Sungai Karang Mumus kini, sedih dan miris memandang sungai penuh kenangan dan sejarah
Sungai adalah saksi bagaimana sejarah peradaban tercipta. Peradaban manusia pertama yang
cukup maju berkembang di sungai Nil. Begitu pula dengan lembah sungai Gangga, dimana bangsa
Dravida membangun budaya India Kuno yang berpusat di Mohejo Daro dan Harappa. Di negeri
Chinapun tak dipungkiri peradaban tumbuh melalui lembah sungai kuning Kwang Ho.
Barangkali karena pertimbangan aliran sungailah, ketika orang-orang bugis Wajo dipimpin oleh
Lamohang Daeng Mangkona hijrah dari kerajaan Gowa ke daerah kerajaan Kutai menetap sekitar
muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) sebagai pemukiman baru mereka. Inilah cikal bakal
kota Samarinda dan awal mula diperkenalkan nama Samarenda/Samarinda, yang pada akhirnya
berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda nomor : 1 tahun 1988
tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi ditetapkan sebagai hari jadi Kota Samarinda pada tanggal
21 Januari 1668 M.
Sungai Karang Mumus (SKM) salah satu anak Sungai Mahakam yang membelah kota Samarinda ke
arah utara. Sungai Mahakam sendiri merupakan sungai terpanjang di Indonesia, setelah sungai
Barito. Sungai Mahakam, pun anak sungai Karang Mumusnya merupakan sarana transportasi
penting dalam menggerakkan sektor ekonomi, sosial dan budaya serta akses menuju kota-kota
Bagi sebagian besar penduduk kota tepian yang tinggal di sekitar bantaran sungai Karang Mumus
mungkin masih mengingat banyak hal menarik di sepanjang sungai ini terutama sekitar tahun 1970
sampai 1980. Waktu itu rumah-rumah yang terbuat dari papan berjajar di sepanjang sungai,
dilengkapi batang dari rakit kayu gelondongan dan diatasnya dibuat jamban. Batang berfungsi
sebagai tempat MCK. Air sungai karang Mumus belum tercemar kala itu, maka sore hari adalah
waktu yang sangat ditunggu anak-anak bantaran untuk mandi di sungai. Mereka menangkap ikan
dan menciduk anak udang dengan menggunakan tudung saji. Sesekali saat itu masih terlihat
beberapa jenis ikan, ikan haruan, patin, pipih, biawan, dan pepuyu berseliweran. Termasuk haliling
yang biasanya nempel disekitar batang. Haliling itu semacam siput yang bisa dijadikan lauk yang
Kapal kayu bermotor yang umumnya membawa sembako yang akan dijual ke hulu Mahakam, juga
tak luput dari sasaran. Kapal-kapal itu selain sebagai alat transportasi, juga pengangkut BBM dan
beberapa kebutuhan bahan pokok. Terkadang lewat juga kapal yang mengangkut papan-papan hasil
dari sawmill yang pada waktu itu merupakan usaha yang banyak berdiri di pinggir-pinggir sungai.
Jika kapal barang itu bersandar di batang, dijadikan sarana untuk terjun “ciruk” (istilah terjun bebas)
atau salto dari atasnya sebelum menyentuh sungai. Anak lelaki yang lebih berani biasanya menaiki
jembatan yang menghubungkan seberang sungai, jembatan waktu itu masih jembatan kayu. Sungai
karang mumus adalah kolam renang pertama mereka untuk belajar berenang.
Lalu bagaimana wajah sungai Karang Mumus kini? Sangat sulit mengatakan bagaimana memandang
sungai penuh sejarah ini, sedih dan miris menjadi satu. Airnya keruh kecoklat-coklatan, bahkan
sekali waktu hitam dan berbau sangat menyengat. Tumpukan sampah mendangkalkan sungai,
terutama di kawasan jalan perniagaan pasar segiri, mengendap membentuk sedimen. Warga seolah
terus membuang limbah pribadi ke sungai, pun limbah berbagai jenis usaha, sortiran sayur yang
tidak terjual, dan limbah ternak ayam. Semua dibuang ke sungai, seakan-akan tak ada peraturan
yang melarang. Jadilah sungai Karang Mumus seperti “keranjang sampah” terpanjang di kota
Samarinda.
