pertumbuhan dan
perkembangan ilmu di dunia. Islam. Pasca tedadinya Fitnah al-Kubra, muncul berbagai golongan yang
memiliki aliran teologis tersendiri yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Pada saat
itu muncul aliran Syi’ah Yang membela, Ali, aliran Khawarij, dan kelompok Muawiyah. Namun, di luar
konflik yang muncul pada saat itu, seJarah mencatat dua orang tokoh besar yang tidak ikut terlibat dalam.
perdebatan teologis yang cenderung mengkafirkan satu sama lain, tetapi justru mencurahkan perhatiannya
pada bidang ilmu agama. Kedua tokoh itu. adalah Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Yang
disebut pertama Mencurahkan perhatiannya dalam bidang ilmu hadis, sementira yang disebut belakangan
lebih berorientasi pada ilmu tafsir. Keduatokoh ini sering disebut sebagai pelopor turnbuhnya institusi
keulamaan dalam Islam, sekaligus, berarti pelopor kaj ian mendalam dan sistematis tentang agama Islam.
Mereka juga sering disebut seb11moyang” golongan Sunni atau Ahl-al-Sunnah wa ab Jama’ah.[18]

Seperti sudah disinggung di atas, pasca Fitnah al-Kubra bermunculan berbagai aliran politik dan teologi,.
Dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa sejak awal Islam kajian kajian dalam bidang teologi sudah
berkembang meskipun masih berbentuk embrio. Embrio inilah Yang pada masa kemudian menemukan
bentuknya yang lebih sisternatis dalam. Kajian-kajian teologis dalam Islam.[19] Sebagai contoh, persoalan
tentang hukurn orang Yang berdosa besar; apakah mu!min atau kafir, msalah kebebasan atau
ketidakbebasan manusia dalam menentukan perbuatannya, sudah diwakili sejak dini Perdebatan antara
kalangan Mu!tazilah dan Khawarij. Dari sini tampaknya, seperd ditulis Nasution,[20] peranan akal dalam
pergulatan pemikiran clan keilmuan dalarn tradisi Islam dimulai.

Tahap penting berikutnya dalam proses perkernbangan dan tradisi keilmuan Islam ialah masuknya unsur-
unsur dari luar ke dalam Islam, khususnya unsur-unsur budaya Perso-Semitik (Zoroastrianisme-
khususnya Mazdaisme, serta Yahudi dan Kristen) dan budaya Hellenisme. Yang disebut belakangan
mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam ibarat pisau bermata. dua. Satu sisi ia mendukung
Jabariyah (antara lain oleh Jahm Ibn’ Safwan), sedang di sisi lain ia mendukung Qadariyah (antara lain
Washil Ibn Atha’ tokoh dan pendiri Mu’tazilah). Dari adanya pandangan yang dikotomis antara keduanya
kemudian muncul. usaha menengahi dengan menggunakan argurnen-argumen Hellenisme, terutama
filsafat Aristoteles. Sikap menengahi itu terutarna dilakukan oleh Abu At-Hasan AI-Asy’ari, dan Al-Maturidi
yang juga menggunakan unsur Hellenisme.[21]

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal Islam pengaruh
Hellenisme dan juga filsafat Yunani Terhadap tradisi keilmuan Islam sudah semakin kental, sehingga pada
saat selanjutnya pengaruh itu pun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa berikutnya.

C. Perkembangan Ilmu pada Masa Kejayaan Islam

Pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pernerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, Ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa, Islam pada masa
keemasannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih
berada pada masa kegelapan peradaban (Dark Age).

