Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum
harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangka pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sitem
kesehatan nasional.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dengan jelas menekankan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini berarti bahwa
kesehatan sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan hak bagi setiap warga
negara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena
itu segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan yang
berkaitan dengan tujuan hidup masyarakat harus sesuai dengan hukum. Hukum
merupakan sarana mewujudkan hak-hak manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Hakikat hukum adalah perlindungan kepentingan manusia termasuk dalam
mewujudkan kesehatan.
Pembinaan dan pengembangan hukum di bidang kesehatan bertujuan
untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar
pembangunan di bidang kesehatan. Peraturan perundang-undangan yang
diinginkan itu tentunya peraturan yang dapat menjamin dan melindungi
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang diharapkan serta dapat
melindungi tenaga kesehatan. Peraturan yang dibuat harus memiliki aspek hukum

1
yang bersifat menyeluruh sehingga dapat mengatur mengenai pelayanan
kesehatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Di Indonesia, aspek hukum dalam bidang kesehatan sudah diterapkan
dengan dikeluarkannya berbagai undang-undang antara lain Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan, dan lain-lain.
Salah satu aspek hukum adalah aspek hukum pidana. Dari beberapa
undang-undang yang disebutkan diatas masing-masing memiliki sanksi pidana.
Baik sanksi pidana untuk profesi ataupun lembaga/institusi. Di bidang kesehatan
selain dugaan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dugaan
malpraktik bisa juga dilakukan oleh rumah sakit. Seperti akhir-akhir ini ramai
diberitakan masalah kasus vaksin palsu yang melibatkan 14 rumah sakit di
Jakarta.
Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan berfungsi untuk
melaksanakan upaya pelayanan kesehatan paripurna meliputi upaya preventif,
promotif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi dalam rangka upaya pelayanan kesehatan
maka Rumah Sakit melaksanakan semua proses kegiatan pelayanan, yang
melibatkan berbagai profesi tenaga kesehatan di Rumah Sakit, menerapkan
manajemen pengelolaan Rumah Sakit dalam rangka melayani pasien selaku
pengguna jasa rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Rumah Sakit secara eksplisit tanggung jawab
rumah sakit dirumuskan pada Pasal 46 bahwa : Rumah Sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.”Sebagai bagian dari hukum
kesehatan maka hakekat hukum rumah sakit adalah penerapan Hukum Perdata,
Hukum Pidana dan Administrasi Negara, maka ruang lingkup tanggung jawab
rumah sakit juga menjadi tanggung jawab perdata, tanggung jawab pidana dan
tanggung jawab administrasi negara.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penulisan
ini adalah bagaimanakah aspek hukum pidana di bidang kesehatan khususnya
untuk Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana


Menurut Simon, tindak pidana adalah perbuatan manusia yang diancam
dengan pidana, bersifat melawan hukum, dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut
ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari
larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang
tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada perbuatannya saja, yaitu dapat
dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah1:
 Perbuatan manusia
 Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
 Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Sedangkan Unsur-unsur tindak pidananya terdiri dari :
1. Kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau tindakan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi
menjadi :
 Unsur Subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan
 Unsur Obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat
Hal yang perlu diketahui bahwa sifat pemidanaan adalah personal. Oleh
karena itu beberapa ahli hukum pidana berpendapat bahwa seseorang dikatakan
telah melakukan tindak pidana paling tidak harus ada tiga unsur, yaitu : pertama,

4
adanya pelanggaran terhadap hukum tertulis; kedua, perbuatan tersebut
melanggar hukum; dan ketiga perbuatan tersebut ada unsur kesalahan (dolus).
Adapun unsur kesalahan dapat berupa kesengajaan dan dapat berupa
kelalaian (culpa,negligence). Yang dimaksud dengan kesengajaan adalah sifatnya
sengaja dan melanggar undang-undang, tindakan dilakukan secara sadar, tujuan
dan tindakannya terarah. Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaian sifatnya
adalah tidak sengaja, lalai, tidak ada motif ataupun tujuan yang menimbulkan
akibat yang terjadi.2
J. Guwandi yang mengutip pendapat Jonkers, menyebutkan bahwa
adanya unsur-unsur kesalahan (kelalaian) sebagi tolok ukur di dalam hukum
pidana yaitu bertentangan dengan hukum (wederechttelijkeheld); akibatnya dapat
dibayangkan (vermijdbaarheid); perbuatanya dapat dipersalahkan kepadanya
(verwijtbaarheid)3

2.2 Aspek Hukum Pidana Pada Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit


Berkaitan dengan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, maka untuk
timbulnya tanggung jawab pidana dalam pelayanan kesehatan oleh rumah Sakit,
pertama tama harus dibuktikan adanya keselahan profesional yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Untuk itu pertanggungjawaban pidana yang dimaksud dibebankan pada tenaga
kesehatan yang melakukan kesalahan saat melaksanakan tugas pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit.
Tindak pidana pelayanan kesehatan berbeda dengan tindak pidana biasa,
terlebih lagi tindak pidana dalam ruang lingkup pelayanan Rumah Sakit, karena
fokus pada tindak pidana pelayanan kesehatan adalah sebab atau kausa dari tindak
tersebut, sedangkan pada tindak pidana umum, terletak pada akibat dari tindak
pidana tersebut. Dalam tindak pidana pelayanan kesehatan atau disebut dengan
criminal malpractice, untuk adanya pertanggungjawaban pidana maka harus dapat
dibuktikan tentang adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan diagnosis

