Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,mineral maupun zat kimia
tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit, memperlambat proses penyakit dan
atau menyembuhkan penyakit. Obat ada yang bersifat tradisional seperti jamu, obat herbal dan ada
yang telah melalui proses kimiawi atau fisika tertentu serta telah di uji khasiatnya. Obat harus
sesuai dosis agar efek terapi atau khasiatnya bisa kita dapatkan.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat dikeluarkan
lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransformasi), dan eliminasi, atau biasa dikenal dengan ADME. Absorpsi merupakan proses
penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses. Setelah
diabsorpsi obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah, karena selain tergantung
dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh melibatkan dua proses yaitu metabolisme
(biotransformasi) dan ekskresi. Biotransformasi obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai
organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ginjal
merupakan organ ekskresi yang terpenting dan ekskresi disini merupakan resultan dari 3 proses,
yaitu filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli
proksimal dan distal
Dari segi klinik, presentase dari ekskresi dan metabolisme obat memberikan informasi
yang berguna. Jika jalur ekskresi ginjal terganggu, misalnya dalam kasus kerusakan ginjal tertentu,
maka obat akan dieleminasi terutama melalui metabolisme hepatik dan akan terjadi sebaliknya jika
fungsi hati menurun. Untuk menentukan dosis dari obat-obat yang dimetabolisme di dalam hepar
harus berhati-hati karena hepar mempunyai kapasitas metabolisme yang terbatas sehingga ada
kemungkinan suatu ketika pemberian multiple dose tidak dimetabolisime dan konsentrasi obat
dalam plasma darah akan naik dengan cepat. Jika hal ini tidak dikontrol dengan penentuan
konsentrasi obat di dalam plasma darah, maka akan terjadi akumulasi.
Selain itu penting untuk mempertimbangkan apakah fraksi obat dieleminasi melalui
metabolisme dan apakah fraksi dieleminasi melalui ekskresi. Obat-obat yang dimetabolisme dalam
jumlah besar (seperti fenitoin, teofilina, dan lidokaina) menunjukkan perbedaan waktu paruh
eliminasi yang besar pada berbagai orang. Tidak seperti ekskresi ginjal, yang sangat bergantung
pada laju filtrasi glomerulus (relatif konstan diantara orang yang berbeda), metabolisme obat
bergantung pada aktivitas intrinsik dari enzim biotransformasi, yang dapat berubah oleh genetik
dan faktor-faktor lingkungan. Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai eliminasi
hepatik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apa yang dimaksud biotransformasi obat?
2. Apa yang dimaksud first pass effect?
3. Apa yang dimaksud klirens hepatik?
4. Apa yang dimaksud ekskresi bilier?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui tentang biotransformasi obat.
2. Untuk mengetahui tentang first pass effect.
3. Untuk mengetahui tentang klirens hepatik.
4. Untuk mengetahui tentang ekskresi bilier.