Dalam. sejarah Islam, kita mengenal nama-nama seperti Al-Mansur, Al-Ma!mun, dan Harun Ar-Rasyid,
yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu. di dunia Islam. Pada masa
pernerintahan Al-Mansur, misaInya, proses penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa
Arab bez*an dengah pesat. Dikabarkan bahwa Al-Mansur telah memerintahkan pene~emahan naskah-
naskah Yunani mengenai filsafat dan ilmu, dengan memberikan imbalan yang besar kepada para ahli
bahasa (penedemah). Pada masa Harun AI-Rasyid (786-809) proses pene~emahan itu juga masih terus
berlangsung. Harun memerintahkan,.Yuhanna. (Yahya) Ibn Masawayh (w. 857), seorang dokter Istana,
untuk mene~emahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa, itu juga dite~emahkan karya-karya
dalam bidang astronomi, seperti Siddhanta; sebuah risalah India yang dite~ernahkan oleh Muhammad Ibn
Ibrahim al-Fazari (w.. 806). [22] Pada masa selanjutnya oleh al Khawarizmi. Siddhanta ini dibuat versi baru
te~emahannya dan diberikan komentar-komentar.[23] Selain itu juga ada Quadripartitus karya Purdemy,
dan karya-karya bidang astrologi yang dite~emahkan oleh satu tim sarjana.[24]

Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa pemerintahan AI-Ma!mun (813-833). la adalah seorang
pengikut Mu!tazilah dan seorang rasionalis yang berusaha memaksakan pandangannya kepada rakyat
melalui mekanisme negara. Walaupun begitu, ia telah berjasa besar dalam. mengembangkan ilmu di dunia
Islam dengan membangun Bait al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan, sebuah observatorium,
dan sebuah departemen pene~emahan. Orang terpenting di Bait al-Hikmah adalah Hunain, seorang murid,
Masawayh, yang telah berjasa menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan
Archimedes. Selanjutnya pada pertengahan abad ke-10 muncul dua penerjemah terkemuka yaitu Yahya
Ibn A’di,(w. 974), dan Abu Ali Isa Ibn Ishaq Ibn Zera (w. 1008). Yahya banyak mernperbaiki terjemahan dan
menulis komentar mengenai karya-karya Aristoteles, seperti Categories, Sophist, Poetics, Metaphysics,
dan karya Plato seperti Timaesus dan Laws. Yahya juga dikenal sebagai ahli logika dan menedemahkan
The Prolegorpena of Ammonius dan sebuah kata pengantar untuk Isagoge-nya Pophyrius.[25]

Selanjutnya, pada masa kejayaan ini, terdapat, juga tokoh- tokoh filsafat yang bergelut secara serius
dalam. kajian-kajian di luar filsafat. Hal im bisa dipahami karena adanya kenyataan bahwa mereka
menganggap ilmu-ilmu rasional sebagai bagian filsafat. Atas dasar inilah mereka memperlakukan
persoalan persoalan fisika sebagaimana mereka memperlakukan masalah masalah yang bersifat metafisik.
Salah satul bukti nyata dan mi adalah kitab al-Syifa, sebuah ensiklopedi filsafat Arab yang terbesar, yang
berisi empat bagian. Bagian I mengenai logika, bagian II tentang fisika, bagian III tentang matematika, dan
bagian IV membahas metafisika. Dalam bagian fisika, Ibn Sina ihnu-ihnu psikologi, zoologi, geologi, dan
botani, dan pada bagian maternatika ia membahas geometri, ilmu hitung, astronomi, dan musik.[26]

Selain tokoh di atas, kita juga mengenal Al-Kindi, seorang ilmuan yang lebih sering disebut saintis
ketimbang filosof, yang berminat besar dalam bidang matematika dan fisika. la bahkan pemah berpendapat
bahwa seseorang mungkin dapat menjadi filosof sebelum mempelajari filsafat. Tokoh lainnya adalah Al-
Farabi yang mengadakan penelitian dalam bidang geometri dan mekanika, dan ia juga adalah seorang
musikus muslim yang terbesar. Salah satu karyanya dalam bidang musik adalah Kitab al-Musiqi al-Kabir.
Kemudian kita mengenal Ibn Bajah, Ibn Tufail, dan Ibn Ruslid, yang hidup di Andalusia dan bergelut secara
intensif dalam bidang kedokteran. Ibn Rusyd, misalnya, mengarang al-Kulliyat yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-13 M. Selanjutnya ada Muhammad Ibnu Zakaria AI-Razi,
dokter terbesar dalam Islam, bahkan di seluruh masa Abad Pertengahan. la terkenal karena orisinalitasnya
dan pandangannya yang jernih dan kemampuannya menemukan jenis-jenis penyakit yang belum dikenal
sebelumnya. Kitabnya yang berjudul al-Hawi adalah kitab yang paling terkemuka di antara karya-karya
kedokteran Arab yang diambill manfaatnya oleh orang-orang Latin.[27]

