Chapter II PDF
Chapter II PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di
lateral (Nguyen, 2010).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight
dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Dadas, 2007):
8
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):
1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
penopang septal yang utuh
9
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya
garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi
septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang
nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk
sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang
sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya
yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal
sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding
lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian
11
Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah
trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur
yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata
penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction
merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari
submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa
fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge,
infraorbital rim, dan zygomatic arches (Moe, 2013).
12
2.2 X-Ray
Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm
Rontgen pada tahun 1895. Dia jugalah yang memberi nama X-ray meskipun banyak
yang menyebut sebagai “Rontgen” (Assmus, 1995). Selama lebih dari dua dekade,
nilai dari X-ray kepala pada pasien dengan cedera kepala telah dipertanyakan.
13
Meskipun begitu, pada tahun 1999, The Royal College of Surgeons of England
(RCSE) mengeluarkan panduan untuk penggunaan X-ray pada cedera kepala. Kriteria
untuk dilakukan X-ray pada cedera kepala di rumah sakit yang tersedia CT scan
selama 24 jam adalah (Soysa, 2005):
• Kecurigaan cedera yang bukan disebabkan oleh kecelakaan (pada anak-anak)
• Keberadaan benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal
• Kecurigaan terjadi trauma penetrasi
• Kecurigaan terjadi fraktur compound
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (2007), khusus
pada trauma kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT-
scan segera yaitu:
1. Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi
gawat darurat
2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di
instalasi gawat darurat
3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan
4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial
5. Kejang post-trauma
6. Defisit neurologis fokal
7. Lebih dari satu episode muntah
8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian
Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala minor beberapa
indikasi perlu dipertimbangkan untuk melakukan CT-scan kepala. Indikasi-indikasi
tersebut antara lain nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan
intoksikasi alkohol (Sharif-Alhoseini, 2011).
Fraktur kranial linear merupakan fraktur yang paling sering dan melibatkan
fraktur pada tulang namun tidak dijumpai pergeseran. Fraktur ini umumnya
disebabkan karena perpindahan energi yang rendah akibat trauma tumpul di seluruh
permukaan tengkorak yang luas (Khan, 2013).
Fraktur kranial linear terjadi karena efek kontak yang terjadi sekunder
terhadap impact. Pergerakan kepala dan akselerasi tidak memegang peranan dalam
terjadinya fraktur. Ketika tengkorak terkena impact pada daerah yang luas, dapat
terjadi deformasi (perubahan bentuk) daro tengkorak dengan inward dan outward
bending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada tulang temporal dapat memutuskan
arteria meningea media yang berjalan di dalam sebuah alur pada tulang temporal,
sehingga terjadi EDH (Sastrodiningrat, 2012).
16
Pada anak-anak, garis fraktur terkadang susah dibedakan dengan garis sutura
aksesoris. Terlebih pada pemakaian foto polos, penilaian fraktur lebih menantang
akibat ketidakmampuan untuk menilai keadaan jaringan otak. Sutura aksesoris dapat
dibedakan dari fraktur melalui poin-poin berikut (Sanchez, 2010):
1. Fraktur yang sederhana dan tidak terdepresi memiliki kepadatan yang tinggi
dan tepi yang tidak sklerotik. Sebaliknya, sutura aksesoris biasanya memiliki
pola zigzag dengan tepi sklerotik.
2. Fraktur akibat benturan yang kuat dapat melewati garis sutura atau
memanjang dari satu sutura besar ke sutura lainnya, sementara sutura
aksesoris umumnya bergabung dengan sutura besar.
3. Sutura aksesoris sering sekali dijumpai pada kedua sisi dan simetris terutama
pada tulang parietal.
4. Pembengkakan jaringan lunak atau hematoma sering sekali dijumpai pada
fraktur kranial yang akut. Namun, tidak adanya hematoma subgaleal tidak
menyingkirkan diagnosa fraktur terutama apabila cedera terjadi beberapa hari
sebelumnya.
biasanya sebagai akibat fraktur tulang temporal. Sebelas persen (11%) dari hematoma
didapatkan di fossa kranial anterior (anterior meningeal artery), 9% di daerah
parasagittal (sinus sagittalis), dan 7% di fossa posterior (occipital meningeal artery
dan sinus-sinus transverses dan sigmoid), 10% - 40% EDH merupakan pendarahan
vena sebagai akibat robekan sinus duramater, vena emissaria atau pelebaran vena
(venous lakes) di duramater (Sastrodiningrat, 2012).
Secara umum, perdarahan subdural akut terjadi kurang dari 72 jam dan
terlihat hiperdens pada CT-scan. Fase subakut terjadi 3-7 hari setelah cedera.
Perdarahan subdural yang kronik terjadi dalam rentang waktu berminggu-minggu dan
terlihat hipodens (Meagher, 2013).