Beberapa anak-anak nampak masih memanfaatkan pendangkalan sungai untuk bermain layang-
layang. Namun sudah tidak berenang lagi karena kondisi yang tidak memungkinkan. Kecuali mereka
yang masih tinggal pada rumah-rumah sepanjang sungai yang belum direlokasi, mereka masih
tambang. Ketika hujan turun, air yang dibawa ke sungai mengandung lumpur. Konon kawasan utara
Samarinda sangat rawan banjir, disebabkan kerena di kawasan itu terletak Daerah Aliran Sungai
(DAS) Karang Mumus. Terdapat lebih dari dua puluh izin usaha pertambangan (IUP) dan belasan di
antaranya berada di dekat DAS Karang Mumus. Sebelum marak penambangan saja, banjir besar
pernah melanda kota Samarinda pada tahun 1998. Musibah banjir yang terjadi di Jakarta baru-baru
Taman yang tertata di pinggir sungai terlihat dari muara jalan Pelabuhan sampai jembatan 2 Sungai
Dama. Ini merupakan keberhasilan program relokasi pemerintah. Program ini dimulai sejak tahun
1989 yang telah memindahkan 1.355 unit rumah warga di bantaran sungai Karang Mumus (SKM)
ke 7 perumahan yang berbeda. Relokasi ini merupakan salah satu upaya pemerintah terhadap
pengendalian banjir.
Anak-anak memanfaatkan taman itu untuk bermain layang-layang bahkan sebagai lapangan sepak
bola mini atau sekedar duduk-duduk memandang sungai. Ada pula yang membuat pangkalan untuk
berenang. Menyaksikan hal ini setitik harapanpun tumbuh terhadap upaya rencana kota Samarinda
untuk menjadikan sungai Karang Mumus menjadi sungai yang rapi, bersih dan jalur hijau yang
berjarak beberapa meter dari bibir sungai. Sungai Karang Mumus yang bersih dan terawat bisa
Mungkin penataan Hutong oleh pemerintahan China, yaitu sebuah perkampungan yang terdiri dari
sisa-sisa rumah tradisional tipe courtyard (Siheyuan) bisa menjadi contoh penataan rumah kuno.
Perkampungan Hutong berada pada jalan-jalan sempit yang terkenal dengan sebutan “Hutong” di
daerah distrik Barat (XiCheng) dan Timur (DongCheng) Beijing. Ini merupakan upaya revitalisasi
terhadap pemukiman kota tua yang dilakukan mulai dari perbaikan infrastruktur seperti penyediaan
toilet umum, pemasangan paving dan instalasi penerangan sampai dengan pengalihfungsian
bangunan courtyard. Hutong oleh pemerintahan setempat dijadikan salah satu wisata kota Beijing.
Wisatawan bisa menyewa sepeda berkeliling Hutong dengan menaiki sepeda roda tiga sejenis becak
Kitapun dulunya disepanjang jalan Pangeran Suriansyah dan Yos Sudarso memiliki rumah-rumah
kuno, beberapanya masih dipertahankan oleh pemiliknya. Bahkan pada kegiatan Festival dalam
rangka hari ulang tahun kota Samarinda baru-baru ini, disebutkan salah satu rumah kuno di
Samarinda merupakan peninggalan turun menurun berusia 108 tahun. Ini potensi wisata yang bisa
dijadikan cagar budaya. Saya membayangkan, setelah berwisata menikmati sungai Karang Mumus
dengan menyewa jukung (perahu tradisional kota Samarinda) wisatawan bisa diajak menikmati
rumah-rumah kuno. Sebagai kota yang dikepung oleh sungai, yang nama kotanyapun berhubungan
Akankah Sungai karangmumus akan bersih dan terawat atau bahkan bisa menjadi potensi dan aset
wisata kota samarinda ? Nampaknya kita semua perlu berjibaku sebagai upaya konkrit untuk
menyelamatkan sungai Karang Mumus, salah satunya mengkampanyekan kepada warga Samarinda
untuk untuk bijak dengan persoalan sampah. Setidaknya, menumbuhkan kesadaran untuk tidak lagi
Sungai Karang Mumus adalah bagian penting kota ini, bagian siklus hidrologi, kunci utama
penanganan banjir bahkan berpotensi sebagai objek wisata. Semoga Karang Mumus bisa
kembali menjadi kolam renang pertama bagi anak-anak bantaran meski sudah tanpa
batang dan jamban, bukan menjadi keranjang sampah terpanjang di kota Samarinda
Rifqi Farhan
Aktivitas warga di Bantaran Sungai Karang Mumus (SKM) di kawasan Jalan S Parman Samarinda Ulu, Minggu
(7/8/2016).
Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul Secercah Asa Dalam Penyelamatan Sungai
Karang Mumus, http://kaltim.tribunnews.com/2017/05/14/secercah-asa-dalam-penyelamatan-sungai-
karang-mumus.