Sederetan nama yang penulis sebutkan di atas, hanya sebagian kecil saja dari para saintis dan juga filosof
Muslim yang memberikan sumbangan tak ternilai. bagi kemajuan ilmu. Selain mereka tentu masih banyak
tokoh-tokoh lain yang karena alasan pembatasan pembabasan, tiak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan ke dalam bidang eksakta, matematika, fisika,
kimia, geometri, dan lain sebagainya, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ihnu keislaman, baik dalam
bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ihnu keislarnan yang lain. Perkembangan ilmu taffir
dan’ulum Alquran belum menemukan bentuknya yang konkret sampai dengan abad ke-3 H.[28]

Dalam bidang hadis, perkembangan Ilmu hadis dimulai sejak Imam Syafi’i menyusun kitabnya. yang
bernama ar-Risalah. Kitab ini mernuat problematika sanad dan rn-atan hadis, walaupun fidak demikian
terperinci seperti y-ang dikemukakan oleh para ulama sesudahnya. Pada perkembangan selanjutnya ilmu
hadis semakin dipertuas pembabasannya deengan mengambil dua bentuk., Pertama, ilmu. riwayah yattu
suatu ilmu untuk mengetahu sabda, perbuatan, pengakuan dan Isifat Nabi Saw. dari segi ketepatan,
pengutipan, peinbukuan, dan penieliharan penwayatan. Kedua, ilmu dirayah, yaitu ilmu yang membahas
sanad dan matan dan segi diterima atau ditolaknya.suatu hadis, sehingga melahirkan kaidah yang
berkaitan dengannya. Kitab yang berkaitan secara khusus dengan ilmu hadis muncul pada akhir abad ke-
3, di antaranya kitab al-Muhaddis al-Fasil bain arRawi wa al-Way karya ArRa-mahurmuzi. Kemudian pada
abad, ke-4 menyusul. Al-Hakim An-Naisabun dengan karyanya Ma’rifah al-Num al-Hadis. Menyusul
kemudian Al-Baghdadi derigan kitabnya al-Kifayahfi fim ar-Riwayah, pada, abad ke-5. iftnu hadis terus
berkembang hingga mencapai puncaknya pada abad ke-7dengan munculnya kitab Muqaddimah ibn
Salahfi Num al-Hadis, karya Ibn Shalah.[29]

Selain dalam bidang Alquran dan Hadis, ilmu fiqih dan ushul fiqih telah mengalami perjalanan panjang
hingga tabentuk seperti sekarang ini.. Fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu dengan mengalami beberapa
tahapan. Pertama, tahap pembentukan pada masa, Rasulullah, Khulafa al-Rasyidun, hmgga paruh .
pertarna abad ke- I H. Kedua, tahap pernbentukan fiqih yang dimulai pada paruh perUma abad ke-1 H
hingga decade awal abad ke-2 H. Pada tahap ini fiqih telah berbentuk mazhab.