D.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biotransformasi Obat
Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh melibatkan dua proses yaitu metabolisme
(biotransformasi) dan ekskresi. Karena obat mengalami bitransformasi menjadi beberapa meabolit
(misalnnya metabolit A, metabolit B, metabolit C, dan lain-lain), maka tetapan laju metabolisme
(Km) merupakan jumlah tetapan laju pembentukan masing-masing metabolit tersebut : K =
Ke + Km.
Biotransformasi obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh
dan dikatalis oleh enzim. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum
endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom) dan enzim non-mikrosom.
Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel
jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
Untuk sebagian besar reaksi biotransformasi, metabolit obat lebih polar daripada senyawa
induk. Pengubahan obat menjadi metabolit yang lebih polar memungkinkan obat tereleminasi
lebih cepat dibandingkan jika obat larut dalam lemak. Oabat-obat yang larut dalam lemak melewati
membran sel dan dengan mudah diabsorpsi oleh sle-sel tubular ginjal, sehingga cenderung tinggal
lebih lama di dalam tubuh. Sebaliknya, metabolit yang lebih polar tidak dapat melewati dinding
sel dengan mudah, oleh karena itu disaring melewati glomerulus dan tidak dapat direabsorpsi
sehingga lebih cepat diekskresi dalam urin.
Biotransformai obat-obat dapat digolongkan menurut aktivitas farmakologik dari metabolit
atau menurut mekanisme biokimia untuk setiap reaksi biotransformasi. Biotransformasi obat
mempunyai dua efek penting. Pertama obat menjadi lebih hidrofilik, hal ini mempercepat ekskresi
melalui ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus
ginjal. Kedua sebagian besar biotransformasi obat-obat dihasilkan bentuk metabolit yang lebih
polar yang tidak aktif secara farmakologik dan dieliminasi lebih cepat daripada obat induknya.
Untuk beberapa obat, metabolit dapat aktif secara farmakologik atau menghasilkan efek toksik.
Prodrug merupakan bentuk tidak aktif dan harus dibiotransformasi dalam tubuh menjadi
metabolit-metabolit yang mempunyai aktifitas faramakologik. Pada awalnya prodrug ditemikan
secara kebetulan, sebagai contoh dalam kasus protonsil yang diturunkan menjadi satu bahan
antibakteri sulfanilamida. Akhir-akhir ini prodrug sengaja dirancang untuk memperbaiki stabilitas
dan absorpsi atau untuk memperpanjang lama kerja obat. Sebagai contoh zat anti parkinson levo-
dopa melewati sawar darah otak dan didekarboksilasi dalam otak menjadi “neurotransmitter” yang
mempunyai aktivitas farmakologik. Neurotransmitter ini tidak menembus sawar darah otak
dengan mudah, oleh karena itu tidak dapat digunakan sebagai bahan terapetik.
Hati merupakan organ utama untuk biotransformasi obat dan terlibat dalam dua tipe umum
jalur biotransformasi, yaitu fase I dan fase II. Fase I atau reaksi asintetik meliputi oksidasi, reduksi,
dan hidrolisis. Sedangkan fase II atau reaksi sintetik meliputi konjugasi. Umumnya reaksi fase I
meliputi biotransformasi obat menjadi metabolit yang lebih polar melalui pemasukan atau
penambahan suatu gugus fungsional (misalnya –OH, -NH2, -SH). Pada reaksi fase II, obat atau
metabolit fase I yang tidak cukup polar untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh ginjal dibuat
menjadi lebih hidrofilik melalui konjugasi dengan senyawa endogen dalam hati.
B. First Pass Effects
Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Sebagai
contoh, obat yang diberikan parenteral, transdermal, atau inhalasi akan mempunyai kemungkinan
untuk terdistribusi dalam tubuh sbelum dimetabolisme oleh hati. Sebaliknya, obat-obat yang
diberikan secara oral diabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan dan ditranspor
melalui pembukuh mesenterika menuju vena porta hepatik dan kemudian ke hati sebelum ke
sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar oleh hati atau sel-sel mukosa
usus halus menunjukkan availabilitas sistemik yang jelek jika dibandingkan secara oral.
First Pass Effects atau eliminasi presistematik merupakan metabolisme secara cepat dari
obat-obat yang diberikan secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum. Terjadinya first pass
effect dapat diduga apabila terdapat berkurangnya jumlah senyawa induk atau obat utuh dalam
sirkulasi sistemik sesudah pemberian oral. Dalam hal demikian AUC untuk obat-obat yang
diberikan secara oral lebih kecil dari AUC obat yang saa yang diberikan secara IV. Dari percobaan
pada binatang, first pass effect dianggap terjadi jika obat utuh didapat dalam kanul vena porta
hepatik tetapi tidak didapat dalam sirkulasi umum.
Dengan menganggap obat stabil secara kimia dalam saluran cerna dan obat diberikan
secara oral dalam bentuk larutan untuk memastikan absorpsi sempurna maka area di bawah kurva
konsentrasi obat dalam plasma (AUC) harus sama dengan AUC bila obat dengan dosis yang sama
diberikan secara intravena. Oleh karena itu dengan pengujian bioavailabilitas absolut F,dapat
menunjukkan hilangnya obat oleh hati karena terjadinya first pass effect:

