Anda di halaman 1dari 12

tahap persalinan

PENDAHULUAN
Persalinan (partus) adalah peristiwa keluarnya janin dari uterus. Persalinan
terdiri dari dua peristiwa utama yaitu proses persalinan-kala I (labor) dan
proses kelahiran-kala II (delivery).
Proses persalinan (labor) : proses dilatasi dan pendataran servik yang
progresif akibat adanya kontraksi uterus yang berulang serta proses meneran
untuk mengawali ekspulsi produk konsepsi.

Proses kelahiran (delivery) : ekspulsi janin dan plasenta.

Tujuan penatalaksanaan pada peristiwa persalinan [partus] adalah


memungkinkan berlangsungnya proses tersebut secara normal dengan
komplikasi ibu atau janin yang sangat minimal.

Staf penolong persalinan harus melakukan segala sesuatu untuk :


Memberikan kenyamanan bagi pasien dan menumbuhkan adanya interaksi
staf kamar bersalin dengan keluarga.
Menjelaskan proses persalinan yang sedang berlangsung.
Memberi kesempatan bagi ibu untuk kontak fisik sedini mungkin dengan
bayinya yang baru dilahirkan.
Mengantisipasi setiap permasalahan atau komplikasi yang terjadi.

Penatalaksanaan terbaik pada peristiwa persalinan adalah observasi yang


baik dan melakukan intervensi dengan cara dan pada saat yang tepat.

Persalinan dan kelahiran adalah peristiwa kompleks yang melibatkan


prostaglandin, cytokine dan hormon seksual steroid.

Jenis persalinan didasarkan pada usia kehamilan sehingga dikenal adanya


persalinan preterm yang terjadi pada kehamilan < 37 mgg .
persalinan aterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan > 37
minggu.

PERSIAPAN FISIOLOGIS MENJELANG PERSALINAN

Sebelum onset “true labor” terjadi beberapa perubahan fisiologis.

Pada nulipara, biasanya kepala janin masuk panggul ± 2 minggu sebelum


persalinan [lightening].

Kontraksi Braxton Hicks menjadi semakin sering (setiap 10 – 20 menit).

Beberapa hari sebelum persalinan, servik menjadi lunak-mendatar dan


sedikit membuka serta terdapat ”show” (berupa lendir bercampur darah) .

Disebut inpartu, biasanya bila dilatasi servik sudah mencapai ≥ 2 cm.


“True labor” :
Kontraksi uterus berlangsung secara teratur dan semakin sering serta
intensitas yang semakin kuat.
Rasa tak nyaman pada punggung dan abdomen .
Terjadi dilatasi servik.
Kontraksi uterus tak dapat dihentikan dengan pemberian sedasi.
“False labor”
Kontraksi uterus tidak teratus dan interval semakin panjang dan intensitas
tidak berubah.
Rasa nyaman terutama pada bagian bawah abdomen.
Tidak terdapat dilatasi servik.
Rasa sakit umumnya hilang dengan pemberian sedasi.

KARAKTERISTIK PERSALINAN NORMAL

Stadium persalinan dibagi menjadi 3 :


Persalinan kala I : mulai saat inpartu sampai dilatasi lengkap
Persalinan kala II : mulai dilatasi lengkap sampai janin lahir
Persalinan kala III : Kala pengeluaran plasenta
[Persalinan kala IV] : 2 jam pasca persalinan

Gambar Kurve persalinan normal dan posisi kepala janin

Menurut Friedman 1967, Persalinan kala I terdiri dari 2 fase :


Fase LATEN (dilatasi 0 – 3 cm)
Fase AKTIF (dilatasi 3 – 10 cm)
Fase aktif :
Fase akselerasi
Fase dilatasi maksimal
Fase deselerasi
Pada fase aktif, kecepatan dilatasi servik pada nulipara ± 1.2 cm dan pada
multipara ± 1.5 cm. Lama kala I persalinan pada nulipara 8 jam dan pada
multipara 5 jam.
Evaluasi kemajuan persalinan

Persalinan Kala I dinilai melalui kecepatan perubahan pendataran dan


dilatasi servik serta desensus bagian terendah janin.