Ketiga, tahap pematangan bentuk yang dimulai sejak decade awal abad ke-2 H hingga pertengahan abad
ke-4 H. Pada masa ini ijtihad fiqih dikodifikasi dan. dilengkapi dengan ilmu ushul fiqih. Hal ini dapat terjadi
atas perhatian yang diberikan Khalifa dalam pengembangan Ilmu pengetahuan. Sejak abad IV H. para
Khalifah membangun berbagai perguruan tinggi yang dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asram
mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Sealin itu pergurua tunggi tersebut juga dilengkapi taman-
taman rekreasi, kamar mandi. Dapur, dan ruang makan.[30]
Dalam sejarahnya yang sangat panjang Khilafah Islam tidak pernah mengadakan suatu ujian dalam
lembaga-lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Yang ada hanyalah ide pemberian “ijazah” sebagai
pengganti dari ujian-ujian. apabila ada seorang siswa yang telah bertahun-tahun menekuni suatu ilmu, dan
telah nampak penguasaannya atas ilmu tersebut, maka disebarkan pemberitahuan kepada siswa-siswa
dan dewan guru. kcmudian diselenggarakan suatu sidang yang dihadiri oleh para ulama dan ilmuwan.
Dalam sidang itu siswa yang telah Menyelesaikan suatu mata pelajaran tertentu atau suatu kitab tertentu
ditanyai mengenai ilmu yang ia tekuni. Apabila terlihat tanda kecakapan dan keistimewaan pada dirinya, ia
diberikan hakhak yang membolehkannya melakukan perbuatan-perbuatan: (1) Mengajarkan ilmunya; (2)
Meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang berasal dari guru-gurunya; (3) Rerfatwa; (4) Mengobati
penyakit, bila ia sudah menguasai ilmu kedokteran; (5) Meracik obat-obatan; dan lain-lainnya sesuai
dengan kepandaiannya.[31]

Teknik munadborob (diskusi) atau ujian lisan mengenai suatu ilmu, seperti misalnya ilmu falak, syari’at,
bahasa, dan lain-lain merupakan teknik yang paling sesuai untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
siswa dalam memahami pengetahuan yang ia pe-lajari. Sedangkan sistem ujian tulis akan mematikan daya
cita dan kreatifitas siswa, dan pengadaan ujian tulis akan mendorong masyarakat hanya mengarahkan
cita-citanya untuk mendapatkan predikat atau titel saja tanpa dilihat kemampuannya dalam mengajar,
beijtihad, berfatwa, dan berkreasi.[32]

Keempat, adalah tahap kemunduran fiqih yang ditandai oleh jatuhnya Baghdad ke bangsa Tartar dan
tertutupnya pintu ijtihad oleh para ulama.seingga tidak ada yang mampu menggali hukum terhadap
fenomena yang berkembang di kemudian hari. Sehinga setiap yang baru yang datangnya dari barat
dianggap tidak layak diambil oleh ummat Islam.

D. Masa Keruntuhan Tradisi Keilmuan dalam Islam

Abad, ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat Islam dan memperoleh
catatan buruk bagi peradaban Islam secara, universal. Sepertl yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard,
bahwa menjelang abad ke-18, dunia Islam teiah merosot ke.tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah
mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontang berupa ritual tanpa j iwa dan
takhayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia, menyatakan seandainya Muhammad bisa kembali
hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya: sebagai kaum murtad dan, musyrik.[33]
Pemyataan Stoddard di atas menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi
keilmuan Islam yang kenfudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa
Barat. Runtuhnya bangunan tradisi keilmuan Islam secara garis besar dapat diterangkan karena adanya
sebab-sebab berikut.[34]alarn bukunya, The Reconstruction of . Religious Thought. in Islam lqbal meny
atakan bahwa, salah satu penyebab utama kematian semangat ilmiah di kalangan umat Islam adalah
diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa Islam
adalah difiamis dan berkembang. Ia. Selanjutnya mengungkapkan bahwa semua aliran pemikiran Muslim
bertemu dalarn suatu teori Ibn Miskawaih mengenai kehidupan sebagai suatu gerakan evolusi dan
pandangan Ibn Khaldun mengenai sejarah.[35]

Jika asumsi lqbal di atas bisa diterima, tepat apa yang dilukiskan oleh Amin Abdullah tentang sifat
kedinamisan ilmu. ketika ia menyatakan menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu,
baik natural sciences maupun social sciences, bahkan religious sciences, selalu mengalami apa yang
disebut.dengan shifting paradigm (pergeseran gugusan pernikiran keilmuan). Kegiatan ilmu selamanya
bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang, dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat
historis. Yang dimaksud bersifat historis adalah terikat ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan
pemikiran dan perkembangan kehidupan social Yang mengitari penggal waktu ternentu. Dengan begitu,
sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan
mansukh, serta rancang bangun epistemologi keilmuan.