5
atau kesalahan cara pengobatan atau perawatan. Demikian pula dengan tanggung
jawab Rumah Sakit dalam ruang lingkup hukum pidana diantaranya adalah jika
tenaga kesehatan yang menjadi pelaksana tugas pelayanan di Rumah Sakit
melakukan kesalahan profesional.
Adapun dalam penjatuhan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban
pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Perbuatan dilakukan oleh subyek hukum yang melaksanakan tugas
pelayanan kesehatan di rumah sakit, sebagaimana telah disebutkan bahwa
tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas profesionalnya di rumah sakit
yang bersangkutan.
2. Adanya kesalahan, bahwa kesalahan dalam pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit pada umumnya terjadi karena kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan. Bentuknya bisa berupa melakukan perbuatan yang seharusnya
tidak dilakukan atau sebaliknya tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan.
3. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum
bisa terhadap hukum formil maupun hukum materiil.
4. Pelaku mampu bertanggungjawab yakni sehat jiwa atau akalnya
5. Tidak ada alasan yang menghapus pidana
Ditinjau dari aspek hukum pidana, masalah hukum pelayanan kesehatan
di Rumah Sakit, tidak hanya berupa perbuatan yang disebut dengan malpraktik
saja melainkan juga bentuk perbuatan lain yang didasarkan pada standar
pelayanan rumah sakit sebagai ukuran, maka tiap tindakan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
termasuk sebagai perbuatan melawan hukum. Bahkan tidak mustahil tindakan-
tindakan itu masuk dalam kategori perbuatan pidana atau delik dan oleh
karenanya memiliki konsekuensi yuridis berupa sanksi pidana.
Dibawah ini ada beberapa rumusan pasal yang mengatur tanggung jawab
pidana yang berhubungan dengan Rumah Sakit, sebagai berikut :
Salah satu tugas Rumah Sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
adalah mengelola rekam medik pasien dengan sebaik-baiknya, karena rekam
medik yang berisi catatan medik pasien mengandung sifat kerahasiaan. Di dalam
Undang-Undang Rumah Sakit Pasal 38 dirumuskan dengan jelas bahwa :

6
1. Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran
2. Rahasia Kedokteran sebagaiman dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan
aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri
Sebagai ketentuan pidana umum, pada rumusan KUHP dapat dijumpai
ketentuan-ketentuan pidana yang dapat diberlakukan pula terhadap Rumah Sakit
selaku pemberi layanan kesehatan (provider) jika melakukan perbuatan yang
melanggar norma hukum pidana. Ketentuan-ketentuan dimaksud terletak pada
pasal-pasal berikut ini :
Pada ketentuan Pasal 322 KUHP, rumusan pada pasal ini terkait dengan
kejahatan yang berhubungan dengan kedudukan hukum seseorang sebagai
pemegang jabatan dan dapat pula diterapkan pada perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Rumah Sakit yakni membuka rahasia medik pasien, hal ini
terkait dengan persoalan pengelolaan Rekam Medik. Dalam pasal ini dirumuskan
bahwa :
1. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak sembilan ribu rupiah
2. Bila kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang, maak perbuatan itu dapat
dituntut hanya atas pengaduan orang itu
Jadi apabila pengelolaan rekam medik tidak dilaksanakan dengan baik
dan menyebabkan rahasia medik pasien tidak terlindungi, jika dikaitkan dengan
ketentuan KUHP, Rumah Sakit dapat dibebani tanggung jawab pidana sebagaima
diatur dalam Pasal 322 KUHP tersebut diatas.
Ketentuan lain dalam KUHP yang berhubungan dengan tanggung jawab
pidana Rumah Sakit adalah terkait dengan kejahatan, kesusilaan, kejahatan
terhadap nyawa antara lain termuat pada ketentuan Pasal 299 KUHP. Dalam pasal
ini dirumuskan bahwa :

7
1. Barang siapa mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa denngan
pengobatan itu kandungannya dapat digugurkan, diancam pidana paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah
2. Bila yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan atau
apabila ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah
sepertiga
3. Bila yang bersalaah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pekerjaannya, maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat dicabut.
Dari pasal diatas dapt diambil contoh kasus tentang Rumah Sakit
Bersalin yang melalui tenaga kesehatannya (dokter, bidan, perawat dan tenaga
pembantu lainnya) melakukan tindakan aborsi kepada pasien. Untuk kasus
tersebut tanggung jawab pidana dibebankan kepada tenaga kesehatan yang
bersangkutan
Selanjutnya pada Pasal 535 KUHP berbunyi :
“Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukan suatu sarana untuk
menggugurkan kandungan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta
menawarkan sarana atau pertolongan untuk menggugurkan kandungan, ataupun
secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menyatakan
bahwa sarana atau pertolonngan yang demikian itu bisa didapat, dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.”
Pasal tersebut diatas bisa menjadi dasar pertanggungjawaban pidana
Rumah Sakit, dari contoh kasus diatas menunjukkan bahwa Rumah Sakit menjadi
sarana dilakukannya perbuatan pidana oleh tenaga kesehatan.
Rumusan pidana yang termuat dalam KUHP sebagaimana diuraikan
dalam beberapa pasal diatas dapat dikecualikan dalam hal tertentu yakni :
1. Dalam hal pasien memberikan ijin membuka rahasia dimaksud, maka
sanksi sebagaimana diatur pada Pasal 322 KUHP tidak dapat diterapkan
2. Dalam hal orang yang melaksanakan perintah undang-undang
sabagaimana diatur pada Pasal 50 KUHP, bahwa “Orang yang melakukan