Frekuensi dan durasi kontraksi uterus bukan tanda-tanda untuk menilai


kemajuan proses persalinan pada kala I.
Persalinan kala II dimulai saat pembukaan lengkap. Kemajuan persalinan
kala II dinilai dari desensus - fleksi dan putar paksi dalam bagian terendah
janin.

PENATALAKSANAAN PERSALINAN NORMAL

Faktor yang perlu dinilai dan dicatat dalam persalinan :


Waktu terjadinya kontraksi uterus pertama kali, frekuensi kontraksi uterus,
keadaan selaput ketuban, riwayat perdarahan atau gangguan pada gerakan
janin.
Riwayat alergi, medikasi, saat makan terakhir.
Tanda vital ibu, protein urine dan glukosa serta pola kontraksi uterus.
Detik jantung janin, presentasi dan tafsiran berat badan janin.
Keadaan selaput ketuban, dilatasi & pendataran servik dan derajat
penurunan bagian terendah janin melalui pemeriksaan dalam (vaginal
toucher) kecuali bila terdapat kontraindikasi melakukan VT (perdarahan
antepartum).
Pada saat masuk kamar bersalin perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium :
Hematokrit dan hemoglobin.
Faal pembekuan darah (waktu pembekuan dan waktu perdarahan).
Golongan darah.

PERSALINAN KALA I
Pasien diperkenankan untuk berjalan-jalan sesuai keinginannya.
Tidak perlu puasa, dapat diberikan makan dalam bentuk cair.
Bila perlu dapat diberikan cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan
cairan dan kalori.
Nadi dan tekanan darah diperiksa setiap 2 – 4 jam.
Dilakukan pencatatan keseimbangan cairan (produksi urine dan cairan
intravena atau peroral).
Dapat dipertimbangkan pemberian analgesia bila pasien memerlukan oleh
karena merasa sangat nyeri dan tidak bisa hilangk dengan pemberian
informasi mengenai jalannya persalinan.
Pemeriksaan kesehatan janin melalui pemantauan janin dengan
kardiotokografi.
Pada kasus resiko rendah dengarkan DJJ tiap 30 menit (pada kasus resiko
tinggi setiap 15 menit) segera setelah kontraksi uterus.
Pemantauan kontraksi uterus melalui palpasi dilakukan tiap 30 menit untUk
menentukan frekuensi, durasi dan intensitas his. Pada fase aktif penilaian
dilatasi dan desensus dengan VT dilakukan tiap 2 jam.
Tindakan amniotomi rutin tidak boleh dilakukan sebelum dilatasi servik
lengkap.

PERSALINAN KALA II
Pada awal kala II (dilatasi servik lengkap), terdapat reflek meneran dari ibu
pada tiap kontraksi uterus.
Tekanan abdomen disertai dengan kontraksi uterus akan mendorong janin
keluar dari jalan lahir.
Pada kala II, kemajuan persalinan ditentukan berdasarkan derajat desensus
(gambar 12.2). Pada saat bagian terendah janin berada setinggi spina
ischiadica maka dikatakan penurunan pada stasion 0.
Pada primigravida, umumnya kala II berlangsung selama ± 50 menit dan
pada multigravida ± 20 menit.

MEKANISME PERSALINAN NORMAL

Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian gerakan untuk


melewati panggul -“seven cardinal movements of labor” yang terdiri dari :
Engagemen
Fleksi
Desensus
Putar paksi dalam
Ekstensi
Putar paksi luar
Ekspulsi
Gerakan-gerakan tersebut terjadi pada presentasi kepala dan presentasi
bokong.

Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan janin dapat mengatasi rintangan


jalan lahir dengan baik sehingga dapat terjadi persalinan per vaginam secara
spontan.