Jika tidak demikian, maka. kegiatan keilmuan akan mandeg dengan sendirinya alias statis.[36] Sebab lain
Yang menyebabkan kehancuran tradisi keilmuan Islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami
pemikiran Al-Ghazali. Orang umumnya mengecam AI-Ghazali karena ia menolak filsafat seperti yang ia
tulis dalarn Tahafu t al- Falasifahnya. Padahal ia sebenamya menawarkan sebuah metode yang ilmiah dan
rasional, dan juga menekankan pentingnya pengamatan dan analisis, serta sifat skeptis.Hal ini misalnya ia
tuangkan dalarn karyanya berjudul al-Munqidz min sl-Dalal. Selain itu umat Islam.juga tidak
memperhatikan karya Ibn Rusyhd (Tahafut al-Tahafut), , yang membela Aristotehanisme dan mengecam
kritik.Al-Ghazali kepada filsafat. Seandainya orang mau meluangkan waktunya untuk mengkaji karya Ibn
Rushd itu, barangkali kemerosotan rasional di kalangan umat Islam tidak akan separah sekarang ini.

Fiqih merupakan ilmu pertama yang dikembangkan oleh ummat Islam. Keempat sumbernya yang utarna
yaitu Alquran, Sunnah, ljma’ dan Qiyas, merupakan sumber hukum yang tetap. Namun karena sifatnya yan
tetap itulah kaum Muslim harus menggunakan metode deduktif untuk sampai kepada keputusan mengenai
masalah-masalah khusus, dan pada saat yang sama metode induktif kehilangah semangatnya. Di masa
dekadensi, kegiatan intelektual sedang mencapai titiknya yang terendah, tidaklah mengherankan jika orang
kemudian. menjadi bersikap dogmatis dan taklid secara membuta.[37]

Para penguasa seringkali merasa takut dengan tersebar luasnya peodidikan, dan pengetahuan di kalangan
massa yang dapat menggerogoti kekuasaan mereka yang mutlak. Munculnya orang-.orang yang pandai
dan terampil,menyebabkan Ionggamya pengaruh golongan elit feodal dan keagamaan. Dengan membuka
kesempatan, baru bagi masyarakat dan menawarkan cara yang baru sama sekali untuk memperoleh
pengaruh melalul pengetahuan dan bukan melalui pewarisan, maka penyebarluasan ilmu dan teknologi
menadikan dasar kekuasaan golongan yang mempunyai hak-hak istimewa. Selain sebab-sebab di atas,
-kesulitan-kdsulitan ijtihad dan mistisisme asketik Juga merupakan faktor Yang menyebabkan kemunduran
tradisi. intelektual dan keilmuan di dunia Islam. [38]

Menurut Abdul Qadim Zallum sebab sebab kemerosotan Ummat Islam beberapa hal diantaranya yang
paling menonjol:

(1) Transfer filsafat-filsafat India, Persia dan Yunani, serta adanya upaya sebagian kaurn muslimin untuk
mengkompromikannya dengan Islam, walaupun terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya.

(2) Adanya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam. Baik berupa ide-ide atau
hukum hukum yang sebenarnya tidak bersumber dari Islam, dengan tujuan merusak citra Islam dan
menjauhkan kaum muslimin dari Islam.

(3) Diabaikannya bahasa Arab dalarn memahami dan melaksanakan ajaran Islam, disusul kemudian
dengan dipisahkannya dari Islam pada abad ketujuh Hijriyah..Padahal agama Islam tidak mungkin dapat
dipahami tanpa bahasa Arab. Seperti misalnya dalam pengambilan hukum-hukum baru pada berbagai
peristiwa yang berkembang, yang dilakukan dengan jalan ijtihad; ini tidak akan dapat dilakukan, tanpa
menggunakan bahasa Arab.

