Buku Studi Kebantenan Idb PDF
Buku Studi Kebantenan Idb PDF
Cetakan Pertama:
Agustus 2017
Cetakan Kedua:
Januari 2018
Editor:
Desma Yuliadi Saputra
Untirta Press
viii +150 hlm.: 14 x 21 cm
ISBN 978-602-1013-95-3
PRAKATA
iii
adalah penasehat spiritual yang memiliki pengaruh kuat di
kalangan umat. Demikian juga dengan Syeikh Nawawi Al-
Bantani (SNB) dan KH. Wasyid (KW). SNB adalah intelek-
tual sekaligus guru yang menginspirasi, yang – meski-pun tidak
hadir langsung – telah menyemangati perjuangan KW untuk
memurnikan tauhid dan membela rakyat yang tertindas.
Empat tokoh ini menjadi simbol pelopor tangguh dengan
jiwa semngat intelektual-negarawan. Nilai-nilai yang disemai
oleh mereka dan terus diwariskan kepada rakyat Banten se-
cara terus menerus melalui proses pendidikan adalah: (1)
jujur, (2) religius, (3) disiplin, (4) berpikir kritis dan kreatif,
(5) komitmen dan konsisten, (6) mudah bersatu (kesepaham-
an), (7) egaliter, (8) terbuka terhadap saran dan kritik kons-
truktif, (9) menjaga harga diri, (10) patriotis (semangat juang
dan rela berkorban), dan (11) toleran dan cinta damai.
Semoga buku ini menginspirasi para membaca untuk
menggali warisan intelektual bangsa Indonesia dan bangga
menjadi bagian dari pusat peradaban dunia.
iv
DAFTAR ISI
PRAKATA iii
DAFTAR ISI v
v
BAB III BUDAYA BERSENDIKAN
CAHAYA AGAMA
A. Manusia Berkebudayaan 21
B. Islam dan Identitas Banten 22
1. Pemikiran Kalam 22
2. Tradisi Fikih 27
3. Tradisi Islam Dalam Konteks Budaya Lokal 30
C. Banten dan Pluralisme Agama 32
D. Seni Budaya dalam Masyarakat Plural 35
vi
BAB VI CAKRAWALA PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
A. Kriteria IPTEK 113
B. Hirarki dan Klsifikasi Ilmu 115
C. Peranan IPTEK Bagi Kehidupan 116
D. IPTEK dan Kedaulatan Negara 121
E. Dampak Negatif IPTEK dan
Krisis Lingkungan 123
F. Teknologi Tepat Guna Masyarakat Banten 124
vii
viii
BAB I
KAKI LANGIT WACANA
A. Pengantar
1
Rumusan tujuan nasional dalam konstitusi negara me-
rupakan pedoman untuk pola tindak. Pola tindak merupa-
kan strategi untuk mencapai tujuan nasional negara, yang
pada hakekatnya aman (negara harus tetap eksis) dan
sejahtera. Oleh karena itu pada modul ini pembahasan akan
menyangkut masalah: manusia, wilayah (geografi dan
sumber dayanya) negara, dan kedaulatan (sistem pemerin-
tahan dan politik) negara.
2
Di samping dipengaruhi oleh jiwa raganya manusia
juga dipengaruhi oleh lingkungan geografi tempat ia tinggal.
Kedua aspek tersebut saling mempengaruhi, yang berakibat
bahwa perubahan atau goncangan pada salah satu sistem
akan berpengaruh dalam kehidupan lainnya.
Manusia adalah monodualis, yaitu mahkluk individu
sekaligus makhluk sosial. Individu memiliki kepentingan dan
kepentingannya berupa: eksis (rasa aman) dan sejahtera
(senang dan bahagia). Benturan kepentingan individu
mengakibatkan timbul konflik-konflik, konflik ini biasanya
diselesaikan melalui kompromi antar individu sehingga
dapat dikatakan bahwa manusia menjadi makhluk sosial,
yaitu manusia yang saling tolong menolong maupun saling
memperjuangkan nasibnya. Sebagai tindak lanjut manusia
membentuk keluarga.
2. Keluarga (batih)
Karena manusia ingin mempertahankan eksistensinya, ia
membentuk keluarga batih (nuclear family). Keluarga
(nuclear family) adalah kelompok kecil yang terdiri dari
ayahibu dan anak-anak (belum dewasa) yang membentuk
kesatuan (Mitchell, 1970: 77). Keluarga kecil terbentuk
sebagai akibat dari perkawinan dua orang dewasa, laki-laki
dan perempuan, yang saling mencintai sesuai ketentuan
ajaran agama.
Relasi dalam keluarga diatur sesuai ajaran agama dan
budaya. Suami menjadi pemimpin bagi isteri. Anak wajib
taat dan berbuat baik kepada orangtua. Anak tidak boleh
membantah, membentak, apalagi melakukan kekerasan
kepada orangtua. Anak diajarkan doa untuk kedua orang-
tua, sebagaimana firman Allah:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
3
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs.
An-Nisa’ [4]: 34)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-dua-
nya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekalikali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu mem-
bentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka per-
kataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucap-
kanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil”. (Qs. Al-Isra’ [17]: 23-24)
4
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutu-
kan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri (Qs. An-Nisa’ [4]: 36)
3. Masyarakat
Manusia sebagai makhluk sosial tentu ingin hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu banyak orang yang
mendifinisikan masyarakat (society) adalah wadah segenap
antar hubungan sosial yang terdiri atas banyak kolektiva
dan terdiri pula atas kelompok yang lebih kecil. Masyarakat
sebagai kelompok yang lebih besar dikenal sebagai suku dan
kemudian ras.
Seperti halnya individu maupun keluarga, masyarakat
juga mempunyai kepentingan. Kepentingannya tiada lain
adalah kelangsungan hidup yang berupa tetap eksis dan
sejahtera. Untuk menjamin kelangsungan hidupnya, ada
empat permasalahan yang perlu dan harus diperhatikan
yaitu (1) adaptasi (penyesuaian dengan lingkungan), (2)
integrasi, (3) pencapaian tujuan (goal attainment), dan (4)
mempertahankan pola. Agar masyarakat tetap langgeng
perlu dibuat pola-pola tertentu agar tetap terjaga tradisi.
5
Masyarakat pada dasarnya adalah kumpulan orang,
namun tidak semua kumpulan orang dengan sendirinya
merupakan masyarakat. Terdapat empat kriteria yang harus
dipenuhi agar suatu kumpulan orang dapat disebut masyara-
kat, yaitu (1) memiliki kemampuan bertahan melebihi masa
hidup (seorang) individu; (2) rekrutmen seluruh anggotanya
melalui reproduksi; (3) kesetiaan pada suatu sistem tindakan
bersama; dan (4) adanya sistem tindakan utama yang ber-
sifat swasembada (Marion Levy).
Berdasarkan kriteria tersebut, kumpulan orang yang ada
di dalam angkutan umum, misalnya, tidak dapat disebut
sebagai masyarakat karena kumpulan itu bersifat sementara
yang bubar ketika angkutan umum tiba di halte atau termi-
nal; kumpulan itu tidak melakukan reproduksi untuk menam-
bah jumlah anggotanya; tidak ada suatu kesetiaan pada sistem
tindakan utama bersama; dan tidak melakukan tindakan
untuk menghasilkan kebutuhan sendiri seperti sandang dan
pangan. Kumpulan penumpang angkutan umum itu lebih
tepat disebut kerumunan atau crowd (Park 1972).
Untuk lebih memperjelas perbedaan masyarakat dengan
kerumunan, patut diperhatikan ciri-ciri yang membuat suatu
kesatuan manusia menjadi masyarakat. Pertama, adanya
pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor ke-
hidupannya dalam batas kesatuan itu. Pola tingkah laku itu
harus bersifat mantap dan kontinyu, atau dengan kata lain
sudah menjadi adat istiadat yang khas. Kedua, adanya rasa
identitas di antara warga atau anggotanya bahwa mereka
memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda
dengan kesatuan manusia lainnya (Koentjaraningrat 1980).
Berikut adalah kutipan berbagai definisi tentang masya-
rakat yang bila diperhatikan mengandung unsur-unsur
kriteria dan ciri yang telah disebutkan.
6
• Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang ber-
interaksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama (Koentjaraningrat 1980).
• Masyarakat adalah kelompok orang yang memiliki ke-
budayaan yang sama, dan merasa pada diri mereka
sebagai suatu kesatuan dan entitas yang berbeda dengan
kelompok lainnya (Marshall 1996).
• Masyarakat adalah kumpulan individu yang terikat oleh
atur-an tertentu atau sistem tingkah laku bersama yang
membe-dakan diri dengan kumpulan individu yang lain
(Zinsberg dalam Jha 2003).
Dari berbagai kutipan definisi tersebut diketahui bahwa
masyarakat meliputi cakupan yang luas dan abstrak.
Sebagai contoh adalah masyarakat Banten yang meliputi
seluruh kesatuan hidup manusia di Banten (baik di desa
maupun di kota) yang bersifat mantap dan yang terikat oleh
satuan adat-istiadat dan rasa identitas bersama. Jadi, wong
Banten disebut masyarakat Banten meskipun tidak tinggal
di wilayah Banten, jika ia berasal dari Banten dan masih
terikat dengan adat istiadat budaya Banten.
Jika masyarakat memiliki makna luas, makna yang ter-
batas ada pada istilah komunitas. Komunitas meliputi
seluruh kesatuan manusia yang menempati suatu wilayah
tertentu yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat-istiadat serta terikat oleh identitas komunitas
(Koentjaraningrat 1980; juga Jha 2003). Menurut MacIver
(dalam Jha 2003), terdapat dua dasar untuk menetapkan
komunitas, yaitu (a) lokalitas (geografi, bahasa, pakaian, ke-
biasaan makanan, dsb.), dan (b) sentimen-sentimen komu-
nitas (cara berpikir, alam pikiran, ideologi, aktivitas bersama,
dsb.). Jadi, bila masyarakat mengacu pada pengertian yang
luas mengenai kesatuan hidup manusia, abstrak dan umum,
7
maka komunitas menunjuk pada arti khusus dari kesatuan
tersebut. Kumpulan wong Banten sebagai warga suatu
kelompok kekerabatan tidak disebut masyarakat Banten
melainkan komunitas wong Banten.
Masyarakat sebagai kelompok yang lebih besar dikenal
sebagai suku dan ras. Terbentuknya ras, suku (etnik dan
sub etnik) tidak lepas dari persamaan warna kulit, bahasa
dan kebudayaan, serta wilayah. Misalnya, suku jawa ber-
bahasa jawa dan tinggal di pulau jawa. Suku sunda berbahasa
sunda dan tinggal di jawa bagian barat. Dan seterusnya.
Dalam Islam, masyarakat tidak dibentuk berdasarkan
wilayah dan ras tertentu. Islam mengakui keragaman suku,
adat istiadat, kebudayaan, dan bertempat tinggal di banyak
wilayah. Masyarakat Islam dibentuk atas dasar iman dan
pengabdian kepada Allah Ta’ala. Alat perekatnya adalah Al-
Kitab dan konstitusi di wilayah masing-masing. Masyarata
Islam adalah kumpulan warga yang sepakat menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan bersama, apa
pun ras dan suku bangsanya.
Dalam masyarakat Islam, Al-kitab menjadi konstitusi
yang berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur dan
mengendalikan kepentingan antar inidividu atau kelompok
yang tidak jarang menimbulkan konflik. Konflik diselesaikan
melalui musyawarah dan penegakan hukum berdasarkan Al-
Kitab, disertai semangat persaudaraan Islam (ukhuwwah
Islamiyah).
4. Bangsa
Ada beberapa pengertian tentang bangsa (nation) dan ke-
bangsaan yang berkembang. Menurut Hans Kohn (Kaelan,
2002: 213): bangsa terbentuk persamaan bahasa, ras, agama,
peradaban, wilayah, negara dan kewarganegaraan. Teori
Kohn ini nampaknya berdasarkan perkembangan pengertian
8
bangsa (nation) di Eropa Daratan (kontinental). Bangsa (na-
tion) di Eropa kontinental bangkit karena revolusi leksikografi,
bahwa bahasa milik pribadi-pribadi kelompok khas (Ander-
son, 2001: 126). Eropa (kontinental) dikuasai oleh dinasti
Habsburg di sebahagian Eropa Tengah dan Timur, dinasti
Romanov di Eropa Timur, Rusia dan Asia Barat hingga
Sibreria dan dinasti Usmaniah (Ottoman) di Balkan, sedang-
kan Eropa Barat dikuasai ex dinasti Bourbon. Bangsawan
(penguasa) lokal diharuskan mampu berbahasa Latin sebagai
bahasa resmi.
Persoalan timbul, bahwa yang mampu menguasai
bahasa resmi hanya sedikit. Ini dapat menyebabkan percetak-
an tidak dapat menerbitkan secara luas karya tulis dan
menimbulkan kerugian. Sebagai tindak lanjutnya penerbitan
lebih banyak menggunakan bahasa lokal agar masyarakat
yang mampu baca tulis lebih banyak, sehingga menimbul-
kan paham egaliterisme di kalangan masyarakat. Rupanya
faktor inilah menjadikan Hans Kohn membuat definisi seperti
ini. Bagi negara yang dikuasai ras lain, maka nasio-nalisme
tumbuh seperti teori dari Ernest Renan, yang pada hakekat-
nya juga merupakan pemberontakan terhadap penguasa
yang ingin memaksakan penggunaan bahasa dan budaya
penguasa. Oleh karena itu Ernest Renan (kini menjadi acuan
oleh para pemimpin nasional di dunia) menyatakan bahwa
bangsa bukan suatu ras, bukan orang-orang yang mem-
punyai kepentingan yang sama, bukan pula di-batasi oleh
batas-batas geografis atau batas alamiah. Nasion (bangsa)
adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu
solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan
yang telah lampau dan bersedia dibuat di masa yang akan
datang. Nasion tidak terkait oleh negara, karena negara ber-
dasarkan hukum. Wilayah dan ras bukan penyebab timbul-
nya bangsa.
9
Masyarakat yang membentuk bangsa meliputi berbagai
suku, adat istiadat, kebudayaan, agama serta berdiam di
suatu wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Selanjut-
nya, suatu bangsa mempunyai kepentingan yang sama
dengan individu, keluarga maupun masyarakat yaitu tetap
eksis dan sejahtera. Salah satu persoalan yang timbul dari
bangsa adalah ancaman disintegrasi. Oleh karena itu pada
bangsa yang baru merdeka diupayakan memiliki alat pe-
rekat yang berasal dari budaya masyarakat. Pada pengem-
bangannya alat perekat ini, dikenal sebagai ideologi yang
hendaknya dipahami oleh bangsa itu sendiri. Alat perekat
itu adalah Al-Kitab dan Konstitusi.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan men-
cegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudarat
kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan
saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah
mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah).
Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan. Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali
jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan
tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali
mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir
kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa
alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan melampaui batas. (Qs. Alu Imran
[2]: 110-112)
10
Bangsa yang beradab mencintai tanah airnya dalam
taman sari keluarga besar bangsa-bangsa. Nasionalisme di-
bingkai oleh dasar kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhan-
an Yang Maha Esa. Inilah visi kepeloporan masyarakat
Banten sebagai bangsa Indonesia, yakni: menjalankan politik
bebas aktif dalam rangka membebaskan dunia dari penjajahan
dan kemiskinan serta menciptakan kemakmuran universal dan
mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial.
11
Globalisasi membawa banyak pengaruh pada ke-
budayaan manusia dan bangsa di dunia. Globalisasi dalam
batasan tertentu tidak lagi mempersoalkan nasional-global,
tetapi menghadapkan dialektika kesadaran lokal-global.
Kebudayaan global telah menekan budaya lokal sampai ke
sudut yang paling sempit. Jadi terjadi perubahan pada
struktur dari lokal-nasional-global menjadi lokal-global.
Tarik menarik antara budaya lokal-global akan se-
imbang apabila, budaya lokal secara terus menerus diinter-
nalisasikan dalam keluarga dan pemerintah turun tangan
dengan modal dan teknologi sebagai sarana internalisasi ke-
arifan budaya lokal Banten. Pemahaman budaya lokal
kepada anak sejak dini, akan membentuk kepribadian nasional
yang kokoh, dan tangguh dalam terpaan budaya global.
12
BAB II
LATAR BUMI SUROSOWAN
A. Sejarah Politik
13
nya Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), ke Cirebon
dan Banten menaklukkan Kerajaan Pajajaran pada abad
XVI dan menduduki selat Sunda dan teluk Banten sebagai
cikal bakal Kerajaan Islam Banten.
Dalam perspektif ini, sejarah awal Banten dimulai dari
periode kesultanan, periode keresidenan, dan periode provinsi.
Periode kesultanan dimulai sejak Maulana Hasanudin yang
dikenal Panembahan Surosoan (1552-1570) hingga sultan
yang terakhir, yakni Sultan Muhammad Rafiudin (1813-
1820). Periode Keresidenan dimulai sejak keraton Surosoan
Banten hancur dibakar oleh Belanda hingga terbentuknya
Provinsi Banten pada era Reformasi, dengan ditetapkannya
Undang-undang Nomor 23 tahun 2000 pada tanggal 4
Oktober tahun 2000.
B. Kesultanan Banten
Kerajaan Islam Banten sejak peletakan batu pertama ke-
sultanan mengemban visi maritim yang kuat. Sultan Maulana
Hasanudin –putera Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati– secara cerdik memindahkan pusat pemerintahan dari
pedalaman Banten Girang ke pesisir. Di kawasan teluk
Banten, sultan membangun tiga institusi penting sebagai
motor perubahan sosial di Banten sejak tahun 1552. Ketiga
institusi itu adalah Masjid sebagai basis kegiatan sosial ke-
agamaan (termasuk kaderisasi kepemimpinan), Surosowan
sebagai pusat pemerintahan, dan pelabuhan sebagai sentra
ekonomi dan bisnis. Teluk Banten pun menggantikan posisi
Malaka sebagai bandar perdagangan internasional yang
secara politis mengalami kemunduran karena penguasaan
Portugis. Pelabuhan Banten digerakkan oleh transaksi expor
impor pelaku bisnis dari seluruh pelosok negeri, dari berbagai
latar belakang suku bangsa, budaya, dan agama.
14
Pada masa keemasan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa
mengembangkan konsep pembangunan kota pantai terpadu,
yang terhubung dengan kampung hijau berbasis pertanian.
Sultan Ageng Tirtayasa membangun saluran air multifungsi
dari Sungai Untung Jawa hingga ke Pontang. Saluran air
digunakan untuk irigasi, kemudahan transportasi orang dan
perdagangan, serta benteng pertahanan perang sepanjang
pesisir utara. Pembangunan irigasi berdampak pada ke-
majuan pertanian dan perdagangan hasil bumi serta pening-
katan kesejahteraan masyarakat Banten.
Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga membangun kota
metropolitan multietnik. Sultan memadukan bangunan
tradisional dan pengaruh asing (baca: wawasan internasio-
nal) secara kreatif dengan mengeksplorasi keunggulan lokal
berbasis sumber daya alam. Hal ini dapat dilihat pada pening-
galan bangunan purbakala seperti Masjid, keraton, benteng,
kanal, danau Tasikardi, pengindelan air bersih, balai per-
temuan (tiyamah), jembatan gantung, dermaga pelabuhan
dan temok kota. Visi Kota juga terlihat pada penataan ruang
yang dirancang berbasis keunggulan lokal dengan inti bisnis
yang unik. Satu kampung mencerminkan keunggulan bisnis
tertentu. Misalnya ditemukan nama perkampungan Ke-
pandaian (pusat kerajinan logam), Kamaranggen (pandai
keris), kagongan (pandai gong dan alat kesenian), Kamasan
(pandai emas dan perhiasan), dan seterusnya. Ide mem-
bangun desa berbasis keunggulan lokal, yang mengkom-
binasikan industri kreatif dan kekayaan sumber daya alam
merupakan pikiran cerdas dan modern.
Pilihan cerdas itu menjadikan Banten sebagai kerajaan
maritim tersohor sekaligus pusat perdagangan internasional.
Pelabuhan yang dilengkapi infrastruktur dan penataan kota
jasa di atas mampu menarik invesor dan Kapal Dagang dari
berbagai latar belakang kebangsaan, antara lain: Persia, Arab,
15
Eropa, Keling, Kola, Pegu, Cina, Melayu. Pada masa Sultan
Ageng Tirtayasa kegiatan ekspor-impor di Pelabuhan Banten
didominasi oleh Jepang (37%), Cina (33%), Indocina (10%),
Eropa (5%), dan sisanya sebesar 15% oleh pelaku bisnis lokal.
16
menaikkan bantuan keuangan kepada VOC dan memberikan
5 kapal tempur untuk kuasai Nusantara. Sampai 1617 VOC
memiliki + 40 kapal menghubungkan benteng-benteng VOC
yang berpusat di Jayakarta yang kemudian dinamakan
Batavia oleh Belanda. Pada tahun 1619 Batavia dibangun
sebagai Pusat Pengaturan Dagang VOC sekaligus Pusat
Pemerintahan Hindia Belanda oleh Jan Pie-terzoon Coen.
Belanda mengetahui kelemahan para penguasa yang ada
di Nusantara, bahwa sebenarnya mereka saling bersaing.
Belanda melancarkan politik “adu domba” dan “belah
bambu”, dan kemudian menguasai Jawa. Pada tahun 1684
Belanda menguasai pelabuhan Banten, menghancurkan
Surosoan pada tahun 1809 dan memindahkan pusat pemerin-
tahan ke Serang pada tahun 1832.
Pada tahun 1809, Belanda menyerang dan membakar
habis keraton Surosoan. Sultan Muhammad Syafiudin
ditangkap dan dibuang ke Ambon, sedangkan patihnya di-
hukum pancung. Kesultanan dilanjutkan oleh Sultan
Muhammad Rafiudin, dan Belanda terus melakukan
penyerbuan terhadap keraton hingga akhirnya kekuasaan
politik jatuh sepenuhnya dalam kendali Kolonial Belanda
pada tahun 1820. Banten yang berdaulat takluk menjadi
sebuah Keresidenan yang merupakan bagian dari negeri
jajahan Belanda, dalam kendali Gubernur Jendral Daendels.
Belanda menjajah dengan monopoli dagang, menguasai
elit dalam masyarakat feodal, mengangkat penguasa boneka,
hingga perbudakan manusia dengan kerja paksa (1830-1870).
Dalam bidang sosial budaya dan agama, kehadiran Eropa
menancapkan pengaruh dengan misi Gereja untuk melaku-
kan kristenisasi dengan mendirikan Sekolah Kristen dan
menjalankan program pelayanan amal.
Bentuk Keresidenan Banten terus berlaku pada masa
penjajahan Jepang. Ketika Jepang masuk ke Teluk Banten
17
(Bojonegara) pada tanggal 1 Maret 1942 dibawah pimpinan
Letnan Hitoshi Imamura. Pada masa penjajahan Jepang,
para Kyai di Banten aktif bergabung dalam sukarelawan
Deidanco, Sudanco, dan Heiho menjadi militer untuk
melawan tentara sekutu.