Engagemen
Suatu keadaan dimana diameter biparietal sudah melewati pintu atas
panggul.
Pada 70% kasus, kepala masuk pintu atas panggul ibu pada panggul jenis
ginekoid dengan oksiput melintang (tranversal)
Proses engagemen kedalam pintu atas panggul dapat melalui proses
normalsinklitismus , asinklitismus anterior dan asinklitismus posterior :
Normal sinklitismus : Sutura sagitalis tepat diantara simfisis pubis dan
sacrum.
Asinklitismus anterior : Sutura sagitalis lebih dekat kearah sacrum.
Asinklitismus posterior: Sutura sagitalis lebih dekat kearah simfisis
pubis(parietal bone presentasion

Fleksi

Gerakan fleksi terjadi akibat adanya tahanan servik, dinding panggul dan
otot dasar panggul.
Fleksi kepala diperlukan agar dapat terjadi engagemen dan desensus.
Bila terdapat kesempitan panggul, dapat terjadi ekstensi kepala sehingga
terjadi letak defleksi (presentasi dahi, presentasi muka).

Desensus

Pada nulipara, engagemen terjadi sebelum inpartu dan tidak berlanjut


sampai awal kala II; pada multipara desensus berlangsung bersamaan
dengan dilatasi servik.
Penyebab terjadinya desensus :
Tekanan cairan amnion
Tekanan langsung oleh fundus uteri pada bokong
Usaha meneran ibu
Gerakan ekstensi tubuh janin (tubuh janin menjadi lurus)
Faktor lain yang menentukan terjadinya desensus adalah :
Ukuran dan bentuk panggul
Posisi bagian terendah janin
Semakin besar tahanan tulang panggul atau adanya kesempitan panggul
akan menyebabkan desensus berlangsung lambat.
Desensus berlangsung terus sampai janin lahir.

Putar paksi dalam- internal rotation


Bersama dengan gerakan desensus, bagian terendah janin mengalami putar
paksi dalam pada level setinggi spina ischiadica (bidang tengah panggul).
Kepala berputar dari posisi tranversal menjadi posisi anterior (kadang-
kadang kearah posterior).
Putar paksi dalam berakhir setelah kepala mencapai dasar panggul.

Ekstensi

Aksis jalan lahir mengarah kedepan atas, maka gerakan ekstensi kepala
harus terjadi sebelum dapat melewati pintu bawah panggul.

Akibat proses desensus lebih lanjut, perineum menjadi teregang dan diikuti
dengan“crowning”

Pada saat itu persalinan spontan akan segera terjadi dan penolong persalinan
melakukan tindakan dengan perasat Ritgen untuk mencegah kerusakan
perineum yang luas dengan jalan mengendalikan persalinan kepala janin.

Episiotomi tidak dikerjakan secara rutin akan tetapi hanya pada keadaan
tertentu.

Proses ekstensi berlanjut dan seluruh bagian kepala janin lahir.

Setelah kepala lahir, muka janin dibersihkan dan jalan nafas dibebaskan dari
darah dan cairan amnion. Mulut dibersihkan terlebih dahulu sebelum
melakukan pembersihan hidung.
Setelah jalan nafas bersih, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat
sekitar leher dengan jari telunjuk. Lilitan talipusat yang terjadi harus
dibebaskan terlebih dahulu. Bila lilitan talipusat terlalu erat dapat dilakukan
pemotongan diantara 2 buah klem.

Putar paksi luar- external rotation

Setelah kepala lahir, terjadi putar paksi luar (restitusi) yang menyebabkan
posisi kepala kembali pada posisi saat engagemen terjadi dalam jalan lahir.

Setelah putar paksi luar kepala, bahu mengalami desensus kedalam panggul
dengan cara seperti yang terjadi pada desensus kepala.
Bahu anterior akan mengalami putar paksi dalam sejauh 450 menuju arcus
pubis sebelum dapat lahir dibawah simfisis.

Persalinan bahu depan dibantu dengan tarikan curam bawah pada samping
kepala janin .
Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas untuk melahirkan
bahu posterior.

Traksi untuk melahirkan bahu harus dilakukan secara hati-hati untuk


menghindari cedera pada pleksus brachialis.
Setelah persalinan kepala dan bahu, persalinan selanjutnya berlangsung
pada sisa bagian tubuh janin dengan melakukan traksi pada bahu janin.
Setelah kelahiran janin, terjadi pengaliran darah plasenta pada neonatus bila
tubuh anak diletakkan dibawah introitus vagina.

Penundaan yang terlampau lama pemasangan klem pada talipusat dapat


mengakibatkan terjadinya hiperbilirubinemia neonatal akibat aliran darah
plasenta tersebut.