(4) Serangan gelombang missionaris, dan serangan (orientalis) dalam bidang kebudayaan, menyusul
serangan secara politis (yang mendominasi dunia Islam) dari negara negara kafir Barat, sejak abad ke-17
Masehi, dengan tujuan mengalihkan pandangan dan menjauhkan kaum muslimin dari Islam, yang pada
akhimya untuk menghancurkan Islam.[39]

E. Beralihnya Ilmu Pengetahuan ke Dunia Barat

Masih berkaitan dengan era kejayaan keilmuan Islam, perlu juga disinggung secara sepintas tentang
transformasi. ilmu dan duma Islam ke Barat. Terjadinya transformasi kebudayaan dan khususnya ilmu dari
dunia Islam ke Barat disebabkan paling tidak oleh dua alasan. Pertama, kontak pribadi.. Setelah penalukan
Arab atas Persia, Syam dan Mesir, orang orang Kristen di Timur mengadakan kontak dengan orang-orang
Islam. Mereka hidup bersama dan menikmati toleransi agama yang besar. Mereka juga mengikuti kegiatan
intelektual dan kebudayaan kaum Muslim yang mempunyai dokter-dokter, kimiawan, matematikus, dan
para ahli astronom yang memberikan sumbangan khusus dalam penerjemahan warisan Yunani ke dalarn
bahasa Arab.[40]

Terjadinya peralihan ilmu pengetahuan dari Islam ke dunia Barat dapa dilahat dari beberapa factor berikut
ini :

adanya pelajar-pelajar barat yang belajar di duinia Islam,seperti yang dilakukan oleh Raja Inggeris
mengirim keluarganya untuk belajar di Negara Khilafah, seperti yang tampak dalam surat dari George II,
Raja Inggeris, Swedia, Norwegia, kepada Khilafah Hisyam III diAdalusia Spanyol, kutipan surat tersebut
antara lain:

“ Kami mengharap anak-anak kami bisa menimba kagungan yangideal ini agar kelak menjadi cikal bakal
kebaikan untuk mewaisi peninggalan yang Mulia guna memberi cahaya ilmu di negeri kami, yang masih
diliputi kebodohan dari brbagai penjuru dunia.”[41]

Terjadinya kontak pribadi ini juga disebabkan karena.Byzantium secara geografis berdekatan dengan
Dunia Islam. Dari sinilah kemudian gagasan-gagasan Barat masuk ke Dunia Islam dan uniknya gagasan-
gagasan dari Dunia Islam masuk ke Barat, khususnya sesudah Perang Salib. Alasan yang lain, adanya
kegiatan penerjemahan. Tidak dapat dipungkiri kebudayaan Islamlah yang mendorong orang-orang Latin
melakukan penerjemahan. Setelah mengenal sebagian khazanah kebudayaan Islam mereka lalu.
memperkaya pengetahuan mereka tentangnya. Mereka pernah mencoba menterjemahkan Alquran pada
abad ke-10 Masehi. Namun, gerakan penterjemahan, yang sesungguhnya baru bermula pada abad ke-12.
Toledo dan Palermo adalah dua pusat penerjemahan tersebar saat itu yang banyak mengoleksi sumber-
sumber Arab berkat perantaraan orang Yahudi dan hubungan mereka dengan orangorang Kristen dan
Islam.[42]

KESIMPULAN

1. Proses penyampaian ilmu dan filsafat Yunani ke dunia Islam melalui proses penterjemahan
penafsiran buku buku Yunani di negeri-negeri Arab dimulai jauh sebelum lahirnya agama. Islam.
2. Perkembangan ilmu pada masa klasik sangat maju karena prinsip-prinsip semua ilmu terdapat
dalam Alquran dan Hadis; pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada
penegasan Tauhid. Tapi pada masa pemerintahan Ali Fitnah Besar menimpa kaum muslim
memunculkan paham teologis, namun ada yang tidak melibatkan diri.dan merea adalah moyang
Ahlussunnah Waljamaa’ah, kemudian masuklah unsur-unsur dari luar ke dalam Islam, seperti
unsur-unsur budaya Perso-Semitik (Zoroastrianisme- khususnya Mazdaisme, serta Yahudi dan
Kristen) dan budaya Hellenisme.