Kemudian, setelah Jepang kalah parang, Indonesia
Merdeka dan Belanda ingin kembali menjajah Indonesia, para
Kiyai memperkuat pemerintahan darurat pada tahun 1949
dengan mengisi kekosongan jabatan pemerintahan dan
militer. KH. Ahmad Khatib sebagai residen Banten, KH.
Syam’un [Pimpinan Perguruan Islam “Al-Khairiyah”
Citangkil Cilegon] sebagai Panglima Devisi Seribu merangkap
Bupati Kabupaten Serang, Kiyai Abdul Halim sebagai Bupati
Pandeglang, dan Kiyai Muhammad Hasan sebagai Bupati
Lebak.
Ketika masa pemerintahan darurat mengalami krisis
keuangan, Keresidenan Banten mencetak uang sendiri, yaitu
Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Banten disingkat
(ORIDAB) sebagai alat tukar pembayaran. Wong Banten
tidak telah menunjukkan komitmen untuk menjaga dan me-
rawat keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, dan ter-
pikir untuk memisahkan diri dari negara Indonesia, padahal
kesempatan untuk itu sangat besar.
18
Islam dan PKI yang menandai peralihan kekuasaan dari orde
lama ke orde baru, wacana provinsi Banten pun mandeg.
Perjuangan kembali dilanjutkan pada tahun 1967 dan masuk
dalam tahap legislasi melalui usul inisiatif anggota DPRGR
pada tanggal 24 Agustus 1970. Namun, proses ini kandas
karena tantangan dari Proinsi Jawa Barat.
Pada era Reformasi 1998, masyarakat Banten kembali
memperjuangkan perubahan status Keresidenan Banten
menjadi Provinsi yang meliputi Kabupaten Serang, Kabu-
paten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang,
dan Kota Tangerang. Akhirnya, Banten resmi menjadi
Provinsi dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 23
tahun 2000 pada tanggal 4 Oktober tahun 2000. Banten
menjadi provinsi hasil dari pemekaran atau pecahan dari
propinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2000, awal terbentuknya provinsi Banten,
golongan santri menyerukan ditegakkannya syari’at Islam.
Mereka ingin menisbatkan kata “Darussalam” pada nama
provinsi Banten. Namun, pada akhirnya, suara mayoritas
menetapkan “Iman Takwa” sebagai moto Banten. Imple-
mentasi “iman takwa” itu antara lain dengan menjadikan
Masjid sebagai point of development, ditandai dengan pem-
bangunan Masjid Raya Al-Bantani di Kawasan Pusat Peme-
rintahan Provinsi Banten.
19
20
BAB III
BUDAYA BERSENDIKAN
CAHAYA AGAMA
A. Manusia Berkebudayaan
21
Manusia ke mana sesudah mati (paran). Hasilnya berupa
norma-norma keagamaan dan kepercayaan.
Manusia dalam menciptakan kebudayaan, berbeda
dengan Tuhan mencipta alam dan isinya. Tuhan mencipta-
kan dari yang tidak ada, sedangkan manusia menciptakan
dari yang sudah ada. Manusia mencipta kebudayaan itu se-
sungguhnya meniru Karya Tuhan dengan mempelajari
hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada dirinya dan alam
sekitar, tempat manusia hidup. Kebudayaan sebagai ciptaan
manusia mempunyai wujud sebagai berikut:
1. Sistem religi,
2. Sistem dan organisasi sosial,
3. Sistem pengetahuan,
4. Bahasa,
5. Kesenian,
6. Sistem mata pencaharian hidup, dan
7. Sistem teknologi dan peralatan, misalnya: teknik per-
tamanan, teknik membuat alat pertanian, teknik per-
ikanan, teknik membuat alat perangkap ikan dan
sebagainya.
22
Namun ekspresi keagamaan kaum muslimin beraneka
ragam. Islam yang datang ke Banten dan Nusantara secara
umum adalah Islam bercorak fikih-sufistik yang dibawa oleh
pelancong sufi yang hidupnya dikhidmatkan untuk menyiar-
kan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Masyarakat Banten, pada umumnya mengaku diri
sebagai pengikut “ahlussunnah wal-jama’ah”. Ahlussunnah
wal-jama’ah secara harfiah berarti pengikut tradisi (sunnah)
Nabi dan konsensus (ijma’) ulama. Pengikut “ahlussunnah
wal-jama’ah” seringkali diidentifikasi sebagai suatu kelom-
pok besar dalam lingkungan umat Islam di seluruh dunia,
yaitu madzhab Sunni yang dibedakan dengan kelompok
Syi’ah. Pengikut “ahlussunnah wal-jama’ah” mendasarkan
seluruh pemahaman keagamaan mereka pada empat
sumber pokok, yakni al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Ahlussunnah wal-jama’ah membedakan dirinya dengan
kelompok “inkarussunnah” dan kelompok yang menolak
ijma’.
Paham “ahsunnah wal-jama’ah” di Tanah Jawa,
Banten, mempunyai arti yang lebih sempit, yakni paham
keagamaan yang diikuti dan diajarkan oleh para kyai.
Ahlussunnah wal-jama’ah (Zamakhsyari, 1994: 149) adalah
paham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut:
1. Dalam bidang fikih (hukum Islam), menganut ajaran-
ajaran dari salah satu madzhab empat: malikiyah,
hanafiyah, syafi’iyah, dan hanabilah. Dalam praktek,
para kiai penganut kuat madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam
Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-
Maturidi. Dalam kultur Pesantren aliran teologi yang
dikembangkan secara luas adalah Asy’ariyah.
3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran
Abu Qasim al-Junaidi.
23
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani mengaku diri
sebagai pengikut madzhab syafi’i dari segi pemahaman
fikih, pengikut Qadiriyah dari segi tarekat, dan pengikut
Asy’ariyah dalam teologi. Corak fiqih masyarakat Banten
adalah syafi’iyah, suatu madzhab yang dekat dengan imam
syi’ah dan gandrung pada tasawuf, sehingga wajar tradisi
Islam Banten sedikit banyak dipengaruhi oleh syi’ah. Tradisi
fiqh-sufistik masyarakat muslim Banten dan Banten ini ber-
sifat unik, karena telah beradaptasi dengan kultur tempatan
(lokal).
Sosialisasi pemahaman keagamaan (Islam) di Banten
secara tradisional tidak terbatas pada tradisi lisan, berupa
tradisi tatap muka di ruang kelas. Kaum muslimin di Banten
telah mempelajari ajaran Islam – akidah, praktik ritual dan
doa, tasawuf dan akhlak – dari kombinasi tradisi lisan yang
berubah, buku doa dan pengetahuan yang ditulis tangan
dengan bahasa arab-melayu-jawa, selain terbitan berbahasa
Arab. Oleh karena itu pemahaman ke-islama-an masyara-
kat Banten dapat dikenali lewat buku bacaan dan praktek
ritual yang mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
Paham teologi yang dianut masyarakat Banten, dapat
dikenali dari kitab-kitab yang diajarkan para kiai pesantren,
guru madrasah, dan ustadz majelis-majelis ta’lim. Kitab yang
diajarkan di Masjid, Pesantren dan Madrasah adalah antara
lain: Tijan Darari, Kifayatul-‘Awam, dan ‘Aqidatul-‘Awam.
Dalam kitab tersebut diajarkan mengenai lima puluh sifat
Allah, yang diklasifikasikan menjadi 20 sifat wajib bagi Al-
lah, 20 sifat yang mustahil bagi Allah dan 1 sifat wenang,
sebagai berikut:
24
41 Sifat Allah menurut paham Asy’ariyah
No 20 Sifat Wajib Allah 20 Sifat Mustahil Allah
1 Wujud ‘Adam
2 Qidam Huduts
3 Baqa Fana
4 Mukhalafatun lil Hawadits Mumatsalah lil Hawadits
5 Qiyamuhu bi nafsihi Ihtiyaju ilal Mahall
6 Wahdaniyat Muta’addud
7 Qudrat ‘Ajz
8 Iradat Karohah
9 ‘Ilm Jahl
10 Hayy Maut
11 Sama’ Shummum
12 Bashar ‘Umy
13 Kalam Bukm
14 Qadir ‘Ajiz
15 Murid Kariha
16 ‘Alim ‘Alim
17 Hayya Mayt
18 Sami’ Ashamma
19 Bashir A’ma
20 Mutakallim Abkam
Satu sifat Jaiz Allah: mengerjakan atau meinggalkan sesuatu yang
mungkin.
25
Selain membahas 41 sifat Allah di atas, kitab-kitab di-
maksud juga menjelaskan mengenai sifatsifat Rasulullah
saw., yang terdiri atas 4 sifat wajib bagi rasul Allah, 4 sifat
mustahil bagi rasul Allah, dan satu sifat mungkin.
26
seorang pemimpin harus memiliki keterampilan komunikasi
sosial, semangat konsientisasi dan empowering, serta men-
dorong partisipasi umat. Sedangkan fatonah berarti cerdas
dan berilmu yang cukup serta berhikmah. Pemimpin harus
memiliki visi stratejik, memiliki kompetensi dalam bidang
perumusan masalah dan pengambilan keputusan, peren-
canaan dan manajemen pengelolaan sumber daya dakwah
dan pengembangan masyarakat, memiliki kompetensi
dalam legislasi/ jurisprudensi dan mengenali karakteristik
lingkungan medan dakwah.
Pengenalan tentang sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Nabi
di atas dilakukan sejak dini melalui pendidikan informal di
keluarga, dalam masyarakat melalui Masjid dan terutama
lewat pendidikan Madrasah. Sifat-sifat di atas selalu “dilagu-
kan” anak-anak di Masjid menjelang shalat fardu (terutama
dhuhur, asar dan Magrib), baik sebelum maupun sesudah
dikumandangkannya panggilan adzan.
2. Tradisi Fikih
Madzhab fikih yang digunakan dalam praktik ibadah adalah
Syafi’i. Inilah pengakuan diri dara masyarakat Banten. Hal
ini dapat dilihat dari sajian materi yang tertuang dalam kitab
panduan praktik ritual yang ditulis dalam bahasa arab-jawa-
pegon, yakni: Taudhih al-Ahkam, Nukil, Bayan dan Perukun-
an. Dapat juga diketahui melalui corak kitab fikih yang
diajarkan di Pesantren dan Madrasah, seperti kitab Taqrib
wa al-Ghayah, Fath al-Qarib al-Mujib, dan Kifayat al-Akhyar.
Lima rukun Islam [kalimat syahat, shalat lima waktu,
puasa Ramadhan, zakat, dan Haji] diuraikan cara pelak-
sanaan (kayfiyat) masing-masing ibadah dengan terperinci.
Perhatian para kiai penyusun kitab dan guru ngaji pada rukun
dan syarat sah masing-masing demikian ketat. Mereka juga
menguraikan pahala secara relatif.
27
Praktik wudhu dan tayammum sebagai syarat sah shalat
diajarkan secra detil berdasarkan pemikiran syafi’i. Wanita
yang sedsng haid atau nifas bukan hanya dilarang shalat,
puasa, dan thawaf, juga dilarang membawa dan membaca
al-Qur’an, juga dilarang masuk masjid. Seseorang bersentuh-
an kulit lawan jenis yang bukan mahram dipandang batal
wudhu-nya. Shalat dan thawaf orang yang demikian ini tidak
sah. Tetapi belakangan, kaum muslimin yang berangkat haji,
menerima pindah madzhab (talfik) dengan alasan darurat.
Rukun shalat dihitung secara rinci berjumlah 18 elemen,
yakni niat, takbiratul ikhram, berdiri, membaca al-Fatihah
[termasuk didalamnya basmalah], ruku’, thuma’ninah, ‘itidal,
thuma’ninah, sujud, thuma’ninah, duduk di antara dua
sujud, thuma’ninah, duduk akhir, thuma’ninah, membaca
tasyahhud, membaca shalat kepada Nabi, dan salam. Rikun
shalat demikian ini sering “dinyanyikan” oleh anak-anak di
masjid.
Shalat Jum’at dilaksanakn minimal dengan jumlah 40
jamah, sedang khutbah menggunakan bahasa Arab. Ke-
harusan penggunaan bahasa arab dalam khutbah Jum’at
sesungguhnya bukanlah ide orisinal syafi’i, melainkan ide
Imam Ahmad bin Hambal. Syafi’i membuka peluang peng-
gunaan bahasa ‘ajam [bahasa daerah] dalam menyampai-
kan wasiat khutbah. Dalam perkembangan dewasa ini,
sebagai akitab pendidikan sekolah dan interaksi dengan ber-
bagai pandangan keislaman, khutbah dengan bahasa In-
donesia telah banyak dilakukan di masjid Provinsi, dan
sebahagian kecil masjid perkempungan.
Pelaksanaan puasa disambut dengan gegap gempita.
Pada pagi dini hari pengurus masjid membangunkan pen-
duduk untuk bersahur dengan membaca tarhim atau se-
kelompok pemuda menabuh pentongan berkeliling kam-
pung. Pada sore hari para pemuda membaca dalail al-
28
Khairat, lalu dilanjutkan dengan doa dan buka puasa
bersama di masjid yang dipimpin sesepuh/kiai, dengan
makanan yang dibawa dari rumah masing-masing oleh
anak-anak kecil. Pada malam hari melaksanan shalat
tarwih. Pelaksanaan shalat tarwih juga menjadi pusat per-
bincangan di kalangan masyarakat. Tradisi masyarakat
Provinsi Banten melaksanakan shalat tarwih 23 raka’at.
Tetapi sebagaian kecil yang lain, pada umumnya pendatang,
yang berdomisili di kompleks perumahan kawasan per-
Provinsian melaksanakan tarwih 11 rakaat. Pada hari ke-
15 (malam ke-16) dilaksanakan kunutan dengan simbol
ketupat belah dua. Lalu malam-malam ganjil setelah tanggal
20 dilaksanakan maleman dengan makanan khusus, untuk
mengharap lailatul qadar.
Zakat pitrah dilaksanakan oleh masyarakat pada hari-
hari akhir Ramadhan atau pada malam terakhir. Zakat
umumnya diberikan kepada kiai, ustadz, guru ngaji, dukun
paraji, yatim, fakir-miskin, masjid atau madrasah.
Ibadah haji ke Makkah sangat dihargai, tetapi hanya
sedikit Muslim yang dapat melaksanakannya. Orang yang
hendak menunaikan ibadah haji pada sebagian masyarakat,
terutam yang tinggal di pedesaan, mereka melakuakan
ziarah ke kuburan wali dan leluhur serta keliling senak
keluarga dan kerabat yang masih hidup, serta tetangga dekat
untuk meminta maaf. Pada perkembangan terakhir – sekitar
tahun 1990-an sebagian besar dari mereka “mengganti”
tradisi berkunjung kelililng sanak keluarga dengan “meng-
undang” sanak keluarga dalam upacara walimatus-safar lil
hajj di rumah calon jamaah haji. Dalam kehidupan tradisio-
nal masyarakat Banten – pada sebahagian masyarakat
Provinsi sudah mulai memudar – orang yang berangkat
haji menempati posisi (status) sosial yang tinggi dan gelar
“al-Hajj” menandai pengakuan religius setempat.
29
3. Tradisi Islam Dalam Konteks Budaya Lokal
Tradisi Islam di Banten pada umumnya lahir dari gerakan
tarekat yang dipelopori Syeikh Yusuf (1626-1699). Syekh
Yusuf adalah salah seorang mufti kerajaan Banten asal
Makasar yang berpengaruh di kalangan rakyat semasa Sul-
tan Ageng Tirtayasa. Selain dari segi tarekat, tradisi ke-
agamaan masyarakat Banten dapat dilihat dari ritual kalender
Islam berupa perayaan hari-hari besar Islam dan ritual siklus
kehidupan induvidu muslim dalam masyarakat. Siklus
kalender Islam dapat dipaparkan demikian.
No Tanggal Peristiwa
1 1 Muharam Tahun Baru Islam
2 10 Muharam Peristiwa Syahidnya Husain di Karbala
3 ? Safar Rebo Wekasan/ Tolak Bala’, konon
berkaitan dengan Banjir Nuh
4 12 Rabi’ul Awal Kelahiran (maulud) Nabi Muhammad
5 ? Rabi’uts Tsani Penghormatan kepada Fatimah az-
Zahrah, puteri Nabi
6 27 Rajab Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
7 15 Sya’ban Rowahan/nisfu sua’ban
8 17 Ramadhan Nuzul al-Qur’an
9 Likuran ganjil Ramadhan Maleman, mengarap memperoleh
kemuliaan lailatul Qadar.
10 1 Syawal ‘Iedul Fitri
11 7 Syawal Slamatan Pitrah
12 10 Dzul Hijjah ‘Iedul Adha
30
kan jenazah Imam Husein yang tewas di Karbala akibat
keganasan dan kezaliman tentara Yazid Ibn Mu’awiyah.
Maulid nabi merupakan perayaan untuk memperingati
kelahiran nabi Muhammad saw pada tanggal 12 Rabi’ul
Awwal. Tradisi ini konon diperkenalkan pada zaman Sul-
tan Salahudun Al-Ayyubi dalam rangka memperkuat
semangat dan persatuan Islam yang terkoyak tentara salib
dari Eropa. Pada tradisi Mulid, zikir mulud karya Baranji
dilantunkan untuk memuji dan mengagungkan nabi. Dalam
perayaan itu disediakan sedekahan berupa makanan pakaian
dan lain-lain yang disebut panjang mulud. Dalam peristiwa
maulid nabi ini terkadang diikuti oleh cerita legenda dan
mitologi tertentu yang sering menjadi unsur “pemujaan”
dalam tradisi Islam. Dengan demikian persepsi maulid nabi
“menyerupai” natal dalam pikiran kristen tentang Yesus. Oleh
karena itu kelompok generasi baru – sering diidentifikasi
sebagai Muhammadiyah dan Wahabi– mengikuti pandang-
an teolog Ibn Taimiyah (w. 1328) mengutuk seluruh peraya-
an maulid nabi sebagai bid’ah. Namun banyak teolog lain
menjadikan perayaan maulud sebagai bid’ah hasanah karena
perayaan ini meningkatkan penghormatan kepada nabi.
Selain maulid nabi, diselengarakan perayaan mulud
Fatimah pada setiap bulan Rabi’ al-Tsani (Ba’de Mulud),
yang dinisbatkan pada putri Abdul Qadir Jailani Jika
peringatan maulid nabi dilaksanakan di Masjid oleh jamaah
laki-laki, sebaliknya mulud Fatimah dilaksanakan oleh kaum
hawa di langgar-langgar.
Kemudian juga tradisi ziarah kubur. Ziarah ke makam
wali merupakan salah satu tradisi yang paling umum di
kalangan umat Islam Banten pada hari-hari lebaran, baik
‘iedul Fitri pada bulan Syawal maupun ‘iedul Adha pada
bulan Dzulhijjah, serta hari pada bulan-bulan tertentu,
seperti bulan Muharam, Safar, Rabi’ul Awwal, dan akhir
31
Sya’ban. Tidak jarang ziarah menjadi media untuk melaku-
kan berbagai permintaan, mulai dari hasrat untuk menge-
tahui hal-hal mistis hingga masalah kehidupan dunia sehari-
hari.
Ritual (selametan) siklus kehidupan dilaksanakan oleh
kamunitas muslim Banten mulai rujakan pada wanita hamil
dengan menyediakan makanan ritual dan membagi-bagikan
makanan yang diberkati dengan doa dan bacaan al-Qur’an
surat Maryam dan surat Yusuf; dirayakan ritual kelahiran,
ritual pemberian nama (‘aqiqah), khitan dengan khataman
al-Qur’an, merayakan akil balig seseorang atau melangsung-
kan pernikahan, dan ritual kematian.
Ritual kematian dalam tradisi sebagian besar umat Is-
lam di Banten mengintegrasikan adat lokal yang sangat di-
warnai dengan penghormatan pada leluhur dengan ritual
penyelenggaran janazah dalam Islam. Janazah dimandikan,
dishalatkan, dikafani dan dikuburkan. Setelah itu, seorang
Kyai memcakan talkin. Sebagian pengiring meninggalkan
kuburan, tetapi sebagian kecil yang lain mengaji (membaca
al-Qur’an) di pemakaman, ada yang tujuh hari atau sampai
empat puluh hari. Dilaksanakn pula tahlilan hari kesatu
sampai hari ketujuah atau keempatpuluh setelah kematian
seseorang, dan juga haul (ulang tahun kematian).
Demikian tradisi Islam yang berkembang di Banten.
Hampir semua dimensi kehidupan masyarakat terkait lang-
sung dengan pribumisasi ritual agama Islam. Misalnya pada
saat musim panen dilaksanakan ritual mace syeikh. Ruatan
rumah baru dan lain-lain diselenggarakan perayaan sebagai
tanda syukur.
32
itu, pengaruh Cina pada masa Dinasti Ming sangat besar.
Orang-orang Cina sudah mulai bermukim dan membuat
kompleks khusus Cina yang dikenal dengan Kampung Pe-
cinan (kampung ini sekarang seiring kemerosotan Kerajaan
Islam Banten sudah ditinggalkan orang Cina dan diisi oleh
orang Indramayu sehinggal dikenal dengan kampung
Dermayon). Kehadiran bangsa Cina mememiliki peran
penting dalam bidang perdagangan dan pengembangan
industri hasil pertanian dan perikanan. Bangsa Cina berhasil
mengubah cara kerja “petik-jual” menjadi “petik-olah-jual”,
sehingga hasil-hasil pertanian pribumi memiliki nilai tambah
bagi masyarakat.
Dalam bidang sosial budaya dan agama, pengaruh
kehadiran Cina terlihat dengan berdirinya kelenteng dan
kontribusi keturunan Cina dalam penyebaran agama Islam.
Di awal berdirinya kerajaan Banten, di Kampung Pecinan
dibangun Masjid Pecinan dan Kelenteng Cina secara
harmonis. Kelenteng Cina itu dikenal dengan nama Vihara
Avalokitesvara. Ceritanya Kelenteng dibangun sekitar abad
ke-16, oleh istri Sunan Gunung Jati yang merupakan ke-
turunan Tionghoa bernama Ong Tien Nio. Klenteng Avalo-
kitesvara merupakan salah satu vihara tertua di Indonesia,
di dalamnya terdapat patung Dewi Kwan Im peninggalan
pada masa Kaisar China Dynasti Ming. Awalnya lokasi vihara
ada di Desa Pecinan – sekarang dikenal dengan Dermayon,
namun dipindahkan pada 1774 ke lokasi yang sekarang di di
Kampung Kasunyatan, Desa Banten Kasemen, Kota Serang,
lokasinya berdekatan dengan Benteng Spelweijk. Vihara ini
disebut juga Klenteng Tri Darma, karena vihara ini melayani
tiga kepercayaan umat sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme,
dan Buddha.