Untuk obat-obat yang mengalami first pass effect, lebih kecil


dibanding dan F kurang dari 1. Obat seperti isoproterenol atau nitrogliserin akan
mempunyai nilai F kurang dari 1, oleh karena itu obta-obat ini mengalami first pass effect yang
bermakna.
Untuk mengatasi first pass effect, rute pemakaian obat diubah. Sebagai contoh, untuk
menghindari first pass effect nitrogliserin dapat diberikan secara sublingual atau topikal, silokain
dapat diberikan secara parenteral. Cara lain untuk megatasi first pass effect adalah dengan
memperbesar dosis atau mengubah produk obat ke bentuk sediaan yang dapat diabsorpsi lebih
cepat. Dalam kasus lain sejumlah besar obat dengan cepat berada di hati dan beberapa obat akan
mencapai sirkulasi umum dalam keadaan utuh.
C. Klirens Hepatik
Klirens merupakan volume darah atau plasma yang dibersihkan dari obat per satuan waktu.
Konsep klirens sangat penting dalam farmakokinetik dan dapat diterapkan pada setiap organ dan
digunakan sebagai ukuran dari eliminasi obat oleh organ. Klirens plasma dirumuskan dengan:

Klirens hepatik adalah volume darah yang mengaliri (perfusi) hati yang terbersihkan dari
obat per satuan waktu. Klirens hepatik (Clh) juga sama dengan klirens tubuh total (ClT) dikurangi
klirens klirens ginjal (Clr):

Kadang-kadang klirens ginjal tidak diketahui dan klirens hepatik dapat dihitung dari
presentase obat yang ditemukan kembali dalam urin:

Faktor-faktor yang mempengaruhi klirens hepatik obat yaitu aliran darah ke hati, klirens
intrinsik, dan fraksi obat terikat protein. Bila darah arterial yang mengandung obat melewati hati,
maka satu bagian tertentu obat hilang oleh metabolisme atau ekskresi biker. Oleh karena itu
konsentrasi obat dalam vena lebih kecil dibandingkan konsentrasi obat dalam arteri. Klirens
intrinsik digunakan untuk menggambarkan kemampuan hati untuk menghilangkan obat dalam
keadaan tidak adanya pembatasan aliran, sebagai pencerminan aktivitas yang melekat dari mixed-
function oxidase. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat melewati membran sel
dengan mudah. Obat-obat bebas dalam plasma dapat melewati dinding sel dan mencapai tempat
dari mixed-function oxidase. Sering dianggap bahwa konsentrasi obat dalam hati di sekitar mixed-
function oxidase sama dengan konsentrasi obat bebas dalam darah. Oleh karena itu kenaikan
konsentrasi obat bebas dalam darah akan membuat obat lebih tersedia untuk ekstraksi hepatik.
D. Ekskresi Bilier
Obat-obat yang ekskresi utamanya dalam empedu mempunyai berat molekul lebih besar
dari 500 gr/mol. Disamping berat molekul yang tinggi, obat yang diekskresikan ke dalam empedu
biasanya membutuhkan gugus polar yang kuat. Beberapa obat yang diekskresikan ke empedu
adalah metabolit karena lebih polar dibanding obat induk, sangat sering berupa konjugat
glukoronida.
Obat yang diekskresi ke empedu meliputi glikosida digitalis, garam empedu, kolesterol,
steroida, dan indometasin. Senyawa-senyawa yang meningkatkan produksi empedu merangsang
ekskresi bilier dari obat-obat yang secara normal dieleminasi melalui rute ini. Sebagai contoh
fenobarbital yang menginduksi beberapa aktivitasmixed-function oxidase dapat merangsang
ekskresi bilier dari obat-obat dengan dua mekanisme, yakni kenaikan pembentukan metabolit
grukonida dan kenaikan aliran empedu. Sebaliknya senyawa-senyawa yang menyebabkan
kolestasis akan menururnkan ekskresi bilier. Rute pemberian juga dapat mempengaruhi jumlah
obat yang terekskresi dalam empedu. Sebagai contoh, obat yang diberikan secara oral dapat
diekstraksi oleh hati ke dalam empedu dalam jumlah yang lebih besar daripada jika obat-obat
tersebut diberikan secara intravena.
Obat atau metabolit yang diekskresi ke dalam empedu akhirnya akan diekskresi ke dalam
duodenum lewat kandung empedu. Kemudian obat atau metabolitnya dapat diekskresi dalam tinja
atau direabsorpsi dan terdapat kembali dalam sistemik. Siklus ini dikenal sebagai siklus
enterohepatik. Siklus enterohepatik memperpanjang waktu keberadaan suatu obat dalam tubuh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Biotransformasi obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan
dikatalis oleh enzim.
2. First Pass Effects atau eliminasi presistematik merupakan metabolisme secara cepat dari obat-obat
yang diberikan secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum.
3. Klirens hepatik adalah volume darah yang mengaliri (perfusi) hati yang terbersihkan dari obat per
satuan waktu.
4. Obat-obat yang ekskresi utamanya dalam empedu mempunyai berat molekul lebih besar dari 500
gr/mol.
B. Saran
Melalui makalah ini kami menyarankan agar mahasiswa lebih aktif lagi dalam mempelajari
materi Eliminasi Hepatik mengingat cakupannya yang sangat luas.