3. Pada masa kejayaan 3 dinasti besar Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, Fatimiyah Ilmu
berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa, Islam pada masa keemasannya,
dengan kelahiran tokoh ilmuwan muslim di segala bidang.

4. Masa keruntuhan tradisi keilmuan dalam islam terjadi karena: a. Transfer filsafat-filsafat India,
Persia dan Yunani, b. Adanya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam, c.
Diabaikannya bahasa Arab menebakan sulit berijtihad, d. Serangan gelombang missionaris, dan
serangan (orientalis) Serangan gelombang missionaris, dan serangan (orientalis).

5. Ilmu pengetahuan beralih ke dunia barat: a. adanya pelajar-pelajar barat yang belajar di duinia
Islam, b. penterjemahan besar-besaran buku ke berbagai bahasa, c. perampasan ilmu-ilmu Islam
dengan jalan perang salib.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (et. Al)., Ensiklopedi Temads dWa Islam. Jilid IV; Jakarta: Ictiar Baru

Van Hove, 2002


“ Al-Wa’ie”, No. 86 Tahun VIII, 1-31 Oktober 2007.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru .

Cet. 3; Jakarta: Kahinah, 2001

al-Baghdadi, Abdurrahman, Sistem Pendidikan di Masa Khilafa Islam ; editor Nur Eva.

Surabaya: Al-Izzah, 1996.

Bahtiar, Amsal, Filsafat Ilmu (Edisi. 3; Jakaita: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Departernen Agama R1, Al- Hikmah Al-Quran dan Terjemahannya. Cet. 10; Bandung:

Diponegoro

al-Hasyimi, Ahmad, Mukhtar al- Hadits an-Nabawiyah. Cet. 12; Kairo: Syirkah Nur

Asiya, t.t., h. 93.

Hizbut tahrir, Ajhizah al-Daulah Al-Khilaifah (Stuktur Negara Khilafah), penterjemah

Yahya A.R.Cet.1; Jakarta: Hizbut Taluir Indonesia, 2006.

Shiddiq al-Jawi, Pembiayaan Pendidikan dalam Islam, ( Abdurrahman Muhammad

Khalid, Soal Jawab Seputar Gerakan Islam), “ AlWa’ie” No. 81 Tahun VII,(1-31

Mei 2007.

Madjid, Nur Cholis, Kaki Langit Peradaban Islam,(Cet. 1; Jakarta: Paramadina, 1997.

Qatrun Nadaa, “Politik Pendidikan Islam ,“ El-Wa’ie, No. 59 Tahun V, 1-31 Juli 2005.

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Cet.1; Jakarta: U1 Press, 1982.
Qadim Zallum, Abdul, Hizbut Tahrir, penerjemah Abu Afif Nurkhalis, Mengenal Sebuah Gerakan Islam di
Timur Tengah Hizbut Tahrir. Jakarta: Al Khilafa, t.t.

Qadir CA, , Filsafat dan I1mu Pengetahuan dalam Islam , alih bahasa: Hasan Basari,(Edisi 1; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989

Shihab, M.Quraish, Wawasan AI-Quran: Tairsir MauduI atas Berbagai Persoalan Umat , Cet. 12; Bandung:
Mizan, 2001

[1]Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu (Edisi. 3; Jakaita: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 32.

[2]Departernen Agama R1, Al- Hikmah Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. 10; Bandung: Diponegoro), h.
597.

[3]M.Quraish Shihab, Wawasan AI-Quran: Tairsir MauduI atas Berbagai Persoalan Umat , (Cet. 12;
Bandung: Mizan, 200 1), h. 433.

[4]Departemen Agama R1,op. cit., h. 459.