33
Selain Islam, berkembang agama Katolik dan Protestan.
Kedatangan Gereja Katolik di Banten sekitar bulan Juni
1642. Gereja Katolik di wilayah Banten itu terbagi dua yaitu
Gereja Kristus Raja di Serang dan Gereja Santa Maria Tak
Bernoda di Rangkasbitung masuk ke wilayah Keuskupan
Agung Bogor. Sedangkan 11 Gereja di Tangerang Raya
masuk ke wilayah Keusukupan Agung Jakarta. Gereja Katolik
mengalami kemajuan pada zaman pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa dan sudah banyak orang Katolik tinggal di
daerah Banten. Mereka adalah orang Eropa, India, Cina,
Maluku, Filipina bahkan sudah ada pastor-pastor dari
Konggregasi MEP daro Perancis.
Pada Tahun 1672, VOC menaklukan Banten. Sultan
Ageng Tirtayasa ditangkap, orang-orang asing non-Belanda
diusir dan agama Katolik dimusuhi, karena terafiliasi dengan
Portugis. Akhirnya bibit Katolik satu per satu lenyap dan
baru muncul lagi ketika kebebasan beragama dicanangkan
oleh Gubernur Jendral Daendels.
Gerakan penginjilan dan penyiaran agama Kristen
Protestan di Banten dilakukan langsung oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Dalam perjalanan berikutnya, pengabaran
injil dilakukan dengan menyiapkan pemuda pribumi, ter-
utama dari suku Batak. Dalam posisi ini tidak lah meng-
herankan jika wong Banten selalu menghubungkan agama
Kristen dengan penjajah Belanda dan tidak pula mengheran-
34
kan jika rumah ibadah yang berada di tengah-tengah pusat
Kota Serang, bukan Masjid, melainkan Gereja HKBP (Huria
Kristen Batak Protestan).
35
kepercayaan itu tidak hilang begitu saja melainkan berinter-
aksi dengan agama-agama penda-tang tersebut.
Implikasi dari masyarakat plural ialah beragamnya
sistem budaya dalam masyarakat itu, meliputi kepercayaan,
nilai-nilai, dan norma-norma untuk mengatur hubungan
sosial dalam masyarakat. Sistem budaya itu hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai hal-
hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh
karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia dalam kehidup-
an sosialnya.
Secara garis besar terdapat empat macam sistem budaya
di Banten yang jelas berbeda satu sama lain. Masing-masing
sistem budaya ini praktis mengatur seluruh aspek kehidupan
orang-orang yang dianggap, atau yang lebih penting lagi
menganggap dirinya sendiri, sebagai pemilik sistem itu.
Pertama adalah sistem budaya dari berbagai kelompok
etnik. Masing-masing kelompok etnik itu beranggapan bahwa
kebudayaan mereka diwariskan secara turun-temurun dari
nenek moyang yang hidup di “zaman dongeng.” Masing-
masing budaya kelompok etnik itu mempunyai tanah asal,
wilayah tempat para nenek moyang pertama kali menetap,
asal dari masyarakat etnik yang kemudian makin meluas.
Sistem budaya ini biasanya disebut sebagai sistem adat atau
adat. Sistem budaya etnik diungkapkan dengan bahasa
daerah. Dalam hal ini, bahasa daerah yang berkembang di
Banten adalah bahasa Sunda, Jawa, Bugis, dan lainnya sesuai
asal usul mereka.
Kedua, sistem budaya yang terdiri dari sistem-sistem
budaya agama besar, Islam, Kristen, Hindu-Budha, dan
Konghucu. Seiring dengan perkembangan waktu, berbagai
kelompok etnik beralih atau menyesuaikan diri kepada
agama-agama khususnya Islam. Masing-masing agama di
36
dunia menyatakan dirinya mempunyai kewajiban moral
untuk mengatur semua aspek kehidupan, setidak-tidaknya
kehidupan masyarakat penganut agama itu. Dalam sistem
budaya agama Islam digunakan bahasa Arab dan huruf Arab
pegon sebagai ungkapan komunikasi keagamaan; demikian
juga sistem budaya agama Katolik berkaitan dengan Roma,
sistem budaya agama Protestan berhubungan dengan
negara-negara Protestan di Barat, dan sistem budaya Hindu
dan Budha berasosiasi dengan India.
Ketiga, sistem budaya nasional, yang berfungsi meng-
integrasikan masyarakat Banten dalam konteks negara
bangsa Indonesia. Semua penduduk pribumi dan nonpribumi
dapat dianggap sebagai anggota sistem budaya ini. Sistem
budaya Indonesia digali dari sumber agama dan kearifan
budaya etnik, kemudian nilai-nilai dasarnya dirumuskan
menjadi ideologi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Kesatuaan Republik Indonesia. Sistem budaya
nasional diungkapkan dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan.
Keempat adalah sistem budaya yang terdiri dari sistem-
sistem budaya asing. Sistem budaya asing hadir sebagai
konsekwensi dari pergaulan bersama bangsa-bangsa lain di
dunia, baik dari Eropa, Amerika maupun dari Asia seperti
India, Cina dan Jepang. Bagaimanapun, sistem-sistem
budaya itu tetap dikenal sebagai sistem-sistem budaya asing
dan kemungkinan besar akan tetap begitu. Demikian pula
sebagian besar unsur-unsurnya akan tetap dianggap asing
sehingga ada yang mengalami kesulitan untuk berkembang.
Namun ada pula unsur sistem budaya itu yang telah menjadi
bagian dari sistem budaya nasional, misalnya pengetahuan
ilmiah, teknologi, sistem ekonomi dan sistem politik. Meski-
pun berasal dari sistem budaya asing, unsur-unsur budaya
tersebut telah dimasukkan menjadi bagian dari sistem
37
budaya nasional atau setidak-tidaknya dianggap begitu.
Masalah kritikal yang dihadapi oleh masyarakat maje-
muk ialah bagaimana mengintegrasikan keempat sistem
budaya di atas dalam suatu keseimbangan. Usaha ini dilaku-
kan dengan mengembangkan semboyan “Bhineka Tunggal
Ika”. Semboyan itu telah melekat dalam pandangan masyara-
kat Indonesia yang diwujudkan dalam keinginan kuat untuk
menjaga persatuan di antara perbedaan yang ada dalam
masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat Banten kesadaran
multikultural dari beragam agama besar dalam suatu masya-
rakat plural tercermin dalam kegiatan kesenian. Banten
memilik kesenian yang berasal dari unsur budaya etnik dan
agama yang menggambarkan kesatuan dalam keragaman,
antara lain:
1. Angklung buhun
2. Angklung gubrag
3. Bendrong lesung
4. Debus
5. Kendang
6. Dogdog Lojor
7. Dzikir Saman
8. Dzikir Mulud
9. Ya Lail
10.Kesenian Buaya Putih
11. Pantun Bambu
12. Terbang Gede
13. Rampak Bedug
38
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, peng-
utamaan kepentingan nasional tersebut tidak oleh terjebak
pada upaya untuk menyeragamkan aspek-aspek kehidupan
masyarakat, yang pada akhirnya memarginalkan unsur
agama dan etnik.
Maka dari itu, timbul pertanyaan apa yang seharusnya
disikapi dan dilakukan oleh masyarakat majemuk dan pe-
merintah secara bersama-sama. Pertama, tetap meneguh-
kan komitmen untuk menjaga kemajemukan masyarakat
sebagai kenyataan obyektif (dengan kata lain) memelihara
integrasi dalam perbedaan. Kedua, memaknai perbedaan
dalam sistem-sistem budaya di Banten dan Indonesia tidak
dalam artian diskriminatif (mayoritas dan minoritas), domi-
nan dan sub-dominan, asli dan pendatang, dan seterusnya.
Ketiga, sejalan dengan itu, penekanan keanekaragaman suku
bangsa dan kebudayaannya diarahkan pada keragam-an
yang bersifat setara.
39
40
BAB IV
KEARIFAN SOSIAL POLITIK BANTEN
A. Kota Banten
41
digerakkan oleh transaksi expor impor pelaku bisnis dari
seluruh pelosok negeri, dari berbagai latar belakang suku
bangsa, budaya, dan agama.
Ketika Pelabuhan dikuasai Belanda pada tahun 1684,
Surosoan dihancurkan pada tahun 1809 dan pusat peme-
rintahan dipindahkan oleh Belanda ke Serang pada tahun
1832, Masjidlah benteng pertahanan terakhir umat Islam
yang diharapkan mampu membela hak rakyat. Masjid men-
jadi simbol kekuatan perlawanan. Masjid bukan sekedar pra-
nata agama, melainkan berperan sebagai kekuatan revo-
lusioner untuk memimpin gerakan sosial melawan penjajah
Belanda. Dari Masjid yang tersebar di seluruh kampung, di
wilayah Banten, para Kiyai membina kader untuk pengada-
an satuan-satuan laskar pejuang kemerdekaan, yang rindu
syahid. Para ulama berhasil memanfaatkan semua potensi
sumber daya umat, termasuk kekuatan Jawara, dengan
memposisikan Jawara sebagai subordinat (pengawal gerilya)
ulama (kiyai) dalam usaha membebaskan negara dari segala
penjajahan, menegakkan kebenaran, keadilan, dan etika
kesusilaan Islam.
Masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi
pembentukan masyarakat Islam di Banten. Melalui Masjid,
para Kiyai membangun pranata sosial berdasarkan kesatuan
iman, semangat jihad, dan supremasi syari’ah. Pada masa
penjajahan dan revolusi fisik, Kiyai membentuk kader milit-
an untuk berperan dalam pergerakan politik dan pembebas-
an. Kiyai tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama,
tetapi juga pimpinan pergerakan sosial, dan tumpuan harap-
an masyarakat dalam berbagai urusan duniawi. Kiyai tidak
jarang ikut menangani bidang pertanian, perdagangan, ke-
sehatan, dan ketertiban masyarakat. Tidak heran, jika kiyai
juga dikenal sebagai ahli pengobatan (tabib) dan ilmu ke-
kebalan [yang lazim disebut ilmu batin] serta bela diri.
42
Kedudukan Masjid dalam masyarakat Islam sangat isti-
mewa. Dalam buku “Masjid Puasat Ibadat dan Kebudayaan
Islam”, Gazalba (1989: 321) melukiskan relevansi sosial
Masjid dalam pembentukan kebudayaan sebagai berikut:
“Apabila orang Islam tidak lagi datang atau sedikit sekali
yang berkunjung untuk shalat lima waktu sehari ke
Masjid, lahirlah akibat sosial yang parah sekali dalam
tubuh masyarakat. telah diuraikan betapa dalam masjid
ditumbuhkan ikatan sosial Muslim, bahwa yang
membentuk sosial Muslim itu ialah Masjid. Apabila
ikatan sosial tidak tumbuh dan masjid tidak lagi mem-
bentuk kesatuan sosial, sampailah kita pada situasi di
mana kita memang mendapat orang-orang Islam
dalam masyarakat, tapi mereka terpecah dan berpecah,
berderai sebagai pasir di pantai. Secara individual
mungkin mereka masih Islam, tapi secara masyarakat
belum tentu. Mereka tidak membentuk Masyarakat
Muslim, tetapi kesatuan sosial lain yang sifatnya lain
pula. Kesatuan sosial ini yang memakai norma-norma
yang lain dari Islam, tidak lagi mengambil Masjid
sebagai pusat, tetapi lembagai sosial lain... Karena
orang-orang Islam memakai norma-norma sosial
bukan Islam, masyarakatnya pun bukan Islam. Masya-
rakat adalah wadah kebudayaan. Apabila wadah itu
Islam, kebudayaannya akan Islam pula. Sekarang kita
menghadapi kenyataan bahwa wadah itu tidak lagi Is-
lam. Karena itu kita berada dalam situasi, masyarakat
yang berdiri dari orang-orang Islam tidak memiliki
Kebudayaan Islam.”
43
yang mahal, namun digunakan hanya untuk kegiatan ritual
saja. Kenyataan underemployed masjid ini merupakan
pengaruh sekularisme yang dihembuskan oleh beberapa
pihak tertentu untuk membuat dikotomi dalam Islam. Me-
misahkan urusan dunia (mu’amalat) dengan urusan akhirat
(ibadah). Akibatnya, masjid hanya dianggap sebagai tempat
shalat dan pengajian. Muncullah balai desa untuk tempat
musyawarah, hotel dan ruang pertemuan lainnya untuk
pesta pernikahan, khitanan, dan lain-lain, sehingga bangun-
an masjid yang sebenarnya dapat digunakan untuk tujuan
itu, undetilitized dan menghabiskan sumberdaya yang besar.
Masjid tidak menjadi pusat serbaguna; tidak menjadi pusat
kegiatan ummat.
Seiring dengan menguatnya kesadaran keberagamaan
umat Islam, opini umat tentang dikotomi Islam mulai pudar,
sehingga berkembang anggapan bahwa urusan dunia dan
akhirat adalah sejalan dan paralel. Masjid pun berkembang
bukan hanya sebagai tempat sujud, tetapi sudah lebih luas
menjadi pusat kemasyarakatan, perpustakaan, pendidikan
berjenjang dan sebagainya. Dengan demikian, Masjid harus
dikelola sedemikian rupa sehingga investasi yang demikian
besar, asset dan potemsi umat yang dihimpun oleh masjid
dapat berdampak luas dan memberi manfaat yang sebesar-
besarnya kepada umat yang terus dilanda kelemahan, ke-
miskinan dan kebodohan.
Dalam tradisi Islam di Banten, dikenal beberapa tipe
masjid, yakni: Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar,
Masjid Jami’, Langgar, dan Mushalla. Sebutan Masjid Raya
Al-Bantani ada di pusat pemerintahan Provinsi, Masjid Agung
ada di pusat kabupaten/kota yang digunakan sebagai tempat
shalat jum’at, seperti Masjid Ats-Taurah Serang, Masjid
Banten Lama, Masjid Nurul Ikhlas Cilegon, Masjid Al-Hadid,
dan Masjid as-Salam PT. KS. Masjid besar berada di pusat
44
kota Kecamatan. Masjid Jami’ berada di tingkat desa atau
kelurahan. Pengurus Masjid Raya, Masjid Agung, dan Masjid
Besar secara umum ditunjuk oleh institusi formal. Misalnya
Masjid Raya Al-Bantani dibangun oleh pemerintah; kepe-
ngurusan dan pendanaan juga ada dalam kontrol Pemerintah
Provinsi. Sedangkan Masjid Jami’ berbasis komunitas;
jama’ahnya bermukim di sekitar Masjid, dan kepengurusan
dipilih oleh dan dari masyarakat.
Sebutan Langgar merujuk pada masjid di desa yang di-
gunakan sebagai tempat shalat harian, selain jum’at. Dikenal
juga Langgar Wadon yang digunakan untuk shalat lima
waktu dan pengajian khusus bagi kuam hawa. Sedangkan
Mushalla ukurannya lebih kecil dari langgar dibangun di luar
pemukiman untuk kepentingan shalat sewaktu-waktu, misal-
nya di pertokoan, perkantoran atau rumah pribadi.
Selain itu, terdapat beberapa tipe Masjid, seperti Masjid
kampus, Masjid Kontor, Masjid organisasi, dan Masjid Industri.
Dalam sejarah Banten, Masjid menjelma menjadi sistem
pendidikan berbasis Masjid, sebagaimana dapat dilihat dalam
sejarah Kasunyatan dan pendirian pesantren di sekitar Masjid
Banten Lama, pendirian Madrasah Al-Khairiyah Cilegon, dan
lainnya. Al-Khairiyah Cilegon berkembang dari Masjid,
menjadi madrasah (sekolah Islam), kemudian menjelma
menjadi Pesantren Modern. Kegiatan pendidikan anak ber-
mula dari pengajian al-Qur’an tingkat dasar di rumah Guru
Ngaji. Kemudian melanjutkan pelajaran pada tingkat kedua
untuk ngaji kitab. Aktivitas ngaji kitab dimaksud berupa
membaca dan menerjemahkan kitab-kitab kuning yang ele-
menter yang ditulis dalam bahasa Arab. Pada tahap berikut-
nya, Kiyai bersama rakyat membangun masjid (langgar) di
dekat rumah kiyai. Di masjid (langgar) itu para santri dibiasa-
kan sikap disiplin dalam mengerjakan kewajiban shalat lima
waktu dan kewajiban agama yang lain. Di masjid (langgar)
45
itu para santri dengan bimbingan Kiyai memperdalam bahasa
Arab sebagai alat untuk dapat memperdalam kitab-kitab
Islam klasik; mulai yang bersifat dasar, menengah, sampai
mahir, dalam beragam disiplin ilmu, baik fiqh, ushul fiqh,
tafsir, hadits, adab, tarikh, tauhid, akhlak dan tasawuf.
B. Stratifikasi Sosial
1. Kiyai
Tatanan masyarakat Banten secara sosio-historis identik
dengan Islam. Warga Banten dikenal taat dalam melaksana-
kan berbagai kewajiban syari’at, sehingga diasosiasikan
secara dekat dengan militansi Islam (Bruinessen, 1999:
248). Hal ini tidak lepas dari pengaruh kiyai (ulama) yang
menyatu bersama rakyat, tidak saja di bidang keagamaan,
tetapi juga dalam bidang politik [pemerintahan] dan ke-
masyarakatan. Kiyai menempati kedudukan yang istimewa
di hati rakyat dan dalam strukur pemerintahan sebagai qodhi,
yakni hakim agung sekaligus penasehat sultan.
Dalam catatan sejarah, para kiyai (ulama) beserta santri
dan rakyat menentang penindasan kolonial Belanda yang
telah merampas hak-hak rakyat, dan mengubah sepihak
tatanan politik yang mengarah pada keuntungan penjajah.
Kiyai (ulama) bersama laskar santri merupakan pembela
rakyat, terutama kaum petani, dan bercita-cita mengembali-
kan kejayaan negara dengan didasarkan pada nilai-nilai
Islam, kemanusiaan, keadilan, dan keadaban (Michrob, 1993:
194).
Pada masa Orde Baru, seiring perubahan kebijakan
pemerintah yang menekankan pada stabilitas (politik)
nasional, pembangunan ekonomi, dan pemerataan, peran
kiyai (ulama) pun “menyusut” (Steenbrink, 1994: 103), cen-
derung hanya menangani urusan agama [ritual] saja (Taba,
1993: 271). Peran Masjid pun mulai terkonsentrasi pada
46
kegiatan peribadatan dan tradisi yang formalistik. Meskipun
demikian, posisi Kiyai di hati masyarakat tetap memiliki ke-
dudukan istimewa. Hal ini terlihat pada konnfigurasi duduk
peserta majelis taklim dan rangkaian kegiatan tabligh (au-
ditorial) yang digambarkan Fadlullah (2005: 166) sebagai
berikut:
“Kiyai/Ustadz duduk di pilar masjid dekat tempat imam
atau mimbar khutbah di atas permadani, sementara
para santri di depannya membentuk barisan (shaf)
mengikuti bentuk (dinding) masjid. Santri yang penge-
tahuannya lebih tinggi atau memiliki pengaruh dalam
masyarakat pada umumnya duduk lebih dekat dengan
Kiyai/Ustadz, di barisan depan atau di samping Kiyai/
Ustadz, sedang Santri yang level pengetahuannya lebih
rendah dengan sendirinya akan duduk sedikit lebih jauh.
Kiyai/Ustadz membuka pengajian dengan doa singkat,
lalu mengemukakan semacam komentar umum ten-
tang topik bahasan sembil menghubungkannya dengan
topik yang dibahas sebelumnya. Kiyai/Ustadz membaca
teks kitab yang menjadi acuan (bergantung pada bidang
kajian). Peserta majelis taklim pada umunya hanya
mustami’ (pendengar aktif), dan hanya sebagian kecil
yang turut serta membaca dan menerjemahkan kitab.
Dikte (imla’) memainkan peran penting. Kemudian
Kiyai/Ustadz memberi uraian tentang materi yang
didiktekan. Uraian ini disesuaikan dengan tingkat ke-
mampuan umum dari para Santri yang bersangkutan.
Menjelang akhir, waktu akan dimanfaatkan untuk
tanya jawab. Santri didorong untuk bertanya, dan para
Santri memanfaatkannya untuk meminta Kiyai/Ustadz
mengeluarkan fatwa (ifta’) tentang suatu masalah yang
berkembang dalam masyarakat.
47
Kuntowijoyo (1994: 132) menggambarkan kondisi Masjid
saat itu seperti stanplat bus. Jika orang ke stanplat bus, dia
akan menganggap selesai kalau tujuannya telah selesai.
Masuk Masjid, sholat, duduk sebentar, lalu pulang; tanpa
pernah berbicara, apalagi kenal, dengan orang di sampingnya.
Namun demikian, bagi ummat Muslimin, Masjid tetap
merupakan basis perjuangan, gerakan dakwah dan pendidik-
an yang paling konsisten dan populer sampai saat ini.
Pada tahun 1998, dimulai Orde Reformasi yang men-
janjikan kebebasan. Peran kiyai kembali menggeliat pada
wilayah dakwah yang lebih luas, bukan hanya ritual ke-
agamaan, melainkan juga ranah politik. Berbagai komunitas
masyarakat Banten bergerak memperjuangkan pembentu-
kan provinsi. Dan pada Oktober tahun 2000 terbentuklah
provinsi Banten dengan ditetapkannya Undang-undang
Nomor 23 tahun 2000.
2. Santri
Santri adalah kaum terpelajar yang memperoleh pendidikan
agama secara mendalam dari Kiyai dalam sistem pendidikan
Masjid atau Pesantren. Dalam sistem pendidikan masjid
pengajian dilaksanakan pada pagi hari sesudah shalat subuh;
pada waktu duha sampai menjelang dzuhur; dan ada pula
yang dilaksanakan pada malam hari sesudah shalat Isya’.
Pendidikan di Masjid atau Langgar untuk anak usia dini
berlangsung pada pagi hari sesudah Subuh, sesudah ‘Ashar,
dan menjelang Maghrib. Pada siang hari, para santri melak-
sanakan berbagai kegiatan pendidikan di Sekolah atau (bagi
yang tidak bersekolah) melaksanakan kegiatan usaha, seperti
bertani, berkebun, melaut, dan lain sebagainya. Nilai pen-
didikan anak usia dini di Masjid juga dapat kita jumpai dalam
kegiatan senandung jelang azan, keterlibatan dalam kegiatan
marhaba, ngeriung, selametan, dan seterusnya.
48
Kegiatan pendidikan Masjid memadukan tiga unsur
pendidikan, yakni: (1) ibadah untuk menanamkan iman, (2)
tablig untuk menyebarkan ilmu, dan (3) amal untuk me-
wujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-
hari. Semua materi pengajian bersifat aplikatif yang dituntut
pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pe-
nekanannya bukanlah pada banyaknya materi atau ke-
mampuan santri dalam memahami isinya, melainkan pada
penerapan dalam kehidupan nyata.