8
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak boleh
dipidana .”
3. Dalam hal orang yang melaksanakan perintah jabatan, seperti dirumuskan
pada Pasal 51 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :
a. Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak boleh
dipidana
b. Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya
pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk
dalam lingkungan pekerjaannya.
Berdasarkan ketentuan pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut
ternyata bahwa sanksi pidana tidak akan dijatuhkan manakala perbuatan yang
dilakukan adalah untuk melaksanakan undang-undang, atau untuk melaksanakan
perintah jabatan, yang diberikan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan.
Demikian dalam kedua hal itu, ada alasan pembenar.4
Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah
benar dan semestinya.Meskipun demikian terhadap kedua ketentuan itu tidak
boleh diartikan bahwa setiap pelaksanaan perintah jabatan selalu melepas orang
yang diperintah dari tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
Ketentuan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP dapat memberi penjelasan tentang hal
itu, ayitu bahwa orang yang diperintah dapat lepas dari tanggung jawab pidana
atas perbuatannya apabila :
1. Secara subyektif, batin orang yang diperintah harus betul-betul mengira
bahwa perintah adalah sah, baik dari segi “pejabat” yang memerintah,
maupun dari segi”macam”perintahnya.
2. Secara obyektif, apa yang diperintahkan itu harus masuk dalam lingkup
pekerjaan orang yang diperintah
Di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
tanggung jawab pidana dirumuskan pada Pasal 190 bahwa :

9
1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan dan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan atau tenaga kesehatan tersebut pidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Pada ketentuan ini jelas bahwa subyek yang bertanggung jawab adalah
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan (salah satunya adalah Rumah Sakit ).
Artinya bahwa Rumah Sakit dapat dibebani tanggung jawab pidana jika dalam
tugas pelayanannya menolak pasien dalam keadaan gawat darurat dengan sanksi
pidana yang cukup berat berupa sanksi kumulatif yakni pidana penjara dan denda.
Sanksi pidananya bahkan diperberat jika mengakibatkan kondisi kecacatan dan
atau kematian terhadap pasien gawat darurat yang ditolak tersebut.
Di dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
tanggung jawab pidana dirumuskan dalam Bab XIII, Ketentuan Pasal 62 dan Pasal
63. Pada Pasal 62 disebutkan bahwa : “ Setiap orang yang dengan sengaja
menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Berdasarkan
ketentuan ini maka penyelenggara Rumah Sakit (Pemilik Perorangan) dapat
dijatuhi sanksi kumulatif yaitu pidana penjara dan denda.
Adapun Pasal 63, dirumuskan sebagai berikut :
1. Dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan
oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
denngan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62

10
2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa :
 pencabutan izin usaha ; dan/atau
 pencabutan status badan hukum
Dari ketentuan diatas dapat diartikan bahwa tanggung jawab pidana bisa
dibebankan pada pengurus dan korporasi

11
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan berfungsi untuk
melaksanakan upaya pelayanan kesehatan paripurna meliputi upaya preventif,
promotif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi dalam rangka upaya pelayanan kesehatan
maka Rumah Sakit melaksanakan semua proses kegiatan pelayanan, yang
melibatkan berbagai profesi tenaga kesehatan di Rumah Sakit, menerapkan
manajemen pengelolaan Rumah Sakit dalam rangka melayani pasien selaku
pengguna jasa rumah sakit.
Dari uraian-uraian diatas sudah dijelaskan di dalam Undang-Undang
Kesehatan , Undang-Undang Rumah Sakit serta KUHP bahwa dalam memberikan
pelayanan kesehatan terdapat hal-hal yang berkaitan dengan aspek hukum pidana,
dimulai dari operasionalnya berupa izin hingga pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan yang ada di dalamnya.Apabila semua pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit tidak sesuai dengan Standar
Pelayanan di Rumah Sakit, maka perbuatan tersebut adalah melawan hukum dan
bisa diberikan sanksi pidana dan denda.
Untuk itu Rumah Sakit setiap kegiatan pelayanannya harus berpedoman
kepada standar pelayanan rumah sakit dan meningkatkan pengawasan terhadap
tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit agar tidak terjadi kasus malpraktik
yang akan berakibat kepada pihak rumah sakit juga.

12

Anda mungkin juga menyukai