[5]Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al- Haditsi an-Nabawiyah (Cet. 12; Kairo: Syirkah Nur Asiya, t.t.), h. 93.

[6]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru , (Cet. 3; Jakarta:
Kahinah, 2001), h. 13.

[7]Amsal Bahtiar, op. cit., h. 35

[8] Ibid., h. 118-119. (Ibrahim Madkoer, Filsafat Islam dan Renesans Eropa (Kumpulan Tulisan Komisi
Nasional Mesir untuk UNESCO dengan judul Sumbangan Islam kepada Ihnu dan Kebudayaan) , alih
bahasa: Ahmad Tafsir, (Cet. 1; Bandung: Pustaka, 1986).

[9]CA, Qadir, Filsafat dan I1mu Pengetahuan dalam Islam , alih bahasa: Hasan Basari,(Edisi 1; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 34.
[10]Ibid, h. 35.

[11]Ibid, h. 35-36.

[12]Hizbut tahrir, Ajhizah al-Daulah Al-Khilaifah (Stuktur Negara Khilafah), peneijemah Yahya A.R.(Cet.1;
Jakarta: Hizbut Taluir Indonesia, 2006), h. 14.

[13]Hizbut Tahrir, op. cit., h. 20-29.

[14] Ibid, h. 29.

[15]Ibid, h. 133-134.

[16]Ibid., h. 213.

[17]Qarun Nadaa, “Politik Pendidikan Islam ,“ El-Wa’ie, No. 59 Tahun V, !-31 Juli 2005.), h. 13-14.

[18]Nur Cholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,(Cet. 1; Jakarta: Paramadina, 1997), h. 1-2.

[19]Ibid, h. 3.

[20] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Cet.1; Jakarta: U1 Press, 1982), h. 52-53. 20.

[21] Ibid, h 3.

[22]Ibid., h.41.( Majid Fakhry, A History offsImnic Philosophy,(New York: Colombia University Press, 1970),
h.45.)

` [23]Ibid., h.4 I( Syeed Ameer Ali, The Spirit of Islam)

[24]C.A, Qadir, op.cit., h. 37-38.

[25] Ibid.,h. 39-40.

[26] Amsal Bahtiar, op. cit., h. 42,( Ibrahim Madkoer, h. 120.)

[27]Ibid., h. 42-43 (lbrahim Madkoer, h.20-121).


[28]Taufik Abdullah(et. Al)., Ensiklopedi Temads dWa Islam,(Jilid IV; Jakarta: Ictiar Baru Van Hove, 2002),
H. 25.

[29] Ibid., h 69.

[30]Shiddiq al-Jawi, Pembiayaan Pendidikan dalam Islam, ( Abdurrahman Muhammad Khalid, Soal Jawab
Seputar Gerakan Islam), “ AlWa’ie” No. 81 Tahun VII,(1-31 Mei 2007), h. 52.

[31]Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafa Islam ; editor Nur Eva ( Surabaya: Al-
Izzah, 1996 ), h. 87.

[32]Ibid, h.87-88

[33] C.A. Qadir. op.cit.. h. 130

[34]Ibid., h. 130-143.

[35]Amsal Bahtiar, op.cit.. h. 47.(Allama Muhammad lqbal, Lectures on the Recontruction of

Religius Thought. in lsiam.( Lahore. 11465). h. 138.)

[37]Amsal Bahitiar. op. cit.. h. 49.

[38]Ibid.

[39] Abdul Qaim Zallum, Hizbut Tahrir, penerjemah Abu Afif Nurkhalis, Mengenal Sebuah Gerakan Islam di
Timur Tengah Hizbut Tahrir(Jakarta: Al Khilafa, t.t.), h. 14

[40]Amsal Bahtiar, op. cit., h. 45.

[41]“ Al-Wa’ie”, No. 86 Tahun VIII,( 1-31 Oktober 2007), h. 13.

[42] Lihat Amin Abdullah. Studi Islam, h. 102.

http://jaringskripsi.wordpress.com/page/21/

Anda mungkin juga menyukai