Selesai mengikuti sistem pendidikan Masjid – pada
umumnya – santri melanjutkan ke sistem Pesantren. Pada
jenjang awal, santri belajar agama tidak untuk menjadi
ulama, melainkan bagaimana menjadi orang yang baik.
Pesantren dengan lingkungannya yang khas mengajarkan
disiplin dalam menegakkan shalat dan pelaksanaan kewajib-
an Islam lainnya. Pendidikan Pesantren mengatur jadwal
belajar mereka berdasarkan siklus waktu shalat, seperti ba’da
dzuhur, qabla magrib dan seterusnya. Karel A. Stenbrink
(1994: 16) melukiskan:
“...Tidak ada tempat lain di mana shalat didirikan dengan
taat seperti di sana. Pada siang hari, di mana-mana or-
ang dapat mendengar para santri membaca al-Qur’an
dengan lagu yang indah, memperbaiki bacaan dengan
tajwid yang benar, atau hanya untuk mengharap
pahala dari membaca al-Qur’an. Pada malam hari juga
dapat dijumpai suasana orang membaca al-Qur’an,
melagukan kalam ilahi, dan mendirikan shalat di
tengah keheningan malam.”
49
dan (3) kaderisasi ulama. Para Santri didik menjadi intelek-
tual – dapat disebut mujahid (orang yang berjihad), faqih
(ahli hukum Islam), muhaddits (ahli hadits), atau zahid (ahli
sufi) yang konsisten melaksanakan perintah Allah, menegak-
kan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Kulaitas insan sebagai-
mana tersebut digembleng oleh Kiyai di serambi Masjid,
sehingga dapat penggerak pembangunan masyarakat utama
sebagaimana firman Allah berikut:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia: menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka;
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Alu
Imran/3: 110).
50
ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar tersebut
dimenifestasikan dalam bentuk upaya merombak tatanan
sosial-ekonomi-politik bila dianggap tidak sesuai dengan
aturan agama, utamanya kemusyrikan. Dalam hal ini, ber-
lakulah firman Allah:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.” (Qs. At-Taubah/9: 36).
3. Jawara
Jawara adalah sosok kuat yang memiliki ‘elmu’ kanuragan
dan bela diri. Berbeda dengan santri yang memiliki pengua-
saan ilmu agama yang mendalam, jawara lebih mengandal-
kan kekuatan fisik dan kecerdikan dalam mengatur strategi
dan taktik. JAWARA di Banten yang secara logat disebut juga
“JUWARE” atau “JUWARA”. Sosok JAWARA digambarkan
sebagai orang yang gagah berani, pandai bersilat, jagoan,
pemimpin perserikatan, pemenang dalam pertandingan, dan
ahli dalam bidangnya. Dalam hal ini, nilai positif yang diambil
dari simbol JAWARA adalah karakter berani karena benar,
setia dan rela berkorban demi tegaknya kebenaran dan ke-
adilan dalam arti luas, khususnya dalam bidang akademik.
C. Sistem Kekuasaan
1. Sultan
Sultan adalah gelar bagi penguasa dalam sistem politik
Islam. Gelar sultan bagi penguasa Banten diperoleh dari
ulama Besar Makkah pada tahun 1638 yang menyebabkan
iri hati bagi Raja Mataram yang juga berambisi mendapatkan
gelar serupa. Gelar sultan memiliki arti penting dalam mem-
perkuat kekuasaan raja dalam sistem pemerintahan Islam
yang tidak hanya bersifat sekuler, tetapi juga bersifat ilahiat.
51
Sultan adalah bayangan Tuhan di bumi yang segala perintah-
nya wajib ditaati. Sebagai konsekwensinya, sultan tidak hanya
menangani kekuasaan eksekutif, melainkan juga legislatif dan
yudikatif sekaligus.
Dalam catatan sejarah, sumber kekuasaan sang sultan
diperoleh berdasarkan keurunan.
2. Qadhi
Qodhi adalah jabatan hukum yang bertugas memberikan
fatwa dan pertimbangan kepada sultan dalam memutuskan
kebijakan publik, terutama menyangkut soal keagamaan.
Jabatan qodhi diperoleh berdasarkan keahlian, bukan waris-
an sebagaimana sultan. Qodhi dipegang oleh golongan
ulama atau Kyai yang pada umumya bergelar “sayyid”,
“syarif” atau “ayip”. Mereka dihormati karena ilmunya dan
kharismanya sebagai pelayan umat. Anggota dewan penase-
hat sultan yang masyhur di kalangan umat antara lain
Syeikh Maulana Yusuf Al-Makassari, al-Bantani. Beliau ber-
gelar “syeikh” karena beliau adalah guru yang berkompeten
mengajarkan tasawuf dan tarekat. Beliau adalah pembim-
bing ruhani para murid menuju Tuhan, Allah Ta’ala.
3. Wazir
Wazir adalah adalah wakil sultan dalam mengurus peme-
rintahan terutama dalam urusan dalam negeri. Wazir yang
terkenal adalah putera mahkota ‘Abdul Qohhar yang ber-
gelar “sultan Haji”. Sultan Haji diserahi tugas memerintah
kesultanan dari ibu kota Banten, sedangkan sultan Ageng
Tirtayasa pindah ke Tirtayasa mengelola kebijakan luar
neger. Namun sayang hubungan antara sultan Ageng Tirta-
yasa dan putera mahkota retak oleh karena sang putera
Mahkota cenderung memihak Belanda, sedangkan sultan
Ageng Tirtayasa gigih menentang Belanda.
52
Setelah Banten jatuh dalam belenggu penjajah Belanda
sistem kesultanan digantikan menjadi keresidenan Banten,
hingga era reformasi berubah menjadi Provinsi. Sistem
politik di Banten mengikuti sistem demokrasi yang dianut
secara nasional oleh bangsa Indonesia.
53
Di kawasan pesisir teluk Banten, Pangeran Surya mem-
bangun metropolitan dengan visioner, mengeksplorasi ke-
unggulan lokal berbasis sumber daya alam, dan mampu me-
madukan bangunan tradisional dan pengaruh asing (baca:
wawasan internasional) secara kreatif. Hal ini dapat dilihat
pada peninggalan bangunan purbakala seperti Masjid,
keraton, benteng, kanal, danau Tasikardi, pengindelan air
bersih, balai pertemuan (tiyamah), jembatan gantung,
dermaga pelabuhan dan tembok kota.
Visi Kota juga terlihat pada penataan ruang yang di-
rancang berbasis keunggulan lokal dengan inti bisnis yang
nyata. Satu kampung mencerminkan keunggulan bisnis ter-
tentu. Misalnya ditemukan nama perkampungan Kepandaian
(pusat kerajinan logam), Kamaranggen (pandai keris),
kagongan (pandai gong dan alat kesenian), Kamasan (pandai
emas dan perhiasan), dan seterusnya. Ide membangun desa
berbasis keunggulan lokal, yang mengkombinasikan industri
kreatif dan kekayaan sumber daya alam merupakan pikiran
cerdas dan modern. Kita dapat membayangkan betapa besar
dampak ekonomi dari gagasan tersebut jika hal itu diterus-
kan oleh zaman baru kita saat ini.
Pangeran Surya dikenal dengan gelar Sultan Ageng
Tirtayasa sejak beliau tinggal di keraton Tirtayasa, setelah
mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh
Abu Nasr Abdul Kohar atau Sultan Haji. Gelar Tirtayasa
merupakan titel yang diperoleh karena keberhasilan beliau
membangun saluran air dari Sungai Untung Jawa hingga
ke Pontang. Saluran memiliki multifungsi: untuk irigasi, ke-
mudahaan transportasi orang dan perdagangan, serta
benteng pertahanan perang sepanjang pesisir utara. Pem-
bangunan irigasi berdampak pada kemajuan pertanian dan
perdagangan hasil bumi serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat Banten.
54
Namun tragedi sejarah terjadi ketika Sultan Haji ber-
kuasa. Sultan Haji berkomplot dengan Belanda dan memak-
zulkan pesan-pesan orangtuanya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Atas dasar itu, pada 27 Febrauri 1682, Sultan Ageng Tirtayasa
memimpin gerakan jihad, mengambil alih Keraton Sorosoan.
Keraton dapat diambil alih, dan Sultan Haji melarikan diri
seraya meminta bantuan Belanda. Pada tanggal 6 Maret 1682
Belanda menyerang Sorosowan dan berhasil mengusai
Kraton. Sultan Ageng Tirtaya mundur ke Tanara, memimpin
gerilya dan kemudian ditangkap dengan cara muslihat oleh
Belanda melalui tangan Sultan Haji pada tanggal 14 Maret
1683, kemudian dipenjara hingga wafat.
Api jihad yang dinyalakan Sultan Ageng Tirtayasa terus
berkobar. Ketika Pelabuhan dikuasai Belanda pada tahun
1684, Surosoan dihancurkan pada tahun 1809 dan pusat
pemerintahan dipindahkan oleh Belanda ke Serang pada
tahun 1832, Masjid menjadi benteng pertahanan terakhir
umat Islam yang diharapkan mampu membela hak rakyat.
Masjid menjadi simbol kekuatan perlawanan. Masjid bukan
sekedar pranata agama, melainkan berperan sebagai ke-
kuatan revolusioner untuk memimpin gerakan sosial me-
lawan penjajah Belanda. Dari Masjid yang tersebar di seluruh
kampung, di wilayah Banten, para Kiyai membina kader
untuk pengadaan satuan-satuan laskar pejuang kemerdeka-
an, yang rindu syahid.
Nilai-nilai luhur apa yang dapat digali dari sosok pemuda
Pangeran Surya? Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari
perjalanan hidup Pangeran Surya hingga memperoleh gelar
Sultan Ageng Tirtayasa? Belajar dari sosok Pangeran Surya,
kita menemukan dalam diri beliau karakter dan watak yang
perlu dikembangkan sebagai berikut:
55
Percaya diri
Motivasi berprestasi
Kepemimpinan
Cerdas dan berpikir strategis
Kearifan budaya lokal Banten-Nusantara
Wawasan internasional
Kewirausahaan
Semangat jihad dan rela berkorban
56
Demikian juga dengan jihad: melawan penjajahan. Di sana
ada kepemimpinan, kepahlawanan, dan semangat rela ber-
korban. Warga kampus seharusnya berdiri di garda depan
dalam melaksanakan pengabdian masyarakat: memimpin
dan melayani masyarakat. Kepeloporan mahasiswa dapat
ditunjukkan dengan kesediaan mendarmabaktikan ilmu dan
amalnya untuk membangun masyarakat dari berbagai
perspektif dan dimensi kehidupan secara langsung.
Keputusan menjadikan Banten sebagai negara maritim
dan bandar perdagangan merupakan bukti dari tiga watak
utama: kearifan lokal, wawasan global, dan kewirausahaan.
57
mencerna tradisi lingkungannya, menjadikan Syeikh Nawawi
sebagai sosok menarik. Ia sanggpu menyerap berbagai cabang
keilmuan yang seungguhnya lebih cocok diajarkan kepada
orang dewasa.
Ketika Seyikh Nawawi berkesempatan pergi haji ke
Mekkah pada usia 15 tahun, ia bermukim di sana selama
tiga tahun. Dan selama itu, Syeikh Nawawi sibuk belajar dari
tokoh-tokoh ulama Mekkah dan Madinah. Kemudian ia kem-
bali ke kampong halamannya dengan keberhasilan meng-
hafal al-Qur’an serta mengasai pengetahuan dasar bahasa
Arab, ilmu Kalam, ilmu Mantik, iomu Hadis/Tafsir, dan ter-
utama ilmu Fiqih. Tapi sesampainya ia di Banten, suasana
masyarakat masih diselamuti ‘kegelapan’ akibat penindasan
penjajah Belanda. Menyadari ruang gerak yang semakin
sempit, ditambah dengan keminatannya yang luar biasa
untuk memperdalam ilmu-ilmu agama, Nawawi tidak betah
tinggal di kampung halamannya. Tidak lama Nawawi berada
di tanah air, pada tahun itu juga (kira-kira tahun 1830 M), ia
pergi ke Mekkah untuk belajar. Kali ini merupakan kepergian-
nya yang terakhir, sebab ia tidak pernah kembali ke tanah
air sampai akhir hayatnya.
Sejak kepergiannya yang kedua inilah, selama kurang
lebih 30 tahun di Mekkah, ia belajar kepada guru-gurunya
yang terkenal antara lain Syeikh Nahrawi, dan Syeikh Abd
al-Hamid al-Daghistani. Menurut Umar Abd al-Jabbar, di
samping para guru yang tersebut di atas, Syeikh Nawai juga
belajar kepada Syeikh Ahmad Dimyati dan yang lain-lainnya,
yang termasuk para ulama besar yang mengajar di Masjid
al-Haram. Sedangkan di Madinah, ia belajar kepada Syeikh
Khatib Duma al-Hambaly. Kemudian ia melanjutkan ke
Mesir dan Syiria untuk belajar kepada beberapa ulma di sana.
Setelah selesai belajar, pada tahun 1860-1870 M, Syeikh
Nawawi aktif mengajar di masjid al-Haram. Ia adalah se-
58
orang guru yang simpatik, terang penjelasnya, sangat dalam
ilmunya dan ternyata juga sangat kuminkatif, sehingga
banyak banyak jemaah yang tertarik untuk mengikuti
pengajiannya. Peserta yang mengikiutinya adalah mahasiswa
yang berdatangan dari berbagai negara, tetapi sebagai besar
berasal dari Indonesia. Di antara peserta yang datang dari
Indoneisa adalah KH Asnawi (kudus), dan KH Arsyad Thawil.
Mata pelajaran yang diajarkanya ialah ilmu Fiqih, ilmu
Kalam, ilmu Tasawuf/Akhlaq, Tafsir, Hadis, dan Bahasa Arab.
Syeikh nawawi adalah ulama besar di penghujung abad
ke-19 M (permulaan abad ke-14 H). Syaikh Nawawi sebagai
ulama yang mempunyai kharismatik yang tinggi, penge-
tahuan yang luas sehingga ia dikenal sebagai al-Faqih, al-
Mujtahid, al-‘Alim, al-‘Alamah, al-Wara’, al-Mutashawif,
bahkan pada zamanya tergolong ulama besar yang men-
dapat gelar Sayyidu ‘Ulama’ al-Hijaz. Kedudukan dan
sebutan-sebutan tersebut dinyatakan oleh penulis-penulis
biografi dan peneliti mengenai Syeikh Nawawi. Begitu pula
dengan penerbit bukunya, bahkan ada yang menambahkan-
nya dengan sebutan al-Fadil.
Kemasyhuran dan keulamaannya diakui oleh dunia
internasional. Lois Ma’luf, seorang orientalis dan penyusun-
an kamus bahasa Arab terkenal, Al-Munjid, mencantumkan
nama Syeikh Nawawi sebagai tokoh masyur yang diakui
oleh dunia internasional. Selain itu, nama Syeikh Nawawi
juga tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books,
karangan Yousof Alian Sarkis yang beragama Kristen dari
Mesir. Bahkan di dalam buku itu juga ditulis 34 judul buku
karangan Syeikh Nawawi.
Walaupun namanya sudah “mendunia”, Syeikh Nawawi
tetap bangga dengan asal-asulnya, dengan ke-Bantenannya.
Terbukti, di belakang namanya ditambahkan dengan al-Jawi
al-Bantani, dan bahkan al-Tanari. Penggunaan nisbah al-
59
Jawi itu menyataka bahwa ia berasal dari kebangsaan Jawa.
Penggunaan nisbah al-Bantani untuk menyatakan daerah
asalnya yaitu Banten. Sedangkan nisbah al-Tanari, yaitu
nama kampung tempat kelahirannya, Tanara. Ketiga nisbah
tersebut tentu saja dimaksudkan untuk memperjelas identitas
dirinya yang berkenaan dengan daerah asalnya. Untuk meng-
hargai, mengagumi, dan mengenag karya Syeikh Nawawi,
masyarakat Banten mengadakan upacara haul (peringatan
hari wafat), setiap akhir bulan syawal, tepatnya pada setiap
malam jumat dan malam sabtu di Tanara.
Syeikh Nawawi dikenal sebagai ulama dan guru besar
masjid al-Haram yang juga menjadi pengarang produktif
dan berbakat. Timbulnya inisiatif untuk menjadi pengarang
ini karena adanya dorongan, baik dari dalam dirinya mau-
pun dari permintaan masyareakat Islam yang datang ke-
padanya, sebagaimana tercantum dalam alasan penulisan
beberapa kita yang dikarangnya.
Karangan-karangan syekh Nawawi pertama kali di-
terbitkan di Mesir dan Mekah, kemudian beradar di dunia
Islam, terutama di negara-negara yang menganut mazhab
Sayi’ie. Ide, gagasa, dan pemikiran Syeikh Nawawi ber-
pengaruh kuat, sehingga jejaknya sampai kini masih ter-
tanam pada masyarakat Islam. Karya yang ia wariskan,
tetap digumuli para santri di seluruh pelosok nusantara,
Malaysia, Thailand dan Filipina Selatan. juga di negara-
negara Timur-Tengah.
Adapun mengenai karya-karya Seyikh Nawawi ini, para
ulama Indonesia berbeda pendpata tentang jumlahnya. Ada
yang mengatakan 115 buah, ada yang mengatakan 99 buah.
Sedangkan Zamaksari Dhafir menyebutkan, berdasarkan
penelitian Sarkis, sebanyak 38 buah, tetapi ia hanya menye-
butkan 11 buah saja.
60
Dari sekian karya tulis Syeikh Nawawi, antara lain
meliputi bidang tauhid/ilmu kalam, fiqih, akhlaq/tasawuf,
ilmu bahasa dan kesusastraan arab, hadis, dan tafsir. Di antara
nama-nama kitabnya adalah:
61
3. Suluk al-jadah (1300)
4. Al-qdu al-tsamin, syarah mandhumah al-sittin masalah
al-musammah bi al-fath al-mubin, li al syaikh al-musthofa
bin usman al-jawi al-qaroti (1300)
5. Uqud al-lujen fi bayani huqiqi al-zaujen (1297)
6. Quuth al-habib al-gharib, hasyiyah ‘ala al-fath al-qarib
al-mujib, syarah al-taqrib li abi syuja (1301)
7. Kasyifah al-saja, syarah safinah al-najah, li al-syeikh
salim bin sumer al hadlrami (1292)
8. Nihayah al-zen, syarah qurah al-ain bi muhammati al-
din, li al-syeikh zaenuddin al-malibarri (t.t)
Bidang Akhlak/tasawuf
1. Salalim al-fudholah, syarah mandhumah hidayah al-
azkiya, li al-syeikh al-imam al-fadlil zaenuddin (1315)
2. Mishbah al-dhulam ‘ala al-manhaj al-atam fi tabwi bi
al-hukumi, (1314)
3. Maraqi al-ubudiyah, syarah matan bidayah al-hidayah,
li hujjah al-islam al-imam al-ghazali (1298)
4. Syarah ‘ala mandhumah al-syeikh Muhammad al-
dimyathi fi tawassuli bi asmaai al-husna (1302)
5. Nashaih al-ibad, syarah al-munabbihat ‘ala al-istidad li
yaumi al-ma’ad, li syihabuddin ahmad bin hajar al-
asqalani (t.t.)
Bidang Sejarah/Tarikh
1. Al-ibriz al-dani fi mauludi sayyida Muhammad al-sayyid
al-adani (1299)
2. Bughyah al-awam, fi syarhi mauludi sayyidi al-anam
(1299)
3. Targhib al-musytaqin, syarah mandhumah al-sayyid al-
barzanji zaenal abiding fi maulidi sayyid al-awwalin wa
al-akhirin (1292)
62
4. Al-durar al-bahiyah, fi syarah al-khashaishi al-nubuwwah
(1292)
5. Madariju al-shu’ud, syaarah al-maulidi al-nabawiyi al-
syahir bi al-barzanji, li al-imam al-arif sayyi ja’far (1296)
6. Fath al-shamad, syarah al-maulid al-nabawiy al-syahir
bi al-barzanji, li al-syeikh ahmad qasim al-maliky (1292)
63
64
BAB V
BUMI HARTA KARUN KITA
65
padanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf [7]: 11-12)
“Sembahlah ALLAH, sekali-kali tidak ada bagimu
Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.
Karena itu memohonlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memper-
kenankan (do’a hamba-Nya)”. (QS. Hud [11]: 61).
“Dari (tanah) itulah Kami membentuk kamu dan kepada-
nya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya
Kami akan mengeluarkan kamu pada kali lain”. (QS.
Thoha [20]: 55).
66
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, bumi
tempat tinggalnya. Begitu manusia lahir, ia berhubungan
dengan udara dalam proses bernafas. Dalam kehidupan lebih
lanjut manusia tidak dapat lepas lagi dari pengaruh ling-
kungannya. Demikian pula mahluk hidup lainnya yang ada
di muka bumi ini. Hubungan manusiaa dan mahluk hidup
lainnya dengan lingkungannya mengundang pemikiran
tentang konsep, azas, dan hukum yang berkenaan dengan
hubungan organisme, khususnya manusia, dengan ling-
kungannya yang berlangsung pada suatu sistem kehidupan
(ekosistem). Suatu mahluk, termasuk manusia, pada jaring-
an kehidupannya memiliki fungsi, peranan dan kedudukan
yang saling berkaitan dengan lingkungannya. Dengan demi-
kian, berkembanglah bidang penelaahan yang disebut
“ekologi” oleh Ernest Haeckel.
Dalam konsep ekologi, terdapat dua komponen utama,
yaitu mahluk hidup dan lingkungan. Mahluk Hidup adalah
sistem atau organisme yang cenderung untuk merespon per-
ubahan pada lingkungan mereka dan dalam diri mereka
sendiri, sedemikian rupa untuk meningkatkan kelanjutan
mereka sendiri dan berumur panjang. Mahluk hidup me-
miliki kemampuan untuk menghirup udara (bernafas), me-
mindahkan (navigasi) dan memiliki kemampuan dengan
berkembang biak. Contoh mahluk Hidup adalah manusia,
hewan, tumbuhan dan beberapa mikroorganisme lain
(virus, bakteri, fungi). Lingkungan menurut Chiras, (1991),
mendefinisikan lingkungan hidup sebagai sistem yang me-
rupakan kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dengan peri-
lakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
67
Gambar 1. Ekosistem dan komponennya
(sumber: https://www.google.co.id/
search?q=gambar+ekosistem)
68
unsur lingkungan hidup yang terkait secara alamiah disebut
ekosistem. Pada dasarnya konsep ekosistem merupakan
satuan fungsional dasar dalam ekologi yang terdiri atas
komponen biotik (produsen, konsumen, pengurai) dan
komponen abiotik atau non hayati. Keteraturan interaksi
inilah yang menciptakan kondisi seimbang pada suatu eko-
sistem. Dilihat dari penyusunannya, menurut Resoseodarmo,
ekosistem tersusun dari:
1. Komponen abiotik, yaitu komponen fisik dan kimia serta
merupakan medium untuk berlangsungnya kehidupan.