Sebaiknya neonatus diletakkan diatas perut ibu dan pemasangan dua buah
klem talipusat dilakukan dalam waktu sekitar 15 – 20 detik setelah bayi
lahir dan kemudian baru dilakukan pemotongan talipusat diantara kedua
klem.
PERSALINAN KALA III
Persalinan kala III adalah periode persalinan antara lahirnya janin sampai
lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
Akibat masih adanya kontraksi uterus, ukuran plasenta dan “plasental site”
mengecil sampai tersisa 25% → hematoma retroplasenta → terjadi separasi
plasenta.
Separasi plasenta umumnya terjadi 5 menit setelah anak lahir.
Penatalaksanaan kala III :
Penatalaksanaan klasik atau tradisional
Penatalaksanaan aktif
Penatalaksanan fisiologik (ekspektatif)
Separasi plasenta dan selaput ketuban dibiarkan terjadi secara spontan.
Tanda separasi plasenta :
Darah segar keluar dari vagina.
Talipusat didepan vulva menjadi bertambah panjang.
Fundus uteri naik.
Bentuk uterus menjadi bulat dan mengeras
Setelah tanda separasi muncul, dilakukan masase uterus agar terjadi
kontraksi uterus. Uterus yang sedang berkontraksi didorong kearah pelvis
sehingga plasenta dan selaput ketuban bergerak seperti “piston” keluar
vagina.
Plasenta yang keluar dicekap dan dipeluntir agar plasenta dan selaput
ketuban dapat keluar secara utuh.

Penatalaksanaan aktif
Cara ini diyakini dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca
persalinan dari 4% menjadi 2%.
Setelah janin lahir, disuntikkan methergin 0.5 ml i.m (atau oksitosin bila
terdapat kontra-indikasi pemberian methergin)
Untuk menghindari inversio uteri traksi talipusat hanya dilakukan saat ada
kontraksi uterus dan dengan meletakkan tangan suprasimfisis
Klem talipusat dipegang dengan tangan kanan dan talipusat diregangkan.
Tangan kiri melakukan masase fundus uteri, bila sudah timbul kontraksi
uterus, tangan kiri dipindahkan supra-simfisis dan kemudian dilakukan
tarikan talipusat secara terkendali untuk melahirkan plasenta.
Jangan melakukan tarikan pada talipusat untuk melahirkan plasenta pada
saat tidak ada kontraksi uterus untuk mencegah terjadinya inversio uteri.

Inspeksi Plasenta dan selaput ketuban


Plasenta dan selaput ketuban diperiksa dengan jalan memegang talipusat
untuk membuat plasenta dalam keadaan tergantung dan memeriksa “fetal
surface” untuk melihat adanya pembuluh darah yang melewati tepi selaput
ketuban.
Selaput ketuban diperiksa untuk memastikan tidak adanya selaput yang
tertinggal dalam uterus.
“Maternal surface” plasenta diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya kotiledon yang tertinggal dalam uterus.

Retensio Plasenta
Batasan umum yang digunakan untuk retensio plasenta adalah bila plasenta
tetap berada dalam uterus selama 1 jam.
Keadaan ini sering disertai dengan perdarahan pasca persalinan.

Etiologi:
Inkarserasi dari plasenta yang sudah lepas seluruhnya dengan ostium servik
yang sudah menutup.
Atonia uteri.
Plasenta akreta ( melekat pada desidua dan miometrium) atau plasenta
perkreta ( menembus sampai peritoneum viseralis/serosa).