DAFTAR PUSTAKA
Neal, M.J., 2005, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V, Erlangga, Jakarta.

Putradewa, 2010, Farmakologi,http://putramahadewa.wordpress.com/2010/03/30/farmakologi/, diakses


7 Mei 2012.

Shargel, L. dan Andrew B.C.Y., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi kedua,
Airlangga University Press, Surabaya.

Diposting oleh Endra Sendana di 1/30/2014 01:59:00 AM


MARET 20, 2011

KOLESTASIS INTRAHEPATIK dan EKSTRAHEPATIK.

Keputusan diagnostik yang paling penting bagi dokter dan ahli bedah dalam menangani
kasus hiperbilirubinemia terkonyugasi adalah menetapkan apakah obstruksi aliran empedu
adalah intrahepatik atau ekstrahepatik. Kolestasis ekstrahepatik mungkin memerlukan
pembedahan, sedangkan pembedahan pada penderita penyakit hepatoselular (kolestasis in-
trahepatik) malahan dapat memperberat penyakit dan bahkan dapat menimbulkan kematian
Membedakan kedua keadaan ini tidak mudah. karena semua bentuk kolestasis menimbulkan
sindrom klinik ikterus yang cepat yaitu: gatal, transaminase meningkat, fosfatase alkali me-
ningkat, gangguan ekskresi zat warna kolesistografi, dan kandung empedu tidak
terlihat. Walaupun penentuan akhir bersifat klinis, namun bantuan untuk membedakan kedua
keadaan ini datang dari penilaian derajat obstruksi. Obstruksi intrahepatik jarang seberat
obstruksi esktrahepatic. Akibatnya, kolestasis intrahepatik umumnya hanya mengakibatkan
peningkatan moderat fosfatase alkali, dan sedikit pigmen dapat ditemukan dalam feses atau
urobilinogen dalam kemih bila dibandingkan dengan kolestasis esktrahepatik. Biopsi hati atau
duodenum, atau kolangiografi transhepatik dapat dilakukan untuk mempertegas kasus yang sulit.

DAFTAR PUSTAKA

2000, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 3, Cetakan 9, Jakarta, hal 1102-1105

M., 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jilid 1, Cetakan 1, Jakarta, EGC, Hal 435-436

Diposting oleh arianto risky di 12.11

Anda mungkin juga menyukai