2. Produsen, yaitu organisme autotrofik yang pada umum-
nya tumbuhan klorofil, yang mensintesis makanan dari
bahan organik yang sederhana.
3. Konsumen, yaitu organisme heterotrofik, misalnya
hewan dan manusia yang memakan organisme lain.
4. Pengurai, perombak atau dekomposer, yaitu organisme
heterotrofik yang menguraikan bahan organik yang
berasal dari organisme mati.
69
Tanpa aliran energi ini, segala bentuk kehidupan di biosfer
akan terhenti. Setiap mata rantai makanan, dengan demi-
kian, tidak boleh kehilangan perannya baik sebagai mangsa
maupun pemangsa. Setiap organisme atau spesies, pada
dasarnya memainkan peran ganda seperti itu sesuai dengan
perilaku dan tabiat alamiah masing-masing.
70
interaksi alamiah di antara sesama makhluk hidup dan
antara makhluk hidup dengan benda-benda, keadaan, serta
energi di sekitar mereka. Interaksi ini berlangsung secara terus
menerus dalam suasana harmonis, sehingga tercipta eko-
sistem yang relatif seimbang.
Pada konsep ekologi manusia, lingkungan dibedakan atas
lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya.
Lingkungan alam adalah kondisi alamiah baik biotik (hutan
alam, tumbuhan, hewan) maupun lingkungan abiotik
(tanah, air, udara, mineral) yang belum banyak dipengaruhi
oleh tangan manusia, yang berpengaruh terhadap kehidupan
manusia. Lingkungan sosial adalah manusia, baik secara indi-
vidu maupun kelompok yang ada di luar diri kita. Keluarga,
teman, tetangga, penduduk kampung sampai manusia antar
bangsa merupakan lingkungan sosial yang berpangaruh
terhadap perubahan dan perkembangan kehidupan kita.
Sedangkan lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik
yang berupa materi maupun non materi, yang dihasilkan oleh
manusia melalui aktivitas, kreativitas dan penciptaan yang
berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia. Lingkung-
an budaya yang berupa materi meliputi bangunan, senjata,
pakaian dan lain-lainnya, sedangkan yang nono materi yaitu
tata nilai, norma, pranata, peraturan hukum, sistem politik,
sistem ekonomi, sistem pemerintahan, kesediaan dan lain-
lain.
Menurut Soemarwoto, lingkungan hidup adalah ruang
yang ditempati makhluk hidup secara bersama-sama dengan
benda hidup dan tak hidup lainnya yang ada di dalamnya.
Dalam hal ini, jika ditinjau dari segi jenis, lingkungan dapat
dibedakan menjadi tiga yakni:
1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu: segala
sesuatu yang ada di sekitar kita yang berwujud benda
tak hidup.
71
2. Lingkungan hayati (biological environment), yaitu:
segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang berwujud
makhluk hidup.
3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu: manusia
di sekitar.
72
butuhan manusia. Sedangkan Isard (1972) mendefinisikan
sumberdaya alam sebagai keadaan lingkungan dan bahan-
bahan mentah yang digunakan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya dan memperbaiki kesejahteraannya. Maka
definisi kerja dari sumberdaya alam ialah unsur-unsur ling-
kungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan mening-
katkan kesejahteraannya.
Dari segi ekonomi, sumberdaya dapat diartikan sebagai
suatu “input” dalam suatu proses produksi (Bishop &
Toussaint, 1958). O’Riordan (1971) beranggapan bahwa
sumberdaya bukanlah sesuatu barang yang nyata, tetapi
suatu penilaian. Ia mengartikan sumberdaya sebagai suatu
atribut dari lingkungan, yang menurut anggapan manusia
mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu, yang dibatasi
oleh keadaan sosial, poltik, ekonomi, dan kelembagaan.
Chapmam (1969) pun beranggapan bahwa sumberdaya ialah
hasil penilaian manusia terhadap unsur-unsur lingkungan
hidup yang diperlukannya.
Menurut sifatnya, sumberdaya alam dapat dibedakan
menjadi [1] sumberdaya alam fisik, seperti tanah, air dan
udara, dan [2] sumberdaya alam hayati, yaitu hutan, padang
rumput, tanaman pertanian, perkebunan, margasatwa, popu-
lasi ikan dan sebagainya (Spurr,1996; Warren & Goldsmith,
1974). Sedangkan menurut habitat atau substratum, sumber-
daya alam dapat dibedakan menjadi [1] sumberdaya alam
terestris (daratan) dan [2] sumberdaya alam akuatik (perair-
an) (Institute of Ecology, 1971; Matthews et al., 1971).
Djojohadikusumo (1975, 1976) membedakan sumberdaya
alam menurut macamnya sebagai berikut:
1. Sumberdaya tanah dan air
2. Sumberdaya tanaman dan pohon-pohonan
3. Sumberdaya akuatik, termasuk perikanan laut dan darat
73
4. Sumberdaya mineral dan energi, termasuk energi mata-
hari dan energi pasang surut.
74
Kegiatan pembangunan pada umumnya menyangkut
pendayagunaan sumberdaya-sumberdaya alam. Sumberdaya
-sumberdaya ini beserta lingkungannya merupakan kesatuan
sistim ekologis atau ekosistem yang mempunyai manfaat
langsung dan tak langsung bagi manusia. Dalam ekosistem
sumberdaya alam ini manusia merupakan konsumen dan
berperan aktif pula dalam proses produksi dan pengelolaan.
Pendayagunaan sesuatu sumberdaya alam oleh manusia,
dengan eksploitasi, penggunaan atau pemanfaatan, menimbul-
kan perubahan-perubahan dalam ekosistem sehingga mem-
pengaruhi pula sumberdaya-sumberdaya lain beserta ling-
kungannya, yang akibatnya akan dirasakan pula oleh manusia.
Perubahan dan gangguan terhadap sumberdaya alam dan
lingkungannya sedikit banyak menimbulkan masalah ling-
kungan hidup. Masalah lingkungan hidup ini ada yang lang-
sung mempengaruhi kesejahteraan masyara-kat, seperti me-
rusak kesehatan (polusi, keracunan), merusak usaha (erosi dan
banjir yang merusak tanaman pertanian), menimbulkan per-
ubahan sosial (pemindahan penduduk karena ada proyek)
dan akibat-akibat lain yang merusak kualitas lingkungan
hidup, ada pula yang tidak langsung dirasakan, yaitu ke-
rusakan pada ekosistem alam, berupa merosotnya produk-
tivitas dan diversivitas jenis, serta akselerasi proses erosi yang
disebabkan oleh eksploitasi.
Masalah lingkungan hidup yang pengaruhnya langsung
itu, karena tampak jelas dan dapat dirasakan oleh masya-
rakat, tentu saja lebih banyak mendapat perhatian. Tetapi,
sesungguhnya masalah yang tidak langsung itu, dalam
jangka panjang akan lebih mengkhawatirkan, karena ibarat
penyakit yang kronis, simptomnya tidak jelas sampai akhir-
nya sudah terlambat untuk diobati. Oleh karena itu, masalah
lingkungan hidup berupa menurunya kualitas lingkungan
hidup dan menurunnya produktivitas dan diversivitas
75
sumberdaya alam harus mendapat perhatian yang sama.
Maka kebijaksanaan pendayagunaan alam dalam pro-
gram pembangunaan harus bersifat menyeluruh (integral).
Pengalaman telah membuktikan bahwa usaha-usaha penge-
lolaan yang dilakukan secara terpisah oleh masing-masing
sektor, tanpa landasan pendekatan interdisiplin atau integrasi,
seringkali menyebabkan bentrokan kepentingan antara satu
sektor dengan sektor lain, misalnya antara sektor kehutanan
dengan sektor pertanian, atau antara sektor kehutanan dengan
sektor peternakan. Dengan berlandaskan pendekatan inter-
disiplin atau integrasi dalam tataguna tanah dan perencanaan
wilayah, bentrokan kepentingan dapat dihindarkan.
Jelaslah kiranya bahwa untuk mengelola sumberdaya-
sumberdaya alam dengan sebaik-baiknya diperlukan pe-
mikiran yang luas, metode yang tepat dan organisasi peren-
canaan, pelaksanaan dan pengawasan yang kuat. Maka
dalam tulisan ini diuraikan dasar-dasar pengelolaan sumber-
daya alam menurut azas-azas ekologi dan pendekatan eko-
sistem serta metodologi dan organisasinya. Adapun pokok
pemikiran yang dianut dalam buku ini ialah
• pengelolaan sumberdaya alam mencakup masalah eks-
ploitasi dan pembinaan, yang tujuannya mengusahakan
agar penurunan daya produksi sumberdaya sebagai
akibat eksploitasi diimbangi dengan tindakan peremaja-
an dan pembinaan, sehingga manfaat maksimal dari
sumberdaya alam dapat diperoleh dengan terus menerus.
• Pertimbangan ekonomis dan ekologis harus berimbang,
kerena pengelola harus mengusahakan tercapainya ke-
sejahteraan masyarakat dengan mempertahankan
sumberdaya alam dan lingkungan.
• Untuk mencegah tumbukan kepentingan antara sektor-
sektor yang memanfaatkan sumberdaya alam perlu di-
cari pendekatan interdisiplin atau pengintegrasian dalam
76
perencanaan pengelolaan, khususnya integrasi dalam
tataguna tanah dan perencanaan wilayah.
• Ruang lingkup kegiatan pengelolaan sumberdaya alam
itu mencakup inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan
pengelolaan dan pengawasan.
• Sumberdaya alam beserta lingkungannya merupakan
suatu ekosistem yang komplerks, sehingga diperlukan
metode inventarisasi dan perencanaan serta organisasi
pelaksanaan dan pegawasan yang bersifat multidisiplin
dan terintegrasi, dengan tujuan untuk menyerasikan
usaha-usaha pengelolaan sumberdaya alam.
77
padang rumput, yang kesemuanya merupakan pula sumber-
daya alam. Didalam ekosistem-ekosistem itu, manusia tidak
mempunyai peranan dalam proses-proses ekologis selain
sebagai pemakai atau konsumen terakhir (Odum, 1971).
Dalam pengelolaan sumberdaya alam, manusia meng-
ubah dan mengatur penggunaan ekosistem-ekosistem itu
dan membinanya. Oleh karena itu dikemukakan pengertian
ekosistem sumberdaya alam, dimana manusia bukan hanya
sebagai konsumen tetapi juga sebagai produsen dan pem-
bina. Sebagai batasan, dapatlah dikatakan bahwa ekosistem
sumberdaya alam ialah kumpulan ekosistem-ekosistem
yang dikelola manusia, yang hasilnya baik langsung mau-
pun tak langsung bermanfaat bagi manusia.
Maka pengelolaan sumberdaya alam dapat didefinisikan
sebagai usaha manusia dalam mengubah ekosistem sumber-
daya alam agar manusia memperoleh manfaat yang mak-
simal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya.
Pengelolaan sumberdaya alam dapat pula diberi batasan
sebagai suatu proses mengalokasikan sumberdaya alam
dalam ruang dan waktu untuk memenuhi kebutuhan
manusia (O’Riordan, 1971). Tetapi sudah tentu bahwa dalam
mengalokasikan sumberdaya alam ini diusahakan per-
imbangan antara populasi manusia dan sumberdaya, dengan
mengusahakan pula pencegahan kerusakan pada sumber-
daya alam dan lingkungan hidup.
Pengelolaan hutan, pengelolaan pertanian dan penge-
lolaan perikanan merupakan pengkhususan dari pengelola-
an sumberdaya alam, yaitu pengelolaan secara sektoral yang
seyogyanya berdasarkan pendekatan ekosistem. Tetapi,
tanpa dilandasi konsepsi pengelolaan sumberdaya alam
yang bersifat menyeluruh dan terpadu, pengelolaan sektoral
itu cenderung untuk berjalan sendiri-sendiri, sehingga pada
keadaan dan waktu tertentu terjadi tumbukan kepentingan.
78
Hal inilah yang harus dicegah.
Yang dibahas dalam tulisan ini terutama pengelolaan
sumberdaya alam yang dapat dipulihkan, yaitu sumberdaya
alam yang dapat diremajakan seperti hutan, tanaman per-
tanian, perkebunan dan perikanan, atau yang keadaannya
dapat dipulihkan, seperti tanah dan air. Sesungguhnya,
hanya sumberdaya alam yang dapat dipulihkan inilah yang
benar-benar dapat dikelola, sedangkan sumberdaya alam
yang tak dapat dipulihkan hanya mengalami eksploitasi
tanpa dapat dibina kembali.
Pada sumberdaya alam yang dapat dipulihkan, pendaya-
gunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, yang sejauh
mungkin mencegah dan mengurangi pencemaran lingkung-
an hidup dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya untuk
kepentingan generasi yang akan datang. Hal yang terakhir
ini berarti pula bahwa sumberdaya alam yang belum di-
manfaatkan dijaga agar tidak mengalami kerusakan dan
sumberdaya-sumberdaya genetik nabati dan hewani tidak
mengalami kepunahan.
Pada sumberdaya alam yang tak dapat dipulihkan, pen-
dayagunaannya harus dilakukan sebijaksana mungkin agar
pemanfaatannya dapat berjangka panjang dan eksploitasinya
tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup yang terlalu merugikan.
Manusia memanfaatkan sumberdaya alam untuk me-
menuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraan-
nya. Masyarakat manusia yang terpenuhi segala keperluan-
nya disebut makmur. Selain dari itu, pemanfaatan sumber-
daya alam dapat menimbulkan akibat sampingan berupa:
a. Kerusakan dan kemunduran pada sumberdaya alam
b. Pencemaran kimiawi, terutama pencemaran air dan udara
c. Gangguan pada kesehatan, sebagai akibat pencemaran
dan berjangkitnya wabah penyakit sebagai akibat ada-
79
nya kegiatan yang mengganggu sumberdaya alam dan
lingkungan.
d. Gangguan sosial, yaitu tekanan yang dialami masya-
rakat manusia sebagai akibat kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam berupa proyek-proyek pembangunan.
80
umumnya, apabila manusia tidak melestarikan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, maka cepat atau lambat kelak
manusia tidak dapat memanfaatkannya lagi.
Kegiatan industri yang mendukung pelestarian alam
sekaligus meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat
adalah wisata. Provinsi Banten terkenal dengan banyaknya
objek wisata. Mulai dari wisata alam, wisata budaya, hingga
wisata religi ini. Berikut tempat wisata terbaik di Banten
yang jika dikelola dengan baik akan menjadi andalan pen-
dapatan asli pemerintah Banten.
1. Pantai Anyer
2. Pantai Ciputih
3. Pantai Jambu
4. Pantai Sawarna
5. Pantai Tanjung Lesung
6. Pantai Bagedur
7. Pantai Carita
8. Pantai Karang Bolong
9. Pantai Cihara
10. Pantai Karang Taraje
11. Pantai Karangsongsong Cibobos
12. Pantai Mabak
13. Gunung Karang
14. Gunung Pulosari
15. Gunung Krakatau
16. Gunung Pulosari
17. Air Terjun Di Curug Betung
18. Air Terjun Cihear
19. Air Terjun Gendang
20. Air Terjun Curug Putri
21. Taman Nasional Ujung Kulon
22. Arung Jeram Sungai Ciberang
23. Arung Jeram Sungai Ciberang
81
24. Rawa Dano
25. Danau Tasikardi
26. Pulau Dua / Pulau Burung
27. Pulau Sangiang
28. Pulau Umang
29. Pulau Panaitan
30. Pulau Peucang
31. Air Panas Cisolong
32. Pemandian Cikoromoy
33. Kandank Jurank Doank
34. Kampung Baduy
35. Kampung Cisungsang
36. Masjid Agung Banten
37. Kota Banten Lama
38. Penjarahan Gunung santri
39. Penjarahan Syekh Asnawi Caringin
40. Makam KH. Wasyid
41. Makam Kiayi Beji ( Ki Terumbu )
42. Makam Syech Mansyur di Saketi
82
arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan ter-
wujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita
tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap
lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah
laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar
tetap berada dalam batas kelentingan lingkungan hidup kita.
Secara moral, sikap kita terhadap arah dan proses pem-
bangunan perlu diubah dari sikap yang hanya peduli ter-
hadap kepentingan diri sendiri, menjadi sikap yang peduli
terhadap kepentingan bersama. Masalah penyikapan
manusia terhadap arah dan proses pembangunan inilah
yang membawa kita kepada etika lingkungan, untuk meng-
gantikan mental frontier yang selama ini dianut oleh sebagi-
an besar umat manusia. Dengan etika lingkungan ini diharap-
kan terwujud suatu pembangunan yang betul-betul melarut-
kan unsur lingkungan dalam prosesnya.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak
secara bebas dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, ke-
bebasan dan tanggung jawab merupakan kondisi dasar bagi
pengambilan keputusan atau tindakan yang etis dengan
menempatkan hati nurani pada posisi sentral.
Salah satu sifat ciri dari etika adalah sifatnya yang aplika-
tif, yakni suatu etika yang sudah dikaitkan dengan bidang
ilmu tertentu. Begitu juga dengan ilmu lingkungan maka kita
juga mengenal etika lingkungan yang sebenarnya tidak lain
adalah bagian dari filsafat tentang lingkungan. Konsep etika
lingkungan merupakan penggabungan antara konsep etika
yang berasal dari lingkup filsafat umum dan konsep ling-
kungan.
Dasar etika yang tertinggi adalah ajaran agama yang
menyatakan bahwa manusia dan alam semesta ini adalah
ciptaan Tuhan YME. Bumi dan kekayaan yang ada di dalam-
nya serta mahluk yang ada di atasnya merupakan titik di
83
alam semesta yang belum kita ketahui ukurannya secara
tepat. Manusia adalah khalifatullah fil Ardh, penghuni planet
bumi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah dapat meng-
ungkapkan rahasia alam semesta ini. Tetapi seberapa jauh-
kah rahasia alam semesta yang telah terungkap? Mengingat
alam semesta demikian luasnya. Oleh karena itu, kita perlu
mawas diri bila kita mengatakan kita telah mampu me-
nguasai alam semesta ini. Hanya Tuhan yang berhak disebut
sebagai penguasa alam.
Demikian ilmu pengetahuan dan teknologi manusia
telah dapat menjelajah ruang angkasa, manusia telah dapat
memanfaatkan tenaga nuklir bagi kesejahteraan manusia.
Tetapi tidaklah terduga bahwa pesawat ulak-alik ruang ang-
kasa meledak dihadapan para penyaksinya, padahal secara
ilmiah telah diperhitungkan dengan cermat, tetapi ada yang
tidak dapat diperhitungkan oleh manusia, yaitu ada kekuat-
an lain “Penguasa Alam Semesta” ini. Jelas terlihat ada ke-
terbatasan kemampuan manusia. Manusia merupakan se-
butir debu di tengah alam semesta yang luas dan belum kita
ketahui secara pasti ukurannya. Manusia jelas tidak mampu
menguasai alam semesta ini, kemampuan manusia hanyalah
memanfaatkan dan mengelola dengan penuh tanggung
jawab lingkungan lam ini.
Etika lingkungan adalah berbagai prinsip moral ling-
kungan. Jadi etika lingkungan merupakan petunjuk atau
arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan ter-
wujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita
tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap
lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah
laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar
tetap berada dalam batas kelentingan lingkungan hidup kita.
84
Pembicaraan di kalangan masyarakat luas mengenai
lingkungan hidup sampai saat ini nampaknya didominasi
oleh pembicaraan mengenai segi-segi yang bersifat teknis
untuk mengatasi kegiatan manusia yang bermental fron-
tier dalam mengelola lingkungan. Hal yang dibicarakan
antara lain pencarian teknologi macam apa yang diperlukan
dalam mengolah sumberdaya, produk jenis apa yang dapat
menghindari pencemaran lingkungan, dan sebagainya.
Padahal ada satu hal yang terpenting dan sering kita
lupakan adalah moralitas apa yang patut kita tumbuhkan
dalam menghadapi masalah lingkungan hidup yang se-
makin kompleks. Moralitas ini dapat ditumbuh kembangkan
melalui budaya yang sudah berakar di masyarakat. Ke-
butuhan akan teknologi yang efisien dalam penggunaan
sumberdaya dan yang minimal dalam produksi limbahnya
memang sudah sangat didambakan banyak kalangan.
Namun, sejauh mana harapan itu terpenuhi sangat besar
ketergantungannya pada kemauan umat manusia untuk
kembali memperhatikan keseluruhan bumi kita ini sebagai
sebuah sistem. Manusia adalah bagian dari sistem itu, yang
dengan potensi pikir, rasa dan karsanya mempunyai tanggung
jawab moral untuk mengelolanya.
Sebagian anggota masyarakat nampaknya percaya
sekali bahwa teknologi bisa mengatasi semua masalah yang
kita hadapi. Sikap ini sangat berbahaya dan tidak searah
dengan etika lingkungan. Teknologi yang tidak memberi
cukup perlindungan terhadap lingkungan, justru bisa me-
ngundang lebih banyak masalah dari pada pemecahannya.
Banyak teknologi sekarang ini yang secara ekonomis meng-
untungkan, tetapi secara ekologis mengundang akibat yang
sulit diterka sebelumnya. Inilah yang melatar belakangi
munculnya pesan-pesan etika lingkungan agar siapa saja
yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan pengelola-
85
an sumberdaya atas nama pembangunan, mengambil sikap
berhati-hati dan arif demi kebahagian yang berjangka panjang.
Setiap orang hendaknya perlu menempatkan dirinya
sebagai mitra bagi yang lain, sehingga dua kutub kepenting-
an, yakni kepentingan ekonomi demi kesejahteraan umat
manusia, dan kepentingan lingkungan sebagai ruang tempat
melangsungkan kehidupan dapat berjalan seimbang. Etika
lingkungan adalah perekat antara keduanya. Prinsip-perinsip
moral yang relevan untuk lingkungan hidup:
a. Prinsip sikap hormat terhadap alam.
b. Prinsip tanggung jawab.
c. Prinsip solidaritas kosmis
d. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam.
e. Prinsip no harm
f. Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam.
g. Prinsip keadilan.
h. Prinsip Demokrasi.
i. Prinsip integritas moral.
j. Prinsip Keseimbangan
86
banyak lagi tradisi-tradisi lainnya, seperti: Pikukuh pada
masyarakat Badui, Sistem Sasi di Maluku, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, lama kelamaan tradisi ini makin pupus
seiring dengan kemajuan jaman. Pamali-pamali tersebut
mulai melemah karena hanya bersifat lokal dan tidak di-
aktualisasikan dalam konteks sekarang. Padahal, jika tradisi
kearifan lokal ini mampu diaktualisasikan dalam konteks
sekarang, akan menjadi sebuah pegangan yang sangat baik
dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
Kita harus mampu untuk merevitalisasi semangat ke-
arifan lokal dalam konteks sekarang ini, dengan melarutkan
tradisi ini ke hal-hal yang sifatnya ilmiah, sehingga nilai-
nilai yang ada dalam tradisi tersebut dapat dijelaskan secara
ilmiah. Sebagaimana kita ketahui bahwa semakin mening-
katnya ilmu pengetahuan, masyarakat lebih membutuhkan
hal-hal yang bersifat ilmiah sebelum menerima sebuah
norma yang akan digunakan dalam berperilaku dalam hidup
dan kehidupannya. Misalnya: kita mampu menjelaskan
pada masyarakat terutama pada masyarakat pendatang,
bahwa dengan adanya pamali menebang pohon dihubung-
kan dengan lahan tandus yang akan menyebabkan banjir.