Penatalaksanaan :
Bila perdarahan sangat banyak maka plasenta harus segera dilahirkan
dengan cara-cara yang sudah dijelaskan atau dilakukan plasenta manual.
Plasenta akreta atau plasenta perkreta memerlukan tindakan histerektomi.
Inspeksi Jalan Lahir
Setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, perdarahan biasanya berhenti.
Bila terdapat robekan perineum atau terdapat luka akibat tindakan
episiotomi maka hal tersebut memerlukan perbaikan.
Pada persalinan dengan ekstraksi cunam, inspeksi jalan lahir harus meliputi
servik.
PERBAIKAN LUKA JALAN LAHIR

Episiotomi
Episiotomi adalah insisi pada perineum dan vagina yang sudah sangat
teregang untuk mencegah agar tidak terjadi perluasan dan robekan jalan
lahir tak beraturan yang akan dapat menyebabkan terjadinya prolapsus uteri
kelak.
Pandangan saat ini adalah bahwa tindakan episiotomi tidak boleh dilakukan
secara rutin oleh karena dapat menyebabkan nyeri perineum yang
berkepanjangan dan gangguan hubungan seksual sampai 6 bulan pasca
episiotomi.

Bila luka episiotomi meluas menjadi ruptura perinei derajat III dan IV,
sfingter ani harus diperbaiki dengan baik agar tidak terjadi inkontinensia
urine dan atau inkontinensia ani.

Bila episiotomi harus dikerjakan karena regangan perineum yang sangat


berlebihan, maka maksud dan tujuan dari tindakan tersebut harus dijelaskan
pada pasien dan keluarganya terlebih dahulu. Tindakan episotomi harus
dengan ijin pasien.

Episiotomi harus dikerjakan dengan anestesi regional atau lokal.


Episotomi dapat dikerjakan secara medial [midline] atau mediolateral.

Episiotomi Mediana :

- Perdarahan sedikit.
- Mudah meluas menjadi ruptura perinei totalis.
- Tehnik perbaikan lebih mudah.
- Keluhan dispareunia atau nyeri pasca persalinan minimal .

Episiotomi Medio-lateral:
- Perdarahan lebih banyak.
- Jarang meluas menjadi ruptura perinei totalis.
- Tehnik perbaikan lebih sulit.
- Keluhan dispareunia dan nyeri pasca persalinan lebih sering terjadi.

Ruptura perinei
Dikenal 4 derajat ruptura perinei :
Derajat I : cedera pada commisura posterior, mukosa vagina dan otot
dibelakangnya menjadi terbuka.
Derajat II : cedera dinding vagina bagian posterior dan otot perineum,
sfingter ani utuh.
Derajat III : robekan pada sfingter ani namun mukosa rektum utuh.
Derajat IV : kanalis ani terbuka dan robekan dapat meluas ke rectum.

Prinsip perbaikan luka episiotomi :


1. Hemostasis.
2. Restorasi anatomis tercapai tanpa jahitan berlebihan.
3. Benang yang digunakan chromic cat-gut atau poliglikolik # 3-0 .
Perbaikan pada ruptura perinei derajat IV

Gambar Perbaikan ruptura perinei totalis


A. Mendekatkan mukosa dan submukosa anorektum dengan benang
“absorable” (misalnya chromic # 3-0 atau 4-0 atau Vicryl. Dilakukan
identifikasi tepi atas laserasi canalis ani dan jahitan ditempatkan melalui
submukosa anorektum dengan jarak ± 0.5 cm kearah lubang anus.
B. Lapisan kedua ditempatkan melalui otot rectum dengan Vicryl 3-0 secara
jelujur atau terputus. ” Lapisan penguat” ini harus disatukan dengan ujung
luka pada sfingter ani ( berupa otot polos sirkuler sejauh 2 – 3 cm dari
canalis ani)
C. Dilakukan identifikasi ujung sfingter ani eksterna yang putus dan
kemudian dijepit dengan “Allis” klem
D. 4 jahitan terputus pada otot sfingter ani yang terputus posisi jam 3-6-9-12

Robekan servik
Robekan servik dapat terjadi bila pasien meneran pada saat dilatasi servik
belum lengkap dan ketuban sudah pecah.
Pasca tindakan persalinan operatif pervaginam (ekstraksi cunam), dapat
menyebabkan terjadinya robekan servik.
Untuk keperluan hemostasis perbaikan robekan servik harus dimulai pada
apex luka.
PENATALAKSANAAN PASCA PERSALINAN
Sebelum dirawat di ruang perawatan nifas, pasien pasca persalinan harus
Keadaan umum baik .
Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan pervaginam.
Cedera perineum sudah diperbaiki.
Kandung kemih kosong.

Anda mungkin juga menyukai