Tradisi-tradisi ini perlu untuk disosialisasikan pada anak-
anak sejak dini. Melalui dongeng yang terus menerus di-
sosialisasikan, maka para generasi muda tidak kehilangan
tradisi yang selama ini dipegang oleh leluhur mereka dan
diharapkan mereka tetap menggunakannya sebagai pedoman
dalam perilakunya terhadap lingkungan. Paling tidak tradisi
ini digunakan sebagai pertimbangan utama kelak di kemudian
hari apabila mereka terlibat dalam pengelolaan sumber daya
alam.
Dengan mengangkat nilai-nilai budaya yang sudah ada
diharapkan dari sekian banyak nilai budaya tersebut akan
saling bersinergi membentuk suatu etika lingkungan dalam
87
masyarakat luas. Para leluhur kita sebenarnya sudah meng-
ajarkan bagaimana cara membangun yang selaras dengan
kehendak Sang Pencipta dan keseimbangan alam. Di Banten,
ada desa adat orang Kanekes yang dikenal dengan komu-
nitas orang Baduy. Ada desa adat yang disebut 9 Kasepuhan
Banten Pakidulan. Ada juga peradaban kota pertanian (argo-
politan) dengan sistem irigasinya yang terintegrasi dengan
kota utama yang berbasis pesisir di Karangantu (Banten
Lama). Peradaban yang mereka bangun sampai saat ini
masih bisa kita nikmati dan akan abadi sepanjang masa.
Dalam falsafah masyarakat “Kanekes” Baduy dinyatakan:
Gunung teu meunang dilebur/Lembur teu meunang di-
ruksak/Larangan teu meunang diubah/Panjang teu
meunang dipotong/Pendek teu meunang disambung/Nu
sanes kudu ditolak/Nu ulah kudu dilarang/Nu bener kudu
dibenerkeun/Pinter jeung bener eta kuduna manusia.
88
Baduy Dalam, menempati tiga kampung yaitu Kampung
Cikertawana atau Tangtu Kadu Kujang, berfungsi dalam hal
pertahanan dan juga dikenal dengan kerajinan tangannya
yang terbaik. Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyang ber-
tugas untuk menjalankan urusan sosial dan kebudayaan. Ter-
akhir adalah Kampung Cikeusik atau Tangtu pada Ageung,
tempat Pu’un (Kepala Adat) tinggal dan berbatasan dengan
Sasaka Domas, hutan larangan tempat sucinya orang Baduy,
berfungsi untuk kegiatan keagamaan dan upacara adat
penting lainnya. Kepala Kampung disebut dengan Jaro, ber-
kedudukan di Kampung Kadu Ketug Baduy Luar, peng-
hubung antara pemerintah dan kepala adat Baduy. Dipilih
dan diangkat secara musyawarah yang disetujui oleh ketiga
Pu’un setelah berkonsultasi dengan Tengkesan (dukun) yang
berkedudukan di Kampung Cicatang.
Sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan dari
mana asal-usul orang Baduy dan sejak kapan mereka men-
diami kawasan pegunungan Kendeng. Ada cerita kalau
mereka itu merupakan orang-orang pelariannya pasukan
Prabu Pucuk Umun (penguasa Banten dari kerajaan Padjajar-
an) yang tersingkir oleh Hasanudin yang kemudian menjadi
penguasa Kerajaan Islam Banten.
Orang Baduy percaya bahwa kawasan pegunungan Ken-
deng sudah ditempati oleh nenek moyang mereka sejak dulu
dan merupakan tempat asal usul manusia yang disebut Pancer
Bumi atau Pusat Bumi dan merupakan “tempat suci” di mana
Ambu Luhur (Sang Pencipta) tinggal dan menciptakan dunia
ini serta menciptakan Batara Tunggal untuk mengurus dunia.
Mereka melakukan tapa (semedi) untuk senantiasa “berkomu-
nikasi” dengan Sang Pencipta dan para leluhur melalui upacara
Sakral Muja setahun sekali di tempat tersuci Sasaka Domas.
Orang Baduy memiliki syarat untuk mendiami “tanah
suci” tersebut dengan rasa rendah hati dan tidak takabur.
89
Mereka Hidup dengan mensyukuri kebaikan alam yang
melimpah. Mereka merasa cukup dengan apa yang telah
diterima. Tidak boleh mengambil lebih dari kebutuhan. Lahan
titipan Ambu Luhur harus dijaga dan dipelihara sebagaimana
yang telah dilakukan oleh para Batara, Daleum dan Menak.
Orang Baduy menyebut agamanya sebagai Sunda Wiwit-
an. Mereka percaya bahwa tiang alam semesta adalah Sasaka
Domas. Sedangkan Kanekes merupakan sumber dunia per-
tama yang permulaannya hanya sebesar Biji Pedas atau Lada
dan merupakan juga Pusat Bumi. Oleh karena itu, tabu atau
terlarang bagi orang Baduy untuk membolak-balikkan Bumi
seperti mengolah lahan pertanian dengan mencangkul.
Mereka menanam dengan cara menunggal tanah atau nga-
seuk, kemudian benih ditanam pada lubang-lubang tersebut.
Dalam hal membangun rumah, orang Baduy sangat
memperhatikan tanah tempat rumah tersebut berdiri. Mereka
menganggap membongkar tanah adalah buyut. Jadi, apabila
permukaan tanah tempat mendirikan rumah tidak rata,
maka dibuatlah tiang-tiang “panggung rumah” yang disesuai-
kan dengan tinggi rendahnya permukaan rumah. Rumah
tradisional Baduy berupa panggung dengan lantai pelapuh
atau bambu yang dipecah dan dinding dari bilik atau anyam-
an bambu. Atapnya terbuat dari daun rumbia dan ijuk.
Konstruksi rumah menggunakan sistem pasak atau tidak
menggunakan paku, umumnya terdiri dari lima bagian,
Sosoro atau Serambi, Tepas atau Ruang Tamu, Imah atau
Ruang Utama yang juga berfungsi sebagai kamar, Musung
atau tempat penyimpanan barang dan Parako sebagai tempat
menyimpan barang di atas Tungku. Lumbung Padi yang
disebut Leuit, berada pada jarak yang cukup jauh dari rumah
mereka agar terhindar dari kebakaran.
Model bercocok tanam yang dilakukan oleh orang Baduy
adalah berhuma atau perladangan berpindah-pindah. Lahan
90
tempat membuka huma adalah bekas huma yang sudah
ditinggalkan selama 7-9 tahun dan pada saat dibuka kembali,
lahan tersebut sudah berupa belukar dan hutan atau reuma.
Huma tersebut berada di lahan titipan dan mempunyai
kemiringan lereng yang cukup terjal, sehingga perpindahan
huma tersebut sifatnya hanya menggeser lokasi dalam jarak
yang cukup dekat. Kemiringan lereng yang terjal disiasati
dengan melakukan tindak pencagaran tanah dan bukit.
Tindakan di atas menunjukkan sikap kearifan lokal ter-
hadap keadaan alam, sehingga meniadakan kesan kemiring-
an lereng lapangan yang umumnya terjal tersebut sebagai
faktor pembatas bagi usaha berhuma. Adapun tindak pen-
cagaran tanah dan air tersebut, antara lain dengan menutup
permukaan tanah dengan sisa-sisa ranting semak belukar,
sisa-sisa pembakaran semak belukar dan limbah pertanian
sebagai Mulsa. Selanjutnya, mereka menempatkan batang-
batang bambu melingkar (sejajar kontur) untuk menahan
mulsa tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan dengan Upacara
Narawas, Nyacar dan Nukuh. Di samping itu, mereka sering
pula menanam sejenis tanaman penutup tanah. Usaha
berhuma hanya dilakukan di lereng-lereng bukit, tidak sampai
di puncaknya. Di setiap puncak bukit selalu terdapat
sekelompok vegetasi atau hutan tetap yang terpelihara. Selain
itu, di lahan-lahan huma pun banyak dijumpai pohon berkayu
yang tumbuh secara tersebar.
Masyarakat suku Baduy masih memegang teguh adat
sebagai pedoman dalam tuntunan hidupnya. Hal ini ter-
ungkap dalam sebuah penelitian Enggar Utari Dan kawan-
kawan. Dalam kehidupan sehari-harinya terdapat perbedaan
yang mencolok antara perilaku masyarakat Baduy Dalam
dengan masyarakat Baduy Luar. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini.
91
Tabel 1. Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar
No. Perbedaan Baduy Dalam Baduy Luar
1. Pola Sederhana, tradisional, Mulai dipengaruhi oleh
Kehidupan menjaga keaslian pola budaya luar, modernisasi,
hidup nenek moyang. serta ilmu pengetahuan
Sikap toleransi dan dan teknologi. Namun
budaya gotong royong tetap menjaga adat.
masih kuat, disiplin ter- Beberapa individu dan
hadap waktu. kelompok sudah mulai
Pedagang dari luar menjalin kerja sama
sudah mulai berdatang- dalam berdagang, ber-
an dan menggelar orientasi pada bisnis
dagangannya di halam- (konsumtif). Disetiap
an rumah (sosompang) kampung sudah ber-
warga untuk menjual munculan kios/warung
berbagai kebutuhan kecil yang menyediakan
masyarakat, namun kebutuhan hidup sehari-
pedagang tersebut hari masyarakat seperti
tidak diperbolehkan yang terjadi di luar Baduy
menginap.
2. Hukum adat Dilarang menggunakan Semua larangan adat
peralatan kebersihan yang berlaku di Baduy
(sabun, odol, sikat gigi, Dalam. Jika di Baduy Luar
minyak wangi/parfum). diberikan kelonggaran
Dilarang menggunakan atau diperbolehkan
alas kaki. Dilarang kecuali poligami.
bepergian mengguna-
kan kendaraan.
Dilarang poligami dan
tindakan asusila.
3. Cara Hanya dua warna yaitu Hitam-hitam (mayoritas),
Berpakaian hitam dan putih belacu, tetapi ada yang sudah
pakaian tidak dijahit berpakaian bebas seperti
secara modern (hanya masyarakat modern ter-
di Kecos) oleh jarum utama anak lelaki muda.
kecil saja. Ikat kepala Ikat kepala berwarna
berwarna putih. Perem- corak biru hitam. Wanita
puan memakai kebaya memakai kebaya biru
dan samping, memakai renda atau hitam. Me-
selendang. Laki-laki makai samping dengan
tidak mengenakan corak batik khusus warna
celana tetapi sarung biru hitam atau yang
yang dilipat lainnya.
92
4. Asesoris Perhiasan/asesorisnya Perhiasan wanita sudah
manik-manik berwarna- memakai gelang, cincin
warni, tidak boleh dan kalung emas murni.
memakai emas/murni
5. Teknologi Tidak boleh memakai Sudah banyak yang
barang elektronik memiliki barang elektro-
nik (radio, hp)
6. Rumah Berpintu satu, tidak Pintu lebih dari satu,
menggunakan paku, sudah, menggunakan
tanah tempat mem- paku, tanah diubah/ di-
bangun rumah tidak di- ratakan sesuai keinginan
ratakan dibiarkan dan banyak penyekat
sesuai dengan aslinya, ruangan.
dan hanya satu kamar.
7. Kepemilikan Tidak ada (lahan milik Ada hak pemilikan lahan
Lahan bersama) pribadi
8. Kesehatan Hanya menggunakan Banyak menggunakan
obat-obatan dari alam obat modern
9. Peralatan Tidak boleh mengguna- Penggunaan alat-alat
dapur kan peralatan modern, semi modern sudah
yang ada dan diper- banyak digunakan, baik
bolehkan di antaranya: untuk memasak maupun
dangdang (seeng), kuali alat-alat untuk makan
(kekenceng), kukusan dan minum.
(Aseupan), kipas (hihid), Selain memakai tungku,
lumpang (dulang), juga sudah banyak yang
pangarih, kuluwung, menggunakan minyak
boboko, pinggan/ tanah.
mangkuk, gelas bambu Penggunaan bumbu
(somong), dan botol masakan sudah biasa,
besar tempat air serta menu makanan
minum. sudah bernilai gizi
Memasak mengguna-
kan tungku (hawu).
Tidak boleh mengguna-
kan minyak tanah,
hanya minyak kelapa.
Makanan dimasak
hanya sederhana sekali
tidak memakai bumbu
masak.
93
Perbandingan Daerah Suku Baduy
94
Gambar 6. (a) Suasana perkampungan Kaduketug
(Baduy Luar). (b) Tampak beberapa masyarakat memiliki
bilik rumahnya sudah bermotif, dan pintunya sudah
modern.[Sumber: Mahmudin, 2014]
95
3. Konservasi Makhluk Hidup dalam masyarakat
Adat Baduy
Desa Kanekes dengan luas 5.136,58 hektar adalah sebuah
wilayah pegunungan dan perbukitan dengan kondisi hutan
yang masih asri. Berdasarkan informasi masyarakat, hutan-
hutan ini dialirkan oleh puluhan anak sungai diantaranya
terdapat sekitar 125 titik sumber air yang berasal dari hutan
lindung. Desa ini penuh dengan pesona keindahan hutan yang
masih perawan serta kaya dengan aneka jenis flora dan fauna.
Masyarakat suku Baduy merupakan masyarakat adat
yang memiliki keunikan dan kekhasan dalam kehidupan-
nya. Cara hidup tradisional masyarakat Baduy yang seder-
hana dan penuh toleransi lebih melihat kehidupan jauh ke-
depan, sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya.
Proteksi terhadap sumber daya hayati ditujukan untuk mem-
pertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh, hampir
semua kebutuhan hidupnya dipenuhi dari alam. Pemenuhan
kebutuhan tersebut dilakukan dengan menggunakan penge-
tahuan tradisional yang dimilikinya, sehingga kondisi alam
di wilayah Baduy sampai sekarang masih terjaga dengan baik.
Kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dan harus di-
laksanakan oleh nenek moyang hingga saat ini salah satunya
menjaga kelestarian alam. Berdasarkan ajaran Sunda
Wiwitan yang tercantum dalam petikan pikukuh adat ber-
bunyi “Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang
diruksak”, artinya “Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah
tidak boleh dirusak” (Senoaji, 2011: 18). Dalam pikukuh
tersebut tersirat makna bahwa lingkungan alam (gunung dan
hutan) tidak boleh dirusak, serta tidak menimbun lebak atau
jurang, karena memliki fungsi sebagai kawasan perlindungan
yang harus tetap dipertahankan keberadaannya.
Menurut penuturan Jaro Dainah, selaku jaro pemerin-
tahan yang sudah 18 tahun menjabat di Desa Kanekes, ber-
96
dasarakan cerita zaman dahulu disebutkan bahwa hutan
Baduy merupakan jantung dan pakunya alam yang harus
dijaga dan dilestarikan sebagai hutan lindung atau hutan
titipan dari Gusti Allah, sehingga hal ini yang mendasari
pandangan masyarakat Baduy terhadap hutan. Oleh karena
itu, Orang Baduy menjaga hutan, sungai, flora dan fauna
seperti mereka menjaga diri dan keluarga. Semua yang di-
lakukan seperti menebang, mencabut dan memotong
tanaman disetiap wilayah hutannya, menggunakan aturan-
aturan adat. Hal tersebut merupakan suatu kearifan ling-
kungan yang dipahami, dikembangkan, dijadikan pedoman
dan diwariskan secara turun temurun oleh komunitas
masyarakatnya.
Jaro menegaskan, bahwa siapa saja yang datang ke
wilayah Baduy harus ikut menjaga kelestarian alam ling-
kungan, seperti telah tercantum dalam buku peraturan tamu
yang wajib diikuti dan perlu diperhatikan. Salah satu di
antaranya tidak boleh menebang pohon sembarangan dan
membuang sampah sembarangan agar tidak mengganggu
kehidupan flora dan fauna. Hal ini jelas bahwa pandangan
masyarakat suku Baduy dalam menjaga kelestarian ling-
kungan, sama halnya dengan pemikiran dalam pembangun-
an berkelanjutan, dimana mereka beranggapan bahwa ke-
rusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk ling-
kungan dapat mengancam sumber kehidupan mereka yang
berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi
lainnya. Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan
akan memicu kepunahan suku Baduy. Oleh sebab itu, mereka
melarang bahkan melawan pihak luar yang berusaha me-
rusak lingkungan mereka (hasil wawancara dengan Jaro dan
Panggiwa).
Masyarakat suku Baduy sangat menghormati kawasan
hutan mereka, sehingga mereka menganggap hutan me-
97
miliki peran dan fungsinya masing-masing serta memiliki
tingkat kesakralannya. Iskandar (2009: 95), membagi kawas-
an Baduy kedalam beberapa zonasi, Kawasan tersebut dibeda-
kan menjadi 3 zonasi yang analogi dengan zona inti/area
inti, zona penyagga, dan zona transisi/area transisi pada
sistem cagar biosfer. Zona inti/area inti, adalah kawasan yang
dianggap paling sakral, disebut pula Daerah Kabuyutan, yaitu
daerah Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas. Sementara,
zona penyagga, merupakan daerah kurang sakral dibanding-
kan dengan zona inti, berada di luar zona inti, yaitu Baduy
Dalam (tanah larangan). Kemudian zona transisi/area transisi
berada di luar zona penyangga yang merupakan daerah Baduy
Luar/Panamping, dan daerah Dangka.
U
Daerah Dangka
Daerah
Muslim Daerah Baduy Luar / Daerah Muslim
Panamping (Daerah tidak Sakral)
Berdasarkan pembagian zonasi dari utara ke selatan, zona paling terluar adalah Daerah
Baduy Luar/Panamping dan Derah DaerahDangka
Baduy yang merupakan bagian zona transisi
Dalam/Tangtu
merupakan daerah terluar yang fleksibel dan berdampingan dengan zona penyangga
Semakin ke
pada daerah penyangga merupakan daerah bagian Baduy Dalam/Tangtu
Selatan semakinkarena dihuni oleh
Sasakaadat masih kuat dan tempatSakral
masyarakat Baduy Dalam yang memiliki bermukim Puun
dapat melindngi Domas
98
Berdasarkan pembagian zonasi dari utara ke selatan,
zona paling terluar adalah Daerah Baduy Luar/Panamping
dan Derah Dangka yang merupakan bagian zona transisi,
karena merupakan daerah terluar yang fleksibel dan
berdampingan dengan zona penyangga. Sementara pada
daerah penyangga merupakan daerah bagian Baduy Dalam/
Tangtu karena dihuni oleh masyarakat Baduy Dalam yang
memiliki adat masih kuat dan tempat bermukim Puun.
Keberadaan zona inti (Daerah Kabuyutan) oleh adanya
daerah penyangga disekitarnya. Sedangkan zona yang pal-
ing sakral terletak pada zona inti, karena pada daerah
tersebut merupakan kawasan konservasi, yang tidak boleh
dikunjungi bebas oleh setiap orang, tetapi hanya digunakan
untuk ziarah (Puun) pimpinan adat masyarakat Baduy pada
waktu yang khusus. Sedangkan, (Iskandar, 2009:97).
Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan
dokumentasi pada beberapa informan penting masyarakat
Baduy Luar dan Baduy Dalam, mengenai potensi wilayah
hutan Baduy, maka secara umum penjelasan mengenai
upaya konservasi yang dilakukan masyarakat suku Baduy
di setiap wilayah hutannya dapat dilihat pada tabel di berikut
ini:
99
membuka rumah sem- produksi yang difungsikan
barangan, karena harus sebagai kebun, tempat
mengikuti aturan atau per- ngahuma (berladang).
setujuan Puun (tokoh adat) Lahan ini dikelola sebagai
ketika membuka atau me- lahan abadi untuk tanaman
manfaatkan lahan bermukim. tumpang sari terutama
Bentuk pengelolaannya untuk tanaman pangan,
adalah penempatan yang yaitu padi dan komoditas
seragam antara setiap rumah kebun.
penduduk yang menghadap Bentuk pengelolaannya
arah Utara-Selatan, kecuali lebih mengarah kepada
rumah Puun, menggunakan fungsi lahan setiap masa-
bahan perumahan yang nya, dimana pada saat
sama, tidak mengubah pembukaan lahan huma
kontur tanah tempat ber- (ladang) ditumbuhi ber-
mukim (Baduy Dalam), pe- bagai komoditas, setelah
rumahan selalu berdekatan panen padi tiba akan ter-
dengan sumber mata air bentuk reuma (hutan
(berasal dari pegununngan sekunder) yaitu bekas
Pengelolaan maupun sungai), pepohonan ladang yang sedang di-
besar sekitar pemukiman istirahatkan (diberakan)
tidak di tebang dan tetap dengan berbagai umur.
dibiarkan. Hutan sekunder yang di-
Setiap kampung wajib me- berakan 2-3 tahun dinama-
miliki Lisung (tempat kan reuma ngora (hutan
menumbuk padi), terdapat sekunder muda), lahan ini
lumbung padi (leuit) untuk tidak akan sempat untuk
menyimpan hasil panen padi menjadi hutan, melainkan
huma agar terhindar dari hanya menjadi semak
hama dimana peletakkannya belukar. Jika lahan tersebut
tidak jauh dari rumah warga. telah diberakan lebih dari 3
tahun dinamakan reuma
kolot (hutan sekunder tua).
Hutan garapan terbagi-bagi
menjadi milik perkeluarga
dengan batas yang jelas
serta dikelola oleh masing-
masing keluarga. Namun,
penggarapannya tetap
harus disiplin menurut cara
dan aturan-aturan adat
Baduy yang berlaku. Tuju-
annya untuk mencegah
kerusakan, memelihara
dan melestarikan potensi-
nya untuk menghasilkan
panen yang memuaskan.
Masyarakat memelihara Masyarakat memelihara
100
Masyarakat memelihara Masyarakat memelihara
wilayah hutan ini semata- wilayah hutan ini semata-
mata karena kewajiban dan mata karena kewajiban dan
keindahan daerah pemukim- peningkatan hasil hutan
annya. yang lebih baik. Pada saat
Tumbuhan dipelihara, bercocok tanam, peng-
dirawat, agar menghasilkan gunaan lahannya telah di
aneka ragam hasil hutan, bera kan selama 2-3 tahun
namun tidak ditebang secara agar kondisi lahan tetap
besar-besaran, ditebang subur.
hanya untuk kepentingan Tumbuhan dipelihara,
tertentu yang telah men- dirawat, agar menghasilkan
dapat izin dari tokoh adat. aneka ragam hasil hutan,
Pepohonan memiliki fungsi jika pohon kayu sudah
sebagai peneduh dan berusia 3-5 tahun, maka
penghias pemukiman. kayu tersebut ditebang
Aneka ragam fauna sungai oleh masyarakat untuk di-
dirawat dengan baik dan di- jual atau dipakai sebagai
Pemeliharaan
jaga keutuhannya, namun bahan rumah dan kayu
pemeliharaannya sesuai baar. Namun proses
dengan habitat aslinya (tidak penebangan tetap
dialihfungsikan). memperhatikan tumbahan
Masyarakat selalu menjaga lain disekitarnya agar tidak
daerah aliran sungainya agar rusak
terhindar dari pencemaran Seperti daerah pemukim-
Beberapa masyarakat meme- an, di hutan garapan juga,
lihara hewan dirumah atau masyarakat memelihara
sekitar pemukiman seperti hewan sebagai teman
ayam, kucing, burung, dan masyarakat selama
anjing, dimana hewan ter- berladang.
sebut fungsinya sebagai Jenis tumbuhan ditanam
teman bagi masyarakat. dan dirawat dengan baik
Hewan peliharaan tersebut dimulai pada saat mem-
tetap dibiarkan (tidak buka ladang.
dikurung) dan tidak
diternakkan.
Menurut pikukuh Orang Dilindungi secara ketat baik
Baduy, kawasan ini tidak secara adat maupun peme-
boleh ditebangi untuk rintah agar tidak terjadi
dijadikan huma, karena penggunaan lahan ber-
dianggap sebagai perlindung- ladang sembarangan,
an kampung. penebangan liar, peng-
Dilindungi secara ketat baik gembalaan hewan ternak,
masyarakat maupun peme- hingga ketidakadilan dalam
rintah agar tidak terjadi bagi hasil (jika bukan tanah
penebangan pohon sem- garapan pribadi).
barangan, gangguan penga- Pepohonan besar yang
101
barangan, gangguan penga- Pepohonan besar yang
ruh modernisasi, dan pen- sudah tumbuh sejak puluh-
curian yang berasal dari an bahkan ratusan tahun
Perlindungan
pelaku masyarakat luar dilindungi oleh adat mau-
Baduy yang berkunjung. pun pemerintah untuk
Pepohonan yang tumbuh di tidak ditebang.
bantaran sungai dilindungi, Semua komponen hutan/
sehingga dilarang untuk makhluk hidupnya yang
ditebang. Oleh karena itu, tidak dimanfaatkan tetap
bantaran sungai sangat dilindungi sehingga tidak
rimbun ditumbuhi berbagai ditebang habis ada saat
pepohonan dan dapat ter- pembukaan lahan, karena
hindar dari kerusakan erosi segala sesuatu menyangkut
sungai. penggunaan lahan garapan
tetap memperhatikan
aturan adat.
Kawasan daerah pemukiman Kawasan daerah produksi
yang dijaga kelestarian untuk mempertahankan
daerah maupun pinggiran keberlanjutan hutannya,
hutan dan bantaran sungai- dilakukan sistem bera
nya agar tatanan kehidupan (masa istirahat) sehingga
berkembang secara alami, memiliki fungsi konservasi
Pelestarian sehingga memiliki fungsi kon- keanekaragaman jenis/
servasi keanekaragaman varietas tumbuhan, sebagai
jenis/varietas tumbuhan, habitat makhluk hidup
hewan maupun organisme untuk tumbuh dan ber-
lain dan sebagai habitat kembang.
makhluk hidup untuk
tumbuh dan berkembang.
Hutan dimanfaatkan sebagai Hutan dimanfaatkan
tempat bermukim, dan me- sebagai tempat berladang,
miliki fungsi sosial ekonomi, dengan beragam kebutuh-
dengan adanya aneka ragam an pangan. Sehingga me-
hasil buah-buahan yang miliki fungsi sosial
dapat dikonsumsi, bahkan ekonomi, untuk pengambil-
diperjual belikan. Kemudian an aneka ragam hasil
sebagai home industry bebe- hutan. Selain itu, hasil
rapa masyarakat untuk hutan dimanfaatkan
pemenuhan kebutuhan sebagai kebutuhan
ekonominya. ekonomi masyarakat.
Daerah aliran sungainya di- Kegiatan pemanfaatan
manfaatkan masyarakat hutan terdiri dari berburu
untuk kegiatan mencuci, (menangkap hewan-hewan
mandi, dan penyedia sumber kecil seperti bajing, burung,
daya air. dan sewaktu-waktu
Daerah pemukiman yang terdapat hewan kancil),
102
Daerah pemukiman yang terdapat hewan kancil),
eksotis, menarik dan sangat meramu (bahan obat
khas, dijadikan sebagai tradisional, kayu bakar),
wilayah yang sering dikun- dan memanen (menuai
jungi bebas oleh masyarakat hasil tanaman selama ber-
luar yang ingin berkunjung ke ladang).
Desa Kanekes untuk melihat Pada lahan huma biasanya
keindahan alam di Baduy. masyarakat menanam padi,
selain tanaman padi biasa-
nya ditanami pula aneka
ragam tanaman lain. Hasil
komoditas kebun pada saat
ditanam masa Huma maka
Pemanfaatan dapat dipanen pada saat
menjadi Reuma.
Kebanyakan tumbuhan
yang ada di Reuma yaitu
belukar yang dimanfaatkan
untuk kayu bakar. Namun,
ketika daerah reuma
diberakan, banyak ditemu-
kan jenis-jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan. Di
antaranya adalah tumbuh-
an campuran buah-buahan
dan kayu-kayuan, sisa-sisa
perladangan dan jenis-jenis
tumbuhan hutan sekunder
yang sedang mengalami
suksesi alami.
Daerah hutan yang
berbukit-bukit, menarik
dan sangat khas, dijadikan
sebagai wilayah yang di-
kunjungi bebas oleh
masyarakat luar untuk me-
lihat keindahan alam di
Baduy, sehingga peman-
dangan dari daerah ini
sangat leluasa untuk me-
lihat daerah-daerah di
bawah maupun disekitar-
nya.
Penjemuran terhadap hasil Membiarkan hasil panen
103
nya.
Penjemuran terhadap hasil Membiarkan hasil panen
bumi seperti padi huma, biji- tetap berada di pohonnya,
bijian, agar memiliki ke- hingga sewaktu-waktu
tahanan pangan dapat diambil kembali.
Terdapat lumbung padi Penjemuran terhadap hasil
(Leuit) sebagai tempat bumi seperti padi huma,
penyimpanan padi agar biji-bijian, agar memiliki
ketahanan pangan terjaga. ketahanan pangan. Secara
Pengawetan Secara umum tatanan ke- umum tatanan kehidupan
hidupan dan komponen di dan komponen didalamnya
dalamnya yang berada di yang berada di hutan
hutan kampung tetap utuh garapan tetap utuh dari
dari dulu hingga sekarang, dulu hingga sekarang,
namun jumlahnya saja yang namun jumlahnya saja
beberapa mengalami yang beberapa mengalami
penurunan, seiring dengan penurunan.
bertambahnya penduduk.
104
agar tatanan kehidupan di tatanan kehidupan makhluk
hutan lindung tetap seperti hidup yang berada dihutan tetap
kondisi aslinya, makhluk hidup dibiarkan tumbuh bebas sesuai
hidup, tumbuh dan berkem- kondisi aslinya dan tidak boleh
bang secara bebas, tanpa diganggu keberadaannya.
paksaan dan tuntutan, serta
tidak diganggu keberadaan-
nya.
Dilindungi secara ketat baik se- Dilindungi secara ketat baik
cara adat maupun pemerintah secara adat maupun pemerintah
agar tidak terjadi penyerobot- karena sebagai tempat sucinya
an lahan, penebangan liar, Orang Baduy, agar hutannya
penggembalaan hewan ternak, tidak diketahui oleh sembarang
sehingga tidak diperbolehkan orang. Sehingga terhindar dari
kepada siapapun yang masuk penebangan, pembukaan lahan
ke dalam hutan untuk meng- dan kerusakan
ambil atau menebang pohon Perlindungan Adat: Memohon
dan tumbuhan lain maupun kepada leluhurnya agar ter-
menangkap hewan, atau hindar dari bencana alam
potensi sumber daya alam dengan melihat tanda-tanda per-
yang ada di dalamnya, lebih- ubahan yang terjadi di hutan
lebih dalam hal mengeksploi- Baduy, khususnya di Sasaka
tasi untuk alasan apapun. Oleh Domas.
karena itu, wilayah ini merupa-
kan daerah konservasi yang
tidak boleh dibuat untuk
ladang, dimana keberadaan-
Perlindungan
nya tidak boleh diubah dan di-
larang untuk dikelola karena
selain untuk mengukur iklim
mikro juga berfungsi untuk
mengatur tata air di Desa
Kanekes.
Perlindungan secara Adat: Di-
bentuknya punggawa-
punggawa yang bertugas
mengawasi hutan lindung
secara teratur. Melakukan
pengontrolan di hutan lindung,
minimal seminggu sekali.
Perlindungan pemerintah:
Meminta perlindungan kepada
pemerintah daerah untuk
mengesahkan Peraturan
Daerah (Perda) mengenai hak
ulayat Baduy.
Kawasan yang dilarang untuk Kawasan dengan tidak adanya
105
Kawasan yang dilarang untuk Kawasan dengan tidak adanya
dikelola serta memiliki mitos campur tangan manusia dalam
yang berkembang di masyara- mengelola, serta memiliki mitos
kat, bahwa di dalam hutan ter- yang berkembang dimasyarakat,
dapat penunggu yang bersifat bahwa di dalam hutan terdapat
ghaib dan selalu mengawasi penunggu yang bersifat ghaib
kegiatan mereka terhadap dan selalu mengawasi kegiatan
hutan. Oleh karena itu mereka mereka terhadap hutan. Oleh
merasa takut untuk melakukan karena itu mereka merasa takut
kegiatan yang merusak hutan, untuk melakukan kegiatan yang
Apabila mereka melanggar, merusak hutan, Apabila mereka
Pelestarian maka mereka percaya akan melanggar, maka mereka per-
terkena penyakit atau men- caya akan terkena penyakit atau
dapatkan musibah. mendapatkan musibah. Sehingga
sehingga memiliki fungsi kon- hutan larangan disebut juga
servasi keanekaragaman jenis/ sebagai tabungan sumber daya
varietas tumbuhan dan habitat alam abadi sehingga diperlaku-
satwa liar kan istimewa, dijaga keutuhan-
nya, dirawat kesehatannya, serta
memiliki nilai fungsi konservasi
keanekaragaman jenis/varietas
tumbuhan dan habitat satwa
liar, serta makhluk hidup lainnya.
Hutan dimanfaatkan untuk Hutan sangat dikeramatkan,
pengambilan aneka ragam sehingga tidak dimanfaatkan
hasil hutan seperti berburu hasil hutannya, namun memiliki
hewan, meramu (mencari fungsi sosial budaya untuk ke-
bahan-bahan kerajinan pentingan kepercayaan masya-
tangan, mengambil kayu bakar rakat Baduy, sebagai tempat
dari pohon yang sudah roboh, muja
bahan obat tradisional), dan
memanen buah-buahan, men-
cari madu, jamur, dan lain-lain.
Peamanfaatan hutan tua ini
Pemanfaatan terutama bagi masyarakat
Baduy Dalam yang aksesibili-
tasnya lebih dekat menuju
hutan tua. Dalam pemanfaat-
annya masyarakat tetap mem-
perhatikan aturan adat yang
tentunya harus seizin Puun,
kemudian tidak mengambil
secara berlebihan, mereka
mengambil hanya seperlunya
saja ketika menemukan hasil
hutan.
106
hutan.
Makhluk hidup tetap dibiarkan Makhluk hidup tetap dibiarkan
sesuai habitat aslinya, tatanan sesuai habitat aslinya, tatanan
kehidupan tetap tumbuh dan kehidupan tetap tumbuh dan
Pengawetan berkembang secara alami, berkembang secara alami,
sehingga kondisi aslinya tetap sehingga kondisi aslinya tetap
tidak berubah dari dulu hingga tidak berubah dari dulu hingga
sekarang. sekarang.
107
Dina raraga mieling wangsit karuhun seren tahun
usum ayeuna, yu urang amalkeun elmu nu sajati teh
lain ngan ukur jang sasoreun jeung saisuken.
108
Dipilih serta diangkat berdasarkan keturunan yang dimusya-
warahkan oleh para Jaro (Kepala Desa) yang berada di
wilayah Kasepuhan. Bercocok tanam merupakan kegiatan
utama selain menambang emas secara tradisional. Mereka
juga memiliki lahan-lahan yang harus dijaga dan dipelihara
yaitu lahan tutupan dan lahan titipan. Tapa (semedi) dilaku-
kan oleh Kepala Kasepuhan untuk berkomunikasi dengan
para karuhunnya untuk mendapatkan hakekat mengenai
kehidupan sosialnya.
Masyarakat adatnya mempunyai prinsip “Tilu Sapa-
mulu, Dua Sakarupa, nu Hiji eta-eta keneh”. Filosofi ter-
sebut merupakan penerimaan pandangan terhadap pola
hidup yang harmonis dan sinergis antara adat, agama dan
negara. Masjid sebagai simbol Agama, Pendopo sebagai
simbol Negara, dan Rumah Adat sebagai simbol Adat. Lima
buah rumah yang ada dalam kompleks rumah adat yang
berjumlah lima mencerminkan lima Sila Pancasila sebagai
dasar Negara, lima rukun Islam sebagai dasar Agama dan
lima dasar Adat yaitu Pangeran Sembaheun, Nabi Tuladeun,
Karuhun Tututeun, Makhluk Binaeun dan Negara Olaheun.
Di sisi lain, cerminan ini merupakan simbol keharmonis-
an antara adat, agama, dan negara. Menjalankan lalampah-
an (asas/dasar) tetap mengacu pada kebenaran dari lima
pilar tersebut. Selama lalampahan tersebut dijalankan
dengan semestinya pasti akan mewujudkan kebenaran sejati.
Masyarakat akan sejahtera. Karena masyarakat adat per-
caya bahwa ketiga pilar tersebut mempunyai visi yang
sama, “Nitah Bener, Nyaram Salah” yang artinya meng-
instruksikan yang benar dan melarang yang salah.
Kasepuhan Banten Kidul mempunyai kearifan dalam
mengelola wilayah adatnya. Mereka mempunyai pola tata
ruang yang diatur dengan aturan adat. Dalam pengelolaan-
nya masyarakat adat memisahkan antara lahan garapan
109
dan lahan hutan. Berdasarkan kearifan tradisional, mereka
membagi wewengkon menjadi:
• Hutan Titipan, yaitu kawasan hutan yang tidak boleh
diganggu atau dirusak. Kawasan ini biasanya dikeramat-
kan. Secara ekologis, kawasan ini juga merupakan
kawasan yang sangat penting dalam menjaga lingkung-
an dan merupakan sumber kehidupan.
• Hutan Tutupan, yaitu kawasan hutan yang dimanfaat-
kan untuk kepentingan masyarakat. Umumnya, pe-
manfaatannya secara terbatas yaitu pemanfaatan hasil
hutan non-kayu, tanaman obat, rotan, madu. Selain itu,
kawasan ini juga berfungsi sebagai penjaga mata air.
• Lahan Garapan/Bukaan, yaitu kawasan yang diman-
faatkan untuk pertanian (sawah), kebun, permukiman
dan sarana lainnya.
110
cepat sampai pada kita dalam hitungan detik. Tapi mengapa
peradaban kita ini semakin lama semakin menurun kualitas-
nya? Di Banten Selatan, di kaki pegunungan Kendeng dan
Halimun, kita lihat peradaban Banten yang masih bertahan,
karena keharmonisanya dengan alam. Mereka menjalani
hidup dengan damai dan sejahtera.
111
112
BAB VI
CAKRAWALA PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN DAN
TEKNOLOGI TEPAT GUNA
A. Kriteria IPTEK
113
melihat apakah hipotesis yang diajukan diterima atau tidak.
Hipotesis yang diterima merupakan pengetahuan yang
kebenarannya teruji secara ilmiah dan merupakan bagian
dari ilmu pengetahuan.
Secara skematis langkah-langkah metode ilmiah dapat
digambarkan seperti di bawah ini:
Perumusan
Masalah
Khasanah
pengetahuan ilmiah Kerangka berpikir
Penyusunan
Hipotesis
114
B. Hirarki dan Klsifikasi Ilmu
Sistem pengetahuan sebagai bagian terpenting dari unsur ke-
budayaan dipengaruhi oleh pandangan masyarakat tentang
kosmologi. Dalam pandanagan masyarakat Banten alam ini
adalah milik Gusti Allah yang dititipkan kepada Khalifah atau
Sultan untuk tujuan suci, menciptakan kemakmuran dan
perdamaian abadi atau Darussalam.
Dalam pandangan masyarakat Banten, Ilmu bersumber
dari Gusti Allah dan dicari untuk mengenal dan mengabdi
kepada-Nya, dengan jalan memakmurkan bumi, mensejah-
terakan manusia dan makhluk lainnya serta melestarikan
semesta. Ilmu dalam pandangan Islam diperoleh dari Gusti
Allah. Ilmu diperoleh manusia melalui firman (wahyu) dan
“alamat” Allah dalam semesta. Dalam konteks agama Islam,
sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an (Kitabullah) dan
as-Sunnah, serta alam semesta. Firman Allah dipahami
secara dealektik; sedangkan “alamat” Allah dipahami melalui
pembuktian demonstartif atau eksperimentasi.
Berdasarkan perbedaan material-objek dan cara
mendapatkannya (epistemologi), ilmu dalam sistem budaya
Banten diklasifikasi menjadi: [1] ilmu laduni, ilmu syariah
atau ilmu relegius untuk pengetahuan yang diperoleh me-
lalui wahyu, dan [2] ilmu husuli, ilmu ‘aqliyah atau ilmu
filosofis untuk pengetahuan yang diperoleh melalui “alamat”
Allah pada alam semesta. Meskipun keduanya dapat dibeda-
kan, namun keduanya berasal dari Gusti Allah Yang Maha
Esa, dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam memahami firman dan semesta diperlukan ilmu
dasar, yakni ilmu bahasa, logika dan matematika. Ilmu
bahasa (terutama bahasa Arab) diperlukan untuk memahami
firman Allah, sehingga Al-Ghazali menganggap ilmu bahasa
(Arab) sebagai ilmu religius. Maka bahasa arab merupakan
landasan utama pendidikan Islam. Sedangkan matematika
115
sangat dipentingkan dalam memahami fenomena alam
semesta, sehingga digolongkan sebagai ilmu filosofis.
Dalam konteks pendidikan, ilmu dibagi menjadi: [1]
ilmu dasar yang meliputi: bahasa, matematika, seni dan
logika. Ilmu dasar ini dapat diajarkan sejak dini dan mesti
dikuasai sejak pendidikan dasar. [2] metafisika, ilmu yang
membahas tentang alam ruhami. Ilmu ini banyak mem-
butuhkan informasi Allah lewat wahyu dan keterangan
(hadits) nabi. [3] ilmu sosial, ilmu yang membahas filsafat
sejarah kemanusiaan dan studi kemasyarakatan. Ilmu ini
dirumuskan dari hasil “kosespondensi” antara wahyu dan
dinamika sosial. Makna-makna transendental wahyu itu di-
tafsirkan dengan mempertimbangkan perkembangan masya-
rakat, seraya memberikan solusi atas persoalan masa depan
masyarakat tersebut. Dan [4] ilmu kealaman yang mem-
bahas fenomena alam semesta. Dalam pengkajian tentang
fenomena alam dibutuhkan kerja observasi atau intizar dan
eksperimentasi.
Dengan klasifikasi demikian tidak terjadi dikotomi ilmu;
dan dalam dunia pendidikan dapat diketahui ilmu dasar yang
harus diketahui dan dikuasai para pelajar, dan mereka dapat
mengambil spesialisasi ilmu yang ingin diperdalam secara
lebih mudah dan jelas dalam acuan prinsip kesatuan ilmu.
116
dari kapas, maka pada abad sekarang teknologi telah mampu
menyumbangkan kepada manusia serat-serat sintetik yang
lebih baik sebagai hasil sampingan dari sulingan minyak bumi
ataupun batu bara. Dengan demikian manusia tidak perlu
menunggu terlalu lama pertumbuhan kapas. Di samping itu
kekurangan dari serat sintetik dapat diperbaiki dengan tekno-
logi nuklir sehingga cukup nyaman dipakai, sebagai aspek
negatif yang terutama terlihat dari bahan sintetik ini adalah
serat-serat sintetik ini lebih sulit hancur bila dibandingkan
dengan serat kapas. Bakteri pengurai lebih mudah meng-
hancurkan serat kapas apabila dibandingkan dengan serat
sintetik, dan hal inilah yang dapat menimbulkan populasi.
Dengan kemajuan teknologi manusia mulai pula mem-
perbaiki tempat tinggalnya. Dimulai dengan tempat tinggal
di goa, selanjutnya di rumah yang sederhana, dan makin
sempurna tentu saja menambah kenyamanan hidup, tetapi
juga akan memerlukan bahan baku yang lebih banyak. Hal
ini tentu akan berdampak negatif dengan perambahan hutan
secara berlebihan, yang akan sangat mengganggu lingkungan.
Dampak positif kemajuan teknologi di bidang pangan
terutama di bidang produksi bahan makanan. Dengan bantu-
an teknologi yang canggih dapat dibuat bibit-bibit unggul
yang akan menghasilkan lebih banyak apabila dibandingkan
dengan bibit-bibit yang biasa. Dengan mekanisasi pertanian
orang akan mendapatkan hasil yang jauh lebih besar.
Namun demikian dampak negatifnya juga cukup besar. Pe-
makaian racun pemberantas hama tanaman ternyata tidak
hanya memberantas haman tetapi juga membunuh hewan
ternak, meracuni hasil panen, ataupun meracuni manusia
itu sendiri.
Dengan kemajuan teknologi, maka industri pun makin
maju pula. Hal ini memberikan dampak positif pada ke-
hidupan manusia, terutama dalam memenuhi kebutuhan
117
hidup manusia. Namun demikian kemajuan industri ini
memberi dampak negatif kepada manusia. Populasi yang
disebabkan oleh limbah industri ini menimbulkan gangguan
bagi penduduk terutama yang bertempat tinggal di sekitar
lokasi industri tersebut. Berbagai usaha ke arah pengendalian
pencemaran ini telah dilakukan oleh pemerintah dengan
menetapkan syarat-syarat pembuangan limbah.
Kemajuan teknologi memberikan pula kemampuan
kepada manusia menciptakan berbagai kendaraan seperti
mobil, bus, kereta api, kapal terbang, dan sebagainya yang
kesemuanya memudahkan dan meningkatkan hubungan
antara manusia.
Bersama dengan kenikmatan yang diadakan manusia
ini, maka diperoleh pula sejumlah aspek negatif, seperti
pencemaran udara oleh kendaraan darat dan oleh sisa-sisa
bahan bakar pesawat udara, tercemarnya lautan, polusi pen-
dengaran oleh kebisingan kendaraan, dan makin banyaknya
kecelakaan yang ditimbulkan oleh transportasi.
Salah satu keperluan hidup manusia adalah berkomuni-
kasi antara sesamanya. Untuk itu ilmu pengetahuan dan
teknologi telah banyak menyumbangkan alat-alat bantu
untuk komunikasi ini. Komunikasi yang dilakukan secara
sederhana, yaitu suatu komunikasi dari mulut ke mulut
dengan tatap muka kemudian dikembangkan.
Percetakan sebagai alat komunikasi menjadi sangat
penting artinya bagi manusia sejak awal abad ke 15 sebagai
komunikasi masa, yaitu surat kabar. Dengan media cetak
ini suatu berita diikuti oleh banyak orang dalam waktu yang
singkat, meskipun penyebarannya masih tergantung pada
alat transportasi yang ada pada saat itu.
Pada pertengahan abad yang ke 18 ditemukan pula
telegrafi. Keunggulan telegrafi adalah orang dapat ber-
komunikasi jarak jauh dalam hanya waktu beberapa menit
118
saja. Telepon yang diciptakan oleh Bell pada tahun 1876 me-
rupakan alat komunikasi yang diciptakan setelah telegrafi.
Keunggulan telepon dibandingkan dari telegrafi adalah
dengan telepon orang dapat berkomunikasi langsung seperti
layaknya orang berbicara satu dengan lainya.
Radio yang diciptakan oleh Marconi pada tahun 1896
merupakan alat komunikasi yang dipancarkan amelalui
udara. Dengan demikian hubungan antar tempat tidak perlu
lagi melalui kawat penghubung. Pesan yang dikomunikasikan
menjadi lengkap setelah ditemukannya sinema (gambar
hidup), yang kemudian dengan ditemukannya televisi. Dengan
televisi orang akan dapat mengirimkan suara dan gambar.
Ditemukannya satelit komunikasi, kebutuhan manusia
untuk mengadakan hubungan secara lebih cepat makin ter-
penuhi. Aspek negatif dari kemajuan teknologi untuk bidang
komunikasi ini lebih banyak disebabkan oleh sifat manusia
itu sendiri. Keserakahan manusia itu sendiri. Keserakahan
manusia ini menjadi makin memuncak dengan bantuan
berbagai alat komunikasi yang makin canggih.
Dengan kemajuan teknologi maka bidang kesehatan
mendapatkan kemajuan pula dan manusiapun ikut merasa-
kannya. Dengan kesehatan yang makin meningkat umur
manusia kian dapat diperpanjang, karena banyak penyakit
yang tadinya merupakan penyakit yang mematikan tetapi
dengan kemajuan teknologi dapat disembuhkan. Aspek
negatif dari makin penuhnya dunia ini menyangkut
masalah sandang, pangan, papan, lapangan kerja, pendidik-
an, dan sebagainya. Salah satu usaha untuk menanggulangi
ini adalah Keluarga Berencana.
Dampak positif sumber daya terhadap manusia, adalah
dengan adanya minyak bumi, batu bara, dan sumber daya
lainnya yang sangat membantu dalam bidang energi, industri,
transportasi, dan sebagainya. Di samping itu adanya sumber
119
daya alam ini memberikan aspek negatif terutama dalam
masalah lingkungan. Gas CO yang ada kerena pembakaran
minyak bumi dapat meracuni sel-sel darah merah sehingga
sel-sel ini tidak berfungsi lagi sebagai pengangkut oksigen
dalam jaringan tubuh. Pada awal penggalian lingkungan
sumber daya alam itu juga tidak lepas dari kecemaran di
sekitar pemboran yang dapat merusak tumbuhan dan hewan
yang hidup disekitar daerah tersebut.
Dampak positif kemajuan teknologi di bidang pertanian
antara lain adalah intensifikasi terhadap lahan pertanian.
Dengan intensifikasi ini dapat diharapkan tanah pertanian
menjadi lebih subur. Perlu diperhatikan bahwa intensifikasi
ini tidak berhati-hati dilakukan akan menyebabkan kerusak-
an pada lahan.
Zat-zat radio aktif merupakan sumber daya alam yang
ikut menentukan nasib manusia di masa kini. Aspek positif
didapatkan untuk pembangkit tenaga listrik, di bidang ke-
dokteran, di bidang pertanian, di bidang perairan, dan sebagai-
nya. Aspek negatif yang paling utama adalah polusi sinar radio
aktif akan sangat berbahaya bagi manusia.
Saat ini perkembangan sain dan teknologi sangat pesat,
baik dalam jumlah, kedalaman maupun pemanfaatannya.
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave mengatakan
bahwa menjelang abad XXI umat manusia akan meng-
hadapi suatu revolusi baru bidang teknologi, yaitu revolusi
informasi dan telekomunikasi. Revolusi ketiga ini ditandai
dengan perubahan teknologi terutama di bidang mikro elek-
tronika, teknologi alternatif, aeronautika, bioteknologi dan
teknologi informasi. Dampak dari perkembangan sain dan
Teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, dapat
bersifat positif (kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan
menyenangkan, artinya benar-benar bermanfaat) dan dapat
juga bersifat negatif (menimbulkan efek sampingan).
120
D. IPTEK dan Kedaulatan Negara
Kekuatan dan daya saing umat ditentukan oleh keberadaan
sumberdaya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) dalam mengelola sumberdaya alam, ter-
utama dalam menjaga kedaulatan pangan (pertanian), energi
(pertambangan), swasembada daging dan susu (peternakan).
Gusti Allah telah menurunkan besi untuk manusia, sehingga
dapat menciptakan teknologi yang dibutuhkan dalam menge-
lola cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak.
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan ke-
adilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu)
dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (Al Hadid [57]: 25)
121
yang diperlukan, baik di bidang militer maupun sipil. Dengan
demikian maka sempurnalah kekuatan negara dalam
suasana aman maupun perang.
Jika suatu negara tidak menguasai industri baja dan
alat utama sistem senjata (alutsista), maka negara kita tidak
memiliki kendali, kita tidak akan memiliki ‘izzah (wibawa),
karena kekuatan asing lah yang berwenang penuh untuk
menjual atau tidak menjual kepada kita, kapan saja, dengan
persyaratan-persyaratan yang sepenuhnya mereka tetapkan.
Tidak akan pernah ada kedaulatan yang sebenarnya bagi
negara yang persenjataannya selalu tergantung kepada ke-
ahlian bangsa asing. Tentara kita lumpuh karena tidak di-
lengkapi teknologi kendali dan persenjataan modern, yang
dibuat oleh putera puteri terbaik bangsa sendiri.
Di era informasi negara harus kembali menguasai per-
usahaan telekomunikasi dan informasi. Pada era ini, perang
opini terjadi melalui media. Negara, pada hari ini tidak dapat
membendung arus informasi yang mengalir deras, karena
negara tidak lagi mengendalikan Media, TV dan Radio.
Negara tidak lagi mampu menyampaikan opini, rencana ke-
bijakan dan hasil pembangnan melalui melalui kata-kata
yang bisa dibaca, didengar atau dilihat, kecuali harus dengan
cara membeli semua itu dari perusahaan milik swasta, karena
negara sendiri tidak memiliki kendali terhadap percetakan,
stasiun televisi dan pemancar radio atau jaringan satelit.
Na’udzu billah!
Al-Qur’an telah menggariskan dengan jelas, bahwa umat
Islam harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK), khususnya teknologi baja, sehingga kita dapat
menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat orang banyak. Industri baja dan industri
strategis lainnya harus menjadi milik publik, milik negara,
dan tidak boleh jatuh pada milik perseorangan. Hal ini juga
122
berarti substansi materi IPTEK dan pengembangan inovasi
harus menjadi isi kurikulum pendidikan madrasah, selain
Al-Qur’an sebagai sumber nilai.
123
manusia. Dampak langsung bersifat negatif akibat kegiatan
sain dan teknologi, dapat dilihat dari terjadinya pencemaran
udara, air, dan tanah.
Permasalahan lingkungan, terutama yang berkaitan
dengan pencemaran udara, menjadi isu global karena me-
liputi seluruh muka bumi. Tidak ada satu bangsa dan negara
pun yang dapat menghindari dari dampak tersebut. Masalah
lingkungan juga berkaitan dengan ekonomi global sehingga
merupakan masalah yang rumit. Karena kerumitan tersebut
dan sifatnya yang global, penanganan masalah lingkungan
membutuhkan solidarisasi dan kerja sama antara bangsa.
Gambar 1. Bumbung
124
Bumbung adalah alat yang digunakan untuk meng-
ambil bahan baku Nira dari pohon Aren melalui proses penya-
dapan. Terlihat pada gambar, bumbung terbuat dari bambu
dengan tinggi kisaran 70 cm dimana satu buah bumbung
dapat menampung 3 L Nira. Bumbung yang digunakan oleh
perajin Gula Aren dibuat sendiri oleh pengrajin.
125
Beberapa persiapan perlu dilakukan untuk proses peng-
adaan input. Persiapan pertama adalah pengasapan bumbung
sebelum digunakan, pengasapan ini difungsikan agar bumbung
terbebas dari bakteri (Gambar 2.). Masing-masing bumbung
kemudian dimasukan Raru (bunga pohon mangis), penam-
bahan Raru ini agar Nira dapat tahan lama. Air nira hanya
dapat bertahan maksimal 1 hari setelah ditambah Raru.
Tahapan selanjutnya adalah penyadapan air nira, penya-
dapan yang dilakukan pagi hari ini dapat diambil hasilnya
keesokan pagi.
Gambar 4. Raru
Gambar 5.
Tangga Bambu
126
Gambar 5. Memperlihatkan tangga bambu yang di-
gunakan dalam proses penyadapan Nira Aren. Tangga
hanya dibuat dari satu batang bambu yang dilubangi tiap
bukunya sebagai pijakan ketika melakukan penyadapan.
Tangga ini juga dibuat sendiri oleh perajin gula. Proses penya-
dapan Nira diperlukan keterampilan khusus, untuk memper-
oleh keterampilan penyadapan yang baik perajin memerlukan
waktu yang lama. Keterampilan ini diperoleh melalui penga-
laman melakukan penyadapan Nira, perajin belajar otodidak
sambil langsung mempraktekannya atau biasa disebut trial
and error.
127
hanya terbuat dari tumpukan bata merah yang tidak per-
manen. Sumber energi yang digunakan untuk proses produksi
adalah kayu bakar.
Alat pencetak gula aren terbuat dari tempurung kelapa
yang kecil. Tempurung kelapa dibelah menjadi dua bagian
dan bagian bawahnya dilubangi. Lubang pada bagian
bawah cetakan berguna agar mudah untuk melepaskan gula
yang telah kering dari cetakannya. Pengrajin membuat
sendiri cetakan tempurung kelapa tersebut.
128
Gambar 8. Proses Produksi Gula Aren
129
Kualitas gula aren yang dihasilkan sangat tergantung
pada kualitas bahan baku. Kualitas gula yang baik dicirikan
dengan warna gula yang merah kekuningan. Pengrajin gula
tidak melakukan sortasi terhadap produk yang mereka hasil-
kan, semua produk dijual ke bandar. Gula dikemas dengan
di bungkus oleh daun pisang atau daun jagung yang kering.
Proses pengemasan dilakukan secara manual.
Pengolahan gula Aren juga menghasilkan produk sam-
pingan yaitu Cuka. Produk sampingan ini belum dimanfaat-
kan secara maksimal dan hanya dipakai sendiri jika perlu.
Hasil samngan ini merupakan air cucian wajan setelah
selesai produksi. Hasil sampingan ini bisa mencapa 1 – 2
Liter setiap satu kali produksi (setiap 3 Kg gula Aren). Pe-
manfaatan hasil sampingan ini dapat menjaddi pendapatan
tambahan.
130
DAFTAR PUSTAKA
131
AS Hornby, et.all, 1974, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary
of Current English, Oxford University Press, London
Asnawi, Ahmad, Pemahaman Syeikh Nawawi Tentang Ayat
Qadar dan Jabar dalam Kitab Tafsirnya “Marah Labid”,
Desertasi, Fakultas Pasca Sarjana IAIN “Syarif
Hidayatullah”, Jakarta, 1989
Ball, Grant T & Rosch, Lee J. 1973, Civics, New Revise Edi-
tion. Chicago, Follet Publ. Co.
Basrie, Chaidir Drs., M.Si., 1995. Wawasan Nusantara.
Serpong, LIH ITI.
Basry, M. Hasan, 1995, Untuk Apa Kita Merdeka, Kumpulan
Amanat Bung Karno di Sumatra
Besar, Abdulkadir, SH. 1988, Berfikir Integralistik (edisi III).
Jakarta, LEMHANNAS
Bruinessen, Martin Van, 1999, Kitab Kuning: Pesantren dan
Tarekat, Bandung: Mizan
Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakartra,
Gramedia.
Budiarjo, B. 1991. Komputer dan Masyarakat, Elekmedia
Komputindo Jakarta.
Butt, Nasim, 1996, Sains & Masyarakat Islam, Bandung:
Pustaka Hidayah
Cassesse, Antonio, 1994, Hak Asasi Manusia di Dunia yang
Berubah. Jakarta, YOI.
Casyono, B. 2003. Geoscience. Penerbit ITB Bandung.
Casyono, B. 2006. Ilmu Kebumian dan Antariksa. Remaja
Rosda Karya Bandung.
Chiras, D Daniel, 1985, Environmental Science. California:
The Benyamin / Cumming Publ. Comp. Inc.
Chiras, D Daniel, 1985, Environmental Science. California:
The Benyamin / Cumming Publ. Comp. Inc.
Collins, John M., 1974. Grand Strategy,Principle and Prac-
tices. Annapolis, USN Institute
132
Darraz, Muhammad Abdullah, 1970, al-Din Buhuts Mumah-
hadat li Dirasat Tarikh al-Adyan, Dar al-Kutub, Beirut
Darmojo, H & Yeni Kaligis. 1999. Ilmu Alamiah Dasar. Ghalia
Indonesia Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES
Dialog, Jurnal Ulumul Quran, 1995, No.VI.
Djalal, Hasyim, 1995. Indonesia and the Law of the Sea.
Jakarta, CSIS
Eccles, Henry E., 1959, Logistics in the National Defense.
Harrisburg, Penn, The Stackpole Co
Ensiklopedi Islam, Jilid 4, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1984
Fadlullah, 2005, Quo Vadi Pendidikan Islam?, Banten:
Untrirta Press
Faruqi, al-., Ismail Raji, Dr, 1984, Islamisasi Pengetahuan,
Bandung: Pustaka
Gardner, Howard, 1983, Frames of Minds: The Theory of
Multiple Intelligences, New York: Basic Books
Gazalba, Sidi, 1989, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan
Islam, Jakarta: Pusata Al-Husna
Gie, The Liang 1979, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban
Bidang Filsafat. Yogyakarta : Karya Kencana.
Hadi, P Sudharto, 2001, Dimensi Lingkungan Perencanaan dan
pembangunan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Harahap, Sofyan Syafri, 1996, Manajemen Masjid, Jakarta:
PT Dana Bhakti Prima Yasa
Hardjasumantri, Kusnadi, 1989. Hukum Tata Lingkungan.
Yogyakarta, UGM Press
Huntington, Samuel P., 1996. The Clash of Civilization and
the Remaking of the World Order. London, UK,
Touchstone Book co.
Husain, Syed Sajjad, Dr. dan Ali Asyraf, Syed, Dr., 1994,
Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Bandung:
Gema Risalah Press
133
Jasin, Maskoeri 2002, Ilmu Alamiah Dasar, RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Juniarto, Ridwan. 1983. Manusia Teknologi Mitos dan Realita.
Angkasa Bandung
Jusuf Amir Feisal, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta:
Gema Insani Press
Kaelan, H. Drs., MS., 2002, Pendidikan Pancasila. Yogyakarta,
Paradigma.
Karel A. Steenbrink, 1994, Pesantren Mandrasah Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES
Koentjaraningrat 1993, Masalah Kesukubangsaan dan
Integritas Nasional. Jakarta UI.
Kuntowijoyo, 1994, Dinamika Sejarah Umat Islam Indo-
nesia, Jogjakarta: Sholehudin Press
———, Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam, Republika, Artikel,
19 Agustus, 1996
———, 1998, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, A.E.
Priyono (Editor), Bandung: Mizan
Kusumatmadja, Prof. Dr. Mochtar, SH., LLM., 2003. Konsepsi
Hukum Negara Nusantara. Bandung, Alumni.
Langgulung, Prof. Dr. Hasan, 1995, Manusia dan Pendidikan:
Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: PT.
Pustaka Al-Zikra
Madjid, Prof. Dr. Nurcholish, 1998, Kalam Kehalifahan Manusia
dan Reformasi Bumi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah
Mangun Wijaya, Y.B. (ed), 1983. Teknologi dan Dampak
Kebudayaan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Martin Van Bruinessen, 1999, Kitab Kuning: Pesantren dan
Tarekat, Bandung: Mizan
Mas’oed, Mochtar, 1983, Perbandingan Sistem Politik,
Yogyakarta, UGM Press
Mashuri, Yasin. 2002. Ilmu Alamiah Dasar. Rayagrafindo
Persada Jakarta.
134
Michrob, Halwani & Chudari, A. Mudjahid, 1993, Catatan
Masa Lalu Banten, Serang: Saudara
Mirhad, R.P. Purnomo, 1973. Geopolitik dan Geostrategi
Indonesia. Jakarta, Lemhannas.
Mitchell, G. Duncan (edt), 1970. A Dictionary of Sociology.
Chicago Ill, Aldine Publishing Co
Murtadha Muthahari, 1992, Masyarakat dan Sejarah,
Bandung: Mizan
Naisbitt, John (terjemahan), 1994. Global Paradox, Jakarta,
Binarupa Aksara.
Naning, Ramdlon, 1983, Gatra Ilmu Negara. Yogyakarta,
Liberty
Negoro, Adi, 1954, “Ensiklopedia Umum dalam Bahasa In-
donesia” Jakarta: Bulan Bintang
Ohmae, Kenichi, 1991. The Borderless World, Power and
Strategy in the Interlined Economy. London, Fontana.
Paret, Peter, 1985, Clausewitz and the State, Princeton Uni-
versity Press, New Jersey.
Pengembangan Lingkungan, Jakarta.
Poerbo, H. 1986, Mencari Pendekatan Pengelolaan
Lingkungan Kota yang Lebih Efektif. Jakarta Prisma.
Poespowardojo, DR. Soerjanto, 1989. Filsafat Pancasila.
Jakarta, PT Gramedia.
Pranarka, A.M.W., 1985, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila.
Jakarta, CSIS
Purnama, Heri. 1996. Ilmu Alamiah Dasar. Rieneka Cipta
Jakarta.
Pusat Bahasa Dep Dik Nas, 2002, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka
Sadikin, Sutrisno (et.al). 2000. Ilmu Alamiah Dasar. Uni-
versitas Tarumanegara Jakarta.
Sahlin, M.D. 1968, Culture and Environment. London :
Routledge&Kegan Paul.
135
Salim, Emil 1989, Sustainable Development :An Indonesian
Perspective. Jakarta : Paper Presented at AISEC, March.
Santoso, Heru. 2000. Landasan Etis bagi Perkembangan
Teknologi. Tiara Wacana Yogyakarta.
Sardjoko. 1991. Bioteknologi, Latar Belakang dan Beberapa
Penerapannya. Gramedia Jakarta.
Simbolon, Parakitri T. 1995, Menjadi Indonesia, Buku I,
Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta : Kompas
Sjalabi, Ahmad, 1973, Sedjrah Pendidikan Islam, Djakarta:
Bulan Bintang
Soedarsono, Soemarno, 1997, Ketahanan Pribadi & Ketahanan
Keluarga sebagai Tumpuan Ketahanan Nasional, Jakarta,
Intermassa.
Soemarwoto, O. 1989, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pem-
bangunan. Jakarta: Djambatan
Soeriaatmadja, R.E. 1977, Ilmu Lingkungan, Penerbit ITB,
Bandung.
Soerjani M. Rofiq A, dan Rozy M. 1987, Lingkungan: Sumber-
daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan.
Jakarta : UI – Press.
Soetoprawiro, Koerniatmanto, 1996. Hukum Kewarganegara-
an & Keimigrasian Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama
Stanton, Charles Michael, 1994, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, Jakarta: Logos
Steenbrink, Karel A., 1994 Pesantren Mandrasah Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES
Sudirman Taba, 1993 Islam Orde Baru: Perubahan Politik
dan Keagamaan Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Suma, Muhammad Amin, 2001, Pluralisme Agama Menurut
Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sumaatmadja, Nursid, 1989, Studi Lingkungan Hidup,
Penerbit Alumni, Bandung.
136
Sumardi, Juajir, 1996. Hukum Ruang Angkasa. Jakarta, PT.
Pradnya Paramita
Sunardi, R. M., 2004, Pembinaan Ketahanan Bangsa. Jakarta:
PT. Kuadernita Adidarma.
Sunoto, 1981. Mengenal Filsafat Pancasila. Yogyakarta, Bag.
Penerbitan FE UII
Supardi, I. 1994, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya,
Penerbit Alumni, Bandung.
Suradinata, Ermaya, Alex Dinuth (Pnyt), 2001, Geopolitik
dan Konsepsi Ketahanan Nasional. Jakarta: Paradigma
Cipta Tatrigama.
Suryadi, M.T. 2003. Pengantar Teknologi Informasi.
Gunadarma Jakarta.
Suseno, Franz Magnis 1988, Kuasa dan Moral. Jakarta:
Gramedia.
Taba, Sudirman, 1993, Islam Orde Baru: Perubahan Politik
dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana
Tihami, M.A., Pemikiran Fiqh Syeikh Nawawi Al-Bantani,
Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana IAIN “Syarif
Hidayatullah”, Jakarta, 1998
Tunas, Drs. Billy, MSc, 1978. Teori Sistem sbg dasar Berpikir
Kesisteman. Jakarta, SESAU
Wardhana, Wisnu Arya, 1995, Dampak Pencemaran Ling-
kungan, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Widio Siswoyo, S. 1999. Ilmu Alamiah Dasar. Galia Indo-
nesia Jakarta.
Wikenfeld, Jonathan (edt), 1973, Conflict Behavior &
Lingkage Politics, New York, David McKay Co.Inc,
Vos, H De, 1994, Pengantar Etika. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yoga.
Wright, Quincy, 1942. Study of War. Chicago Ill. The
University of Chicago Press
137
Yakob, T. 1988. Manusia, Ilmu, dan Teknologi. Tiara Wacana
Yogyakarta.
Yaqub, Ali Mustafa, 1997, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi
SAW., Jakarta: Pustaka Firdaus
Zen M. T. 1984. Science, Teknologi dan Hari Depan Manusia.
Gramedia Jakarta.
138